Nanopartikel bermanfaat, di antaranya karena memiliki aktivitas antimikroba dari kemampuannya teroksidasi oleh cahaya sehingga menyebabkan ia mengambil elektron dari senyawa atau bahkan mikroba berbahaya, dengan kata lain ia 'menetralkan' bahan berbahaya. Nanopartikel ZnO (zinx-oxide) sebagai bahan tambahan pada pakan ternak, tergolong aman. Foto-oksidasi bersamaan dengan foto-reduksi ternyata ikut mempengaruhi enzim ribulosa bifosfat karboksilase (rubisco). Cahaya berperan sebagai katalis. Pada pertumbuhan dan metabolisme bakteri aerob dengan kultur kocok, warna merah yang terbentuk lebih cepat dan merata karena guncangan, mencampur oksigen dengan medium cairnya. Sedangkan kultur diam menyebabkan populasi bakteri dalam medium cair tersedimentasi di bagian bawah wadah.
PENGARUH GIBERELIN DAN PACLOBUTRAZOL TERHADAP PERTUMBUHAN KACANG KEDELAIDevi Ningsih
Â
Giberelin merupakan ZPT yang berperan dalam proses perkecambahan, perpanjangan batang, pertumbuhan buah, pengatur fase transisi vegetative ke generative dan mempengaruhi inisiasi pembungaan serta penentuan jenis kelamin. Paclobutrazol merupakan zat pengatur tumbuh yang mampu menghambat pertambahan panjang tanaman.
Nanopartikel bermanfaat, di antaranya karena memiliki aktivitas antimikroba dari kemampuannya teroksidasi oleh cahaya sehingga menyebabkan ia mengambil elektron dari senyawa atau bahkan mikroba berbahaya, dengan kata lain ia 'menetralkan' bahan berbahaya. Nanopartikel ZnO (zinx-oxide) sebagai bahan tambahan pada pakan ternak, tergolong aman. Foto-oksidasi bersamaan dengan foto-reduksi ternyata ikut mempengaruhi enzim ribulosa bifosfat karboksilase (rubisco). Cahaya berperan sebagai katalis. Pada pertumbuhan dan metabolisme bakteri aerob dengan kultur kocok, warna merah yang terbentuk lebih cepat dan merata karena guncangan, mencampur oksigen dengan medium cairnya. Sedangkan kultur diam menyebabkan populasi bakteri dalam medium cair tersedimentasi di bagian bawah wadah.
PENGARUH GIBERELIN DAN PACLOBUTRAZOL TERHADAP PERTUMBUHAN KACANG KEDELAIDevi Ningsih
Â
Giberelin merupakan ZPT yang berperan dalam proses perkecambahan, perpanjangan batang, pertumbuhan buah, pengatur fase transisi vegetative ke generative dan mempengaruhi inisiasi pembungaan serta penentuan jenis kelamin. Paclobutrazol merupakan zat pengatur tumbuh yang mampu menghambat pertambahan panjang tanaman.
Power point ini dibuat untuk memeuhi tugas mata pelajaran geografi. Materi ini memuat tentang ketahanan pangan, ketersediaan pangan, akses pangan, pemanfaatan pangan, dan fator faktor yang memengaruhi ketahanan pangan
Power point ini dibuat untuk memeuhi tugas mata pelajaran geografi. Materi ini memuat tentang ketahanan pangan, ketersediaan pangan, akses pangan, pemanfaatan pangan, dan fator faktor yang memengaruhi ketahanan pangan
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa BaratEldi Mardiansyah
Â
Di dalamnya mencakup Presentasi tentang Pendampingan Individu 2 Pendidikan Guru Penggerak Aangkatan ke 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat tahun 2024 yang bertemakan Visi dan Prakarsa Perubahan pada SMP Negeri 4 Ciemas. Penulis adalah seorang Calon Guru Penggerak bernama Eldi Mardiansyah, seorang guru bahasa Inggris kelahiran Bogor.
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
Â
Pidato pengukuhan prof. dr. ir. didik indradewa dip.agr.st
1. PERAN PERTANIAN DALAM MENANGGULANGI
DEFISIENSI NUTRISI MIKRO DI MASYARAKAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Pada Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada
Oleh:
Prof. Dr. Ir. Didik Indradewa, Dip.Agr.St
2. 2
PERAN PERTANIAN DALAM MENANGGULANGI
DEFISIENSI NUTRISI MIKRO DI MASYARAKAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Pada Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
Pada tanggal 12 Februari 2007
Oleh:
Prof. Dr. Ir. Didik Indradewa, Dip.Agr.St
3. 3
PERAN PERTANIAN DALAM MENANGGULANGI
DEFISIENSI NUTRISI MIKRO DI MASYARAKAT
Seluruh bangsa-bangsa di dunia sedang berlomba meningkatkan
kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Bukti sejarah perjalanan
bangsa-bangsa menunjukkan bahwa, maju mundurnya suatu negara
sangat ditentukan oleh keunggulan kualitas SDM nya. Di manapun
kualitas SDM ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsi, yang
akan menentukan tingkat pertumbuhan fisik dan kecerdasannya,
meskipun juga dipengaruhi pendidikan dan layanan kesehatan yang
baik (Husodo, 2006).
Revolusi hijau telah berhasil meningkatkan ketersediaan pangan
per kapita bagi penduduk dunia. Antara 1960 sampai 1990 produksi
beras meningkat dua kali lipat (Welch dan Graham, 2000), sehingga
misalnya harga beras di Bangladesh menurun sebesar 40% dalam
kurun 25 tahun terakhir. Harga beras yang murah akibat revolusi hijau
mempunyai pengaruh menguntungkan dalam meningkatkan keamanan
pangan bagi rakyat miskin, namun menyebabkan penduduk
mengkonsumsi beras lebih banyak (Haddad, 2000). Kasus di
Indonesia berlawanan dengan yang terjadi di Bangladesh, namun
mempunyai akibat yang sama. Harga beras di Indonesia naik beberapa
kali lipat, namun konsumsi beras juga meningkat. Konsumsi beras
yang banyak, dicurigai membawa dampak buruk bagi asupan nutrisi
mikro masyarakat, karena (1) padi mengandung nutrisi mikro yang
kecil, (2) penggilingan dapat menghilangkan nutrisi mikro yang
banyak terdapat di bagian kulit dan (3) padi juga mengandung
antinutrisi (Graham dan Welch, 2000).
Untuk melangsungkan metabolismenya, manusia membutuhkan
paling tidak 49 macam nutrisi. Ketidak cukupan meskipun hanya satu
macam nutrisi berakibat gangguan metabolisme, berlanjut pada
kesehatan yang buruk dan pertumbuhan yang tidak normal. Lebih dari
3 milyar manusia saat ini mengalami defisiensi nutrisi mikro.
Defisiensi nutrisi terutama defisiensi besi (Fe), seng (Zn) dan vitamin
A merupakan penyebab hampir dua pertiga angka kematian pada
anak-anak di dunia (Welch dan Graham, 2004). Secara keseluruhan
defisiensi nutrisi mikro berakibat membengkaknya beaya sosial antara
lain penurunan kemampuan belajar pada anak-anak, peningkatan
4. 4
abnormalitas dan kematian, penurunan produktivitas kerja dan
peningkatan beaya kesehatan. Semuanya dapat berakibat pada
penurunan potensi manusia, kesejahteraan dan perkembangan
ekonomi nasional.
Dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995
dilaporkan bahwa 50,9% ibu hamil dan 40,5% anak usia balita di
Indonesia menderita anemia. Dengan adanya krisis ekonomi,
prevalensi anemia meningkat. Survei pemetaan anemia di Jawa
Tengah tahun 1999 menunjukkan prevalensi yang tinggi pada balita
dan ibu hamil, di beberapa kabupaten bahkan dapat mencapai angka di
atas 80%. Defisiensi Fe bukan satu-satunya penyebab anemia, namun
bila prevalensi anemia tinggi, defisiensi Fe dianggap sebagai
penyebab utama (Subagio, 2006).
Sebelum krisis menerpa, 8,5 juta anak (37% dari 23 juta anak)
Indonesia diketahui kurang berat badannya dan menderita kekurangan
nutrisi mikro besi, seng dan vitamin A. Jumlah kematian anak
pertahun akibat kekurangan gizi ini mencapai 147.000 jiwa dan
separuh lebih di antaranya adalah balita. Yang bertahan diperkirakan
mengalami penurunan kecerdasan hingga 10% dengan IQ akan
menurun 10-15 poin. Jika IQ rata-rata anak normal adalah 110, kelak
pada saat dewasa anak-anak kurang gizi ini paling tinggi hanya
mempunyai IQ 95 (Hafsah, 2006).
Pada umumnya pembuat keputusan telah mengetahui tentang
defisiensi nutrisi, termasuk defisiensi mineral mikro besi dan seng
sebagai penyakit yang harus diatasi. Banyak negara menanggulangi
masalah defisiensi nutrisi mikro dengan pemberian suplemen.
Walaupun program-program tersebut berhasil dalam jangka waktu
pendek, namun sering tidak berlanjut akibat alasan-alasan ekonomi,
politik dan logistik. Indonesia dan Vietnam telah menyatakan diri
bebas dari penyakit kekurangan vitamin A, karena telah berhasil
menjalankan program periodik pendistribusian suplemen vitamin A
dosis tinggi. Arus krisis ekonomi di Indonesia, telah memunculkan
kembali gejala-gejala kekurangan vitamin A tersebut dan
menunjukkan bahwa solusi ini sangat peka terhadap situasi ekonomi
dan politik (Underwood, 2000). Pemecahan masalah anemia pada ibu
hamil di Indonesia dengan pemberian suplemen besi, dinilai juga
kurang berhasil karena masalah beaya, ketersediaan dan distribusi
5. 5
(Untoro et al., 2005). Konferensi nutrisi yang diadakan di Roma pada
Desember 1992, menyoroti akan pentingnya suatu solusi yang
berkelanjutan untuk mengatasi defisiensi nutrisi mikro (Welch dan
Graham, 2000).
Sumber utama semua nutrisi adalah produk pertanian. Apabila
pertanian gagal menghasilkan produk yang cukup mengandung semua
nutrisi sepanjang tahun, maka sistem pangan dapat dinyatakan gagal
mendukung kehidupan yang sehat (Welch dan Graham, 2004).
Sebagian besar masyarakat yang mengalami defisiensi nutrisi
mikro, tergantung kepada makanan pokok untuk sumber nutrisi
mereka. Di negara yang penduduknya memiliki pangan pokok beras,
tingkat konsumsi per kapitanya sangat tinggi, yaitu antara 62 sampai
190 kg/ tahun dan untuk Indonesia sekitar 132 kg/tahun (Perwira et
al., 2003). Dengan tingkat konsumsi yang tinggi tersebut, peningkatan
nilai gizi yang kecil pada padi akan memberikan dampak yang cukup
besar bagi konsumennya.
Hasil tanaman dapat diperkaya kandungan nutrisi mikronya
dengan cara biofortifikasi melalui pemuliaan tanaman dan atau dengan
rekayasa genetika (Welch dan Graham, 2004). Kontribusi pemuliaan
tanaman dalam memecahkan masalah defisiensi nutrisi mikro,
membutuhkan banyak informasi biologis (Graham et al.,1999)
termasuk di dalamnya fisiologi tanaman. Selanjutnya lingkungan dan
praktek budidaya tanaman akan mempengaruhi hasil akhir
ketersediaan nutrisi mikro di dalam produk pertanian yang dikonsumsi
dan prosesing serta cara pemasakan mempengaruhi ketersediaannya
bagi tubuh manusia.
Agar tumbuh normal, tanaman memerlukan hara yang diperoleh
dari dalam tanah berupa nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, belerang
dan magnesium yang digolongkan sebagai hara makro, serta besi,
mangaan, seng, boron, tembaga dan molibden yang digolongkan
sebagai hara mikro. Hara mikro diperlukan tanaman dalam jumlah
relatif lebih sedikit dibanding hara makro. Besi (Fe) dan seng (Zn)
merupakan hara mikro dengan kandungan normal misalnya di dalam
daun padi berkisar antara 80 sampai 190 mg/kg dan untuk seng 30
sampai 160 mg/kg (Reuter dan Robinson, 1997). Bagi tanaman, besi
merupakan penyusun enzim dalam transpor elektron misalnya
sitokrom dan feredoksin yang aktif dalam fotosintesis dan respirasi.
6. 6
Besi juga merupakan penyusun katalase dan peroksidase yang
mengkatalisir pemecahan H2O2 menjadi H2O dan O2, sehingga
mencegah tanaman keracunan H2O2. Bersama Mo, besi merupakan
unsur dalam enzim nitrit dan nitrat reduktase, serta dalam enzim
nitrogenase. Walaupun besi bukan merupakan bagian molekul
klorofil, besi mempengaruhi kadar klorofil, karena berperan dalam
pembentukan ultrastuktur kloroplas (Gardner et al., 1985). Seng
banyak diperlukan enzim untuk kegiatannya. Seng merupakan unsur
esensial untuk enzim dalam sintesis triptofan suatu prekursor IAA.
Karbonat anhidrase merupakan enzim yang mengandung Zn, berperan
dalam fiksasi CO2 terutama pada tanaman C4 (Cakmak dan Engles,
1999).
Tanaman telah membangun berbagai macam mekanisme
transportasi dalam mengontrol penyerapan, pembagian dan
penempatan unsur mikro seperti Fe dan Zn (Grusak et al., 1999).
Berdasarkan berbagai penelitian, diketahui terdapat dua mekanisme
penyerapan Fe dalam keadaan defisien, yang dikenal dengan Strategi I
dan II. Strategi I berlaku untuk tanaman dikotil dan monokotil non
gramine meliputi : peningkatan reduksi Fe3+
menjadi Fe2+
di membran
plasma sel akar, peningkatan eksudasi proton yang menyebabkan
pengasaman rizosfer, perubahan histologi dan morfologi akar (Rengel,
1999). Akar yang lebih panjang secara umum memungkinkan
tanaman mengekplorasi volume tanah yang lebih besar,
memanfaatkan hara lebih efisien, sehingga memerlukan jumlah pupuk
lebih sedikit (Indradewa et al., dalam proses). Strategi II terjadi pada
graminae, berupa peningkatan senyawa khelat Fe yang biasanya
disebut dengan fitosiderofor (Grusak et al., 1999).
Tanaman yang mengalami defisiensi hara menunjukkan gejala
tertentu yang khas. Gejala defisiensi Fe adalah klorosis intervena,
karena besi diperlukan untuk pembentukan klorofil-protein kompleks
di dalam kloroplas. Klorosis dimulai dari daun muda karena sifat besi
yang tidak mudah diangkut dari daun tua. Mobilitas yang rendah
kemungkinan terjadi karena besi mengendap di daun tua sebagai
oksida tidak larut atau fosfat atau membentuk kompleks dengan
fitoferitin. Dalam keadaan defisien yang berkepanjangan, klororis juga
menimpa tulang daun, sehingga seluruh bagian daun berwarna pucat.
7. 7
Defisiensi seng pada jagung dan sorgum mengakibatkan daun
tua mengalami klorosis intervena dan kemudian membentuk bintik
nekrosis putih. Klorosis mungkin terjadi akibat kebutuhan akan seng
untuk pembentukan klorofil. Defisiensi seng juga nampak dengan
gejala penurunan pertumbuhan internodia sehingga tanaman
berbentuk roset, daun kecil dengan tepi melipat. Gejala ini muncul
mungkin sebagai akibat penurunan kemampuan tanaman
menghasilkan auksin dalam jumlah cukup (Taiz dan Zeiger, 1998).
Setiap unsur mikro memiliki perbedaan distribusi di dalam
tubuh tanaman. Selain itu terdapat perbedaan kemampuan
remobilisasi dari organ tertentu atau jaringan untuk membentuk biji.
Seng merupakan unsur mikro yang paling mobil dibandingkan
dengan unsur mikro yang lain, dan mobilisasinya berkaitan erat
dengan penuaan daun. Besi dilaporkan juga mengalami pergerakan
dari daun meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit dari seng (Rengel
et al., 1999). Pada tanaman gandum, kurang dari 20% Fe pada organ
vegetatif didistribusikan ke bagian biji, sedangkan lebih dari 70% Zn
yang didistribusikan kembali (Grusak et al., 1999).
Konsumsi beras menyumbang sekitar 25% terhadap total
kecukupan besi yang dianjurkan. Total kecukupan zat besi untuk
wanita yang termasuk golongan rawan anemia adalah 26
mg/orang/hari. Bila rata-rata konsumsi beras 300g/orang/hari, maka
kandungan besi pada beras hendaknya sekitar 21,7-26,0 ppm
(Indrasari dan Hanarida, 2006).
Pada dekade yang lalu beberapa lembaga penelitian
internasional antara lain CGIAR, IRRI, CIMMYT, CIAT dan IITA
telah mengumpulkan data tentang kandungan Fe, Zn dan provitamin A
tinggi pada padi, gandum, jagung, kacangan dan ubikayu, untuk
pemuliaan tanaman. Sejak 1992 para peneliti di IRRI telah melakukan
evaluasi variabilitas genetik kandungan Fe di dalam biji padi dan
mulai 1995 penelitian diperluas untuk Zn. Dari 939 genotip yang
dievaluasi variasi kandungan Fe antara 7,5 – 24,4 ppm dan untuk Zn
antara 13,5 – 58,4 ppm atau sekitar tiga sampai empak kali lipat, yang
dapat digunakan untuk meningkatkan konsentrasi Fe dan Zn secara
signifikan (Welch dan Graham, 2004).
Beberapa penelitian pada tanaman padi juga telah dilakukan
untuk mengetahui interaksi genetik dan lingkungan pada berbagai
8. 8
kondisi antara lain pada musim kemarau – penghujan, normal – salin,
asam – netral dan berbagai takaran N. Meskipun terdapat interaksi
genetik dan lingkungan yang mengakibatkan penurunan kandungan
Fe dan Zn dalam kondisi ekstrim, namun pada umumnya genotip
dengan kandungan Fe dan Zn tinggi terekpresi pada semua lingkungan
(Welch dan Graham, 2004).
Bekerjasama dengan International Food Policy Research
Institute (IFPRI) dan IRRI, Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa)
Sukamandi dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) telah
mengidentifikasi plasma nutfah padi yang kaya zat besi dan seng
untuk dapat dimanfaatkan lebih lanjut dalam perakitan varietas unggul
baru. Hasil penelitian menunjukkan, beberapa geneotip padi
mengandung zat besi dan seng tinggi antara lain IR71218-39-3-2
dengan kadar besi 18 ppm dan seng 37 ppm. Varietas unggul Cimelati
dan Barumun hasil rakitan Balitpa, masing-masing berkadar besi 15
dan 16,2 ppm serta seng 23 dan 29 ppm. Sebagai pembanding,
varietas IR 64 yang masih populer, hanya mengandung 11,4 ppm besi
dan 21 ppm seng.
Untuk memperoleh varietas padi berkadar besi tinggi telah
dilakukan persilangan antara genotip-genotip tersebut dengan varietas
Maligaya Special 13 yang diintroduksi dari IRRI. Status persilangan
saat ini memasuki tahap uji multilokasi. Identifikasi varietas padi
kaya zat besi juga dilakukan melalui kultur anter. Hasil penelitian
menunjukkan, genotip AC 153 memiliki beras pecah kulit yang
mengandung kadar besi tertinggi yaitu 25 ppm (Indrasari dan
Hanarida, 2006).
Hasil penelitian di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
(BALITTRA) perlu mendapat perhatian. Saat mempelajari ketahanan
berbagai varietas padi terhadap Fe tinggi, diketahui bahwa dari 71
varietas lokal Kalimantan Selatan terdapat variasi kandungan Fe yang
sangat besar antara 11 ppm pada varietas Kutut sampai 83 ppm pada
varietas Siam Pandak. Untuk varietas unggul dan galur harapan variasi
kandungan Fe antara 26 ppm pada varietas Martapura sampai 70 ppm
pada GH 47. Kandungan Zn pada padi lokal juga bervariasi cukup
besar antara 20 ppm pada varietas Unus Putih sampai 108 ppm pada
varietas Siam Panangah. Untuk varietas unggul dan galur harapan,
9. 9
variasi kandungan Zn tidak sangat besar antara 28 ppm pada GH 173
sampai 65 ppm pada varietas Martapura (Khairullah et al. 2002).
Kandungan Fe sampai 83 ppm dan kandungan Zn sampai 108 ppm
adalah sangat tinggi dibanding yang pernah diperoleh IRRI sebesar
24,4 ppm untuk Fe dan 58,4 ppm untuk Zn, maupun Balitpa sebesar
25 ppm untuk Fe dan 29 ppm untuk Zn. Kandungan mineral mikro
yang tinggi tersebut mungkin dipengaruhi oleh kondisi tanah di rawa
lebak dan pasang-surut, namun penemuan tersebut tetap menghasilkan
informasi yang sangat penting bagi para pemulia, untuk merakit
varietas baru yang dapat beradaptasi pada lingkungan yang lebih luas,
antara lain seperti yang akan di lakukan oleh salah seorang mahasiswa
S3 UGM.
Data yang dikumpulkan oleh CIMMYT menunjukkan bahwa
variasi kandungan Fe dan Zn pada biji jagung tidak sebesar sereal
yang lain. Hasil yang serupa juga diperoleh IITA (Welch dan Graham,
2004). Hasil yang agak menggembirakan diperoleh Long et al. (2004)
di Afrika bagian Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di
antara varietas jagung kaya Fe terdapat variasi kandungan Fe di dalam
tepung yang nyata antara 20,3 sampai 28,1 ppm. Kandungan di antara
varietas kaya Zn juga terdapat perbedaan nyata bervariasi antara 21,9
sampai 29,8 ppm.
Sampai saat ini tidak ada praktek budidaya pertanian sengaja
dilakukan untuk meningkatkan kandungan nutrisi mikro dalam biji
yang ditujukan untuk konsumsi manusia. Untuk mencapai potensi
kandungan nutrisi mikro tinggi, penerapan cara budidaya secara
menyeluruh, mulai dari pemanfaatan varietas unggul kaya nutrisi
mikro disertai dengan benih bermutu, pemupukan baik anorganik
maupun organik, sampai dengan pengolahan hasil mengarah pada
peningkatan konsentrasi nutrisi pada produk perlu dilakukan.
Peningkatan kandungan nutrisi mikro di dalam benih akibat
pemuliaan maupun cara budidaya dapat meningkatkan vigor dan
viabilitas, sehingga meningkatkan keragaan bibit saat ditanam di tanah
dengan kandungan hara rendah (Welch dan Graham, 2004).
Peningkatan kandungan Zn di dalam biji gandum dari 355 mg menjadi
1.465 mg per biji dapat meningkatkan hasil tanaman turunannya
apabila di tanaman pada tanah defisien Zn dan tidak dilakukan
pemupukan Zn (Welch, 1999). Tanaman yang menghasilkan biji
10. 10
besar, sering mempunyai kandungan hara mikro di dalam biji cukup
untuk pertumbuhan tanaman turunannya. Hasil penelitian kacang
tanah dengan ukuran biji relatif besar, menunjukkan pemberian pupuk
mikro molibdenum tidak mempengaruhi hasil biji, diduga karena
tanaman mendapat cukup hara mikro dari dalam benih (Indradewa,
1986).
Persediaan besi pada kebanyakan tanah secara teoritis
mencukupi bagi pertumbuhan tanaman secara normal. Meskipun
demikian mayoritas Fe di dalam tanah tidak terlarut, karena terdapat
dalam bentuk Fe hidroksil, oksida, fosfat serta dalam bentuk senyawa
kompleks lainnya. Hanya sebagian kecil dari total Fe yang larut dalam
larutan tanah dan tersedia bagi penyerapan akar (Grusak et al., 1999).
Kekurangan Zn pada padi sangat umum terjadi dan kemungkinan
menjadi pembatas bagi peningkatan kandungan unsur logam ini pada
biji (Rengel et al., 1999). Di daerah Utara Jawa Barat 29% tanahnya
dikategorikan miskin unsur Zn (Supardi, 1982 cit. White dan Zasoski,
1999).
Pemupukan pada skala dunia termasuk di Indonesia didominasi
oleh kebutuhan untuk menyediakan pangan dengan menggunakan
unsur hara makro nitrogen, fosfor dan kalium. Penggunaan pupuk N,
P dan K serta aplikasi pengapuran dilaporkan menyebabkan
meningkatnya defisiensi unsur mikro di negara berkembang, karena
ketidakseimbangan hara tanah, meningkatnya kebutuhan unsur mikro
akibat pertumbuhan tanaman yang pesat, merubah ketersediaan unsur
mikro serta mempercepat habisnya hara mikro tersedia dalam tanah.
Hasil analisis tanah di sentra produksi padi di Jawa Tengah
menunjukkan kandungan P sangat tinggi (Indradewa et al., 2003),
sehingga memungkinkan terjadinya defisiensi Zn (White dan Zasoski,
1999).
Aplikasi pupuk Fe anorganik pada tanah yang defisien Fe
biasanya tidak efektif, karena adanya proses konversi yang cepat ke
dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman yaitu bentuk Fe (III).
Sebaliknya, aplikasi khelat Fe sintetis untuk mengatasi defisiensi Fe
lebih efektif, namun biayanya mahal. Untuk Fe, pemupukan daun
dengan FeSO4 mungkin merupakan pilihan utama untuk pemupukan.
Untuk Zn, aplikasi ZnSO4 pada tanah tampaknya cukup murah dan
11. 11
merupakan metode yang tidak hanya efektif untuk meningkatkan
hasil, tetapi juga kandungan Zn dalam biji (Rengel et al., 1999).
Bahan organik tanah mempengaruhi ketersediaan hara mikro
dalam tanah. Kandungan bahan organik yang tinggi memungkinkan
unsur mikro lebih tersedia bagi tanaman. Yang menjadi masalah,
kandungan bahan organik di tanah yang diusahakan secara intensif
tanpa disertai pemberian pupuk organik, menurun di bawah batas
toleransi. Hasil pengamatan kandungan bahan organik tanah di sentra
produksi padi di Jawa Tengah menunjukkan nilai kandungan bahan
organik di bawah batas kritis (Indradewa et al., 2003).
Pemberian pupuk kandang menyebabkan kandungan Zn di
dalam daun meningkat lebih dari dua kali lipat dari 20 mg/kg menjadi
41 mg/kg (Huber dan Graham, 1999). Konsentrasi Zn pada biji sereal
mungkin dapat berlipat ganda dengan penambahan pupuk organik
pada takaran 40 ton/ha atau lebih, namun tidak seimbang dengan
takaran pupuk organik yang diberikan. Disamping itu pemberian
pupuk organik yang banyak mungkin tidak praktis, memakan biaya
besar dan mungkin dapat meningkatkan kandungan logam berat lain
yang tidak diinginkan dalam biji (Rengel et al., 1999).
Meskipun didapat variasi kandungan nutrisi mikro pada
berbagai jenis tanaman pangan untuk keperluan pemuliaan,
ketersediaan biologis dan cara prosesing perlu menjadi bahan
pertimbangan dan masih memerlukan penelitan lebih lanjut. Biji
tanaman mengandung berbagai macam senyawa antinutrisi maupun
promotor nutrisi. Senyawa antinutrisi yang dikenal antara lain asam
fitat, serat, tanin, asam oksalat dan logam berat. Senyawa promotor
nutrisi antara lain asam askorbat, fumarat, malat dan sitrat,
hemoglobin, asam amino tertentu misalnya metionin, sistein, histidin
dan lisin, asam lemak rantai panjang misalnya palmitat dan β karoten.
Modifikasi melalui pendekatan biologi molekuler atau genetik
memungkinkan untuk menurunkan kandungan antinutrisi dan
meningkatkan kandungan promotor nutrisi di dalam makanan pokok.
Meskipun demikian komposisi diet, teknik prosesing dan teknik
penyiapan makanan dapat mempengaruhi ketersediaan biologis nutrisi
mikro di dalam makanan (Welch dan Graham, 2004).
Terdapat perbedaan pandangan tentang kemungkinan
penanggulangan defisiensi nutrisi mikro melalui peningkatan peran
12. 12
pertanian. Pandangan pesimistis mempunyai argumentasi bahwa
penelitian pertanian lebih sesuai untuk membantu petani
meningkatkan produksi. Memasukkan masalah nutrisi ke dalam
penelitian pertanian cukup sulit, karena terdapat banyak penyebab
defisiensi nutrisi yang perlu dicari pemecahannya. Penyebab dapat
terjadi mulai dari masalah tanah yang defisien, varietas tanaman yang
mempunyai kandungan rendah, cara budidaya, cara prosesing dan
pemasakan yang kurang tepat sampai dengan penyadaran pengambil
keputusan serta masyarakat untuk memanfaatkan varietas kaya nutrisi
mikro.
Perhatian badan dunia untuk pemecahan masalah defisiensi
nutrisi mikro masih sangat kecil. Misalnya dari dokumen CGIAR
tidak jelas bagaimana defisiensi nutrisi mikro akan ditangani. Laporan
tahunan tahun 1998 menyebut defisiensi nutrisi mikro hanya dua kali.
Pada rencana jangka menengah dari sebagian besar 16 pusatnya, tidak
menyebut tentang defisiensi nutrisi walaupun sebagian besar di
antaranya membuat daftar kemiskinan dan ketidakamanan pangan
sebagai prioritas penelitian. Pengeluaran keuangan CGIAR menurut
daerah menunjukkan bahwa alokasi sumber daya tidak selaras dengan
lokasi yang mengalami defisiensi nutrisi mikro. Asia mempunyai 70%
anak-anak yang mengalami defisiensi di dunia, tetapi hanya menerima
32% dari sumber daya CGIAR.
Pandangan optimis berpendapat bahwa pemuliaan tanaman
merupakan salah satu langkah awal dalam pengembangan kultivar
baru dengan kandungan nutrisi mikro yang tinggi dalam biji maupun
bagian lain yang dikonsumsi (White dan Zasoski, 1999). Peningkatan
kandungan unsur mikro Fe dan Zn di dalam biji tanaman pangan
pokok antara lain padi, gandum, jagung sangat mungkin dilakukan
berdasar penemuan : (1) terdapat cukup variasi genetik tentang
kandungan nutrisi mikro di antara lini pada bank plasmanutfah besar
untuk pemuliaan, (2) sifat kandungan nutrisi mikro stabil di berbagai
lingkungan, (3) sangat mungkin dilakukan kombinasi sifat nutrisi
mikro tinggi dengan hasil tinggi, (4) pengendalian genetis cukup
sederhana sehingga program pemuliaan cukup ekonomis, (5) beberapa
defisiensi nutrisi mikro dapat diatasi secara bersamaan, (6) baik vigor
bibit maupun kualitas nutrisi dapat ditingkatkan melalui biji
modifikasi genetik dengan sifat pengkayaan nutrisi mikro. Tekhnologi
13. 13
rekombinasi DNA dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
nutrisi pangan termasuk meningkatkan kadar dan ketersediaan
biologis unsur mikro Fe dan Zn. Beras emas adalah salah satu contoh
penggunaan bioteknologi untuk meningkatkan kandungan provitamin
A di dalam endosperm biji padi. Contoh lain adalah seperti yang
dilaporkan oleh Goto et al. cit. Welch (2002) yang meningkatkan
kandungan Fe dalam biji padi dengan memindahkan gen fitoferetin
dari kedelai dan gen promotor endosperm padi. Dengan cara itu
kandungan Fe di dalam biji padi dapat ditingkatkan dua kali lipat dari
14 menjadi 37 ppm. Cara yang sama juga dilakukan untuk
meningkatkan kandungan Fe padi menggunakan gen fitoferetin dari
kapri (Welch, 2002).
Agar dapat diterima baik oleh petani produsen maupun
konsumen, tanaman kaya nutrisi mikro antara lain harus memenuhi
syarat : (1) hasil tanaman harus tetap atau lebih tinggi dibanding
varietas sebelumnya, sehingga dapat diterima oleh petani (2)
peningkatan kandungan nutrisi mikro harus cukup nyata berpengaruh
terhadap kesehatan manusia, (3) sifat kandungan nutrisi mikro tinggi
harus cukup stabil di berbagai kondisi iklim dan tanah, (4)
ketersediaan biologis nutrisi mikro di dalam varietas baru dapat
meningkatkan status nutrisi mikro pada masyarakat dengan cara
memasak dan cara makan tradisional, dan (5) rasa dapat diterima oleh
konsumen (Welch dan Graham, 2004).
Defisiensi nutrisi mikro adalah bencana tersembunyi dan
merupakan permasalahan yang mempengaruhi milyaran orang di
dunia dan menghabiskan dana cukup besar yaitu lebih dari 5 % GDP
(Haddad, 2000). Di Indonesia defisiensi Fe menyebabkan penurunan
produktivitas kaum pekerja, sehingga menimbulkan kerugian sebesar
Rp. 8,9 trilyun per tahun (Suhartiningsih, 2005). Meskipun
permasalahan ini sangat penting karena sangat menurunkan kualitas
SDM, sehingga menurunkan daya saing negara, namun perhatian
pemerintah sulit diarahkan untuk pemecahan masalah ini. Sangat
banyak permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia termasuk di
bidang pertanian dan pangan yang lebih kelihatan dampaknya, antara
lain persediaan beras yang tidak mencukupi, kerawanan pangan dan
gizi buruk. Defisiensi nutrisi mikro meskipun mempengaruhi jumlah
14. 14
manusia yang lebih banyak, dampaknya tidak segera nampak,
sehingga belum mendapat perhatian yang memadai.
Saat ini para peneliti pertanian di Indonesia telah dapat
menghasilkan genotipe padi dengan kandungan Fe dan Zn tinggi di
Balitpa dan BB Biogen, ditambah dengan koleksi plasmanutfah padi
lokal di Balitra. Ini sudah merupakan langkah awal yang bagus.
Meskipun demikian belum berarti pertanian sudah dapat ikut
menyelesaikan masalah defisiensi nutrisi mikro. Varietas kaya nutrisi
mikro yang dihasilkan juga harus dapat diterima secara luas baik oleh
petani maupun konsumen seperti yang terjadi pada varietas IR 64
yang legendaris. Selain menggunakan pendekatan varietas beradaptasi
luas seperti yang terjadi pada IR 64, dapat juga digunakan pendekatan
varietas spesifik lokasi baik untuk untuk faktor lingkungan lahan
petani maupun penerimaan konsumen. Varietas lokal koleksi Balitra
merupakan contoh untuk pendekatan spesifik lokasi ini. Apabila
varietas-varietas kaya nutrisi mikro tersebut dapat tersebar secara luas
baik secara nasional maupun lokal, maka tanpa campur tangan
pemerintah yang terlalu banyak, masyarakat akan banyak yang
mengkonsumsi beras tersebut dan defisiensi nutrisi mikro di Indonesia
dapat dikurangi. Apabila varietas-varietas yang dihasilkan belum
dapat diterima oleh masyarakat, kerja keras diperlukan untuk
membentuk kerjasama para ahli di berbagai bidang antara lain di
antara peneliti pertanian, pengolahan hasil pertanian, gizi dan
kesehatan masyarakat, sosiologi, ilmu politik, ekonomi, petani,
pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat agar padi dan bahan
pangan pokok lain yang kaya nutrisi mikro dapat diterima masyarakat.
Peran insan pertanian ditunggu oleh bangsa Indonesia untuk menjadi
pelopor dalam mengatasi defisiensi nutrisi mikro, agar daya saing
negara secara global menjadi lebih baik di waktu-waktu yang akan
datang.
15. 15
DAFTAR PUSTAKA
Cakmak, I and E. Engles. 1999. Role of Mineral Nutrient in
Photosynthesis and Yield Formation. In Mineral Nutrition of
Crops Fundamentals Mechanism and Implication. Rengel, Z.
(ed). Food Production Press. New York. Pp. 205 – 223
Gardner, F. P., R. B. Pearce and R. L. Mitchell. Physiology of Crop
Plants. Iowa State University Press. Ames. Pp. 121-125.
Graham, R., D. Senadhira, S. Beebe C. Iglesias and I. Monasterio.
1999. Breeding for Micronutrient Density in Edible Portions of
Staple Crops : Conventional Approach. Field Crop Research.
60:57-80.
Grusak, M. A., J. N. Pearson and E. Marentes. 1999. The Physiology
of Micronutrient Homeostatis in Field Crops. Field Crop
Research. 60:41-56.
Haddad, L. 2000. A Conceptual Framework for Assessing
Agriculture-nutrition Linkages. Food and Nutrition Bull.
21(4):367-372.
Hafsah, J. 2006. Pertanian dan Pangan. Dalam Revitalisasi Pertanian
dan Dialog Peradaban. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Hal.
71-86.
Husodo, S. Y. 2006. Pangan, kualitas SDM, dan Kemajuan Suatu
Negara Bangsa. Dalam Revitalisasi Pertanian dan Dialog
Peradaban. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Hal. 32-55.
Huber, D. M. And R. D. Graham. 1999. The Role of Nutrition in Crop
Resistence and Tolerance to Disease. In. Fundamentals
Mechanism and Implication. Rengel, Z. (ed). Food Production
Press. New York. Pp. 169 – 204.
Indradewa, D. 1986. Pengaruh Pemupukan Kalium dan Molibdenum
terhadap Pertumbuhan dan hasil Kacang Tanah. Lembaga
Penelitian UGM. Yogyakarta. 39 hal.
Indradewa, D., Tohari, B. H. Sunarminto, D. Kastono (Tim Peneliti
Fakultas Pertanian). 2003. Kajian Teknologi Peningkatan
Produktivitas Tanaman Pangan di Daerah Sentra Produksi.
Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. 84 hal.
Indradewa, D., S. Waluyo dan E. T. Susilaputra. Pengaruh
16. 16
Pemotongan Akar Bibit Teh terhadap Efisiensi Pemupukan.
(Dalam proses).
Indrasari, S. D. dan Hanarida . 2006. Padi Kaya Besi dan Seng. www
.pustaka-deptan. go.id/ publication /wr 263047.pdf
Khairullah, I., Mawardi, S. Sulaiman dan M. Sarwani. 2002.
Inventarisasi dan Karakterisasi Plasma Nutfah Tanaman
Pangan di Lahan Rawa. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2002
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Hal. 26-31.
Long, J. K., M. Banziger and M. E. Smith. 2004. Diallel Analysis of
Grain Iron and Zink Density in Southern African-Adapted
Maize Inbreds. Crop. Sci. 44:2019-2026.
Perwira, D., A. Suryadi dan S. Sunarto. 2003. Kosumsi Beras Sebagai
Ukuran Sederhana Kesejahteraan Masyarakat. http://
www.smeru.05.id/newslet/2003 /ed05/250305 data.htm .
Diakses 20 Juli 2006.
Rengel, Z. 1999. Physiological Mechanisms Underlying Differential
Nutrient Efficiency of Crop Genotypes. In Mineral Nutrition of
Crops Fundamentals Mechanism and Implication. Rengel, Z.
(ed). Food Production Press. New York. Pp. 227 – 265.
Rengel, Z., G.D. Batten and D.E. Crowley. 1999. Agronomic
Approach for Improving the Micronurient Density in Edible
Portions of Field Crops. Field Crop Research. 60:27-40.
Reuter, D. J. and J. B. Robinson. 1997. Plant Analysis an Inpretation
Manual. CSIRO Publishing. Collingwood. Pp. 184-192.
Suhartiningsih, W. 2005. Bom Waktu Kelaparan
Tersembunyi(I).htttp://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0605
/24/0801.htm. Diakses 19 Juli 2006.
Subagio, H. W. 2006. Penanggulangan Anemia Ibu Hamil Tak Cukup
dengan Suplementasi Besi Folat. http://www.
suaramerdeka.com/harian/ 0602/20/ ragam02.htm Diakses 19
Juli 2006.
Taiz, L. and E, Zeiger. 1998. Plant Physiology, 2nd
edition. Sinauer
Associates, Inc. Publ. Massachusetts. Pp. 110-111.
Untoro, J., E. Karyadi, L. Wibowo, M. W. Erhardt and R. Gross.
2005. Mutiple Micronutrient Supplements Improve
Micronutrient Status and Anemia But Not Growth and
Morbidity of Indonesian Infants : A Randomized, Double-Blind,
17. 17
Placebo-Controlled Trial. American Society for Nutritional
Science. Pp. 639S-645S.
Welch, R.M. 1999. Importance of Seed Mineral Nutrient Reserves in
Crop Growth and Development. In. Fundamentals Mechanism
and Implication. Rengel, Z. (ed). Food Production Press. New
York. Pp 141-160
Welch, R. M. 2002. The Impact of Mineral Nutrients in Food Crops
on Global Human Health. Plant and Soil 247:83-90.
Welch, R. M. and R. D. Graham. 2000. A New Paradigm for World
Agriculture : Productive, Sustainable. Nutritious, Healthful Food
Systems. Food and Nutrition Bull. 21(4):361-366
Welch, R. M. and R. D. Graham. 2004. Breeding for Micronutrients in
Staple Food Crops from a Human Nutrition Perspective. J. Exp.
Bot. 55(396):353-364.
White, J. G. and R. J. Zasoski. 1999. Mapping of Soil
Micronutrients. Field Crop Research 60:11-26.