Tekanan populasi yang semakin meningkat di Kota Palopo menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan debit air di sungai-sungai utama. Artikel ini menganalisis pendekatan kebudayaan untuk melestarikan sumber daya air melalui partisipasi masyarakat dan lembaga-lembaga adat serta pendidikan formal.
1. 1
KEARIFAN LOKAL LESTARI, SUMBER DAYA AIR TERJAGA
Oleh: Zulham A. Hafid
Hampir semua kota di Indonesia memiliki masalah besar pada ketersediaan
air. Ketersedian air ini tidak hanya terjadi untuk pasokan irigasi, tetapi juga untuk
supply air minum. Demikian pula di Kota Palopo. Penurunan debit air terjadi di
empat sungai utama penyuplai air baku PDAM. Keempat sungai tersebut adalah
Sungai Latuppa, Mangkaluku, Magandang dan Buntu Datu. Hal ini memaksa
pemerintah mengucurkan dana untuk membangun instalasi air baku PDAM yang
baru di Sungai Bambalu. Bersamaan dengan itu, ancaman banjir hampir tiap tahun
masih membayangi warga kota. Padahal, Tana Luwu masa lalu adalah mutiara hijau
yang dialiri sungai-sungai besar nan permai. Setidaknya hal itulah yang tergambar
dalam catatan DF Van Braam Morris (Het Landschap Luhu Gettroken uit een
Rapport Van de Gounerneur Van Celebes, den Heer)1 pada saat berkuasa di
Celebes tahun 1888.
Morris menuliskan bahwa Luwu adalah negeri yang banyak memiliki
pegunungan. Semua pegunungannya ditumbuhi hutan lebat dengan pemandangan
yang sangat liar, bahkan sampai di dekat ibukota Palopo. Di daerah gunung tidak
ada rumah dan tidak ada kebun. Tanah datar terbentang beberapa kilometer ke
pedalaman, dan hanya dijumpai di pantai barat dan utara barat laut. Penduduk
terbanyak menghuni kawasan pantai barat. Di daerah ini, membentang tanah
aluvium yang tergenang air pada waktu pasang. Sebagian besar rawa-rawa, bagian
dasarnya lembek, terutama yang berdekatan dengan laut. Sebaliknya, di daerah
pegunungan tanahnya subur sangat cocok untuk perkebunan kopi.
1
Morris, DF Van Braam Morris, diterjemahkan HAM Mappasanda, toACCAe Publishing, 2007
2. 2
Di dalam Catatan Gubernur Morris, dilaporkan setidaknya ada sekitar 49 buah
sungai di negeri Luwu saat itu. Dari jumlah ini, dituliskan ada sebelas buah terdapat
di sebelah selatan Palopo, tiga puluh buah di sebelah timur Palopo, dan sisanya
terdapat di dekat Ussu dan Mengkoka. Sungai-sungai besar berperan sebagai jalur
distribusi produk hutan. Seluruh sungai berhulu di tiga pegunungan utama, yakni
Pegungungan Latimojong, pegunungan Sulawesi bagian tengah dan Pegunungan
Mengkoka.
Tantangan Saat Ini
Liarnya hutan lebat tanpa rumah dan tanpa kebun, serta sungai-sungai besar
yang dilayari perahu (seperti yang dideskripsikan Morris di atas), mungkin kini
tinggal bersisa setengahnya saja. Pada tahun 1888 (ketika Morris menuliskan
laporannya), jumlah penduduk Palopo dan Pulau Libukang ditaksir sebanyak 14 ribu
jiwa. Mereka mendiami pemukiman/rumah sebanyak 547 buah. Namun sekarang,
seperti yang dilansir oleh BPS, total penduduk Kota Palopo tahun 2012 mencapai
149 ribu jiwa, atau 10 kali lipat lebih banyak dibanding pada zaman Morris. Hal ini
berimplikasi terhadap alih fungsi lahan untuk kebutuhan warga kota. Sebagai
sebuah kota yang melayani warganya, tentu peran kota tidak terlepas dari sentra
kegiatan ekonomi dan sebagai human settlement. Maka, alih fungsi lahan memang
tidak dapat terhindari, terutama untuk ladang, kebun dan pemukiman. Pelan tapi
pasti, luasan lahan hutan akhirnya tergerus secara signifikan.
Dengan jumlah penduduk yang mencapai 149 ribu jiwa, Palopo saat ini
memerlukan supply air bersih sekitar 19 ribu kilo liter per hari2. Menurut data BPS,
PDAM Palopo di tahun 2011 baru mampu melayani kurang lebih sekitar 16 ribu
2
Jika kebutuhan air per kapita masyarakat Palopo 130 liter/hari, maka Kota Palopo butuh supply air bersih 130
liter x 149ribu jiwa = 19ribu Kiloliter per hari
3. 3
costumer. Jika satu costumer mencover sekitar 4-5 jiwa3, setidaknya cakupan air
bersih PDAM di Palopo baru sekitar 54 persen dari total keselurahan penduduk Kota
Palopo. Cakupan air bersih PDAM yang baru 54 persen ini masih berada di bawah
target MDGs yang mematok pada indeks 80 persen untuk wilayah perkotaan.
Cakupan yang belum optimal ini disebabkan karena demand yang semakin
bertumbuh, sedangkan supply air baku mengalami tren penurunan. Peningkatan
kebutuhan akan air menimbulkan eksploitasi sumber daya air secara berlebihan. Hal
ini mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan sumber daya air, yang
kemudian menurunkan kemampuan pasokan air. Dan pada gilirannya, akan terjadi
fluktuasi debit air di musim hujan dan kemarau yang semakin tajam. Fenomena ini
menjadi indikator gejala degradasi fungsi lingkungan sumber daya air. Penurunan
kualitas lingkungan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) inilah yang kemudian
diduga memengaruhi pasokan air baku PDAM Palopo di empat sungai utama di atas
tadi.
Dari catatan Gubernur DF Van Braam Morris, dapatlah dipetik dua hal penting
dalam konteks eksisting kualitas lingkungan sumber daya air. Pertama, bahwa pada
prinsipnya, sejak dahulu kala kita telah memiliki pengalaman yang panjang, untuk
hidup dan memanfaatkan sungai sebagai salahsatu sumber daya air utama. Dan
kedua, paralel dengan hal tersebut, jika dikomparasikan dengan kondisi saat ini,
ternyata fungsi sungai sebagai jalur perhubungan dan distribusi hasil hutan hampir
tidak meninggalkan jejaknya lagi. Patut diduga, hal tersebut disebabkan karena
penurunan kualitas hutan dan kerusakan lingkungan sekitar sungai yang
berlangsung sampai dengan detik ini.
Kesadaran akan penurunan kualitas lingkungan sumber daya air ini, tentu
harus mendapat penanganan yang serius. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
3
Jumlah rata-rata anggota rumah tangga di Kota Palopo Tahun 2011 (BPS, Palopo Dalam Angka 2012)
4. 4
2004 tentang Sumber Daya Air, pengelolaan sumber daya air memang telah
didefiniskan sebagai upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan
mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Proses evaluasi dan
penyelenggaraan konservasi sejatinya diarahkan pada upaya yang terpadu. Oleh
karena itu, seluruh stakeholder harus punya peran di dalam upaya ini. Pemerintah
Kota Palopo diharapkan mampu mendorong tujuan perlindungan sumber daya air
melalui sebuah regulasi. Regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) akan
memperkuat operasionalisasi UU Nomor 7 Tahun 2004. Regulasi ini penting karena
di dalamnya akan dilakukan penyesuaian dengan karakter masyarakat serta kondisi
eksisting ekologi dan sumber daya air di Kota Palopo. Penyesuaian dengan karakter
masyarakat perlu dilakukan karena pelibatan masyarakat dalam upaya konservasi
memang sangat dibutuhkan. Konsep good governance mengamanahkan adanya
prinsip partisipasi masyarakat dalam praktik operasionalnya. Olehnya itu, sangatlah
tepat untuk menempatkan masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses
pengambilan kebijakan, perencanaan, aksi hingga evaluasi program konservasi ini.
Pendekatan Kebudayaan
Di dalam masyarakat Luwu, terdapat lembaga adat yang disebut tomakaka.
Khusus dalam wilayah administrasi Kota Palopo, setidaknya ada tiga tomakaka
utama. Mereka adalah Tomakaka Peta, Tomakaka Latuppa dan Tomakaka Ba’tan
(Battang). Uniknya, ketiga tomakaka ini membawahi atau menjaga masyarakat adat
di wilayah Palopo bagian barat. Tomakaka Peta di Kecamatan Sendana, Tomaka
Latuppa di Kecamatan Mungkajang dan Tomakaka Ba’tan di Kecamatan Wara
Barat. Dan sebagaimana yang kita pahami bahwa, ketiga kecamatan di atas
5. 5
merupakan kawasan pegunungan, tempat hulu-hulu sungai besar yang membelah
wilayah Kota Palopo berada.
Tomakaka merupakan bagian institusi adat-kebudayaan Luwu. Tidak hanya
dari aspek institusional, kearifan lokal Luwu juga mewariskan ajaran, nasihat dan
larangan. Ada tiga ranah yang harus dilihat untuk dapat memetakan kearifan lokal
ini, yakni:
1) Ranah hubungan manusia dengan manusia. Sebagai contoh, mari kita lihat
petuah di bawah ini:
Eppai solangi wanuae: Seuani, ngowa, napedei sirie; Madduanna,
gau’ mawatangnge pallajangngi assi saromase-mase ri laleng
wanua; Matelluna, mabelle peerue’; Maeppana, belaiwi gau’ tonge-
tongengngeng ri wanuae, yang bermakna “Empat hal yang merusak
kampung (negeri): Pertama, serakah, yang menghilangkan rasa
malu; Kedua, kekerasan yang melenyapkan perasaan kasih sayang
di dalam negeri; Ketiga, kecurangan yang memutuskan hubungan
kekeluargaan; Keempat, rasa tega yang menjauhkan perbuatan
benar di dalam kampung (Anwar, 2007).
Dari kearifan petuah ini, masyarakat Luwu diajarkan tentang sistem nilai siri’. Di
dalamnya mengandung ajaran-ajaran universal untuk tidak serakah, curang
dan bertindak tidak adil. Karena sifatnya yang universal, sistem nilai ini juga
mengakomodasi etika dalam proses eksploitasi kekayaan sumber daya alam.
2) Ranah hubungan manusia dengan alam. Hal ini bisa dilihat seperti budaya
pamali dalam menebang pohon besar di dalam hutan, ataukah larangan
‘mengusik’ ekosistem sungai karena kepercayaan akan adanya nene’ (baca:
buaya) yang memiliki keseimbangan rantai makanannya sendiri.
3) Ranah hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam mitologi Luwu kuno, hal ini
tergambar dalam kepercayaan kepada Dewata Seuwae. Dalam bahasa yang
lebih modern, sistem nilai ini adalah kepercayaan kepada ajaran agama Islam,
sebagai agama resmi kerajaan Luwu.
6. 6
Ketiga ranah ini menjadi sebuah sistem nilai di tengah masyarakat Luwu.
Sistem nilai inilah yang kemudian dipedomani para tomakaka sebagai ‘protokol tidak
tertulis’ atau etika bermasyarakat di Tana Luwu. Oleh karena itu, segala aktifitas
yang berpotensi menghadirkan bencana yang bersifat sosial dan lingkungan, dapat
dicegah melalui kesadaran dan konsensus sosial dari masyarakat sendiri. Namun
sayangnya, seiring dengan modernisasi cara berpikir masyarakat dewasa ini yang
alpa atas adat dan budaya, maka peran institusi tomakaka mengalami penurunan
fungsi sosial kemasyarakatannya. Hal ini diperparah dengan pelaksanaan praktik
kepemerintahan yang tidak efektif dalam menginisiasi partisipasi masyarakat,
sebagai salahsatu unsur penting dalam good governance.
Beberapa Rekomendasi
Oleh karena itu, ketiga modal utama di atas: 1) pengalaman hidup yang selalu
bersisian dengan kondisi geografis yang memiliki banyak sumber daya air, 2) sistem
nilai yang menjadi kearifan lokal, dan 3) wibawa perangkat institusi adat (ke-
tomakaka-an), pada tempatnyalah diperkuat sebagai upaya menggerakkan
partisipasi masyarakat dalam menjaga sumber air baku di Sungai Latuppa,
Mangkaluku, Magandang serta Buntu Datu dan Bambalu (ke depannya). Para
tomakaka harus dilibatkan sebagai unsur penting penggerak kekuatan masyarakat.
Harapannya, komunikasi yang dilakukan kepada masyarakat adalah komunikasi
budaya. Dan muara dari semua ini tentunya adalah sebuah gerakan budaya pula.
Masyarakat adat dikuatkan perannya menjadi perencana, pelaksana dan pengawas
kegiatan konservasi. Dalam proses tersebut, pemerintah sejatinya memberikan
insentif kepada masyarakat-masyarakat adat ini. Bentuknya tidak harus dalam dana
tunai, tetapi dapat dilakukan melalui skema fasilitasi kegiatan-kegiatan pembinaan
7. 7
lingkungan hidup, pemberian asuransi, subsidi pendidikan, atau pembangunan
infrastruktur kelurahan.
Dalam konteks kebudayaan, di samping melakukan pendekatan melalui adat
istiadat masyarakat, alternatif lain yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan
pendidikan formal. Upaya pelestarian sumber daya air, dapat diinisiasi dengan
mendisain Program Wajib Tanam, dengan sasaran tembak adalah mahasiswa
tingkat awal. Secara teknis, Program Wajib Tanam dapat dilakukan dengan pola
pelaksanaan tugas besar yang bertenor satu semester. Selama enam bulan
tersebut, setiap mahasiswa baru diwajibkan menanam dan merawat 10 pohon
bambu di sekitar daerah aliran sungai. Di akhir semester, evaluasi pelaksanaan
Program Wajib Tanam disertifikasi oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Palopo
bekerjasama dengan perguruan tinggi yang bersangkutan. Harapannya, kesadaran
untuk bertanggungjawab atas keberlangsungan pasokan air baku dapat menjadi
karakter yang tertanam di dalam diri kaum muda. Sehingga, sekali lagi, upaya ini
diharap menjadi sebuah gerakan budaya yang terpadu dan bervisi jangka panjang.
Upaya konservasi lingkungan sumber daya air memang tidak berhenti pada
peran pemerintah dan melalui pendekatan budaya semata. Banyak hal kreatif yang
dapat dilaksanakan. Pendistribusian program corporate social responsibility (CSR)
saatnya diarahkan kepada dukungan pada upaya konservasi ini. Inovasi kegiatan
kampanye cinta lingkungan harus dikembangkan agar lebih efektif. Kerjasama antar
daerah dalam pelestarian hutan juga perlu digagas oleh Pemerintah Kota Palopo
dengan kabupaten-kabupaten tetangga. Bersamaan dengan itu, kegiatan penelitian
dan pengembangan (litbang) untuk pengolahan air limbah industrial dan air asin
menjadi air bersih dengan cara yang ekonomis, juga dapat menjadi alternatif dalam
pengamanan cadangan air bersih. Dan yang lebih penting adalah agenda
penyelenggaraan forum perkotaan secara periodik. Dalam forum ini, seluruh ide,
8. 8
gagasan dan aspirasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air dan
lingkungan perkotaan dapat tersalurkan. Saatnya masyarakat ikut serta dalam
proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengelolaan sumber daya air.
Bukankah tradisi tudang sipulung juga merupakan salahsatu kearifan lokal yang
dimiliki masyarakat kita? Semoga, dengan internalisasi kearifan lokal ini, peranserta
masyarakat dapat ditingkatkan dalam upaya konservasi sumber daya air.
Referensi
Anwar, Idwar, 2007, Ensiklopedia Kebudayaan Luwu, Makassar: Pustaka
Sawerigading
BPS, Palopo Dalam Angka Tahun 2012
Kordi, M. Ghufran, 2007, Ironi Pembangunan: Catatan Kritik dan Refleksi, Jakarta:
PT Perca
Mahmud, Irfan, 2003, Kota Kuno Palopo: Dimensi Fisik, Sosial dan Kosmologi,
Makassar: Masagena Press
Morris, DF Van Braam Morris, diterjemahkan HAM Mappasanda, 2007,Kerajaan
Luwu: Catatan Gubernur Celebes 1888, Makassar: toACCAe Publishing
Sadyohutomo, Mulyono, 2008, Manajemen Kota dan Wilayah: Realita & Tantangan,
Jakarta: Bumi Aksara
Santoso, Jo, 2006, Menyiasati Kota Tanpa Warga, Jakarta: Centropolis-KPG
Suhady, Idup, 2005, Dasar-Dasar Good Governance, Jakarta: LAN
Sitepoe, Mangku, 2007, Air Untuk Kehidupan: Pencemaran dan Usaha
Pencegahannya, Jakarta: Grasindo
Sutidja, Trim, 2007, Hutan dan Kelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta: Bumi Aksara
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air