Dokumen tersebut merangkum sejarah konservasi alam di Indonesia, dimulai dari masa Kerajaan Nusantara hingga masa sekarang. Pada masa Kerajaan Nusantara, konservasi alam dilakukan secara implisit berdasarkan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Pada masa kolonial Hindia Belanda diterbitkan berbagai peraturan perlindungan alam. Setelah kemerdekaan, berbagai lembaga dibentuk untuk men
3. Jaman Kerajaan
Nusantara
• Implisit tidak banyak arsip tertulis mengenai konservasi
alam
• Eksplisit tindakan konservasi tercermin dalam pola
perilaku masyarakat dalam berhubungan dengan alam yang
merupakan warisan turun temurun
• Masyarakat mempercayai kekuatan alam, mistikfikasi bendabenda
• Prinsip membangun harmonisasi manusia dengan alam.
• Alam dianggap suci (sacred), raja-raja melakukan ritual dan
pemujaan terhadp penguasa alam, dewa-dewa dan roh-roh
leluhur.
• Prasasti Malang (1395) Kebijakan Konservasi Majapahit
4. Prasasti Malang (1395)
Pemberitahuan
Kepada seluruh satuan tata negara si parasama di sebelah timur Gunung Kawi,
baik di timur atau di barat batang air (Berantas); diberitahukan kepada sekalian
Wedana, Juru, Bujut, terutama kepada Pacatanda di Turen. Bahwa telah kita
perkuat perintah seri paduka Batara Partama Iswara, yang ditanam di Wisnubawana dan begitu pula perintah seri paduka yang ditanam di Kertabuana,
berhubungan dengan kedudukan satuan tata negara si parasame Katiden yang
meliputi sebelas desa.
Oleh karena masyarakat itu berkewajiban mengamat-amati padang alang-alang
di lereng gunung Ledjar, supaya jangan terbakar, maka haruslah ia dibebaskan
dari pembayaran pelbagai titisara. Selanjutnya masyarakat dilarang menebang
pohon kayu dari hutan kekayu dan memungut telur penyu dan getan, karena
larangan itu tidak berlaku padanya. Juga tidak seorang jua pun boleh melakukan
di sana peraturan larangan berupa apa jua. Apabila keputusan raja ini sudah
dibacakan maka Desa Lumpang haruslah menurutnya. Demikianlah
diselenggarakan pada bulan pertama pada tahun Saka 1317“.
5. Jaman Kolonial Hindia
Belanda
• Periode 1714-1896
• Dua peristiwa yang menjadi tonggak konservasi:
Pertama (1714): C. Chastelein mewariskan tanah persil 6 Ha di
Depok kepada pengikutnya sebagai Cagar Alam (Natuur
Reservaat).
Kedua (1889): Kawasan Hutan Alam Cibodas dikukuhkan sebagai
Cagar Alam seluas 280 Ha berdasar usulan Direktur Lands
Plantentuin (KBR Bogor), untuk penelitian flora hutan pegunungan,
meluas hingga Gunung Gede-Pangrango (1925).
6. Isu Perlindungan Flora dan Fauna
F.S.A de Clerq (1890), mantan Residen Ternate: „ Saat ini burung-burung
hampir tidak Pernah dijumpai di sepanjang pantai, dan pembunuhan telah
bergerak hingga ke pedalaman, maka tidak lama lagi tidak ada sisa-sisa produk
ciptaan Tuhan yang dapat menyenangkan para pengamat burung, dari seluruh
keajaiban dunia
Kurang Tanggapan
Pemerintah Kolonial
Belanda
Gubernur Jenderal Jhr. CHA van der Wijck (1894), melalui koran Nieuwe
Rotterdamsche Courant mempertanyakan kasus perdagangan burung di
Ternate dan meminta Residen agar melaporkan kasus tersebut beserta usulan
penangannya
1896-1897: Penyelesaian
melalui Pembatasan
Perdagangan
Ekologi
VS
Ekonomi
1898, Dr. J.C.
Koningsberger, Zoolog
Pertanian diutus untuk
mencari masukan ilmiah
Produk Hukum Perlindungan Alam
(1909-1932)
Tekanan Konservasionis di luar
Hindia Belanda
M.C. Piepers, entomolog
mantan pegawai Dephum
Hindia Belanda: Kawasan
Konservasi spt Yellowstone
National Park
P.J. van Houten (1896),
anggota asosiasi
perlindungan satwa
Belanda; Perlunya pers
Belanda menyuarakan laju
perburuan dan ancaman
kepunahan
7. Produk Hukum dan Kelembagan
Hindia Belanda
•
•
•
•
Perlindungan burung
cendrawasih dan burung-burung
lain yang menarik (Staatblad
497 - Oktober 1909 & Staatblad
594 - Desember 1909)
Undang-undang Perlindungan
bagi Mamalia Liar dan Burung
Liar, 1910 (Ordonnantie tot
Bescherming van sommige in het
levende Zoogdieren en Vogels)
Peraturan Perlindungan
Binatang-binatang Liar, 1931
(Dierenbeschermingsverordening
), penetapan 36 jenis satwa
dilindungi.
Ordonansi Cagar Alam dan
Suaka Margasatwa, 1932
(Natuur Monumenten en
Wildreservaten Ordonantie)
kmdn diganti mjd Peraturan
Perlindungan Alam (Staatblad
167 / 1941)
•
Dr. S.H. Koorders dkk (1912) mendirikan
Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia
Belanda (Nederlands Indische Vereniging tot
Natuur Bescherming) mengusulkan:
12 lokasi di Jawa mjd monumen alam: Bbrp
Danau di Banten, P.Krakatau, Kawah
Papandayan, Ujung Kulon & P. Panaitan,
Bromo, P. Nusa Burung, Semenanjung
Purwo, Kawah Ijen dan Dataran Tinggi Ijen
Menetapkan CA Rumphius (Ambon),
penetapan CA tempat tumbh bunga
Rafflesia arnoldi di Bengkulu dan Gayo.
Ketentuan perlindungan alam Hindia Belanda
(Staatblad 278 / 1916), ditindaklanjuti penetapan
55 kwsn Cagar Alam.
Komisi Belanda untuk Perlindungan Alam
International didirikan 1925, (Nederlandsche
Commissie voor Internationale Natur Bescherming )
CA Gunung Kerinci (1929)
CA Leuser (1934), 400.000 ha
8. Jaman Kolonial Jepang
• Kondisi perlindungan alam sangat terlantar.
• Hutan jati yang sudah tertata sejak 1929, Djatibedrijf
(Perencanaan Jati), 32 houtvesterij (unit wilayah
pengelolaan hutan) seluas 627.700 ha, dan pada 1942
terbentuk 53 Kesatuan Pemangkuan hutan (KPH)
dieksploitasi secara besar-besaran.
• Penggunaan hutan untuk keperluan perang Asia Timur Raya.
• Pengurusan Hutan dilakukan oleh lembaga Ringo Tyuoo
Zimosyo, hanya mengurus Jawa & Madura.
• Akhir pendudukan Jepang lokasi yang ditunjuk sebagai Suaka
Alam 117 tersebar di Jawa, Bali,Sumatera, kalimantan,
Sulawesi dan pulau lain seluas 3 juta ha.
9. Jaman Kemerdekaan
hingga Sekarang
• Upaya perlindungan alam dimulai sejak 1947,
penunjukan Bali Barat sebagai suaka alam atas
prakarsa Raja-raja Bali Sendiri.
• 1950, Jawatan Kehutanan RI menempatkan
seorang pegawai khusus untuk urusan perlindungan
alam (mengusut perburuan badak di ujung kulon).
• 1952, dibentuk Lembaga Pengawetan Alam (LPA)
bagaian dari Pusat Penyelidikan Alam KBR Bogor)
• 1956, Jawatan kehutanan membentuk Bagian
Perlindungan Alam (BPA)
10. Tugas BPA
•
•
•
•
•
•
Membina, memperbaiki dan mempertinggi wilayah-wilayah hutan
agar dapat menghasilkan sejumlah margasatwa guna kepentingan
masyarakat
Mengadakan perbaikan-perbaikan dan cadangan-cadangan habitat
bagi margasatwa yang berwujud daerah-daerah pembinaan
margasatwa (wildlife refugees).
Menyelenggarakan pemangkuan suaka-suaka margasatwa sehingga
bermanfaat sebagai objek rekreasi tanpa mengurangi fungsi
pokoknya.
Menjaga keutuhan cagar-cagar alam dan mencadangkan objekobjek baru guna kepentingan ilmu pengetahuan, sejarah alam,
keindahan alam, guna rekreasi serta wisata alam, kebudayaan, dll.
Mengawasi secara intensif kegiatan perburuan dan melakukan
perlindungan binatang-binatang liar yang dilindungi.
Mengadakan riset-riset di CA & SM guna pembinaan dan membantu
bekerja sama dengan instansi-instansi yang berkepentingan.
11. • 1962, Menteri Pertanian dan Agraria menyerahkan Lembaga
Penelitian Pengawetan Alam (LPPA) kepada jawatan
kehutanan digabungkan dengan BPA, kmdn namaya berubah
menjadi Badan Perlindungan dan Pengawetan Alam (BPPA)
• 1964, Kompartemen Pembangunan Pertanian dan Agraria
membawahi Departemen Kehutanan. BPA berada di bawah
Direktorat Kehutanan
• 1967, Kementerian Kehutanan dihapus dan Ditjen Kehutanan
dibentuk. Perlindungan dan pengawetan alam dibawah urusan
Direktorat Pembinaan Hutan.
• 1971, Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam
(Dir.PPA) bdsrkan SK Menteri Pertanian
No.168/Kpts/Org/4/71 tanggal 23 April 1971.
• Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam
• Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam
• Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
12.
13.
14.
15. Terima Kasih
Referensi:
Wiratno, dkk, 2004.
Berkaca di Cermin Retak; Refleksi
Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional.
Publikasi Konsorsium. Jakarta