Dokumen tersebut membahas tentang fidyah dalam Islam. Fidyah adalah denda berupa makanan yang diberikan kepada orang miskin jika seseorang gagal melaksanakan kewajiban agama seperti puasa karena alasan tertentu seperti sakit atau lanjut usia. Dokumen tersebut menjelaskan pengertian, hukum, orang-orang yang wajib membayar fidyah, serta perbedaan pendapat ulama tentang kewajiban wanita hamil
1. A. Pendahuluan
Seperti apa yang telah kita ketahui, bahwasanya sekarang kita telah hidup di
zaman modern atau Di zaman era globalisasi, hal ini telah banyak merubah pola fikir
manusia, sehingga banyak dari mereka saling bersaing dalam bidang IPTEK atau
pengetahuan umum. Hal ini menyebabkan akan kelalaian bagi kewajiban mereka masing-
masing, dunia agamapun sudah dianggap hal yang tidak terlalu penting bagi mereka.
Pada akhirnya mereka lupa bahwa ilmu agam khususnya ilmu hadis juga penting untuk
bekal kehidupannya agar tidak sesat. Sejak terlahirnya kita kedunia ini, sebenarnya kita
semua telah menyepakati sebuah perjanjian dan sejak memulai sebuah kehidupan kita,
maka kita pun telah dikenai sebuah kewajiban-kewajiban, oleh karena itu selain bersaing
dalam ilmu umum, masyarakat hendaknya juga bersaing dalam ilmu agama sehingga
tujuan kehidupan dapat berjalan dan terlaksana dengan baik (seimbang). Apalagi ilmu
agama itu menyangkut tentang fidyah, sebagai hukuman ( denda ) bagi orang yang telah
lalai akan kewajibannya.
Dalam hal ini, maka diuraikan tentang fidyah. Sehingga kita semua kususnya
masyarakat pada umumnya dapat mengetahui dan memahami dari betapa pentingnya
belajar ilmu hadis khususnya materi fidyah ini. Didalam makalah ini kami akan mencoba
untuk menguraikan bagaimana sebenarnya apa fidyah itu, bagimana hukumnya,
bagaimana takaran fidyah tersebut, dan apa penyebab terkenainya fidyah serta
B. Pembahasan
1. Pengertian Fidyah
Fidyah berasal dari bahasa Arab yaitu فيد ييهyang artinya “barang penebus”. Jadi
arti keseluruhan dala bahasa Indonesia adalah hukuman yang berupa denda yang
diberikan bagi seseorang sebab ia meninggalkan kewajiban dengan cara memberi makan
orang miskin.1
Di dalam definisi yang lain adalah pemberian bahan makanan pokok atau
makanan siap saji kepada orang miskin (fakir atau miskin) karena meninggalkan puasa
Ramadhan dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat. Adapun fidyah yang
berhubungan dengan ibadah haji adalah denda/ganti atas tidak ditunaikannya tahallul
1
Dr, Mustafa Kamal, Dkk, Fikih Islam, Jakarta : Citra Karya Mandiri..2000, hlm.23
2. karena sakit atau ada luka di kepala. Atupun banyak lage kewajiban yang jika kita lalai
maka dikenakan membayar fidyah. Kewajiban ini berkisar pada masalah puasa orang
yang meninggalkan kewajiban adalah orang yang berat menjalankan puasa seperti orang
tua renta, yang tidak mampu untuk berpuasa, orang sakit, yang kesembuhannya mungkin
tidak dapat diharapkan lagi, orang yang hamil / menyusui, orang yang meremehkan
penggadaan puasa ramadhan.
Adapun hadistnya yang menjelaskan tentang hal ini sebagai berikut :
Artinya :
“Dan dari ‘atha’, ia mendengar ibnu abbas membaca ayat “dan wajib atas orang-
orang yang kuat berpuasa itu membayar fidyah, memberi makan seorang miskin “ maka
ibnu ‘abbas berkata : ayat ini tidak dimansukh, tetapi terpakai untuk orang yang sudah
tdak kuat puasa, maka mereka ini harus memberikan makan seorang miskin setiap hari
sebagai gantinya .(HR. Bukhari)”2
2. Hukum Fidyah
Dalam ketetapan syari’ah islam sudah dijelaskan bagaiman hukum dari membayar
fidyah jika kita telah lalai akan kewajiban kita, adapun dari hukum fidyah adalah wajib.
Hal ini berdasarkan ayat al-Qur’an berikut :
HHHH
HHHH a
a a a a
a
a a al i
Artinya:
“….Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin……(Q.S.Al – Baqarah :
184 )”
Adapun hadistnya yang menerangkan tentang fidyah telah diriwayatkan oleh
salamah bin akwa’ ra, yaitu :
Artinya :
2
Ust Labib MZ, Bukhari dan Muslim. Jawa Timur : Amanah..1997, hlm.123.
3. “Diriwayatkan dari salamah bin akwa’ radhiyalluhu ‘anhu, dia telah berkata :
ketika turun ayat : wa’alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha’amu miskin = dan di
wajibkan bagi orang yang tidak berdaya melakukanya ( berpuasa) agar membayar fidyah
( memberi ) makan kepada orang miskin” menyebabkan ada seseorang yang ingin
berbuka (tidak berpuasa) dan membayar fidyah, sehingga kemudian turunlah ayat
berikutnya yang menasakhkannya (HR. Jama’ah kecuali ahmad )”
Hadits diatas menerangkan tentang diwajibkannya berpuasa atas orang yang
mampu melakukanya. Ketika ayat di atas turun, kata “yuthi qunahu = mampu
melakukanya,” mengacaukan pemahaman, sehingga ada orang yang mampu berpuasa,
tetapi ingin membayar fidyah sebagai ganti puasa. Namun kemudian turun ayat
berikutnya :
Artinya :
“Maka barang siapa diantara kamu bertemu dengan bulan ramadhan, maka harus
berpuasa pada bulan itu”.
Dengan adanya hadis dan ayat-ayat sebagai penjelas ini maka semakin jelas dan
tegas, bahwa yang diperbolehkan membayar fidyah adalah orang yang sudah tidak
mampu melakukan puasa. Sedang bagi yang mampu, maka harus berpuasa. Hal ini
dipertegas dengan hadis berikut :
Artinya :
“Dan dari abdul rahman bin abi laila, dari mu’adz bin jabal ( meriwayatkan )
seperti hadis salamah, tetapi disitu terdapat kalimat sebagai berikut : kemudian allah
menurunkan ayat “ maka barang siapa diantara kamu yang menyaksikan bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa”, maka allah menetapkan berpuasa bagi orang muqim yang sehat
dan memberikan keringanan (rukhshah) kepada orang yang sakit dan musafir serta
membayar fidyah bagi orang yang sudah lanjut usia tidak kuat berpuasa (HR. Ahmad dan
Abu Daud )”
3. Orang-Orang Yang Diwajibkan Untuk Membayar Fidyah
1. Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila
berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi
4. makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas,
Abu Hurairah, Anas, Sa'id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats Tsauri dan Auza'i.3
2. Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang
menahun atau penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.
Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua
hal. Pertama, karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua, apa yang telah
diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah
dijelaskan di muka.
Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia
membayar fidyah kemudian Allah menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia
lakukan?
Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan,
karena kewajiban baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah
melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga
menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa.
Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka
membayar fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :
1. Wanita Hamil Dan Wanita Yang Menyusui.
Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena
jika wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan
kandungannya. Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan
berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya.
Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah?
Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.
Pendapat Pertama : Wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah.
Pada pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir
akan dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha` tanpa membayar fidyah. Dan
apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha` dan
membayar fidyah.
3
Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun 1402
H.
5. Dalil dari pendapat ini ialah surat Al Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman
orang yang sakit, bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha` puasa ketika
mereka mampu pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah,
ialah perkataan Ibnu Abbas:
َلْ ُرْ ِ ُ َالْ ُبَْى إ َا َا َي َا َل َ أوْ َ ِ ِ َا أفْ َ َتاَ ََطْ َ َ َا
ا م ضع و ح ل ذ خ ف ت ع ى لدهم طر وأ عمت
"Wanita menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap anak-anaknya, maka
keduanya berbuka dan memberi makan". [HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Irwa'ul Ghalil, 4/18].
Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar; dan
atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al Albani di dalam Irwa'.
Ibnu Qudamah berkata,"Apabila keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia
berbuka, dan hanya wajib untuk mengqadha`. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui
adanya khilaf di antara ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan
dirinya. Namun, jika keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan wajib
untuk mengqadha` dan memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Inilah
yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar dan yang mashur dari madzhab Syafi'i.
Pendapat Kedua : Tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha', akan tetapi wajib
untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.
Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas:
ِإ ّ الَ َ َعَ ال ّييامَ َ ِ الْ ُبَْى َ الْ ُرْ ِع
ن وض ص عن ح ل و م ض
"Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang
menyusui". [HR Al Khamsah].
Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas, bahwa wanita hamil dan
menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan.
Sedangkan Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha', namun hanya
menyebutkan untuk memberi makan.
Pendapat Ketiga : Wajib bagi mereka untuk mengqadha' saja.
Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang
bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha',
karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan. Adapun hadits
"Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui", maka
6. yang dimaksud ialah, bahwa Allah menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi
wajib bagi mereka untuk mengqadha'. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah.
Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha'i. Keduanya berkata tentang
wanita yang menyusui dan hamil, jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka
keduanya berbuka dan mengqadha' (dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya)
Menurut Syaikh Ibnu 'Utsaimin, pendapat inilah yang paling kuat. Beliau (Syaikh
Ibnu 'Utsaimin) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir
terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits
Anas bin Malik Al Ka'bi, dia berkata, Rasulullah telah bersabda:
َ ْإ ّ ال َ َ َعَ َنْ الْ ُ َا ِرِ َطْرَ ال ّ َ ِ َ َنْ الْ ُ َِْى َالْ ُرْ ِعِ ال ّو
صلة وع حبل و م ض ص م ِن ه وض ع مس ف ش
"Sesungguhnya Allah telah menggugurkan dari musafir setengah shalat, dan dari
musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa". [HR Al Khamsah, dan
ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih], akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha'
dari hari yang dia tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut,
seperti orang sakit yang telah sembuh.
Pendapat ini, juga merupakan fatwa dari Lajnah Daimah, sebagaimana akan kami
kutip nash fatwa tersebut dibawah ini.
Pertanyaan Yang Ditujukan Kepada Lajnah Daimah.
Soal : Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya
atau terhadap anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib
baginya? Apakah dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha'? Atau apakah dia
berbuka dan mengqadha', tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar
fidyah dan tidak mengqadha'? Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?
Jawab : Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang
dikandungnya jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya
untuk mengqadha' saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk
berpuasa, atau dia khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa. Allah berfirman:
ََ َن َا َ ِن ُم ّ ِي ًا أوْ ََى َ َرٍ َ ِ ّ ٌ ّنْ َ ّا ٍ ُ َر
فم ك ن م ك مر ض َ عل سف فعدة م أي م أخ
"Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya untuk
mengganti dari hari-hari yang lain".
7. Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya
ketika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia
berpuasa, sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib
baginya untuk mengqadha' saja. Dan semoga Allah memberikan taufiq.
2. Orang Yang Mempunyai Kewajiban Untuk Mengqadha' Puasa, Akan Tetapi
Dia Tidak Mengerjakannya Tanpa Udzur Hingga Ramadhan Berikutnya.
Pendapat Yang Pertama : Wajib baginya untuk mengqadha' dan membayar
fidyah. Hal ini merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi'i, dan Ahmad). Bahkan
menurut madzhab Syafi'i, wajib baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-
ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia belum mengqadha' puasa hingga dua Ramadhan
berikutnya, maka wajib baginya fidyah dua kali).
Dalil dari pendapat ini adalah:
Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
untuk memberi makan dan mengqadha' bagi orang yang mengakhirkan hingga Ramadhan
berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha'if, sehingga
tidak bisa dijadikan hujjah.
Ibnu Abbas dan Abu Hurairah meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan
qadha' hingga datang Ramadhan berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang tersebut,
Red) memberi makan untuk setiap hari kepada seorang miskin.
Pendapat Kedua : Tidak wajib baginya membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa,
sebab mengakhirkan dalam mengqadha' puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah,
dan merupakan pendapat Al Hasan dan Ibrahim An Nakha'i. Karena hal itu merupakan
puasa wajib, ketika dia mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa
fidyah, seperti dia mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda
nadzarnya.
Berkata Imam Asy Syaukani: "Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah
tidak wajib (untuk membayar fidyah)".
Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin: "Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas
dan Abu Hurairah, mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak
wajib untuk membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang benar dalam masalah ini (ialah),
8. tidak wajib baginya kecuali untuk berpuasa, meskipun dia berdosa karena mengakhirkan
dalam menngqadha".
Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur. Berarti, (bagi)
orang yang mengakhirkan mengqadha' hingga Ramadhan berikutnya karena udzur,
seperti karena sakit atau bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga
untuk membayar fidyah.
Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka
dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh
baginya untuk tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut
kemudian dia mati, maka tidak wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya
adalah mengqadha', kemudian mati sebelum mengerjakannya.
Kedua : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak
berpuasa kemudian dia terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum
mengqadha'nya, maka diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia
tinggalkan, diambilkan dari hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk
mengqadha', tetapi karena dia mengakhirkannya hingga mati, maka dibayarkan untuknya
fidyah.
Ketiga : Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka
kewajiban baginya untuk membayar fidyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
4. Jenis dan kadar dari fidyah.
Tidak disebutkan di dalam nash Al Qur`an atau As Sunnah tentang kadar dan
jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita
kembalikan kepada 'urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam
membayar fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin, baik
berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada mereka bahan
makanan sehingga mereka memilikinya.
1 Ukuran Fidyah
9. Ukuran fidyah adalah satu ukuran sekali makan untuk setiap hari puasa yang
ditinggalkan tersebut. Ukurannya adalah ½ sha’ atau satu mud.4
Satu Sha' jika dikonversikan dengan kilogram adalah antara 2,2 kg atau 2,5 kg,
atau 3 kg (perbedaan ini menurut perbedaan tarjih para ulama). Sedangkan satu mud
sama dengan 1/4 sha' nabawy atau 1/5 sha' penduduk Qashim (satu wilayah di Saudi
Arabia) sekarang.
Khusus untuk fidyah untuk haji adalah ada tiga alternatif:
1. Berpuasa 3 hari;
2. Memberi makan 6 orang miskin;
3. Menyembelih hewan ternak.
Adapun dalilnya adalah:
Firman Allah:
َ ّامًا َعْ ُو َاتٍي َ َنْي َانَي ِنْ ُمْي َ ِيضًا أوْ ََى سَيَرٍ َ ِ ّ ٌ ِنْي َ ّامٍي ُ َ َ و ََى اّ ِينَي ُ ِي ُو َهُي
َ عل ف فعدة م أي أخر َعل لذ يط ق ن أي م د د فم ك م ك مر
ف ية طع م م ك ن فم تطو خ ر فه خ ر له وأ تص م خ ر لك إ ك ت ت لم ن
َ ِدْ َ ٌ َ َا ُ ِسْ ِي ٍ َ َنْ َ َ ّعَ َيْ ًا َ ُوَ َيْ ٌ َ ُ ََنْ َ ُو ُوا َيْ ٌ َ ُمْ ِنْ ُنْ ُمْ َعَْ ُو
Artinya:
“ (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui”
Dengan turunnya ayat tersebut maka Rasulullah bersabda:
“Siapa yang meninggal dunia sedangkan ia memiliki hutang puasa, maka
hendaklah diberikan makanan kepada seorang miskin per hari untuk orang tersebut.” HR.
Ibn Majah dari Ibn Umar, Tirmidzi mengatakan: “Yang shahih/benar tentang hadits Ibn
Umar adalah mauquf.”
Dari Aisyah, ia berkata:
“Memberikan makan atas nama orang yang meninggal tersebut sebagai qadha atas
puasa Ramadhannya, dan tidak dipuasakan.”
4
Prof.Dr, Amir Syarifuddin, Garis – Garis Besar Fiqih. Jakarta Prenada Media, 2003,hlm.18
10. Dan Ibn Abbas ketika ditanya tentang seorang laki-laki yang meninggal,
sementara ia memiliki hutang nadzar puasa satu bulan dan hutang puasa Ramadhan 1
bulan, maka ia menjawab: “Adapun puasa ramadhan yang terhutang, maka lunasilah
dengan membayarkannya dalam bentuk makanan, adapun nadzarnya, maka puasakanlah
untuknya.” HR. Al-Atsram dalan Al-Sunan.
Apabila seseorang tidak bisa mengqadha puasanya karena udzur yang dibenarkan
syariat, hingga ia meninggal dunia, maka tidak ada beban apapun atasnya. Hal ini karena
puasa adalah hak Allah, ia diwajibkan berdasarkan syariat, akan tetapi ia meninggal
sebelum tertunaikan kewajibannya. Maka, siapapun yang diwajibkan dari sesuatu
sebelum ada kemampuan maka gugurlah kewajiban itu tanpa harus menggantinya, seperti
misalnya juga haji. (Jika seseorang tidak mampu menunaikan haji, walaupun ia rukun
Islam kelima, namun seseorang tidak ada kewajiban apapun atas rukun Islam ini kecuali
kalau memiliki kemampuan.
Namun, jika ia meninggal dan belum menunaikan qadha puasa tanpa udzuar,
maka hendaklah ditunaikan qadhanya berupa pemberian makan kepada seorang miskin
per hari sesuai jumlah hari yang ditinggalkannya. Hal ini berdasarkan hadis Ibn Umar,
Aisyah, dan Ibn Abbas.
Siapa yang tidak berpuasa ramadhan karena sudah tua-renta, ataupun sakit yang
sulit diharapkan kesembuhannya, maka hendaklah ia memberi makan kepada seorang
miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya.
Adapun dalil fidyah dalam urusan haji adalah firman Allah:
AAAAAA
AAAAA
d d
d
d d
d d
d
d d a pu
11. Artinya:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. Jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah
didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu
ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau
berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan
`umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar
fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidilharam
(orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.. Q.S. Al-Baqarah: 196.”
Dalil kedua adalah hadits ibn Ujrah yang terluka di kepalanya, maka Rasulullah
bersabda: “Maka fidyahnya adalah puasa 3 hari, atau memberi makan 6 orang miskin,
atau menyembelih kambing”. HR. Muttafaq Alaih
Apa yang diberikan dan berapa?
Tidak ada ketentuan atau batasan yang jelas, maka hal ini kita kembalikan kepada
kebiasaan. Anas ibn Malik ketika sudah tua pernah mengumpulkan 30 orang fakir dan
memberi mereka makan dengan roti beserta lauknya HR. Bukhari dalam tafsirnya 3/197.
Maka jika seseorang memberi makan siang atau makan malam kepada seorang miskin,
maka itu sudah cukup untuk disebut sebagai fidyahnya atas puasa yang ia tinggalkan itu.
Sebagian ulama mengatakan: “Cara demikian tidak sah, yang benar adalah memberi
bahan makanan pokok. Oleh karena itu, mereka mengatakan: tidak boleh tidak, harus
memberi dalam bentuk 1 mud gandum atau ½ sha’ bahan makanan pokok. (1 sha’ adalah
3 kg; 1 mud adalah ¼ sha’. Lihar detailnya dalam kamus zakat di www.siwakz.net).
Sebagian ulama lainnya mengatakan ½ sha’ dari bahan makanan pokok apapun.
Apa yang dimaksud dengan ½ sha’?
Apakah ½ sha’ ini ukuran yang dikenal menurut masyarakat setempat ataukah
menurut ukuran di zaman Nabi SAW? Jawaban kami adalah: “tidak ada seorang pun
12. sepengetahuan kami dari seluruh ulama, yang mengatakan ukuran sha’ adalah menurut
masyarakat setempat”. Jadi yang benar adalah menurut ukuran sha’ di zaman Nabi SAW.
Dari sini sudah jelas bagaimana ukuran sha’ yang sebenarnya.
Sebagian ulama ada yang membolehkan ukuran dengan ukuran sha’ daerah
qashim, namun tatkala kami lihat ukurannya, ternyata 1 sha’ daerah qashim lebih banyak
dari 1 sha’ zaman Nabi sebanyak 0,25-nya, sebab sha’ kita (Qashim) ternyata 5 mud,
sedangkan sha’ nabawy hanya 4 mud.
Ketentuan tentang jumlah pembayaran fidyah yaitu, sebanyak setengah sha’ biji
gandung atau uang senilai itu. Fidyah, baru boleh dilakukan jika orang yang bersangkutan
tidak mampu berpuasa sepanjang hidupnya. Adapun fidyah boleh berupa satu mud
makanan yang mengenyangkan untuk setiap hari. Dan banyaknya fidyah disesuaikan
dengan jumlah puasa yang tidak dilakukan oleh orang tersebut.
Pendapat Ulama Tentang Kadar Dan Jenis Fidyah.
Berkata Imam An Nawawi: "(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud
dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka
yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini
pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti
makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan
untuk memilih di antara jenis makanan yang ada".5
Imam An Nawawi juga berkata: "Tidak sah apabila membayar fidyah dengan
tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak
sah) jika membayar fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar
fidyah) dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan.
Fidyah tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud
terpisah dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu
orang dan dari fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja".
Ukuran Satu Mud.
Satu mud adalah seperempat sha'. Dan sha' yang dimaksud ialah sha' nabawi,
yaitu sha'-nya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha' nabawi sebanding dengan 480
(empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama
5
Prof. Dr Hasbi, Hukum – Hukum Fikih Islam. Jakarta : Bulan Bintang. 1991, hlm.27
13. dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud
adalah 510 gram.
Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha' nabawi adalah empat
mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha' nabawi sama dengan 3000
gram.
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa
satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah
menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya
adalah setengah sha' (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang
melebihkan di dalam memberi makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan
kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.
5. Bagaimana Cara Membayar Fidyah
Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.6
Pertama : Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang
miskin sejumlah hari-hari yang dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh
sahabat Anas bin Malik ketika beliau tua.
Disebutkan dari Anas bin Malik, bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu
untuk berpuasa pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid
(roti). Kemudian beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka
makan hingga kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Irwa'ul Ghalil).
Kedua : Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak.
Para ulama berkata: "Dengan satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha' dari
selainnya. Akan tetapi, sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari
daging, atau selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allah yang telah
disebutkan".
6
Ibid, hlm.121
14. 6. Waktu membayar fidyah.
Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka membayar
fidyah untuk seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka
mengakhirkan hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat
Anas ketika beliau tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan,
karena hal itu seperti mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya'ban.
7. Penyebab dikenai denda (Fidyah)
Dari semua penjelasan diatas maka terdapat beberapa penjelasa tentang penyebab
– penyebab terjadinya fidyah, antara lain :7
a) Tidak mampu berpuasa, orang yang tidak mampu berpuasa wajib
mengeluarkan fidyah seperti orang tua renta yang merasa berat berpuasa atau puasa akan
membuatnya menderita kesulitan yang sangat berat orang tua renta yang tidak mampu
berpuasa ini boleh berbuka, dan sebagai tebusan, dia harus memberi makan seorang
miskin untuk tiap hari. Adapun tercantum dalam hadist yang diriwayatkan oleh Dar al-
Quthni dan al-hakim yang mengatakan :
Artinya :
“Diberi keringanan orang tua renta untuk berbuka dan memberi makan seorang
miskin untuk setiap harinya dan tidak ada kewajiban qadha atasnya . (HR. Daraquthni
dan hakim ) ”
Orang tua renta (hamm) menanggung bebanya sendiri. Jika dia tidak mampu
memberi makan orang miskin. Dia tidak berkewajiban apapun, hal ini berdasarkan ayat
berikut :
Artinya :
AA r r
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
( QS. 2 : 286”)
Orang tua yang tidak mampu berpuasa dan tidak mampu memberi makan itu
hendaknya meminta ampun kepada allah dan memohon agar allah menerima dirinya.
Maksudnya, agar orang tadi meminta ampunan kepada allah atas ketidakmampuannya
7
Agus Effendi, Puasa dan Itikaf Kajian Berbagai Madzab, Bandung : Remaja Rosda Karya, ,
1995, hlm.133.
15. memenuhi hak allah. Adapun orang sakit yang mati tidak berkewajiban memberi makan.
Karena jika pemberian makan itu di wajibkan kepadanya, berarti membebani orang mati
dengan kewajiban. Lain halnya, jika orang tersebut sebelum kematiannya memiliki
kemampuan untuk berpuasa tetapi tidak melakukan sampai akhir hayatnya. Kewajiban
memberi makan ini disandarkan kepadanya ketika dia masih hidup
b) fidyah diwajibkan atas orang sakit yang kesembuhannya tidak bisa diharapkan. Sebab,
sebagaimana telah dijelaskan diatas, orang sakit seperti ini sudah tidak berkewajiban
berpuasa lagi. Yakni berdasarkan ayat berikut :
e e
Artinya :
“dia sekali – kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan
( Q.S.22 : 78 )”
serta berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh imam ahmad ibn hambal yang
artinya :
“ orang sakit yang tiada diharapkan sembuh, dan orang yang telah sangat tua, tidak
dikenankan puasa atasnya, hanya diwajibkan fidyah saban hari satu mud” (HR.Imam
ahmad )
c) Orang yang mengandung atau orang yang sedang hamil
Fidyah juga diwajibkan bersamaan dengan qadha kepada perempuan hamil atau
perempuan menyusui yang menghawatirkan dirinya ( tanpa anaknya). Telah diriwayatkan
dari imam ahmad dan asy syafi’I, bahwa apabila wanita hamil dan wanita yang menyusui
anaknya itu khawatir atas anaknya saja, dan mereka meninggalkan puasa ( berbuka),
maka wajiblah mereka mengqadha dan membayar fidyah. Namun apabila hanya khawatir
atas dirinya saja, atau khawatir atas dirinya dan sekaligus anaknya, maka mereka hanya
wajib mengqadha’, tidak lainnya .adapun wanita hamil dan wanita yang menyusui maka
mereka tergolong orang – orang yang mempunyai udzur ( halangan) mendadak yang
sewaktu-waktu sirna. Maka mereka di wajibkan mengqadha’ .
Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari anas bin malik al- ka’bi berikut :
Artinya :
“Sesungguhnya allah meletakkan setengah shalat dari musafir serta puasa dari
perempuan hamil dan perempuan menyusui. Demi allah, kedua pernyataan ini telah
16. disabdakan oleh rasulluh SAW, baik salah satunya maupun keduanya. (HR. Anas bin
malik Al-Ka’bi )”
Artinya :
“Dari ikrimah sesungguhnya ibnu ‘abbas berkata : bahwa ayat tersebut ditetapkan
untuk perempuan hamil dan yang sedang menyusui ( HR. Abu Daud )”
Adapun wanita hamil dan wanita menyusui, yang keduanya mengkhawatirkan anaknya,
boleh berbuka tetapi mereka harus memberi makan fakir miskin.
Hal ini dipertegas pada hadist rasulullah SAW yang menyatakan :
Artinya :
“Sungguh allah ‘azza wa jalla telah membebaskan puasa dan separoh sholat bagi
orang yang berpergian, serta membebaskan puasa dari orang yang hamil dan menyusui.
(HR.Lima ahli hadist dari anas bin malik ka’bi)”
Artinya :
“Dari ibnu abbas, bahwa ia berkata, “ditetapkan bagi orang yang mengandung dan
menyusui untuk berbuka (tidak puasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada
orang miskin setiap harinya “ (HR. Abu dawud dari ibnu abbas, r.a )”
Alasan lainnya, karena mereka membatalkan puasanya demi seseorang yang
lemah yang masih berada dalam proses pembentukan oleh karena itu, keduanya wajib
membayar fidyah, seperti halnya orang tua yang sudah renta.
d) Orang yang meremehkan pengqadhaan puasa ramadhan.
Fidyah bersama qadha juga diwajibkan kepada orang yang meremehkan
pengqadhaan puasa ramadhan. Misalnya, orang yang menangguhkan pengqadhaan
puasanya sampai ramadhan berikutnya tiba. Jumlah fidyah ini disesuaikan dengan jumlah
puasa yang ditinggalkan. Pewajiban fidyah kepada orang seperti ini, berdasarkan
pengiasan kepada orang yang membatalkan puasa secara sengaja. Keduanya meremehkan
kesucian puasa. Kafarat tidak diwajibkan kepada orang yang uzurnya terus berlangsung,
baik uzur berupa sakit, melakukan perjalanan, gila, mengeluarkan darah haid maupun
mengeluarkan darah nifas. Adapun hadisnya antara lain yang artinya “ Anak kecil yang
belum sanggup berpuasa dan orang gila yang terus –menerus, tidak diberatkan puasa
atasnya (H.R. Imam Mujtahidin) dan hadis yang artinya “ tidak wajib atas orang gila
17. mengqadhai puasa yang ketinggalan selama gilanya itu” (H.R Abu Hanifah )
8. Pelipat Gandaan Fidyah
Fidayah yang ditangguhkan sampai bulan ramadhan berikutnya tiba tidak
melahirkan pelipat gandaan sesuai dengan jumlah penundaan tahunnya. Fidyah itu seperti
halnya budud yang bias dilakukan kapan saja. Sedangkan, menurut pendapat madzab
syafi’I, fidyah yang dipertangguhkan sampai bulan ramadhan berikutnya tiba akan
melahirkan kewajiban baru. Karena, hak-hak material tidak bias dilakukan pada
sembarang waktu.
Adapun ayat Al-Qur’an menerangkan bahwa :
AAAA
AAAA d
d d d d
d
d d d a pu
Artinya:
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.
Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui..”(Q.S.Al-baqarah : 184 )
Dengan demikian, pengqadhaan puasa boleh dilakukan secara lambat bahkan
seseorang boleh melakukan puasa tathawwu’. Sebelum puasa wajibnya selesai di qadha.
Dengan kata lain, orang yang menangguhkan pengqadhaan puasanya tidak berkewajiban
apa-apa. Lagi pula, pengiasan dalam kafarat tidak bias dilakukan meskipun demikian.
C. Kesimpulan
Fidyah adalah denda yang diberikan bagi seseorang sebab ia meninggalakn
kewajiban dengan cara memberi makan orang miskin. Fidyah Adalah pemberian bahan
makanan pokok atau makanan siap saji kepada orang miskin (fakir atau miskin) karena
meninggalkan puasa Ramadhan dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat Ukuran
18. fidyah adalah satu ukuran sekali makan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan
tersebut. Ukurannya adalah ½ sha’ atau satu mud.
Satu Sha' jika dikonversikan dengan kilogram adalah antara 2,2 kg atau 2,5 kg,
atau 3 kg (perbedaan ini menurut perbedaan tarjih para ulama). Sedangkan satu mud
sama dengan 1/4 sha' nabawy atau 1/5 sha' penduduk Qashim (satu wilayah di Saudi
Arabia) sekarang.
Khusus untuk fidyah untuk haji adalah ada tiga alternatif:
1. Berpuasa 3 hari;
2. Memberi makan 6 orang miskin;
3. Menyembelih hewan ternak.an .
Penyebab fidyah diantaranya :
- Orang tua renta yang tidak mampu untuk berpuasa
- Orang sakit yang kesembuhannya tidak dapat diharapkan
- Orang yang mengandung / orang yang sedang hamil
- Orang yang merehkan pengqadhaan puasa ramadhan
Dari ini semua sudah jelaslah bahwasanya kita sejak lahir sudah dikenai kewajiban-
kewajiban, dan jika lalai ada hukumnya tersendiri, salah satunya ialah membayar denda.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz, Bin, Faisal, Muhtasar Nailul Authar 3 Himpunan Hadits –Hadits Hukum,
1993, Surabaya : Bina Ilmu,
19. Effendi, Agus, Puasa dan Itikaf Kajian Berbagai Madzab, Bandung : Remaja Rosda
Karya, 1995.
MZ, Labib, Ust.Bukhari dan Muslim. Jawa Timur : Amanah. 1997.
Syarifuddin, Amir, Prof.Dr, Garis – Garis Besar Fiqih. Jakarta : Prenada Media, , 2003.
Kamal, Dr, Mustafa, Dkk, Fikih Islam, Jakarta : Citra Karya Mandiri. 2000.
Hasbi, Prof. Dr. Hukum – Hukum Fikih Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
Ali Ash – Shabuni. Muhammad, Syaikh, Rawai’ul Bayan, Semarang : CV. Asy –Syifa’.,
1993.
Mansyur, kahar, kh, Bulughul maram. Jakarta : Rineka Cipta, 1992.
s. Praja, Juhaya. Prof .dr, Tafsir Hikmah. Bandung : Remaja Rosda Karya. 2000.
Mahalli, Mudjab, Ahmad, KH., Hadis-Hadis Mutafaq’ Alaih, Jakarta : Prenada Media,
2003.
Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun
1402 H.
Fat-hul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar. Cet. Dar Al Ma'rifah, Beirut.