1. Petunjuk Menunaikan Zakat Fitrah
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, rahmat bagi semesta alam, juga kepada keluarga dan para
sahabatnya.
Zakat fitrah adalah zakat/sedekah yang diwajibkan untuk dikeluarkan dengan selesainya puasa
bulan Ramadhan. Hal ini sebagai pembersih bagi seorang shaim atas puasanya dari perbuatan
sia-sia dan perkataan buruk. Di samping itu, juga sebagai bentuk belas kasih kepada orang-orang
miskin agar mereka memiliki kecukupan saat hari bahagia (hari raya) sehingga tidak meminta-
minta.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, ia berkata:
هالل ْنِم ِمِئاهصلِل ًةَرْهُط ِ
رْطِفْال َةاَكَز َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ ه
اَّلل ىهلَص ِ ه
اَّلل ُلوُسَر َ
ضَرَف
، ِوْغ
، ِثَفهالر َو
هصال َدْعَب اَههادَأ ْنَمَو ، ٌةَلوُبْقَم ٌةاَكَز َيِهَف ِة َ
َلهصال َلْبَق اَههادَأ ْنَمَف ، ِينِكاَسَمْلِل ًةَمْعُط َو
ِة َ
َل
ِتاَقَدهصال ْنِم ٌةَقَدَص َيِهَف
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang
yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan buruk, dan sebagai makanan untuk orang-
orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat 'Ied, maka terhitung sebagai zakat
yang diterima; dan barangsiapa menunaikannya sesudah shalat, maka terhitung sebagai sedekah
sebagaimana sedekah lainnya." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan Imam al-hakim.
Namun yang lebih kuat statusnya adalah hasan)
Siapakah yang wajib mengeluarkannya?
Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu, berkata:
2. َ
ضَرَف
ِ ه
َّللَا ُلوُسَر
–
وسلم عليه هللا صلى
–
َص ْ
وَأ , ٍ
رَْمت ْنِم اًعاَص , ِ
رْطِفْلَا َةاَكَز
ْنِم اًعا
ِ
رُحْال َو ِدْبَعْلَا ىَلَع : ٍ
يرِعَش, َو ,َينِمِلْسُمْلَا َنِم , ِ
يرِبَكْال َو , ِ
يرِغهصال َو ,ىَثْنُ ْ
اْل َو , ِ
رَكهذال َو
َرَمَأ
ِوجُرُخ َلْبَق هىدَؤُت ْنَأ اَهِب
ِة َ
َلهصلَا ىَلِإ ِ
اسهنلَا
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau
satu sha' gandum, atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang
besar dari kalangan orang Islam. Dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-
orang pergi menunaikan shalat ('idul Fitri)." (Muttafaq Alaih)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menerangkan dalam hadits di atas bahwa zakat fitrah
diwajibkan atas semua orang Islam, besar ataupun kecil, laki-laki atau perempuan, dan orang
merdeka atau hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil ditanggung zakatnya oleh walinya.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat
dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju pada walinya. Dengan demikian,
kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi
kewajiban yang menanggung nafkahnya, ini merupakan pendapat jumhur ulama." (Fathul Bari
3/369; lihat at-Tamhid 14/326-328, 335-336).
Nafi' radliyallahu 'anhu mengatakan: "Dahulu Ibnu 'Umar menunaikan zakat anak kecil dan
dewasa, sehingga dulu, dia benar-benar menunaikan zakat anakku." (Shahih, HR. Bukhari)
Sementara budak –yang pada dasarnya tidak memiliki sesuatu sehingga Jumhur ulama
berpendapat tidak wajib atasnya- ditanggung oleh tuannya, berdasarkan hadits Ibnu Umar
Radhiyallahu 'Anhuma: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mewajibkan zakat fitrah
sebanyak satu sha' kurmadan satu sha' gandum atas setiap budak atau orang merdeka, anak kecil
atau orang dewasa."
Demikian juga bagi budak/hamba sahaya, zakatnya diwakilkan oleh tuannya. (Fathul Bari
3/369).
Apakah selain muslim terkena kewajiban zakat?
Zakat fitrah hanya wajib atas orang muslim. Karena ia bagian dari ibadah dan pembersih bagi
orang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan tercela. Oleh sebab itu, orang kafir bukan
termasuk golongan yang wajib berzakat. Dan secara umum, Islam menjadi syarat diterimanya
amal shalih seseorang, sehingga ia menjadi syarat menurut Jumhur ulama. Dan disiksanya
mereka diakhirat hanyalah karena meninggalkannya. Karenanya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda dalam hadits Ibnu Umar di atas, "dari kalangan orang Islam."
Bagaimana dengan anak yang kafir, apakah ayahnya yang muslim berkewajiban mengeluarkan
zakatnya?
Jawabnya: Tidak. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberikan catatan pada ujung
hadits di atas, bahwa kewajiban itu berlaku bagi orang Islam. walaupun dalam hal ini ada juga
3. yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun, pendapat tersebut tidak kuat, karena tidak
sesuai dengan dzahir hadits.
Apakah janin wajib dizakatkan?
Janin tidak wajib dizakati. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah
kepada anak kecil, sedangkan janin tidak disebut anak kecil, baik dari sisi bahasa maupun adat.
Bahkan Ibnul Mundzir rahimahullah menukilkan ijma' tidak diwajibkannya zakat fitrah atas
janin. Walaupun juga, ada yang berpendapat bahwa janin tetap dizakati. Seperti sebagian riwayat
Imam Ahmad dan Ibnu Hazm dengan catatan bahwa janin tersebut sudah berumur 120 hari.
Pendapat lain dari Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena
tidak sesuai dengan hadits.
Orang tidak mampu apa wajib zakat?
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: "Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu
melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut tidak gugur
darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak mampu semenjak
kewajiban itu mengenainya." (Badai'ul Fawaid 4/33).
Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan:
"Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan
siangnya, maka tidak berkewajiban membayar zakat fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari
makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat
fitrah)." (ad-Darari 1/365, ar-Raudhatun Nadiyyah 1/553, lihat pula fatawa Lajnah Daimah
9/369).
Dalam bentuk apa zakat fitrah dikeluarkan?
Dalam hal ini dijelaskan oleh hadits Abu Sa'id al-Khudri radliyallah 'anhu, berkata: "Kami
memberikan zakat fitrah di zaman nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebanyak 1 sha' dari
makanan, I sha' kurma, 1 Sha' gandum, ataupun 1 Sha' kismis (anggur kering)." (HR. Bukhari
dan Muslim).
Kata "makanan" maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri, bisa berupa gandum,
jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa'id yang lain,
beliau mengatakan: "Kami mengeluarkan (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pada hari 'Idul Fitri." Beliau mengatakan lagi, "dan makanan kami
pada saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, kurma." (HR. Bukhari).
Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk memberikan makan bagi fakir dan miskin. Sehingga
seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang
tepat.
4. َس َو ِهْيَلَع ُ ه
اَّلل ىهلَص ِ ه
اَّلل ُلوُسَر َ
ضَرَف
َو ِوْغهالل ْنِم ِمِئاهصلِل ًةَرْهُط ِ
رْطِفْال َةاَكَز َمهل
ِثَفهالر
ِينِكاَسَمْلِل ًةَمْعُط َو
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang
yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan buruk, dan sebagai makanan untuk orang-
orang miskin." (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)
Inilah pendapat yang kuat yang dipilih jumhur (mayoritas) ulama. Di antaranya pendapat Imam
Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Mundzir, Ibnul Qayyim, Ibnu
Bazz, dan lainnya.
Ada juga pendapat yang membatasi zakat fitrah hanya dalam bentuk yang disebutkan dalam
hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Ini hanya salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Namun, pendapat ini lemah.
Bolehkah mengeluarkannya dalam bentuk uang?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Pendapat Pertama, tidak boleh
mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Imam Malik, asy-Syafi'i, Ahmad, dan
Abu Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehinga tak
boleh menyelisihinya. Zakat juga tidak lepas dari bagian ibadah, maka yang seperti ini
bentuknya harus mengikuti perintah Allah subhanahu wata'ala. Selain itu, jika dengan uang
maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih
selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebutkan dalam hadits.
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, "Ucapan-ucapan Imam Syafi'i sepakat bahwa tidak
boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang)." (al-Majmu': 5/401).
Abu Dawud rahimahullah mengatakan, "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya: 'bolehkan saya
memberi uang dirham –yakni dalam zakat fitrah-?' beliau menjawab: 'saya khawatir tidak sah,
menyelisihi sunnah Rasulullah'."
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, "Yang tampak dari Madzhab Ahmad bahwa tidak
boleh mengeluarkan uang pada zakat (fitrah)." (al-Mughni, 4/295).
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, Muhammad bin Shalih al-
Utsaimin, dan Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahumullah. (lihat Fatawa Ramadlan, 2/918-928).
Pendapat Kedua, boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang
wajib ia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada beda antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah. Dan pendapat pertama itulah yang kuat.
Atas dasar itu, bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka
amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil
5. tersebut membelikan beras, misalnya, untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara' dalam
bentuk beras, bukan uang.
Namun, sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi
tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika hal itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan
lebih mempermudah bagi orang kaya.
Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau berkata, "boleh mengeluarkan uang
dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun dan
tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia
tidak perlu membeli kurma atau gandum terlebih dahulu. Imam Ahmad telah menyebutkan
kebolehannya." (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380).
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa (25/82-83), "yang kuat dalam masalah ini bahwa
mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh . . . . .
karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka boleh jadi si pemilik akan
mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi juga dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang
merugikan. . . . Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan
maka tidak mengapa . . . ."
Ibnu Taimiyyah: "yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan
tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh." Pendapat ini dipilih oleh Syaikh al-Albani
rahimahullah sebagaimana disebutkan dalam Tamamul Minnah. (hal. 379-380).
Jika memilih pendapat ini, yang perlu diperhatikan, haruslah sangat memperhatikan sisi maslahat
yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat
menggampangkan masalah ini.
Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah (III/109) mengatakan, "Pada dasarnya
mengeluarkan zakat fitrah harus berdasarkan nash yang ada. Tidak boleh diganti dengan
harganya kecuali karena darurat, kebutuhan, atau mashlahat yang dominan. Apabila demikian
maka boleh mengeluarkan dengan harganya."
Ukuran yang dikeluarkan
Dari hadits-hadits yang lalu, jelas sekali bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menentukan
ukuran zakat fitrah adalah 1 sha'. Tapi berapa 1 sha' itu?
1 sha' sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 Mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang
berukuran sedang. Lalu berapa bila diukur dengan kilogram (Kg)? Tentu yang demikian ini tidak
bisa tepat dan hanya bisa diperkirakan/ditaksir. Oleh karenanya, ulama pun berbeda pendapat
ketika mengukurnya dengan kilogram. Dalam Shahih Fiqih Sunnah, 1 sha': 2, 157 Kg.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Bazz memperkirakan 3 Kg. (Fatawa al-Lajnah, 9/371).
6. Adapun Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 Kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429).
Siapa penerima zakat fitrah?
Para ulama berselisih tentang siapa yang berhak menerima zakat fitrah dalam dua pendapat:
Pertama, Zakat fitrah hanya diberikan kepada fuqara' dan orang-orang miskin berdasarkan nash
yang menyebutkan tentang hikmahnya, "Dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin." Dan
penyebutan secara khusus ini menjadi dalil bahwa yang berhak menerima zakat fitrah adalah
kaum miskin, bukan selain mereka. (Lihat Ithaf al-Kiram, ta'liq atas Bulughul Maram,
Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri: 177)
Ini adalah pendapat Malikiyah dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Majmu' Fatawa: 25/72.
Kedua, penerima zakat fitrah adalah delapan golongan penerima zakat. Ini adalah pendapat
jumhur ulama, kecuali Malikiyah. Di antara alasannya, disebutkannya sebagaian ashnaf
(penerima zakat), tidak berarti menghususkan pada mereka saja.
Pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah pendapat pertama, demikian menurut pengarang Shahih
Fiqih Sunnah. Alasannya, karena selaras dengan disyariatkannya zakat fitrah, yaitu sebagai
"makanan bagi orang-orang miskin."
Alasan lainnya, karena zakat fitrah serupa dengan kafarah. Yakni sebagai penebus atas
kekurangan dan aib dalam pelaksanaan ibadah shiyam. Karenanya, tidak sah kecuali diberikan
kepada orang yang berhak menerimanya. Wallahu Ta'ala A'lam.
1. Bacaan Doa mengeluarkan Zakat Fitrah :
ْلا َةَاكَز َج ِرْخُأ ْنَأ ُْتيَوَن
ىَلاَعَت ِهللِ اًضْرَف ْىِسْفَن َْنع ِرْطِف
Di eja : Nawaitu an-ukhrija zakaatal fithri 'annafsii fardhan lillahi ta'aalaa
Artinya : "Saya berniat mengeluarkan zakat fitrah pada diri saya wajib karena Allah ta'ala"
2. Bacaan Do’a Menerima Zakat fitrah :
ا ًرُْوهَط َكَل ُهللا َلَعَجَو َْتيَقْبَا اَمْيِف َكَارَبَو َْتيَطْعَا اَمْيِف ُهللا َكَرَجاَء
Artinya : "Sengaja Allah senantiasa memberi pahala kepada engkau, pada barang yang telah
engkau berikan dan mudah-mudahan allah memberikan berkah kepada engkau pada apa saja
yang tinggal pada engkau serta mudah-mudahan dijadikannya kesucian bagi engkau"
Dengan mengingatkan kembali Bacaan do’a mengeluarkan zakat fitrah dan bacaan do’a
menerima Zakat fitrah ini semoga bisa bermanfaat.
Mohon maaf jika ada kata atau arti yang salah.
Do'a Mengeluarkan Zakat Fitrah - Do'a Menerima Zakat Fitrah
7. Bacaan Niat Serta Do'a Membayar Dan Menerima Zakat Fitrah.
Beberapa artikel khusus untuk bulan Ramadhan seperti Kumpulan Ucapan
Selamat Hari Raya, Doa Niat Puasa dan Doa Berbuka, Jadwal Imsakiyah
Puasa Ramadhan 1433 Hijriah dan banyak lagi artikel lainnya telah kami
Share.
Melanjutkan Artikel Kartu Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri 2012 kami
Share Bacaan Niat Serta Do'a Membayar Dan Menerima Zakat Fitrah. Zakat
Fitrah Wajib Hukumnya bagi yang mendapati waktu terbenamnya matahari
akhir Bulan Ramadhan dan menuruti awal Bulan Syawal.
Bagi orang yg menanggung nafkah keluarganya, maka zakat fitrah yg wajib
ia nafkahi adalah tanggung jawabnya.
Kadar yg harus dikeluarkan untuk zakat fitrah yaitu 3 liter beras atau setara
dengan 2.5 kg makanan pokok penduduk setempat atau uang seharga beras
2.5 kg tersebut.
Bacaan Niat Zakat Fitrah untuk diri Sendiri:
"NAWAITU AN-UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘ANNAFSII FARDHAN LILLAHI
TA’AALAA"
Artinya : "Saya berniat mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya Fardhu
karena Allah Ta'ala"
Bacaan Niat Zakat Fitrah Untuk Istri :
8. "NAWAITU AN-UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘AN ZAUJATII FARDHAN LILLAHI
TA’AALAA"
Artinya : "Saya berniat mengeluarkan zakat fitrah atas Istri saya Fardhu
karena Allah Ta'ala"
Bacaan Niat Zakat Fitrah Untuk anak laki atau Perempuan :
"NAWAITU AN-UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘AN WALADII… / BINTII…
FARDHAN LILLAHI TA’AALAA"
Artinya : "Saya berniat mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya
(sebut namanya) / anak perempuan saya (sebut namanya), Fardhu karena
Allah Ta'ala"
Bacaan Niat Zakat Fitrah Untuk Orang yang kita wakili :
"NAWAITU AN-UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘AN (……) FARDHAN LILLAHI
TA’AALAA"
Artinya : "Saya berniat mengeluarkan zakat fitrah atas.... (sebut nama
orangnya), Fardhu karena Allah Ta'ala"
Bacaan Niat Zakat Fitrah untuk diri sendiri dan untuk semua orang
yang ia tanggung nafkahnya.
9. "NAWAITU AN-UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘ANNII WA ‘AN JAMII’I MAA
YALZAMUNII NAFAQAATUHUM SYAR’AN FARDHAN LILLAHI TA’AALAA"
Artinya : "Saya berniat mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya dan atas
sekalian yang saya dilazimkan (diwajibkan) memberi nafkah pada mereka
secara syari’at, Fardhu karena Allah Ta'ala"
Akan tetapi kita Niat cukup dalam hati saja boleh, tapi baiknya dilafalkan
saat menyerahkan zakat kepada yang berhak, amil, atau wakil.
Apabila kita tidak bisa membaca seperti niat di atas maka kita cukup dengan
lafal :
Saya berniat mengeluarkan Zakat Fitrah Saya / Anak Saya / Istri Saya /
atau siapapun Fardhu karena Allah.
Do'a mengeluarkan zakat fitrah :
Artinya : "Ya Allah Jadikanlah ia sebagai simpanan yang menguntungkan
dan jangan jadikan pemberian yang merugikan"
Do'a yang menerima zakat fitrah:
10. Artinya : "Semoga Allah memberi pahala atas apa yg telah kau berikan,
menjadikannya penyuci (jiwa dan harta) untukmu, dan melimpahkan berkah
terhadap harta yg tersisa."
11. Boleh BerpuasaHari Asyura pada Hari Sabtu
Kategori: Fiqh dan Muamalah
2 Komentar // 24 November 2012
Sebagian
ulama berpendapat bahwa boleh berpuasa hari Asyura meskipun bertepatan
hari Sabtu,
dan sebagian yang lain berpendapat bahwa berpuasa hari sabtu
dilarang kecuali puasa wajib
.
Pendapat yang kedua berdalil:
ِهِتْخُأ ْنَع ِىِمَلُّسال ٍرْسُب ِْنب ِ اَّلله ِدْبَع ْنَع
–
َلاَق َو
ِاءهمهصال ُدي ِزَي
–
هىِبهنال هنَأ
-
وسلم عليه هللا صلى
-
َلاَق
«
هالِإ ِتْبهسال َم ْوَي واُموُصَت َال
ُهْغُضْمَيْلَف ٍة َرَجَش َدوُع ْوَأ ٍةَبَنِع َءاَحِل هالِإ ْمُكُدَحَأ ْد ِجَي ْمَل ْنِإ َو ْمُكْيَلَع َض ِرُتْفا اَميِف
.»
Artinya: “Abdullah bin Busr As Sulamy meriwayatkan dari saudarinya – Yazid berkata: “Ia
adalah Ash Shama’”- bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan
kalian berpuasa pada hari sabtu kecuali dalam hal yang diwajibkan atas kalian, dan jika salah
satu kalian tidak mendapatkan satu butir kurma atau satu ranting pohon maka hendaklah ia
menggigitnya.” HR. Abu Daud dan dihasankan oleh At Tirmidzi serta dishahihkan oleh Al
Albani di dalam kitab Irwa Al Ghalil, no.960.
Pendapat pertama adalah pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini, dengan dalil-dalil:
1. Diperbolehkan puasa hari Jumat jika berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya, dan telah
dimaklumi setelah hari Jumat adalah hari Sabtu
َة َْريَرُه ىِبَأ ْنَع
–
عنه هللا رضى
–
هىِبهنال ُتْعِمَس َلاَق
–
عل هللا صلى
وسلم يه
–
ُلوُقَي
«
اًم ْوَي هالِإ ، ِةَعُمُجْلا َم ْوَي ْمُكُدَحَأ هنَموُصَي َال
ُهَدْعَب ْوَأ ُهَلْبَق
. »
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah salah satu dari kalian berpuasa pada hari
Jumat, kecuali berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya.” HR. Bukhari dan Muslim.
ِث ِارَحْلا ِتْنِب َةَي ِْري َوُج ْنَع
–
عنها هللا رضى
–
هىِبهنال هنَأ
–
وسلم عليه هللا صلى
–
َمِئاَص َىْه َو ِةَعُمُجْلا َم ْوَي اَهْيَلَع َلَخَد
َلاَقَف ٌة
«
ِ
سْمَأ ِتْمُصَأ
. »
َلاَق . َال ْتَلاَق
«
ًادَغ ىِومُصَت ْنَأ َينِدي ِرُت
. »
َلاَق . َال ْتَلاَق
«
ى ِرِطْفَأَف
. »
Artinya: “Juwairiyyah bintu Al Harits radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam menemuinya pada hari Jumat ketika ia berpuasa, lalu beliau bertanya: “Apakah
kamu berpuasa kemarin?”, ia menjawab: “Tidak”, beliau bertanya (lagi): “Apakah kamu ingin
berpuasa besok?”, ia menjawab: “Tidak”, beliau bersabda: “Kalau begitu, berbukalah.” HR.
Bukhari.
2. Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulan, dan bisa dipastikan beberapa hari akan mendapati
hari Sabtu
ِ اَّلله ُلوُس َر َانَك َلاَق ٍدوُعْسَم ِْنب ِ اَّلله ِدْبَع ْنَع
-
وسلم عليه هللا صلى
-
ْوَي ُرِطْفُي اَمهلَق َو ٍرْهَش ِلُك ِة هرُغ ْنِم ٍهاميَأ َةَثََلَث ُموُصَي
.ِةَعُمُجْلا َم
12. Artinya: “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam selalu berpuasa tiga hari dari awal setiap bulan, dan sedikit sekali berbuka pada hari
Jumat.” HR. An Nasai dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Sunan An Nasai,
no. 2368
هايَأ ِةَثََلَث ِم ْوَص َوتُمَأ ىهتَح هنُهُعَدَأ َال ٍثََلَثِب ىِليِلَخ ىِناَص ْوَأ َلاَق عنه هللا رضى َة َْريَرُه ىِبَأ ْنَع
، ىَحُّضال ِةََلَص َو ، ٍرْهَش ِلُك ْنِم ٍم
. ٍرْتِو ىَلَع ٍم َْون َو
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Khalily (orang terdekatku) mewasiatkan
kepadaku dengan tiga perkara, aku tidak akan meninggalkannya sampai mati; berpuasa 3 hari
dari setiap bulan, mengerjakan shalat Dhuha dan tidur dalam keadaan sudah berwitir.” HR.
Bukhari.
3. Dianjurkan berpuasa tanggal 13, 14, 15 di setiap bulan, dan bisa dipastikan bahwa terkadang
akan didapati salah satunya akan mendapati hari Sabtu
ْعِمَس َلاَق َةَحْلَط ِْنب ىَسوُم ْنَع
ِ اَّلله ُلوُس َر ىِل َلاَق َلاَق ِةَذَبهالرِب ٍرَذ اَبَأ ُت
-
وسلم عليه هللا صلى
-
«
ْمُصَف ِرْههشال َنِم اًئْيَش َتْمُص اَذِإ
َة َرْشَع َسْمَخ َو َة َرْشَع َعَبْرَأ َوَة َرْشَع َثََلَث
.»
Artinya: “Musa bin Thalhah berkata: “Aku teah mendengar Abu Dzarr di daerah Ribzah berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: “Jika kamu berpuasa beberapa hari
dari satu bulan, maka berpuasalah tigabelas, empatbelas, dan lima belas.” HR. An Nasai dan
dishahihkan oleh Al Abani di dalam kitab Irwa Al Ghalil, no. 947.
4. Dianjurkannya puasa 6 hari di bulan Syawwal, dan bisa dipastikan akan mendapati hari Sabtu
َس َو ِهْيَلَع ُ اَّلله ىهلَص ِ اَّلله َلوُس َر هنَأ ُهَثهدَح ُههنَأ ُهْنَع ُ اَّلله َي ِ
ض َرِي ِارَصْنَْلا َُّوبيَأ يِبَأ ْنَع
َص ْنَم : َلاَق َمهل
ْنِم اًّتِس ُهَعَبْتَأ همُث َانَضَمَر َما
. ِرْههدال ِامَي ِ
صَك َانَك ٍلا هَوش
Artinya: “Abu Ayyub Al Anshary radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang telah berpuasa ramadhan kemudian ia
ikutkan dengan enam hari dari bulan Syawwal, maka seperti berpuasa setahun.” HR. Muslim.
5. Diperbolehkannya berpuasa Daud, berpuasa sehari berbuka sehari dan ini akan endapati puasa
hari Sabtu
ِ اَّلله َدْبَع عن
: ُلوُقَي ُههنَأ َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ اَّلله ىهلَص ِ اَّلله ُلوُس َر َرِبْخُأ : َلاَق ِ
اصَعْلا ِْنب و ِرْمَع َْنب
«
ُماَي ِ
ص َكِلَذ َو اًم ْوَي ْرِطْفَأ َو اًم ْوَي ْمُص
ِامَي ِ
الص ُلَدْعَأ َوُه َو َلمهسال ِهْيَلَع َد ُاوَد
»
Artinya: “Abdullah bin ‘Amr bin Ash berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Berpuasalah satu hari dan berbuka satu hari dan itu adalah puasa nabi daud
‘alaihissalam dan ia adalah puasa yang paling utama.” HR. Bukhari dan Muslim.
6. Diperbolehkan berpuasa lebih dari tiga setiap bulan, bisa diperakirakan akan mendapati hari
Sabtu salah satunya
13. هلَص هيِبهنال هنَأ َانَثهدَحَف و ٍرْمَع ِْنب ِ اَّلله ِدْبَع ىَلَع ٍدْيَز َيكِبَأ َعَم ُتْلَخَد َلاَق ِيحِلَمْلا يِبَأ ْنَع
َلَخَدَف يِم ْوَص ُهَل َرِكُذ َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ اَّلله ى
هيَلَع
َقَف ُهَنْيَب َو يِنْيَبُةَداَسِوْلا ْتَارَص َو ِ
ض ْرَْلا ىَلَع َسَلَجَف ٌيفِل َاه ُوْشَح ٍمَدَأ ْنِمًةَداَسِو ُهَل ُْتيَقْلَأَف
ُةَثَلَث ٍرْهَش ِلُك ْنِم َيكِفْكَي اَمَأ : يِل َلا
َي : ُتْلُق اًسْمَخ : َلاَق ِ اَّلله َلوُس َر اَي : ُتْلُق ؟ ٍهاميَأ
: َلاَق ِ اَّلله َلوُس َر اَي : ُتْلُق اًعْسِت : َلاَق ِ اَّلله َلوُس َر اَي : ُتْلُق اًعْبَس : َلاَق ِ اَّلله َلوُس َر ا
َطْفِإ َو ٍم ْوَي ُماَي ِ
ص ِرْههدال َرْطَش َد ُاوَد ِم ْوَص َق ْوَف َم ْوَص ال : َلاَق ِ اَّلله َلوُس َر اَي : ُتْلُق َة َرْشَع ىَدْحِإ
. ٍم ْوَي ُار
Artinya: “Abu Al Mulaih berkata: “Aku masuk bersama bapakmu menemui Abdullab bin ‘Amr,
lalu beliau meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, diceritakan
kepada beliau perihal puasaku, lalu beliau menemuiku, lalu aku letakkan untukknya sebuah
bantal dari kulit yang dibungkus dengan lif, lalu beliau duduk di atas lantai dan menjadikan
bantal antara aku dan beliau, kemudian beliau berkata: “Apakah tidak cukup bagimu berpuasa
dari setiap bulan tiga hari?”, aku berkata: “Wahai Rasulullah”, beliau berkata: “lima hari”, aku
berkata: “Wahai Rasulullah”, beliau berkata: “Tujuh hari”, aku berkata: “Wahai Rasulullah”,
beliau berkata: “Sembilan hari”, aku berkata: “Wahai Rasulullah”, beliau berkata: “Sebelas hari”,
aku berkata: “Wahai Rasulullah”, beliau berkata: “Tidak ada puasa di atas puasa Nabi Daud,
setengah tahun, berpuasa sehari berbuka satu hari.” HR. Bukhari dan Muslim.
Perkataan para ulama rahimahumullah yang berpendapat dengan pendapat kedua:
Berkata Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Hendaknya diketahui bahwa puasa hari Sabtu
mempunyai beberapa keadaan:
به بأس ال فهذا ذلك؛ ونحو ،عُّتَمهتال هدي وبدل ،ِة َارهفَكال وكصيام ،ًءقضا أو ،ًءاَدَأ كرمضان ، ٍ
فرض في يكون أن :اْلولى الحال
ما
.مزية له أن ًادِقَتعُم بذلك يخصه لم
يص أن :الثانية الحال
.به بأس فَل الجمعة؛ يوم قبله وم
ال هَوش من أيام وستة ،عاشوراء ويوم ،عرفة ويوم ،البيض كأيام مشروعة؛ أيام صيام فِداَصُي أن :الثالثة الحال
–
صام لمن
رمضان
–
.صومها عَرْشُي التي اْليام من ْلنه بل ،السبت يوم ْلنه يصمه لم ْلنه بأس؛ فَل الحجة؛ ذي وتسع
الراب الحال
النبي قال كما ،به بأس فَل السبت؛ يوم ِهِصوم يوم فِداَصُيَف اًم ْوَي رِطْفُي َو اًميو يصوم من كعادة ،ًةعاد فِدُصاي أن :عة
–
وسلم عليه هللا صلى
–
.مثله وهذا ،))فليصمه صوما يصوم كان ًَلرج ((إال :يومين أو يوم بصوم رمضان تقدم عن نهى لما
ُههصُخَي أن :الخامسة الحال
ُهْنَع النهي في ُالحديث هحَص إن هيهنال محل فهذا بالصوم؛ فيفرده ع؛ ُّوَطَت بصوم
.”
.انتهى
Keadaan pertama: hari Sabtu dalam keadaan puasa wajib seperti Ramadhan atau Qadha’, seperti
puasa kaffarat, atau pengganti hadyu tamattu’, atau yang semisalnya, maka ini tidak mengapa
dikerjakan puasa hari Sabtu selama itu tidak mengkhususkan karena ia meyakini bahwa berpuasa
hari Sabtu mempunyai keistmewaan.
Keadaan kedua: berpuasa hari Sabttu sebelumnya hari Jumat, maka hal ini tidak mengapa.
Keadaan ketiga: bertepatan dengan puasa hari-hari yang disyri’atkan untuk berpuasa, seperti
hari-hari putih, hari Arafah, hari ‘Asyura, enam hari di bulan Syawwal, bagi siapa yang telah
berpuasa ramadhan dan hari ke Sembilan dari bulan dzulhijjah, maka tidak mengapa berpuasa
padanya, karena ia berpuasa bukan karena hari Sabtu, tetapi karena hari-hari yang disyariatkan
berpuasa padanya.
14. Keadaan keempat: berpuasa hari sabtu bertepatan dengan kebiasaan, seperti kebiasaan siapa yang
berpuasa sehari dan berbuka sehari, maka akan bertabrakan hari puasanya dengan hari Sabtu,
maka ini tidak mengapa, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
ketika melarang puasa Ramadhan di dahului dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya:
“Kecuali bagi yang biasa berpuasa”dan (puasa sabtu) ini semisal dengannya.
Keadaan kelima: dia mengkhususkan puasa hari sabtu, ia menjadikan puasa sabtu sendirian,
maka ini adalah yang dilarang di dalam hadits, jika hadits larangan tersebut shahih.” Lihat kitab
Majmu’ Fatawa wa Rasail ibnu Utsaimin,20/57.
Berkata Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah:
عاشوراء أو عرفة يوم السبت كان كأن مؤكدة سنة وافق إذا ما ويستثنى : القاضي قال
“Dan dikecualikan (dari larangan puasa hari Sabtu), jika bertepatan sebuah sunnah yang
ditekankan, seperti hari Sabtu adalah hari Arafah atau hari ‘Asyura.” Lihat kitab Faidh Al Qadir,
6/433.
Disebutkan di dalam kitab Ma’ani Al Atsar:
ِ اَّلله ُلوُس َر َنِذَأ ْدَق َو
j
َم ْوَي َانَك ْإن ْلُقَي ْمَل َو , ِهْيَلَع هضَح َو َءاَورُشاَع ِم ْوَص يِف
ِلُك ِلوُخُد ىَلَع ٌليِلَد َكِلَذ يِفَف . ُهوُموُصَت ََلَف ِتْبهسال
. ِهيِف ِهاميَْلا
“Dan diizinkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan
beliau memerintahkannya dan beliau tida menyebutkan jika bertepatan hari Sabtu maka
janganlah kalian berpuasa padanya. Jadi, di dalam ini terdapat dalil akan masuknya setiap hari di
dalamnya.’ Lihat kitab Ma’ani Al Atsar, 4/141.
Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah:
”
بالصوم السبت يوم إفراد يكره : أصحابنا قال
…
فإن , إفراده والمكروه
هريرة أبي لحديث ; يكره لم ; غيره معه صام
يكره لم , إلنسان صوما وافق وإن . وجويرية
”
. انتهى
Artinya: “Berkata kawan-kawan kami (dari madzhab hanbaly): “Dimakruhkan menyendirikan
hari Sabtu dengan puasa…dan yang makruh adalah menyendirikannya, jika ia berpuasa bersama
hari lainnya, maka tidak dimakruhkan, berdasarkan hadits Abu Hurairah dan juwariyyah
radhiyallahu ‘anhuma, dn juga jika bertepatan hari kebiasaan berpuasa seseorang , maka tidak
dimakruhkan.” Lihat kitab Al Mughni, 3/52.
Berkata Ath Thiby:
فيهما والنهي فيهما اليهود مخالفة والمقصود الجمعة في كما اإلفراد عن النهي قالوا : الطيبي قال [: القاري علي العَلمة وقال
مؤكدة سنة وافق ما معناه وفي الكفارة وصوم الفوائت وقضاء والمنذور المكتوب يتناول افترض وما الجمهور عند للتنزيه
ورد وافق أو ، وعاشوراء كعرفة
] ًا
15. “Mereka mengatakan bahwa larangan (berpuasa hari Sabtu) adalah untuk menyendirikan (puasa
sabtu) sebagaimana di dalam perihal (puasa) hari Jumat, dan maksudnya adalah menyelisihi
kaum Yahudi di dalam keduanya, dan larangan di dalamnya untuk penjauhan menurut mayoritas
ulama, dan maksud dari apa ayang diwajibkan mencakup puasa yang diwajjibkan, puasa nazar,
puasa qadha wajib yang ketinggalan, puasa kaffarat dan yang semakna dengannya selama tidak
sesuai dengan puasa sunnah yang ditekankan seperti puasa hari ‘Arafah dan puasa hari ‘Asyura
atau bertepatan dengan kebiasaan.” Lihat kitab Mirqat Al mafatih Syarah Misykat Al Mashabih,
4/599.
Berkata An Nawawi rahimahullah:
أصحابن عن قدمناه ما الجملة على والصواب [
] له عادة يوافق لم إذا بالصيام السبت إفراد يكره أنه ا
“Dan pendapat yang benar dari apa yang telah kami sebutkan tentang pendapat kawan-kawan
kami (dari madzhab Syafi’ie) adalah bahwa dimakruhkan puasa hari Sabtu secara tersendiri, jika
tidak bertepatan dengan kebiasaannya.” Lihat kitab Al Majmu’, 6/440.
:هللا رحمه باز بن العزيز عبد العَلمة الشيخ برئاسة لإلفتاء الدائمة اللجنة وقالت
سنة عرفة يوم صوم ْلن بينها فرق ال ْلنه اْلسبوع أيام من غيره أو السبت يوم وافق سواء ًَلمستق عرفة يوم صيام يجوز [
وحديث مستقلة
الدائمة اللجنة فتاوى ] الصحيحة لألحاديث ومخالفته الضطرابه ضعيف السبت يوم عن النهي
10
/
396
.
Berkata Ibnu Hibban rahimahullah:
)مفردا السبت يوم صوم عن الزجر ذكر السبت يوم صوم في (فصل
”Pasal di dalam puasa hari Sabtu, penyebutan peringatan keras tentang puasa hari Sabtu secara
tersendiri.” Lihat kitab Shahih Ibnu Hibban, 8/379.
Beliau juga berkata:
)صومه جاز آخر بيوم قرن إذا بأنه البيان مع السبت يوم صيام عن نهى أجلها من التي العلة ذكر (
“Disebutkan sebab karenanya dilarang puasa hari Sabtu bersamaan penjelasan bahwa jika
digandengkan dengan berpuasa hari lain, maka boleh berpuasa pada hari (sabtu)nya.” Lihat kitab
Shahih Ibnu Hibban, 8/381.
Dan ini semua, kalau dinilai hadits tentang larangan puasa hari Sabtu adalah hadits yang shahih,
karena sebagian ulama fikih atau hadits atau peneliti mengatakan hadits larangan berpuasa hari
Sabtu adalah lemah atau Syadz atau mudhtharib atau mansukh, seperti Ibnu Syihab Az Zuhry, Al
Auza’iy, Imam Malik, Yahya bin Sa’id Al Qaththan, Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar Al Atsram,
Abu Daud, An Nasaiy, Ath Tahawy, Ibnu Al ‘Araby, Ibnu taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu
Muflih, Ibnu Hajar rahimahumullah.
Terakhir, perlu diingat…
16. Bahwa ini adalah permasalahan yang terjadi adalah perbedaan pendapat diantara ulama
rahimahumullah, dan tidak perlu dijadikan perpecahan diantara kaum muslim apalagi para
penuntut ilmu di dalamnya dan karenanya, dan hendaklah ia mengikuti pendapat yang
menurutnya lebih kuat dari sisi dalil dan pemahaman para ulama, tanpa merendahkan pendapat
yang menyelisihi pendapatnya. Wallahu a’lam
Puasadi Awal Dzulhijjah
Kategori: Bahasan Utama, Fiqh dan Muamalah
7 Komentar // 15 Oktober 2012
Di antara keutamaan yang Allah berikan pada kita adalah Allah menjadikan awal Dzulhijjah
sebagai waktu utama untuk beramal sholih terutama melakukan amalan puasa. Lebih-lebih lagi
puasa yang utama adalah puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah.
Pada awal Dzulhijjah disunnahkan untuk berpuasa selain pada hari Nahr (Idul Adha). Karena
hari tersebut adalah hari raya, maka kita diharamkan untuk berpuasa. Sedangkan tanggal 9
Dzulhijjah dan hari-hari sebelumnya (1-9 Dzulhijjah) disyari’atkan untuk berpuasa. Para salaf
biasa melakukan puasa tersebut bahkan lebih semangat dari melakukan puasa enam hari di bulan
Syawal. Tentang hal ini para ulama generasi awal tidaklah berselisih pendapat mengenai
sunnahnya puasa 1-9 Dzulhijjah. Begitu pula yang nampak dari perkataan imam madzhab yang
empat, mereka pun tidak berselisih akan sunnahnya puasa di sepuluh hari awal Dzulhijjah.
Adapun puasa enam hari di bulan Syawal terdapat perselisihan di antara para ulama. Seperti kita
ketahui bahwa Imam Malik tidak mensunnahkan puasa enam hari tersebut.
Begitu pula tidak didapati dari para sahabat ridhwanallahu ta’ala di mana mereka melaksanakan
puasa enam hari di bulan Syawal. Sedangkan puasa di awal Dzulhijjah, maka ditemukan riwayat-
riwayat yang menyebutkan bahwa mereka melakukannya. Seperti terbukti ‘Umar bin Al Khottob
melakukannya, begitu pula ‘Abdullah bin Mawhab, banyak fuqoha juga melakukannya. Hal ini
dikuatkan pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan penekanan ibadah pada 10
hari awal Dzulhijjah tersebut daripada hari-hari lainnya. Hal ini sebagai dalil umum yang
menunjukkan keutamaanya. Jika sepuluh hari pertama Dzulhijjah dikatakan hari yang utama,
maka itu menunjukkan keutamaan beramal pada hari-hari tersebut. Sebagaimana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِلاهصال ُلَمَعْلا ٍهاميَأ ْنِم اَم
اَه ِجْلا َال َو ِ اَّلله َلوُس َر اَي واُلاَق . ِرْشَعْلا َمهايَأ ىِنْعَي ِهاميَْلا ِهِذَه ْنِم ِ اَّلله ىَلِإ ُّبَحَأ اَهيِف ُح
َلاَق ِ اَّلله ِليِبَس ىِف ُد
َال َو
َذ ْنِم ْع ِجْرَي ْمَلَف ِهِلاَم َو ِهِسْفَنِب َجََرخ ٌلُجَر هالِإ ِ اَّلله ِليِبَس ىِف ُداَه ِجْلا
ٍءْىَشِب َكِل
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan
pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak
pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di
17. jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada
yang kembali satupun.”[1]
Jika puasa di sepuluh hari awal Dzulhijjah dikatakan utama, maka itu menunjukkan bahwa puasa
pada hari-hari tersebut lebih utama dari puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari setiap bulannya,
bahkan lebih afdhol dari puasa yang diperbanyak oleh seseorang di bulan Muharram atau di
bulan Sya’ban. Puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah bisa dikatakan utama karena makna
tekstual yang dipahami dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2]
Yang menjadi dalil keutamaan puasa pada awal Dzulhijjah adalah hadits dari Hunaidah bin
Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
ِىِبهنال ِاج َوْزَأ ِ
ضْعَب ْنَع
-
وسلم عليه هللا صلى
-
ِ اَّلله ُلوُس َر َانَك ْتَلاَق
-
وسلم عليه هللا صلى
-
َءاَورُشاَع َم ْوَي َو ِةهج ِحْلا ىِذ َعْسِت ُموُصَي
ٍرْهَش ِلُك ْنِم ٍهاميَأ َةَثََلَث َو
. َيسَِمخْلا َو ِرْههشال َنِم ِْنيَنْثا َل هوَأ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah,
pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …”[3]
Kata Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah bahwa di antara sahabat yang mempraktekkan puasa
selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri,
Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut.[4]
Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan puasa Arofah yaitu pada tanggal 9
Dzulhijjah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َةَفَرَع ِم ْوَي ُماَي ِ
ص
َءاَورُشاَع ِم ْوَي ُماَي ِ
ص َو ُهَدْعَب ىِتهلا َةَنهسال َو ُهَلْبَق ىِتهلا َةَنهسال َرِفَكُي ْنَأ ِ اَّلله ىَلَع ُبِسَتْحَأ
َةَنهسال َرِفَكُي ْنَأ ِ اَّلله ىَلَع ُبِسَتْحَأ
ُهَلْبَق ىِتهلا
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa
Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.”[5]
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Arofah lebih utama daripada puasa ‘Asyuro. Di antara
alasannya, Puasa Asyuro berasal dari Nabi Musa, sedangkan puasa Arofah berasal dari Nabi kita
Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.[6] Keutamaan puasa Arofah adalah akan
menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa
kecil. Atau bisa pula yang dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau
ditinggikannya derajat.
StopMakan KetikaAdzan Shubuh Berkumandang
Kategori: Bahasan Utama, Ramadhan
18. 13 Komentar // 26 Juli 2012
Sebagian ada yang meyakini bahwa masih diperkenankan untuk makan atau minum meskipun
telah diteriakkan adzan. Dalil yang digunakan adalah beberapa hadits yang dianggap
mereka shahih. Namun ada dalil shorih (tegas) dari Al Qur’an yang masih membolehkan makan
hingga masuk fajar shodiq. Artinya, setelah fajar shodiq tidak diperkenankan untuk makan atau
minum sama sekali. Bagaimana mengkompromikan kedua macam dalil yang ada? Lalu apakah
dalil yang membicarakan hal tersebut shahih?
Hadits yang Membicarakan Masih Bolehnya Makan Ketika Adzan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َف ِهِدَي ىَلَع ُءَانِاإل َو َءاَدِنال ُمُكُدَحَأ َعِمَس اَذِإ
ُهْنِم ُهَتَجاَح َى ِ
ضْقَي ىهتَح ُهْعَضَي ََل
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di
tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya
hingga selesai.” (HR. Abu Daud no. 2350).
Di antara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Syaikh Al Albani rahimahullah. Sehingga
dari hadits ini dipahami masih bolehnya makan dan minum ketika adzan dikumandangkan.
Namun yang lebih tepat, hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) yang menyelisihi dalil yang lebih
shahih. Jika kita melihat dari dalil-dalil yang ada, wajib menahan diri dari makan dan minum
ketika adzan berkumandang.
Hukum status hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 433/ 510), Abu Daud (2350), Ad Daruquthni
dalam sunannya (2/ 165), Al Hakim dalam Mustadrok (1/ 203) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro
(4/ 218) dari jalur:
Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah. Al Hakim menshahihkan hadits ini, sesuai syarat Muslim kata beliau dan Adz Dzahabi
pun menyetujuinya. Namun yang tepat tidak seperti pernyataan mereka.
Sanad riwayat Abu Daud muttashil (bersambung) dan perowinya tsiqoh (terpercaya) selain
Muhammad bin ‘Amr. Dia adalah shoduq (jujur), namun terkadang wahm (keliru). Hadits ini
dishahihkan oleh Al Hakim dan dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa sanadnya jayyid
sebagaimana dalam Syarh Al ‘Umdah (1/ 52). Abu Hatim Ar Rozi sendiri mengatakan bahwa
jalur dari Hammad dari Muhammad bin ‘Amr, “Laysa bi shohih” (tidaklah shahih). Akan tetapi
Abu Hatim tidak menjelaskan sebab kenapa disebutdho’if.
Telah diperselisihkan mengenai sanad hadits ini pada Hammad bin Salamah sebagai berikut:
19. 1. Dari Hammad bin Salamah dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar dari Abu Hurairah dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’. Dan ada tambahan,
ُرْجَفْلا َغَزَب اَذِإ ُنِذَُؤي ُنِذَؤُمْلا َانَك َو
“Dan muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 510) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218) dari
jalur: Rouh bin ‘Ubadah dari Hammad bin Salamah.
Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al ‘Ilal sama dengan jalur yang disebutkan sebelumnya
dan dinukil dari ayahnya di mana ia berkata, “Dua hadits tersebut tidaklah shahih. Adapun hadits
‘Ammar dari Abu Hurairah hanyalah mauquf (berhenti sampai sahabat).” Ringkasnya, dari jalur
ini berarti hadits tersebut hanyalah perkataan sahabat, bukan qoul (sabda) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
2. Dari Hammad bin Salamah dari Yunus dari Al Hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam secara mursal (dari tabi’in langsung Nabi tanpa disebutkan sahabat). Hadits mursal di
antara hadits yang dho’if.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 423): telah berkata pada kami Ghossan (Ibnu Ar
Robi’), telah berkata pada kami Hammad bin Salamah.
Tidak ragu lagi perselisihan pada Hammad bin Salamah dalam hadits ini berpengaruh dalam
keshahihan hadits.
Hadits di atas memiliki beberapa penguat tetapi juga dho’if (lemah).
Taruhlah hadits tersebut shahih, maka telah dijawab oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218), di
mana beliau berkata:
ُههنَأ ىَلَع ِمْلِعْلا ِلْهَأ ِام َوَع َدْنِع ٌلوُمْحَم َوُهَف هحَص ْنِإ اَذَه َو
-
وسلم عليه هللا صلى
-
ُْثيَحِب ِرْجَفْلا ِوعُلُط َلْبَق ىِدَانُي َانَك َىِدَانُمْلا هنَأ َمِلَع
ُهُبْرُش ُعَقَي
ًرَبَخ َونُكَي ْنَأ ُلَمَتْحُي َغَزَب اَذِإ َونُنِذَُؤي َونُنِذَؤُمْلا َانَك َو ىِواهالر ُل ْوَق َو ِرْجَفْلا ِوعُلُط َلْيَبُق
َة َْريَرُه ىِبَأ َُوند ْنهمِم اًعِطَقْنُم ا
ِىِبهنال ُل ْوَق َو ىِناهثال ِانَذَْلا ِنَع اًرَبَخ َونُكَي ْوَأ
-
وس عليه هللا صلى
لم
-
«:
ِهِدَي ىَلَع ُءَانِاإل َو َءاَدِنال ُمُكُدَحَأ َعِمَس اَذِإ
.»
ِاءَدِنال ِنَع اًرَبَخ
اَمِل اًقِفا َوُم َونُكَيِل ِل هوَْلا
“Jika hadits ini shahih, maka dipahami oleh mayoritas ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengetahui kadang muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar (shubuh) dan
beliau minum dekat dengan terbitnya fajar. Sedangkan perkataan perowi bahwa muadzin
mengumandangkan adzan ketika muncul fajar dipahami bahwa hadits tersebut sebenarnya
munqothi’ (terputus dalam sanad) di bawah Abu Hurairah. Atau boleh jadi hadits tersebut
dimaksudkan untuk adzan kedua. Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika
salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (piring) masih ada di
tangannya …”, maka yang lebih tepat hadits ini dimaksudkan untuk adzan pertama sehingga
sinkronlah antara hadits-hadits yang ada.” (Sunan Al Baihaqi, 4/ 218).
20. Hadits Shahih: Stop Makan Ketika Adzan Berkumandang
َةَشِئاَع ْنَع
–
عنها هللا رضى
–
َلِب ُنِذَُؤي َانَك ًالََلِب هنَأ
ِ اَّلله ُلوُس َر َلاَقَف ٍلْي
–
وسلم عليه هللا صلى
–
«
َنِذَُؤي ىهتَح ُوابَرْشا َو واُلُك
ُرْجَفْلا َعُلْطَي ىهتَح ُنِذَُؤي َال ُههنِإَف ، ٍومُتْكَم ِمُأ ُْنبا
»
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Bilal biasanya mengumandangkan adzan di waktu
malam (belum terbit fajar shubuh). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Beliau tidaklah
mengumandangkan adzan hingga terbit fajar (shubuh).” (HR. Bukhari no. 1919 dan Muslim no.
1092).
Kata “ىهتَح”dalam hadits tersebut bermakna akhir makan adalah ketika adzan shubuh
berkumandang. Sehingga ini menunjukkan larangan makan dan minum ketika telah terdengar
adzan, bahkan hal ini berlaku secara mutlak. Inilah yang lebih tepat dan haditsnya lebih shahih
dari hadits yang kita kaji di awal. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al Majmu’,
افطر ابتلعه فان صومه صح لفظه فان فليلفظه طعام فيه وفى الفجر طلع إذا
“Jika fajar terbit dan di dalam mulut terdapat makanan, maka muntahkanlah. Jika makanan
tersebut dimuntahkan, maka puasanya sah. Jika terus ditelan, batallah puasanya. ” (Al Majmu’,
6: 308).
Begitu pula Imam Nawawi mengatakan,
حد ودليله فيه خَلف ال وهذا صومه بطل بالفجر علمه بعد ابتلعه فان صومه ويتم فليلفظه طعام فيه وفى الفجر طلع من أن
يث
قال وسلم عليه هللا صلي هللا رسول أن عنهم هللا رضي وعائشة عمر ابن
”
أم ابن يؤذن حتى واشربوا فكلوا بليل يؤذن بَلال ان
مكتوم
”
بمعناه أحاديث الصحيح وفى ومسلم البخاري رواه
“Jika seseorang mendapati terbit fajar shubuh dan makanan masih ada di mulutnya, maka
muntahkanlah dan sempurnakanlah puasanya. Jika makanan tersebut ikut tertelan setelah ia
mengetahui fajar shubuh sudah terbit, puasanya batal. Hal ini tidak diperselisihkan oleh para
ulama. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada
malam hari. Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR.
Bukhari dan Muslim). Di dalam kitab shahih juga terdapat beberapa hadits yang semakna
dengannya.”
Lalu setelah itu Imam Nawawi menjelaskan hadits yang kita bahas dan beliau pun menukil
perkataan Al Baihaqi yang kami bawakan di atas. (Lihat Al Majmu’, 6: 311-312).
Atsar Sahabat yang Menuai Kritikan
أحمد أخرجه
3
/
348
طريق من
ليشرب يده على واإلناء ، الصيام يريد الرجل عن ًاجابر سألت : قال الزبير أبي عن ،لهيعة ابن
النبي أن نتحدث كنا : جابر قال ؟ النداء فيسمع ، منه
–
وسلم عليه هللا صلى
-
ليشرب : قال
. ”
21. Ada riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/ 348) dari jalur Ibnu Luhai’ah dari Abu Az
Zubair bahwa ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Jabir mengenai seseorang yang ingin puasa
sedangkan bejana masih ada di tangannya untuk dia minum lalu ia mendengar adzan. Maka Jabir
pun berkata: Pernah kami membicarakan hal ini pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
pun bersabda, “Minumlah.”
Hadits ini dho’if karena alasan Ibnu Luhai’ah.
Begitu pula riwayat lain yang menuai kritikan,
جرير ابن أخرجه
2
/
175
في واإلناء الصَلة أقيمت : قال أمامة أبي عن ،غالب أبي عن ،واقد بن الحسين طريق من
عمر يد
فشربها ، نعم : قال ؟ هللا رسول يا أشربها : قال،
.“
Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir (2/ 175) dari jalur Al Husain bin Waqid dari Abu Gholib dari Abu
Umamah, ia berkata, “Iqomah shalat telah dikumandangkan dan bejana masih berada di tangan
‘Umar. Lantas ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku meminumnya?” “Iya,
minumlah”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam sanad hadits ini terdapat Al Husain bin Waqid. Imam Ahmad telah mengingkari sebagian
haditsnya karena dia di antara perowi mudallis sebagaimana yang mensifatinya adalah Ad
Daruquthni dan Al Kholil dan dalam sanad ini beliau memakai ‘an-‘an. Sedangkan Abu Gholib –
sahabat Abu Umamah- didho’ifkan oleh Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, An Nasai, dan Ibnu Hibban.
Sedangkan Ad Daruquthni mentsiqohkannya. Ibnu Ma’in berkata bahwa haditsnya itu sholih
(baik) sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibul Kamal (34: 170). Ibnu Hajar telah meringkas
mengenai perkataan-perkataan ini dalam At Taqrib (664), beliau berkata, “Ia shoduq (jujur),
namun kadang keliru.”
Kesimpulan
Sebagaimana perkataan Abu Hatim Ar Rozi di awal bahwa hadits yang kita kaji saat ini tidaklah
shahih. Dari segi matan (teks hadits) pun munkar karena menyelisihi dalil Al Qur’an,
وُّمِتَأ همُث ِرْجَفْلا َنِم ِد َوْسَ ْ
اْل ِْطيَخْلا َنِم ُضَيْبَ ْ
اْل ُطْيَخْلا ُمُكَل َهنيَبَتَي ىهتَح ُوابَرْشا َو واُلُك َو
ِلْيهلال ىَلِإ َماَي ِ
الص ا
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja,
tidak boleh lagi setelah itu. Dan terbitnya fajar shubuh diikuti dengan adzan shubuh dengan
sepakat ulama sebagaimana kata Ibnu Taimiyah dalam Ikhtiyarot. Hadits tersebut menyelisihi
hadits,
ُْنبا َنِذَُؤي ىهتَح ُوابَرْشا َو واُلُك
ُرْجَفْلا َعُلْطَي ىهتَح ُنِذَُؤي َال ُههنِإَف ، ٍومُتْكَم ِمُأ
“Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Beliau tidaklah
mengumandangkan adzan hingga terbit fajar (shubuh).” (HR. Bukhari no. 1919 dan Muslim no.
1092). Adzan Ibnu Ummi Maktum adalah akhir dari bolehnya makan dan minum, setelah itu
22. tidak diperkenankan lagi. Oleh karenanya, jumhur (mayoritas) ulama tidak mengamalkan hadits
yang membolehkan makan dan minum setelah terdengar adzan shubuh.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf
yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian
mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia
letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan
minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan,
“Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam
madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.” (Hasyiyah Ibnil Qoyyim
‘ala Sunan Abi Daud, Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah,