Teks tersebut membahas tentang konsep manusia dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Secara ringkas, teks menjelaskan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki dimensi jasmani dan ruhani berdasarkan konsep Al-Basyr, Al-Insan, An-Nas, dan Bani Adam menurut Al-Quran. Teks juga membahas empat komponen psikologi manusia menurut Al-Ghazali yaitu nafs, qalb, ru
1. A. Pendahuluan
Masalah pendidikan adalah merupakan masalah pertama dan mendasar
dalam hidup dan kehidupan manusia karena pendidikan merupakan hakekat hidup
manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama dengan proses
berkembangnya hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu hendaknya semua
manusia harus mengutamakan pendidikan agar kehidupannya menjadi lebih baik
di masa mendatang.
Dalam kaitannya dengan masalah pendidikan Islam sebagai ilmu terletak
pada hakekat (ontologi), dasar-dasar (epitemologi) dan kegunaan (aksiologi) dari
pendidikan islam itu sebagai suatu kajian ilmu (sains) yang harus dipelajari dan
diajarkan agar ilmu pendidikan itu bermanfaat dan berguna untuk membina
kehidupan manusia.
Pendidikan Islam bersumber pada Al-Qur’an dan hadits adalah untuk
membentuk manusia yang seutuhnya yakni manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT dan untuk memelihara nilai-nilai kehidupan sesama manusia
agar dapat menjalankan seluruh kehidupannya sebagaimana yang telah
dituntunkan Allah dan Rasul-Nya demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
dengan kata lain untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya yaitu
memanusiakan manusia sesuai dengan kehendak Allah SWT yang menciptakan-
Nya.
Manusia adalah makhluk yang selalu merindukan kesempurnaan. Oleh
karena itu dengan segala potensi yang dimilikinya manusia berusaha untuk maju
dan berkembang untuk mencapai kesempurnaan itu. Manusia setiap saat
membutuhkn ilmu dari manapun datangnya, baik dari lingkungan atau alam
semesta dan juga diperlukan pengaruh dari luar yang oleh Slamet Imam Santoso
disebutnya dengan istilah pendidikan. Manusia sesuai dengan kodratnya itu
menghadapi tiga persoalan yang bersifat universal, dikatakan demikian karena
persoalaan tersebut tidak tergantung pada kurun waktu ataupun latar belakang
historis kultural tertentu. Persoalan itu menyangkut tata hubungan atar dirinya
sebagai mahluk yang otonom dengan realitas lain yang menunjukkan bahwa
manusia juga merupakan makhluk yang bersifat dependen. Persoalaan lain
1
2. menyangkut kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan
jasmani yang nyaris tak berbeda dengan makhluk lain seperti makan, minum,
kebutuhan akan seks, menghindarkan diri dari rasa sakit dan sebagainya tetapi
juga sebuah kesadaran tentang kebutuhan yang mengatasinya, menstrandensikan
kebutuhan jasmaniah, yakni rasa aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya
mengisyaratkan adanya kebutuhan ruhaniah dan terakhir, manusia menghadapi
problema yang menyangkut kepentiangan dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi,
kepentingan pribadi, kebutuhan akan kesendirian, namun juga tak dapat disangkan
bahwa manusia tidak dapat hidup secara “soliter” melainkan harus “solider” ,
hidupnya tak mungkin dijalani sendiri tanpa kehadiran orang lain. Belum lagi
manusia dalam konsep Islam mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat
berat yaitu “Abdul Allah “ (hamba Allah) satu sisi dan sekaligus sebagai
“Kholifah fil Ardli” (wakil Allah di muka bumi).
B. Pembahasan
1. Manusia Perspektif Filsafat Pendidikan
Sejarah filsafat bermula di pesisir samudera Mediterania 1 bagian timur,
pada abad ke-6 SM. Sejak semula, filsafat ditandai dengan rencana ummat
manusia untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia dan Tuhan. Itulah
sebabnya, sehingga Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup dari seorang
atau masyarakat bangsa. Oleh karena filsafat menjadi kerangka acuan dalam
menentukan pola kehidupan warga suatu masyarakat bangsa tersebut. Dengan
demikian filsafat sebagai pandangan hidup menyangkut pula tentang
hubungannya dengan manusia. Tepatnya adalah pandangan filsafat tentang
manusia dalam kaitan dengan kepentingan pendidikan, sebab upaya yang paling
efektif untuk mewariskan nilai-nilai yang termuat dalam pandangan hidup
dimaksud adalah melalui pendidikan.
Merujuk pada hal itu, maka sebelum membahas bagaimana konsep
filsafat pendidikan tentang manusia itu sendiri, tentunya perlu terlebih dahulu kita
1
Majid Fahry , Sejarah Filsafat Islam (Sebuah Peta Kronologis), Cet. I, Mizan, 2001,
Bandung, hal. 1.
2
3. ketahui bagaimana pandangan Islam tentang konsep manusia itu. Hal ini
setidaknya akan membantu pengenalan sosok manusia yang sebenarnya dalam
konsep filsafat pendidikan yakni yang berkaitan dengan manusia sebagai subyek
sekaligus merupakan obyek dari pendidikan.
2. Konsep Manusia
Bentuk dan pola peran seseorang, secara garis besar dapat kita lihat dari
kedudukan yang ditempatinya. Sedangkan untuk mengetahui hal itu, kita perlu
tahu akan penamaan yang disandangnya. Begitu pula tentang peran manusia dapat
dirujuk antara lain melalui berbagai sebutan yang diberikan pada manusia.
Dalam Alqur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain : al-
Basyr, al- Insan, an- Nas, dan konsep Bani Adam yang hal ini sebagai penolakan
terhadap teori Darwin tentang evolusi bahwa manusia adalah keturunan dari kera.
Adapun pemahaman tentang peran manusia erat kaitannya dengan sebutan yang
disandangnya.
a. Konsep Al- Basyr ( (
Manusia dalam konsep al- Basyr, dipandang dari pendekatannya biologis.
Sebagai mahluk biologis berarti manusia terdiri atas unsur materi, sehingga
menampilkan sosok dalam bentuk fisik material yaitu berupa tubuh kasar
(ragawi).2
Berdasarkan konsep al- Basyr, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk
biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah-
kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang biak, mengalami fase
pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan serta
kedewasaan. Manusia memerlukan makan, minum dengan kreteria halal serta
bergizi (QS. 16 : 69) untuk hidup dan ia juga butuh akan pasangan hidup melalui
jalur pernikahan (QS. 2 : 187) untuk menjaga, melanjutkan proses keturunanya
(QS. 17: 23-25).
2
Prof. Dr. H. Jalaludin, Teologi Pendidikan,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2001, hal
19.
3
4. b. Konsep Al- Insan ( )
Al- Insan terbentuk dari akar kata Nasiya ( ), Nisyu
( ) yang berati lupa, dari kata Insu ( ) artinya senang,
jinak,harmonis, dan ada juga dari akar kata Naus ( ) yang mengandung arti
“pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami
bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta
berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga
dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke
arah tindakan, sikap, serta prilakun negatifdan merugikan.3
c. Konsep An- Nas ( )
Kosa kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan
fungsi manusia sebagai makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk
bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian
berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi”
(QS. 49 : 13). Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang
mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter serta
prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social
yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan
di mana ia berada dalam konteks sosial.
d. Konsep Bani Adam ( )
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an
(Muhammad Fuad Abd al- Baqi :1989). Menurut a- Gharib al- Ishfahany, bani
berarti keturunan dari darah daging yang dilahirkan. Berkaitan dengan penciptaan
manusia menurut Christyono Sunaryo, bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan
Allah SWT jutaan tahun sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi , 7000 thn
yang lalu. Pada waktu itu Allah SWT sudah menciptakan “manusia” (somekind of
humanoid) jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan :
Al Ankabuut – Ayat 19
3
Ibid, hlm, 21.
4
5. 29:19. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya , kemudian mengulanginya (kembali) .
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.4
Ayat ini memperlihatkan bahwa kita seharusnya dapat memperhatikan
adanya pengulangan kerena memang telah terjadi. Bukan pengulangan
kebangkitan kembali nanti setelah hari kiamat , karena (pengulangan) kebangkitan
setelah kiamat itu belum terjadi , sehingga masih sulit untuk di mengerti oleh yang
tidak percaya .
Dan banyak ayat-ayat al- Qur’an, data dan kejadian yang menunjang
concept pemikiran ini . Seperti misalnya : Pada saat manusia akan diciptakan
Allah SWT untuk menjadi kalifah dibumi, bagaimana para Malaikat mungkin
mengetahui bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan diatas bumi .
Sedangkan Malaikat hanya mengetahui apa-apa yang diberitahukan Allah SWT
kepada mereka . Tentunya karena memang mereka pernah mengetahui adanya
“manusia” dibumi sebelum Adam AS diciptakan..
Oleh sebab itu Allah SWT selalu menyatakan bahwa : “Manusia (anak-
cucuAdam AS ) diciptakan dalam kesempurnaan-nya” . Dalam Injil dikatakan
bahwa “Man was created upon the image of God).. Serta banyak kalimat pada
Taurat (Perjanjian Lama) yang membedakan antara “anak manusia” dan “anak
Allah” , “adanya manusia-manusia yang besar pada saat itu” , bagaimana takutnya
anak-anak Adam yang keluar dari surga dengan adanya ancaman / gangguan
diluar, dsb.
Apapun yang dikatakan dalam kitab-kitab suci , ilmu pengetahuan ataupun
teknologi dapat membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia” yang telah berumur
jutaan tahun. Bahkan teori Darwin pun mengalami kesulitan dalam
menghubungkan manusia purba dengan manusia masa kini (The missing-
linktheorema).
4
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek
pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an Departemen Agama RI, 1984/1985
5
6. 3. Manusia dan Psikologinya
Keberadaan manusia dalam dunia ini dilengkapi dengan dua keadaan
yakni terdiri dari jasad dan ruh ;artinya, makhluk yang jasadiah serta ruhaniahnya
sekaligus. Manusia bukanlah makhluk ruh murni dan bukan jasad murni
melainkan manusia merupakan makhluk secara misterius terdiri dari kedua
elemen ini juga yang disebut dengan entitas ketiga yaitu “jati dirinya sendiri”.5
Realitas yang mendasari dan prinsip yang menyatukan apa yang kemudian
dikenal dengan manusia bukanlah perubahan jasadnya melainkan keruhaniannya.
Al- Ghazali dalam memandang jiwa itu tidak terlepas dari empat kata
yaitu : hati (qalb), roh (ruh), jiwa (nafs), dan akal (a’ql )6.
1. Nafs
Kata nafs dating dalam berbagai bentuk baik mufrad atau jama’. Ia
menunjukkan manusia sebagai makhluk hidup yang asalnya satu. Dalam al-
Qur’an kata Nafs ini menunjukkan pada diri (self) sebagai keseluruhan yang lebih
menyatakan motivasi dan aktifitas hidup manusia.
2. Qalb
Menurut Hasan Langgulung kata Qalb yang terdapat al-Qur’an
kebanyakan berkisar pada arti perasaan (emosi) dan intelektual pada manusia.
Oleh sebab ia merupakan dasar bagi fitrah yang sehat berbagai perasaan baik
mengenai cinta atau benci, dan tempat petunjuk, iman, kemauan, sekaligus
sebagai kontrol terhadap segala aktifitas manusia.
3. Ruh
Ruh biasanya menunjukkan aspek suatu hakekat (realitas) yang abstrak
yang mempunyai unsur illahi dan berhungan dengan manusia secara khusus.
4. Aql
Kata Aql menurut Hasan Langgulung muncul dala al-Qur’an tidak ada
yang menunjukkan abstrak (masdar) sama sekali melainkan kata kerja dengan
5
Syed M. Naquib Al- Attas, filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, (terj.Wan Mohd Nor
Wan Daud), Mizan, Bandung, Cet. I, 2003, hal. 94.
6
Prof. Dr. Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, PT Al-Husna Zikra, Jakarta,
Cet.I, 2000, hal. 302.
6
7. berbagai bentuknya. Karenanya Aql ini lebih menunjukkan pada aspek pemikiran
pada manusia. Seperti QS. Albaqarah : 75, dan 44, al- Anfal : 22, serta al- Mulk :
10.
Dalam hal ini Al-Attas berpendapat bahwa setiap sebutan ini memiliki dua
makna, yang satu merujuk pada aspek-aspek jasadiah ataupun kebinatangan dan
satunya merujuk pada aspek keruhaniah. Dengan demikian ketika aspek itu
bergelut dengan sesuatu yang berkaitan dengan intelektual dan pemahaman, ia
(yaitu, ruh manusia) disebut “intelek” ketika mengatur tubuh, ia disebut “jiwa” ,
ketika sedang mengalami pencerahan intuisi, ia disebut “hati” dan ketika kembali
ke dunianya yang abstrak, ia disebut “ruh” pada hakekatnya.ia selalu aktif
memanifestasikan dirinya dalam keadaan apapun.
4. Manusia dan Proses Pendidikan
Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan
akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi), tidak
jauh berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses
pendidikan pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga
hal yaitu mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik
akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga, adalah
mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan
tangan (hand) selanjutnya populer dengan istilah 3 H’s.7 Berangkat dari arti
penting pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi
masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara historis
dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik
dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.
Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah rajat hidup bagi setiap
manusia. Karena kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang lahir di dunia ini
dalam keadaan pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di
dunia ini merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan
7
Prof. H.M. Arifin, M. Ed., Filsafat Pendidikan Islam,Cet. VI, Remaja Rosdakarya,
2000, PT Bumi Aksara, Jakarta, hal. 57.
7
8. dan impian kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah
SWT juga tidaklah sekali jadi. Ada proses penciptaan (khalq), proses
penyempurnaan (taswiyyah), dengan cara memberikan ukuran atau hukum
tertentu (taqdir), dan juga di berikannya petunjuk (hidayah). Dengan demikian
menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk
mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan
yang tearah, teratur serta berkesinambungan yang semuanya merupakan proses
dalam rangka penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat
memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl.
5. Manusia Menurut Filsafat Pendidikan
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkupyang berskala makro yaitu:
kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk
melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan,
maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos).
Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang
pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan
dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai
potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind). Sedangkan
pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan
itu berlajan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan
potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan
(epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua
makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam
raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia
sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu,
manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan FPI,
manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan
padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan
bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas
nilai).
8
9. 6. Manusia Sebagai Abdul Allah
Dalam konteks konsep abd Allah, manusia harus menyadari betul akan
dirinya sebagai abdi. Hal ini berati bahwa manusia harus menempatkan dirinya
sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu
allah SWT.
Al-Qur’an tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta
secara kebetulan, atau tercipa dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah
sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas sebagai khalifah di muka
bumi ini, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS.
2 :30). Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah
corak kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik. M. Quraisy Shihab
menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian :8
1. Orang yangdberi kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas
maupun terbatas.
2. Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga
dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.
Beranjak dari pemahaman bahwa ada dua unsur sehungan dengan makna
khalifah yakni unsure intern (mengarah pada hubungan horizontal) yang berkaitan
dengan manusia, alam raya dan antar manusia dengan alam raya. Dan unsur
ekstern (kaitannya dengan hubungan vertical) yaitu penugasan Allah kepada
manusia sebagai mandataris Allah dan pada hakekatmnya eksistensi manusia
dalam kehidupan ini adalah membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini
sesuai dengan kehendak penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut meang sangat
berat. Namun status ini menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di
bumi atas petunjuk Allah. Selain itu, dari tugas tersebut menggambarkan bahwa
akan kedudukan manusia selaku makhluk ciptaanNya yang paling mulia.
7. Tinjauan Aksiologi
8
Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat”, Bandung, Mizan, Cet. XXV, 2003, hal. 158.
9
10. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti "nilai" dan
logos yang berarti "teori" . jadi aksiologi adalah "teori tentang nilai"9
Dalam definisi lain, Jujun S. Suriasumantri mengartikankan: aksiologi
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh.10
Dari dua defenisi tersebut diatas dalam makalah ini akan dibahas kegunaan
pendidikan islam sebagai suatu ilmu, serta penerapannya bersama cabang ilmu
lainnya.
Prof. Mohammad Athiyah abrosy dalam kajiannya tentang pendidikan
Islam telah menyimpulkan 5 tujuan (kegunaan) yang asasi bagi pendidikan Islam
yang diuraikan dalam at tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, yaitu:
1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam
menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa
pendidikan Islam
2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi
keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja,
tetapi menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus
3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan menuaskan
untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu
bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan
minat pada sains, sastra, kesenian dalam berbagai jenis
4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan
perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi tertentu,
teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat
mencari rezeki dalam hidup dengan mulia disamping
memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
9
Burhanuddin salam, Logika materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan (Cet.I,Jakarta: Reneka
cipta, 1997) h. 168
10
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Cet.II,Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998) h. 234
10
11. 5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi
kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat
agama atau akhlak, atau spirituil semata-mata, tetapi
menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-
tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidaklah tercapai
kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama
dan Ilmu Pengetahuan.
Dalam penerapannya sebagai suatu cabang ilmu, pendidikan Islam sebagai
sebuah sistem atau bangunan memerlukan dasar, asas, dan prinsip-prinsip bagi
tegaknya sistem dan bangunan tersebut. Ilmu pendidikan Islam memiliki
keterkaitan dengan bidang-bidang ilu lainnya, yakni: psikologi, sejarah, filsafat,
sosiologi, budaya, hukum, ilmu pengetahuan dan tekhnologi, manajeman, politik,
dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Berbagai disiplin ilmu tersebut sekaligus menjadi
dasar bagi tegaknya Ilmu Pendidikan Islam itu sendiri. Ajaran Islam tentang
belajar seumur hidup, pendidikan untuk semua, pendidikan yang bermutu,
pendidikan yang berorientasi kemasa depan, pendidikan yang seimbang, terbuka,
dinamis, progresif, adil, egaliter, dan manusiawi adalah merupakan dasar, asas,
prinsip, dan jiwa Ilmu pendidikan Islam.
C. Kesimpulan
Manusia menurut Islam adalah mahluk ciptaan Allah (QS. 98: 2) dengan
kedudukan yang melebihi mahluk ciptaan Allah lainnya (QS. 95 : 4). Selain itu
manusia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan
antara lain berupa fitrah ketauhidan (QS.15 :29). Dengan fitrah ini diharapkan
manusia dapat hidup sesuai dengan hakekat penciptaannya, yaitu mengabdi
kepada Allah SWT (QS. 51: 56). Mengacu pada ketentuan ini, maka dalam
pandangan Islam, meminjam bahasa Jalaludin, manusia pada hakekatnya
merupakan makhluk ciptaan Allah yang terikat dengan “Blue prient” (cetak biru)
dalam lakon hidupnya, yaitu menyadari akan dirinya sebagai “Abdul Allah”
sekaligus mempunyai tugas sebagai mandataris Allah.
11
13. Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia
(Kajian Filsafat Ilmu), Cet. I, Yogyakarta, LESFI, 2002.
Arifin, H.M Prof. M.Ed., Filsafat Pendidikan Islam,Cet. VI, Remaja Rosdakarya,
PT Bumi Aksara, Jakarta ,2000.
Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Yogyakarta, Jendela, Cet. I, 2002.
Buchori, Muchtar, Ilmu Pendidikan Praktek pendidikan dalam renungan,
Cet.I,Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press, 1994
Christyono Sunaryo, http://www.macsonic.org
Darajat, Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Cet.7, Jakarta: PT Bumi Aksara,
2008
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta:
Proyek pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an Departemen Agama RI,
1984/1985
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Cet.I, Jakarta: PT Bumi Aksara,
1991)
Hasan Langgulung, Prof. Dr Asas-Asas Pendidikan Islam, PT Al-Husna Zikra,
Jakarta, Cet.I, 2000.
Jalaludin, Prof. Dr. H, Teologi Pendidikan,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001.
Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan
Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN
Walisongo, 2000.
13
14. Majid Fahry , Sejarah Filsafat Islam (Sebuah Peta Kronologis), Cet. I, Mizan, ,
Bandung, 2001.
Nasution, Harun, Filsafat Agama, Cet.V, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam dengan pendekatan Multidisipliner,
Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Paulo freire dalam Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman (pilihan Artike
lbasis). Sinhunata (ed), Kanisius, 2001 sebagaimana dikutip dalam Resensi
Amanat, Edisi 84/Februari 2001.
Quraisy Shihab, Dr. M., Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat”, Bandung, Mizan, Cet. XXV, 2003.
S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet.II,Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998
Salam, Burhanuddin, Logika materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Cet.I,Jakarta:
Reneka cipta, 1997
Syed M. Naquib Al- Attas, filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, (terj.Wan Mohd
Nor Wan Daud), Mizan, Bandung, Cet. I, 2003.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet.II, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994
14