Dokumen tersebut membahas tentang informasi sampah dan propaganda yang marak di media sosial Indonesia. Konten negatif seperti berita bohong, ujaran kebencian, dan isu SARA digunakan oleh beberapa pihak untuk memengaruhi pengguna media sosial. Influencer dan akun palsu juga turut memperparah masalah ini dengan menyebarkan informasi yang belum terverifikasi.
1. Dunia Maya :Dunia Maya :
Informasi SampahInformasi Sampah
dan Alat Propagandadan Alat Propaganda
Meledaknya arus informasi di jagad media social tak
pelak menghadirkan masalah, baik dalam skala kecil
maupun besar. Jika menyimak konten social media
Indonesia kekinian, ramai dengan konten-konten
negative, bagai sampah berserakan. Ujaran
kebencian, fitnah, hoax, sampai isu sara. Kontennya
beragam, mulai dari konteks sosial, ekonomi, politik,
sampai agama. Bentuknya pun beragam, mulai dari
teks, gambar, suara maupun video
2. Dunia Maya : Informasi Sampah dan Alat Propaganda
Media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Eskalasi pengguna internet berpengaruh besar pada peningkatan jumlah pengguna
media sosial. Akan tetapi, keterikatan masyarakat terhadap media sosial ternyata
menimbulkan sebuah "kegelisahan". Kegelisahan yang dimaksud berkaitan erat dengan
munculnya sampah dunia maya yang menimbulkan sebuah masalah baru, yaitu hadirnya
sikap antisosial.
Meledaknya arus informasi yang tak mengundang perdebatan antar pengguna, baik
dalam skala kecil maupun besar. Jika menyimak konten social media Indonesia jelang
pilpres 2019, ramai dengan konten-konten negative, bagai sampah berserakan. Ujaran
kebencian, fitnah, hoax, sampai isu sara. Kontennya beragam, mulai dari konteks sosial,
ekonomi, politik, sampai agama. Bentuknya pun beragam, mulai dari teks, gambar,
suara dan video.
Menjadi persoalan karena kebiasaan masyarakat kita begitu melihat dan menerima
informasi, menganggapnya menarik dan menyebarluaskan. Padahal informasi tersebut
yang belum terverifikasi kebenarannya. Dilain sisi para buzzer, Saracen, kelompok
tertentu atapun individu tertentu sengaja memanfaatkan media sosial untuk membuat
konten negatif menyebarluaskan dengan berbagai cara bahkan menghalalkan segala
cara. Lantas mengantarkan pengguna social media kepada perdebatan-perdebatan
yang menajam. Perdebatan berbumbu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
menjadi konten paling banyak menghiasi jagad media social Indonesia yang rentan
memicu permusuhan sampai sekarang ini.
Informasi sampah
Konten negatif, kabar bohong kembali mengalami kebangkitan di jagad media social
Indonesia. Konten yang tidak benar bisa anda temukan di dunia maya dengan mudah.
Pada hakikatnya, konten negatif dan berita palsu yang marak di media-media sosial saat
ini tidak berbeda dengan propaganda hitam yang disebar buat memicu perang dan
kebencian pada abad silam. Fenomena itu mengandalkan jumlah massa untuk
membumikan sebuah kebohongan. Karena semakin banyak yang percaya, semakin
nyata juga sebuah berita.
Masalah semacam ini dapat menuntun pengguna media social untuk menjadi selektif dan
kritis dalam menyimak segala sesuatu. Kecenderungan untuk melakukan chek & rechek
dapat mengajari pengguna social media (warganet) untuk lebih selektif mempercayai
segala bentuk dan jenis informasi yang diserap. Menyerap informasi sampah sama saja
dengan mengotori otak. Semakin banyak hal-hal yang tidak benar untuk dimasukkan di
dalam kepala maka semakin tinggi resiko mengalami bias pemahaman/ bias opini.
3. Para pengguna media social berlomba-lomba mempengaruhi pengguna lainnya.
Simaklah beberapa pengguna media social (influencer) yang punya follower hampir 1,5
juta di Facebook, ada banyak influencer media sosial lainnya yang berpengaruh besar
bagi pengikutnya. Tak cuma berkutat soal informasi sampah dan propaganda, para
influencer di Indonesia juga ‘jago ngoceh‘soal lain. Dari soal remeh seperti mengulas
seputar produk makanan, hingga influencer yang mendedikasikan akunnya khusus
membahas gosip terkini. Adapula influencer di wilayah religi yang ngotot
memperjuangkan pemikirannya, hingga yang semangat mempromosikan ideologi yang
diyakininya. Namun tampaknya isu politik masih jadi primadona, apalagi menjelang
pilpres 2019.
Para influencer berlomba-lomba mempengaruhi mereka yang gampang terpengaruh
dan mengandalkan informasi dari medsos. Mereka rajin membagi pandangan-
pandangan tentang beragam isu yang sedang naik daun. Jumlah ‘like' atau ‘share' di
Facebook bisa mencapai puluhan ribu, termasuk komentar yang masuk. Kadang catatan
yang mereka bagi cukup akurat dan bertanggung jawab, kala lain tak lebih dari sekadar
informasi sampah dan propaganda kosong untuk menjatuhkan mempengaruhi
pemikiran warganet atau pihak lawan. Atau mati-matian membela tokoh favorit mereka.
Mereka pun tak segan memfitnah, menghina menyebarkan ujaran kebencian, dsb.
Bagi banyak influencer tak bermutu yang mengandalkan kontroversi sebagai jualan,
sepertinya tak ada rasa enggan menyajikan informasi sampah asalkan sesuai agenda
mereka. Agar aman, sering pula mereka menambahkan tautan dari situs berita sesuai
propaganda yang ingin mereka sebarkan. Kalau ada kesalahan, dengan gampang
mereka mengelak, " saya kan hanya menyebarkan tautan dari situs berita.” Tak ada
tanggung jawab untuk benar-benar memilih berita yang layak dibagi ke pengikutnya
yang dengan naif mengamini.
Padahal mereka para influencer punya kekuatan untuk membantu pengguna medsos
memilah informasi yang berguna dan mencerdaskan. Buat non influencer yang gemar
berita sampah tapi semangat berbagi ada pula kiat pembenaran seperti "Saya dapat
informasi ini dari grup sebelah, nggak tahu juga hoax apa bukan.” Yang menakutkan,
pengguna medsos diharapkan menjadi "polisi” bagi arus informasi yang tampil di
medsos. Mereka dipaksa mampu menyaring informasi sampah dan informasi yang
berguna.
Sayangnya, terlalu banyak pengguna medsos yang malas bersusah payah memverifikasi
informasi yang disajikan influencer. Karenanya setiap pengguna medsos jangan
mengandalkan informasi dari influencer semata. Apalagi dengan gampang meng-klik
tombol "share” bahkan untuk informasi sampah yang semakin hari semakin tak masuk
akal.
4.
5. Alat Propaganda
Perkembangan penggunaan media sosial telah memainkan peranan penting dalam
peristiwa-peristiwa politik, seperti dalam pemilu maupun pilpres. Penggunaan media
sosial sebagai alat kampanye telah memberi ruang yang luas bagi setiap individu untuk
mengeksploitasi pemanfaatan media sosial dalam kepentingan politik, termasuk black
campaign atau propaganda politik.
Propaganda politik memang dimaksudkan untuk mendistorsi informasi, menciptakan
keresahan massa, dan provokatif, obituary itu telah memancing berbagai reaksi publik
serta menciptakan kegaduhan politik yang tidak perlu. Gaya propaganda seperti ini
sebetulnya bukan hal yang baru. Seringkali dalam berbagai momentum politik
bertebaran konten berita melalui jaringan media sosial. Celakanya, banyak pelaku
menggunakan akun anonim guna menghilangkan jejaknya sehingga sulit dimintai
pertanggungjawaban atas validitas informasi dan dampak yang ditimbulkannya. Agaknya
tepat jika para pelaku itu identik dengan yang pepatah katakan, 'lempar batu, sembunyi
tangan'.
Buzzer, Saracen, dan individu tertentu menggunakan media sosial untuk melakukan
propaganda, mengaduk-aduk emosi pengguna media social dengan menggalang isu
suku, ras, agama dan antargolongan (SARA). Untuk menyalurkan propaganda tersebut
mereka membuat akun media sosial misalnya Twitter, Facebook dan Instagram palsu
untuk 'berperang' melawan lawan politiknya. Mereka menyebarkan 60 hingga 120 berita
di akun palsu Twitter mereka. Sedangkan di Facebook, intensitas mereka menyebarkan
informasi pesanan mereka tak sekencang d Twitter.
Menguak desas-desus propaganda politik di media sosial yang sudah berhembus lama
selama ini, bahwa media sosial telah disesaki dengan akun partisan. Fenomena yang
menarik dari akun palsu ini adalah mereka menyebarkan propaganda menggunakan
media sosial Twitter. Platform ini memang cukup menjadi andalan penyebaran
propaganda. Sebab, platform komunikasi ini terbilang berbeda dengan platform seperti
Faceook, YouTube dan Instagram.
Trending topic atau hashtag yang diciptakan di Twitter, meski muncul selama satu hingga
dua jam saja, cukup untuk membangun narasi. Ismail mengatakan, narasi di Twitter ini
seringkali menjadi isu dan dimakan oleh media berita. Selain itu, jangkauan Twitter juga
lebih mudah untuk cepat meluas. Twitter mudah dimonitor siapa pun, dilihat dan dibaca
meski bukan teman atau follower, sehingga memudahkan beritanya sampai ke siapa pun
yang mengamatinya. Kanal lain juga dipakai, seperti Facebook, Instagram, YouTube dan
lainnya. Namun, Twitter masih jadi favorit untuk urusan propaganda politik.
Karena itu, kekritisan individu dan masyarakat sebagai pengguna media sosial menjadi
determinan dalam menentukan apakah konten tersebut dianggap kredibel dan layak
untuk dikonsumsi. Setiap individu harus mengembangkan kemampuan untuk menyeleksi
informasi yang diterima dan mengkategorisasikan informasi itu sesuai dengan
kepentingan yang lebih luas.
6. Harus diakui bahwa kemajuan teknologi yang telah menghadirkan media sosial
berkontribusi penting bagi peradaban manusia. Keberadaan media sosial akan
memberikan manfaat positif atau justru merusak masyarakat pada akhirnya tergantung
pada sikap para penggunanya. Padahal Tak terlalu sulit sebenarnya menggali sedikit
lebih dalam tentang sebuah berita atau isu yang sedang hangat. Ada banyak sumber
terpercaya yang bisa ditemukan di internet asalkan para pengguna cerdas memilah.
Dalam konteks itulah maka sikap dewasa, cerdas dan bertanggungjawab mustinya
dikembangkan agar pemanfaatan media sosial menjadi lebih konstruktif bagi
kepentingan bangsa. Selain itu, perlu semacam regulasi atau ketentuan agar para
pengguna media sosial memenuhi ketentuan registrasi yang jelas sehingga dapat
divalidasi pemilik akun. Hal ini penting mengingat Indonesia merupakan salah satu
negara terbesar pengguna media sosial dengan akun anonim terbanyak. Ketentuan
tersebut tidak untuk membatasi atau sensor aktivitas media sosial, tetapi guna melindungi
masyarakat dari paparan informasi yang menyesatkan dan dapat memecah belah
masyarakat.