SlideShare a Scribd company logo
1 of 18
Download to read offline
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa,
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan
martabat setiap warga negara;
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat
yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat
Indonesia;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi
kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk
Undang-Undang tentang Pornografi;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal
29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum,
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang
perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi
teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat
kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap
harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan
perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika,
berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta
menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan
ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi,
terutama bagi anak dan perempuan; dan
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung
layanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki,
atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau
model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang
mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di
muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan,
atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa
pornografi.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan
perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan
kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah
akses anak terhadap informasi pornografi.
Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga,
dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban
atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan
sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 18
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah
berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi
atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam
maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah
Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi
atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di
wilayahnya;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi di wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka
pencegahan pornografi di wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 21
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan
dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi;
dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak
pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG
PENGADILAN
Pasal 23
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran
pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 24
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak
terbatas pada:
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan,
baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Pasal 25
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa,
dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer,
jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa
layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik
yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah
menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data
elektronik dari penyidik.
Pasal 26
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau
penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 27
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa
dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa
dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas
kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang
dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 28
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan
pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-
luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan,
menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 30
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan
pidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau
model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung
muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di
muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan,
atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35,
dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 38
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi,
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri
maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut
diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi
menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus
korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus
di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap
korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda
yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat
dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas
antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap
orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang
berwajib untuk dimusnahkan.
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan
yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR181
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap
warga negara.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh
buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam
kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di
tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan
melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa
mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya
kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya
disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media
pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong
penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.
Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang
ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,
dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang
memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat
sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan
terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum,
nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;
2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang
harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang
melanggarnya; dan
3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda
dari pengaruh buruk dan korban pornografi.
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan
pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan
anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari
pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan
dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta
memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping
itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang
ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga
pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan
pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur
secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan
masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga
negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya diatur
berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya
sendiri dan kepentingan sendiri.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang"
antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan
mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain
persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan
(penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau
pemerkosaan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan” adalah
suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi
masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang
melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang
berperan atau bersikap seperti anak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “mengunduh” (down load) adalah mengambil fail dari
jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya.
Pasal 6
Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan
kepentingan sendiri.
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan"
misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang
mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan
atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan
tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan
lainnya.
Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di
tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau
diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau
ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual,
masturbasi, atau onani.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat,
memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan,
menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan.
Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam
ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini,
baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan
konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya
penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan
yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh
pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan
perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah
pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah
pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan" adalah agar masyarakat
tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan,
razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan “penyidik” adalah penyidik pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4928

More Related Content

What's hot

What's hot (8)

2004 23 penghapusan kdrt
2004 23 penghapusan kdrt2004 23 penghapusan kdrt
2004 23 penghapusan kdrt
 
Uu no 21_2007
Uu no 21_2007Uu no 21_2007
Uu no 21_2007
 
Uu 28-1999 bebas kkn
Uu 28-1999 bebas kknUu 28-1999 bebas kkn
Uu 28-1999 bebas kkn
 
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual AnakModul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
 
Penghapusan kdrt
Penghapusan kdrtPenghapusan kdrt
Penghapusan kdrt
 
Tentang Warga negara / kewarganegaraan
Tentang Warga negara / kewarganegaraan Tentang Warga negara / kewarganegaraan
Tentang Warga negara / kewarganegaraan
 
Kewarganegaraa1
Kewarganegaraa1Kewarganegaraa1
Kewarganegaraa1
 
Uu no 35_2014
Uu no 35_2014Uu no 35_2014
Uu no 35_2014
 

Similar to Uu no 44 thn 2008 ttg pornografi

Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)ECPAT Indonesia
 
UU no12 TPKS-2022
UU no12 TPKS-2022UU no12 TPKS-2022
UU no12 TPKS-2022LennyS12
 
Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022 TPKS.pdf
Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022 TPKS.pdfSalinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022 TPKS.pdf
Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022 TPKS.pdfIrawan Setyabudi
 
Perda 2 2017 ttg PPA PPB.pdf
Perda 2  2017 ttg PPA PPB.pdfPerda 2  2017 ttg PPA PPB.pdf
Perda 2 2017 ttg PPA PPB.pdfHerlita5
 
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdf
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdfSESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdf
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdfECPAT Indonesia
 
Undang-undang no.12 tentang lapas
Undang-undang no.12 tentang lapasUndang-undang no.12 tentang lapas
Undang-undang no.12 tentang lapasZainal Abidin
 
Modul 2 - Eksploitasi Seksual Anak (KPPPA)
Modul 2  - Eksploitasi Seksual Anak (KPPPA)Modul 2  - Eksploitasi Seksual Anak (KPPPA)
Modul 2 - Eksploitasi Seksual Anak (KPPPA)ECPAT Indonesia
 
RAN Pencegahan Bulying.pdf
RAN Pencegahan Bulying.pdfRAN Pencegahan Bulying.pdf
RAN Pencegahan Bulying.pdfpaulus7
 
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)Indriyatno Banyumurti
 
Materi 6 - Peran dan Tanggungjawab Pemerintah Desa atau Kelurahan
Materi 6 - Peran dan Tanggungjawab Pemerintah Desa atau KelurahanMateri 6 - Peran dan Tanggungjawab Pemerintah Desa atau Kelurahan
Materi 6 - Peran dan Tanggungjawab Pemerintah Desa atau KelurahanECPAT Indonesia
 
UU RI No.39 th 1999 ttg HAM
UU RI No.39 th 1999 ttg HAMUU RI No.39 th 1999 ttg HAM
UU RI No.39 th 1999 ttg HAMSei Enim
 
perda nomor 4 tahun 2013 ttg pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis
perda nomor 4 tahun 2013 ttg pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemisperda nomor 4 tahun 2013 ttg pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis
perda nomor 4 tahun 2013 ttg pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemisfionarazqa
 
Uu 2004 nomor 23 penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
Uu 2004 nomor 23 penghapusan kekerasan dalam rumah tanggaUu 2004 nomor 23 penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
Uu 2004 nomor 23 penghapusan kekerasan dalam rumah tanggaMystic333
 
UU No.23 th 2004 ttg KDRT
UU No.23 th 2004 ttg KDRTUU No.23 th 2004 ttg KDRT
UU No.23 th 2004 ttg KDRTSei Enim
 
Perda Kab. Padang Pariaman No 02 tahun 2004 tentang Pencegahan, Penindakan Da...
Perda Kab. Padang Pariaman No 02 tahun 2004 tentang Pencegahan, Penindakan Da...Perda Kab. Padang Pariaman No 02 tahun 2004 tentang Pencegahan, Penindakan Da...
Perda Kab. Padang Pariaman No 02 tahun 2004 tentang Pencegahan, Penindakan Da...Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman
 

Similar to Uu no 44 thn 2008 ttg pornografi (20)

UU_2008_44.pdf
UU_2008_44.pdfUU_2008_44.pdf
UU_2008_44.pdf
 
RUU TPKS
RUU TPKSRUU TPKS
RUU TPKS
 
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
 
UU no12 TPKS-2022
UU no12 TPKS-2022UU no12 TPKS-2022
UU no12 TPKS-2022
 
Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022 TPKS.pdf
Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022 TPKS.pdfSalinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022 TPKS.pdf
Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022 TPKS.pdf
 
Perda 2 2017 ttg PPA PPB.pdf
Perda 2  2017 ttg PPA PPB.pdfPerda 2  2017 ttg PPA PPB.pdf
Perda 2 2017 ttg PPA PPB.pdf
 
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdf
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdfSESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdf
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdf
 
1999 39 ham
1999 39 ham1999 39 ham
1999 39 ham
 
Undang-undang no.12 tentang lapas
Undang-undang no.12 tentang lapasUndang-undang no.12 tentang lapas
Undang-undang no.12 tentang lapas
 
Modul 2 - Eksploitasi Seksual Anak (KPPPA)
Modul 2  - Eksploitasi Seksual Anak (KPPPA)Modul 2  - Eksploitasi Seksual Anak (KPPPA)
Modul 2 - Eksploitasi Seksual Anak (KPPPA)
 
Pemberantasan kkn
Pemberantasan kknPemberantasan kkn
Pemberantasan kkn
 
RAN Pencegahan Bulying.pdf
RAN Pencegahan Bulying.pdfRAN Pencegahan Bulying.pdf
RAN Pencegahan Bulying.pdf
 
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
 
Materi 6 - Peran dan Tanggungjawab Pemerintah Desa atau Kelurahan
Materi 6 - Peran dan Tanggungjawab Pemerintah Desa atau KelurahanMateri 6 - Peran dan Tanggungjawab Pemerintah Desa atau Kelurahan
Materi 6 - Peran dan Tanggungjawab Pemerintah Desa atau Kelurahan
 
UU RI No.39 th 1999 ttg HAM
UU RI No.39 th 1999 ttg HAMUU RI No.39 th 1999 ttg HAM
UU RI No.39 th 1999 ttg HAM
 
Ham (Hak Asasi Manusia)
Ham (Hak Asasi Manusia)Ham (Hak Asasi Manusia)
Ham (Hak Asasi Manusia)
 
perda nomor 4 tahun 2013 ttg pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis
perda nomor 4 tahun 2013 ttg pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemisperda nomor 4 tahun 2013 ttg pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis
perda nomor 4 tahun 2013 ttg pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis
 
Uu 2004 nomor 23 penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
Uu 2004 nomor 23 penghapusan kekerasan dalam rumah tanggaUu 2004 nomor 23 penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
Uu 2004 nomor 23 penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
 
UU No.23 th 2004 ttg KDRT
UU No.23 th 2004 ttg KDRTUU No.23 th 2004 ttg KDRT
UU No.23 th 2004 ttg KDRT
 
Perda Kab. Padang Pariaman No 02 tahun 2004 tentang Pencegahan, Penindakan Da...
Perda Kab. Padang Pariaman No 02 tahun 2004 tentang Pencegahan, Penindakan Da...Perda Kab. Padang Pariaman No 02 tahun 2004 tentang Pencegahan, Penindakan Da...
Perda Kab. Padang Pariaman No 02 tahun 2004 tentang Pencegahan, Penindakan Da...
 

More from Wiji Trangkil

Cara praktis akar pangkat tiga
Cara praktis akar pangkat tigaCara praktis akar pangkat tiga
Cara praktis akar pangkat tigaWiji Trangkil
 
Cara praktis menghitung akar kuadrat
Cara praktis menghitung akar kuadratCara praktis menghitung akar kuadrat
Cara praktis menghitung akar kuadratWiji Trangkil
 
Tes formatif sistem administrasi wilayah
Tes formatif sistem administrasi wilayahTes formatif sistem administrasi wilayah
Tes formatif sistem administrasi wilayahWiji Trangkil
 
Lembar kerja siswa sistem administrasi
Lembar kerja siswa sistem administrasiLembar kerja siswa sistem administrasi
Lembar kerja siswa sistem administrasiWiji Trangkil
 
Lembar kerja siswa p kn perumusan pancasila
Lembar kerja siswa p kn perumusan pancasilaLembar kerja siswa p kn perumusan pancasila
Lembar kerja siswa p kn perumusan pancasilaWiji Trangkil
 

More from Wiji Trangkil (20)

Undangan finalis
Undangan finalisUndangan finalis
Undangan finalis
 
Cara praktis akar pangkat tiga
Cara praktis akar pangkat tigaCara praktis akar pangkat tiga
Cara praktis akar pangkat tiga
 
Cara praktis menghitung akar kuadrat
Cara praktis menghitung akar kuadratCara praktis menghitung akar kuadrat
Cara praktis menghitung akar kuadrat
 
Tes formatif sistem administrasi wilayah
Tes formatif sistem administrasi wilayahTes formatif sistem administrasi wilayah
Tes formatif sistem administrasi wilayah
 
Lembar kerja siswa sistem administrasi
Lembar kerja siswa sistem administrasiLembar kerja siswa sistem administrasi
Lembar kerja siswa sistem administrasi
 
Lembar kerja siswa p kn perumusan pancasila
Lembar kerja siswa p kn perumusan pancasilaLembar kerja siswa p kn perumusan pancasila
Lembar kerja siswa p kn perumusan pancasila
 
Promes tematik 3
Promes tematik 3Promes tematik 3
Promes tematik 3
 
Promes tematik 2
Promes tematik 2Promes tematik 2
Promes tematik 2
 
Promes kelas i
Promes kelas iPromes kelas i
Promes kelas i
 
Prota ips iv
Prota ips ivProta ips iv
Prota ips iv
 
Prota ips v
Prota ips vProta ips v
Prota ips v
 
Prota ipa v
Prota ipa vProta ipa v
Prota ipa v
 
Prota ipa iv
Prota ipa ivProta ipa iv
Prota ipa iv
 
Prota matematika v
Prota matematika vProta matematika v
Prota matematika v
 
Prota matematika iv
Prota matematika ivProta matematika iv
Prota matematika iv
 
Prota pkn v
Prota pkn vProta pkn v
Prota pkn v
 
Prota pkn iv
Prota pkn ivProta pkn iv
Prota pkn iv
 
Prota tematik 3
Prota tematik 3Prota tematik 3
Prota tematik 3
 
Prota tematik 2
Prota tematik 2Prota tematik 2
Prota tematik 2
 
Prota tematik 2
Prota tematik 2Prota tematik 2
Prota tematik 2
 

Recently uploaded

Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaIndra Wardhana
 
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxPengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxEkoPriadi3
 
file power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdffile power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdfAgungIstri3
 
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxBPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxendang nainggolan
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxbinsar17
 
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptxYudisHaqqiPrasetya
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxFucekBoy5
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanIqbaalKamalludin1
 
MAQASHID SYARI'AH DALAM DISPENSASI NIKAH.pptx
MAQASHID SYARI'AH DALAM DISPENSASI NIKAH.pptxMAQASHID SYARI'AH DALAM DISPENSASI NIKAH.pptx
MAQASHID SYARI'AH DALAM DISPENSASI NIKAH.pptxadesofyanelabqory
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxFeniannisa
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptAlMaliki1
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptJhonatanMuram
 

Recently uploaded (12)

Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
 
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxPengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
 
file power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdffile power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdf
 
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxBPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
 
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
 
MAQASHID SYARI'AH DALAM DISPENSASI NIKAH.pptx
MAQASHID SYARI'AH DALAM DISPENSASI NIKAH.pptxMAQASHID SYARI'AH DALAM DISPENSASI NIKAH.pptx
MAQASHID SYARI'AH DALAM DISPENSASI NIKAH.pptx
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
 

Uu no 44 thn 2008 ttg pornografi

  • 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara; b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia; c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.
  • 2. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya. 3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. 5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pasal 2 Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Pasal 3 Undang-Undang ini bertujuan: a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk; c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
  • 3. BAB II LARANGAN DAN PEMBATASAN Pasal 4 (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak. (2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Pasal 5 Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). Pasal 6 Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 8 Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
  • 4. Pasal 9 Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Pasal 10 Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Pasal 11 Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10. Pasal 12 Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi. Pasal 13 (1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. (2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus. Pasal 14 Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  • 5. BAB III PERLINDUNGAN ANAK Pasal 15 Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi. Pasal 16 (1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IV PENCEGAHAN Bagian Kesatu Peran Pemerintah Pasal 17 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal 18 Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet; b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
  • 6. Pasal 19 Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya; b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya. Bagian Kedua Peran Serta Masyarakat Pasal 20 Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal 21 (1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini; b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 22 Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
  • 7. BAB V PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 23 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pasal 24 Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya. Pasal 25 (1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya. (2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik. (3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik. Pasal 26 Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan. Pasal 27 (1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara. (2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
  • 8. (3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus. BAB VI PEMUSNAHAN Pasal 28 (1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan. (2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi; b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan; c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan. BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 29 Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar- luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 30 Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 31 Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  • 9. Pasal 32 Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 33 Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 34 Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 35 Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 36 Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 37 Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
  • 10. Pasal 38 Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 39 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan. Pasal 40 (1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. (2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. (4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain. (5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini. Pasal 41 Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa: a. pembekuan izin usaha; b. pencabutan izin usaha; c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
  • 11. d. pencabutan status badan hukum. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 43 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan. Pasal 44 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 45 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR181
  • 12. PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI I. UMUM Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia. Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi. Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah: 1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama; 2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan 3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.
  • 13. Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan. Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai- nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Huruf a Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.
  • 14. Huruf b Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Yang dimaksud dengan “mengunduh” (down load) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya. Pasal 6 Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya. Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud. Pasal 7 Cukup jelas.
  • 15. Pasal 8 Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan. Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan. Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan. Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan
  • 16. perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan" adalah agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya.
  • 17. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Yang dimaksud dengan “penyidik” adalah penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas.
  • 18. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4928