Kerajaan Sumedang Larang didirikan pada abad ke-16 di Jawa Barat dan berperan penting dalam penyebaran Islam di wilayah tersebut. Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Agung Resi Cakrabuana pada tahun 950 dan kemudian oleh keturunannya hingga Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri pada pertengahan abad ke-16, menandai masuknya pengaruh Islam di kerajaan ini.
1. Kerajaan Sumedang Larang
Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan
berdiri sejak abad ke-16 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak
sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti
sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat,
sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.
Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu
dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat
kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat
dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan
Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi
kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu,
Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang
memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.
No. Masa[1]
Tahun
1
Kerajaan Sumedang Larang
900 - 1601
2
Pemerintahan Mataram II
1601 - 1706
3
Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) 1706 - 1811
4
Pemerintahan Inggris
1811 - 1816
5
Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie
1816 - 1942
6
Pemerintahan Jepang
1942 - 1945
2. 7
Pemerintahan Republik Indonesia
1945 - 1947
8
Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda
1947 - 1949
9
Pemerintahan Negara Pasundan
1949 - 1950
10 Pemerintahan Republik Indonesia
1950 - sekarang
Asal-mula nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh
yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putihatas perintah Prabu
Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring
dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami
beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung
(Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji
Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti
menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah
berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi.
Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya
menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang
berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi
Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
3. Pemerintahan berdaulat
No.
Nama[1]
1
Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
Tahun
a Prabu Guru Aji Putih
b Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela
950
c Prabu Gajah Agung
980
d Sunan Guling
1000
e Sunan Tuakan
1200
f Nyi Mas Ratu Patuakan
1450
g Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata
1530 - 1578
h Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya
2
900
1578 - 1601
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II
a R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I
1601 - 1625
b Pangeran Rangga Gede
1625 - 1633
4. c Pangeran Rangga Gempol II
1633 - 1656
d Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III
1656 - 1706
Nama
3
Bupati
Wedana
Masa
Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang
a Dalem Tumenggung Tanumaja
1706 - 1709
b Pangeran Karuhun
1709 - 1744
c Dalem Istri Rajaningrat
1744 - 1759
d Dalem Anom
1759 - 1761
e Dalem Adipati Surianagara
1761 - 1765
f Dalem Adipati Surialaga
1765 - 1773
g Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang)
1773 - 1775
h Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang)
1775 - 1789
i
Dalem Aria Sacapati
1789 - 1791
j
Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata
1791 - 1800
k Bupati Republik Batavia Nederland
1800 - 1810
5. l
m
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon
Bonaparte
Bupati
Kerajaan
Nederland,
dibawah
Kaisar
Napoleon
Bonaparte
1805 - 1810
1810 - 1811
n Bupati Masa Pemerintahan Inggris
1811 - 1815
o Bupati Kerajaan Nederland
1815 - 1828
p Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung
1828 - 1833
q Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit
1833 - 1834
r Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja
1834 - 1836
s Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih
1836 - 1882
t Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah
1882 - 1919
u Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang
1919 - 1937
v
Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria
Sumantri
1937 - 1942
w Bupati Masa Pemerintahan Jepang
1942 - 1945
x Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia
1945 - 1946
6. 4
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Raden Hasan Suria Sacakusumah
5
Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia
a Raden Tumenggung M. Singer
6
1947 - 1949
Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan
a Raden Hasan Suria Sacakusumah
7
1946 - 1947
1949 - 1950
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia)
1950
b Raden Abdurachman Kartadipura
1950 - 1951
c Sulaeman Suwita Kusumah
1951 - 1958
d Antan Sastradipura
1958 - 1960
e Muhammad Hafil
1960 - 1966
f Adang Kartaman
1966 - 1970
g Drs. Supian Iskandar
1970 - 1972
7. h Drs. Supian Iskandar
1972 - 1977
i
Drs. Kustandi Abdurahman
1977 - 1983
j
Drs. Sutarja
1983 - 1988
k Drs. Sutarja
1988 - 1993
l
1993 - 1998
Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra
m Drs. H. Misbach
1998 - 2003
n H. Don Murdono,SH. Msi
2003 - 2008
o H. Don Murdono,SH. Msi
2008 - 2013
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu
Agung
Resi
Cakrabuana atau
lebih
dikenal Prabu
Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal
berdiri
bernama Kerajaan
Tembong
Agung dengan
ibukota
di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu
Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada
kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi
raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi
raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika
kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala
(sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah
pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena
sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut
8. sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang
Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu
Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga
Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah
itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu
Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap
berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di
Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke
Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua
orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan
mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang
melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling
meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan.
Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas
Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu
Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang
putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal
menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra
Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang
keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan
Sunan Gunung Jati dari Cirebon.Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan
julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang
sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di
Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah
Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai
perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan
raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah;
menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan
memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di
wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman
(Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab
9. Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai
penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk
Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya.
Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan
dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam
orang anak, yaitu :
1. Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya
memeluk agama Islam.
3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan,
Subang.
5. Santowaan Cikeruh.
6. Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota
Sumedang.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan
kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota
kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah
kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan)
kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun
mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik
pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga
Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden
Aria Suradiwangsamenggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran
Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan
Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama
Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat
kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton
beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke
Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang
10. disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas
simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan
lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih
tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga Lante yang
menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah
Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang
Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten
(wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya
mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa
Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang,
sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya
Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan
Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya
Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu
Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan
Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta
yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan
bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang
pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang
menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu
Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi
ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat
prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang
ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan
Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua
sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang
rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri
Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu
Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya,
Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya mengancam
akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu,
Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu
Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu
untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak
11. dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu
bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai
Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan
itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh
Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang
Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan
yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas
orang anak:
1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
2. Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
3. Kiyai Kadu Rangga Gede
4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
6. Raden Ngabehi Watang
7. Nyi Mas Demang Cipaku
8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
10.Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
11.Nyi Mas Rangga Pamade
12.Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
13.Rd. Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu
14.Pangeran Tumenggung Tegalkalong
15.Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang,
karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati
(bupati).
12. Pemerintahan di bawah Mataram
Dipati Rangga Gempol
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M
Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaanKerajaan Mataram di bawah Sultan
Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal
ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah
pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten danBelanda, yang sedang
mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah
kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan
ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada
adiknya, Dipati Rangga Gede.
Dipati Rangga Gede
Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan
pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten
untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan
Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung
sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya
diserahkan kepada Dipati Ukur.
Dipati Ukur
Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur).
Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata
atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan
menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober
tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda
harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama
menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa
tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian
menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun
13. memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil
menunggu bantuan pasukan dari Jawa.
Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang
melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan
Sunda tak ada di sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya
membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan
Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari
Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa
para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh
panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada
di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu
mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk
menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan
kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda
mereka.
Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk
menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau
Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para
utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan
Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari
kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan
oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan
Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika
gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka,
panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati
mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC.
Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka
karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan
kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena
mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau
memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak
maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan
Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati.
Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari
Mataram.
14. Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang
harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi
beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang
mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti
Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan,
Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di
antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala
dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.
Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan
kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutapura,
salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah
Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa
keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya
(dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya
Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke
Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara
dipenggal kepalanya. Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar
Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram
yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk
setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang
membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan
masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada
akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah
satu lumbung padi di Jawa Barat.
Pembagian wilayah kerajaan
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan
kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar
Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian [4]:
Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul
Sukakerta, gelar
Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar
Tumenggung Wirangun-angun,
Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar
Tumenggung Tanubaya.
15. Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau
Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati
(kepala para bupati) Priangan.
Peninggalan budaya
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan
konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu.
Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan rajaraja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat
secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan
alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan
pemerintah daerah setempat.