Shalat istikharah merupakan doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw untuk meminta petunjuk Allah dalam menghadapi setiap urusan. Doa ini dibaca setelah mengerjakan shalat sunnah dua rakaat dengan memohon hidayah Allah atas urusan yang akan diambil keputusan. Setelah istikharah, seseorang harus memilih untuk mengerjakan urusan tersebut dengan penuh pasrah kepada ridha Allah.
1. Shalat Istikharah
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata:
“Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam setiap
urusan yan kami hadapi sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari
Al-Qur‟an. Beliau shallallahu „alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang dari kalian
menghadapi masalah maka ruku‟lah (shalat) dua raka‟at yang bukan shalat wajib
kemudian berdo‟alah:
Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika
wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa
ta’lamu wa laa ‘Abdullah’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma
in kunta ta’lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa
ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” atau; ‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu
liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna
haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy”
aw qaola; fiy ‘aajili amriy wa aajilihi fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu
waqdurliyl khaira haitsu kaana tsummar dhiniy.”
(Ya Allah aku memohon pilihan kepada-Mu dengan ilmuMu dan memohon
kemampuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon karunia-Mu yang Agung.
Karena Engkau Maha Mampu sedang aku tidak mampu, Engkau Maha
Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, Engkaulah yang Maha Mengetahui
perkara yang gaib. Ya Allah bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik
untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau
bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka takdirkanlah buatku dan
mudahkanlah kemudian berikanlah berkah padanya. Namun sebaliknya ya Allah,
bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, bagi agamaku,
kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau bersabda: di waktu dekat
atau di masa nanti- maka jauhkanlah urusan dariku dan jauhkanlah aku darinya.
Dan tetapkanlah buatku urusan yang baik saja dimanapun adanya kemudian
jadikanlah aku ridha dengan ketetapan-Mu itu”. Beliau bersabda: “Dia sebutkan
2. urusan yang sedang diminta pilihannya itu”. (HR. Al-Bukhari no. 1162)
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui
bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik
bagiku …, dan seterusnya.
Penjelasan ringkas:
Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah, mereka sangat
membutuhkan bantuan dari Allah Ta’ala dalam semua urusan mereka. Hal itu
karena dia tidak mengetahui hal yang ghaib sehingga dia tidak bisa mengetahui
mana amalan yang akan mendatangkan kebaikan dan mana yang akan
mendatangkan kejelekan bagi dirinya. Karenanya, terkadang seseorang hendak
mengerjakan suatu perkara dalam keadaan dia tidak mengetahui akibat yang akan
lahir dari perkara tersebut atau hasilnya mungkin akan meleset dari perkiraannya.
Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mensyariatkan adanya
istikharah, yaitu permintaan kepada Allah agar Dia berkenan memberikan hidayah
kepadanya menuju kepada kebaikan. Yang mana doa istikharah ini dipanjatkan
kepada Allah setelah dia mengerjakan shalat sunnah dua rakaat.
Allah Ta’ala berfirman:
.
.
ال
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali
tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang
mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang
disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah
segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya
kepada-Nyalah
kalian
dikembalikan.” (QS.
Al-Qashash:
68-70)
Imam Muhammad bin Ahmad Al-Qurthuby rahimahullah berkata, “Sebagian ulama
mengatakan: Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk mengerjakan suatu urusan
dari urusan-urusan dunia kecuali setelah dia meminta pilihan kepada Allah dalam
urusan tersebut. Yaitu dengan dia shalat dua rakaat shalat istikharah.” (Al-Jami’ li
Ahkam Al-Qur`an: 13/202)
Shalat istikharah termasuk dari shalat-shalat sunnah berdasarkan kesepakatan para
ulama. Al-Hafizh Al-Iraqi berkata -sebagaimana dalam Fath Al-Bari (11/221-222),
“Saya tidak mengetahui ada ulama yang berpendapat wajibnya shalat istikharah.”
Faidah:
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath (11/220), “Ibnu Abi Hamzah
berkata: Amalan yang wajib dan yang sunnah tidak perlu melakukan
istikharah dalam melakukannya, sebagaimana yang haram dan makruh
tidak perlu melakukan istikharah dalam meninggalkannya.
Maka urusan yang butuh istikharah hanya terbatas pada perkara yang
mubah dan dalam urusan yang sunnah jika di depannya ada dua amalan sunnah
yang hanya bisa dikerjakan salah satunya, mana yang dia kerjakan lebih dahulu dan
yang dia mencukupkan diri dengannya.” Maka janganlah sekali-kali kamu
meremehkan suatu urusan, akan tetapi hendaknya kamu beristikharah kepada Allah
dalam urusan yang kecil dan yang besar, yang mulia atau yang rendah, dan pada
semua amalan yang disyariatkan istikharah padanya. Karena terkadang ada amalan
yang dianggap remeh akan tetapi lahir darinya perkara yang mulia.”
3. Berikut beberapa permasalahan yang sering ditanyakan berkenaan dengan
istikharah:
1. Apakah boleh istikharah dengan doa selain doa di atas atau dengan
bahasa Indonesia?
Jawab: Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata dalam hadits di atas, “Rasulullah
shallallahu „alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yang
kami hadapi sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur‟an.”
Ucapan ini menunjukkan bahwa dalam istikharah seseorang hanya boleh
membaca doa di atas sesuai dengan konteks aslinya, tidak boleh ada
penambahan dan tidak boleh juga ada pengurangan. Hal itu karena Nabi
shallallahu alaihi wasallam menyerupakan pengajaran istikharah seperti pengajaran
surah Al-Qur`an. Maka sebagaimana suatu ayat dalam Al-Qur`an tidak boleh
ditambah atau dikurangi atau dirubah maka demikian halnya dengan doa istikharah.
Karenanya tidak boleh berdoa dengan membaca terjemahannya semata, tapi dia
harus membacanya sebagaimana Nabi mengajarkannya.
Barangsiapa yang berdoa dengan terjemahannya maka dia tidak teranggap
melakukan istikharah, akan tetapi dia hanya dianggap sedang berdoa kepada Allah.
Hal ini telah diisyaratkan oleh Muhammad bin Abdillah bin Al-Haaj Al-Maliki
rahimahullah dalam Al-Madkhal (4/37-38)
2. Apakah boleh langsung berdoa dengan doa di atas tanpa melakukan
shalat sebelumnya?
Jawab: Wallahu a’lam, yang nampak bahwa 2 rakaat dengan doa ini
merupakan satu kesatuan dalam istikharah. Karenanya barangsiapa yang
hanya berdoa tanpa mengerjakan shalat maka dia tidak dianggap mengerjakan
istikharah yang tersebut dalam hadits ini. Walaupun dia tetap dianggap sebagai
orang
yang
berdoa
kepada
Allah.
Akan tetapi jika dia ada uzur dalam mengerjakan shalat -misalnya wanita yang
tengah haid atau nifas-, maka dia boleh langsung berdoa dan itu sudah dianggap
sebagai istikharah karenanya adanya uzur untuk tidak mengerjakan shalat. Ini
merupakan mazhab Al-Hanafiah, Al-Malikiah, dan Asy-Syafi’iyah.
Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Adzkar hal. 112, “Jika dia tidak bisa
mengerjakan shalat karena ada uzur, maka hendaknya dia cukup
beristikharah dengan doa.”
3. Apakah dua rakaat ini merupakan shalat khusus, ataukah berlaku
untuk semua shalat sunnah dua rakaat?
Jawab: Lahiriah hadits menunjukkan ini merupakan shalat dua rakaat khusus
dengan niat untuk istikharah. Hanya saja jika seseorang shalat sunnah rawatib
dengan niat rawatib sekaligus niat istikharah (menggabungkan niat), maka itu sudah
cukup baginya dan dia sudah boleh langsung berdoa setelahnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Jika dia meniatkan shalat itu dengan niatnya dan
dengan niat shalat istikharah secara bersamaan (menggabungkan niatnya, pent.)
maka shalatnya itu sudah syah dianggap sebagai istikharah, berbeda halnya jika dia
tidak meniatkannya (sebagai shalat istikharah).” (Fath Al-Bari: 11/221)
Sekedar menguatkan isi hadits, bahwa dua rakaat yang dimaksud haruslah
merupakan shalat sunnah. Karenanya shalat subuh tidak bisa diniatkan sebagai
shalat istikharah karena dia merupakan shalat wajib.
4. Adakah surah khusus yang disunnahkan untuk dibaca dalam shalat
istikharah?
4. Jawab: Al-Hafizh Al-Iraqi rahimahullah berkata, “Saya tidak menemukan
sedikitpun dalam jalan-jalan hadits istikharah adanya penentuan surah
tertentu
yang
dibaca
di
dalamnya.” (Umdah
Al-Qari`:
7/235)
Inilah pendapat yang benar karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan
adanya surah tertentu yang lebih utama dibaca dalam shalat istikharah. Sementara
tidak boleh menentukan lebih utamanya suatu surah dibandingkan yang lainnya dari
sisi bacaan kecuali dengan dalil yang shahih.
5. Bagi yang tidak menghafal doanya, apakah dia bisa membacanya dari
sebuah buku?
Jawab: Yang jelas, yang pertama kita katakan: Hendaknya dia berusaha
semaksimal
mungkin
untuk
menghafalnya.
Jika dia tidak sanggup, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali
dengan kemampuannya. Dalam keadaan seperti ini dia diperbolehkan membaca
doa ini dengan melihat kepada kitab atau catatannya. Al-Lajnah Ad-Da`imah
menjawab ketika diajukan pertanyaan yang senada dengan di atas, “Jika engkau
menghafal doa istikharah atau engkau membacanya dari kitab, maka tidak ada
masalah. Hanya saja kamu wajib bersungguh-sungguh dalam berkonsentrasi dan
khusyu’ kepada Allah serta jujur dalam berdoa.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah:
8/161)
6. Bolehkah shalat istikharah pada waktu yang terlarang shalat?
Jawab: Jika shalat istikharahnya masih bisa ditunda hingga keluar dari waktu yang
terlarang maka inilah yang lebih utama dia kerjakan. Akan tetapi shalat
istikharah ini jika tidak bisa diundur atau dia butuhkan saat itu juga,
maka dia boleh mengerjakannya saat itu juga walaupun pada waktu yang
terlarang. Karena jika shalat istikharah itu dibutuhkan secepatnya, maka jadilah
dia shalat sunnah yang disyariatkan karena adanya sebab, sementara sudah
dimaklumi bahwa waktu-waktu terlarang shalat ini tidak berlaku pada shalat-shalat
sunnah yang mempunyai sebab, seperti tahiyatul masjid, shalat sunnah wudhu, dan
semacamnya.
Bolehnya shalat sunnah yang mempunyai sebab dikerjakan pada waktu-waktu
terlarang merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i dan sebuah riwayat dari Imam
Ahmad, serta pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. (Lihat
Majmu’ Al-Fatawa: 23/210-215)
7. Apa yang dia lakukan setelah istikharah?
Jawab: Sebelumnya butuh diingatkan bahwa sebelum melakukan
istikharah hendaknya dia mengosongkan hatinya dari kecondongan
kepada salah satu urusan dari dua urusan yang dia akan mintai pilihan
(tidak berpihak kepada satu pilihan). Akan tetapi hendaknya dia
melepaskan diri dari semua pilihan tersebut dan betul-betul pasrah
menyerahkan nasibnya dan pilihannya kepada Allah Ta’ala.
Imam Al-Qurthuby berkata, “Para ulama menyatakan: Hendaknya dia
mengosongkan hatinya dari semua pikiran (berkenaan dengan urusan yang akan dia
hadapi) agar hatinya tidak condong kepada salah satu urusan (sebelum dia
istikharah).”
(Al-Jami’
li
Ahkam
Al-Qur`an:
13/206)
Kemudian, setelah dia melakukan istikharah, maka hendaknya dia memilih untuk
mengerjakan apa yang hendak dia lakukan dari urusan yang tadinya dia minta
pilihan padanya. Jika urusan itu merupakan kebaikan maka insya Allah Allah akan
memudahkannya dan jika itu merupakan kejelekan maka insya Allah Allah akan
5. memalingkannya
dari
urusan
tersebut.
Muhammad bin Ali Az-Zamlakani rahimahullah berkata,
“Jika seseorang sudah shalat istikharah dua rakaat untuk suatu urusan, maka
setelah itu hendaknya dia mengerjakan urusan yang dia ingin kerjakan, baik
hatinya lapang/tenang dalam mengerjakan urusan itu ataukah tidak, karena pada
urusan tersebut terdapat kebaikan walaupun mungkin hatinya tidak tenang dalam
mengerjakannya.” Dan beliau juga berkata, “Karena dalam hadits (Jabir) tersebut
tidak disebutkan adanya kelapangan/ketenangan jiwa.” (Thabaqat Asy-Syafi‟iah
Al-Kubra: 9/206) Maksudnya: Dalam hadits Jabir di atas tidak disebutkan bahwa
hendaknya dia mengerjakan apa yang hatinya tenang dalam mengerjakannya,
wallahu a‟lam.
Karenanya, termasuk khurafat adalah apa yang diyakini oleh sebagian
orang bahwa: Siapa yang sudah melakukan istikharah maka dia tidak melakukan
apa-apa hingga mendapatkan mimpi yang baik atau mimpi yang akan
mengarahkannya dan seterusnya. Ini sungguh merupakan perbuatan orang
yang jahil tatkala dia menyandarkan urusannya pada sebuah mimpi, wallahul
musta’an.
8. Jika hatinya masih ragu-ragu atau hatinya belum mantap dalam
mengerjakan urusan yang tadinya dia sudah beristikharah untuknya.
Apakah dia boleh mengulangi shalat istikharahnya?
Jawab:
Boleh
berdasarkan
beberapa
dalil
di
antaranya:
1. Istikharah merupakan doa, dan di antara kebiasaan Nabi shallallahu alaihi
wasallam dalam berdoa adalah mengulanginya sebanyak tiga kali.
Hadits ini kami bawakan bukan untuk menunjukkan shalat istikharah diulang
sebanyak tiga kali, akan tetapi hanya untuk menunjukkan bolehnya mengulangi doa.
2. Shalat istikharah adalah shalat yang disyariatkan karena adanya sebab.
Karenanya, selama sebab itu masih ada dan belum hilang maka tetap disyariatkan
mengerjakan
shalat
ini.
Inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama di antanya: Imam Badruddin Al-Aini dalam
Umdah Al-Qari` (7/235), Ali Al-Qari dalam Mirqah Al-Mafatih (3/406), dan Imam
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/89).
9. Haruskah shalat istikharah dikerjakan di malam hari?
Jawab: Dalam hadits di atas tidak ada keterangan waktu pengerjaannya. Karena
shalat ini bisa dikerjakan kapan saja baik siang maupun malam hari.
Barangsiapa yang meyakini shalat ini hanya bisa dikerjakan di malam
hari maka keyakinannya ini keliru. Walaupun tentunya jika dia
mengerjakannya pada waktu-waktu dimana doa mustajabah -seperti antara azan dan
iqamah, sepertiga malam terakhir, dan seterusnya-, maka itu lebih utama.
Demikian beberapa pertanyaan yang sempat hadir dalam ingatan kami, jika ada
pertanyaan lain silakan dituliskan pada kolom komentar.
[Rujukan utama: Kasyf As-Sitarah 'an Shalah Al-Istikharah]