Profil sejarah kerajaan muna dan hubungannya dengan kerajaan di tanah melayu
1. Muna juga merupakan salah suku besar di Sulawesi Tenggara, bahasa yang
dipakai penduduk pribumi juga menggunakan bahasa muna. Daerah ini dahulunya
adalah sebuah kerajaan pada permulaan abad ke-15. Banyak peninggalanpeninggalan yang terdapat di gua-gua di daerah ini yang diperkirakan dibuat pada
abad XV dan XVI seperti lukisan manusia terbang, prajurit bertombak dan lainlain.
Pada zaman dahulu daerah ini bernama Wuna yang berarti bunga. Konon nama
wuna ada karena adanya batu yang menyerupai bunga dan sewaktu-waktu tumbuh
(orang menyebutnya kontu kowuna artinya batu berbunga). Suku-suku lain di
Sulawesi Tenggara mengenal muna juga dengan sebutan Wuna. Kecuali jika
berbahasa Indonesia, tetap disebut dengan kata muna.
Kisah Sawerigading (Sawerigadi)
Cerita turun-temurun yang melekat pada masyarakat muna bahwa pada zaman
dahulu ada sebuah kapal yang bernama Sawerigading (Sawerigadi) yang berasal
dari Luwu Sulawesi Selatan. Kapal ini menabrak karang di Pulau Muna. Kapal
tersebut lama kelamaan diliputi karang dan menjadilah sebuah bukit yang saat ini
dikenal dengan nama bukit bahutara (bahutara mungkin berasal bahasa Melayu
yakni kata bahtera yang berarti perahu). Bukit tersebut saat ini merupakan
bukit batu yang sewaktu-waktu tumbuh dan menyerupai bunga (letaknya di Kota
Kuno sekitar 35 km dari ibukota kabupaten muna Raha). Oleh penduduk daerah
ini disebut kontu kowuna artinya batu berbunga (Mungkin dari sinilah asal kata
Wuna berasal). Pada setiap Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha batu berbunga
menjadi tujuan utama warga muna untuk mengambilnya dan dijadikan jimat.
Karena kapal Sawerigading telah menjadi bukit maka ia bersama para
pengikutnya mendirikan perkampungan di Pulau Muna dan sebagian awak kapal
menuju daratan Sulawesi kira-kira sekitar Kendari dan sekitarnya (Di Kendari
ada 2 Kerajaan yakni Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga). Di Pulau Muna
2. juga mereka tidak menetap tetapi selalu berpindah-pindah. Namun kampungkampung yang mereka dirikan selalu diberi Kampung Gadi (Lagadi) dan
Melai/Melay (Wamelai).
Hubungan Kata Gadi dan Melay dengan Sawerigading dan Melayu
Mengapa kampung yang mereka dirikan diberi nama Gadi (Lagadi) dan Melay
(Wamelay). Hampir dapat dipastikan bahwa Nama Gadi kemungkinan berasal dari
nama Sawerigading (orang muna menyebutnya Sawerigadi). Karena ia seorang
laki-laki maka disebutlah dengan nama Lagadi. Karena kebiasaan orang muna
menyebut laki-laki selalu diawali dengan kata La atau a untuk laki-laki dan Wa
untuk perempuan.
Lalu bagaimana dengan kampung Melay? Sawerigading dan pengikutnya tidak
mungkin menamakan kampung yang mereka dirikan tanpa sesuatu sebab.
Mungkinkah Melay berasal dari kata Melayu? Penulis memastikan bahwa kata
melai/melay mungkin berasal dari kata Melayu. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor:
1. Masyarakat muna sulit mengungkapkan kata-kata asing menurut kata yang
sebenarnya. Contoh: Jerigen (menjadi Dhereke), terpal (menjadi tarapali),
coklat (tokolati)
2. Masyarakat muna menyebut bahasa Indonesia dengan sebutan Wamba
Malau bukan Wamba Indonesia. Wamba berarti bahasa. Sampai saat ini
pun orang muna tetap memakai kata wamba malau dan bukan wamba
Indonesia.
3. Orang muna menyebut orang Melayu dengan nama Mieno Malau
4. Adanya beberapa kata dalam bahasa Muna yang sama persis dengan
bahasa melayu misalnya hela (berarti tarik), kata ganti kepunyaan –ku, -mu
seperti digunakan dalam kata kontumu yang berarti batumu, lambuku yang
3. berarti rumahku. Kata ganti kepunyaan ini juga banyak mempengaruhi
bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia.
Jika berasal dari kata melayu, berarti rombongan Sawerigading sebagian adalah
orang melayu. Kemungkinan lain adalah rombongan dari Melayu juga datang di
Muna dan mungkin saja pimpinan rombongan atau yang berpengaruh dalam
rombongan tersebut adalah seorang perempuan (putri). Oleh sebab itu dapat
dipastikan pemberian nama kampung yakni Wamelay didasarkan atas pimpinan
rombongan itu (Wa sebutan untuk perempuan).
La Eli alias Baidzul Dzaman
La Eli Raja pertama Kerajaan Muna yang bergelar Bheteno ne tombula yang
berarti yang muncul dari tolang (tolang adalah sejenis bambu yang sangat tipis
dan agak besar). Sebelum menjadi Raja, konon La Eli ditemukan oleh rombongan
utusan Kamokulano Tongkuno (Kamokulano berarti yang dituakan atau yang
dipertuan di Tongkuno). Rombongan tersebut mencari batang tolang untuk
perlengkapan upacara adat saat itu. Sampai saat ini upacara dengan menggunakan
tolang tersebut masih ada yakni disebut upacara Kasalasa atau katalasa (upacara
adat sebelum bercocok tanam untuk kebun yang baru), ada juga bernama Ka agoago yakni upacara untuk memasuki suatu area baru.
Dikisahkan, pada waktu utusan Kamokulano Tongkuno memotong bambu mereka
mendengar suara Eh Eh (Menurut La Kimia Batoa dalam Sejarah Kerajaan Muna).
Saat mereka memotong lagi, mereka mendengar suara eh eh lagi, akhirnya
mereka memutuskan untuk mencari asal suara tadi, ternyata mereka menemukan
seorang pria dan pria ini langsung dibawa menghadap Kamokulano Tongkuno. Pria
tersebut ditempatkan dalam sebuah ruang khusus yang diberi nama ‘Songino
Betheno ne Tombula’ yang berarti Ruangannya orang yang muncul/ditemukan dari
tolang lanjut La Kimia Batoa dalam Sejarah Kerajaan Muna, dan orang tersebut
diberi nama Bheteno ne Tombula (artinya orang yang muncul dari tolang).
4. Kata Bheteno ne Tombula terdiri beberapa suku kata yakni Bheteno (yang
muncul), ne (di) dan Tombula (tolang/sejenis bambu). Secara harfiah Bheteno ne
Tombula memang dapat diartikan yang muncul dari tolang. Hal ini menyebabkan
banyak masyarakat yang salah menafsirkan. Menurut para tua-tua di muna,
bahwa Bheteno ne Tombula (dalam hal ini La Eli) memang muncul dari batang
tolang. Namun jika kita kaji makna Kata Bheteno ne Tombula, kita dapat
menemukan arti lain. Di atas telah dikatakan bahwa utusan Kamokulano Tongkuno
mencari batang tolang. Rombongan Sawerigading (orang muna menyebutnya
Sawerigadi) mendirikan perkampungan-perkampungan dan sebagian lagi ke
Jazirah Sulawesi Tenggara. Mengapa muncul nama La Eli bukan nama
Sawerigading (Sawerigadi)? Penulis belum mengetahui pasti, apakah La Eli dan
Sawerigading adalah dua orang yang berbeda, ataupun Sawerigading sendiri
hanyalah nama kapal yang ditumpangi La Eli bersama rombongannya. Lepas dari
masalah itu, mari kita kembali kepada kata Bheteno ne Tombula. Kata Bheteno
bisa berarti yang muncul. Menurut orang tua-tua di muna, La Eli berasal dari
batang tolang tetapi sebagian lagi mengatakan ia ditemukan dalam rumput tolang
(sejenis bambu) oleh utusan pencari batang tolang dari Tongkuno (Tongkuno saat
ini menjadi nama Kecamatan).
Penemuan Wa Tandi Abe (We Tendri Abeng)
Pada suatu ketika di pantai Napabale (saat ini menjadi salah objek wisata di
kabupaten muna) ditemukan seorang putri yang sangat cantik dan putri tersebut
mencari laki-laki yang telah menghamilinya, yang tidak lain laki-laki tersebut
adalah La Eli alias Baidzul Dzaman (di Sulawesi Selatan dikenal nama I Lagaligo,
Wa Tandi Abe dikenal dengan nama We Tendri Abeng, Mungkinkah I Lagaligo
yang dimaksud adalah La Eli dan We Tendri Abeng adalah Wa Tandi Abe). Kabar
penemuan putri ini akhirnya terdengar oleh La Eli dan pada saat itu La Eli
mengatakan kepada Kamokulano Tongkuno bahwa putri tersebut adalah istrinya
5. dan mereka berdua berasal dari Kerajaan Luwu.
Mungkinkan Wa Tandi Abe (We Tenryabeng) berasal dari Melayu? Melihat nama
Tendryabeng tentunya nama ini adalah nama asli dari Sulawesi Selatan bukan
dari tanah melayu. Mungkinkah ia dibesarkan di Tanah Melayu dan tetap memakai
nama yang bukan nama Melayu ataupun nama Islam.
Mengapa ia disebut Baidzul Zaman? Cerita yang berkembang dalam masyarakat
Muna saat ini bahwa yang pertama kali memimpin Kerajaan Muna adalah Baidzul
Zaman yang bergelar bheteno ne tembula (orang-orang tua menyebutnya:
Baidhuludhamani). Nama Baidzul Zaman ini tentu saja mengarah kepada nama
Islam namun sejak pemerintahan Raja Pertama di muna belum Nampak unsurunsur Islam. Hal ini terbukti dengan adanya upacara-upacara dalam masyarakat
muna yang tidak mencerminkan unsur-unsur islami misalnya upacara Katalasa,
Kaago-ago, Kaghotino buku, Kapamole dan lain-lain walaupun hal ini tidak disadari
oleh tua-tua di Muna bahwa pada awal mula kerajaan ini masyakatnya belum
memeluk Islam, akan tetapi nanti pada masa pemerintahan La Posasu (Raja Muna
VIII) masyarakat muna sudah mulai memeluk Islam. Lantas, mengapa ia dikenal
dengan nama Baidzul Zaman? Menurut penulis bahwa nama itu dipakai La Eli saat
berada di tanah Melayu karena masyarakat tanah melayu saat itu sudah memeluk
Islam, olehnya itu agar La Eli bisa bergaul dengan masyarakat Melayu saat itu, ia
memakai nama Islam dan berperilaku sebagai orang Islam atau mungkinkah sudah
memeluk gama Islam.
Dari Situs Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Sureq_Galigo) dikatakan
bahwa Sawerigading adalah Saudara Kembar We Tendriyabeng dan Sawerigading
menikahi We Tenriyabeng. Dalam naskah tersebut dikatakan bahwa Sawerigading
putranya bernama I Lagaligo. Mungkinkah Lagaligo adalah La Eli atau
keturunannya, tidak ada pendapat yang pasti. Namun terlepas dari itu penulis
berpendapat bahwa We Tenriyabeng sebenarnya adalah Wa Tandi Abe sebab
orang muna tidak dapat (sudah) melafalkan kata Tenriyabeng. Kemungkinan Kata
6. Tenriyabeng ini menjadi Tandi Abe dalam bahasa Muna. Apakah Wa Tandi Abe di
sini adalah sang Putri dari Melayu. Penulis juga tidak dapat memastikannya, yang
jelas La Eli dan Wa Tandi Abe adalah Raja dan Permaisuri pertama Kerajaan
Muna.
Menurut La Kimia Batoa dalam Buku Sejarah Kerajaan Muna, bahwa Wa Tandi
Abe mengendarai sebuah dulang (sejenis Loyang) yang dalam bahasa Muna
disebut Palangga (ia digelari Sangke Palangga) hingga ia ditemukan di Muna.
Mengapa seorang putri mengendarai dulang? Menurut penulis bahwa kapal yang
ditumpangi Tandi Abe mungkin tenggelam dan terpisah dengan rombongan kapal
Sawerigading. Perkiraan penulis La Eli menumpangi Kapal Sawerigading sedangkan
Wa Tandi Abe menumpangi kapal lain. Disebutkan di atas bahwa kapal
Sawerigading menabrak karang di pulau muna, kemungkinan ini terjadi karena
adanya cuaca buruk. Kapal yang ditumpangi Wa Tandi Abe kemungkinan akibat
cuaca buruk terbawa oleh arus laut dan akhirnya tenggelam. Kapal yang
ditumpangi Wa Tandi Abe tentunya di dalamnya banyak pelayan dan prajurit
sehingga walaupun kapal yang ditumpangi Wa Tandi Abe tenggelam tetapi berkat
bantuan dari para pelayan dan prajuritnya Wa Tandi Abe selamat dari maut.
Kemungkinan yang bisa terapung di dalam air adalah dulang maka dulang ini
kemungkinan didorong oleh prajurit sambil berenang menuju ke daratan. Lagi-lagi
menurut penulis, kemungkinan rombongan Wa Tandi Abe berasal dari Tanah
Melayu sebab kampung yang didirikan rombongan kapal Sawerigading selalu
diberi nama La Gadi dan Wa Melay sebab pemberian nama suatu kampung/negeri
karena adanya suatu sebab, seperti halnya penemuan Benua Amerika yang diambil
dari salah seorang Juru Tulis saat itu yang bernama Amirico Vesvusi. Oleh
karenanya rombongan Kapal Sawerigading selalu memberi nama kampung yang
mereka dirikan dengan nama La Gadi atau Wa Melay yang menandakan bahwa
mereka berasal dari Sulawesi Selatan (Saweri Gadi) dan dari Tanah Melayu (Wa
Tandi Abe). Wallahu A’lam