1. Pada sebuah kapal. Di frasa itulah kisah tentang manusia Pulau Muna, pulau di
tenggara kaki kiri Sulawesi, diperkirakan bermula. Ketika Sawerigading, tokoh
asal Kerajaan Luwu Purba di Sulawesi Selatan yang melegenda (dalam epik I La
Galigo), sedang mengembara mencari kekasihnya sebagai pengganti saudari
kembarnya yang terlarang untuk dinikahi, We Tenriabeng, perahunya terdampar
di sebuah gundukan daratan setelah menabrak batu karang. Sawerigading terus
melanjutkan perjalanan ke negeri Cina, sedangkan para awak kapalnya, yang
berjumlah 40 orang, kemudian membuat koloni di pulau yang didominasi batuan
kapur itu.
Oleh mereka, daerah tempat terdamparnya kapal itu kemudian dinamai Bahutara,
( Sawarigading ) yang berarti bahtera. Karena di daerah berbatuan karang itu
secara ajaib sering tumbuh bunga-bunga yang indah pada musim-musim tertentu,
dinamailah oleh mereka daratan pulau itu sebagai Kontu Kowuna, dengan kata
kontu yang berarti batu dan wuna yang berarti bunga. Lambat laun, Wuna
berubah lafal menjadi Muna, dan para pengikut Sawerigading yang terdampar
menamai diri mereka sebagai suku Muna, dan daratan berbatu serta berpasir itu
mereka sebut Muna.
Kisah itu saya dengar di atas kapal Sagori Express yang sedang melaju di Laut
Banda, di pesisir timur Konawe Selatan, menuju Pulau Muna dari tuturan Ali
Musthapa. Pak Mus--begitu saya memanggilnya--pria 40 tahunan, adalah
penduduk asli Muna. Ia pegawai negeri di salah satu instansi di Raha.
Ini akhir Mei 2008 yang panas, dan perjalanan tiga setengah jam dari Pelabuhan
Nusantara di Teluk Kendari seolah mengantar saya ke dinamika panjang pulau
yang terkenal dengan sejarah kerajaan berabad-abad, kolonialisme Hindia
Belanda, komoditas jati nomor satu, peninggalan prasejarah berupa cap tangan
dan gua-gua manusia purbakala, danau-danau air asin di daratan, festival layanglayang, sampai atraksi adu kuda.
Perjalanan yang sungguh tidak membosankan karena saya dapat menikmati
hijaunya pulau-pulau kecil membukit yang tersebar di kiri-kanan, permukiman
penduduk di rumah panggung atas air laut yang biru cerah, serta awan yang
menembuskan sinar matahari secara indah.
Muna adalah toponim sebuah pulau (dan identitas etnis). Tapi anehnya, secara
administratif, Pulau Muna dibagi menjadi dua kabupaten: Kabupaten Muna di
wilayah utara pulau dan Kabupaten Buton di wilayah selatan pulau. Begitu juga
dengan pulau di sebelah timurnya, Pulau Buton, yang juga dibagi menjadi tiga:
bagian utara Kabupaten Muna serta bagian selatan Kota Bau-bau dan Kabupaten
Buton.
2. Mengapa tidak dibagi mengikut nama pulau saja? Menurut Pak Mus, jawaban
untuk itu terkait dengan sejarah panjang Kesultanan Buton dan pembagian
wilayah administratif sewaktu pemerintah kolonial Belanda berkuasa di jazirah
pulau-pulau, mulai Pulau Tobea di Selat Spelman (nama yang berasal dari nama
pemimpin VOC di Sulawesi bagian selatan pada abad ke-18) di barat Pulau Muna
sampai di Kepulauan Tukang Besi, yang terkenal sebagai surga wisata bawah laut
Wakatobi (akronim dari Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko).
Tak terasa, feri cepat ini telah mendekati Pelabuhan Raha di Raha, ibu kota
Kabupaten Muna, seluas 488.700 hektare yang terletak di bagian timur Pulau
Muna. Waktu menunjukkan pukul 17.05 Wita. Karena itu, matahari masih bersinar
walau telah jauh di ufuk barat dan, jika dilihat dari pelabuhan, hampir menyentuh
bukit-bukit di pedalaman pulau.
Dari kapal yang hampir merapat itu, deretan rumah tampak jelas terbentang
mengikuti pinggir pulau. Di sebelah kanan pelabuhan, sejauh mata memandang
yang terlihat adalah deretan rumah beratap seng, yang ternyata merupakan
perkampungan suku Bajo (sering juga dilafalkan Wajo) hasil buatan pemerintah
sebagai usaha memukimkan mereka yang sangat terkenal sebagai suku Gipsi Laut
di sepanjang perairan Sulawesi, pesisir timur Kalimantan, hingga pulau-pulau kecil
di utara Nusa Tenggara. Ada juga pohon-pohon bakau yang tinggal pokok dan
rantingnya, sudah hampir mati. Sampah plastik tersebar di antara batu-batu
kecil di bawah talud reklamasi pantai sekitar pelabuhan.
Di pelabuhan, saya dan Pak Mus berpisah. Saat bersalaman, ia memberi tahu tiga
lokasi yang dapat dikunjungi jika ingin mengenal Pulau Muna: Kota Tua Wuna,
Liang Kobori, dan Danau Napabale. Yang pertama jika ingin menangkap suasana
masa lalu Muna, yang kedua jika hendak bersentuhan dengan dunia manusia
prasejarah, dan yang terakhir jika akan melihat indahnya alam di Pulau Muna. * *
*
Pada pagi hari berikutnya, saya pergi ke kota tua Muna, yang terletak 30
kilometer dari Raha, dengan menggunakan jasa ojek, moda transportasi yang
sungguh banyak berseliweran di Raha. Inilah moda utama, karena kendaraan roda
empat (angkot) tidak ada, sedangkan taksi hanya ada delapan unit milik
pemerintah daerah.
Dari sebuah literatur, saya tahu, pada zaman Raja Lakilaponto sebagai Raja Muna
VII (1538-1541), jika hendak memasuki Kota Muna, rakyat biasa harus berjalan
kaki. Yang boleh berkuda hanya para pejabat istana. Ada benteng yang
mengelilingi kota sepanjang sekitar 8.000 meter dengan tinggi empat meter dan
tebal tiga meter, dan dibangun dengan bantuan roh halus karena sang raja sakti
mandraguna. Terbayang kemegahan suatu kota, dengan tata pemerintahan
3. teratur, aktivitas perdagangan yang ramai, keamanan yang terjamin dari para
bajak laut yang ganas di perairan Bau-bau di Pulau Buton, yang terkenal sebagai
tempat singgah teramai jalur selatan Sulawesi menuju kawasan Maluku dan
Papua.
Sampai berabad-abad kemudian, Muna adalah kerajaan berdaulat dan
bertetangga baik dengan Kesultanan Buton, yang ber-Ibu Kota Bau-bau. Namun,
dengan keluarnya Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918, semua itu berubah
karena pemerintah kolonial Belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja
di Sulawesi Tenggara, yakni Swapraja Buton dan Laiwoi di Kendari. Sejak saat
itulah Kerajaan Muna dinyatakan sebagai daerah bawahan Kesultanan Buton. Dari
beban masa lalu inilah, dan letak geografis pusat-pusat Kerajaan Muna dan
Kesultanan Buton, saya bisa membayangkan mengapa batas administrasi modern
kedua kabupaten ini tidak serta-merta mengikuti pulau masing-masing.
Saat ini, tidak ada lagi kemegahan kota pusat kerajaan, bahkan Pak Siad
Awaluddin, penduduk asli Muna, yang sempat saya tanyai pun, tidak lagi tahu
perkiraan letak istana dan benteng monumental itu secara pasti. Yang masih bisa
dilihat hanyalah masjid yang dibangun oleh Raja Muna terakhir, yakni Raja La
Titakono, pada abad ke-17. Saya lihat bentuk masjid di bekas ibu kota kerajaan
itu sangat sederhana. Walau sudah merupakan bangunan yang dipugar, masjid itu
masih memperlihatkan ciri aslinya, termasuk tempat dudukan kubahnya yang
terbuat dari kayu.
Selepas dari situ, perjalanan berlanjut ke Liang Kobori, sebuah gua arkeologis di
Desa Liang Kobori, Kecamatan Lohia, yang memuat goresan atau guratan-guratan
dari zaman prasejarah. Jarak Liang Kobori ini kira-kira 10 kilometer dari Raha.
Dari balai desa, saya masih harus berjalan kira-kira 400 meter lagi, melewati
tebing-tebing tinggi. Memasuki gua itu, terasa suasana yang berbeda, mungkin
karena kelembapannya. Di kanan-kiri gua yang kira-kira setinggi empat meter itu,
beberapa bentuk abstrak dengan warna merah pucat menyatu dengan dinding
batu kapur. Ada bentuk memanjang yang menyerupai daun pisang, ada bentuk
yang menyerupai hewan (seperti babi atau kambing), bahkan bentuk manusia
abstrak dengan kepala, tangan, badan, dan kaki. Tapak tangan juga ada. Saat
keluar, saya baru sadar bahwa bentuk hewan itu bukan babi atau kambing,
melainkan anoa!
Saya tidak sempat menghitung berapa banyak lukisan dinding dan berapa motif
yang tergambar, dan mengapa umumnya berwarna merah. Apalagi data arkeologis
mengenai Liang Kobori ini sangat sedikit, berbeda sekali dengan Gua Leang-leang
(Kabupaten Maros) atau Garunggung (Kabupaten Pangkep) di Sulawesi Selatan,
4. atau bahkan Gua Marang atau Liang Tengkorak di Kalimantan Timur. Atau bahkan
apa maknanya mitologisnya, selain beberapa gambar yang sekilas mencirikan
keseharian mereka, misalnya berburu. Mungkin sebagian di antara gambar tangan
ini juga mencirikan perasaan berkabung karena ada anggota keluarga yang
meninggal seperti diteliti para ahli di Gua Leang-leang ataupun sebagai medium
yang menghubungkan ke dunia arwah orang mati. Entahlah.
Saat keluar dari Liang Kobori, saya teringat penjelasan seorang teman dosen
arkeologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada bahwa situs
arkeologis sejenis akan mencirikan penyebaran manusia prasejarah zaman
Mesolitikum. Memang, dari berbagai temuan, sebaran situs sejenis hanya
ditemukan di Borneo bagian utara, turun ke tengah Pulau Kalimantan, lalu ke
Sulawesi, Kei, Seram, dan kemudian ke Papua bagian selatan. Jarang ditemukan di
wilayah barat Indonesia. * * *
Bocah-bocah bertelanjang dada melompat dari pinggir danau yang kebiruan, lalu
berenang mendekati perahu yang terapung sedikit di tengah. Gembira, berteriak,
tertawa, seakan mereka adalah penghuni penjara yang tahu pasti besok pagi
mereka akan bebas dan lepas menuju hari-hari yang lebih cerah. Di langit, awanawan dipahat angin lembut membentuk gambar-gambar.
Itulah catatan harian yang saya tulis mengenai Danau Napabale, 15 kilometer
dari Raha, juga masih di Kecamatan Lohia, yang lokasi pastinya berada di Desa
Lohia. Berbeda dengan Kota Tua dan Liang Kobori, yang lebih mencirikan kerja
manusia, di Danau Napabale, yang mempunyai luas kira-kira 5 hektare, saya
menelusuri kerja alam.
Beberapa pulau karang kecil tampak di tengah danau, seperti atol yang ditumbuhi
pepohonan di bagian atasnya; dari kejauhan seperti apel yang telah digigiti
secara melingkar dengan cekungan-cekungan di batuan karang berlubang. Inilah
hasil kerja ajaib proses geomorfologi ribuan tahun di pulau yang sebagian
tanahnya berkapur ini. Bisa dikatakan bahwa Napabale adalah laguna karst yang
terisolasi.
Danau air asin. Bukan pantai. Tidak ada pasir di sini. Tidak ada angin lautan yang
kejam mengiris. Tidak akan ada debur dan buih putih. Hanya tenang. Senyap. Dan
warna cyan yang hening. Air laut masuk lewat lubang di batu karang. Jika surut,
perahu lewat, lalu menembus laut, langsung ke Selat Buton.* * *
Pulau Muna bukan hanya kayu jati, tapi kayu jati masih jadi penanda kota.
Kesimpulan itulah yang saya ambil ketika kembali berada di Pelabuhan Raha untuk
5. balik ke Kendari. Di pelabuhan, kapal pengangkut jati ke Surabaya telah merapat,
dan beberapa kayu jati gelondongan sedang ditarik naik ke dek kapal. Ada satu
area kira-kira seluas tiga perempat lapangan sepak bola yang digunakan sebagai
penampungan kayu-kayu jati yang siap diangkut. Dari petugas tiket, saya
mendapat informasi bahwa aktivitas perdagangan jati inilah yang turut
meramaikan kehidupan di Pulau Muna, ditandai dengan merapatnya banyak kapal
besar pengangkut beberapa kali dalam sebulan. Tidak jauh dari situ, ada Tugu
Jati Emas yang menjulang sekitar 15 meter sebagai tetenger Raha, sebagai ibu
kota Muna, ibu kota jati Sulawesi. Tapi, di balik itu, karena penanaman kembali
yang tidak konsisten, keberadaan jati Muna yang siap tebang terancam. Bahkan
ditengarai, luas hutan jati telah menyusut, hanya kira-kira seperdelapan dari luas
sebelumnya, yang sempat 45 ribu hektare pada 1968.
Ketika kapal telah melepas tambatan, di antara buih ombak di buritan kapal, saya
sadar bahwa masih banyak pesona wisata di Pulau Muna yang belum ternikmati:
festival layang-layang tradisional (terbuat dari daun kolope atau ubi hutan, rami,
dan benang dari serat daun nanas hutan); Kaghati, desa tenunan tradisional di
Masalili, atau atraksi adu kuda yang sudah sangat jarang dilakukan.
Muna memang bukan hanya kayu jati.
Ulasan, sumber Dari Koran Tempo Jakarta.