Tulisan ini membahas sejarah Kerajaan Wuna di Sulawesi Tenggara, termasuk jejak-jejak peradabannya yang masih terlihat saat ini seperti situs-situs bersejarah. Beberapa situs yang diangkat antara lain Danau Napabale tempat terbentuknya Kerajaan Wuna, Masjid Quba dan jejak-jejak Saidi Raba di Loghia, serta benteng pertahanan Kota Wuna yang memiliki panorama menarik. Situs-situs ini di
1. Menelusuri Jejak Sejarah Kebesaran Kerajaan Wuna
Melalui Pendokumentasian situs-situs Bersejarah
Sebagai sebuah kerajaan besar dan tua di Sulawesi Tenggara,Kerajaan Wuna ( sekarang lebih
dikenal dengan sebutan ‘Muna’) memiliki peranan yang cukup besar dalam percaturan politik
dan pemerintahan di jamannya. Kebesaran dan pengaruhnya tersebut, selain tercatat dalam
lembaran sejarah ( dalam bentuk manuskrip dan artikel sejarah ) juga dalam bentuk artevak,
dan jejak-jejak peradabannya yang masih dapat terlihat sampai saat ini.
Artikel sejarah dan manuskrip yang mengisahkan tetantang kebesaran Kerajaan Wuna selain
tersimpan di museum KTVL Denhag Belanda, juga dapat ditemukan di perpustkaanperpustakaan nasional dan Regional. Sayangnya, dalam manuskrip dan artikel-artikel tersebut,
Kerajaan Wuna digambarkan sebagai Subordinasi dari Kesultanan Buton sehingga kebesaran
dan peranannya di percaturan politik kala itu terkamuflase oleh sejarah Kesultanan Buton.
Sedangkan artevak dan jejak-jejak peradaban yang masih tersisah, belum dilakukan penelitian
dan publikasi ke khalayak sehingga tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas. Dalam tulisan ini
penulis mencoba mengangkat beberapa sisa-sisa peradaban Kerajaan wuna mulai dari awal
terbentuknya kerajaan wuna pada awal abad ke 14 ( 1345 ) sampai perjuangannya melawan
kolonialisme belanda dan kooptasi kerajaan-kerjaan tetangga.
Untuk itu penulis akan menyajikannya dalam tiga bagian dengan pembagian awal datangnya
Wa Tandiabe ( Wetendri Abe ? ) di Danau Napabale, Masuknya misionaris Islam ke 3 Saidi Raba
( 1663 ) dan Pembuatan benteng pertahanan di Kota Wuna oleh La Kilaponto Raja Wuna ke 7
dan di teruskan oleh La Posasu Raja Wuna ke 8. Dalam hal ini penulis tidak menjelaskan
preosesnya tetapi hanya menyajikan dan mengulas bukti-bukti yang mendukung terjadinya
proses tersebut yang mungkin selama ini belum terpublikasi sehingga tidak menarik minat
peneliti untuk melakukan penelitian dan para wisatawan untuk mengunjunginya.
Padahal menurut penulis obyek-obyek tersebut dapat menjadi destinasi yang menarik untuk
dikunjungi para wisatawan dan para peneliti. Sebab selain tempatnya yang elok dan asri juga
menyimpan misteri ilmu pengetahuan untuk dikaji dalam ilmu modern. Misteri-misteri dalam
ilmu pengetahuan yang membutuhkan penelitian mendalam tersebut dapat dilihat dalam
pembahasa bagian –bagian berikut.
1. Datangnya Wa Tandi Abe ( Wetendri Abeng?) Gelar Sangke Palangga Di
Napa Bale
2. Danau Napa Bale adalah danau air asin
yang terletak di Desa Wabintingi
Kecamatan Lohia berjarak sekitar 17 Km
dari Raha Ibukota Kabupaten Muna.
Danau ini memiliki air yang berasa asin
karena terhubung langsung dengan
lautan ( Selat Buton ) oleh terowongan
sepanjang 17 meter.
Terowongan yang menghubungkan
Danau Napabale dengan lautan tersebut
menjadi jalur transportasi masyarakat
Desa Wabintingi yang berprofesi sebagai nelayan untuk menuju lautan dan pulang mencari
ikan. Pemandangan pergi pulangnya para nelayan tersebut menjadi obyek wisata tersendiri dari
mereka yang senang menikmati keindahan alam.
Karena panoramanya yang indah, Danau Napa Bale saat ini menjadi salah satu destinasi
pariwisata di Kabupaten Muna dan banyak dikunjungi oleh wisatawan, khususnya local dan
regional.
Kurangnya promosi dari pemerintah setempat menyebabkan danau ini jarang sekali dikunjungi
wisatawan dari manca Negara. Padahal panorama yang dimilikinya tidak kalah eloknya dari
obyek-obyek wisata lain di tanah air bahkan di manca Negara.Selain itu danau ini juga
menyimpang jejak-jejak sejarah peradaban masyarakat Wuna khususnya awal terbentuknya
Kerajaan Wuna.
Bagi wisatawan yang berkunjung ke danau ini, tidak saja dapat menikmati keindahan danau nya
yang dihiasi dengan karang-karang atol di tengahnya serta ikan-ikan yang beraneka warna,
3. tetapi barisan pegunungan hijau yang mengelilingi danau tersebut siap memanjakan mata
setiap pengunjung.
Selain itu bila berjalan sekitar 50 meter kearah timur tepanya dibalik bukit hijau nan asri,
wisatawan langsung dapat bercengrama dengan birunya laut Selat Buton dengan pasir putih
disepanjang pantainya.
Selain memiliki panorama yang eksotik, juga menyimpan sejarah peradaban masyarakat Wuna
( Muna ). Hal ini karena berkaitan dengan keyakinan masyarakat yang telah menjadi legenda
masyarakat bahwa permaisuri Raja Wuna Ke- 1 Bheteni Netombula ( Sawerigading? ) yakni Wa
Tandi Abe ( Wetendri Abeng? ) di temukan oleh masyarakat di danau tersebut ( La Kimi Batoa,
1991 ). Menurut tradisi lisan masyarakat Wuna, Wa Tandi Abe adalah Puteri Raja Luwu di
Sulawesi Selatan yang datang di Wuna dan mendarat di Danau Napabale dengan menupang
‘Palangga’ atau talang. Olehnya itu Wa Tandi di gelar Sangke Palangga atau orang yang
penumpang Palangga/ talang. Dari perkawinan Bheteno Ne Tombula dan Wa Tandi Abe
tersebut kemudian menurunkan raja-raja di Kerajaan Wuna ( Anhar Gongnggong, 2000 ). Raja
Wuna ke-2 La Aka gelar Sugi Patola adalah salah satu dari tiga orang anak dari Bheteno Ne
Tombula dan Wa Tandi Abe.
Masih menurut legenda yang berkembang dari tradisi tutur masyarakat Wuna, sebelum
ditemukannya Wa Tandi Abe di Napa Bale, telah di temukan seorang pemuda didalam rupun
bamboo ( ada yang menyebutnya dalam ruas bamboo ) oleh sekelompok orang di Wameai pada
saat mencari bamboo dalam hutan. Setelah di temukan pemuda tersebut mengaku bernama La
Eli.
Selang beberapa saat setelah
diketemukan La Eli tesebut, tersiar
kabar ditemukan seorang putri yang
menupang sebuah Palangga ( talang )
di Napa Bale. Puteri terebut
mengaku bernama Wa Tandi Abe.
Nama ini mirip dengan nama We
Tenyirabeng, nama yang di dalam
kisah La Galigo, yang menikah
dengan Remmangrilangi', artinya,
'Yang tinggal di surga'. Ada
kemungkinan Tendiabe adalah
keturunan
We
Tenyirabeng
( Anhar Gonggong, 2000 ).
4. Jadi Danau Napa bale, bagi masyarakat Wuna ( Muna ) memiliki arti tersendiri. Sebab
dari danau tersebut peradaban baru masyarakat dimulai yakni terbentuknya Kerajaan
Wuna. Sebelum Kedatangan La Eli (gelar Bheteno Ne Tombula ) dan Wa Tandi Abe
( gelar Sangke Paangga ), telah terbentuk komunitas-komunitas setingkat kampong
dengan pemimpinnya bergelar ‘Mieno’ dan ‘Kamokula’.
Dalam beberapa literature sejarah mengungkapkan
kampong-kampung tersebut
kemudian mengikat diri dalam sebuah Union yang mereka beri nama Wamelai dengan
pemimpin tertinggi bergelar ‘Mieno Wamelai’. Delapan kampung yang mengikat diri
dalam sebuah union itu adalah Empat kampung dipimpin ‘Mieno’ yakni
Kansitala, Lembo, Ndoke dan Empat
Kuara,
lainnya dipimpin oleh ‘Kamokula’ yakni
Tongkuno,Barangka, Lindo dan Wapepi ( Formuna, 2008 ).
2. Saidi Raba Mendarat Di Loghia
Saidi Raba adalah misionaris agama islam ke 3 di
Kerajaan Wuna. Saidi Raba adalah sebutan bagi
Syarif Muhammad Ulama yang yang berasal dari
Arab oleh masyarakat Wuna.. Penamaan Saidi Raba
tersebut menurut imam Masjid Quba Loghia Karena
ketika datang ke Loghia, Syarif Muhammad
menumpang pada sebuah alat music khas Timur
Tengah, yakni rebab. Saidi Raba atau Syarif
Muhammad datang di Wuna sekitar awal abad Ke
17 Masehi ( 1663 ) tepatnya pada masa
pemerintahan La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaendea,
Raja Muna ke 12. La Ode Ngkadiri memerintah pada
tahun 1625-1667 ( La Kimi Batoa,1991 ).
Menurut beberapa tokoh adat masyarakat Wuna, ketika datang di Kerajaan Wuna Saidi Raba
tidak langsung menuju ke Pusat Kerajaan di Kota Wuna, tetapi tinggal dan menetap di Loghia
sambil mengajarkan agama islam pada masyarakat local. Nanti pada masa pemerintahan Raja
Wuna ke 15 La Ode Abdul Rahman gelar Sangia Latugho (1671-1716 ) barulah Saidi Raba
masuk di pusat pemerintahan kerajaan.Itu pun karena di undang khusus oleh Raja
Wuna kala itu.
5. Jejak-jejak keberadaan Saidi Raba di Loghia masih
dapat ditemukan sampai saat ini yaitu :
1. Masjid Quba, masjid yang dibangunnya untuk
menunaikan ibadah shalat dan pusat pendidikan
agama islam bagi masyarakat,
2. Batu Tempat Shalat Saidi Raba, yaitu Batu yg
digunakan Saidi Raba untuk mengumandangkan
Adzan dan melaksanakan shalat saat pertama kali
menginjakan di Loghia.
3. Kantinu/penampungan, yaitu tempat penampungan
air yang dibuat dari batu.
Kantinu ini sebanyak 44 buah, tapi ada juga yang mengatakan sebanyak 150 buah.
Air-yang tertampung dalam kantinu tersebut digunakan untuk kebutuhan berwudhu
dan sumber air minum bagi masyarakat disekitar
Loghia. Kantinu yang dibuat oleh Saidi Raba
tersebut banyak memiliki ke unikan yaitu dinding
bagian dalam memiliki permukaan yag halus
seperti dibuat dari semen. Menurut cerita yang
berkembang
dari masyrkat
setempat,
kantinu
tersebut dibuat dalam waktu satu malam dengan bantuan jin dan para dedemit.
Kantinu-kantinu ini memiliki ukuran dan kedalaman yang bervarisi mulai yang
berdiameter 50 cm – 3 meter dengan kedalaman 70 cm – 4 meter.
4. Kontu Saidi Raba, yaitu batu yang dibawah Saidi Raba dari Arab. Batu ini memiliki
keunikan yakni pada saat di bawa, batu ini berukuran kecil yakni dapat di simpan
dalam saku namun saat
batu tersebut
semakin besar dan telah berdiameter sekitar
50 cm (centi menter ).Kontu Saidi Raba
6. tersebut sat ini di tempatkan didepan masjid Loghia.
5. Kontu Kologhiano, yaitu sebuah batu yang dipercaya oleh masyarakat setempat
sebagai awal mula penamaan kampong tersebut dengan Loghia.Batu ini juga
mengalami keunikan yaitu semakin lama batunya semakin mengecil.Selain itu
masyarakat juga mempercayai kalau kontu Loghia juga memiliki keberkahan.
Olehnya itu masyarakat setempat selalu datang dan mengambil lumut yang
melekat pada batu itu bila hendak melakukan sesuatu, misalnya bila hendak
melaut atau pergi menjadi tetara.
Kisah teranyar yaitu pelatih sepak bola SMP 4 Raha yang baru saja menjuarai
piala presiden beberapa waktu yang lalu. Menurut imam masjid loghia, sebelum
berangkat pelatihnya
datang dan mengambil lumut yag melekat pada batu
tersebut untuk dijadikan jimat. Entah itu hanya kebetulan, tapi yag jelas selama
menjalani pertandingan sampai di babak final dan menjuarai kejuaraan tersebut
regu sepak bola SMP 4 Raha tidak pernah mengalami kekalahan.
Semua jejak-jejak sejarah kedatangan Saidi Raba
di Kerajaan Wuna dapat menjadi obyek wisata
dan
obyek
peneitian
khususnya
mengenai
fenomena dinding katinu, Kontu Saidi Raba yang
semakin
hari
semakin
besar
dan
Kontu
Kologhiano yang semakin lama semakin mengecil.
Oyek wisata sejarah di Loghia tersebut berjarak
19 km dari Raha Ibukota Kabupaten Muna dan
dapat ditempuh dengan angkutan umum dengan
waktu tempu sekitar setengah jam.
3. Benteng Kota Wuna, Strategi Pertahanan Yang Unik
7. Benteng Kota Wuna belum banyak dikenal oleh masyarakat umum. Bahkan di kalangan
masyarakat Wuna sendiri masih belum banyak yang melihatnya. Padahal benteng ini dari
segi usia pembuatannya lebih tua dari pada benteng Keraton Wolio di Baubau . Demikian
juga dari segi panjang dan luasnya, benteng Kota Wuna juga meiliki panjang dan luas yang
jauh melebihi benteng yang di gadang-gadang sebagai benteng terluas di dunia tersebut.
Benteng ini juga menyimpan rahasia ilmu pengetahuan dibidang strategis perang dan
aritektur yang perlu dikaji lebih dalam lagi.
Selain itu benteng ini dapat juga menjadi destinasi pariwisata karena memiliki panorama
yang eksotik. Berada di atas dinding beteng yang memiliki ketebalan 2 – 4 meter ini
membawa kita pada khayalan tentang masa kejayaan Kerajaan Wuna pada masa lalu.
Memang untuk mencapai dinding beteng memerlukan tenaga yang ekstra karena harus
menanjak tebing yang memiliki ketinggian 20- 50 meter dengan kemiringan antara 45- 90
derajat sejauh 200 meter sampai 1 km. Tapi begitu sapai di puncak benteng semua
kelelahan terbayar dengan panorama yang eksotik.
Dari atas dinding benteng yang memiliki ketebalan antara 2-4 meter tersebut, dapat
dilihat seluruh sudut Kerajaan Wuna, bahkan wilayah-wilayan kerajaan tetangga. Bila kita
melihat ke sebelah Timur, dengan jelas kita akan melihat birunya laut selat buton. Dan bila
mata kita sedikit melongok ke sebelah kanan maka akan tampak Kota Baubau, yang
merupakan pusat dari Kerajaan Wolio/ Kesultanan Buton. Dan bila kita berbalik kearah
Barat maka kita akan melihat barian Gunung Kabaena dan Sabampolulu di Pulau Kabaena
serta birunya laut selat spelman. Kemudian kalau kita sedikit menunduk untuk melihat ke
lembah, maka akan tampak rumah-rumah khas daerah Wuna serta masjid tua Kota Wuna
di Pusat Kerajaan Wuna.
Dia arah Barat ini pula kita dapat menyaksikan deretan tiga buah batu karang yang
menjulang tinggi dengan dengan dinding-dindingnya berbentuk tebing yang curam. Ketiga
buah batu tersebut oleh masyarakat Wuna di kenal dengan nama Kontu Kowuna atau Batu
Berbunga. Pemberian nama Kontu Kowuna terhadap tiga batu yang berbentuk seperti atol
tersebut karena pada waktu-waktu tertentu batu-batu tersebut kerap mengeluarkan tuastunas seperti bunga karang. Menurut tradisi lisan masyarkat Wuna, dari nama Kontu
Kowuna tersebutlah asal mula lahirnya mana Wuna sebagai nama kerajaan ( For-Muna,
2008).
Sungguh semua panorama yang dijanjikan oleh Benteng Kota Wuna tersebut akan
memanjakan mata dan batin setiap orang yang mengunjunginya dan mejadi sumber
penelitian bagi para ilmuwanBenteng yang dibangun sekitar 800 tahun yang lalu iu
ternyata banyak memiliki ke unikan sehingga berbeda dari benteng-benteng lain pada
8. umumnya baik dari segi arsitektur, bahan yang digunaan maupun pemiihan lokasi
pembuatannya. Untuk penulis akan menguaraikan satu persatu keunikan benteng tersebut.
Pemilihan pembuatan benteng diatas ketinggian tebing tersebut, tentu saja bukan saja
dasarkan berpertimbangan dari segi stetika, tetapi itu merupakan strategi perang agar
dapat memantau setiap pergerakan musuh sebelum mereka menembus wilayah Kerajaan
Wuna. Dengan posisi benteng tersebut, prajurit-prajurit kerajaan Wuna yang bersiap di
Pusat Kerajaan menentukan sikap apakah mereka akan menyambut kedatangan musuh di
perairan ataukah menunggu sampai musuh mendekati dinding benteng kemudian
dihancurkan.
- Benteng Terpanjang dan Terluas Di Dunia
-
Benteng Kota wuna mulai dibangun pada masa
pemerintahan La Kilaponto Raja Wuna ke – 7 ( 1538 – 1541 ).
Setelah La Kilaponto menerima jabatan sebagai Raja Wolio
menggantikan mertuanya La Mulae yang meninggal dunia,
kemudian bersama Syeh Abdul Wahid guru agama La Kilaponto yang
juga penyebar agama islam pertama di Kerajaan Wuna dan Wolio
menginisiasi berdirinya sebuah kerajaan islam dengan
menggabungkan lima kerajaan yang dipimpin La Kilaponto yakni
Kerajaan Wuna, Wolio, Kabaena, Kaledupa dan Tiworo (Hamundu,
2005) menjadi kesultanan dengan system konfederasi (monarkhi konstitusional ) pada
tahun 1541 dengan nama Kesultanan Butuuni Darusalam ( Buton ) dan sultan pertamanya
adalah La Kilaponto. Setelah menjadi sultan, La Kilaponta dianugrahi gelar Sultan
Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Menyusul berdirinya Kesultana Butuuni Darusalam ( Buton ), Jabatan raja dikerajaankrajaan yang pernah dipimpin La Kilaponto, diserahkan kepada yang berhak. Di Kerajaan
Wuna jabatan itu di serahkan pada adiknya La Posasu ( For-Muna, 2008 ). Setlah resmi
menjai Raja Wuna ke – 8 (1541-1551),
La Posasu melanjutkan pebanguna benteng
pertahanan yang di rintis La Kilaponto sampai selesai sampai selesai ( J.Couvreur, ).
-
Benteng Kota Wuna yang di bangun oleh dua raja bersaudra tersebut memiliki pajang kes
eluruhan 9,8 kilo meter. Benteng ini memiliki ketinggian yang bervariasi antara 2 – 7 mter
dengan tebal 2- 4 meter serta dibangun dari batbatu besar (J. Covreur, ). Bila banding dengan
benteng Keraton Wolio ( yang dipromosikan
sebagai benteng terluas di dunia) yang hanya
9. memiliki panjang keseluruhan hanya sekitar 8000 meter , maka sebenarnya benteng
terluas di dunia itu adalah ‘ Benteng Kota Wuna’.
-
Benteng Kota Wuna mengelilingi seluru Kota Wuna, pusat kerajaan Wuna. Benteng
tersebut memiliki arsitektur yang unik dan berbeda dengan benteng pada umumnya.
Keunikan yang di miliki oleh Benteng Kota Wuna adalah dari segi asitektur dan lokasinya.
- Memiliki Arsitektur Yang Unik
Strategi perang lainnya yang diterapkan oleh pasukan Kerajaan Wuna dari benteng tersebut
dapat dilihat dari arsitekturya. Arsitektur Benteng Kota Wuna memiliki keunikan yang berbeda
dengan benteng-benteng lainnya. Bila pada benteng lain fungsinya hanya sebagai penghalang
masuknya musuh dipusat pemerintahan/ Kerajaan, maka benteng Kota Wuna juga berfungsi
sebagai jebakan. Jadi begitu musuh mendekati dinding benteng, bukannya semakin
memudahkan mereka menembus pertahanan prajurit Kerajaan Wuna, tetapi justeru mereka
membawa diri mereka menuju liang kuburnya sendiri. Tanpa ada penyeragan dari prajurit
kerajaan Wuna, prajurit-prjurit musuh akan mati dengan sendirinya. Untuk menjelaskan
strategi ang diterapkan dalam pembanungan Beteng Kota Wuna tersebut dapat dilihat sebagai
berikut :
Dibuat berbentuk Labirin
benteng yang dibuat dari batu – batu besar dan bahan perekat yang sampai saat ini belum
teridentifikasi tersebut, memiliki bentuk yang unik yakni berkelok-kelok bagai lorong labirin.
Dengan arsitetur yang demikian unik tersebut membuat pihak musuh kesulitan untuk masuk
dalam wilayah pusat kerajaan. Sebab ketika musuh mendekati dinding benteng justeru mereka
semakin kesulitan untuk menyeberangi beteng dan
menemukan jalan keluar karena mereka seperti
masuk dan terjebak dalam lorong-lorong labirin
yang tidak jelas dimana jalan keluarnya.
Jadi ketika musuh telah terjebak dalam labirin
tersebut lah pasukan musuh dengan sangat mudah
ditumpas oleh pasukan Kerajaan Wuna yang telah
menanti kedatagan mereka dari tempat-tempat
persebunyian berupa gua-guan yang banyak
tersebar di sepanjang tebing-tebing di sekitar dinding benteng.
10. Dibangun Diantara Dua Tebing Yang Curam
Bila benteng-benteng lain pada umumnya hanya di bangun diatas tebing pada sala satu sisinya,
maka benteng Kota Wuna memiliki perbedan. Benteng ini justru dibangun dintara dua sisi
tebing. Pembangunan benteng diantara dua tebing tersebut merupakan strategi perang guna
mengurangi resiko korban pasukan sendiri, sebab bila pasukan musuh bisa meloloskan diri dan
mampu memanjat tebing curang dengan kemiringan antra 45- 90 derajat dan memiliki
ketinggian antara 2 – 7 meter, bukan berarti mereka langsung dapat masuk ke pusat kerajaan
tetapi justeru masuk dalam jebakan berikutnya.
Dari atas dinding benteng, pasukan musuh dipaksa menuruni lembah dengan ketinggian dan
kemiringan yang sama dengan tebing yang mereka panjat sebelumnya. Dalam posisi demikian
tidak ada pilihan lain bagi pasukan musuh kecuali masuk dalam liang kubur mereka tanpa
mendapat serangan dari pasukan Kerajaan Wuna.
Karena strategi pertahanan dengan pembuatan benteng
yang unik tersebutlah, maka Kerajaan Wuna sangat sulit
ditembus oleh invasi kerajaan-kerajaan tetangga bahkan
colonial Belanda yang memiliki peralatan perang yang
lebih maju. Dalam beberapa catatan sejarah, tercatat
setidaknya lima kali pasukan VOC yang di bantu oleh
prajurit Kesultanan Buton di pecundangi oleh prajuritprajurit Kerajaan Wuna.
Belanda dapat menanamkan pengaruhnya di Kerajaan
Muna sekitar tahun 1908. Itupun setelah mereka
membangun Bandar dan tangsi-tangsi militer di Raha
sekitar 27 kilo meter dari pusat Kerjan Wuna pada tahun
1905, Ibukota Kabupaten Muna Saat ini. Dari situlah
kemudian mereka meluaskan wilalayah kekuasan mereka dengan membuka perkebunanperkebunan di sekitar Kota Raha. Perkebunan yang dibangun oleh Kolonial Belanda yaitu jati
dan kapuk.
Dalam rangkan perluasan wilayah kekuasaannya tersebu, pemerintah Kolonial Belanda Pada
tahun 1927 mendatangkan transmigrasi dari daerah Sidodadi di Jawa Timur. Para trans migrant
itu dipekerjakan pada loksai-lokasi perkebunan Belanda dan bertugas menanam pohon jati di
daerah Motewe sampai Tampo. Belanda juga membangun pabrik-pabrik pengolahan kayu jati
dan berhasil melakukan ekploitasi kayu jati yang banyak tumbuh di daerah Wuna. Pada tahun
1928, Belanda berhasil melakukan ekspor kayu jati pertama asal Pulau Muna. ( MA )