SlideShare a Scribd company logo
1 of 5
Pada sebuah kapal. Di frasa itulah kisah tentang manusia Pulau Muna, pulau di
tenggara kaki kiri Sulawesi, diperkirakan bermula. Ketika Sawerigading, tokoh
asal Kerajaan Luwu Purba di Sulawesi Selatan yang melegenda (dalam epik I La
Galigo), sedang mengembara mencari kekasihnya sebagai pengganti saudari
kembarnya yang terlarang untuk dinikahi, We Tenriabeng, perahunya terdampar
di sebuah gundukan daratan setelah menabrak batu karang. Sawerigading terus
melanjutkan perjalanan ke negeri Cina, sedangkan para awak kapalnya, yang
berjumlah 40 orang, kemudian membuat koloni di pulau yang didominasi batuan
kapur itu.
Oleh mereka, daerah tempat terdamparnya kapal itu kemudian dinamai Bahutara,
( Sawarigading ) yang berarti bahtera. Karena di daerah berbatuan karang itu
secara ajaib sering tumbuh bunga-bunga yang indah pada musim-musim tertentu,
dinamailah oleh mereka daratan pulau itu sebagai Kontu Kowuna, dengan kata
kontu yang berarti batu dan wuna yang berarti bunga. Lambat laun, Wuna
berubah lafal menjadi Muna, dan para pengikut Sawerigading yang terdampar
menamai diri mereka sebagai suku Muna, dan daratan berbatu serta berpasir itu
mereka sebut Muna.
Kisah itu saya dengar di atas kapal Sagori Express yang sedang melaju di Laut
Banda, di pesisir timur Konawe Selatan, menuju Pulau Muna dari tuturan Ali
Musthapa. Pak Mus--begitu saya memanggilnya--pria 40 tahunan, adalah
penduduk asli Muna. Ia pegawai negeri di salah satu instansi di Raha.
Ini akhir Mei 2008 yang panas, dan perjalanan tiga setengah jam dari Pelabuhan
Nusantara di Teluk Kendari seolah mengantar saya ke dinamika panjang pulau
yang terkenal dengan sejarah kerajaan berabad-abad, kolonialisme Hindia
Belanda, komoditas jati nomor satu, peninggalan prasejarah berupa cap tangan
dan gua-gua manusia purbakala, danau-danau air asin di daratan, festival layanglayang, sampai atraksi adu kuda.
Perjalanan yang sungguh tidak membosankan karena saya dapat menikmati
hijaunya pulau-pulau kecil membukit yang tersebar di kiri-kanan, permukiman
penduduk di rumah panggung atas air laut yang biru cerah, serta awan yang
menembuskan sinar matahari secara indah.
Muna adalah toponim sebuah pulau (dan identitas etnis). Tapi anehnya, secara
administratif, Pulau Muna dibagi menjadi dua kabupaten: Kabupaten Muna di
wilayah utara pulau dan Kabupaten Buton di wilayah selatan pulau. Begitu juga
dengan pulau di sebelah timurnya, Pulau Buton, yang juga dibagi menjadi tiga:
bagian utara Kabupaten Muna serta bagian selatan Kota Bau-bau dan Kabupaten
Buton.
Mengapa tidak dibagi mengikut nama pulau saja? Menurut Pak Mus, jawaban
untuk itu terkait dengan sejarah panjang Kesultanan Buton dan pembagian
wilayah administratif sewaktu pemerintah kolonial Belanda berkuasa di jazirah
pulau-pulau, mulai Pulau Tobea di Selat Spelman (nama yang berasal dari nama
pemimpin VOC di Sulawesi bagian selatan pada abad ke-18) di barat Pulau Muna
sampai di Kepulauan Tukang Besi, yang terkenal sebagai surga wisata bawah laut
Wakatobi (akronim dari Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko).
Tak terasa, feri cepat ini telah mendekati Pelabuhan Raha di Raha, ibu kota
Kabupaten Muna, seluas 488.700 hektare yang terletak di bagian timur Pulau
Muna. Waktu menunjukkan pukul 17.05 Wita. Karena itu, matahari masih bersinar
walau telah jauh di ufuk barat dan, jika dilihat dari pelabuhan, hampir menyentuh
bukit-bukit di pedalaman pulau.
Dari kapal yang hampir merapat itu, deretan rumah tampak jelas terbentang
mengikuti pinggir pulau. Di sebelah kanan pelabuhan, sejauh mata memandang
yang terlihat adalah deretan rumah beratap seng, yang ternyata merupakan
perkampungan suku Bajo (sering juga dilafalkan Wajo) hasil buatan pemerintah
sebagai usaha memukimkan mereka yang sangat terkenal sebagai suku Gipsi Laut
di sepanjang perairan Sulawesi, pesisir timur Kalimantan, hingga pulau-pulau kecil
di utara Nusa Tenggara. Ada juga pohon-pohon bakau yang tinggal pokok dan
rantingnya, sudah hampir mati. Sampah plastik tersebar di antara batu-batu
kecil di bawah talud reklamasi pantai sekitar pelabuhan.
Di pelabuhan, saya dan Pak Mus berpisah. Saat bersalaman, ia memberi tahu tiga
lokasi yang dapat dikunjungi jika ingin mengenal Pulau Muna: Kota Tua Wuna,
Liang Kobori, dan Danau Napabale. Yang pertama jika ingin menangkap suasana
masa lalu Muna, yang kedua jika hendak bersentuhan dengan dunia manusia
prasejarah, dan yang terakhir jika akan melihat indahnya alam di Pulau Muna. * *
*
Pada pagi hari berikutnya, saya pergi ke kota tua Muna, yang terletak 30
kilometer dari Raha, dengan menggunakan jasa ojek, moda transportasi yang
sungguh banyak berseliweran di Raha. Inilah moda utama, karena kendaraan roda
empat (angkot) tidak ada, sedangkan taksi hanya ada delapan unit milik
pemerintah daerah.
Dari sebuah literatur, saya tahu, pada zaman Raja Lakilaponto sebagai Raja Muna
VII (1538-1541), jika hendak memasuki Kota Muna, rakyat biasa harus berjalan
kaki. Yang boleh berkuda hanya para pejabat istana. Ada benteng yang
mengelilingi kota sepanjang sekitar 8.000 meter dengan tinggi empat meter dan
tebal tiga meter, dan dibangun dengan bantuan roh halus karena sang raja sakti
mandraguna. Terbayang kemegahan suatu kota, dengan tata pemerintahan
teratur, aktivitas perdagangan yang ramai, keamanan yang terjamin dari para
bajak laut yang ganas di perairan Bau-bau di Pulau Buton, yang terkenal sebagai
tempat singgah teramai jalur selatan Sulawesi menuju kawasan Maluku dan
Papua.
Sampai berabad-abad kemudian, Muna adalah kerajaan berdaulat dan
bertetangga baik dengan Kesultanan Buton, yang ber-Ibu Kota Bau-bau. Namun,
dengan keluarnya Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918, semua itu berubah
karena pemerintah kolonial Belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja
di Sulawesi Tenggara, yakni Swapraja Buton dan Laiwoi di Kendari. Sejak saat
itulah Kerajaan Muna dinyatakan sebagai daerah bawahan Kesultanan Buton. Dari
beban masa lalu inilah, dan letak geografis pusat-pusat Kerajaan Muna dan
Kesultanan Buton, saya bisa membayangkan mengapa batas administrasi modern
kedua kabupaten ini tidak serta-merta mengikuti pulau masing-masing.
Saat ini, tidak ada lagi kemegahan kota pusat kerajaan, bahkan Pak Siad
Awaluddin, penduduk asli Muna, yang sempat saya tanyai pun, tidak lagi tahu
perkiraan letak istana dan benteng monumental itu secara pasti. Yang masih bisa
dilihat hanyalah masjid yang dibangun oleh Raja Muna terakhir, yakni Raja La
Titakono, pada abad ke-17. Saya lihat bentuk masjid di bekas ibu kota kerajaan
itu sangat sederhana. Walau sudah merupakan bangunan yang dipugar, masjid itu
masih memperlihatkan ciri aslinya, termasuk tempat dudukan kubahnya yang
terbuat dari kayu.
Selepas dari situ, perjalanan berlanjut ke Liang Kobori, sebuah gua arkeologis di
Desa Liang Kobori, Kecamatan Lohia, yang memuat goresan atau guratan-guratan
dari zaman prasejarah. Jarak Liang Kobori ini kira-kira 10 kilometer dari Raha.
Dari balai desa, saya masih harus berjalan kira-kira 400 meter lagi, melewati
tebing-tebing tinggi. Memasuki gua itu, terasa suasana yang berbeda, mungkin
karena kelembapannya. Di kanan-kiri gua yang kira-kira setinggi empat meter itu,
beberapa bentuk abstrak dengan warna merah pucat menyatu dengan dinding
batu kapur. Ada bentuk memanjang yang menyerupai daun pisang, ada bentuk
yang menyerupai hewan (seperti babi atau kambing), bahkan bentuk manusia
abstrak dengan kepala, tangan, badan, dan kaki. Tapak tangan juga ada. Saat
keluar, saya baru sadar bahwa bentuk hewan itu bukan babi atau kambing,
melainkan anoa!
Saya tidak sempat menghitung berapa banyak lukisan dinding dan berapa motif
yang tergambar, dan mengapa umumnya berwarna merah. Apalagi data arkeologis
mengenai Liang Kobori ini sangat sedikit, berbeda sekali dengan Gua Leang-leang
(Kabupaten Maros) atau Garunggung (Kabupaten Pangkep) di Sulawesi Selatan,
atau bahkan Gua Marang atau Liang Tengkorak di Kalimantan Timur. Atau bahkan
apa maknanya mitologisnya, selain beberapa gambar yang sekilas mencirikan
keseharian mereka, misalnya berburu. Mungkin sebagian di antara gambar tangan
ini juga mencirikan perasaan berkabung karena ada anggota keluarga yang
meninggal seperti diteliti para ahli di Gua Leang-leang ataupun sebagai medium
yang menghubungkan ke dunia arwah orang mati. Entahlah.
Saat keluar dari Liang Kobori, saya teringat penjelasan seorang teman dosen
arkeologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada bahwa situs
arkeologis sejenis akan mencirikan penyebaran manusia prasejarah zaman
Mesolitikum. Memang, dari berbagai temuan, sebaran situs sejenis hanya
ditemukan di Borneo bagian utara, turun ke tengah Pulau Kalimantan, lalu ke
Sulawesi, Kei, Seram, dan kemudian ke Papua bagian selatan. Jarang ditemukan di
wilayah barat Indonesia. * * *
Bocah-bocah bertelanjang dada melompat dari pinggir danau yang kebiruan, lalu
berenang mendekati perahu yang terapung sedikit di tengah. Gembira, berteriak,
tertawa, seakan mereka adalah penghuni penjara yang tahu pasti besok pagi
mereka akan bebas dan lepas menuju hari-hari yang lebih cerah. Di langit, awanawan dipahat angin lembut membentuk gambar-gambar.
Itulah catatan harian yang saya tulis mengenai Danau Napabale, 15 kilometer
dari Raha, juga masih di Kecamatan Lohia, yang lokasi pastinya berada di Desa
Lohia. Berbeda dengan Kota Tua dan Liang Kobori, yang lebih mencirikan kerja
manusia, di Danau Napabale, yang mempunyai luas kira-kira 5 hektare, saya
menelusuri kerja alam.
Beberapa pulau karang kecil tampak di tengah danau, seperti atol yang ditumbuhi
pepohonan di bagian atasnya; dari kejauhan seperti apel yang telah digigiti
secara melingkar dengan cekungan-cekungan di batuan karang berlubang. Inilah
hasil kerja ajaib proses geomorfologi ribuan tahun di pulau yang sebagian
tanahnya berkapur ini. Bisa dikatakan bahwa Napabale adalah laguna karst yang
terisolasi.
Danau air asin. Bukan pantai. Tidak ada pasir di sini. Tidak ada angin lautan yang
kejam mengiris. Tidak akan ada debur dan buih putih. Hanya tenang. Senyap. Dan
warna cyan yang hening. Air laut masuk lewat lubang di batu karang. Jika surut,
perahu lewat, lalu menembus laut, langsung ke Selat Buton.* * *
Pulau Muna bukan hanya kayu jati, tapi kayu jati masih jadi penanda kota.
Kesimpulan itulah yang saya ambil ketika kembali berada di Pelabuhan Raha untuk
balik ke Kendari. Di pelabuhan, kapal pengangkut jati ke Surabaya telah merapat,
dan beberapa kayu jati gelondongan sedang ditarik naik ke dek kapal. Ada satu
area kira-kira seluas tiga perempat lapangan sepak bola yang digunakan sebagai
penampungan kayu-kayu jati yang siap diangkut. Dari petugas tiket, saya
mendapat informasi bahwa aktivitas perdagangan jati inilah yang turut
meramaikan kehidupan di Pulau Muna, ditandai dengan merapatnya banyak kapal
besar pengangkut beberapa kali dalam sebulan. Tidak jauh dari situ, ada Tugu
Jati Emas yang menjulang sekitar 15 meter sebagai tetenger Raha, sebagai ibu
kota Muna, ibu kota jati Sulawesi. Tapi, di balik itu, karena penanaman kembali
yang tidak konsisten, keberadaan jati Muna yang siap tebang terancam. Bahkan
ditengarai, luas hutan jati telah menyusut, hanya kira-kira seperdelapan dari luas
sebelumnya, yang sempat 45 ribu hektare pada 1968.
Ketika kapal telah melepas tambatan, di antara buih ombak di buritan kapal, saya
sadar bahwa masih banyak pesona wisata di Pulau Muna yang belum ternikmati:
festival layang-layang tradisional (terbuat dari daun kolope atau ubi hutan, rami,
dan benang dari serat daun nanas hutan); Kaghati, desa tenunan tradisional di
Masalili, atau atraksi adu kuda yang sudah sangat jarang dilakukan.
Muna memang bukan hanya kayu jati.
Ulasan, sumber Dari Koran Tempo Jakarta.

More Related Content

What's hot (10)

BUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJA
BUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJABUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJA
BUDAYA NUSANTARA 4 ETNIS KEBUDAYAAN BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJA
 
Beberapa versi asal usul pulau muna
Beberapa versi asal usul pulau munaBeberapa versi asal usul pulau muna
Beberapa versi asal usul pulau muna
 
Makalah liangkabori
Makalah liangkaboriMakalah liangkabori
Makalah liangkabori
 
History of-java
History of-javaHistory of-java
History of-java
 
Kerajaan muna
Kerajaan munaKerajaan muna
Kerajaan muna
 
SUKU SASAK
SUKU SASAKSUKU SASAK
SUKU SASAK
 
Sitti wulan purnama wahda syam
Sitti wulan purnama  wahda syamSitti wulan purnama  wahda syam
Sitti wulan purnama wahda syam
 
Selayang Pandang Kota Semarang
Selayang Pandang Kota SemarangSelayang Pandang Kota Semarang
Selayang Pandang Kota Semarang
 
Makalah sejarah indonesia
Makalah sejarah indonesiaMakalah sejarah indonesia
Makalah sejarah indonesia
 
Sejarah muna
Sejarah munaSejarah muna
Sejarah muna
 

Similar to Mengkaji Pulau Muna

Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbungaMengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbungaOperator Warnet Vast Raha
 
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbungaMengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbungaOperator Warnet Vast Raha
 
Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna
Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wunaMenelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna
Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wunaMieno Wuna
 

Similar to Mengkaji Pulau Muna (20)

Asal usul pulau muna
Asal usul pulau munaAsal usul pulau muna
Asal usul pulau muna
 
Asal usul pulau muna
Asal usul pulau munaAsal usul pulau muna
Asal usul pulau muna
 
Asal usul kabupaten muna
Asal usul kabupaten munaAsal usul kabupaten muna
Asal usul kabupaten muna
 
Asal usul kabupaten muna
Asal usul kabupaten munaAsal usul kabupaten muna
Asal usul kabupaten muna
 
Asal usul kabupaten muna
Asal usul kabupaten munaAsal usul kabupaten muna
Asal usul kabupaten muna
 
Asal usul pulau muna
Asal usul pulau munaAsal usul pulau muna
Asal usul pulau muna
 
Asal usul pulau muna
Asal usul pulau munaAsal usul pulau muna
Asal usul pulau muna
 
Asal usul kabupaten muna sultra
Asal usul kabupaten muna sultraAsal usul kabupaten muna sultra
Asal usul kabupaten muna sultra
 
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbungaMengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
 
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbungaMengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
 
24. Selayar
24. Selayar24. Selayar
24. Selayar
 
Khazanah Labuhanbatu Utara
Khazanah Labuhanbatu UtaraKhazanah Labuhanbatu Utara
Khazanah Labuhanbatu Utara
 
Wisata pantai kabupaten muna
Wisata pantai kabupaten munaWisata pantai kabupaten muna
Wisata pantai kabupaten muna
 
Wisata pantai kabupaten muna
Wisata pantai kabupaten munaWisata pantai kabupaten muna
Wisata pantai kabupaten muna
 
Wisata pantai kabupaten muna
Wisata pantai kabupaten munaWisata pantai kabupaten muna
Wisata pantai kabupaten muna
 
Makalah bukti peninggalan kerajaan muna
Makalah bukti peninggalan kerajaan munaMakalah bukti peninggalan kerajaan muna
Makalah bukti peninggalan kerajaan muna
 
Potensi pariwisata kabupaten muna
Potensi pariwisata kabupaten munaPotensi pariwisata kabupaten muna
Potensi pariwisata kabupaten muna
 
Potensi pariwisata kabupaten muna
Potensi pariwisata kabupaten munaPotensi pariwisata kabupaten muna
Potensi pariwisata kabupaten muna
 
Lokasi pariwisata dan tradisi budaya
Lokasi pariwisata dan tradisi budayaLokasi pariwisata dan tradisi budaya
Lokasi pariwisata dan tradisi budaya
 
Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna
Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wunaMenelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna
Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna
 

More from Operator Warnet Vast Raha

Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiOperator Warnet Vast Raha
 

More from Operator Warnet Vast Raha (20)

Stiker kk bondan
Stiker kk bondanStiker kk bondan
Stiker kk bondan
 
Proposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bolaProposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bola
 
Surat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehatSurat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehat
 
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajarSurat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
 
Halaman sampul target
Halaman sampul targetHalaman sampul target
Halaman sampul target
 
Makalah seni kriya korea
Makalah seni kriya koreaMakalah seni kriya korea
Makalah seni kriya korea
 
Makalah makromolekul
Makalah makromolekulMakalah makromolekul
Makalah makromolekul
 
126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul
 
Kafer akbid paramata
Kafer akbid paramataKafer akbid paramata
Kafer akbid paramata
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Mata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budayaMata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budaya
 
Lingkungan hidup
Lingkungan hidupLingkungan hidup
Lingkungan hidup
 
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
 
Odher scout community
Odher scout communityOdher scout community
Odher scout community
 
Surat izin keramaian
Surat izin keramaianSurat izin keramaian
Surat izin keramaian
 
Makalah keganasan
Makalah keganasanMakalah keganasan
Makalah keganasan
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Makalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetikaMakalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetika
 
Undangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepaUndangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepa
 
Bukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajakBukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajak
 

Mengkaji Pulau Muna

  • 1. Pada sebuah kapal. Di frasa itulah kisah tentang manusia Pulau Muna, pulau di tenggara kaki kiri Sulawesi, diperkirakan bermula. Ketika Sawerigading, tokoh asal Kerajaan Luwu Purba di Sulawesi Selatan yang melegenda (dalam epik I La Galigo), sedang mengembara mencari kekasihnya sebagai pengganti saudari kembarnya yang terlarang untuk dinikahi, We Tenriabeng, perahunya terdampar di sebuah gundukan daratan setelah menabrak batu karang. Sawerigading terus melanjutkan perjalanan ke negeri Cina, sedangkan para awak kapalnya, yang berjumlah 40 orang, kemudian membuat koloni di pulau yang didominasi batuan kapur itu. Oleh mereka, daerah tempat terdamparnya kapal itu kemudian dinamai Bahutara, ( Sawarigading ) yang berarti bahtera. Karena di daerah berbatuan karang itu secara ajaib sering tumbuh bunga-bunga yang indah pada musim-musim tertentu, dinamailah oleh mereka daratan pulau itu sebagai Kontu Kowuna, dengan kata kontu yang berarti batu dan wuna yang berarti bunga. Lambat laun, Wuna berubah lafal menjadi Muna, dan para pengikut Sawerigading yang terdampar menamai diri mereka sebagai suku Muna, dan daratan berbatu serta berpasir itu mereka sebut Muna. Kisah itu saya dengar di atas kapal Sagori Express yang sedang melaju di Laut Banda, di pesisir timur Konawe Selatan, menuju Pulau Muna dari tuturan Ali Musthapa. Pak Mus--begitu saya memanggilnya--pria 40 tahunan, adalah penduduk asli Muna. Ia pegawai negeri di salah satu instansi di Raha. Ini akhir Mei 2008 yang panas, dan perjalanan tiga setengah jam dari Pelabuhan Nusantara di Teluk Kendari seolah mengantar saya ke dinamika panjang pulau yang terkenal dengan sejarah kerajaan berabad-abad, kolonialisme Hindia Belanda, komoditas jati nomor satu, peninggalan prasejarah berupa cap tangan dan gua-gua manusia purbakala, danau-danau air asin di daratan, festival layanglayang, sampai atraksi adu kuda. Perjalanan yang sungguh tidak membosankan karena saya dapat menikmati hijaunya pulau-pulau kecil membukit yang tersebar di kiri-kanan, permukiman penduduk di rumah panggung atas air laut yang biru cerah, serta awan yang menembuskan sinar matahari secara indah. Muna adalah toponim sebuah pulau (dan identitas etnis). Tapi anehnya, secara administratif, Pulau Muna dibagi menjadi dua kabupaten: Kabupaten Muna di wilayah utara pulau dan Kabupaten Buton di wilayah selatan pulau. Begitu juga dengan pulau di sebelah timurnya, Pulau Buton, yang juga dibagi menjadi tiga: bagian utara Kabupaten Muna serta bagian selatan Kota Bau-bau dan Kabupaten Buton.
  • 2. Mengapa tidak dibagi mengikut nama pulau saja? Menurut Pak Mus, jawaban untuk itu terkait dengan sejarah panjang Kesultanan Buton dan pembagian wilayah administratif sewaktu pemerintah kolonial Belanda berkuasa di jazirah pulau-pulau, mulai Pulau Tobea di Selat Spelman (nama yang berasal dari nama pemimpin VOC di Sulawesi bagian selatan pada abad ke-18) di barat Pulau Muna sampai di Kepulauan Tukang Besi, yang terkenal sebagai surga wisata bawah laut Wakatobi (akronim dari Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko). Tak terasa, feri cepat ini telah mendekati Pelabuhan Raha di Raha, ibu kota Kabupaten Muna, seluas 488.700 hektare yang terletak di bagian timur Pulau Muna. Waktu menunjukkan pukul 17.05 Wita. Karena itu, matahari masih bersinar walau telah jauh di ufuk barat dan, jika dilihat dari pelabuhan, hampir menyentuh bukit-bukit di pedalaman pulau. Dari kapal yang hampir merapat itu, deretan rumah tampak jelas terbentang mengikuti pinggir pulau. Di sebelah kanan pelabuhan, sejauh mata memandang yang terlihat adalah deretan rumah beratap seng, yang ternyata merupakan perkampungan suku Bajo (sering juga dilafalkan Wajo) hasil buatan pemerintah sebagai usaha memukimkan mereka yang sangat terkenal sebagai suku Gipsi Laut di sepanjang perairan Sulawesi, pesisir timur Kalimantan, hingga pulau-pulau kecil di utara Nusa Tenggara. Ada juga pohon-pohon bakau yang tinggal pokok dan rantingnya, sudah hampir mati. Sampah plastik tersebar di antara batu-batu kecil di bawah talud reklamasi pantai sekitar pelabuhan. Di pelabuhan, saya dan Pak Mus berpisah. Saat bersalaman, ia memberi tahu tiga lokasi yang dapat dikunjungi jika ingin mengenal Pulau Muna: Kota Tua Wuna, Liang Kobori, dan Danau Napabale. Yang pertama jika ingin menangkap suasana masa lalu Muna, yang kedua jika hendak bersentuhan dengan dunia manusia prasejarah, dan yang terakhir jika akan melihat indahnya alam di Pulau Muna. * * * Pada pagi hari berikutnya, saya pergi ke kota tua Muna, yang terletak 30 kilometer dari Raha, dengan menggunakan jasa ojek, moda transportasi yang sungguh banyak berseliweran di Raha. Inilah moda utama, karena kendaraan roda empat (angkot) tidak ada, sedangkan taksi hanya ada delapan unit milik pemerintah daerah. Dari sebuah literatur, saya tahu, pada zaman Raja Lakilaponto sebagai Raja Muna VII (1538-1541), jika hendak memasuki Kota Muna, rakyat biasa harus berjalan kaki. Yang boleh berkuda hanya para pejabat istana. Ada benteng yang mengelilingi kota sepanjang sekitar 8.000 meter dengan tinggi empat meter dan tebal tiga meter, dan dibangun dengan bantuan roh halus karena sang raja sakti mandraguna. Terbayang kemegahan suatu kota, dengan tata pemerintahan
  • 3. teratur, aktivitas perdagangan yang ramai, keamanan yang terjamin dari para bajak laut yang ganas di perairan Bau-bau di Pulau Buton, yang terkenal sebagai tempat singgah teramai jalur selatan Sulawesi menuju kawasan Maluku dan Papua. Sampai berabad-abad kemudian, Muna adalah kerajaan berdaulat dan bertetangga baik dengan Kesultanan Buton, yang ber-Ibu Kota Bau-bau. Namun, dengan keluarnya Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918, semua itu berubah karena pemerintah kolonial Belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja di Sulawesi Tenggara, yakni Swapraja Buton dan Laiwoi di Kendari. Sejak saat itulah Kerajaan Muna dinyatakan sebagai daerah bawahan Kesultanan Buton. Dari beban masa lalu inilah, dan letak geografis pusat-pusat Kerajaan Muna dan Kesultanan Buton, saya bisa membayangkan mengapa batas administrasi modern kedua kabupaten ini tidak serta-merta mengikuti pulau masing-masing. Saat ini, tidak ada lagi kemegahan kota pusat kerajaan, bahkan Pak Siad Awaluddin, penduduk asli Muna, yang sempat saya tanyai pun, tidak lagi tahu perkiraan letak istana dan benteng monumental itu secara pasti. Yang masih bisa dilihat hanyalah masjid yang dibangun oleh Raja Muna terakhir, yakni Raja La Titakono, pada abad ke-17. Saya lihat bentuk masjid di bekas ibu kota kerajaan itu sangat sederhana. Walau sudah merupakan bangunan yang dipugar, masjid itu masih memperlihatkan ciri aslinya, termasuk tempat dudukan kubahnya yang terbuat dari kayu. Selepas dari situ, perjalanan berlanjut ke Liang Kobori, sebuah gua arkeologis di Desa Liang Kobori, Kecamatan Lohia, yang memuat goresan atau guratan-guratan dari zaman prasejarah. Jarak Liang Kobori ini kira-kira 10 kilometer dari Raha. Dari balai desa, saya masih harus berjalan kira-kira 400 meter lagi, melewati tebing-tebing tinggi. Memasuki gua itu, terasa suasana yang berbeda, mungkin karena kelembapannya. Di kanan-kiri gua yang kira-kira setinggi empat meter itu, beberapa bentuk abstrak dengan warna merah pucat menyatu dengan dinding batu kapur. Ada bentuk memanjang yang menyerupai daun pisang, ada bentuk yang menyerupai hewan (seperti babi atau kambing), bahkan bentuk manusia abstrak dengan kepala, tangan, badan, dan kaki. Tapak tangan juga ada. Saat keluar, saya baru sadar bahwa bentuk hewan itu bukan babi atau kambing, melainkan anoa! Saya tidak sempat menghitung berapa banyak lukisan dinding dan berapa motif yang tergambar, dan mengapa umumnya berwarna merah. Apalagi data arkeologis mengenai Liang Kobori ini sangat sedikit, berbeda sekali dengan Gua Leang-leang (Kabupaten Maros) atau Garunggung (Kabupaten Pangkep) di Sulawesi Selatan,
  • 4. atau bahkan Gua Marang atau Liang Tengkorak di Kalimantan Timur. Atau bahkan apa maknanya mitologisnya, selain beberapa gambar yang sekilas mencirikan keseharian mereka, misalnya berburu. Mungkin sebagian di antara gambar tangan ini juga mencirikan perasaan berkabung karena ada anggota keluarga yang meninggal seperti diteliti para ahli di Gua Leang-leang ataupun sebagai medium yang menghubungkan ke dunia arwah orang mati. Entahlah. Saat keluar dari Liang Kobori, saya teringat penjelasan seorang teman dosen arkeologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada bahwa situs arkeologis sejenis akan mencirikan penyebaran manusia prasejarah zaman Mesolitikum. Memang, dari berbagai temuan, sebaran situs sejenis hanya ditemukan di Borneo bagian utara, turun ke tengah Pulau Kalimantan, lalu ke Sulawesi, Kei, Seram, dan kemudian ke Papua bagian selatan. Jarang ditemukan di wilayah barat Indonesia. * * * Bocah-bocah bertelanjang dada melompat dari pinggir danau yang kebiruan, lalu berenang mendekati perahu yang terapung sedikit di tengah. Gembira, berteriak, tertawa, seakan mereka adalah penghuni penjara yang tahu pasti besok pagi mereka akan bebas dan lepas menuju hari-hari yang lebih cerah. Di langit, awanawan dipahat angin lembut membentuk gambar-gambar. Itulah catatan harian yang saya tulis mengenai Danau Napabale, 15 kilometer dari Raha, juga masih di Kecamatan Lohia, yang lokasi pastinya berada di Desa Lohia. Berbeda dengan Kota Tua dan Liang Kobori, yang lebih mencirikan kerja manusia, di Danau Napabale, yang mempunyai luas kira-kira 5 hektare, saya menelusuri kerja alam. Beberapa pulau karang kecil tampak di tengah danau, seperti atol yang ditumbuhi pepohonan di bagian atasnya; dari kejauhan seperti apel yang telah digigiti secara melingkar dengan cekungan-cekungan di batuan karang berlubang. Inilah hasil kerja ajaib proses geomorfologi ribuan tahun di pulau yang sebagian tanahnya berkapur ini. Bisa dikatakan bahwa Napabale adalah laguna karst yang terisolasi. Danau air asin. Bukan pantai. Tidak ada pasir di sini. Tidak ada angin lautan yang kejam mengiris. Tidak akan ada debur dan buih putih. Hanya tenang. Senyap. Dan warna cyan yang hening. Air laut masuk lewat lubang di batu karang. Jika surut, perahu lewat, lalu menembus laut, langsung ke Selat Buton.* * * Pulau Muna bukan hanya kayu jati, tapi kayu jati masih jadi penanda kota. Kesimpulan itulah yang saya ambil ketika kembali berada di Pelabuhan Raha untuk
  • 5. balik ke Kendari. Di pelabuhan, kapal pengangkut jati ke Surabaya telah merapat, dan beberapa kayu jati gelondongan sedang ditarik naik ke dek kapal. Ada satu area kira-kira seluas tiga perempat lapangan sepak bola yang digunakan sebagai penampungan kayu-kayu jati yang siap diangkut. Dari petugas tiket, saya mendapat informasi bahwa aktivitas perdagangan jati inilah yang turut meramaikan kehidupan di Pulau Muna, ditandai dengan merapatnya banyak kapal besar pengangkut beberapa kali dalam sebulan. Tidak jauh dari situ, ada Tugu Jati Emas yang menjulang sekitar 15 meter sebagai tetenger Raha, sebagai ibu kota Muna, ibu kota jati Sulawesi. Tapi, di balik itu, karena penanaman kembali yang tidak konsisten, keberadaan jati Muna yang siap tebang terancam. Bahkan ditengarai, luas hutan jati telah menyusut, hanya kira-kira seperdelapan dari luas sebelumnya, yang sempat 45 ribu hektare pada 1968. Ketika kapal telah melepas tambatan, di antara buih ombak di buritan kapal, saya sadar bahwa masih banyak pesona wisata di Pulau Muna yang belum ternikmati: festival layang-layang tradisional (terbuat dari daun kolope atau ubi hutan, rami, dan benang dari serat daun nanas hutan); Kaghati, desa tenunan tradisional di Masalili, atau atraksi adu kuda yang sudah sangat jarang dilakukan. Muna memang bukan hanya kayu jati. Ulasan, sumber Dari Koran Tempo Jakarta.