Dokumen tersebut membahas tentang karakteristik kemiskinan dan hubungannya dengan struktur kota di DKI Jakarta. Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi kondisi kemiskinan per kelurahan, yaitu kualitas perumahan yang rendah, akses terhadap fasilitas, kondisi ekonomi, dan akses terhadap utilitas dasar."
2. DKI Jakarta Pusat Administrasi dan Pelayanan Masyarakat;
Pusat Perdagangan dan Distribusi;
Pusat Keuangan;
Pusat Pariwisata;
Pusat Pelatihan dan Informasi;
Pusat Ilmu Pengetahuan; dan
Pusat Seni Budaya.
60% kegiatan perekonomian Indonesia
Kepadatan penduduk tinggi (13.759jiwa/km2)
Kota utama (primate city) tujuan pendatang
Kompetisi ruang Nilai tanah tinggi di daerah
strategis
Penduduknya beragam, terutama kondisi sosial
ekonominya
Penduduk berstatus ekonomi baik akan tinggal pada
nilai tanah lebih tinggi daripada penduduk dengan
status ekonomi buruk (penduduk miskin)
Penduduk miskin mencari lokasi yang relatif dekat
dengan pusat kegiatan, peluang untuk mendapat
pekerjaan (informal) akan lebih mudah
Menempati kawasan “belakang kota”
2
3. Kawasan “belakang kota”
Dekat dengan pusat kegiatan
Berkondisi lingkungan buruk permukiman padat dan
tidak teratur dengan standar rendah sepeti terhadap
kebutuhan dasar seperti air bersih, bahan bakar, listrik
maupun sarana kesehatan
Pusat kegiatan perkotaan melayani kebutuhan penduduk dengan efisien
teroganisir dengan baik
Permasalahan bagi wajah kota dan kemampuan pusat kegiatan tersebut
melayani penduduknya
Penelitian untuk mengetahui kondisi kemiskinan dan sebarannya yang
dikaitkan dengan keberadaan pusat-pusat kegiatan
3
4. Kemiskinan
Kondisi hidup penduduk serba kekurangan, bahkan
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya
Wagle (2007) Kemiskinan didekati dengan tiga
dimensi yaitu : kesejahteraan ekonomi, kemampuan,
dan pengakuan sosial
Mingione (1996) mengungkapkan bahwa gagasan “fenomena multidimensi” yang
menjelaskan kebutuhan hidup minimum, harus dikaitkan dengan keterbatasan akses
untuk mendapatkan keuntungan penting (importan benefits) di masyarakat
perkotaan seperti pendidikan, sistem pengelolaan sampah, kesehatan, serta integrasi
sosial dan kebudayaan.
Lebih lajut dikatakan bahwa peduduk miskin kota tidak sekedar hidup dalam
keterbatasan melainkan hidup dalam situasi yang rentan terhadap kejadian-kejadian
negatif.
Multidimensi kemiskinan
Kemiskinan Perkotaan
4
5. Kemiskinan Kota di DKI Jakarta
Ramto (1993) Permukiman miskin dengan pusat-pusat
kegiatan kota, kerena penghuninya memerlukan jarak yang dekat
untuk mencapai tempat mencari nafkanya, karena dengan jarak
sedekat itu, biaya dan waktu perjalanan akan dihemat.
Hargono (2005) Kemiskinan perkotaan di DKI Jakarta dilihat
dari beberapa indikator yaitu ukuran rumah tangga, kegiatan di
sektor sekunder, rata-rata pendapatan per kapita, kondisi
permukiman, serta tipe bangunan perumahan. Tidak ada korelasi
antara keberadaan penduduk miskin dengan ketersediaan dan
kualitas fasilitas umum, karena fasilitas umum di DKI Jakarta, yang
dibangun dari data Sensus Potensi Desa, relatif lengkap dan bagus.
Hargono (2005) Menemukan penduduk miskin di timur dan
tenggara DKI Jakarta mendekati industri
5
6. Ketergantungan Keruangan
(Spatial Dependency)
Waldo Tobler (1979) Segala sesuatu, jika
berdekatan cenderung akan lebih terkait daripada hal-
hal yang jauh terpisah.
Goodchild (1992) ketergantungan spasial adalah
kecenderungan untuk lokasi terdekat untuk
mempengaruhi satu sama lain dan memiliki atribut yang
sama
Zeng, dkk. (2008) menggunakan statistik
keruangan hasil yang diperoleh lebih masuk akal
daripada statistik biasa (traditional logistic)
6
7. • Anselin, dkk. (2002) menuliskan bahwa dalam
analisis keruangan bahwa nilai yang di observasi pada
sebuah lokasi selain dipengaruhi oleh variabel di lokasi
tersebut, juga dipengaruhi oleh nilai obeservasi di lokasi
sebelahnya.
Ketergantungan Keruangan
(Spatial Dependency)
7
9. Karena berbasiskan lokasi, untuk memudahkan
analisa, maka unit analisis penelitian
merupakan 261 kelurahan di DKI Jakarta
Sehingga data PSE yang unit analisisnya adalah
rumah tangga miskin, diagregatkan pada tingkat
kelurahan; dan data struktur kota diubah
menjadi persentase pengunaan tanah pusat
kegiatan terhadap luas kelurahan
Sumber Data
9
10. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana kondisi kemiskinan kelurahan
berdasarkan karakteristik rumah tangga miskin
di DKI Jakarta?
Bagaimana hubungan antara kondisi kelurahan
miskin tersebut terhadap struktur ruang kota
DKI Jakarta?
Hipotesis : Kelurahan miskin akan terkosentrasi
mendekati pusat-pusat kegiatan
10
12. Wolrd Bank (2009), menetapkan dua kerangka kerja untuk memahami
kemiskinan perkotaan, yaitu:
1. Pendekatan karakteristik kemiskinan pendapatan, kondisi kesehatan dan
pendidikan, kepemilikan perorangan, dan ketidakberdayaan. Masing-
masing dimensi tersebut saling terkait dan berdampak kumulatif satu
dengan lainnya.
2. Pendekatan kerentanan dan kepemilikan aset, dikembangkan dari konsep
dinamik risiko penduduk untuk jatuh dalam kategori miskin. Semakin
banyak aset yang dimiliki oleh seseorang dan keluarganya, semakin rendah
risiko untuk masuk dalam kategori miskin. Tidak terbatas pada aset benda
atau barang, melainkan tenaga kerja, modal manusia berupa keterampilan
dan kemampuan bekerja, aset produktif terutama kepemilikan rumah,
hubungan rumah tangga, dan modal sosial.
Kemiskinan Perkotaan
12
13. Kriteria Kemiskinan BPS
Dianggap mewakili multidimensi kemiskinan yang dilihat dari kesehatan,
makanan dan gizi, pendidikan, kondisi pekerjaan, situasi kesempatan kerja,
konsumsi dan tabungan, pengangkutan, perumahan, sandang, rekreasi dan
hiburan, jaminan sosial, serta kebebasan.
8. Jarang mengkonsumsi
daging/ayam/susu
9. Kurang dari 3 kali makan/hari
10. Jarang membeli baju atau
hanya 1 stel/tahun
11. Tidak mampu membayar
berobat
12. Penghasilan kepala rumah
tanganya hanya <Rp.600.000
per bulan
13. Pendidikan kepala rumah
tangganya hanya SD
14. Tidak memiliki aset/tabungan
1. Luas lantai bangunannya <
8m2/orang
2. Lantai terluasnya dari
tanah/bambu/kayu murah
3. Dinding terluasnya
tanah/bambu/kayu murah
4. Tidak punya fasilitas buang air
besar
5. Sumber air minum bukan PAM
atau Pompa
6. Penerangannya bukan listrik
7. Memasak tidak menggunakan
bahan bakar modern
13
14. Indeks Kemiskinan Manusia
Dimensi
Indikator Angka buta
huruf orang
dewasa (>15
Tahun)
Kemungkinan
tidak hidup
mencapai usia
40 Tahun
penduduk
yang tidak
memiliki
akses ke
sumber air
yang
diperbaiki
persentase
penduduk
yang tidak
memiliki
akses ke
fasilitas
kesehatan
persentase
balita
berberat
badan
kurang
Standar Hidup Layak
(decent standard of living)
Pengetahuan
(knowledge)
Kebertahanan
Hidup (survival)
Komposit Standart Hidup Layak
Indeks Kemiskinan Manusia Negara Berkembang
A
UNDP 1997 Laporan Pembangunan Manusia ke delapan Tahun 1997 devariasi
tentang kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi untuk
perhitungan kemiskinan
Bentuk penyederhanaan untuk menetapkan ukuran-ukuran kuantitatif (dalam bentuk
indeks komposit) dari dimensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kemiskinan.
Empat klasifikasi tersebut
yaitu :
1. klasifikasi rendah dengan
nilai IKM kurang dari 10,
2. klasifikasi menengah
rendah dengan nilai IKM
10 – 25,
3. klasifikasi menengah
tinggi dengan nilai IKM 25
– 40, dan
4. klasifikasi tinggi dengan
nilai IKM lebih dari 40.
14
15. Indeks Variabel No Definisi Variabel
X1 Luas Lantai RT23 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang luas lantai bangunan < 8m2/orang (%)
X2 Jenis Lantai RT24
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang luas lantai terbuat dari tanah/bambu/kayu
murah (%)
X3 Jenis Dinding RT25
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang dinding terluasnya dari tanah/bambu/kayu murah
(%)
X4 Sumber Air Minum RT27 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang bersumber air minum bukan PAM atau pompa (%)
X5
Fasilitas Buang Air
Besar
RT26
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak menggunakan fasilitas buang air besar milik
sendiri (%)
X6 Sumber Penerangan RT28 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak menggunakan listrik sebagai penerangan (%)
X7 Bahan Bakar Memasak RT29
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak menggunakan bahan bakar modern untuk
memasak sehari-hari (%)
X8
Kemampuan Membeli
Daging/Ayam/Susu
RT210
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak pernah membeli/mengkonsumsi
daging/ayam/susu dalam seminggu (%)
X9 Kebiasaan Makan RT211 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang makan hanya satu kali sehari (%)
X10
Kemampuan Membeli
Pakaian
RT212 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak pernah membeli pakaian dalam setahun (%)
X11
Kemampuan
Membayar
pengobatan
RT213 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak mampu berobat ke puskesmas (%)
X12 Kepemilikan Aset RT216
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang tidak memiliki aset tabungan, emas, ternak, dan
sepeda motor (%)
X13
Jenis Kelamin Kepala
rumah Tangga
RT21b Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang kepala keluarganya perempuan (%)
X14
Pekerjaan Kepala
Rumah Tangga
RT214 Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang kepala rumah tangganya tidak bekerja (%)
X15
Pendidikan Kepala
Rumah Tangga
RT215
Persentase rumah tangga miskin per kelurahan yang pendidikan kepala rumah tangganya SD/MI ke
bawah (%)
Variabel
15
16. Analisis Faktor
Variabel Faktor 1 Faktor 2 ... Faktor n
X1
X2
...
Xn
Kelurahan Faktor 1 Faktor 2 ... Faktor n
a
b
...
z
Nilai Loading Faktor Nilai Skor Faktor
Transformasi Skor Faktor menjadi Indeks Faktor
IK = K – (10 SK)
IK = Indeks Faktor
K = Konstanta bilangan bulat
SK = Skor faktor dari masing
masing faktor yang terbentuk
Komposit
Pemetaan
16
Pembuatan Faktor Komposit
FK = [1/4 (SF1
α + SF2
α + SF3
α + SF4
α)]1/α
Klasifikasi
Kelurahan Nilai Indeks Klasifikasi Indeks
a Buruk
b Sedang
e Ringan
... ...
z Ringan
17. Karakteristik Kemiskinan
Dari 15 Variabel yang digunakan, terbentuk 4 Faktor utama mempengaruhi
kondisi kemiskinan per kelurahan DKI Jakarta, yaitu:
Component
1 2 3 4
Berdinding Kualitas Rendah 0,89 0,078 0,078 -0,062
Fasilitas Buang Air Basar Bersama 0,805 -0,106 -0,313 0,003
Berlantai Kualitas Rendah 0,782 0,137 0,264 -0,139
Luas Lantai Per Kapita Kurang dari 8 m2 0,537 -0,201 -0,618 -0,208
Tidak Mampu Membeli Pakaian -0,066 0,752 0,004 0,257
Tidak Mampu Membeli Daging, Ayam,
Susu dalam Seminggu
-0,02 0,726 0,124 0,117
Tidak Mampu Berobat 0,087 0,639 0,113 0,118
Hanya Makan 1 kali sehari 0,066 0,632 0,127 -0,173
Bukan Bahan Bakar Modern 0,024 0,227 0,778 -0,102
Sumber Air Minum Terbuka -0,132 0,045 0,677 0,159
Penerangan Bukan Listrik 0,32 0,014 0,6 0,098
Kepala Rumah Tangga Perempuan -0,051 0,006 0,053 0,871
Kepala Rumah Tangga Tidak Bekarja -0,175 0,27 0,069 0,661
Tidak Memiliki Aset *) -0,452 -0,452 -0,01 -0,235
Kepala Rumah Tangga Berpendidikan
SD/MI *)
0,321 0,138 0,381 0,483
(1) Kondisi Bangunan
Tempat Tinggal,
(2) Pola Konsumsi
(3) Ketersediaan
Kebutuhan Harian, dan
(4) Karakteristik Kepala
Rumah Tangga
Variabel kepemilikan aset
dan pendidikan kepala
rumah tangga tidak
tergolong faktor
manapun, karena nilai
loading faktornya kurang
dari 0,5
17
18. 18
Faktor 1 = 0,382KD + 0,361MCK + 0,314KL + 0,117LLK + ε
r = 0,969 ; R2 = 93,8%
Faktor Pertama – Kondisi Bangunan Tempat Tinggal
Faktor ini terbetuk atas variabel-variabel yang menyatakan kondisi
bangunan :
1. Luas lantai per kapita kurang dari 8m2rumah tangga miskin (LLK),
2. Kualitas lantai buruk (KL),
3. Kualitas dinding buruk (KD), dan
4. Tidak memiliki fasilitas buang air (MCK).
Variabel kualitas dinding, fasilitas buang air besar, dan kualitas lantai,
memiliki bobot yang hampir sama penyumbang kondisi bangunan tempat
tinggal rumah tangga miskin
Variabel luas lantai per kapita tidak besar sumbangannya
19. Faktor Pertama – Kondisi Bangunan Tempat Tinggal
Hanya 21,6% kelurahan yang
penduduk miskinnya tinggal dalam
kondisi tempat tinggal yang buruk,
sebagian besar dalam kondisi sedang
(49,81%)
19
20. 20
Faktor 2 = 0,368KBD + 0,333KBP + 0,329PMS + 0,327KOP + ε
r = 0,966 ; R2 = 93,4%
Faktor ini terbetuk atas variabel-variabel yang menyatakan pola konsumsi :
1. ketidakmampuan mengkonsumsi daging, ayam, susu dalam seminggu
(KBD),
2. Hanya 1 kali makan dalam sehari (PMS),
3. Ketidakmampuan membeli pakaian dalam setahun (KBP), dan
4. Ketidakmampuan berobat di puskesmas (KOP)
variabel-variabel tersebut memiliki bobot yang hampir sama untuk
membentuk pola konsumsi penduduk miskin
Faktor Kedua – Pola Konsumsi Penduduk
21. Faktor Kedua – Pola Konsumsi Penduduk
hanya 22,39% penduduk miskin yang
memiiki pola konsumsi buruk, tersebar
dari tengah Jakarta ke arah utara.
Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta
Pusat memiliki proporsi lebih dari rata-
rata DKI Jakarta, yaitu masing-masing
38,71%, 35,79%, dan 25,58%.
21
22. 22
Faktor Ketiga – Ketersediaan Penunjang
Kebutuhan Harian
Faktor 3 = 0,508PBB + 0,425KSA + 0,287KSL + ε
r = 0,925 ; R2 = 85,5%
Faktor ini terbetuk atas variabel-variabel yang menyatakan Ketersediaan
Penunjang Kebutuhan Harian :
1. ketidaktersediaan sumber air minum tertutup (KSA),
2. ketidaktersediaan sumber listrik (KSL), dan
3. pemakaian bahan bakar bukan modern (PBB)
Variabel pemakaian bahan bakar, dalam hal ini pemakaian bukan bahan
bakar modern seperti kayu, mendominasi ciri faktor kebutuhan harian
penduduk miskin DKI Jakarta
23. Faktor Ketiga – Ketersediaan Penunjang
Kebutuhan Harian
Penduduk miskin yang berada dalam kondisi
sulit memenuhi kebutuhan hariannya lebih
tinggi daripada kedua faktor sebelumnya
(33,98%), dan banyak terdapat di Jakarta
Pusat (51,16%) dan Jakarta Barat dengan
(46,43%)
23
24. 24
Faktor 4 = 0,72JK + 0,354Kerja + ε
r = 0,927 ; R2 = 86%
Faktor ini terbetuk atas variabel-variabel yang menyatakan kondisi kepala
rumah tangga:
1. Kepala rumah tangga tidak bekerja (Kerja) dan
2. Kepala rumah tangga perempuan (JK)
Jenis kelamin kepala rumah tangga, dalam hal ini perempuan,
mendominasi ciri pembentuk faktor kondisi kepala rumah tangga
penduduk miskin DKI Jakarta
Faktor Keempat – Kondisi Kepala Rumah Tangga
25. Faktor Keempat – Kondisi Kepala Rumah Tangga
kelurahan yang memiliki proporsi
kepala rumah tangga perempuan dan
atau tidak bekerja besar tidaklah
banyak, hanya 16,6%, dan banyak
terdapat di Jakarta Selatan dan
Jakarta Barat.
25
26. Kotamadya Miskin Ringan Miskin Sedang Miskin Parah
Jakarta Barat 3,57% 50,00% 46,43%
Jakarta Pusat 18,60% 46,51% 34,88%
Jakarta Selatan 17,19% 51,56% 31,25%
Jakarta Timur 53,85% 40,00% 6,15%
Jakarta Utara 32,26% 61,29% 6,45%
DKI Jakarta 25,48% 48,65% 25,87%
Kondisi Kemiskinan
Dari 4,25% penduduk DKI Jakarta
tergolong miskin yang tersebar di 259
kelurahan (Melawai dan Gondangdia tidak
ada data), 26% rumah tangga miskin per
kelurahan berada dalam kondisi miskin
parah (buruk)
Kondisi kemiskinan di Jakarta Bagian Barat
aliran Ci Liwung lebih buruk daripada di
Jakarta Bagian Timur-nya dan bergradasi
Tingginya persentase kondisi kemiskinan
parah berasosiasi dengan luasnya
penggunaan tanah perumahan, terutama
perumahan tidak teratur
26
27. 27
IK = 0,579KB + 0,525PK + 0,391KH + 0,460KRT + ε
r = 0,987 ; R2 = 97,4%
Indeks kemiskinan ini dipengaruhi oleh faktor faktor pembentunya, yaitu :
1. Kondisi bangunan tempat tinggal (KB)
2. Pola konsumsi (KB)
3. Ketersediaan pendukung kebutuhan harian (KH)
4. Karakteristik kepala rumah tangga (KRT)
standardized coefficients beta yang dianggap sebagai faktor yang paling
berperan membentuk variabel terikat, maka faktor pertama, yaitu kondisi
bangunan tempat tinggal (KB) yang berbobot 0,579, merupakan faktor
yang paling berperan dalam membentuk tingkat kemiskinan di DKI Jakarta
Kondisi Kemiskinan
28. Kondisi Kemiskinan
Walaupun penduduk miskin di DKI Jakarta kurang dari 5%
dari populasi penduduknya, namun 26% nya tinggal dalam
kondisi buruk.
Kondisi kemiskinan yang dialami penduduk miskin ini
bergradasi tingkatannya antar kelurahan.
Penduduk miskin di bagian timur aliran Ci Liwung umumnya
memiliki kondisi lebih baik daripada penduduk miskin di
bagian barat.
Kondisi bangunan tempat tinggal, pola konsumsi,
karakteristik kepala rumah tangga, dan ketersediaan
pemenuhan kebutuhan harian, secara berturut turut
menyumbang bobot dalam membentuk kondisi kemiskinan.
28
30. Struktur Kota
Meyer Penduduk membentuk bentukan kota
(rumah tinggal, jalan raya, kantor, dan
sebagainya)
Terutama karena pertambahan jumlah
penduduk, perkembangan kegiatan, serta
perubahan sosial budaya.
Variasi ketiganya membentuk suatu struktur
kota yang khas.
30
32. Kota DKI Jakarta
Kalideres
(5.87%)
Ciracas
(4.68%)Jagakarsa
(4.16%)
Kelapa Gading
(3.76%)
Cipayung
(2.93%)
Cilincing
(3.35%)
Cakung
(3.54%)
Pasar Rebo
(2.48%)
Kembangan
(2.74%)
Duren Sawit
(1.88%)
Pesanggrahan
(1.83%)
Mampang Parapatan
(1.00%)
1975 : kepadatan penduduk di pusat kota 263 jiwa/ha, di pinggir kota 40 jiwa/ha
1980 an : sebagian besar penduduk pindah ke selatan, sehingga pertumbuhan penduduk di pusat
kota cenderung stabil
1990-2000 : di pusat kota pertumbuhannya negatif, tapi meningkat di pinggiran, bahkan terjadi
population boom di bagian barat dan timur (the western and the eastern suburban
regions)
32
33. Penggunaan Tanah
Penggunaan tanah DKI Jakarta 68% didominasi oleh permukiman, yang
separuhnya merupakan permukiman tidak teratur. Banyak terdapat di Jakarta
Selatan dan Barat
Proporsi penggunaan tanah perdagangan dan jasa serta industri dan
pergudangan masing-masing hanya 9% dan 2%, Jakarta Pusat untuk
perdagangan jasa
Ternyata masih memiliki penggunaan tanah pertanian yang mencirikan
penggunaan tanah perdesaan (pertanian tanah basah, pertanian tanah kering,
peternakan, dan perikanan) sebesar 9%, banyak di Jakarta Timur
Penggunaan Tanah
(Ringkas)
Kotamadya
Jakarta
Selatan
Jakarta
Timur
Jakarta
Pusat
Jakarta
Barat
Jakarta
Utara
Perdagangan dan Jasa 8,80% 6,00% 25,12% 6,04% 11,25%
Industri dan Pergudangan 0,71% 2,24% 0,42% 3,57% 4,09%
Pertanian 2,41% 13,50% 0,10% 11,15% 11,19%
Perumahan 80,88% 68,90% 64,50% 71,38% 46,43%
Ruang Terbuka 7,15% 8,57% 8,96% 3,45% 16,19%
Lainnya 0,05% 0,79% 0,89% 4,40% 10,85%
33
36. Struktur Kota Pusat Kegiatan berada di tengah dan ke
utara DKI Jakarta
80% pusat kegiatan merupakan
perdagangan dan jasa, dan berada di
Jakarta Pusat dan Selatan
Industri pergudangan terdapat di Jakarta
Timur, Utara, dan Barat
Pinggiran, disusun dari penggunaan tanah
perikanan, pertanian tanah basah,
pertanian tanah kering, dan peternakan.
Didominasi oleh perikanan empang
atau tambak untuk membudidakan ikan.
Pertanian lahan basah berupa sawah
banyak terdapat di Jakarta Utara.
Pertanian lahan kering, berupa tegalan dan
kebun, banyak terdapat di Jakarta Timur.
36
38. Analisa Data
Analisis Deskriptif Melalui tabel silang antara
klasifikasi kondisi kemiskinan dengan struktur
kota
Analisa Korelasi Korelasi Khi Kuadrat
Analisa Keruangan
Melalui overlay peta, dan
Perhitungan indeks moran univariat dan LISA
univariat
38
40. Kemiskinan dan Struktur Kota
Korelasi pearson chi-square sebesar 9,513
Nilai koofisien kontingensi sebesar 0,188
Telah signifikan pada α =5%.
Terdapat hubungan yang signifikan, walaupun lemah, antara kondisi
kemiskinan dengan struktur kota DKI Jakarta
Pusat kegiatan 17 kelurahan dengan
kondisi miskin buruk berada di (34,69%)
Peralihan 93 kelurahan yang berkondisi
sedang (48,44%)
Pinggiran 7 kelurahan berkondisi
kemiskinan ringan (38,89%)
Pusat kegiatan tidak didominasi oleh
kelurahan dengan kondisi kemiskinan
parah, melainkan kelurahan berkondisi
kemiskinan sedang (55%)
40
41. Kemiskinan dan Struktur Kota
Kotamadya Kecamatan Kelurahan
Jakarta Timur
(7)
Cipayung (5)
Cilangkap, Cipayung,
Lubang Buaya, Munjul,
dan Setu
Ciracas (2)
Kelapa Dua Wetan dan
Ciracas
Kotamadya Kecamatan Kelurahan
Jakarta Barat
(5)
Taman Sari (4)
Glodok, Krukut,
Pinangsia, dan Tangki
Tambora Tambora
Jakarta Pusat
(6)
Gambir (5)
Cideng, Duri Pulo,
Gambir, Kebon Kelapa,
dan Petojo Utara
Menteng Kebon Sirih
Jakarta
Selatan (6)
Jagakarsa Tanjung Barat
Kebayoran
Baru
Senayan
Kebayoran
Lama
Grogol Selatan
Setiabudi (3)
Karet, Karet Semanggi,
dan Kuningan Timur
41
42. Kemiskinan dan Struktur Kota
Kelurahan dengan
kondisi kemiskinan
buruk berdekatan
dengan struktur kota
pusat kegiatan dan
peralihan
Hanya sedikit
kelurahan yang
berkondisi kemiskinan
ringan yang langsung
bersebelahan dengan
kelurahan dengan
kondisi kemiskinan
buruk (gradasi)
42
44. Kluster Kemiskinan
Dari perhitungan indeks Kemiskinan, diperoleh Indeks
Moran sebesar 0,3467
Terjadi klusterisasi kemiskinan
Klusterisasi berdasarkan kekuatan nilai korelasi antara
indeks kemiskinan dengan perbedaan keruangan
(spatial lag) masing-masing kelurahan
44
45. Lokasi Klaster
Kotamadya Kecamatan Kelurahan
Jakarta Barat
(18)
Cengkareng Kedaung Kaliangke
Grogol
Petamburan (3)
Grogol, Tanjung Duren Selatan, Dan Tomang
Kali Deres Tegal Alur
Kebon Jeruk (4)
Duri Kepa, Kebon Jeruk, Kedoya Selatan, dan
Kedoya Utara
Kembangan Kembangan Selatan
Palmerah (3) Jati Pulo, Kemanggisan,Dan Kota Bambu Utara
Taman Sari (3) Keagungan, Krukut, Dan Maphar
Tambora (2) Kerendang Dan Tanah Sereal
Jakarta Pusat
(11)
Gambir (6)
Cideng, Duri Pulo, Gambir, Kebon Kelapa, Petojo
Selatan, Dan Petojo Utara
Senen (2) Kwitang Dan Senen
Tanah Abang (3) Gelora, Kampung Bali, Dan Kebon Kacang
Jakarta Selatan
(7)
Kebayoran Lama Grogol Utara
Setiabudi (6)
Guntur, Karet, Karet Kuningan, Menteng Atas,
Pasar Manggis, Dan Setiabudi
Jakarta Utara Penjaringan Kamal Muara
45
46. Kotamadya Kecamatan Kelurahan
Jakarta Barat (4)
Cengkareng Kedaung Kaliangke
Palmerah (2) Kemanggisan dan Kota Bambu Utara
Taman Sari Krukut
Jakarta Pusat (9)
Gambir (6)
Cideng, Duri Pulo, Gambir, Kebon
Kelapa, Petojo Selatan, Petojo Utara
Senen Senen
Tanah Abang (2) Gelora dan Kampung Bali
Jakarta Selatan (2) Setiabudi (2) Karet dan Setiabudi
Klaster di Pusat Kegiatan
Terdapat 15 kelurahan yang
terkluster kondisi kemiskinan
buruk dan berada di pusat
kegiatan
46
47. Kotamadya Kecamatan Kelurahan
Jakarta Selatan (5)
Kebayoran Lama Grogol Utara
Setiabudi (4)
Karet Kuningan, Menteng
Atas, Pasar Manggis, dan
Guntur
Jakarta Pusat (2)
Tanah Abang Kebon Kacang
Senen Kwitang
Jakarta Barat (7)
Kebon Jeruk Kedoya Utara
Palmerah Jati Pulo
Grogol Petamburan
(3)
Tanjung Duren Selatan,
Tomang, dan Grogol
Tambora (2)
Tanah Sereal dan
Kerendang
Taman Sari (2) Maphar dan Keagungan
Klaster di Perbatasan Pusat Kegiatan
Terdapat 16 kelurahan yang
terkluster kondisi kemiskinan
buruk dan dekat dengan pusat
kegiatan
47
48. Klaster Kemiskinan
Terjadi penklasteran kelurahan menurut kondisi
kemiskinan DKI Jakarta (Morran I = 0,35)
Karakteristik klaster yang terbentuk adalah kondisi
kemiskinan buruk dan jarak antar kelurahannya
berdekatan (LISA Cluster Map = H-H)
Lokasi penklasteran tersebut berada di pusat kota
atau berbatasan dengan pusat kota
Penduduk miskin yang tinggal di atau dekat dengan
pusat kegiatan ternyata ternyata kondisinya buruk
48
50. Kesimpulan
1. Populasi penduduk miskina DKI Jakarta yang kurang dari 5% penduduknya, ternyata
26% nya tinggal dalam kondisi kemiskinana yang buruk.
2. Kondisi kemiskinan, secara berturut-turut, disumbangkan oleh kualitas bangunan
tempat tinggal, pola konsumsi rumah tangganya, karakteristik kepala rumah
tangganya, serta keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan harian.
3. Kualitas bangunan tempat tinggal dipengaruhi oleh dinding berkualitas rendah,
ketidaktersediaan fasilitas buang air besar, kualitas lantai yang rendah, dan luas lantai
per kapita yang kurang dari 8 m2. Pola konsumsi terbentuk dari ketidakmampuan
mengkonsumsi daging, ayam, susu dalam seminggu, ketidakmampuan membeli
pakaian dalam setahun, makan hanya sekali sehari, serta ketidakmampuan berobat ke
puskesmas. Karakteristik kepala rumah tangga dibentuk dari kepala rumah tangga
perempuan dan tidak bekerjanya kepala rumah tangga. Ketersediaan penunjang
kehidupan harian disusun atas ketidaktersediaan sumber air minum tertutup,
ketidaktersediaan sumber listrik PLN, dan tidak menggunakan bahan bakar modern.
4. Berdasarkan analisis keruangan dapat diketahui bahwa penduduk miskin yang tinggal
di bagian barat aliran Ci Liwung, yaitu Kotamadya Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan
Jakarta Selatan, kondisinya lebih buruk daripada yang tinggal di bagian timur.
50
51. 5. Berdasarkan analisis keruangan dapat diketahui bahwa penduduk miskin yang
tinggal di bagian barat aliran Ci Liwung, yaitu Kotamadya Jakarta Barat, Jakarta
Pusat, dan Jakarta Selatan, kondisinya lebih buruk daripada yang tinggal di bagian
timur.
6. Berdasarkan analisis tabulasi silang antara kondisi kemiskinan dengan struktur
kota, dapat diketahui bahwa penduduk miskin berkondisi buruk berasosiasi
mendekati dan berada di pusat kegiatan, sedangkan penduduk miskin yang
berkondisi lebih baik berada di pinggiran.
7. Korelasi yang signifikan, walaupun tidak kuat, ditunjukkan juga dengan analisis khi
kuadrat, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kondisi kemiskinan
dengan struktur kota
8. Berdasarkan analisis autokorelasi keruangan diketahui bahwa terjadi klusterisasi
kemiskinan. Klusterisasi ini terbentuk dari kedekatan kelurahan-kelurahan yang
memiliki kondisi kemiskinan yang buruk, serta terbentuk di daerah tengah DKI
Jakarta ke arah barat.
9. Dengan mengoverlay kelurahan kluster miskin dengan struktur kotanya, diperoleh
temuan bahwa sebagian besar kelurahan-kelurahan tersebut berada di pusat
kegiatan atau bersebelahan dengan pusat kegiatan.
Kesimpulan
51
52. Implikasi Kebijakan
1. Dengan mengetahui sebaran kondisi kemiskinan beserta karakteristik
penyusunnya pada setiap masing-masing kelurahan maka dapat dilakukan
penanganan pengentasan kemiskinan yang berbeda-beda pada setiap kelurahan
bergantung karakteristik utamanya
kondisi bangunan tempat tinggal kebijakan untuk memperbaiki kondisi
tempat tinggal penduduk miskin berbasis masyarakat kebudayaan untuk
hidup sehat
dikepalai oleh perempuan program pengentasan kemiskinan yang
berbasiskan pemberdayaan perempuan, seperti bantuan modal usaha
industri rumah tangga atau pemberian endidikan non formal untuk
meningkatkan keterampilan
rentan terkena kondisi buruk, pemerintah atau lembaga sosial dapat
menempatkan lembaga-lembaga bantuan yang dapat memudahkan
pemenuhan kebutuhan dasar penduduk miskin tersebut. Selain memberikan
bantuan, kontrol terhadap jumlah dan kualitas penduduk miskin dapat
dilakukan.
52
53. Implikasi Kebijakan
2. Dengan mengetahui bahwa penduduk miskin mendekati pusat kegiatan karena
lebih mudah berkegiatan ekonomi, jika akan melakukan relokasi terhadap
penduduk miskin tersebut dan menempatkannya jauh dari pusat kegiatan,
maka lokasi baru tersebut haruslah mudah diakses dengan murah oleh
penduduk miskin, seperti ketersediaan sarana transportasi masa yang murah
dan cepat.
3. Bagi lembaga penyedia data seperti BPS, keberadaan data sosial ekonomi
penduduk, terutama karakteristik kemiskinan dan kerentanan kemiskinan,
yang dapat mewakili unit terkecil pemerintahan sangatlah dibutuhkan,
terutama untuk kajian perkotaan yang tentunya membutuhkan kedetailan
data.
53
54. Keterbatasan Penelitian
Dari data yang digunakan dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa
informasi kondisi kemiskinan per kelurahan hanya mewakili populasi
penduduk miskin saja, informasi kondisi penduduk yang tidak tegolong
miskin tidak diperoleh. Sehingga sangatlah mungkin ditemukan sebuah
kelurahan yang tergolong dalam kondisi yang buruk, tetapi penduduk
miskinnya hanya sedikit
Penelitian ini hanya mampu menjelaskan fenomena multidimensi
kemiskinan perkotaan dari sisi karakteristik penduduknya saja.
Pendekatan kerentanan dan kepemilikan aset yang digunakan untuk
mengetahui besarnya risiko penduduk untuk jatuh dalam kategori miskin
belum dapat dijelaskan karena keterbatasan data.
Penggunaan data penggunaan tanah untuk merepresentasikan struktur
kota dirasa sangat sederhana, karena aktivitas penduduk yang membentuk
struktur kota tidak hanya dapat dilihat dari penggunaan tanahnya.
54