Pedoman ini membahas diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia nosokomial di Indonesia. Pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi setelah 48 jam dirawat di rumah sakit dan disebabkan oleh berbagai patogen termasuk kuman multi drug resistance. Diagnosis membutuhkan bukti infiltrat paru baru dan gejala klinis serta pemeriksaan sputum dan darah. Pengobatan berupa antibiotik empiris sesuai algoritma dan respons klinis dievaluasi setiap 48 jam.
Dokumen tersebut membahas tentang Acute Coronary Syndrome (ACS) yang meliputi STEMI, NSTEMI, dan unstable angina pectoris. Dokumen menjelaskan patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan ACS berdasarkan hasil EKG dan biomarker kardiovaskular. Dokumen juga menjelaskan asuhan keperawatan dasar pada pasien dengan keluhan nyeri dada yang mungkin mengalami ACS.
[Ringkasan]
Dokumen tersebut membahas tentang pemusnahan, penarikan, dan administrasi sediaan farmasi, alkes, dan barang medis habis pakai. Terdapat penjelasan mengenai prosedur pemusnahan, teknik pemusnahan, penarikan obat, dan pencatatan administrasi farmasi.
Teks tersebut berisi soal-soal farmakologi berupa pilihan ganda dan essay. Pilihan ganda meliputi definisi obat, sediaan obat, farmakokinetika, farmakoterapi berbagai penyakit, dan golongan obat. Soal essay meminta contoh obat antihistamin, kombinasi tetap, nama infus, dan sediaan suppositoria serta antibiotik yang dapat menyebabkan perubahan warna pada tubuh.
Dokumen tersebut merangkum strategi penatalaksanaan infeksi saluran pernapasan akut. Infeksi ini meliputi rinitis, faringitis, laringitis, tonsillitis, bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia. Penatalaksanaannya bervariasi antara pengobatan suportif untuk gejala ringan hingga antibiotik untuk infeksi berat, dengan memilih antibiotik sesuai pola kuman di masing-masing wilayah. Pengendalian penularan penting untuk penyakit menular sepert
Dokumen tersebut membahas tentang Acute Coronary Syndrome (ACS) yang meliputi STEMI, NSTEMI, dan unstable angina pectoris. Dokumen menjelaskan patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan ACS berdasarkan hasil EKG dan biomarker kardiovaskular. Dokumen juga menjelaskan asuhan keperawatan dasar pada pasien dengan keluhan nyeri dada yang mungkin mengalami ACS.
[Ringkasan]
Dokumen tersebut membahas tentang pemusnahan, penarikan, dan administrasi sediaan farmasi, alkes, dan barang medis habis pakai. Terdapat penjelasan mengenai prosedur pemusnahan, teknik pemusnahan, penarikan obat, dan pencatatan administrasi farmasi.
Teks tersebut berisi soal-soal farmakologi berupa pilihan ganda dan essay. Pilihan ganda meliputi definisi obat, sediaan obat, farmakokinetika, farmakoterapi berbagai penyakit, dan golongan obat. Soal essay meminta contoh obat antihistamin, kombinasi tetap, nama infus, dan sediaan suppositoria serta antibiotik yang dapat menyebabkan perubahan warna pada tubuh.
Dokumen tersebut merangkum strategi penatalaksanaan infeksi saluran pernapasan akut. Infeksi ini meliputi rinitis, faringitis, laringitis, tonsillitis, bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia. Penatalaksanaannya bervariasi antara pengobatan suportif untuk gejala ringan hingga antibiotik untuk infeksi berat, dengan memilih antibiotik sesuai pola kuman di masing-masing wilayah. Pengendalian penularan penting untuk penyakit menular sepert
Menurut Pery dan Potter, 2005, berpikir kritis adalah suatu proses dimana seseorang atau individu dituntut untuk menginterfensikan atau mengevaluasi informasi untuk membuat sebuah penilain atau keputusan berdasarkan kemampuan,menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Menurut Bandman (1988), berpikir kritis adalah pengujian secara rasional terhadap ide-ide, kesimpulan, pendapat, prinsip, pemikiran,masalah, kepercayaan, dan tindakan.
Dokumen tersebut memberikan penjelasan mengenai pelayanan dispensing steril di apotek rumah sakit. Ia menjelaskan pengertian dispensing steril, tujuannya, persyaratan ruangan dan peralatan, serta langkah-langkah pencampuran sediaan steril secara aseptis untuk memastikan sterilitas produk dan keselamatan petugas. Dokumen ini sangat berguna bagi petugas farmasi untuk memahami proses dispensing steril secara tepat.
Trauma dada dapat disebabkan oleh benturan pada dinding dada akibat benda tajam atau tumpul, yang dapat mengganggu sistem pernapasan. Dokumen ini menjelaskan pengertian, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, tanda dan gejala, sistem yang mempengaruhinya, manajemen medis, dan komplikasi dari trauma dada. Asuhan keperawatan meliputi pengkajian dan pemeriksaan fisik pasien dengan fokus
Dokumen tersebut membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan kondisi kegawatdaruratan non-trauma seperti hipoglikemia, kejang, dan keracunan. Terdapat penjelasan mengenai gejala, penatalaksanaan, dan tindakan keperawatan yang perlu dilakukan untuk masing-masing kondisi tersebut."
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai penyakit asma, termasuk definisi, penyebab, gejala, klasifikasi, patogenesis, dan penggolongan obat-obatan untuk asma berdasarkan mekanisme kerjanya.
Alur pelayanan depo rawat inap dimulai dari perawat mempersiapkan kartu obat, dokter menulis resep di kartu obat, kemudian petugas depo rawat inap menganalisis resep, menyiapkan obat, dan memberitahu harga resep ke petugas administrasi. Setelah itu, obat diserahkan ke pasien beserta kuitansi untuk pasien umum atau surat jaminan pelayanan untuk pasien JKN, Jampersal, atau Jamkesda.
Dokumen tersebut membahas tentang diabetes melitus (DM) yang merupakan gangguan metabolisme yang disebabkan oleh defisiensi sekresi insulin atau efektivitas insulin. DM tipe 2 dapat disebabkan oleh obesitas yang mengurangi efektivitas reseptor insulin. Dokumen ini juga membahas konsep penyakit DM, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, diagnosis, dan konsep askep pada pasien DM.
Dokumen tersebut membahas tentang konsensus mengenai pneumonia. Pneumonia masih menjadi masalah kesehatan utama baik di negara berkembang maupun maju. Pneumonia komuniti disebabkan oleh berbagai bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan bakteri gram negatif. Gejala klinisnya meliputi demam, batuk, dan tanda-tanda infeksi saluran pernapasan.
Menurut Pery dan Potter, 2005, berpikir kritis adalah suatu proses dimana seseorang atau individu dituntut untuk menginterfensikan atau mengevaluasi informasi untuk membuat sebuah penilain atau keputusan berdasarkan kemampuan,menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Menurut Bandman (1988), berpikir kritis adalah pengujian secara rasional terhadap ide-ide, kesimpulan, pendapat, prinsip, pemikiran,masalah, kepercayaan, dan tindakan.
Dokumen tersebut memberikan penjelasan mengenai pelayanan dispensing steril di apotek rumah sakit. Ia menjelaskan pengertian dispensing steril, tujuannya, persyaratan ruangan dan peralatan, serta langkah-langkah pencampuran sediaan steril secara aseptis untuk memastikan sterilitas produk dan keselamatan petugas. Dokumen ini sangat berguna bagi petugas farmasi untuk memahami proses dispensing steril secara tepat.
Trauma dada dapat disebabkan oleh benturan pada dinding dada akibat benda tajam atau tumpul, yang dapat mengganggu sistem pernapasan. Dokumen ini menjelaskan pengertian, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, tanda dan gejala, sistem yang mempengaruhinya, manajemen medis, dan komplikasi dari trauma dada. Asuhan keperawatan meliputi pengkajian dan pemeriksaan fisik pasien dengan fokus
Dokumen tersebut membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan kondisi kegawatdaruratan non-trauma seperti hipoglikemia, kejang, dan keracunan. Terdapat penjelasan mengenai gejala, penatalaksanaan, dan tindakan keperawatan yang perlu dilakukan untuk masing-masing kondisi tersebut."
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai penyakit asma, termasuk definisi, penyebab, gejala, klasifikasi, patogenesis, dan penggolongan obat-obatan untuk asma berdasarkan mekanisme kerjanya.
Alur pelayanan depo rawat inap dimulai dari perawat mempersiapkan kartu obat, dokter menulis resep di kartu obat, kemudian petugas depo rawat inap menganalisis resep, menyiapkan obat, dan memberitahu harga resep ke petugas administrasi. Setelah itu, obat diserahkan ke pasien beserta kuitansi untuk pasien umum atau surat jaminan pelayanan untuk pasien JKN, Jampersal, atau Jamkesda.
Dokumen tersebut membahas tentang diabetes melitus (DM) yang merupakan gangguan metabolisme yang disebabkan oleh defisiensi sekresi insulin atau efektivitas insulin. DM tipe 2 dapat disebabkan oleh obesitas yang mengurangi efektivitas reseptor insulin. Dokumen ini juga membahas konsep penyakit DM, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, diagnosis, dan konsep askep pada pasien DM.
Dokumen tersebut membahas tentang konsensus mengenai pneumonia. Pneumonia masih menjadi masalah kesehatan utama baik di negara berkembang maupun maju. Pneumonia komuniti disebabkan oleh berbagai bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan bakteri gram negatif. Gejala klinisnya meliputi demam, batuk, dan tanda-tanda infeksi saluran pernapasan.
Infeksi Nosokomial atau Healthcare Associated Infections (HAIs) pjj_kemenkes
Dokumen tersebut membahas tentang infeksi nosokomial atau infeksi yang didapatkan selama dirawat di rumah sakit. Angka kejadian infeksi nosokomial cukup tinggi, sekitar 5-10% dari seluruh pasien rawat inap. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya antara lain kondisi tubuh pasien, jenis agen infeksi, kontak dengan sumber infeksi, dan penggunaan alat medis seperti kateter. Dampaknya ber
Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang penggunaan antibiotik pada infeksi saluran kemih di RSUD Dr. Moewardi. Infeksi saluran kemih merupakan penyakit utama di Indonesia yang sering diobati dengan antibiotik. Penelitian ini bertujuan menganalisis penggunaan antibiotik pada infeksi saluran kemih berdasarkan evidence based medicine.
Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang penggunaan antibiotik pada infeksi saluran kemih di RSUD Dr. Moewardi. Infeksi saluran kemih merupakan penyakit utama di Indonesia yang sering diobati dengan antibiotik. Penelitian ini bertujuan menganalisis penggunaan antibiotik pada infeksi saluran kemih berdasarkan evidence based medicine.
Pedoman surveilans infeksi rumah sakitAndinaPutri3
[Ringkasan]
Pedoman ini memberikan panduan mengenai surveilans infeksi rumah sakit di Indonesia dengan tujuan untuk mengukur tingkat kejadian dan jenis infeksi, serta mengevaluasi program pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit. Pedoman ini menjelaskan definisi kasus infeksi, metode pengumpulan data, analisis data, serta rekomendasi untuk meningkatkan program pencegahan infeksi rumah sakit.
Petunjuk teknis ini membahas manajemen terpadu pengendalian tuberculosis resistan obat di Indonesia. Dokumen ini menjelaskan latar belakang, pengertian, faktor-faktor penyebab, kebijakan, strategi, organisasi pelaksana, jejaring penatalaksanaan, penatalaksanaan pasien, pengelolaan logistik, pencegahan dan pengendalian infeksi, monitoring dan evaluasi, pengembangan sumber daya manusia, advokasi komunikasi dan mobilisasi sosial, serta
Dokumen tersebut membahas tentang infeksi nosokomial di rumah sakit. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan pasien selama dirawat di rumah sakit dan tidak ada pada saat pasien masuk. Upaya pencegahan meliputi kebersihan tangan, sterilisasi peralatan medis, dan pengawasan infeksi untuk mencegah penularan antar pasien dan petugas kesehatan. Faktor risiko terjadinya infeksi antara lain tindakan inv
Pneumonia adalah infeksi paru yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Gejala klinis umumnya meliputi demam, batuk, dan nyeri dada. Diagnosis didasarkan pada pemeriksaan fisik, hasil rontgen dada, dan riwayat pasien. Pneumonia dapat dibedakan menjadi komunitas dan nosokomial berdasarkan lokasi perolehan infeksinya.
Makalah ini membahas tentang bakteri pneumococcus yang dapat menyebabkan berbagai infeksi paru seperti pneumonia. Bakteri ini menular melalui pernapasan dan dapat menginfeksi anak-anak serta orang tua. Pengobatan yang dianjurkan adalah imunisasi dan antibiotik bila terinfeksi.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang muncul selama perawatan di rumah sakit yang dapat disebabkan oleh berbagai agen patogen seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit. Faktor-faktor seperti karakteristik agen infeksi, respon tubuh pasien, dan penggunaan alat medis berperan dalam perkembangan infeksi ini. Pencegahan infeksi nosokomial sangat penting untuk meningkatkan kualitas perawatan kesehatan.
Makalah ini membahas sistem pernapasan manusia dan penyakit-penyakit saluran pernapasan. Beberapa penyakit yang dijelaskan antara lain influenza, bronkitis, pneumonia, asma bronkiale, dan tuberkulosis paru. Penanganannya meliputi istirahat, pemberian obat-obat seperti antibiotik, dan tindakan medis lainnya sesuai gejala yang dialami.
Pneumonia adalah infeksi paru yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pneumonia merupakan penyebab kematian nomor dua di Indonesia. Pneumonia dapat dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab, lokasi infeksi, dan tempat dimana infeksi terjadi. Diagnosis pneumonia didasarkan pada gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium serta radiologi. Pengobatan pneumonia meliputi antibiotik dan terapi suportif.
ISPA merupakan infeksi saluran pernafasan atas yang disebabkan oleh virus dan bakteri. Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan tenggorokan dan kultur, sedangkan pengobatan tergantung penyebabnya. Kondisi khusus seperti usia lanjut dan penurunan daya tahan tubuh membutuhkan perhatian karena rentan terhadap infeksi.
PRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIFratnawulokt
Peningkatan status kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu hal prioritas di Indonesia. Status derajat kesehatan ibu dan anak sendiri dapat dinilai dari jumlah AKI dan AKB. Pemerintah berupaya menerapkan program Sustainable Development Goals (SDGs) dengan harapan dapat menekan AKI dan AKB, tetapi kenyataannya masih tinggi sehingga tujuan dari penyusunan laporan tugas akhir ini untuk memberikan asuhan kebidanan secara komprehensif dari ibu hamil trimester III sampai KB.
Metode penelitian menggunakan Continuity of Care dengan pendokumentasian SOAP Notes. Subjek penelitian Ny. “H” usia 34 tahun masa kehamilan Trimester III hingga KB di PMB E Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung.
Hasil asuhan selama masa kehamilan trimester III tidak ada komplikasi pada Ny. “E”. Masa persalinan berjalan lancar meskipun terdapat kesenjangan dimana IMD dilakukan kurang dari 1 jam. Kunjungan neonatus hingga nifas normal tidak ada komplikasi, metode kontrasepsi memilih KB implant.
Kesimpulan asuhan pada Ny. “H” ditemukan kesenjangan antara kenyataan dan teori di penatalaksanaan, tetapi dalam pemberian asuhan ini kesenjangan masih dalam batas normal. Asuhan kebidanan ini diberikan untuk membantu mengurangi kemungkinan terjadi komplikasi pada saat masa kehamilan hingga KB.
PPT PENGKAJIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL 2.pptxEmohAsJohn
PENGKAJIAN MUSKULOSKELETAL
Gangguan neurologi sangat beragam bentuknya, banyak dari pasien yang menderita gangguan memori dan tidak mampu menjalani aktivitas sehari-hari secara normal. Penyakit-penyakit neurologi kebanyakan memiliki efek melemahkan kehidupan pasien, sehingga memberikan pengobatan neurologis sangat penting bagi kehidupan pasien.
2. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
1
Daftar Isi
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 2
DEFINISI ................................................................................................................................... 2
ETIOLOGI ................................................................................................................................. 2
PATOGENESIS ......................................................................................................................... 3
FAKTOR PREDISPOSISI ATAU FAKTOR RISIKO PNEUMONIA NOSOKOMIAL ........ 4
DIAGNOSIS .............................................................................................................................. 5
TERAPI ANTIBIOTIK ............................................................................................................. 7
LAMA TERAPI ........................................................................................................................ 10
RESPONS TERAPI .................................................................................................................. 10
PROGNOSIS ............................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 13
LAMPIRAN I ............................................................................................................................ 14
LAMPIRAN II ........................................................................................................................... 15
3. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
2
PENDAHULUAN
Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat
di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini
berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit.
Pneumonia nosokomial terjadi 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi
lebih tinggi 6-20x pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada
pneumonia nosokomial 20-50%. Angka kematian ini meningkat pada pneumonia yang disebabkan
P.aeruginosa atau yang mengalami bakteremia sekunder. Angka kematian pasien pada pneumonia
yang dirawat di istalansi perawatan intensif (IPI) meningkat 3-10x dibandingkan dengan pasien tanpa
pneumonia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3x dibandingkan
pasien tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Di Amerika
Serikat dilaporkan bahwa lama perawatan bertambah rata-rata 7-9 hari.
Angka kejadian pneumonia nosokomial di Jepang adalah 5 – 10 per 1000 kasus yang dirawat.
Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang menjadi pneumonia dan angka
kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar
20 – 30%. Angka kejadian dan angka kematian pada umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar
dibandingkan dengan rumah sakit yang kecil.
DEFINISI
Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di
rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.
Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah
pemasangan intubasi endotrakeal.
ETIOLOGI
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti. Pneumonia
nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR) misalnya
S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR
misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan
Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial
yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi.
Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan
antara lain data nasional tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta
dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi. Data dari RS Persahabatan dan RS Dr. Soetomo
(lihat Lampiran I) hanya menunjukkan pola kuman yang ditemukan di ruang rawat intensif. Data ini
belum dapat dikatakan sebagai infeksi nosokomial karena waktu diagnosis dibuat tidak dilakukan foto
toraks pada saat pasien masuk ruang rawat intensif.
Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari dahak, darah, cara
invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi
transtrakea.
4. PATOGENESIS
Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia komuniti.
Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah. Ada empat rute masuknya
mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu :
1. Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus neurologis dan usia
lanjut
2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien
3. Hematogenik
4. Penyebaran langsung
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko mengalami
pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran
napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat
menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu
(endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di
saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah
bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan flora normal sebanyak < 5%.
Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik awal yang
penting untuk terjadi pneumonia.
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
3
Gambar 1. Skema patogenesis pneumonia nosokomial
Pasien:
• Umur > 60
tahun
• Penyakit yang
mendasari
• Faktor
kebiasaan
hidup
• Kondisi akut
Intervensi
• Pembedahan
• Prosedur
invasif
• Obat-obatan
Kontrol infeksi
• Kolonisasi
silang
• Desinfeksi
alat tidak
adekuat
• Kontaminasi
air & cairan
Kolonisasi
orofaring
Kolonisasi
Lambung
Aspirasi Inhalasi
Bakteremia Translokasi
Mekanisme
pertahanan paru
(seluler, humoral)
Faktor risiko
endogen
Faktor risiko
eksogen
Trakeobronkitis Pneumonia
5. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
4
FAKTOR PREDISPOSISI ATAU FAKTOR RISIKO PNEUMONIA
NOSOKOMIAL
Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian:
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh
Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme, azotemia), perawatan
di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi,
umur lanjut, pengobatan steroid, pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok
hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis
2. Faktor eksogen adalah :
a. Pembedahan :
Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis pembedahan, yaitu
torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi abdomen bawah (5%).
b. Penggunaan antibiotik :
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang aktif terhadap
Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh,
pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan
saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di
orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif.
Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan
meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.
c. Peralatan terapi pernapasan
Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan bakteri
gram negatif lainnya sering terjadi.
d. Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena asam lambung
dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan. Pemberian antasid /
penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri
gram negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0.
e. Lingkungan rumah sakit
• Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur
• Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur, seperti alat
bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll
• Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi
Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004)
• Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir
• Dirawat di rumah sakit ≥ 5 hari
• Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit tersebut
• Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi
6. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
5
DIAGNOSIS
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta), diagnosis pneumonia
nosokomial adalah sebagai berikut :
1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan menyingkirkan semua
infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit
2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
• Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
• Ditambah 2 diantara kriteria berikut: - suhu tubuh > 38o
C
- sekret purulen
- leukositosis
Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS
1. Dirawat di ruang rawat intensif
2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 % untuk
mempertahankan saturasi O2 > 90 %
3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti dari infiltrat paru
4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau disfungsi organ
yaitu :
• Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)
• Memerlukan vasopresor > 4 jam
• Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam
• Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis
Pemeriksaan yang diperlukan adalah :
1. Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi sekret dari
selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasiliti memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan
biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan ≥
106
colony-forming units/ml dari sputum, ≥ 105
– 106
colony-forming units/ml dari aspirasi
endotrracheal tube, ≥ 104
– 105
colony-forming units/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL) ,
≥ 103
colony-forming units/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 102
colony-forming
units/ml dari vena kateter sentral . Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang
berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat mengisolasi bakteri patogen
pada > 20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi
di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur
darah.
Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila
ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10 / lpk.
2. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit
7. 3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan
pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi dengan
cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung dan bronchoalveolar lavage
(BAL). Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal.
Kultur: diambil dari saluran napas bawah
(kuantitatif) dan pemeriksaan
mikroskopis)
Perbaikan klinis pada jam ke-48 – 72
Pertimbangkan
penghentian
antibiotik
Kultur (+) Kultur (-)
• Penurunan antibiotik jika
mungkin
• Obati selama 7 – 8 hari dan
dievaluasi ulang
Ya
Cari:
• Patogen lain
• Diagnosis lain
• Infeksi lain
• Komplikasi
Kultur (-) Kultur (+)
• Sesuaikan terapi antibiotik
• Cari: komplikasi
- patogen lain
- diagnosis lain
- Infeksi di tempat lain
Tidak
Hari ke-2 & 3 : pemeriksaan kultur dan
nilai respons klinis (suhu, leukosit,
fototoraks, oksigenasi, sputum,
perubahan hemodinamik dan fungsi
organ)
Mulai terapi antibiotik secara empirik
sesuai algoritma dan data mikrobiologi
lokal kecuali hasil pemeriksaan
mikroskopis negatif dan klinis
pneumonia yang tidak terlalu
mendukung
Suspek HAP, VAP
Gambar 2. Ringkasan penatalaksanaan pasien HAP/VAP
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
6
8. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
7
TERAPI ANTIBIOTIK
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :
1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus mampu
mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan
pola resistensi setempat
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara
pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian terapi emperis
harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi
saluran cerna yang baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil kultur yang
berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk
6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik apabila respons
klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan
uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang
memuaskan.
Tabel 1. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP
pada pasien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan
semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA 2004)
Patogen potensial Antibiotik yang direkomendasikan
• Streptocoocus pneumoniae
• Haemophilus influenzae
• Metisilin-sensitif
Staphylocoocus aureus
• Antibiotik sensitif basil Gram
negatif enterik
- Escherichia coli
- Klebsiella pneumoniae
- Enterobacter spp
- Proteus spp
- Serratia marcescens
Betalaktam + antibetalaktamase
(Amoksisilin klavulanat)
atau
Sefalosporin G3 nonpseudomonal
(Seftriakson, sefotaksim)
atau
Kuinolon respirasi (Levofloksasin,
Moksifloksasin)
9. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
8
Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP
untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut
atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS /
IDSA 2004)
Patogen potensial Terapi Antibiotik kombinasi
• Patogen MDR tanpa atau
dengan patogen pada Tabel 1
Pseudomonas aeruginosa
Klebsiella pneumoniae
(ESBL)
Acinetobacter sp
Methicillin resisten
Staphylococcus aureus
(MRSA)
Sefalosporin antipseudomonal
(Sefepim, seftasidim, sefpirom)
atau
Karbapenem antipseudomonal
(Meropenem, imipenem)
atau
β-laktam / penghambat β
laktamase
(Piperasilin – tasobaktam)
ditambah
Fluorokuinolon antipseudomonal
(Siprofloksasin atau levofloksasin)
atau
Aminoglikosida
(Amikasin, gentamisin atau
tobramisin)
ditambah
Linesolid atau vankomisin atau
teikoplanin
Tabel 3. Dosis antibiotik intravena awal secara empirik
untuk HAP dan VAP pada pasien dengan onset lanjut
atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada
ATS/IDSA 2004)
Antibiotik Dosis
Sefalosporin antipseudomonal
Sefepim
Seftasidim
Sefpirom
1-2 gr setiap 8 – 12 jam
2 gr setiap 8 jam
1 gr setiap 8 jam
Karbapenem
Meropenem
Imipenem
1 gr setiap 8 jam
500 mg setiap 6 jam / 1 gr setiap 8
jam
10. βlaktam / penghambat β laktamase
Piperasilin-tasobaktam 4,5 gr setiap 6 jam
Aminoglikosida
Gentamisin
Tobramisin
Amikasin
7 mg/kg BB/hr
7 mg/kg BB/hr
20 mg/kg BB/hr
Kuinolon antipseudomonal
Levofloksasin
Siprofloksasin
750 mg setiap hari
400 mg setiap 8 jam
Vankomisin 15 mg/kg BB/12 jam
Linesolid
Teikoplanin
600 mg setiap 12 jam
400 mg / hari
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
9
Onset lanjut (≥ 5 hari) atau
terdapat faktor risiko untuk MDR
Tidak Ya
Antibiotik spektrum terbatas
(Tabel 1)
Antibiotik spektrum luas
untuk patogen MDR
(Tabel 2)
Suspek HAP, VAP
(semua derajat)
Gambar 3. Skema terapi empirik untuk HAP dan VAP
11. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
10
LAMA TERAPI
Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya bukan
P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka
lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan
Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 – 21 hari.
RESPONS TERAPI
Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi. Respons klinis
terlihat setelah 48 – 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik
dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata.
Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empirik
mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka penggantian
antibiotik tidak akan mengubah mortaliti tetapi bermanfaat bagi strategi de-eskalasi. Bila hasil
pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan
kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman
(seperti pola resisten, virulensi dan keadaan lain).
Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan sesudah terapi
dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa: eradikasi
bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau infeksi persisten.
Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang
diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang
memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto
toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu diwaspadai.
Penyebab Perburukan
Ada beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk diantaranya kasus-kasus yang
diobati bukan pneumonia, atau tidak memperhitungkan faktor tertentu pejamu, bakteri atau antibiotik,
Beberapa penyakit noninfeksi seperti gagal jantung, emboli paru dengan infark, kontusio paru ,
pneumonia aspirasi akibat bahan kimia diterapi sebagai HAP.
Faktor pejamu yang menghambat perbaikan klinis adalah pemakaian alat bantu mekanis yang
lama, gagal napas, keadaan gawat, usia di atas 60 tahun, infiltrat paru bilateral, pemakaian antibiotik
sebelumnya dan pneumonia sebelumnya. Faktor bakteri yang mempengaruhi hasil terapi adalah jenis
bakteri, resistensi kuman sebelum dan selama terapi terutama P.aeruginosa yang diobati dengan
antibiotik tunggal. Hasil buruk dihubungkan biasanya dengan basil gram negatif, flora polimikroba atau
bakteri yang telah resisten dengan antibiotik. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh patogen lain
seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau patogen yang sangat jarang sehingga tidak diperhitungkan
pada pemberian antibiotik.
12. Penyebab lain kegagalan terapi adalah komplikasi pneumonia seperti abses paru dan empiema.
Pada beberapa pasien HAP mungkin terdapat sumber infeksi lain yang bersamaan seperti sinusitis,
infeksi karena kateter pembuluh darah, enterokolitis dan infeksi saluran kemih. Demam dan infiltrat
dapat menetap karena berbagai hal seperti demam akibat obat, sepsis dengan gagal organ multipel.
Penilaian kasus tidak respons
Organisme yang salah
• Patogen resisten obat
(bakteri,
mikobakterium,
virus, jamur)
• Pengobatan
antibiotik yang tidak
adekuat
Salah diagnosis
• Gagal jantung
• Emboli paru
• ARDS
• Perdarahan
• Neoplasma
Komplikasi
• Empiema atau abses
paru
• Kolitis
• Enfeksi “occult”
• Demam
Gambar 4. Berbagai kemungkinan penyebab tidak terjadi perbaikan
klinis setelah pengobatan antibiotik
Evaluasi Kasus Tidak Respons
Pada kasus-kasus yang cepat terjadi perburukan atau tidak respons terapi awal perlu dilakukan
evaluasi yang agresif mulai dengan mencari diagnosis banding dan melakukan pengulangan
pemeriksaan kultur dari bahan saluran napas dengan aspirasi endotatrakeal atau dengan tindakan
bronkoskopi. Jika hasil kultur terlihat resisten atau terdapat kuman yang jarang ditemukan maka
dilakukan modifikasi terapi. Jika dari kultur tidak terdapat resistensi maka perlu dipikirkan proses
noninfeksi. Pemeriksaan lain adalah foto toraks (lateral dekubitus) USG dan CT scan dan pemeriksaan
imaging lain bila curiga ada infeksi di luar paru seperti sinusitis. Juga perlu dipikirkan terdapat emboli
paru dengan infark.
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
11
13. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
12
Pencegahan Pneumonia Nosokomial
1. Pencegahan pada orofaring dan koloni di lambung
• Hindari pemakaian antibiotik yang tidak tepat karena dapat menyebabkan berkembangnya
koloni abnormal di orofaring, hal ini akan memudahkan terjadi multi drug resistant (MDR)
• Pemilihan dekontaminan saluran cerna secara selektif termasuk antibiotik parenteral dan
topikal menurut beberapa penelitian sangat efektif untuk menurunkan infeksi pneumonia
nosokomial, tetapi hal ini masih kontroversi. Mungkin efektif untuk sekelompok pasien
misalnya pasien umur muda yang mengalami trauma, penerima donor organ tetapi hal ini
masih membutuhkan survailans mikrobiologi
• Pemakaian sukralfat disamping penyekat H2 direkomendasikan karena sangat melindungi
tukak lambung tanpa mengganggu pH. Penyekat H2 dapat meningkatkan risiko pneumonia
nosokomial tetapi hal ini masih merupakan perdebatan.
• Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan gerakan duodenum misalnya metoklopramid
dan sisaprid, dapat pula menurunkan bilirubin dan kolonisasi bakteri di lambung.
• Anjuran untuk berhenti merokok
• Meningkatkan program vaksinasi S.pneumoniae dan influenza
2. Pencegahan aspirasi saluran napas bawah
• Letakkan pasien pada posisi kepala lebih ( 30-45 O
) tinggi untuk mencegah aspirasi isi
lambung
• Gunakan selang saluran napas yang ada suction subglotis
• Gunakan selang lambung yang kecil untuk menurunkan kejadian refluks gastro esofagal
• Hindari intubasi ulang untuk mencegah peningkatan bakteri yang masuk ke dalam saluran
napas bawah
• Pertimbangkan pemberian makanan secara kontinyu dengan jumlah sedikit melalui selang
makanan ke usus halus
3. Pencegahan inokulasi eksogen
• Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang benar, untuk
menghindari infeksi silang
• Penatalaksanaan yang baik dalam pemakaian alat-alat yang digunakan pasien misalnya
alat-alat bantu napas, pipa makanan dll
• Disinfeksi adekuat pada waktu pencucian bronkoskop serat lentur
• Pasien dengan bakteri MDR harus diisolasi
• Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala misalnya selang
makanan , jarum infus dll
4. Mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien
• Drainase sekret saluran napas dengan cara fisioterapi
• Penggunaan tempat tidur yang dapat diubah-ubah posisinya
• Mobilisasi sedini mungkin
14. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
13
PROGNOSIS
Prognosis akan lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu
1. Umur > 60 tahun
2. Koma waktu masuk
3. Perawatan di IPI
4. Syok
5. Pemakaian alat bantu napas yang lama
6. Pada foto toraks terlihat gambaran abnormal bilateral
7. Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
8. Penyakit yang mendasarinya berat
9. Pengobatan awal yang tidak tepat
10. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten (P.aeruginosa, S.malthophilia, Acinetobacter spp.
atau MRSA)
11. Infeksi onset lanjut dengan risiko kuman yang sangat virulen
12. Gagal multiorgan
13. Penggunaan obat penyekat H2 yang dapat meningkatkan pH pada pencegahan perdarahan usus
DAFTAR PUSTAKA
1. American Thoracic Society. Guidelines for management of adults with community-acquired
pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and prevention. Am J
Respir Crit.Care Med 2001; 163: 1730-54
2. American Thoracic Society. Hospital-acquired pneumonia in adults : Diagnosis, assessment of
severity, initial antimicrobial therapy and preventive strategies. Am J Respir Crit Care Med 1995;
153 : 1711-25
3. American Thoracic Society. Official Consensus Statement (1995): Hospital Acquired Pneumonia
in adults : Diagnosis, assesment of severity, initial antimicrobial therapy and preventive
strategies. Am J Respir Crit Care Med. 153 : 1711-25.
4. Bartlett JG (2001) : Hospital acquired pneumonia, in Management of Respiratory Tract
Infections. Ed Bartlett JG, Lippincott Williams & Wilkins, 3rd
, pp 71-8.
5. Berezin EB. Treatment and prevention of nosocomial pneumonia. Chest 1995; 108: 1S-16S
6. Craven De, Steger KA. Epidemiology of nosocomial pneumonia new perspectives on an old
disease. Chest 1995; 108 : 1S-16S
7. Cunha BA 2001. Nosocomial Pneumonia : Diagnostic and therapeutic considerations. The
Medical Clinics of North America 2001: 79 – 114.
8. Dal Nogare AR (1996) : Nosocomial Pneumonia Outside The Intensive Care Unit. In :
Respiratory Infections. Ed : Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J. WB Saunders. pp. 139 – 46.
9. Fein A, Grossman R, Ost D, Farber B, Cassiere H (1999) : Diagnosis and Management of
Pneumonia and Other Respiratory Infections. 1st
edit. Professional Communication Inc. pp 133-
50.
10. Fiel S. Guidelines and critical pathways for severe Hospital-acquired Pneumonia. Chest 2001;
119 : 412S-8S.
15. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
14
11. Guidelines for the management of hospitalized adults patients with pneumonia in the Asia Pacific
region. 2nd
Consensus Workshop. Phuket, Thailand 1998
12. Niederman MS. Hospital aquired pneumonia in and on out off the intensive care unit. In :
Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J ed. Respiratory Infections 2 nd ed. Philadelphia ;
Lippincott Williams & Wilkins , 2001:197-214
13. Read RC, Morrissey I, Ambler JE. Clinician’s manual on Respiratory tract infections and
fluoroquinolones. Science Press 2000. pp 25-27, 45-7.
14. Sprunt K, Redman W. Evidence suggesting the importance of bacterial inhibition in maintaining
the balance of normal flora. Ann Intern Med. 2000; 68 : 579-90.
15. American Thoracic Society . Guideline for the Managerment of Adults with Hospital-aquired,
Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005;
171: 388-416
LAMPIRAN I
Pola kuman yang didapat dari sputum pasien di ruang rawat
intensif RS Persahabatan tahun 2004
Nama kuman Jumlah Persen
Klebsiella
Pseudomonas
Acinetobacter
Klebsiella spp
Psedomonas spp
Acinetobacter spp
Staphylococcus auresus
E.coli
Pseudomonas aeruginosa
Streptococcus spp
Enterobacter spp
40
37
21
18
10
10
9
9
5
3
1
Pola kuman yang didapat dari sputum pasien di ruang rawat intensif
RS Dr. Soetomo tahun 2002
Nama mikroba Jumlah Persen
Pseudomonas aeruginosa
Klebsiella spp
Pseudomonas spp
Escherichia coli
Enterobacter aerogenes
Staphylococcus aureus
Candida
20
8
5
3
2
2
1
48.78
19.51
12.2
7.32
4.89
4.89
2.44
Jumlah 41
16. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
15
LAMPIRAN II
Pembagian pneumonia nosokomial menurut The Japanese Respiratory Society (2004)
1. Kel I : Pasien pneumonia ringan atau sedang tetapi tanpa faktor risiko
2. Kel II : Pasien pneumonia ringan dengan 1 atau lebih faktor risiko
3. Kel III : Pasien pneumonia sedang atau berat dengan 1 atau lebih faktor risiko dan pasien
pneumonia berat dengan atau tanpa faktor risiko
4. Kel IV : Pasien dengan kondisi spesifik
a. Netropenia
b. Immunosupresi seluler
c. Immunosupresi humoral
Keterangan :
Faktor risiko :
1. CVD
2. Penyakit saluran napas kronik
3. Gagal jantung
4. Diabetes, gagal ginjal, penyakit hati kronik
5. Pemakaian penghambat H2 atau antasid
6. Pemakaian antibiotik jangka lama
7. Umur ≥65 tahun
8. Keganasan
Pembagian kriteria pneumonia ringan-sedang-berat menurut
The Japanese Respiratory Society (2004)
No Parameter Ringan Sedang Berat
1. Infiltrat < 1 paru Tidak ringan
maupun berat
> 2/3 parah
1 paru
2. Suhu tubuh < 37,50
C Tidak ringan
maupun berat
> 38,60
C
3. Nadi < 100/m Tidak ringan
maupun berat
> 130/m
4. Pernapasan < 20/m Tidak ringan
maupun berat
> 30/m
5. Dehidrasi Tidak ada Ada / tidak Ada
6. Leukosit < 10.000/mm3
Tidak ringan
maupun berat
> 20.000/mm3
< 4000/m3
17. ________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
16
7. CRP < 10./mg/dl Tidak ringan
maupun berat
> 20mg/dl
8. PaO2 > 70 torr Tidak ringan
maupun berat
< 60 torr SpO2
< 90%
Pengobatan empirik pneumonia nosokomial menurut the Japanese Respiratory Society (2004)
Kelompok Antibiotik
I Pneumonia ringan-
sedang tanpa faktor
risiko
1. Sefalosporin 2G,3G tanpa
aktiviti pseudomonal
2. Fluorokuinolon oral atau iv
3. Klindamisin + monobaktam
II Pneumonia ringan
dengan faktor risiko
1. Sefalosporin 3G, 4G dengan
aktiviti pseudomonal
2. Karbapenem → untuk
pneumonia aspirasi
III Pneumonia sedang
dengan faktor risiko
berat atau pneumonia
1. Sefalosporin 4G dengan
aktiviti antipseudomonal dan
karbapenem + fluorokuinolon
atau aminoglikosid
2. Fluorokuinolon iv +
karbapenem
3. Bila MRSA Vankomisin atau
teikoplanin