Perbedaan Baja Karbon Rendah, Baja Karbon Menengah, dan Baja Karbon TinggiAbdul Ghofur
Salah satu cara mengklasifikasikan baja adalah berdasarkan pada komposisi kimianya. Kandungan karbon misalnya. Oleh karenanya kita mengenal penamaan Baja Karbon yang terbagi menjadi tiga jenis yakni Baja Karbon Rendah, Baja Karbon Menengah, dan Baja Karbon Tinggi. Dalam slide ini dijelaskan secara ringkas dan jelas agar dapat memahami perbedaan ketiga jenis baja karbon dengan baik.
Perbedaan Baja Karbon Rendah, Baja Karbon Menengah, dan Baja Karbon TinggiAbdul Ghofur
Salah satu cara mengklasifikasikan baja adalah berdasarkan pada komposisi kimianya. Kandungan karbon misalnya. Oleh karenanya kita mengenal penamaan Baja Karbon yang terbagi menjadi tiga jenis yakni Baja Karbon Rendah, Baja Karbon Menengah, dan Baja Karbon Tinggi. Dalam slide ini dijelaskan secara ringkas dan jelas agar dapat memahami perbedaan ketiga jenis baja karbon dengan baik.
spektrofotometer serapan (SSA) adalah alat analisis logam yang paling diandalkan saat ini. spektrofotometer serapan atom terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
Spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance) merupakan salah satu jenis spektroskopi frekuensi radio yang didasarkan pada medan magnet yang berasal dari spin inti atom yang bermuatan listrik. Spektroskopi nmr didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh inti – inti atom tertentu dalam molekul organik, apabila molekul ini berada dalam medan magnet yang kuat.
Spektrometri Resonansi Magnetik Inti pada umumnya digunakan untuk :
1. Menentukan jumlah proton yang dimiliki lingkungan kimia yang sama pada suatu senyawa organik.
2. Mengetahui informasi mengenai struktur suatu senyawa organik.
3. Spektoskopi NMR dapat digunakan sebagai alat sidik jari.
4. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton berguna untuk penentuan struktur molekul organik.
spektrofotometer serapan (SSA) adalah alat analisis logam yang paling diandalkan saat ini. spektrofotometer serapan atom terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
Spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance) merupakan salah satu jenis spektroskopi frekuensi radio yang didasarkan pada medan magnet yang berasal dari spin inti atom yang bermuatan listrik. Spektroskopi nmr didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh inti – inti atom tertentu dalam molekul organik, apabila molekul ini berada dalam medan magnet yang kuat.
Spektrometri Resonansi Magnetik Inti pada umumnya digunakan untuk :
1. Menentukan jumlah proton yang dimiliki lingkungan kimia yang sama pada suatu senyawa organik.
2. Mengetahui informasi mengenai struktur suatu senyawa organik.
3. Spektoskopi NMR dapat digunakan sebagai alat sidik jari.
4. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton berguna untuk penentuan struktur molekul organik.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
1. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Semen
Semen berasal dari bahasa latin “cementum”, dimana kata ini mula-mula
dipakai oleh bangsa Roma yang berarti bahan atau ramuan pengikat, dengan kata lain
semen dapat didefinisikan adalah suatu bahan perekat yang berbentuk serbuk halus,
bila ditambah air akan terjadi reaksi hidrasi sehingga dapat mengeras dan digunakan
sebagai pengikat (mineral glue). Pada mulanya semen digunakan orang-orang Mesir
Kuno untuk membangun piramida yaitu sejak abad ke-5 dimana batu batanya satu
sama lain terikat kuat dan tahan terhadap cuaca selama berabad-abad. Bahan pengikat
ini ditemukan sejak manusia mengenal api karena mereka membuat api di gua-gua
dan bila api kena atap gua maka akan rontok berbentuk serbuk. Serbuk ini bila kena
hujan menjadi keras dan mengikat batu-batuan disekitarnya dan dikenal orang
sebagai batu Masonry. (Anonim. 1980. Handout Kuliah Teknologi Semen. Jurusan
Teknik Kimia, FTI-ITS.
Semen merupakan salah satu bahan perekat yang jika dicampur dengan air
mampu mengikat bahan-bahan padat seperti pasir dan batu menjadi suatu kesatuan
kompak. Sifat pengikatan semen ditentukan oleh susunan kimia yang dikandungnya.
Adapun bahan utama yang dikandung semen adalah kapur (CaO), silikat (SiO2),
alumunia (Al2O3), ferro oksida (Fe2O3), magnesit (MgO), serta oksida lain dalam
jumlah kecil (Lea and Desch, 1940).
2. Massa jenis semen yang diisyaratkan oleh ASTM adalah 3,15 gr/cm3, pada
kenyataannya massa jenis semen yang diproduksi berkisar antara 3,03 gr/cm3 sampai
3,25 gr/cm3. Variasi ini akan berpengaruh proporsi campuran semen dalam
campuran. Pengujian massa jenis ini dapat dilakukan menggunakan Le Chatelier
Flask (ASTM C 348-97).
2.2 Fungsi Semen
Fungsi semen adalah mengikat butir-butir agregat hingga membentuk suatu
massa padat dan mengisi rongga-rongga udara di antara butir-butir agregat. Walaupun
komposisi semen dalam beton hanya sekitar 10%, namun karena fungsinya sebagai
bahan pengikat maka peranan semen menjadi penting. Semen yang digunakan untuk
pekerjaan beton harus disesuaikan dengan rencana kekuatan dan spesifikasi teknik
yang diberikan.
2.3 Bahan Baku Semen
Bahan baku pembuatan semen adalah batu kapur, pasir silika, tanah liat dan
pasir besi. Total kebutuhan bahan mentah yang digunakan untuk memproduksi semen
yaitu:
1. Batu kapur
Batu kapur merupakan sumber utama oksida yang mempumyai rumus CaCO3
(Calcium Carbonat), pada umumnya tercampur MgCO3 dan MgSO4. Batu kapur
yang baik dalam penggunaan pembuatan semen memiliki kadar air ± 5%, dan
penggunaan batu kapur dalam pembuatan semen itu sendiri sebanyak ± 81 %.
3. 2. Pasir silika
Pasir silika memiliki rumus SiO2 (silikon dioksida). Pada umumnya pasir silika
terdapat bersama oksida logam lainnya, semakin murni kadar SiO2 semakin putih
warna pasir silikanya, semakin berkurang kadar SiO2 semakin berwarna merah atau
coklat, disamping itu semakin mudah menggumpal karena kadar airnya yang tinggi.
Pasir silika yang baik untuk pembuatan semen adalah dengan kadar SiO2 ± 90%, dan
penggunaan pasir silika dalam pembuatan semen itu sendiri sebesar ± 9%.
3. Tanah liat
Rumus kimia tanah liat yang digunakan pada produksi semen
SiO2Al2O3.2H2O. Tanah liat yang baik untuk digunakan memiliki kadar air ± 20 %,
kadar SiO2 tidak terlalu tinggi ± 46 %, dan penggunaan tanah liat dalam pembuatan
semen itu sendiri sebesar ± 9%.
4. Pasir besi
Pasir besi memiliki rumus kimia Fe2O3 (Ferri Oksida) yang pada umumnya
selalu tercampur dengan SiO2 dan TiO2 sebagai impuritiesnya. Fe2O3 berfungsi
sebagai penghantar panas dalam proses pembuatan terak semen. Kadar yang baik
dalam pembuatan semen yaitu Fe3O2 ± 75%-80%. Pada penggilingan akhir
digunakan gipsum sebanyak 3-5% total pembuatan semen. penggunaan pasir besi
dalam pembuatan semen itu sendiri sebesar ± 1%.
2.4 Sejarah Semen
Dalam perkembangan peradaban manusia khususnya dalam hal bangunan, tentu
kerap mendengar cerita tentang kemampuan nenek moyang merekatkan batu-batu
4. raksasa hanya dengan mengandalkan zat putih telur, ketan atau lainnya. Alhasil,
berdirilah bangunan fenomenal, seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan di
Indonesia ataupun jembatan di Cina yang menurut legenda menggunakan ketan
sebagai perekat. Ataupun menggunakan aspal alam sebagaimana peradaban di
Mahenjo Daro dan Harappa di India ataupun bangunan kuno yang dijumpai di Pulau
Buton
Benar atau tidak, cerita, legenda tadi menunjukkan dikenalnya fungsi semen
sejak zaman dahulu. Sebelum mencapai bentuk seperti sekarang, perekat dan penguat
bangunan ini awalnya merupakan hasil percampuran batu kapur dan abu vulkanis.
Pertama kali ditemukan di zaman Kerajaan Romawi, tepatnya di Pozzuoli, dekat teluk
Napoli, Italia. Bubuk itu lantas dinamai pozzuolana.
Baru pada abad ke-18 (ada juga sumber yang menyebut sekitar tahun 1700-an
M), John Smeaton - insinyur asal Inggris - menemukan kembali ramuan kuno
berkhasiat luar biasa ini. Dia membuat adonan dengan memanfaatkan campuran batu
kapur dan tanah liat saat membangun menara suar Eddystone di lepas pantai
Cornwall, Inggris.
Ironisnya, bukan Smeaton yang akhirnya mematenkan proses pembuatan cikal
bakal semen ini. Adalah Joseph Aspdin, juga insinyur berkebangsaan Inggris, pada
1824 mengurus hak paten ramuan yang kemudian dia sebut semen portland. Dinamai
begitu karena warna hasil akhir olahannya mirip tanah liat Pulau Portland, Inggris.
Hasil rekayasa Aspdin inilah yang sekarang banyak dipajang di toko-toko bangunan.
Sebenarnya, adonan Aspdin tak beda jauh dengan Smeaton. Dia tetap mengandalkan
dua bahan utama, batu kapur (kaya akan kalsium karbonat) dan tanah lempung yang
5. banyak mengandung silika (sejenis mineral berbentuk pasir), aluminium oksida
(alumina) serta oksida besi. Bahan-bahan itu kemudian dihaluskan dan dipanaskan
pada suhu tinggi sampai terbentuk campuran baru.
Selama proses pemanasan, terbentuklah campuran padat yang mengandung zat
besi. Nah, agar tak mengeras seperti batu, ramuan diberi bubuk gips dan dihaluskan
hingga berbentuk partikel-partikel kecil mirip bedak.
Pengaduk semen sederhana.
Lazimnya, untuk mencapai kekuatan tertentu, semen portland berkolaborasi
dengan bahan lain. Jika bertemu air (minus bahan-bahan lain), misalnya,
memunculkan reaksi kimia yang sanggup mengubah ramuan jadi sekeras batu. Jika
ditambah pasir, terciptalah perekat tembok nan kokoh. Namun untuk membuat
pondasi bangunan, campuran tadi biasanya masih ditambah dengan bongkahan batu
atau kerikil, biasa disebut concrete atau beton.
Beton bisa disebut sebagai mahakarya semen yang tiada duanya di dunia. Nama
asingnya, concrete - dicomot dari gabungan prefiks bahasa Latin com, yang artinya
bersama-sama, dan crescere (tumbuh). Maksudnya kira-kira, kekuatan yang tumbuh
karena adanya campuran zat tertentu. Dewasa ini, nyaris tak ada gedung pencakar
langit berdiri tanpa bantuan beton.
Meski bahan bakunya sama, "dosis" semen sebenarnya bisa disesuaikan dengan
beragam kebutuhan. Misalnya, jika kadar aluminanya diperbanyak, kolaborasi dengan
bahan bangunan lainnya bisa menghasilkan bahan tahan api. Ini karena sifat alumina
yang tahan terhadap suhu tinggi. Ada juga semen yang cocok buat mengecor karena
campurannya bisa mengisi pori-pori bagian yang hendak diperkuat.
6. 2.5 Syarat-syarat dan karakteristik Semen Portland
Proses pembuatan semen portland dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Proses basah
Pada proses basah, sebelum dibakar bahan dicampur dengan air (slurry) dan
digiling hingga berupa bubur halus. Proses basah umumnya dilakukan jika yang
diolah merupakan bahan-bahan lunak seperti kapur dan lempung. Bubur halus yang
dihasilkan selanjutnya dimasukkan dalam oven berbentuk silinder yang dipasang
miring (ciln). Suhu ciln ini sedikit demi sedikit dinaikkan dan diputar dengan
kecepatan tertentu. Bahan akan mengalai perubahan sedikit demi sedikit akibat
naiknya suhu dan akibatnya terjadi sliding di dalam ciln. Pada suhu 100 C air mulai
menguap, pada suhu 850 C karbondioksida dilepaskan. Pada suhu sekitar 1400 C,
berlangsung permulaan perpaduan di daerah pembakaran, di mana akan terbentuk
klinker yang terdiri dari senyawa kalsium silikat dan kalsium aluminat. Klinker
tersebut selanjutnya didinginkan, kemudian dihaluskan menjadi butir halus dan
ditambah dengan bahan gipsum.
2. Proses kering
Proses kering biasanya digunakan untuk jenis batuan yang lebih keras misalnya
untuk batu kapur jenis shale. Pada proses ini bahan dicampur dan digiling dalam
keadaan kering menjadi bubuk kasar. Selanjutnya, bahan tersebut dimasukkan ke
dalam ciln dan proses selanjutnya sama dengan proses basah.
7. Dalam pabrikasi akhir, semen portland digiling dalam kilang hingga halus dan
ditambah beberapa bahan tambahan. Bagai alir proses pabrikasi semen portland dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Bagan alir proses pabrikasi semen
Secara garis besar proses pembuatan semen portland adalah sebagai berikut:
1. Pencampuran mineral-mineral utama seperti CaO, SiO2 dan Al2O3, dicampur
bersama bahan tambahan lain dalam bentuk kering atau basah. Bentuk basah
dikenal slurry.
2. Campuran ini dimasukkan ke dalam rotary kiln, dibakar pada suhu 1400 C
membentuk butiran-butiran bulat berdiameter antara 1,5 mm sampai 50 mm
yang dikenal sebagai clinker.
8. 3. Clinker yang telah dingin dihaluskan sehingga mencapai kehalusan (specific
surface) 3150 cm2/gr, sambil ditambahkan gypsum untuk mengontrol waktu
ikat (setting time).
Berkaitan dengan masalah keawetan (durability) beton, maka dibedakan atas
lima tipe semen, yaitu:
Tipe I : Semen biasa (normal) digunakan untuk beton yang tidak
dipengaruhi oleh lingkungan, seperti sulfat, perbedaan
suhu yang ekstrim.
Tipe : Digunakan untuk pencegahan terhadap serangan sulfat dari
II lingkungan, seperti untuk struktur bawah tanah.
Tipe : Beton yang dihasilkan mempunyai waktu perkerasan yang
III cepat (high early strength).
Tipe : Beton yang dibuat akan memberikan panas hidrasi rendah,
IV cocok untuk pekerjaan beton massa.
Tipe : Semen ini cocok untuk beton yang menahan serangan
V sulfat dengan kadar tinggi.
Tabel 2.1 Tipe Semen
9. 2.6 Sifat Kimia Semen
1. Lime Saturated Factor (LSF) Batasan agar semen yang dihasilkan tidak
tercampur dengan bahan-bahan alami lainnya.
2. Magnesium oksida (MgO)
Pada umumnya semua standard semen membatasi kandungan MgO dalam
semen Portland, karena MgO akan menimbulkan magnesia expansion pada semen
setelah jangka waktu lebih daripada setahun, berdasarkan persamaan reaksi sbb :
Mg O + H2O Mg (OH) 2
Reaksi tersebut diakibatkan karena MgO bereaksi dengan H2O Menjadi
magnesium hidroksida yang mempunyai volume yang lebih besar.
3. SO3
Kandungan SO3 dalam semen adalah untuk mengatur/memperbaiki sifat setting
time (pengikatan) dari mortar (sebagai retarder) dan juga untuk kuat tekan. Karena
kalau pemberian retarder terlalu banyak akan menimbulkan kerugian pada sifat
expansive dan dapat menurunkan kekuatan tekan. Sebagai sumber utama SO3 yang
sering banyak digunakan adalah gypsum.
4. Hilang Pijar (Loss On Ignition)
Persyaratan hilang pijar dicantumkan dalam standard adalah untuk mencegah
adanya mineral-mineral yang dapat diurai dalam pemijaran. Kristal mineral-mineral
tersebut pada umumnya dapat mengalami metamorfosa dalam waktu beberapa tahun,
dimana metamorfosa tersebut dapat menimbulkan kerusakan.
10. 5. Residu tak larut
Bagian tak larut dibatasi dalam standard semen. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah dicampurnya semen dengan bahan-bahan alami lain yang tidak dapat
dibatasi dari persyaratan fisika mortar.
6. Alkali (Na2O dan K2O)
Akali pada semen akan menimbulkan keretakan pada beton maupun pada
mortar, apabila dipakai agregat yang mengandung silkat reaktif terhadap alkali.
Apabila agregatnya tidak mengandung silikat yang reaktif terhadap alkali, maka
kandungan alkali dalam semen tidak menimbulkan kerugian apapun. Oleh karena itu
tidak semua standard mensyaratkannya.
7. Mineral compound (C3S, C2S, C3A , C4AF)
Pada umumnya standard yang ada tidak membatasi besarnya mineral compound
tersebut, karena pengukurannya membutuhkan peralatan mikroskopik yang mahal.
Mineral compound tersebut dapat di estimasi melalui perhitungan dengan rumus,
meskipun perhitungan tidak teliti. Tetapi ada standard yang mensyaratkan mineral
compound ini untuk jenisjenis semen tertentu. misalnya ASTM untuk standard semen
type IV dan type V. Salah satu mineral yang penting yaitu C3A, adanya kandungan
C3A dalam semen pada dasarnya adalah untuk mengontrol sifat plastisitas adonan
semen dan beton. Tetapi karena C3A bereaksi terhadap sulfat, maka untuk pemakaian
di daerah yang mengandung sulfat dibatasi. Karena reaksi antara C3A dengan sulfat
dapat menimbulkan korosi pada beton.
11. Senyawa kimia semen
Pada Tabel 2.2 s/d 2.5 diperlihatkan komposisi kimia tipikal semen portland
biasa dan komposisi oksida semen portland secara umum.
Berat
Nama Kimia Rumus Kimia Notasi
(%)
Tricalcium silicate 3CaO.SiO2 C3 S 50
Dicalcium silicate 2CaO.SiO2 C2 S 25
Tricalcium aluminate 3CaO.Al2O3 C3 A 12
Tetracalcium
4CaO.Al2O3.Fe2O3 C4AF 8
aluminoferrite
Calcium sulfate dihydrate CaSO4.2H2O CSH2 3,5
Tabel 2.2 Komposisi kimia tipikal semen portland biasa
Persen
Oksida Notasi Nama
Berat
CaO C Lime 63
SiO2 S Silica 22
12. Al2O3 A Alumina 6
Fe2O3 F Ferric oxide 2,5
MgO M Magnesia 2,6
K2O K Alkalis 0,6
Na2O N Alkalis 0,3
SO3 S Sulfur trioxide 2,0
CO2 C Carbon dioxide
H2O H Water
Tabel 2.3 Komposisi oksida semen portland secara umum
C3S C2S C3A C4AF
Senyawa
3CaOSiO2 2CaOSiO2 3CaOAl2O3 4CaOAl2O3Fe2O3
Kecepatan
reaksi dengan sedang lambat cepat Sedang
air
Sumbangan
baik jelek baik Baik
terhadap
13. kekuatan awal
Sumbangan
terhadap sangat
baik sedang Sedang
kekuatan baik
akhir
Panas hidrasi sedang rendah tinggi Sedang
Tabel 2.4 Karakteristik senyawa kimia utama semen
Komposisi dalam persen (%)
Karakteristik
umum
C3 S C2S C3 A C4AF CaSO4 CaO MgO
Tipe Semen untuk
49 25 12 8 2,9 0,8 2,4
I semua tujuan
Relatif sedikit
Tipe pelepasan panas,
46 29 6 12 2,8 0,6 3
II digunakan untuk
struktur besar
Tipe Mencapai kekuatan
56 15 12 8 3,9 1,4 2,6
III awal yang tinggi
14. pada umur 3 hari
Tipe Dipakai pada
30 46 5 13 2,9 0,3 2,7
IV bendunganbeton
Tipe Dipakai pada saluran
43 36 4 12 2,7 0,4 1,6
V dan struktur
Tabel 2.5 Persentase komposisi semen portland
Sifat fisika semen portland:
Menurut Harian (2007), sifat fisik semen portland terdiri dari:
1. Kehalusan butiran
Kehalusan butiran semen mempengaruhi proses hidrasi. Waktu pengikatan
(setting time) menjadi semakin lama jika butir semen lebih kasar. Jika permukaan
penampang semen lebih besar, semen akan memperbesar bidang kontak dengan air.
Semakin halus butiran semen, proses hidrasinya semakin cepat, sehingga kekuatan
awal tinggi dan kekuatan akhir akan berkurang.
Kehalusan butir semen yang tinggi dapat mengurangi terjadinya bleeding atau
naiknya air ke permukaan, tetapi menambah kecenderungan beton untuk menyusut
lebih banyak dan mempermudah terjadinya retak susut. Untuk mengukur kehalusan
butir semen digunakan turbidimeter dari Wagner atau air permeability dari Blaine.
15. 2. Kepadatan atau berat jenis (density)
Berat jenis semen yang disyaratkan oleh ASTM adalah 3,15 Mg/m3. kepadatan
akan berpengaruh pada proporsi semen dalam campuran. Menurut ASTM C-188,
untuk pengujian berat jenis dapat dilakukan menggunakan Le Chatelier Flask.
3. Konsistensi
Konsistensi semen portland berpengaruh pada saat pencampuran awal, yaitu
pada saat terjadi pengikatan sampai pada saat beton mengeras. Konsistensi yang
terjadi tergantung pada rasio antara semen dan air serta kehalusan dan kecepatan
hidrasi.
4. Waktu pengikatan (setting time)
Waktu ikat adalah waktu yang diperlukan semen untuk mengeras, terhitung
mulai bereaksi dengan air dan menjadi pasta semen hingga pasta semen cukup kaku
untuk menahan tekanan. Pengujian waktu ikat bertujuan untuk menentukan jumlah
air yang dibutuhkan untuk menghasilkan pasta dengan konsistensi normal. Waktu
ikat semen dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Waktu ikat awal (initial setting time) yaitu waktu dari pencampuran semen
dengan air menjadi pasta semen hingga hilangnya sifat plastis. Waktu ikat
awal sangat penting untuk kontrol pekerjaan beton.
2. Waktu ikat akhir (final setting time) yaitu waktu antara terbentuknya pasta
semen hingga beton mengeras.
16. Gambar 2.2 Alat ukur setting time (alat Vicat)
5. Panas hidrasi
Panas hidrasi adalah panas yang terjadi pada saat semen bereaksi dengan air,
yang dipengaruhi oleh jenis semen yang dipakai dan kehalusan butir semen. Hasil
reaksi hidrasi, tobermorite gel merupakan jumlah yang terbesar, sekitar 50% Dari
jumlah senyawa yang dihasilkan. Reaksi tersebut dapat dikemukakan secara
sederhana, sebagai berikut :
2(CaO.SiO2) + 4H2O 3CaO.2SiO2.3H2O + Ca(OH)2
2(3CaO.SiO2) + 6H2O 3CaO.2SiO2.3H2O + 3Ca(OH)2 (Tobermorite)
3CaO.Al2 O3 + 6H2O 3CaO.Al2 O3 .6H2O (Kalsium aluminat hidrat)
3CaO.Al2 O3 + 6H2O + 3CaSO4.2H2O 3CaO.Al2 O3.3CaSO4 32H2O (
Trikalsium sulfoaluminat).
17. 4CaO.Al2 O3 .Fe2 O3 + XH2O 3CaO.Al2 O3 6H2O + 3CaO. Fe2 O3 6H2O
(Kalsium Aluminoferrite hidrat).
Untuk semen yang lebih banyak mengandung C3S dan C3 A akan bersifat
mempunyai panas hidrasi yang lebih tinggi.
6. Keutuhan atau kekalan
Kekalan pada pasta semen yang telah mengeras merupakan suatu ukuran yang
menyatakan kemampuan pengembangan bahan-bahan campurannya dan kemampuan
untuk mempertahankan volume setelah pengikatan terjadi. Ketidakkekalan semen
disebabkan oleh terlalu banyaknya jumlah kapur bebas yang pembakarannya tidak
sempurna. Kapur bebas tersebut mengikat air kemudian menimbulkan gaya-gaya
ekspansi. Menurut ASTM C-151, alat uji untuk menentukan nilai kekalan semen
portland adalah autoclave expansion of portland sement.
7. Kekuatan
Pengujian kekuatan semen dilakukan dengan cara membuat mortar semen pasir.
Pengujian kekuatan dapat berupa uji tekan, tarik dan lentur. ASTM C 109-80
mensyaratkan pengujian kuat tekan pada campuran semen-pasir dengan proporsi 1 :
2,75 dan rasio air-semen 0,485. Contoh semen yang akan diuji dicampur dengan pasir
silika dengan perbandingan tertentu, kemudian dibentuk menjadi kubus-kubus
berukuran 5 cm x 5 cm x 5 cm. Setelah berumur 3, 7, 14, 21 dan 28 hari dan
mengalami perawatan dengan perendaman, benda uji tersebut diuji kekuatannya.
Selain itu dikenal pula beberapa semen khusus, seperti:
1. Semen putih
2. Semen pozolan
18. 3. Semen untuk sumur minyak (oil weel cement)
4. Semen plastik (plastic cement)
5. Semen ekspansif
6. Regulated set cement.
2.7 Jenis-jenis Semen
Semen mempunyai beberapa jeni, yaitu :
1. Semen non hidrolik
Semen non hidrolik tidak dapat mengikat dan mengeras di dalam air, tetapi
dapat mengeras di udara.
Contoh: kapur.
2. Semen hidrolik
Semen hidrolik mempunyai kemampuan untuk mengikat dan mengeras di
dalam air. Contoh:
1 Semen pozzolan
Semen portland pozzolan adalah suatu semen hidrolis yang terdiri dari
campuran yang homogen antara semen portland dengan pozolan halus, yang di
produksi dengan menggiling klinker semen portland dan pozolan bersama-
sama, atau mencampur secara merata bubuk semen portland dengan bubuk
pozolan, atau gabungan antara menggiling dan mencampur, dimana kadar
pozolan 6 % sampai dengan 40 % massa semen portland pozolan. (SNI-15-
0302-2004).
19. Menurut SNI 15-0302-1989, .Bahan yang mempunyai sifat pozolan
adalah bahan yang mengandung sifat silica aluminium dimana bentuknya halus
dengan adanya air, maka senyawa-senyawa ini akan bereaksi secara kimia
dengan kalsium hidroksida pada suhu kamar membentuk senyawa yang
mempunyai sifat seperti semen. Semen Portland pozolan dapat digolongkan
menjadi 2 (dua) jenis yaitu sebagai berikut:
Semen portland pozolan jenis SPP A yaitu semen Portland pozolan yang
dapat dipergunakan untuk semua tujuan pembuatan adukan beton serta
tahan sulfat sedang dan panas hidrasinya sedang.
Semen portland pozolan jenis SSP B yaitu semen Portland pozolan yang
dapat dipergunakan untuk semua adukan beton tersebut tahan sulfat sedang
dan panas hidrasi rendah.
2 Semen terak
Semen terak adalah semen hidrolik yang sebagian besar terdiri dari suatu
campuran seragam serta kuat dari terak tanur kapur tinggi dan kapur tohor.
Sekitar 60% beratnya berasal dari terak tanur tinggi.
Semen terak dibuat melalui proses tertentu yakni penggilingan, yang
menyebabkan terak itu bersifat hidrolik, sekaligus berkurang jumlah sulfat yang
dapat merusak. Terak tersebut kemudian dikeringkan dan ditambahi kapur
tohor dengan perbandingan tertentu. Seluruh bahan dicampur dan dihaluskan
kembali menjadi butiran yang halus.
20. 3. Semen alam
Semen alam dihasilkan melalui pembakaran batu kapur yang
mengandung lempung pada suhu lebih rendah dari suhu pengerasan. Hasil
pembakaran kemudian digiling menjadi serbuk halus. Kadar silika, alumina dan
oksida besi pada serbuk cukup untuk membuatnya bergabung dengan kalsium
oksida sehingga membentuk senyawa kalsium silikat dan aluminat yang dapat
dianggap mempunyai sifat hidrolik. Semen alam yang dihasilkan mempunyai
komposisi sebagai berikut:
CaO : 31% - 57%
SiO2 : 22% - 29%
Al2O3 : 5,2% - 8,8%
Fe2O3 : 1,5% - 3,2%
MgO : 1,5% - 2,2%
NaO :
K2O :
Semen alam tidak boleh digunakan di tempat yang langsung terekspos
perubahan cuaca, tetapi dapat digunakan dalam adukan beton untuk konstruksi
yang tidak memerlukan kekuatan tinggi.
4. Semen portland
Semen portland adalah bahan konstruksi yang paling banyak digunakan
dalam pekerjaan beton. Semen portland didefinisikan sebagai semen hidrolik
yang dihasilkan dengan menggiling klinker yang terdiri dari kalsium silikat
hidrolik, yang umumnya mengandung satu atau lebih.
21. Bentuk kalsium sulfat sebagai bahan tambahan yang digiling bersama-
sama dengan bahan utamanya. Pembuatan semen portland dilaksanakan melalui
beberapa tahapan, yaitu:
1. Penambangan di quarry
2. Pemecahan di crushing plant
3. Penggilingan (blending)
4. Pencampuran bahan-bahan
5. Pembakaran (ciln)
6. Penggilingan kembali hasil pembakaran
7. Penambahan bahan tambah (gipsum)
8. Pengikatan (packing plant)
Fungsi dari semen portland adalah untuk merekatkan butir-butir agregat
agar terjadi suatu massa yang kompak dan padat, selain juga untuk mengisi
rongga- rongga di antara butiran agregat (Tjokrodimuljo dan Kardiyono, 1988).
22. BAB III
SISTEM PRODUKSI DI PERUSAHAAN
3.1 Bahan Baku
PT. Semen Gresik Tbk. bergerak dalam bidang produksi semen. Semen yang
diproduksi ada dua macam yaitu semen jenis OPC (Ordinary Portland Cement) dan
semen jenis PPC (Pozzoland Portland Cement). Dalam produksi semen terdapat
bahan baku utama dan bahan koreksi. Bahan baku utama meliputi batu kapur dan
tanah liat. Sedangkan bahan koreksi meliputi pasir silica dan pasir besi. Bahan baku
dan bahan koreksi tersebut dicampur dan diproses sehingga menghasilkan Terak.
Untuk memproduksi semen jenis OPC dibutuhkan pencampuran terak dengan
Gypsum. Sedangkan untuk memproduksi semen jenis PPC dibutuhkan pencampuran
Terak, Gypsum dan Trass. Karena sebagian besar produksi pabrik berupa debu (dust)
dan dapat diolah kembali sehingga dapat menggurangi pencemaran lingkungan dan
menghemat sumber daya alam.
3.1.1 Bahan Baku Utama
a. Batu Kapur CaCO3 (80%)
Diperoleh dari tambang batu kapur milik perusahaan sendiri yang berada tidak
jauh dari lokasi pabrik.
Prosentase komposisi kandungan batu kapur sebagai berikut :
- Batu Kapur Halus sebesar 60%
- Batu Kapur Kasar sebesar 40%
23. b. Tanah Liat 2SiO2.Al2O3.2H2O (15%)
Diperoleh dari tambang Tanah Liat milik perusahaan sendiri yang berada tidak
jauh dari lokasi pabrik. Untuk pembuatan semen, yang diperlukan adalah
Al2O3-nya, sehingga tanah liat dengan kadar Al2O3 yang tinggi sangat baik
untuk bahan baku pembuatan semen. Sedangkan bila kadar SiO2nya melebihi
separuh dari jumlah Al2O3 maka tanah liat itu termasuk jelek. Di alam, tanah
liat biasanya mengandung SiO2 sebesar 46.5 %, sehingga termasuk baik.
3.1.2 Bahan Koreksi/Penunjang
Bahan Baku Koreksi/Penunjang semen terbagi menjadi dua bagian yaitu pada
saat proses awal dan pada proses pencampuran di akhir. Bahan koreksi yang
digunakan mempunyai fungsi untuk menyeimbangkan unsur kimia yang terdapat
dalam batu kapur dan tanah liat agar memperoleh hasil sesuai kebutuhan dan jenis
dari semen yang akan dibuat. Macam-macam bahan Koreksi yang ditambahkan
adalah sebagai berikut:
1. Bahan Baku Koreksi pada saat awal produksi.
a. Pasir Silika SiO2 (4%)
Pada umumnya prosentase silika kurang dari 100% karena tercampur
dengan logam-logam lainnya. Untuk pembuatan semen itu sendiri
memerlukan kadar 80, jika kurang dari 80% maka sudah tidak dapat
digunakan untuk pembuatan semen dan telah bersifat tanah liat.
24. b. Pasir Besi FeO3 (1%)
Keadaan pasir besi selalu bercampur dengan SiO2, bila kadar FeO3 sampai
80 % sudah termasuk baik. Selama ini pasir yang dipakai antara 60 - 80 %
FeO3. Pasir besi ini berfungsi sebagai penghantar panas dalam pembuatan
terak (clinker) dari umpan kiln, dan karena itu bersifat menggumpal dan
berat jenisnya paling tinggi dari bahan baku yang ada.
2. Bahan Baku Koreksi pada saat akhir pencampuran produksi.
a. Batu Gips (CaSO4.2H2O)
Batu Gips (Gypsum) digunakan sebagai bahan campuran pada terak sebagai
penghambat reaksi (cement retarder) untuk selanjutnya digiling pada finish
mill.
b. Trass (SiO2, Al2O3, Fe2O3, H2O, CaO, MgO)
Trass merupakan hasil pelapukan endapan vulkanik sebagian besar
mengandung silica, besi dan alumina dengan ikatan gugus oksida. Sifat dari
Trass meliputi warna : putih kemerahan, kecoklatan, kehitaman, kelabu,
kekuning-kuningan, coklat tua, coklat muda, abu-abu. Dalam keadaan
sendiri tidak mempunyai sifat mengeras, bila ditambah kapur tohor dan air
akan memiliki masa seperti semen dan tidak larut dalam air. Hal ini
disebabkan karena senyawa silica aktif dan senyawa alumina reaktif dengan
reaksi :
2Al2O3 2SiO2 + 7Ca(OH)2 ---> 3CaO2SiO2H2O + 2(2CaOAl2O3SiO2
2H2O)
25. Mengerasnya semen pozzoland lebih lambat dari Portland meskipun
kekuatannya bertambah terus Trass tahan terhadap agregat alkalin, nilai
penyusutan dan pemuaian kecil, kelulusan air kecil (kedap air), tahan
terhadap asam tanah maupun air laut, sifat lentur tidak mudah retak.
3.2 Permesinan
Terdapat 3 bagian unit kerja yang mempunyai masing-masing mesin pekerja
diantaranya Crusher, RKC (Raw Mill, Kiln, Coal Mill) dan Finish Mill. Pembahasan
masing-masing mesin kerja sebagai berikut:
3.2.1 LIMESTONE DAN CLAY CRUSHING / CRUSHER
Berdasarkan prinsip kerja dari crusher, maka peralatan crushing material secara
umum dapat dibagi menjadi 2 (dua) type yaitu :
1. Compression Type Crusher
Compression Type Crusher seperti Jaw Crusher dan Gyratory Crusher, dan
Roller Crusher. Jaw Crusher dan Gyratory Crusher biasanya digunakan untuk
meng-crushing material yang keras dan abrasive. Dan karena keterbasan
reduction ratio sekitar 3:1 sampai 7:1, maka biasanya digunakan multiple stage
crushing. Sedangkan Roller/Crusher dipakai untuk raw material yang kadar
airnya tinggi dan lengket. Untuk mendapatkan ratio sekitar 5:1 pada umumnya
menggunakan 2 stage crushing.
26. Gambar 3.1 Jaw crusher dan jenis-jenis liner dari jaw crusher
2. Impact type Crusher
Impact Type Crusher, disebut juga Fast Running Type Crusher, seperti
Hammer Crusher dan Impact Crusher. Type Crusher ini sangat mudah dan
sederhana bila dibandingkan dengan kemampuan dan kapasitasnya. Reduction
Ratio untuk alat ini sampai dengan 50 : 1.
Gambar 3.2 Double rotor hammer crusher.
27. (a) (b)
Gambar 3.3 Gambar impact crusher. Gambar (a) single impeller
impact crusher dan gambar (b) compound impact
crusher dengan primary dan secondary impeller.
Circumferential speed untuk Hammer Crusher sekitar 30-40 m/detik,
sedangkan untuk Impact Crusher sekitar 30-50 m/detik. Penentuan kriteria
abrasivines dan stickness (kelengkatan) raw material berdasarkan pada :
Untuk abrasivines dinyatakan oleh adanya kandungan silika bebas dalam
raw material.
Sedangkan derajat stickness raw material berdasarkan pada kandungan air
dan komposisi mineraloginya.
3.2.2 RAW MILL (PENGGILINGAN MATERIAL)
Untuk penggilingan Raw Material di pabrik Tuban digunakan Vertical Roller
Mill dengan tipe Fuller Loesche Mill Size LM-59.42, yang mempunyai Grinding
Table dengan diameter 5,9 m, dan empat buah Grinding Roller (lihat Gb-2.21).
Kapasitas terpasang dari Roller Mill adalah 600 MTPH. Raw Mill System untuk
28. Fuller Loesche Mill tipe LM-59.42, dilengkapi dengan tiga buah Mill Fan system
sehingga bisa disebut sebagai Air Swept Vertical Roller Mill. Raw material yang akan
digiling di dalam Mill mempunyai kadar air 16% dengan ukuran material kurang dari
108 mm.
Komposisi dari Raw Material adalah sebagai berikut :
Clay/Limestone Mix : 84.46 % atau 507 MT.
Corrective Limestone : 13.51 % atau 81.10 MT.
Silica Sand : 1.59 % atau 9.54 MT.
Iron Sand : 0.44 % atau 2.64 MT.
30. 3.2.3 KILN FEED (PEMBAKARAN MATERIAL)
Tepung baku produk dari Roller Mill dimasukkan ke dalam dua Blending Silo
412.BH1 dan 412.BI2, yang masing-masing berkapasitas 20.000 MT. Tipe Blending
Silo adalah Continous Flow-Silo desain dari FLS, pemasukan tepung baku ke masing-
masing Silo diatur secara bergantian dengan Timer setiap 36 menit. Tepung baku
produk dari Roller Mill dimasukkan ke dalam setiap Blending Silo melalui lubang
pemasukan yang diletakkan di pusat dari puncak masing-masing Silo. CF-Silo
berfungsi sebagai Mixing Chamber dan Storage Silo yang beroperasi secara Continue
Flow Silo, artinya pengisian ke dalam Silo bersamaan dengan pengeluaran material
dari dalam Silo.
Gambar 3.4 Homogenezing Chamber Silo dengan Feeding
Arrangement Preheater Kiln
31. Prinsip dari proses pencampuran material berdasarkan atas perbedaan Layer
Material yang bercampur sewaktu material tersebut dikeluarkan dari dalam Silo. Jadi
proses Blending akan berjalan dengan baik bila terbentuk sebanyak mungkin Layer
Material di dalam Silo dengan komposisi yang berbeda. Terbentuknya Layer di
dalam Silo akibat adanya pengumpanan ke dalam kedua Silo lewat Air Slide Feed
System yang bergantian, dengan ketebalan Layer maksimal satu meter. Layer-Layer
Material yang terbentuk di dalam Silo akan bergabung dan tercampur sewaktu proses
pengeluaran.
Dasar dari Silo dibagi dalam 7 sektor heksagonal yang identik dan masing-
masing dibagi lagi menjadi 6 segmen yang berbentuk segitiga, sehingga di Bottom
atau dasar Silo terdiri dari 42 segmen. Pada semua segmen ditutup dengan Aeration
Box yang masing-masing tidak tergantung pada yang lainnya artinya masing-masing
Aeration Box berdiri sendiri. Supply udara untuk Aerasi atau Fluidizing pada tiga
segmen Aeration Box dilakukan secara serempak oleh Rotary Blower yang terpisah
atau berbeda. Atau dengan kata lain setiap segmen mendapat Aerasi dari satu Blower
dan Aerasi yang terjadi pada ketiga segmen berjalan serempak atau bersamaan
waktunya. Jadi kebutuhan Aerasi untuk kedua Silo dilayani oleh 6 buah Rotary
Blower 412.BL1 hingga 412.BL6. Di pusat masing-masing sektor terdapat lubang
pengeluaran dan di atasnya dipasang Cone yang terbuat dari baja. Tujuan
pemasangan Cone adalah untuk me-release Pressure yang ada di atas lubang
pengeluaran agar pengeluaran tepung baku dari bagian yang diaerasi di daerah
Bottom Silo terjamin kelancarannya. Prinsip kerja dari Homogenizing CF.Silo adalah
berdasarkan pada efek pengeluaran Raw Meal (tepung baku) pada beberapa tempat
32. pengeluaran yang terdapat di dalam dasar Silo dengan rate yang berbeda. Untuk
memperoleh hasil pencampuran yang terbaik, perlu menjaga isi dari setiap Silo
sedikitnya separuh dari kapasitas Silo atau 10.000 ton, sebab bila isi Silo kurang dari
setengahnya, akan mengakibatkan proses pencampuran material menjadi tidak baik.
3.2.3.1 Suspension Preheater
Tipe dari Suspension Preheater yang digunakan di PT. Semen Gresik Tuban
adalah tipe Double String. Dimana setiap String pada Double String Preheater, terdiri
dari empat Stage, masing-masing Cyclone dipasang secara seri satu di atas yang lain.
Pada Cyclone paling atas atau Stage pertama terdapat dua Cyclone (Double Cyclone)
yang dipasang secara pararel, penomoran Stage pada Cyclone dimulai dari atas ke
bawah. Tujuan memasang Double Cyclone pada Stage pertama adalah untuk
meningkatkan efisiensi pemisahan antara gas panas dan material di dalam Preheater.
Stage pertama sampai ketiga berfungsi sebagai pemanas awal umpan Kiln, sedangkan
Stage keempat dipakai sebagai pemisah produk keluar dari Flash Calciner yang telah
ter-calcinasi.
33. Gambar 3.5 Preheater ILC Kiln
Gambar 3.6 Preheater SLC Kiln
Perpindahan panas di dalam Cyclone, terbesar terjadi di dalam Riser Duct
masing-masing Cyclone. Hal ini terjadi terutama karena beda suhu antara gas dan
umpan Kiln masih cukup besar. Proses perpindahan panas antara gas panas dan
34. material dingin berjalan secara Cocurrent atau searah. Pada Down Pipe masing-
masing Cyclone dipasang Tipping Valve, sehingga ada sedikit material untuk
melindungi agar tidak terjadi aliran gas lewat Down Pipe. Dinding bagian dalam
Cyclone dan Calciner dilapisi oleh Refractory Brick dan Castable yang merupakan
bahan atau material yang tahan terhadap panas dan aus.
3.2.3.2 Flash Calciner
Umpan Kiln yang telah mengalami pemanasan awal di dalam Cyclone Stage
satu sampai tiga dimasukkan ke dalam Calciner lewat Down Pipe Cyclone Stage tiga.
ILC dan SLC Calciner dilengkapi Second Burner sehingga Calciner berfungsi
sebagai Furnace. Umpan Kiln yang sebagian besar terdiri dari Limestone (Calcium
Carbonat), akan mengalami penguraian menjadi Calcium Oxyde dan Carbon
Dioxyde.
Reaksinya sebagai berikut :
CaCO3 ------------> CaO + O2.
Kebutuhan bahan bakar batu bara pada kondisi operasi yang optimal untuk ILC
Calciner adalah 3.8 ton/jam dengan Heat Consumption 24.3 x 10 kCal/jam,
sedangkan untuk SLC Calciner adalah 16.8 ton/jam dengan Heat Consumption 108.0
x 10 kCal/jam. Temperatur operasi Furnace di dalam masing-masing Calciner diatur
dan dijaga agar Rate Calcinasi minimal dapat mencapai 90%.
35. Gambar 3.7 Kiln
Exhaust Gas Kiln masuk ke dalam ILC Calciner secara Axial pada daerah
Bottom Cone dan meninggalkan Calciner lewat atas Calciner dari arah samping
menuju Cyclone ILC Stage-IV. Sedangkan untuk meningkatkan proses pencampuran
bahan bakar, umpan Kiln dan gas panas di dalam ILC Calciner, pemasukan udara
Tertiary pada Bottom Cone Calciner dibuat secara tangensial. Dengan masuknya
udara Tertiary secara tangensial maka akan menghasilkan Swirel Effect atau efek
putaran yang cukup di dalam Calciner, sehingga menaikkan Ratention Time partikel
di dalam Calciner. Udara Tertiary masuk ke dalam SLC Calciner dari Tertiary Air
Duct lewat Central Inlet Bottom Cone, dan Exhaust Gas Calciner meninggalkan
Calciner lewat Outlet Cone pada bagian atas Calciner. Posisi Damper Tertiary Air
Duct diatur sesuai dengan kebutuhan udara pembakar, untuk membakar bahan bakar
di dalam kedua Calciner agar tercapai pembakaran yang sempurna.
3.2.3.3 Rotary Kiln
36. Rotary Kiln merupakan silinder baja dengan diameter 5,6 m dan Panjangnya 84
m, dan ditumpu oleh tiga buah Tire. Setiap Tire ditumpu oleh sepasang Carrying
Roller. Sudut kemiringan Rotary Kiln adalah 4%, dan bagian dalam Rotary Kiln
dilapisi batu tahan api. Umpan Kiln dari Cyclone Stage empat SLC yang telah
mengalami Calcinasi di dalam Preheater masuk ke dalam Kiln pada Inlet Kiln.
Material tersebut di dalam Kiln akan mengalami empat tahapan proses atau seolah-
olah di dalam Kiln dibagi dalam empat zona tahapan proses yaitu :
Calcina Zone (900 – 1000 C), material yang belum ter-calcinasi di dalam
Preheater akan mengalami Calcinasi lebih lanjut di dalam Calcining Zone.
Transition Zone (1000 – 1200 C), material mulai berubah fasa dari fasa
padat ke fasa cair.
Sintering Zone (1200 – 1350 C), pada daerah ini material akan meleleh
(Sintering) membentuk mineral Clinker sebagai produk Kiln. Sintering Zone
sering disebut juga sebagai Burning Zone.
Cooling Zone, material akan mengalami pendinginan awal sebelum masuk ke Cooler.
Gambar 3.8 Rotary Kiln
37. Kebutuhan bahan bakar atau panas untuk reaksi pembentukan terak di dalam
Kiln adalah sekitar 40% dari total bahan bakar seluruhnya dan sisanya yang 60 %
digunakan di Preheater. Agar diperoleh kualitas Clinker yang baik, maka bentuk api
dan temperatur reaksi di daerah Sintering Zone dijaga sekitar 1400o - 1500o C. Untuk
mendapatkan Loading Factor yang sesuai dan tepat dengan umpan rata-rata, maka
kecepatan putaran Kiln harus disesuaikan.
3.2.3.4 Clinker Cooler
Clinker panas yang keluar dari Kiln dengan temperatur sekitar 1400oC turun ke
Cooler, dan didinginkan di dalam Reciprocating Grate Cooler yang terdiri dari 9
Compartment. Sebagai media pendingin diambil dari udara luar yang dihembuskan
ke dalam Undergrate Cooler atau Compartment oleh 14 buah Cooling Fan. Clinker
hasil pendinginan keluar dari Cooler dengan temperatur 82oC. Clinker yang
berukuran besar sebelum keluar dari Cooler dihancurkan dahulu oleh Clinker
Breaker.
3.2.3.5 Control dari Pyroprocessing System
Sistem kontrol pada Pyroprocessing merupakan gabungan antara pengontrolan
secara automatis dan manual. Untuk menaikkan dan menurunkan umpan rat-rata Kiln
diatur (di-set) oleh operator, dan secara automatis Feed Kiln akan berubah naik atau
turun sesuai dengan ratio dari Feed dengan Feed Kiln. Atau dengan kata lain
penambahan Kiln Feed akan sinkron dengan kenaikan Feed Kiln agar Kiln Loading
terjaga konstan. Penambahan atau pengurangan kecepatan putaran SP.Fan dikontrol
38. secara manual agar kandungan oksigen dalam sistem terjaga sesuai dengan target
yaitu sekitar 2,5 - 3 %.
3.2.4 COAL MILL / COAL STORAGE DAN GRINDING
Coal Grinding yang digunakan merupakan type RollerMill, size LM26.30D
atau Air Swept Vertical Roller Mill, yang didesain mampu menghasilkan produk batu
bara halus 55 MT/jam, dengan kehalusan 80% lolos ayakan 90 mikron. Kapasitas
Coal Mill sangat dipengaruhi oleh kualitas Raw Coal yang terdiri dari kadar air dan
kekerasan (HGI). Material masuk mill dengan kadar air maksimal sampai 15%, dan
sumber panas yang digunakan selama proses pengeringan dan penggilingan berasal
dari exit gas Preheater.
3.2.5 FINISH GRINDING (PENGGILINGAN AKHIR)
Clinker Grinding System terdiri dari dari dua buah Finish Mill dengan system
Closed Circuit yang dilengkapi Roller Press dan didesain mampu menghasilkan
produk semen type-1 sebanyak 2 x 215 MT/jam. Dan bila mill beroperasi tanpa Roller
Press maka kapasitas masing-masing mill sekitar 130 T/jam. Clinker Grinding
Desain Traylor Shell Supported Rotary Grinding ini mempunyai ukuran diamater 4,8
meter dan panjang 13 m, kebutuhan power untuk setiap Drive Motor adalah 4900
Kw.
39. Gambar 3.9 Roller Press
3.3 Tenaga Kerja
Dalam pembagian jam kerja karyawan, PT. Semen Gresik dalam
pengoperasiannya dibagi dua, yaitu; karyawan shift dan karyawan Non shift.
Pengangkatan karyawan di PT. Semen Gresik tingkat dan jabatannya disesuaikan
dengan pendidikan yang dimiliki. Sebagian besar karyawan yang diperkerjakan
sebagai pelaksana berijazah STM dan sederajatnya, karyawan tersebut jam kerjanya
dikenakan jadwal shift. Sedangkan karyawan yang Non shift mempunyai jabatan di
atas kepala regu dengan jam kerja 5 hari kerja. Pembagiannya, yaitu ;
1. Karyawan Non shift
Dengan jam kerja : 07.30 – 16.30 WIB
2. Karyawan yang terkena shift
Dengan pembagian jam kerja sebagai berikut :
Pagi : 07.30 – 15.30 WIB
40. Siang : 15.30 – 23.30 WIB
Malam : 23.30 – 07.30 WIB
3.4 Proses Produksi
Proses pembuatan semen di PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. terdapat 5
tahapan pembuatan (operation process chart lihat di lampiran 2), yaitu:
a. Tahap Penyiapan Bahan Baku
b. Tahap Penggilingan Bahan Baku
c. Tahap Pembakaran
d. Tahap Penggilingan Akhir
e. Tahap Pengemasan
3.4.1 Tahap Penyiapan Bahan Baku
Bahan baku semen terdiri dari empat komponen yaitu: batu kapur 80%, tanah
liat 15%, pasir silika 4% dan pasir besi 1%. Sebagai sumber utama bahan baku semen
tersebut, yang terdiri dari batu kapur dan tanah liat yang berasal dari tambang di
sekitar pabrik.
Proses Alur Material di Limestone dan Clay Crushing
Limestone dibawa dari quarry oleh Dump truck dan diumpankan ke dalam
Hopper Crusher 232.HPI dan 232.HP2, yang masing-masing kapasitasnya 75 MT. Di
dalam Crusher 232.CRT dan 232.CR2, limestone akan mengalami size reduction. Di
mana limestone yang berupa bongkahan-bongkahan besar dengan ukuran 1200 x
1200 mm, akan dihancurkan menjadi produk crusher yang berukuran 95% minus 108
mm, sedangkan sisanya berupa material halus, 90 mm akan jatuh lewat Wobber
Feeder. Produk dan kedua Crusher yang jatuh ke Belt Conveyor 242.BC1 dan
41. 242.BC2, akan bercampur dalam Belt Conveyor 242.BC3, dan dimasukkan ke dalam
Surge Bin 242.FB1 yang kemudian dikeluarkan melalui Apron Feeder 242.AC1 turun
ke Belt Conveyor 242.BC4, dan ditimbang oleh Belt Scale Schenk Weighing System
242.BW1. Clay dibawa dari quarry oleh Dump Truck diumpankan ke dalam Clay
Hopper 252.HP1 dan dipotong-potong oleh Clay Crusher 252.CR1. Produk Clay
ditimbang di Belt Conveyor 252.BC1 oleh Belt Scale 252.BW1.
(a) (b)
Gambar 3.10 Proses size reduction yang dilakukan oleh impact crusher.
Gambar (a) Double impeller impact crusher dan (b) single
impeller crusher
Produk Limestone Crusher dicampur dengan produk Clay Crusher yang telah
tertimbang Belt Scale 252.BW1, dibawa ke Limestone Clay Mix Storage melalui Belt
Conveyor 242.BC3, 242.BC4, 242.BC5, 242.BC6. Campuran Limestone dan Clay
dari Belt Conveyor 242.BC6 masuk ke dalam Roller Press 242.CR1 dan turun ke
Belt Conveyor 242.BC7, 242.BC8, 242.BC9 dan Tripper 242.TR1 untuk disimpan di
dalam Limestone Mix Storage yang kapasitasnya 100.000 MT.
Limestone dan Clay produk dari Crusher dibawa Belt Conveyor untuk disimpan
di dalam Limestone / Clay Mix Storage dengan metode Chevron, cara ini merupakan
42. metode yang paling umum digunakan pada Stock Pailing tipe Longitudinal
Preblending Bed. Dimana material ditimbun secara selapis demi selapis ke atas
sehingga membentuk prisma segitiga. Panjang total tumpukan sama dengan panjang
Preblending Bed.
Peralatan untuk Stacking (penumpukan) pada tipe Preblending Bed,
menggunakan Tripper yang dipasang pada atap dari bangunan Storage. Luas
bangunan dari Storage adalah 48,8 x 354 m, yang kapasitasnya 100.000 MT, dibagi
menjadi dua Stock Pile yang masing-masing 50.000 MT Limestone / Clay Mix
dilengkapi dengan Reclaimer tipe Bridge Scrapper dengan Harrow. Jarak antara rel
yang satu dengan yang lainnya untuk Bridge Reclaimer adalah 39 m.
Gambar 3.11 Blending bed reclaiming dengan bucket.
Produk Limestone Crusher yang telah tertimbang dapat pula dibawa ke
Limestone Conical Pile Storage yang berkapasitas 7.200 MT, yang berupa High
Grade Limestone berfungsi sebagai Limestone koreksi.
43. Pada awalnya Limestone dan Clay Crusher diatur untuk menghasilkan
campuran antara Limestone dan Clay dengan perbandingan 4 : 1. Perbandingan ini
disesuaikan dengan standar yang telah ditentukan untuk memperoleh campuran yang
sesuai dengan standar umpan Kiln.
3.4.2 Tahap Penggilingan bahan baku
Setelah selesai tahap penyiapan bahan baku kemudian masuk pada tahap
penggilingan bahan baku. Prosesnya meliputi:
Proses Alur Raw Mill
Limestone / clay mix, Silica sand, dan Iron sand keluar dari masing-masing Bin
sebelum masuk ke dalam Belt Conveyor 332.BC1 ditimbang dahulu oleh Mix
WeighFeeder 332.WF1, Silica WeighFeeder 332.WF4, Iron Sand WeighFeeder
332.WF3 sesuai dengan proporsi komposisi standar umpan Kiln yang disyaratkan.
Kebutuhan High Grade Limestone sebagai material koreksi juga ditimbang dengan
WeighFeeder 332.WF2. Keempat material tersebut dengan total rate 600 MT/jam,
kadar air 16% selanjutnya diumpankan ke Roller Mill melalui Belt Conveyor
332.BC1, 332.BC2, dan Triple Gate 342.TG1.
Kebutuhan udara panas pada Raw Mill System untuk pengeringan selama
penggilingan Raw Material, digunakan sisa udara panas dari Preheater dan Clinker
Cooler. Selain itu Raw Mill system dilengkapi pula dengan Air Heater 342.AH1, bila
panas dari Preheater dan Clinker Cooler tidak mencukupi atau bila kondisi Kiln tidak
jalan. Produk yang keluar dari Roller Mill adalah dengan kehalusan 90% lolos ayakan
90 micron dan kadar air kurang dari 1%.
44. Produk raw Mill kemudian dibawa oleh aliran udara panas ke dalam 4-FLS
6300 Cyclones 342.CN1 sampai dengan 342.CN4 akibat tarikan Mill Fan 342.FN4
dan 342.FN5, dimana 93% dari material akan terpisahkan dari aliran udara. Gas yang
keluar dari Cyclone lewat melalui kedua Mill Fan 342.FN4 dan 342.FN5, kemudian
dilepaskan ke Stack 342.SK1 melalui Electrostatic Precipitator 342.EP1. Sisa produk
yang masih ada di dalam gas panas tersebut diambil oleh EP. sedangkan gas yang
telah bersih terus ke EP.Fan 342.FN6 dan dibuang ke udara bebas lewat Stack
342.SK1. Kedua produk dari Cyclone dan EP dibawa oleh Air Slide, Screw Conveyor,
dan Bucket Elevator ke Blending Silo. Produk dari Roller Mill sebelum disimpan ke
dalam Blending Silo diambil dulu sample-nya melalui alat Sampler 352.SM1, yang
terdapat pada Air Slide 352.AS1 dan dibawa ke Laboratorium untuk dianalisa oleh
Sample Transport 342.ST1.
Reject dari Raw Mill sekitar 143 MT/jam, dikembalikan lagi ke dalam sistem
lewat Belt Conveyor 342.BC5 & 342.BC1 dan Belt Conveyor 342.BC6 dan 342.BC2,
masuk ke Belt Conveyor 342.BC3, Bucket Elevator 342.BE1 dan bersama-sama
Fresh Feed masuk ke Belt Conveyor 342.BC4.
Bila Roller Mill tidak beroperasi, gas panas dari Preheater dan Clinker Cooler
dikeluarkan lewat Conditioning Tower. Untuk menurunkan temperatur gas panas
tersebut, maka Conditioning Tower dilengkapi dengan Spray Water. Normal
temperatur gas panas yang keluar Preheater dan Clinker Cooler adalah 329oC dan
410oC. Normal temperatur gas panas yang masuk ke Electrostatic Precipitator pada
kondisi Mill jalan 90oC dan Raw Mill Down 150oC, sedangkan batas minimal dan
45. maksimal temperatur gas masuk Electrostatic Precipitator adalah 85oC dan 350oC.
Selama Raw Mill Down, debu dari Conditioning Tower dan Electrostatic Precipitator
di-transport ke Blending Silo 412.BS1 atau 412.BS2 melalui 352.BE2, 352.AS9, dan
352.BE1.
3.4.3 Tahap Pembakaran
Material yang keluar dari Silo merupakan umpan Kiln, dikirim ke Kiln Feed
Bin 422.BI1 yang letaknya di bawah Silo. Kapasitasnya masing-masing Kiln Feed
Bin minimal sesuai dengan kebutuhan Kiln selama 12 menit atau sebesar 83,4 ton.
Kiln Feed Bin dilengkapi dengan Load Cell untuk memelihara level material di
dalamnya, dan dilengkapi pula dengan Aeration Blower. Material yang keluar dari
kedua Silo menuju masing-masing Kiln Feed Bin melalui Air Slide 412.AS1 dan
412.AS2, masuk ke dalam Junction Box 412.JB1 dan 412.JB2.
Dari Feed Bin 422.BI1 dan 422.BI2 umpan Kiln dibawa melalui Air Slide
422.AS1 atau 422.AS2 dan 422.AS3 atau 422.AS4 ke Air Slide 422.AS5 atau
422.AS6 menuju Bucket Elevator 422.BE1 atau 422.BE2. Dari Bucket 422.BE1 atau
422.BE2 material dibawa oleh Air Slide 422.ASA atau 422.ASB menuju Air Slide
422.AS7. Pada Air Slide 422.AS7 umpan Kiln dibagi dua menuju ILC dan SLC oleh
Splitter Gate 422.SP1. Material yang masuk ke ILC sebelumnya ditimbang oleh Flow
Meter 422.FM1, dan hasil timbangan 422.FM1 akan mengatur bukaan dari 422.SP1.
Pada Kiln Feeding System ini dilengkapi dengan sarana untuk recycle umpan
Kiln selama Kiln dalam periode Heating-up, yang bertujuan untuk mempersiapkan
umpan Kiln sebelum Feeding. Umpan Kiln dapat di-recycle melalui salah satu Bucket
46. Elevator 422.BE1 dan 422.BE2 menuju Blending Silo 422.BI1 atau 422.BI2 lewat
Air Slide 422.AS9 dan 422.ASC atau 422.ASD. Bucket Elevator 422.BI1 dapat pula
digunakan untuk men-transfer Dust dari EP Mill menuju Silo sewaktu Roller Mill
Down.
3.4.4 Tahap Penggilingan akhir
Clinker, Trass dan Gypsum keluar dari masing-masing bin ditimbang dulu
dengan Weighfeeder 543.WF3, 543.WF2 dan 543.WF1, kemudian dibawa ke Surge
Bin 543.BI1 oleh Belt Conveyor 543.BC1. Bucket Elev. 543.BE1, dan Belt Conv.
543.BC2. Proporsi dari clinker dan gypsum bila tanpa trass adalah sebagai berikut:
Rate dari clinker : 204 T/jam
Rate dari gypsum : 10,7 T/jam
Material dari Surge Bin 543.BI1 diumpankan ke Roll Crusher 543.CR1 untuk
dihancurkan kemudian dibawa Belt Conveyor 543.BC3 dan diumpankan ke dalam
Finish Mill 543.BM1. Sebagai material yang dihancurkan disirkulasi dengan Belt
Conveyor 543.BC4, dicampur dengan umpan baru dari Bucket Elev.543.BE1 masuk
ke dalam Surge Bin 543.BI1. Apabila Roller Crusher 543.CR1 rusak, material dari
Belt Conv.543.BC2 bisa diumpankan langsung ke Finish Mill dengan membuka Two
Way Gate 543.GA1.
Belt Conveyor 543.BC2 dilengkapi dengan Magnetic Separator 543.MS1 dan
Metal Detector 543.MD1 untuk mengambil material asing atau metal yang ikut
tarbawa. Pada Surge Bin 543.BI1 dilengkapi dengan alat penimbang Load Cell dan
kapasitas bin 40 MT. Material yang berupa campuran clinker dan gypsum masuk
47. hydrailic Roller Crusher dengan rate 506T/jam, yang diumpankan ke dalam Finish
Mill sebanyak 52215 T/jam, sedangkan sisanya yang 219 T/jam disirkulasi ke Surge
Bin. Produk dari Finish Mill 543.BM1 dikirim ke O-Sepa Separator 543.SR1 melalui
Air Slide 543.AS1, Bucket Elev. 543.BE2 dan Air Slide 543.AS2 untuk dipisahkan
antara partikel yang halus dan kasar. Partikel yang kasar keluar dari bottom O-Sepa
Separator dibawa oleh Air Slide 543.AS3, diumpankan kembali ke dalam Finish Mill
untuk digiling ulang bersama-sama umpan baru. Material yang halus dibawa oleh
aliran udara ke dalam Cyclone
543.CN1 dan Fuller Plenum Dust Collector 543.BF3,di sini partikel yang halus
dipisahkan dari udaranya. Produk dari cyclone 543.CN1 dicampur dengan produk
dari Dust Collector 543.BF3 yang merupakan semen diumpankan ke Air Slide
543.AS5. Dari Air Slide 543.AS5, 543.AS8, diumpankan ke dalam Bucket Elev.
543.BE1, atau Air Slide 543.AS5 , 543.AS6, dan 543.AS7 dimasukkan ke dalam
Bucket Elev. 543.BE2. Dari Bucket Elev. 543.BE1 dimasukan ke dalam Cement Silo
# 3 dan # 4, melalui Air Slide 562.AS1 atau ke Cement Silo # 1 & # 2 melalui Air
Slide 562.AS2. Pengisian ke masing-masing ke Cement Silo dapat diatur melalui
Diverter Valve 562.DV1 sampai 562.DV6.
Material di dalam Finish Mill dapat mengalir, akibat adanya tarikan Dust
Collector Fan 543.FNC. Untuk memperoleh kehalusan produk semen dapat
dillakukan dengan mengatur speed dari separator, dan mengatur volume udara di
dalam separator melalui Separator Fan 543.FN7. Kehalusan produk Finish Mill yang
dipersyaratkan berdasarkan disain adalah 3.200 bline, tetapi plant standart untuk PT
Semen Gresik (Persero) adalah 3.000 bline.
48. Temperatur produk semen yang keluar Finish Mill dapat dikontrol melalui Mill
Fanting System dan untuk yang berada di dalam Finis Mill bisa dilakukan melalui
Water Spraying System 543.WS1. Mill Fan Sistem dan Water Spray System
mengontrol temperatur produk yang keluar Mill agar dijaga tidak boleh lebih dari
107oC. Selanjutnya pendinginan dilakukan selama pemisahan di dalam O-Sepa
Separator sehingga temperatur produk akhir semen type-1 berkurang menjadi 96oC.
Untuk Finish Grinding System prosesnya sama dengan Finish Grinding.
3.4.5 Tahap Pengemasan
Tahap pengantongan semen dimulai dari silo penyimpanan semen, yaitu 1, 2, 3,
dan 4 dimana masing–masing silo ini berkapasitas 18.000 ton. Alur proses semen dari
keempat silo ini dibagi menjadi dua jalur, yaitu jalur pertama untuk material yang
keluar dari silo 1 & 2, dan jalur kedua untuk material yang keluar
Dari silo 3 dan 4. Material yang keluar dari silo–silo ini diatur oleh pengendali
aliran pada masing–masing silo dengan masa pergantian pengendali adalah 8–12
menit.
Dari silo material di hembuskan udara untuk dibawa dengan air slide menuju
dari dua bucket elevator berkapasitas 500 ton/jam. Dari bucket elevator di lewatkan
pengayak getar untuk memisahkan semen dengan material asing. Setelah diayak,
semen dibawa ke bin pusat yang berjumlah dua buah dan proses akan dilakukan ke
dua bin ini akan dilakukan bergantian. Aliran semen setelah melewati bin pusat akan
terbagi menjadi dua, yaitu aliran untuk semen curah (semen yang langsung
49. dimasukkan kedalam mobil, biasanya untuk proyek besar) dan semen yang akan
dijual dalam bentuk kantong.
Aliran semen curah dilanjutkan ke air slide 1 dan 2 kemudian ke bin semen
curah, kemudian ke truk khusus yang akan membawa semen kepada konsumen.
Sedangkan aliran semen kantong setelah melewati bin Pusat, semen akan dibawa
dengan air slide untuk diteruskan ke rotary feeder dan akhirnya ke rato packer. Pada
alat ini terdapat spot tube yaitu semacam suntikan untuk memasukkan semen kedalam
kantong. Pemasukan semen ke dalam kantong ini telah diatur dengan rentang berat 49
,75 kg atau dengan 50,75 kg. Jika berat semen kurang dari 49,25 maka semen yang
sudah dalam kantong tersebut terpantau dengan penimbang dan semen tersebut akan
dikeluarkan melalui bagian reject. Semen yang tidak lolos ini akan dibawa ke ayak,
kemudian dibawa ke screw conveyor untuk dikembalikan ke bucket elevator. Semen
yang lolos uji akan dibawa ke belt conveyor, kemudian ke truk dan siap di
distribusikan kepada konsumen.
3.5 Metode Kerja
Dalam sistem produksi di PT Semen Gresik (Persero) Tbk. memerlukan kerja
sama antar bidang yaitu seksi Pemasaran yang bertugas menerima order dari
customer kemudian menginformasikan ke seksi Perencanaan dan Pengendalian
Bahan Baku, di bagian ini dilakukan perencanaan kebutuhan bahan baku untuk
diinformasikan ke bagian seksi Produksi agar memproduksi sesuai dengan jadwal
dan kebutuhan yang telah ditetapkan oleh seksi perancangan dan pengendalian bahan
baku. Seksi Pengadaan Bahan Baku melakukan pembelian kebutuhan bahan baku
50. dan spare part sesuai dengan instruksi dari bagian seksi perancangan dan
pengendalian bahan baku. Bahan Baku datang dan diterima oleh seksi penerimaan
bahan baku. Seksi Produksi melakukan pemesanan bahan baku ke Bagian
Pergudangan (Warehouse Raw Material). Dalam keseluruhan proses produksi
dilakukan pengendalian kualitas oleh seksi Jaminan Mutu. Produk yang sudah jadi
disimpan dalam Silo Penyimpanan semen jadi dan siap dikirim ke Customer bentuk
kantong, jumbo bag ataupun berbentuk curah.
Bahan baku yang digunakan oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. sebagian
besar adalah dari bahan tambang sendiri, yaitu sekitar 95% meliputi batu kapur 80%,
tanah liat 15%. Ini dikarenakan bahan baku dari lokal dapat mencukupi kebutuhan
bahan baku yang diperlukan perusahaan.
Pengiriman barang ke konsumen dilakukan oleh seksi ekspedisi yang sudah
bukan merupakan tanggung jawab PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. Maka dari itu,
sebelum barang dikirim, dilakukan pengecekan oleh bagian seksi Jaminan Mutu
dari PT. Semen Gresik (Persero) Tbk dan pihak ekspedisi untuk memastikan bahwa
barang dari PT. Semen Gresik (Persero) Tbk sudah terjamin kualitasnya.
3.6 Produk
PT. SEMEN GRESIK (Persero) Tbk. memproduksi dua jenis semen dengan
kegunaan yang berbeda-beda. Diantaranya adalah:
1. OPC (Ordinary Portland Cement)
Semen berjenis OPC dibuat dari campuran Terak (Hasil dari pencampuran batu
kapur, tanah liat, pasir silica dan pasir besi yang sudah dalam tahap
51. pembakaran) dan Gypsum. Kegunaan semen OPC untuk membangun bangunan
pada umumnya, Seperti : gedung perkantoran, perumahan, dll.
2. PPC (Pozzoland Portland Cement)
Semen berjenis PPC dibuat dari campuran Terak (Hasil dari pencampuran batu
kapur, tanah liat, pasir silica dan pasir besi yang sudah dalam tahap
pembakaran), Gypsum dan Trass. Kegunaan semen PPC untuk membangun
bangunan yang mampu menahan tingkat ke asaman,basa dan garam yang
tinggi, seperti: Dermaga, Bendungan, Jembatan, Jalan raya.
3.7 Pola Aliran Bahan untuk Proses Produksi
Pola aliran bahan proses produksi semen di PT Semen Gresik (Persero) Tbk.
ditunjukkan seperti gambar 3.1 berikut ini:
Gambar 3.12 Pola aliran bahan untuk proses produksi
3.8 OPC dan Layout Mesin
Proses operasi produksi semen dan layout mesin di PT. Semen Gresik (Persero)
Tbk. ditunjukan seperti pada lampiran 1 dan 2.
52. BAB IV
TUGAS KHUSUS
4.1 Struktur Organisasi Departemen Kualitas (Quality Control)
Struktur organisasi di dalam divisi quality control (QC) adalah sebagai berikut
ini:
Seksi
Pengendalian Proses
Karu Karu Karu Karu Karu
Pengendalian Pengendalian Preventif Preventif Mix Pile
Tuban 1&2 Tuban 3&4 Tuban 1&2 Tuban 3&4 Tuban 1,2,3,4
Membawahi Membawahi
Pelaksana Pelaksana
Tuban 1&2 Tuban 3&4
4.2 Tugas dan Tanggung Jawab (Job Description)
1. Kepala Regu Pengendalian Tuban 1 dan 2
Bertanggung jawab terhadap :
Melakukan pengontrolan kualitas proses produksi pada mesin Tuban 1&2
Membuat laporan secara rutin tiap hari
Melaksanakan tugas- tugas yang diberikan atasan
Melakukan “action” jika ditemukan penyimpangan
53. Mendokumentasikan sample dan data laporan kerja QC
Melaksanakan tugas- tugas yang diberikan atasan
2. Kepala Regu Pengendalian Tuban 3 dan 4
Bertanggung jawab terhadap :
Melakukan pengontrolan kualitas proses produksi pada mesin Tuban 3&4
Membuat laporan secara rutin tiap hari
Melaksanakan tugas- tugas yang diberikan atasan
Melakukan “action” jika ditemukan penyimpangan atau problem mesin
Mendokumentasikan sample dan data laporan kerja QC
Melaksanakan tugas- tugas yang diberikan atasan
3. Kepala Regu Preventive Tuban 1 dan 2
Bertanggung jawab terhadap :
Melakukan “action” jika ditemukan penyimpangan/ problem pada mesin
Melakukan pengawasan di setiap mesin
Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan
pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan
Menentukan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan sistem
prosedur, hubungan dan tata kerjanya
Menentukan sistem koordinasi, pelaporan dan pemeriksaan
Menetapkan sanksi-sanksi terhadap pekerja yang menyimpang dari
peraturan yang telah ditetapkan
4. Kepala Regu Preventive Tuban 3&4
Bertanggung jawab terhadap :
54. Melakukan “action” jika ditemukan penyimpangan/ problem pada mesin
Melakukan pengawasan di setiap mesin
Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan
pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan
Menentukan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan sistem
prosedur, hubungan dan tata kerjanya
Menentukan sistem koordinasi, pelaporan dan pemeriksaan
Menetapkan sanksi-sanksi terhadap pejabat yang menyimpang dari
peraturan yang telah ditetapkan
5. Kepala Regu Mix Pile Tuban 1, 2, 3 dan 4
Bertanggung jawab terhadap :
Menentukan skala bahan baku yang akan di butuhkan
Menentukan bahan baku yang akan di butuhkan
Menyeleksi bahan baku yang layak untuk proses produk
Mengecek bahan baku mulai dari tambang sampai gudang penyimpanan
sementara
6. Pelaksana Tuban 1 dan 2
Bertanggung jawab terhadap :
Membuat program kerja mingguan dan mengadakan pengarahan kegiatan
harian kepada pekerja
Mengadakan evaluasi dan membuat hasil pelaksanaan kerja dilapangan
Menyiapkan tenaga kerja sesuai dengan program kerja, metode kerja dan
spesifikasi teknik
55. Menerapkan program keselamatan kerja dan kebersihan di lapangan
Mengupayakan efisiensi dan efektifitas pemakaian bahan, tenaga dan alat
lapangan
4.3 Proses Pengontrolan Kualitas Produk
Untuk mengecek kualitas produk yang dihasilkan oleh sebuah mesin maka
diperlukan suatu pengontrolan kualitas produk itu sendiri. Dimana pengontrolan
kualitas tersebut dibagi menjadi 5 macam/ jenis yaitu:
1. Pengontrolan kualitas pada penyediaan bahan baku seperti :
Pemeriksaan Batu kapur
Pemeriksaan Tanah liat
Pemeriksaan Pasir silica
Pemeriksaan Pasir besi
2. Pengontrolan kualitas pada saat penggilingan bahan baku seperti :
Campuran Harus Merata
3. Pengontrolan kualitas pada saat pembakaran seperti:
Suhu Pembakaran
Kualitas Terak
4. Pengontrolan kualitas pada saat penggilingan akhir seperti:
Kehalusan
Kandungan SO3
5. Pengontrolan kualitas pada saat pengemasan seperti:
56. Kualitas Kantong Semen
4.4 Pengawasan Mutu Pada Penyediaan Bahan Baku
Pengawasan/ pengontrolan kualitas pada bahan baku sangat penting, karena
kualitas bahan baku sangat mempengaruhi terhadap hasil suatu produksi, maka
pengontrolan kualitas bahan baku adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Batu Kapur
Hal- hal yang diperiksa adalah :
Pada prinsipnya batu kapur bisa digunakan utnuk pembuatan semen
tergantung kadar kimia di dalamnya. Batu kapur yang baik dalam
penggunaan pembuatan semen memiliki kadar air ± 5%, dan penggunaan
batu kapur dalam pembuatan semen itu sendiri sebanyak ± 81 %.
2. Pemeriksaan Tanah Liat
Hal- hal yang diperiksa adalah :
Untuk pembuatan semen yang diperlukan adalah Al2O3-nya, sehingga
tanah liat dengan kadar Al2O3 yang tinggi sangat baik untuk bahan baku
pembuatan semen. Sedangkan bila kadar SiO2nya melebihi separuh dari
jumlah Al2O3 maka tanah liat itu termasuk jelek. Di alam, tanah liat
biasanya mengandung SiO2 sebesar 46.5 %, sehingga termasuk baik. Tanah
liat harus memiliki kadar air ± 20 %, kadar SiO2 tidak terlalu tinggi ± 46
%, dan penggunaan tanah liat dalam pembuatan semen itu sendiri sebesar ±
9%.
57. 3. Pemeriksaan Pasir Silica
Hal-hal yang diperiksa adalah :
Pasir silika harus memiliki kadar SiO2 minimsl 88% dan ± 90%.
Penggunaan pasir silika dalam pembuatan semen itu sendiri sebesar ± 9%.
4. Pemeriksaan Pasir Besi
Hal-hal yang diperiksa adalah :
Fe2O3 (Ferri Oksida) yang pada umumnya selalu tercampur dengan SiO2
dan TiO2 sebagai impuritiesnya. Karena Fe2O3 berfungsi sebagai
penghantar panas dalam proses pembuatan terak maka kadar yang baik
dalam pembuatan semen yaitu Fe3O2 ± 75%-80%.
Penggunaan pasir besi dalam pembuatan semen itu sendiri sebesar ± 1%.
5. Pemeriksaan Hasil Campuran/ Mix Pile
Hal-hal yang diperiksa adalah :
Kandungan dari Mixpile meliputi cornection ( ≥ 95%), medium Cao (50%-
93%), Low grade (30%-50%), pedel ( ± 30%) dan dolomite < 0,5%.
4.5 Pengawasan Mutu Dalam Penggilingan Bahan Baku Produksi
Pengontrolan mutu pada saat penggilingan bahan baku produksi adalah sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan Kualitas Penggilingan
Hal- hal yang diperiksa adalah :
58. Standart ukuran hasil Pencampuran LSF = 97%, SM= 2,10, AM=1,50
4.6 Proses Pengontrolan Mutu Dalam Proses Pembakaran Bahan Baku
Produksi
Pengawasan/ kontrol kualitas/ mutu pada saat proses pembakaran bahan baku
adalah sebagai berikut:
1. Kualitas Hasil Suhu Pembakaran
Hal- hal yang diperiksa adalah :
Suhu pembakaran pada Kiln Feed bekisar 1350oC – 1400oC agar
menghasilkan terak dengan kadar campuran meliputi LSF = 97%, SM=
2,10, AM=1,50
4.7 Proses Pengontrolan Mutu Dalam Proses Penggilingan Bahan Baku
Produksi
Pengawasan/ kontrol kualitas/ mutu pada saat proses penggilingan akhir bahan
baku sangat penting karena untuk mencegah kecacatan pada produk akhir sehingga
kecacatan tidak menyebar sampai ke tangan konsumen yang bisa merugika
konsumen. Pengontrolan mutu pada saat tahap akhir adalah adalah sebagai berikut:
1. Kualitas Kehalusan
Hal- hal yang diperiksa adalah :
Hasil dari Penggilingan akhir harus merata dan dengan ukuran 90 mikron.
2. Kualitas Kadar Campuran
Hal- hal yang diperiksa adalah:
59. Hasil dari penggilingan mempunyai kandungan SO3 0,10% , Blaine 5,5%
dan Mesh 1,38%
4.8 Proses Pengontrolan Mutu Dalam Proses Penggilingan Bahan Baku
Produksi
Pengawasan/ kontrol kualitas/ mutu pada saat proses pengemasan adalah
sebagai berikut:
1. Kualitas Curah
Hal- hal yang diperiksa adalah :
Keadaan Truk Curah atau Truk pengangkut semen harus dalam keadaan
baik dan tidak mengalami kebocoran.
2. Kualitas Kantong
Karena Kantong Semen membeli dari perusahaan lain dan jenis bahan
kantong merupakan bahan impor, maka keadaan harus baik dan tidak robek
meskipun di banting sebanyak 10 kali.
4.9 Macam- Macam Variasi (Cacat) Yang Terjadi Pada Proses Produksi
Ada beberapa jenis kecacatan/ problem pada setiap proses, diantaranya adalah:
A. Proses Penyediaan Bahan Baku
Problem/ kecacatan pada Proses Penyediaan Bahan Baku antara lain :
1. Sampel Bahan Baku
2. Timbangan
60. 3. Penghancuran Batu kapur pada Crusher
B. Proses Penggilingan Bahan Baku
Problem/ kecacatan pada Proses Penggilingan Bahan Baku antara lain :
1. Kadar Campuran
C. Proses Pembakaran
Problem/ kecacatan pada Proses Pembakaran antara lain :
1. LSF (Lime Saturation Factor)
2. Suhu
D. Proses Penggilingan Akhir
Problem/ kecacatan pada Proses Penggilingan Akhir antara lain :
1. Campuran Harus Merata
E. Proses Pengemasan
1. Kantong
4.10 Penyebab Timbulnya Kecacatan dan Penyelesaian Masalah
Adapun yang menjadi penyebab suatu kecacatan di dalam suatu produk, antara
lain yaitu :
A. Proses Penyediaan Bahan Baku
Problem/ kecacatan pada Proses Penyediaan Bahan Baku antara lain :
61. 1. Sampel Bahan Baku
Penyebab Sampel Bahan Baku dan penyelesaian masalahnya akan di
jelaskan pada tabel berikut:
Tabel 4.1. Penyebab dan penyelesaian masalah problem Sampel Bahan Baku
Penyebab Penyelesaian Masalah
Salah Sampel Bagian Penggali tambang
harus teliti dalam pemilihan
bahan baku
Sampel harus homogen
2. Timbangan
Penyebab Timbangan dan penyelesaian masalahnya akan di jelaskan
pada tabel berikut:
Tabel 4.2. Penyebab dan penyelesaian masalah problem Sampel Bahan Baku
Penyebab Penyelesaian Masalah
Timbangan Error/rusak Segera di perbaiki secepatnya
karena menimbul kecacatan
fatal pada akhir produk jadi
Dibutuhkan kalibrasi ulang
62. B. Proses Pengilingan Bahan Baku
Problem/ kecacatan pada Proses Penggilingan Bahan Baku antara lain :
1. Kadar Campuran
Penyebab Kadar Campuran dan penyelesaian masalahnya akan di
jelaskan pada tabel berikut:
Tabel 4.3. Penyebab dan penyelesaian masalah Kadar Campuran
Penyebab Penyelesaian Masalah
Campuran yang tidak seimbang Karena proses penggilangan
dilakukan setiap per
jamnya,maka pada setiap jam
berikutnya menambahkan
komposisi campuran yang
kurang agar mendapatkan
hasil yang homogen
C. Proses Pembakaran
Problem/ kecacatan pada Proses Pembakaran Bahan Baku antara lain :
1. LSF (Lime Saturation Factor)
Penyebab LSF dan penyelesaian masalahnya akan di jelaskan pada
tabel berikut:
Tabel 4.4. Penyebab dan penyelesaian masalah LSF
63. Penyebab Penyelesaian Masalah
LSF tidak seimbang Kadar LSF biasanya
dipengaruhi oleh suhu
pembakaran,maka suhu harus
optimal agar semen yang
dihasilkan tidak tercampur
dengan bahan-bahan alami
lainnya.
2. Suhu
Penyebab Suhu dan penyelesaian masalahnya akan di jelaskan pada
tabel berikut:
Tabel 4.5. Penyebab dan penyelesaian masalah Suhu
Penyebab Penyelesaian Masalah
Suhu Berubah Suhu harus tidak lebih dan
tidak kurang dari 1350o C-
1400oC agar terjadi reaksi
C3S.
64. D. Proses Penggilingan Akhir
Problem/ kecacatan pada Proses Penggilingan Akhir antara lain :
1. Campuran
Penyebab campuran dan penyelesaian masalahnya akan di jelaskan
pada tabel berikut:
Tabel 4.6. Penyebab dan penyelesaian masalah kehalusan
Penyebab Penyelesaian Masalah
Campuran tidak bagus Campuran yang memiliki SO3
yang tidak bagus akan
dicampur lagi dari hasil
penggilingan di setiap jamnya
agar campuran
merata/Homogen.
E. Proses Pengemasan
Problem/ kecacatan pada Proses Pengemasan antara lain :
1. Kantong / SAK
Penyebab Kantong dan penyelesaian masalahnya akan di jelaskan
pada tabel berikut:
65. Tabel 4.7. Penyebab dan penyelesaian masalah Robek
Penyebab Penyelesaian Masalah
Kantong Pecah / robek SAK semen harus diuji
ketahanannya dengan
percobaan di banting
sebanyak 10 kali hingga tidak
robek.
4.11 Peta Kontrol C
Telah diketahui bahwa suatu produk dikatakan cacat (defective) jika produk itu
tidak memenuhi suatu syarat atau lebih. Setiap kekurangan disebut defect. Jadi setiap
produk cacat terdapat lebih dari satu defect. Seandainya sehelai merk “Bejo” terdapat
sakunya sobek dan dua kancingnya lepas, maka baju itu dikatakan cacat dan terdapat
3 defect pada baju itu.
Chart C memperhatikan banyaknya defect pada kelompok yang besarnya tetap.
Didalam banyak hal kelompok dalam chart C adalah satu, variable C menunjukkan
banyaknya defect pada tiap produk. Tidak selalu demikian, banyaknya produk dalam
kelompok tidak harus satu, yang penting banyaknya produk dalam kelompok selalu
sama.
Limit pada peta control C adalah sebagai berikut:
Jika banyaknya defect pada kelompok (mungkin juga hanya satu
anggotanya kelompok) maka menurut poisson P(C) = µc = C’ dan deviasi
standart σ = , sehingga limit 3σ untuk C adalah:
66. LKAc = C’ + 3
LKBc = C’ - 3
Jika Harga C’ tidak diketahui maka diestimasi dengan rata- rata C dari
pengamatan = sehingga
LKAc = +3
LKBc = -3
Contoh rekap problem- problem QC (Quality Control) dapat dilihat di lampiran
dan peta control dapat dilihat pada gambar peta control dibawah ini:
1. Problem Pada Proses Penyediaan Bahan Baku Bahan Baku
Pada Rekap Problem Kandungan SiO2 Bulan
P e ta C o ntr o l C
2 4 .0 V ar iab le
D ata
CL
BKB
BKA
2 3 .5
Da t a
2 3 .0
2 2 .5
2 2 .0
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
67. Pada Rekap Problem Kandungan Al2O3
P e ta K o tr o l C
1 0 .2 V ar iab le
D ata
CL
1 0 .0 BKB
BKA
9 .8
Da t a
9 .6
9 .4
9 .2
9 .0
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
Pada Rekap Problem Kandungan Fe2O3
P e ta K o ntr o l C
V ar iab le
4 .5 5
D ata
CL
BKB
4 .5 0 BKA
4 .4 5
Da t a
4 .4 0
4 .3 5
4 .3 0
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
68. Pada Rekap Problem Kandungan CaO
P e ta K o ntr o l C
5 9 .5 V ar iab le
D ata
CL
BKB
5 9 .0
BKA
5 8 .5
Da t a
5 8 .0
5 7 .5
5 7 .0
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
Pada Rekap Problem Kandungan MgO
P e ta K o ntr o l C
V ar iab le
1 .2
D ata
CL
BKB
1 .1 BKA
1 .0
Da t a
0 .9
0 .8
0 .7
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
69. 2. Problem Pada Proses Penggilingan Bahan Baku / Raw Mill
Pada Rekap Problem Kandungan LSF (Lime Saturation Factor)
P e ta K o ntr o l C
V ar iab le
79
D ata
CL
78
BKB
BKA
77
76
75
Da t a 74
73
72
71
70
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
Pada Rekap Problem Kadungan SM (Silika Modulus)
P e ta K o ntr o l C
V ar iab le
1 .7 0
D ata
CL
BKB
1 .6 8 BKA
1 .6 6
Da t a
1 .6 4
1 .6 2
1 .6 0
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
70. Pada Rekap Problem Kandungan AM (Alumina Modulus)
P e ta K o ntr o l C
2 .3 5 V ar iab le
D ata
CL
2 .3 0
BKB
BKA
2 .2 5
2 .2 0
Da t a
2 .1 5
2 .1 0
2 .0 5
2 .0 0
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
3. Problem Pada Proses Pembakaran / Kiln Feed
Pada Rekap Problem Kandungan C3S (Trikalsium Silikat)
P e ta K o ntr o l C
10 V ar iab le
d ata
CL
5
BKB
BKA
0
-5
Da t a
-1 0
-1 5
-2 0
-2 5
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
71. Pada Rekap Problem Kandungan C2S (Dikalsinasi Silikat)
P e ta K o ntr o l C
V ar iab le
85 D ata
CL
BKB
80 BKA
75
Da t a
70
65
60
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
Pada Rekap Problem Kandungan C3A (Trikalsium Aluminat)
P e ta K o ntr o l C
1 9 .5 V ar iab le
D ata
CL
1 9 .0 BKB
BKA
1 8 .5
Da t a
1 8 .0
1 7 .5
1 7 .0
1 6 .5
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
72. Pada Rekap Problem Kandungan C4AF(Tetrakalsium Alumino ferrit)
P e ta K o ntr o l C
1 3 .9 V ar iab le
D ata
1 3 .8 CL
BKB
1 3 .7 BKA
1 3 .6
1 3 .5
Da t a
1 3 .4
1 3 .3
1 3 .2
1 3 .1
1 3 .0
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
4. Problem Pada Proses Penggilingan Akhir
Pada Rekap Problem Kandungan SO3 (Oksida belerang)
P e ta K o ntr o l C
2 .5 V ar iab le
D ata
CL
2 .4 BKB
BKA
2 .3
Da t a
2 .2
2 .1
2 .0
1 .9
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
73. Pada Rekap Problem Kandungan FL (Fly Ash)
P e ta K o ntr o l C
0 .4 5 V ar iab le
D ata
CL
0 .4 0 BKB
BKA
0 .3 5
Da t a
0 .3 0
0 .2 5
0 .2 0
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
Pada Rekap Problem blaine atau Kehalusan
P e ta K o ntr o l C
355 V ar iab le
D ata
CL
BKB
350
BKA
345
Da t a
340
335
330
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.
74. Pada Rekap Problem Blaine atau Kehalusan
P e ta K o ntr o l C
V ar iab le
94 D ata
CL
BKB
93 BKA
92
Da t a
91
90
89
88
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Ha r i
Analisa Peta Kontrol :
Tidak Terdapat nilai Out of Control ( keluar dari batas ), hal ini menunjukan
data seragam karena jumlah nilai cacat yang seimbang di setiap stasiun kerja,
sehingga nilai tersebut tidak diluar batas kontrol atas dan bawah.