Dokumen tersebut membahas tentang pengertian dan jenis-jenis pelat struktur, termasuk pelat satu arah dan pelat dua arah. Pelat adalah elemen struktur horizontal yang mendukung beban dan menyalurkannya ke rangka vertikal. Terdapat empat jenis pelat berdasarkan aksi strukturalnya, yaitu pelat kaku, membran, flexibel, dan tebal. Pelat satu arah memiliki rasio panjang terhadap lebar lebih besar dari 2,
Pelat dibagi menjadi pelat satu arah dan pelat dua arah. Pelat satu arah memiliki panjang lebih besar dari lebarnya dan ditumpu oleh balok sejajar. Pelat dua arah ditumpu oleh balok pada keempat sisinya. Metode perencanaan pelat meliputi penentuan tebal, perhitungan beban, momen, penentuan rasio penulangan, dan pemilihan tulangan.
Teks tersebut membahas tentang retak geser pada balok beton. Retak geser terjadi ketika balok tidak mampu menahan gaya geser akibat beban yang diterima. Retak geser akan muncul dengan arah miring 45 derajat. Tulangan geser diperlukan untuk menahan gaya tarik diagonal akibat geser. Penulangan geser dapat berupa sengkang vertikal atau miring yang dirancang untuk menahan gaya tarik sepanjang retak geser.
Mata kuliah ini membahas desain dan analisis elemen struktur beton bertulang seperti balok dan pelat satu arah berdasarkan standar dan peraturan yang berlaku. Mahasiswa akan mempelajari konsep kekuatan, kemampuan, dan perilaku elemen struktur beton terhadap berbagai gaya, serta cara menghitung dan merancang elemen tersebut sesuai teori kekuatan batas. Topik utama mata kuliah ini meliputi analisis lentur, geser, dan torsi p
Cara Menghitung Kebutuhan Besi pada Pekerjaan Bore Pile dan Strauss PileAngga Nugraha
ditulis oleh Angga Nugraha, Lulusan Teknik Sipil dan Lingkungan IPB.
Sebuah tulisan mengenai cara menghitung pembesian pada bore pile atau strauss pile terutama untuk bentuk sengkang / begel yang berbentuk spiral
Pelat dibagi menjadi pelat satu arah dan pelat dua arah. Pelat satu arah memiliki panjang lebih besar dari lebarnya dan ditumpu oleh balok sejajar. Pelat dua arah ditumpu oleh balok pada keempat sisinya. Metode perencanaan pelat meliputi penentuan tebal, perhitungan beban, momen, penentuan rasio penulangan, dan pemilihan tulangan.
Teks tersebut membahas tentang retak geser pada balok beton. Retak geser terjadi ketika balok tidak mampu menahan gaya geser akibat beban yang diterima. Retak geser akan muncul dengan arah miring 45 derajat. Tulangan geser diperlukan untuk menahan gaya tarik diagonal akibat geser. Penulangan geser dapat berupa sengkang vertikal atau miring yang dirancang untuk menahan gaya tarik sepanjang retak geser.
Mata kuliah ini membahas desain dan analisis elemen struktur beton bertulang seperti balok dan pelat satu arah berdasarkan standar dan peraturan yang berlaku. Mahasiswa akan mempelajari konsep kekuatan, kemampuan, dan perilaku elemen struktur beton terhadap berbagai gaya, serta cara menghitung dan merancang elemen tersebut sesuai teori kekuatan batas. Topik utama mata kuliah ini meliputi analisis lentur, geser, dan torsi p
Cara Menghitung Kebutuhan Besi pada Pekerjaan Bore Pile dan Strauss PileAngga Nugraha
ditulis oleh Angga Nugraha, Lulusan Teknik Sipil dan Lingkungan IPB.
Sebuah tulisan mengenai cara menghitung pembesian pada bore pile atau strauss pile terutama untuk bentuk sengkang / begel yang berbentuk spiral
Modul kuliah membahas tentang elemen batang tekan dalam struktur baja, termasuk tekuk elastis, panjang tekuk, batas kelangsingan, dan pengaruh tegangan sisa."
Bangunan atas gelagar induk beton bertulangAgus Gunawan
1. Dokumen tersebut membahas perencanaan pembangunan jembatan sungai Belimbing di perbatasan desa Rempung-Anjani dengan panjang bentang 17 meter menggunakan sistem balok komposit.
2. Dokumen menjelaskan latar belakang proyek, maksud dan tujuan penelitian, lingkup bahasan yang meliputi perhitungan konstruksi awal dan alternatif, serta sistematika penulisan laporan.
3. Dibahas pula landasan teori terkait
Abutment adalah bagian bangunan bawah jembatan yang berfungsi sebagai penyangga seluruh beban hidup dan mati pada jembatan. Abutment menerima beban dari bagian atas jembatan dan menyalurkannya ke pondasi melalui bantalan karet yang berfungsi sebagai peredam getaran. Bantalan karet dapat menahan beban vertikal dan sedikit beban horizontal serta memungkinkan putaran, sesuai dengan desainnya.
Dokumen tersebut membahas tentang beban gempa pada struktur jembatan. Secara singkat, dibahas mengenai respon elastis dan inelastis struktur jembatan terhadap gempa, tipe-tipe struktur jembatan, perhitungan waktu getar jembatan, serta cara menentukan besaran beban gempa horisontal yang bekerja pada struktur jembatan."
Dokumen tersebut membahas tentang keseimbangan regangan pada balok beton bertulang. Terdapat tiga hal penting yaitu: 1) letak garis netral tergantung pada jumlah tulangan baja tarik, 2) keseimbangan regangan menempati posisi penting sebagai pembatas antara dua cara hancur yang berbeda, 3) standar menetapkan pembatasan jumlah penulangan agar tercapai daktilitas.
Modul kuliah ini membahas konstruksi struktur jembatan komposit dengan dan tanpa penggunaan perancah serta contoh soal perhitungan tegangan pada penampang komposit untuk kedua sistem tersebut.
Dokumen tersebut membahas tentang penentuan jenis abutment, pondasi, dan struktur atas dan bawah untuk perencanaan jembatan rangka baja. Berdasarkan analisis luas penampang sungai dan kedalaman tanah keras, digunakan jenis abutment tembok penahan kontraport dan pondasi sumuran. Untuk struktur atasnya menggunakan rangka baja karena panjangnya 70m.
Modul kuliah membahas tentang elemen batang tekan dalam struktur baja, termasuk tekuk elastis, panjang tekuk, batas kelangsingan, dan pengaruh tegangan sisa."
Bangunan atas gelagar induk beton bertulangAgus Gunawan
1. Dokumen tersebut membahas perencanaan pembangunan jembatan sungai Belimbing di perbatasan desa Rempung-Anjani dengan panjang bentang 17 meter menggunakan sistem balok komposit.
2. Dokumen menjelaskan latar belakang proyek, maksud dan tujuan penelitian, lingkup bahasan yang meliputi perhitungan konstruksi awal dan alternatif, serta sistematika penulisan laporan.
3. Dibahas pula landasan teori terkait
Abutment adalah bagian bangunan bawah jembatan yang berfungsi sebagai penyangga seluruh beban hidup dan mati pada jembatan. Abutment menerima beban dari bagian atas jembatan dan menyalurkannya ke pondasi melalui bantalan karet yang berfungsi sebagai peredam getaran. Bantalan karet dapat menahan beban vertikal dan sedikit beban horizontal serta memungkinkan putaran, sesuai dengan desainnya.
Dokumen tersebut membahas tentang beban gempa pada struktur jembatan. Secara singkat, dibahas mengenai respon elastis dan inelastis struktur jembatan terhadap gempa, tipe-tipe struktur jembatan, perhitungan waktu getar jembatan, serta cara menentukan besaran beban gempa horisontal yang bekerja pada struktur jembatan."
Dokumen tersebut membahas tentang keseimbangan regangan pada balok beton bertulang. Terdapat tiga hal penting yaitu: 1) letak garis netral tergantung pada jumlah tulangan baja tarik, 2) keseimbangan regangan menempati posisi penting sebagai pembatas antara dua cara hancur yang berbeda, 3) standar menetapkan pembatasan jumlah penulangan agar tercapai daktilitas.
Modul kuliah ini membahas konstruksi struktur jembatan komposit dengan dan tanpa penggunaan perancah serta contoh soal perhitungan tegangan pada penampang komposit untuk kedua sistem tersebut.
Dokumen tersebut membahas tentang penentuan jenis abutment, pondasi, dan struktur atas dan bawah untuk perencanaan jembatan rangka baja. Berdasarkan analisis luas penampang sungai dan kedalaman tanah keras, digunakan jenis abutment tembok penahan kontraport dan pondasi sumuran. Untuk struktur atasnya menggunakan rangka baja karena panjangnya 70m.
Struktur baja didasarkan pada sifat baja yang dapat menahan tegangan tarik dan tekan. Struktur baja memiliki kekuatan dan daktilitas tinggi serta ringan, sehingga sering digunakan untuk struktur jembatan, bangunan tinggi, dan struktur cangkang. Terdapat tiga jenis struktur baja utama: rangka, cangkang, dan suspensi. Perencanaan struktur baja menggunakan metode LRFD mempertimbangkan probab
Dokumen tersebut membahas tentang pertemuan 2 yang membahas tentang plat dan rangka beton. Terdapat beberapa jenis plat yang dijelaskan seperti plat satu arah, plat dua arah, sistem pelat dan balok, serta sistem lajur balok. Jenis dan sistem plat ditentukan berdasarkan rasio panjang dan lebar bentangnya. Dokumen juga menjelaskan cara perencanaan plat mulai dari menentukan beban, momen, penulangan, hingga contoh per
Dokumen tersebut membahas tentang perencanaan pondasi dangkal untuk bangunan gedung ringan. Pembahasan meliputi pengertian pondasi dangkal, asumsi desain, mekanisme keruntuhan pondasi, perhitungan geser, lentur, dan penjangkaran tulangan serta penentuan daya dukung kolom dan pondasi. Contoh perhitungan lengkap diberikan untuk pondasi bujursangkar dan persegi panjang yang mendukung kolom bertiang.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang perencanaan zona angkur pada struktur beton prategang, baik zona angkur lokal maupun global.
2. Metode yang dibahas untuk merencanakan zona angkur adalah analisis elastis linier, model strut and tie, dan pendekatan.
3. Tulangan pengekang diperlukan di seluruh zona angkur untuk mencegah retak dan kegagalan akib
Dokumen tersebut membahas tentang analisis lentur murni pada balok yang digunakan sebagai bagian tengah jembatan. Dilakukan perhitungan beban mati, beban hidup, momen lentur terfaktor, kuat nominal penampang serta pengecekan terhadap local buckling dan lateral buckling. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai momen lentur terfaktor lebih kecil dari kuat nominal penampang sehingga balok tersebut aman untuk memikul beban lentur.
Praktikum ini menguji lendutan pada batang logam yang diujikan dengan beban di ujungnya. Mahasiswa mengukur lendutan batang dengan menggunakan metode diagram momen dan integrasi, serta membandingkan hasil uji coba pada bahan yang berbeda.
Rel KA digunakan sebagai penuntun pergerakan roda kereta api. Terdiri dari permukaan rel, kepala rel, badan rel, dan kaki rel. Rel dibuat dari baja tahan aus yang kuat dan keras. Panjang rel standar 25 m, rel pendek maksimal 100 m, rel panjang minimum 200-450 m tergantung tipe rel dan bantalan. Sambungan rel harus kuat, menjaga level rel, menahan gaya lateral, elastis, dan tahan gaya longitudinal. Jenis sambungannya adalah
ANALISIS PENGARUH INDUSTRI BATU BARA TERHADAP PENCEMARAN UDARA.pdfnarayafiryal8
Industri batu bara telah menjadi salah satu penyumbang utama pencemaran udara global. Proses ekstraksi batu bara, baik melalui penambangan terbuka maupun penambangan bawah tanah, menghasilkan debu dan gas beracun yang dilepaskan ke atmosfer. Gas-gas tersebut termasuk sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan partikel-partikel halus (PM2.5) yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu, pembakaran batu bara di pembangkit listrik dan industri menyebabkan emisi karbon dioksida (CO2), yang merupakan penyebab utama perubahan iklim global dan pemanasan global.
Pencemaran udara yang disebabkan oleh industri batu bara juga memiliki dampak lokal yang signifikan. Di sekitar area penambangan, debu batu bara yang dihasilkan dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan ekosistem lokal. Paparan terus-menerus terhadap debu batu bara dapat menyebabkan masalah pernapasan seperti asma dan bronkitis, serta berkontribusi pada penyakit paru-paru yang lebih serius. Selain itu, hujan asam yang disebabkan oleh emisi sulfur dioksida dapat merusak tanaman, air tanah, dan ekosistem sungai, mengancam keberlanjutan lingkungan di sekitar lokasi industri batu bara.
1. Pelat
1. Pengertian pelat
Pelat adalah elemen horizontal struktur yang mendukung beban mati maupun
beban hidup dan menyalurkannya ke rangka vertikal dari sistem struktur. Pelat
merupakan struktur bidang (permukaan) yang lurus, (datar atau melengkung) yang
tebalnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan dimensi yang lain. Dari segi statika,
kondisi tepi (boundary condition) pelat dibagi menjadi : tumpuan bebas (free),
bertumpu sederhana (simply supported) dan jepit.
Berdasarkan aksi strukturalnya, pelat dibedakan menjadi empat, yaitu :
1. Pelat kaku : merupakan pelat tipis yang memilikki ketegaran lentur
(flexural rigidity), dan memikul beban dengan aksi dua dimensi, terutama
dengan momen dalam (lentur dan puntir) dan gaya geser transversal,
yang umumnya sama dengan balok. Pelat yang dimaksud dalam bidang
teknik adalah pelat kaku, kecuali jika dinyatakan lain.
2. Membran : merupakan pelat tipis tanpa ketegaran lentur dan memikul
beban lateral dengan gaya geser aksial dan gaya geser terpusat. Aksi
pemikul beban ini dapat didekati dengan jaringan kabel yang tegang
karena ketebalannya yang sangat tipis membuat daya tahan momennya
dapat diabaikan.
3. Pelat flexibel : merupakan gabungan pelat kaku dan membran dan
memikul beban luar dengan gabungan aksi momen dalam, gaya geser
transversal dan gaya geser terpusat, serta gaya aksial. Struktur ini sering
2. Lx
Ly Ly
Ly/Lx > 2
dipakai dalam industri ruang angkasa karena perbandingan berat dengan
bebannya menguntungkan.
4. Pelat tebal : merupakan pelat yang kondisi tegangan dalamnya
menyerupai kondisi kontinu tiga dimensi.
2. Pelat Satu Arah
Pelat satu arah adalah apabila perbandingan sisi panjang terhadap sisi pendek
yang saling tegak lurus lebih besar dari 2, pelat dapat dianggap hanya bekerja sebagi
pelat satu arah dengan lenturan utama pada arah sisi yang lebih pendek.
Pada bangunan bangunan beton bertulang, suatu jenis lantai yang umum dan
dasar adalah tipe konstruksi pelat balok-balok induk (gelagar) dimana permukaan
pelat itu dibatasi oleh dua balok yang bersebelahan pada sisi dan dua gelagar pada
kedua ujung. Pelat satu arah adalah pelat yang panjangnya dua kali atau lebih besar
dari pada lebarnya, maka hampir semua beban lantai menuju ke balok-balok dan
sebagian kecil saja yang akan menyalur secara langsung ke gelagar.
Kondisi pelat ini untuk tulangan utama sejajar dengan gelagar atau sisi
pendek dan tulangan susut atau suhu sejajar dengan balok-balok atau sisi
panjangnya. Permukaan yang melendut dari sistem pelat satu arah mempunyai
kelengkungan tunggal. Sistem pelat satu arah dapat terjadi pada pelat tunggal
maupun menerus, asal perbandingan panjang bentang kedua sisi memenuhi.
Gambar 2.4 Pelat satu arah
3. A. Langkah-langkah Perhitungan Tulangan Pelat 1 Arah
1. Menentukan beban pelat.
Setelah menentukan syarat-syarat batas, bentang dan tebal pelat
kemudian beban-beban dihitung. Untuk pelat yang sederhana berlaku
rumus:
WU = 1,2 WD + 1,6 WL
Tentukan syarat-syarat batas
Tentukan panjang bentang
Tentukan tebal pelat
(dengan bantuan syarat lendutan)
Hitung beban beban
Tentukan momen yang menentukan
Hitung tulangan
Pilih tulangan
Periksa lebar retak secara
memeriksa lebar jaringan
Tebal pelat dan tulangan memadai
ρ < ρ maks
s > s maks
s ≤ s maks
Ρ min ≤ ρ ≤ ρ maks
ket : WU = beban ultimite
WD = beban mati
WL = beban hidup
Gambar 2.5 Diagram alir untuk menghitung tulangan pada pelat
1 arah dan 2 arah
4. 2. Menentukan momen pelat 1 arah.
Dalam menentukan momen pada pelat 1 arah adalah sebagai berikut :
- untuk momen tumpuan = 1/8 Wu lx2
- untuk momen lapangan = 1/8 Wu lx2
- untuk momen jepit tak terduga = 1/24 Wu lx2
3. Menentukan rasio tulangan pelat satu arah
Persentase tulangan yang ditentukan, harus diperiksa sesuai dengan
ρmin ≤ ρanl ≤ ρmaks.
ρ min = 0,0025 (Koefisien CUR pelat).
ρ max = 0,75ρ balance
= 0,75
+ fy
fy
c
xf
600
600
.
1
.
'
85
,
0
β
ρ min < ρ analisa < ρ max Dimana : φ =8,5
ρ anl = 2
bd
Mu
= φ . ρ . fy [1- 0,588 ρ.
c
f
fy
'
]
2
bd
Mu
= (φ . ρ . fy ) - (φ . ρ . fy . 0.588 ρ.
c
f
fy
'
)
Kemudian gunakan rumus ABC
a
ac
b
b
2
4
2
,
1
,
2
−
±
−
=
ρ
a
ac
b
b
2
4
1
,
2
−
+
−
=
ρ
a
ac
b
b
2
4
2
,
2
−
−
−
=
ρ
Dari persamaan ρ1 dan ρ2 ambil nilai yang terkecil dan gunakan
sebagai ρ analisa
4. Luas tulangan
( c ) (b ) ( a )
Jika ρ anl < ρmin maka ρ pakai ρ min
Jika ρ anl > ρmaks maka ρ pakai ρ maks
5. Lx
Ly Ly
Setelah tahapan tahap diatas diselesaikan maka dapat dihitung luas
tulangan yaitu : As total = ρ . b . d
Dimana nilai b = panjang bentang per 1 meter pelat.
Tulangan pembagi untuk pelat satu arah yaitu berdasarkan SK SNI T-
511991-03 pasal 3.16.6, jarak maksimum antara tulangan baja adalah =
3.(h) atau 500mm.
3. Sistem Pelat Dua Arah
Persyaratan jenis pelat lantai dua arah jika perbandingan dari bentang
panjang terhadap bentang pendek kurang dari dua. Beban pelat lantai pada jenis ini
disalurkan ke empat sisi pelat atau ke empat balok pendukung, akibatnya tulangan
utama pelat diperlukan pada kedua arah sisi pelat. Permukaan lendutan pelat
mempunyai kelengkungan ganda.
Ly/Lx ≤ 2
Pelat dua arah yang ditumpu pada keempat tepinya adalah struktur statis tak
tentu. Seperti pada pelat satu arah yang menerus pada lebih dari dua tumpuan, juga
dapat digunakan tabel untuk mempermudah analisis dan perencanaan pelat dua arah,
yaitu Tabel 2.7
Tabel ini menunjukkan momen lentur yang bekerja pada jalur selebar 1
meter, masing-masing pada arah –x dan pada arah –y.
Gambar 2.6 Pelat dua arah
6. Mlx adalah momen lapangan maksimum per meter lebar diarah –x;
Mly adalah momen lapangan maksimum per meter lebar diarah –y;
Mtx adalah momen tumpuan maksimum per meter lebar diarah –x;
Mty adalah momen tumpuan maksimum per meter lebar diarah –y;
Mtix adalah momen jepit tak terduga (insidentil) per meter lebar diarah –x;
Mtiy adalah momen jepit tak terduga (insidentil) per meter lebar diarah –y;
Skema penyaluran
beban ‘metode
amplop’ kali W u lantai lx
Momen per meter
lebar
Ly/lx
1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0 2,5 3,0
I
II
III
IVa
Mlx = 0,001 W u lx
2
x
Mly = 0,001 W u lx
2
x
Mtix = ½ mlx
Mtiy = ½ mly
Mlx = 0,001 W u lx
2
x
Mly = 0,001 W u lx
2
x
Mtx =- 0,001 W u lx
2
x
Mty = -0,001 W u lx
2
x
Mlx = 0,001 W u lx
2
x
Mly = 0,001 W u lx
2
x
Mtx =- 0,001 W u lx
2
x
Mty = -0,001 W u lx
2
x
Mtix = ½ mlx
Mtiy = ½ mly
Mlx = 0,001 W u lx
2
x
Mly = 0,001 W u lx
2
x
Mty = -0,001 W u lx
2
x
Mtix = ½ mlx
41 54 67 79 87 97 110 117
41 35 31 28 26 25 24 23
25 34 42 49 53 58 62 65
25 22 18 15 15 15 14 14
51 63 72 78 81 82 83 83
51 54 55 54 54 53 51 49
30 41 52 61 67 72 80 83
30 27 23 22 20 19 19 19
68 84 97 106 113 117 122 124
68 74 77 77 77 76 73 71
24 36 49 63 74 85 103 113
33 33 32 29 27 24 21 20
69 85 97 105 110 112 112 112
IVb
Va
Mlx = 0,001 W u lx
2
x
Mly = 0,001 W u lx
2
x
Mtx =- 0,001 W u lx
2
x
Mtiy = ½ mly
Mlx = 0,001 W u lx
2
x
Mly = 0,001 W u lx
2
x
Mty = -0,001 W u lx
2
x
Mtix = ½ mlx
33 40 47 52 55 58 62 65
24 20 18 17 17 17 16 16
69 76 80 82 83 83 83 83
31 45 58 71 81 91 106 115
39 37 34 30 27 25 24 23
91 102 108 111 113 114 114 114
7. 2.1.1 Perencanaan Dimensi Balok dan Pelat
Berdasarkan standar SK SNI T-15-1991-03 Pasal 3.1.10 memberikan
pembatasan lebar flens efektif balok T sebagai berikut :
a. Lebar flens efektif yang diperhitungkan tidak lebih besar dan diambil
nilai terkecil dari nilai-nilai berikut :
Seperempat panjang bentang balok ( ¼ L)
Bw + 16 hf
Jarak dari pusat kepusat antar -balok
b. Untuk balok yang hanya mempuyai flens pada satu sisi, lebar flens efektif
yang diperhitungkan tidak lebih besar dan diambil nilai terkecil dari
nilai-nilai berikut :
Seperduabelas panjang bentang balok ( 1/12 L)
Vb
VIa
VIIb
Mtiy = ½mly
Mlx = 0,001 W u lx
2
x
Mly = 0,001 W u lx
2
x
Mtx =- 0,001 W u lx
2
x
Mtix = ½ mlx
Mtiy = ½mly
Mlx = 0,001 W u lx
2
x
Mly = 0,001 W u lx
2
x
Mtx =- 0,001 W u lx
2
x
Mty = -0,001 W u lx
2
x
Mtix = ½ mlx
Mlx = 0,001 W u lx
2
x
Mly = 0,001 W u lx
2
x
Mtx =- 0,001 W u lx
2
x
Mty = -0,001 W u lx
2
x
Mtiy = ½mly
39 47 57 64 70 75 81 84
31 25 23 21 20 19 19 19
91 98 107 113 118 120 124 124
25 36 47 57 64 70 79 63
28 27 23 20 18 17 16 16
54 72 88 100 108 114 121 124
60 69 74 76 76 76 73 71
28 37 45 50 54 58 62 65
25 21 19 18 17 17 16 16
60 70 76 80 82 83 83 83
54 55 55 54 53 53 51 49
Tabel 2.4 Momen yang menentukan per meter lebar dalam jalur tengah pada
pelat dua arah akibat beban terbagi rata
8. 6 hf
½ jarak bersih dengan balok disebelahnya
c. Untuk balok yang khusus dibentuk sebagai balok T dengan maksud
untuk mendapatkan tambahan luas daerah tekan, ketebalan flens tidak
boleh lebih besar dari setengah lebar balok dan lebar flens total tidak
boleh lebih dari empat kali lebar balok
Pada SKSNI T15 – 1991 – 03 tabel 2.1 tercantum tebal minimum sebagai
fungsi terhadap bentang. Nilai – nilai pada tabel tersebut berlaku struktur yang tidak
mendukung serta sulit berdeformasi atau berpengaruh terhadap struktur yang mudah
rusak akibat lendutan yang besar.
Nilai kelangsingan yang diberikan itu berlaku untuk beton normal dan
tulangan dengan fy = 400 Mpa ( 4000 kg/cm²). Untuk fy yang lain dapat
digunakan faktor pengali �0,4 +
𝑓𝑦
700
� yang akan menghasilkan nilai apapun. Bila
memakai baja fy = 240 Mpa maka nilainya adalah 0,4 +
240
700
= 0,74
Tumpuan Sederhana Satu menerus Dua menerus Kantilever
Komponen fy fy fy fy
400 240 400 240 400 240 400 240
Pelat
mendukung
satu arah
1
20
1
27
1
24
1
32
1
28
1
37
1
10
1
13
Balok
mendukung
satu arah
1
16
1
21
1
18,5
1
24,5
1
21
1
28
1
8
1
11
Tabel 2.1 Tebal minimum h
9. Penentuan lebar balok sangat tergantung dari besarnya gaya lintang.
Seringkali dengan mengambil bw = 1/2 h sampai 2/3 h ternyata cukup memadai.
2.1.2 Syarat Lendutan Pelat dan Balok sebagai Struktur Monolit.
Syarat batas pada tebal pelat adalah h min < h ≤ h max. dimana
h = .(ln)
1
1
0,12
-
.m
5.
36
1500
fy
0,8
+
+
+
β
α
β
Struktur monolit pada pelat dan balok saling berhubungan sehingga dalam
menentukan dimensinya harus bersamaan dimana tebal (h) pelat bergantung dengan
dimensi balok begitu juga sebaliknya.
Langkah-langkah dalam menentukan struktur monolit pelat dan balok adalah
sebagai berikut :
Menentukan daerah balok dan pelat dimana bentang terpanjang adalah
(Ly) dan bentang terpendek adalah (Lx)
Menentukan lebar balok (bW)
Lebar balok bW adalah ½ h – 2
/3h cukup memadai.
Bentang bersih balok (ln) = Ly – bW
Menentukan rasio bentang bersih arah memanjang terhadap arah
melebar plat 2 arah (β) =
𝐿𝑦−𝑏𝑤
𝐿𝑥−𝑏𝑤
Menghitung Tebal pelat minimum :
h min ≥
β
9
36
1500
8
,
0
+
+
fy
x ln
Menghitung Tebal pelat maksimum :
10. (A1)
(A2)
bw
be
X
Y2
Y1
Y
h max ≤
36
1500
8
,
0
fy
+
x ln
asumsi nilai hf adalah h min < hf ≤ h max
Menentukan lebar mamfaat / lebar flens efektif (be)
Menetukan titik pusat berat.
A1 = luas flens efektif
A2 = luas balok efektif
Y =
A total
Y2)
x
(A2
Y1)
x
A1
( +
Momen Inersia terhadap sumbu X
I b1 = {
12
1
(be .hf 3
) + A1(Y-Y1)2
}
I b2 = {
12
1
(be .hf 3
) + A1(Y-Y1)2
}
I s1 =
12
1
(Ly . (h-hf)3
I s2 =
12
1
(Lx . (h-hf)3
Menentukan nilai rata rata αm
Dimana α adalah rasio kekakuan lentur penampang balok terhadap
kekakuan pelat, dengan lebar yang dibatasi secara lateral oleh garis
sumbu panel yang bersebelahan (bila ada) pada setiap sisi balok, atau
sudut antara sengkang miring dan sumbu longitudinal komponen
struktur.
1
1
1
Is
Ib
=
α
2
2
2
Is
Ib
=
α ( )
2
1
2
1
α
α
α +
=
m
Kontrol tebal pelat hf
11. .(ln)
1
1
0,12
-
.m
5.
36
1500
fy
0,8
+
+
+
=
β
α
β
hf
Jika nilai hf < h min SNI yaitu 120mm, maka dipakai h min SNI. Jika
nilai hf≥ h max analisa maka harus merubah dimensi balok atau
menambah balok anak, sehingga h min SNI < hf ≤ hmax
2.1.3 Persyaratan Kekuatan.
Ketidakpastian berkaitan dengan besar beban mati pada struktur lebih kecil
daripada ketidakpastian dengan beban hidup. Hal demikian dapat menimbulkan
perbedaan dari besar faktor-faktor beban. Pada SKSNI-T15-1991-03 Subbab 3.2.2
menentukan nilai-nilai γQ sebagai berikut :
a. Untuk beban mati γD = 1,2
b. Untuk beban hidup γl = 1,6
Maka rumus yang digunakan adalah U = 1,2 D + 1,6 L
Keterangan :
U = kuat perlu untuk menahan beban yang telah dikalikan dengan faktor
beban atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengannya.
D = beban mati, atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan
beban tersebut.
L = beban hidup, atau momen dan gaya dalam berhubungan dengan
beban tersebut.
Kekuatan yang tersedia ≥ kekuatan yang dibutuhkan
12. Untuk beban angin berlaku faktor beban γw = 1,6. Berdasarkan kemungkinan
kecil tentang timbulnya beban hidup maksimal dan beban angin maksimal pada saat
yang bersamaan, maka pada perhitungan di mana beban angin yang menentukan
boleh digunakan suatu faktor reduksi.
Maka rumus yang digunakan adalah U = 0,75 (1,2 D + 1,6 L + 1,6 W)
2.1.4 Faktor reduksi kekuatan ∅
Ketidak pastian kekuatan bahan terhadap pembebanan dianggap sebagai
faktor reduksi kekuatan ∅. Berdasarkan SKSNI 03-2847-2002 pasal 11.3-02 untuk
∅ sebagai berikut:
a. Untuk beban lentur tanpa beban aksial = 0,80
b. Untuk gaya aksial tarik dan aksial tarik dengan lentur = 0,80
c. Untuk gaya aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur = 0,65
d. Untuk gaya lintang dan torsi = 0,60
2.1.5 Penutup beton tulangan
Dua besaran yang berperan penting pada analisis penampang beton bertulang
adalah tinggi total h dan tinggi efektif d.
a. untuk sebuah pelat, hubungan antara h dan d ditentukan oleh,
h = d + ½ Ø tul. ut + p
keterangan :
d = tinggi efektif (jarak dari serat tekan ketitik berat tulangan tekan)
p = tebal penutup beton untuk menutup tulangan terluar.
Ø tul. ut = diameter tulangan utama
13. b
d
h
1/2 Øtul. ut
Øsengkang
p
h d
1/2 Øtul. ut
p
b. untuk sebuah balok, hubungan antara h dan d ditentukan oleh,
h = d + ½ Ø tul. ut +Ø sengkang + p
keterangan :
Ø tul. ut = diameter tulangan utama Ø sengkang = diameter sengkang
c. salah satu faktor yang menentukan perbedaan antara d dan h, baik dalam
pelat maupun balok adalah penutup beton p. Lapisan pelindung yang
digunakan sesuai dengan ketentuan tebal penutup beton akan :
1. Menjamin penanaman tulangan dan lekatannya dengan beton.
2. Menghindari korosi pada tulangan yang mungkin dapat terjadi.
3. Meningkatkan perlindungan struktur terhadap kebakaran.
Penutup beton yang diberikan cukup memenuhi fungsi ini, bergantung pada :
1. Kepadatan dan kekedapan beton.
2. Ketelitian pelaksanaan pekerjaan.
3. Sambungan disekitar konstruksi tersebut.
Berdasarkan SK SNI T15-1991-03 Pasal 3.3.16-7 tebal minimum penutup
beton adalah sebagai berikut :
Bagian konstruksi Yang tidak langsung
berhubungan dengan
tanah dan cuaca
Yang langsung
berhubungan dengan
tanah dan cuaca
Gambar 2.1 Hubungan antara h, d dan p (penutup beton)
14. Lantai / dinding ØD-36 dan lebih
kecil : 20mm
> ØD-36 : 40mm
ØD-16 dan lebih
kecil : 40mm
> ØD-16 : 50mm
Balok Seluruh diameter : 40mm ØD-16 dan lebih
kecil : 40mm
> ØD-16 : 50mm
Kolom Seluruh diameter : 40mm ØD-16 dan lebih
kecil : 40mm
> ØD-16 : 50mm
2.1.6 Persentase tulangan minimum
Berdasarkan SK SNI T15-1991-03 Pasal 3.3.3-5 tulangan minimum
ρ min yang disyaratkan adalah sebagai berikut :
Seluruh mutu beton fy= 250 Mpa (2500
kg/cm2
)
fy= 400 Mpa (4000
kg/cm2
)
Balok dan umumunya 0,0056 0,0035
Alternatif 4/3 ρ an 4/3 ρ an
Pelat 0,0025 0,0018
2.1.7 Perhitungan perencanaan
Apabila momen Mu pada sebuah penampang diketahui kemudian
diperkirakan ukuran beton b dan d. Selanjutnya mutu beton dan mutu baja
ditentukan, maka jumlah tulangan yang diperlukan dapat dihitung.
Untuk menghitung ρ an dapat menggunakan rumus:
𝑀𝑢
𝑏𝑑²
= 𝜌 . φ . 𝑓𝑦 (1 − 0,588 𝜌
𝑓𝑦
𝑓′𝑐
)
Tabel 2.2 Tebal minimum penutup beton pada
tulangan terluar
Tabel 2.3 Tulangan minimum ρ min yang disyaratkan
15. Pada persamaan ini pada ruas kanan hanya bergantung pada mutu beton dan
mutu baja serta jumlah tulangan. Akan tetapi karena mutu beton dan baja telah
dipilih maka ruas ini telah bernilai tertentu. Jadi yang tidak diketahui hanyalah
jumlah tulangan ρ. Kemudian diselesaikan dengan rumus abc.
A. Distribusi gaya-gaya dalam pelat dua arah
Seperti pada pelat satu arah yang menerus, pemakaian tabel ini dibatasi
beberapa syarat:
Beban terbagi rata.
Perbedaan yang terbatas antara besarnya beban maksimum dan
minimum pada panel (lekukan) dipelat: W u min ≥ 0,4 wu maks
Perbedaan yang terbatas antara beban maksimal pada panel yang
berbeda-beda:
• W u min terkecil ≥ 0,8 wu maks terbesar
• 0,5 W u lantai lx
• 0,5 W u lantai lx
Perbedaan yang terbatas pada panjang bentang yaitu, bentang terpendek
≥ 0,8x bentang terpanjang.
B. Langkah-langkah Perhitungan Tulangan Pelat 2 Arah
1. Menentukan beban pelat.
Setelah menentukan syarat-syarat batas, bentang dan tebal pelat
kemudian beban-beban dihitung. Untuk pelat yang sederhana berlaku rumus:
WU = 1,2 WD + 1,6 WL
ket : WU = beban ultimite
WD = beban mati
WL = beban hidup
16. 2. Menentukan momen pelat dua arah.
Dalam menentukan momen pada pelat dua arah adalah sebagai berikut :
Hitung Wu lx2
Hitung ly/lx, liat tabel metode Amplop nilai koefisien perbandingan
bentang terpanjang dengan bentang terpendek
Hitung Mu = (koef tabel metode amplop berdasarkan ly/lx) . (Wu lx2
)
3. Menentukan rasio tulangan di momen berdasarkan arah x dan arah y.
Pada arah x :
Mu/bd2
= (momen arah x) (b.d2
arah x)
Pada arah y :
Mu/bd2
= (momen arah y) (b.d2
arah y)
2
bd
Mu
= φ . ρ . fy [1- 0,588 ρ.
c
f
fy
'
]
2
bd
Mu
= (φ . ρ . fy ) - (φ . ρ . fy . 0.588 ρ.
c
f
fy
'
)
Kemudian gunakan rumus ABC
a
ac
b
b
2
4
2
,
1
,
2
−
±
−
=
ρ
a
ac
b
b
2
4
1
,
2
−
+
−
=
ρ
a
ac
b
b
2
4
2
,
2
−
−
−
=
ρ
Dari persamaan ρ1 dan ρ2 ambil nilai yang terkecil dan gunakan
sebagai ρ analisa
4. Luas tulangan
As total = ρ . b . d
Pada arah x :
As total = (ρ arah x) (b.d2
arah x)
Pada arah y :
As total = (ρ arah y) (b.d2
arah y
( c ) (b ) ( a )
Jika ρ anl < ρmin maka ρ pakai ρ min
Jika ρ anl > ρmaks maka ρ pakai ρ maks
17. ANALISIS PELAT
4.1 DATA UMUM
Dalam Perhitungan analisis ini dilampirkan beberapa data umum dalam
perencanaan antara lain :
o Bangunan = 4 lantai
o Fungsi bangunan = Rumah toko
o Mutu beton (f’c) = 25 Mpa
o Mutu baja (fy) = 240 Mpa
o Struktur bangunan = Struktur beton bertulang
o Plafon+penggantung = gypsum board+rangka hollow
o Asumsi kecepatan angin = 100 km/jam
18. 5.00
5.00
5.00
5.00 5.00 5.00
5.00
V
O
I
D
V
O
I
D
V
O
I
D
A
1.50
1.25
B C
D E F
G H I
J K L
M N O
1.25 1.25
4.2 ANALISA PELAT
4.2.1 Analisa Tebal Pelat Lantai
Syarat-syarat batas (h min < h ≤ h max) berdasarkan syarat lendutan
Data-data yang digunakan adalah:
Mutu beton f ’c = 25 Mpa
Mutu Baja f ‘ y = 240 Mpa
a. Tinjau daerah H
h min ≥
β
9
36
1500
8
,
0
+
+
fy
x ln
ln = 5000 – 250 = 4750 mm.
250
5000
250
5000
−
−
=
β = 1,000
h min ≥
)
000
,
1
9
(
36
1500
240
8
,
0
x
+
+
x 4750
h min ≥ 101.333 mm.
b. Mencari h maximum (h max)
h max ≤
36
1500
8
,
0
fy
+
x ln
h max ≤
36
1500
240
8
,
0 +
x 4750
h max ≤ 126,667 mm.
Gambar 4.1 Daerah pelat yang ditinjau
19. 126
1250
250
254
380
bw = 250mm
be = 1250 mm
126
1250
250
254
380
(1)
(2)
500
63
253
Asumsi tebal plat yang diambil adalah 126 mm (syarat SNI dengan tebal
pelat minimum 120 mm sehingga aman).
c. Penentuan lebar mamfaat
be = ¼ x lebar bentang yang dituju
be = ¼ x 5000 mm = 1250 mm
Dengan cara lain be didapat
be = bw + (16 x tebal bentang yang dituju)
,
be = 250 mm + (16 x 126 mm) = 2266mm
maka diambil be yang terkecil
be = 1250 mm.
d. Penentuan titik pusat berat
A(1) = 1250 mm x 126 mm = 157500 mm2
.
A(2) = 250 mm x 254 mm = 63500 mm2
.
A (total) = 157500 mm2
+ 63500 mm2
= 221000 mm2
X = 1250 / 2 ------karena simetris
X = 625 mm.
Y =
A total
Y2)
x
(A2
Y1)
x
A1
( +
Y =
221000
253)
x
(63500
63)
x
157500
( +
Y = 117,593 mm
Gambar 4.2 lebar mamfaat
pada balok T
Gambar 4.3 Titik pusat berat
pada balok T
20. 120
1250
250
260
380
Y = 117,593 mm
X = 625 mm
625
e. Momen Inersia terhadap sumbu X
I b1 = {
12
1
(1250x1263
) + 157500(117,593-63)2
}
+{
12
1
(250x2543
) + 63500(254-117,593)2
}
I b1 = 2.183.458.015 mm4
I b1 = I b2 = 2.183.458.015 mm4
I s1 =
12
1
(5000 x (254)3
= 6.827.943.333 mm4
I s2 =
12
1
(5000 x (254)3
= 6.827.943.333 mm4
Ecb = Ecs
jadi : Maka :
320
,
0
333
6.827.943.
015
2.183.458.
1
1
1 =
=
=
Is
Ib
α ( )
2
1
2
1
α
α
α +
=
m
320
,
0
333
6.827.943.
015
2.183.458.
2
2
2 =
=
=
Is
Ib
α ( )
320
,
0
320
,
0
2
1
+
=
m
α
αm = 0,320
f. Kontrol tebal pelat yang diambil
h ≥
+
+
+
1
1
0,12
-
.m
5.
36
1500
fy
0,8
β
α
β
( )
ln
h ≥
+
+
+
000
,
1
1
1
0.12
-
0,320
000
,
1
.
5
36
1500
240
0,8
( )
4750
h ≥ 125,273 mm
Syarat = 101.333 mm ≤ h ≤ 126,667 mm
Gambar 4.4 Momen inersia
pada balok T
21. Maka dari hasil di atas diambil tebal pelat lantai dan diambil tebal plat atap
untuk tebal plat lantai diambil = 126 mm.
untuk tebal plat atap diambil = 110 mm.
4.2.2 Perhitungan Pembebanan Pelat
4.2.2.a Data
1. Pada pelat atap :
- Tebal pelat atap = 0,110 m
- Tebal finishing = 0,030 m
- Tebal volume hujan = 0,030 m
- Berat/volume beton bertulang = 2400 kg/m³
- Berat/volume beton = 2100 kg/m³
- Berat /volume air hujan = 1000 kg/m³
- Berat beban bergerak lantai atap = 100 kg/m²
- Berat plafond+penggantung = 18 kg/m²
2. Pada pelat lantai :
- Tebal pelat lantai = 0,126 m
- Tebal finishing = 0,030 m
- Berat/volume beton bertulang = 2400 kg/m³
- Berat/volume beton = 2100 kg/m³
- Berat beban bergerak lantai 2 dan 3 = 250 kg/m²
- Berat keramik = 60 kg/m²
- Berat plafond+penggantung = 18 kg/m²
22. 110
78 86
p
Ø D
h
4.2.2.b Pembebanan Pelat Atap
1. Beban Mati ( WD )
- Berat sendiri pelat (0,110 x 2400 Kg/m3
) = 264 Kg/m2
- Berat lapisan kedap air ( 2 x 21 Kg/m2
) = 42 Kg/m2
- Berat Plafon + penggantung = (11 + 7) kg/m2
= 18 Kg/m
2. Beban Hidup ( WL )
2
+
324 Kg/m2
- Beban atap menurut SNI (sesuai kegunaan bangunan) = 100 kg/m2
- Berat air hujan 30 mm( 0,03 x1000 kg/m3
) = 30 Kg/m
4.2.2.c Pembebanan Pelat Lantai 3 dan 2
2
+
130 Kg/m2
1. Beban Mati ( WD )
- Berat sendiri plat t = 126 mm ( 0,126x 2400 ) = 302.4 Kg/m2
- Berat finishing plat 30mm ( 0,030 x 2100 ) = 63 Kg/m2
- Berat keramik = 60 Kg/m2
- Berat Plafon + penggantung = (11 + 7) kg/m2
= 18 Kg/m
2. Beban Hidup ( WL )
2
+
443.4 Kg/m2
- Beban lantai menurut SNI (sesuai kegunaan bangunan) = 250 kg/m2
4.5.1.a Perencanaan Tulangan Pelat Lantai atap
A. Pembebanan Pelat Lantai Atap
Data
Beban Mati = 324 kg/m2
.
; Tebal Pelat = 110 mm = 0,110m
Gambar 4.9 Potongan Pelat atap
23. Beban Hidup = 130 kg/m2
.
Direncanakan
Selimut Beton : P = 20 mm = 0,020m
: Diameter Tulangan : ∅ D = 8 mm = 0,008m
(lihat Tabel 3 pada buku Gideon Kusuma halaman 44)
Syarat – syarat Bentang : ly = Bentang terpanjang.
lx = Bentang terpendek.
Tinggi Efektif ;
dx = h – P – ½ ∅ Dx.
= 110 – 20 – 4 = 86 mm = 0,086m. (arah X)
dy = h – P – ∅ Dx – ½ ∅ Dy.
= 110 – 20 – 8 – 4 = 78 mm = 0,078m. (arah Y)
B. Perhitungan Tulangan Pelat Atap
1. Kasus 1 Pelat 1 arah
Wu = 1,2 WD + 1,6 WL.
= 1,2 (324) + 1,6 (130)
= 596,80 kg/m2
= 0,5968 ton/m2
Mu = 1/8 Wu lx2
= 1/8 (0,5968 ton/m2
) . (1,5 m)2
= 0,168 ton m
24. 5.00
5.00
5.00
5.00 5.00 5.00
5.00
V
O
I
D
V
O
I
D
V
O
I
D
1.50
1.25 1.25 1.25
Kasus 3
Pelat 2
arah
Kasus 3
Pelat 2
arah
Kasus 4
Pelat 2
arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 2
Pelat 2
arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 1
Pelat 1 arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 2
Pelat 2
arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 2
Pelat 2
arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 1
Pelat 1 arah
Kasus 1
Pelat 1 arah
Rasio Tulangan ( ρ ) :
ρ min = 0,0025 (Koefisien CUR pelat).
ρ max = 0,75
+ fy
fy
c
xf
600
600
.
1
.
'
85
,
0
β
= 0,75
+ 240
600
600
.
85
,
0
.
240
25
85
,
0 x
= 0,75 [ ]
7142
.
0
85
,
0
0885
,
0 x
x
= 0,04298
ρ min < ρ analisa < ρ max Dimana : φ =8,5
Gambar 4.10 Analisis tulangan atap
berdasarkan kasus
Jika ρ anl < ρmin maka ρ pakai ρ min
Jika ρ anl > ρmaks maka ρ pakai ρ maks
25. ρ anl = 2
bd
Mu
= φ . ρ . fy [1- 0,588 ρ.
c
f
fy
'
]
2
bd
Mu
= (φ . ρ . fy ) - (φ . ρ . fy . 0.588 ρ.
c
f
fy
'
)
.)
2500
24000
.
.
588
,
0
.
24000
.
.
85
,
0
(
)
24000
.
.
85
,
0
(
)
078
,
0
.(
1
168
,
0
2
ρ
ρ
ρ −
=
27,613 = 20400 ρ – 115153,92 ρ 2
115153,92 ρ 2
– 20400 ρ = 27,615
Kemudian gunakan rumus ABC
a
ac
b
b
2
4
2
,
1
2
−
±
−
=
ρ
92
,
115153
2
92
,
115153
613
,
27
4
20400
)
20400
(
2
,
1
2
x
x
x
−
−
±
−
−
=
ρ
92
,
115153
2
119
,
20086
20400
2
,
1
x
±
=
ρ
92
,
115153
2
119
,
20086
20400
1
x
+
=
ρ
92
,
115153
2
119
,
20086
20400
2
x
−
=
ρ
1758
,
0
1=
ρ 0014
,
0
2 =
ρ
Kemudian ambil nilai terkecil dari ρ1 atau ρ2, yaitu nilai ρ2 yaitu
0,0014. Tetapi karena nilai ρ analisa < ρ min maka dipakai ρ min =
0,0025
As total = ρ . b . dy
= 0,0025 . (1m) . (0,078m)
= 2,75 x 10-4
m2
= 275 mm2
Maka tulangan yang dipakai adalah Ø8 – 160mm
( a ) (b ) ( c )
26. Perhitungan momen serta tulangan dilanjutkan dalam bentuk tabel
Mu Mu/bd2
ρ anl ρ min As (mm2
) Tulangan
Tumpuan
dan lapangan
⅛ Wu Lx² 0,168 27,29 0,0014 0,0025 275 Ø8-160
Jepit
1/24 Wu
Lx²
0,168 27,29 0,0014 0,0025 275 Ø8-160
Perhitungan tulangan pembagi
Berdasarkan SK SNI T-511991-03 pasal 3.16.6, jarak maksimum
antara tulangan baja adalah = 3.(h) atau 500mm
Maka jarak tulangan pembagi = (3) . (110mm)
= 330 mm ≈ 250mm
Penulis menggunakan tulangan pembagi = Ø8 – 250mm
2. Perhitungan Kasus 2 Skema II Pelat 2 Arah
Wu lx2
= 0,5968 T/m2
. (5m)2
= 14,92 T
ly/lx = 5,000m/5,000m
= 1,000
Mu = (koef tabel metode amplop berdasarkan ly/lx) . (Wu lx2
)
Mlx = 0,025 x 14,92 = 0,37 T m
Mly = 0,025 x 14,92 = 0,37 T m
Mu/bd2
= (momen arah x atau y) (b.d2
arah x atau y)
Mu/bd2
= (Mlx) / (b . dx2
) = (0,37) / (1. 0,0862
) = 50,43 T/m2
Mu/bd2
= (Mly) / (b . dy2
) = (0,37) / (1. 0,0782
) = 61,31 T/m2
Tabel 4.2 Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 1
27. Rasi tulangan di momen Mlx
ρ anl = 2
bd
Mu
= φ . ρ . fy [1- 0,588 ρ.
c
f
fy
'
]
2
bd
Mu
= (φ . ρ . fy ) - (φ . ρ . fy . 0.588 ρ.
c
f
fy
'
)
.)
2500
24000
.
.
588
,
0
.
24000
.
.
85
,
0
(
)
24000
.
.
85
,
0
(
)
086
,
0
.(
1
37
,
0
2
ρ
ρ
ρ −
=
50,43 = 20400 ρ – 115153,92 ρ2
115153,92 ρ 2
– 20400 ρ = 50,43
Kemudian gunakan rumus ABC
a
ac
b
b
2
4
2
,
1
,
2
−
±
−
=
ρ
92
,
115153
2
92
,
115153
43
,
50
4
20400
20400
2
,
1
,
2
x
x
x
−
±
−
=
ρ
92
,
115153
2
461
,
19822
20400
2
,
1
x
±
=
ρ
92
,
115153
2
461
,
19822
20400
1
x
+
=
ρ
92
,
115153
2
461
,
19822
20400
2
x
−
=
ρ
1746
,
0
1 =
ρ 0025
,
0
2 =
ρ
Kemudian ambil nilai terkecil dari ρ1 atau ρ2, yaitu nilai ρ2 yaitu
0,0025. Tetapi karena nilai ρ analisa = ρ min maka dipakai ρ anl = 0,0025
As total = ρ . b . d
= 0,0025 . (1m) . (0,086m)
= 2,16 x 10-4
m2
= 216 mm2
Maka tulangan yang dipakai adalah Ø8 – 200mm
( a ) (b ) ( c )
28. Perhitungan momen momen serta tulangan dilanjutkan dalam tabel
m koef Mu Mu/bd2
ρ anl ρ min As (mm2
) Tulangan
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 2 skema II
mlx 0,025 0,373 50,433 0,0025 0,0025 216 Ø8-160
mly 0,025 0,373 61,318 0,0031 0,0025 239 Ø8-160
mtx 0,051 0,761 102,883 0,0052 0,0025 447 Ø8-80
mty 0,051 0,761 125,079 0,0064 0,0025 496 Ø8-80
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 3 skema III
mlx 0,0465 0,390 52,765 0,0027 0,0025 226 Ø8-160
mly 0,025 0,210 34,486 0,0017 0,0025 195 Ø8-160
mtx 0,0905 0,760 102,694 0,0052 0,0025 446 Ø8-80
mty 0,0755 0,634 104,148 0,0053 0,0025 410 Ø8-80
mtix 0,0225 0,195 26,383 0,0013 0,0025 215 Ø8-200
mtiy 0,0125 0,105 17,243 0,0008 0,0025 195 Ø8-200
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 4 skema Va
mlx 0,0515 0,432 58,439 0,0029 0,0025 250 Ø8-200
mly 0,0355 0,298 48,970 0,0024 0,0025 195 Ø8-240
mty 0,105 0,881 144,841 0,0074 0,0025 578 Ø8-80
mtix 0,026 0,216 29,219 0,0014 0,0025 215 Ø8-240
mtiy 0,018 0,149 24,485 0,0012 0,0025 195 Ø8-240
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 5 skema Via
mlx 0,025 0,373 50,433 0,0025 0,0025 216 Ø8-160
mly 0,028 0,418 68,665 0,0034 0,0025 268 Ø8-160
mtx 0,054 0,806 132,426 0,0067 0,0025 580 Ø8- 80
mty 0,060 0,895 147,140 0,0075 0,0025 588 Ø8- 80
mtix 0,0125 0,187 25,216 0,0012 0,0025 215 Ø8-200
Tabel 4.3 Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 2 skema II
29. 126
94102
p
Ø D
h
5.00
5.00
5.00
5.00 5.00 5.00
5.00
V
O
I
D
V
O
I
D
V
O
I
D
1.50
1.25 1.25 1.25
Kasus 3
Pelat 2
arah
Kasus 3
Pelat 2
arah
Kasus 4
Pelat 2
arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 2
Pelat 2
arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 1
Pelat 1 arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 2
Pelat 2
arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 2
Pelat 2
arah
Kasus 5
Pelat 2
arah
Kasus 1
Pelat 1 arah
Kasus 1
Pelat 1 arah
4.5.1.b Perencanaan Tulangan Pelat Lantai 3 dan 2
A. Pembebanan Pelat Lantai 3 dan 2
Tebal Pelat = 126 mm = 0,126m
Beban Mati = 443,4 kg/m2
.
Beban Hidup = 250 kg/m2
.
Tinggi Efektif ;
dx = h – P – ½ ∅ Dx.
= 126 – 20 – 4 = 102 mm
dy = h – P – ∅ Dx – ½ ∅ Dy.
= 126 – 20 – 8 – 4 = 94 mm
B. Perhitungan Tulangan Pelat Lantai 3 dan 2
1. Kasus 1 Pelat 1 arah
Perhitungan momen serta tulangan dilanjutkan dalam bentuk tabel
Mu Mu/bd2
ρ anl ρ min As (mm2
) Tulangan
Tumpuan &
Lapangan
⅛ Wu Lx² 0,262 29,67 0,0015 0,0025 275 Ø8-120
Jepit
1/24 Wu
Lx²
0,262 29,67 0,0015 0,0025 275 Ø8-120
Gambar 4.11 Potongan Pelat
Lantai 3
Gambar 4.12 Analisis tulangan lantai 3
berdasarkan kasus
Tabel 4.4 Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 1
30. 2. Perhitungan Pelat 2 Arah
m koef Mu Mu/bd2
ρ anl ρ min As (mm2
) Tulangan
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 2 skema II
mlx 0,025 0,583 55,993 0,0028 0,0025 284 Ø8-120
mly 0,025 0,583 65,929 0,0033 0,0025 310 Ø8-120
mtx 0,051 1,188 114,225 0,0058 0,0025 590 Ø8 – 60
mty 0,051 1,188 134,495 0,0069 0,0025 645 Ø8 - 60
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 3 skema III
mlx 0,0465 0,609 58,583 0,0029 0,0025 298 Ø8-120
mly 0,025 0,328 37,085 0,0018 0,0025 235 Ø8-120
mtx 0,0905 1,186 114,016 0,0058 0,0025 589 Ø8-60
mty 0,0755 0,990 111,997 0,0057 0,0025 533 Ø8-60
mtix 0,0225 0,305 29,291 0,0014 0,0025 215 Ø8-180
mtiy 0,0125 0,164 18,543 0,0009 0,0025 235 Ø8-180
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 4 skema Va
mlx 0,0515 0,675 64,882 0,0032 0,0025 330 Ø8-120
mly 0,0355 0,465 52,661 0,0026 0,0025 235 Ø8-180
mty 0,105 1,376 155,758 0,0080 0,0025 752 Ø8-60
mtix 0,026 0,338 32,441 0,0016 0,0025 255 Ø8-180
mtiy 0,018 0,233 26,330 0,0013 0,0025 235 Ø8-180
Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 5 skema Via
mlx 0,025 0,583 55,993 0,0028 0,0025 284 Ø8-120
mly 0,028 0,652 73,841 0,0037 0,0025 347 Ø8-120
mtx 0,054 1,258 142,407 0,0073 0,0025 743 Ø8- 60
mty 0,060 1,398 158,230 0,0081 0,0025 764 Ø8- 60
mtix 0,0125 0,291 27,996 0,0014 0,0025 255 Ø8-180
Tabel 4.5 Hasil analisis tulangan akhir pada kasus 2 skema II
31. A
B
C
D
D
1 2 3 4
1a 2a 3a
5.00
5.00
5.00
5.00
1.25 3.75 1.25 3.75
1.25
3.75
1.50
D
Gambar 4.25 Denah Pelat Lantai Atap
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
Ø8-160
Ø8-160 Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-250 Ø8-250
Ø8-250
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160
Ø8-160 Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-240
Ø8-200
Ø8-200
Ø8-200
Ø8-200
Ø8-160
Ø8-200
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160 Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
2
2
2
5 5
5
5
5
3
3 4
1 1 1
5
Ø8-200
Ø8-160
Ø8-200
Ø8-200
Ø8-200
Ø8-200
Ø8-200
Ø8-200
Ø8-200
Ø8-200
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-240
Ø8-240 Ø8-240
Ø8-240
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-200 Ø8-200
Ø8-200
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-200
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-160
Ø8-200
Ø8-200
Ø8-160
Ø8-200
Ø8-160
Ø8-160
4.6.1 Gambar Teknik pada Penulangan Pelat
32. A
B
C
D
D
1 2 3 4
1a 2a 3a
5.00
5.00
5.00
5.00
1.25 3.75 1.25 3.75
1.25
3.75
1.50
D
Gambar 4.26 Denah Pelat Lantai 3
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-250 Ø8-250
Ø8-250
Ø8-120
Ø8-160
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120
Ø8-160
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
2
2
2
5 5
5
5
5
3
3 4
1 1 1
5
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-180 Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180 Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
33. A
B
C
D
D
1 2 3 4
1a 2a 3a
5.00
5.00
5.00
5.00
1.25 3.75 1.25 3.75
1.25
3.75
1.50
D
Gambar 4.27 Denah Pelat Lantai 2
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-250 Ø8-250
Ø8-250
Ø8-120
Ø8-160
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120
Ø8-160
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120 Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
2
2
2
5 5
5
5
5
3
3 4
1 1 1
5
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-180 Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180 Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-180
Ø8-120
Ø8-120
34. km/wc
+0.05
+0.10
5.00
5.00
5.00
1.50 3.50 3.50 1.50 1.50 3.50
15.00
2.50
2.50
5.00 5.00 5.00
15.00
20.00
1.25
A A
B
B
km/wc
+0.05
km/wc
+0.05
Up Up Up
+0.10 +0.10
PLAN 1 ST FLOOR PLAN
C O N S U L T A N T
ARCHITECT
CONTRUCTION
STRUCTURE
OWNER
SEPTIA EDI PRATAMA
1:100
PROJECT ADDRESS
DUTA PRATAMA
P R O J E C T
Perencana & Perancang
NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR
HOME STORE
DATE OF COMPLETION
CHAPTER
SHEET NUMBER
1
1
-
DATE OF
REVISION
SEPTIA EDI PRATAMA
09 - 01 - 2013
9 - 02 - 2012
SEPTIA EDI PRATAMA
SEPTIA EDI PRATAMA
LAMPIRAN
35. 5.00
5.00
5.00
1.25 1.50
15.00
2.50
2.50
20.00
1.25
A A
B
Down
Up
Down
Up
Down
Up
2.25 1.25 1.50 2.25
1.25
1.50
2.25
1.75
2.00
1.30 3.70 1.85 1.30 1.85
15.00
B
3.70 1.30
1.50
1.00
+4.05 +4.05 +4.05
km/wc
+ 4.00
km/wc
+ 4.00
km/wc
+ 4.00
PLAN 2 ND FLOOR PLAN
C O N S U L T A N T
ARCHITECT
CONTRUCTION
STRUCTURE
OWNER
SEPTIA EDI PRATAMA
1:100
PROJECT ADDRESS
DUTA PRATAMA
P R O J E C T
Perencana & Perancang
NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR
HOME STORE
DATE OF COMPLETION
CHAPTER
SHEET NUMBER
1
2
-
DATE OF
REVISION
SEPTIA EDI PRATAMA
SEPTIA EDI PRATAMA
SEPTIA EDI PRATAMA 09 - 01 - 2013
9 - 02 - 2012
36. +8.05 +8.05 +8.05
km/wc
+ 8.00
km/wc
+ 8.00
km/wc
+ 8.00
0.80 3.90 0.85 3.90 0.85 3.90 0.80
15.00
1.50
0.55 0.55
0.55
5.00
5.00
5.00
1.25 1.50
15.00
2.50
2.50
20.00
1.75
A A
B
Down Down
Down
2.25 1.25 1.50 2.25
1.25
1.50
2.25
1.25
2.00
B
PLAN 3 RD FLOOR PLAN
C O N S U L T A N T
ARCHITECT
CONTRUCTION
STRUCTURE
OWNER
SEPTIA EDI PRATAMA
1:100
PROJECT ADDRESS
DUTA PRATAMA
P R O J E C T
Perencana & Perancang
NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR
HOME STORE
DATE OF COMPLETION
CHAPTER
SHEET NUMBER
1
3
-
DATE OF
REVISION
SEPTIA EDI PRATAMA
09 - 01 - 2013
9 - 02 - 2012
SEPTIA EDI PRATAMA
SEPTIA EDI PRATAMA
37. +12.05 +12.05 +12.05
0.80 3.90 0.85 3.90 0.85 3.90 0.80
15.00
1.50
0.55 0.55
0.55
5.00
5.00
5.00
5.00
15.00
2.50
2.50
20.00
1.75
A A
B
5.00
5.00
1.25
2.00
B
PLAN 4 TH FLOOR PLAN
C O N S U L T A N T
ARCHITECT
CONTRUCTION
STRUCTURE
OWNER
SEPTIA EDI PRATAMA
1:100
PROJECT ADDRESS
DUTA PRATAMA
P R O J E C T
Perencana & Perancang
NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR
HOME STORE
DATE OF COMPLETION
CHAPTER
SHEET NUMBER
1
3
-
DATE OF
REVISION
SEPTIA EDI PRATAMA
09 - 01 - 2013
9 - 02 - 2012
SEPTIA EDI PRATAMA
SEPTIA EDI PRATAMA
38. A
B
C
D
D
1 2 3 4
5.00
5.00
5.00
5.00
5.00 5.00
5.00
STRUCUTRE &
DETAILS
FOUNDATION, SLOOF,
& COLUMN PLAN
C O N S U L T A N T
ARCHITECT
CONTRUCTION
STRUCTURE
OWNER
SEPTIA EDI PRATAMA
1:100
PROJECT ADDRESS
DUTA PRATAMA
P R O J E C T
Perencana & Perancang
NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR
HOME STORE
DATE OF COMPLETION
CHAPTER
SHEET NUMBER
2
5
-
DATE OF
REVISION
SEPTIA EDI PRATAMA
09 - 01 - 2013
9 - 02 - 2012
SEPTIA EDI PRATAMA
SEPTIA EDI PRATAMA
39. A
B
C
D
D
1 2 3 4
1a 2a 3a
5.00
5.00
5.00
5.00
1.25 3.75 1.25 3.75
1.25
3.75
1.50
D
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
R
e
n
c
a
n
a
t
a
n
g
g
a
STRUCUTRE &
DETAILS
2ND-4TH PLATE, BEAM,
& COLUMN PLAN
C O N S U L T A N T
ARCHITECT
CONTRUCTION
STRUCTURE
OWNER
SEPTIA EDI PRATAMA
1:100
PROJECT ADDRESS
DUTA PRATAMA
P R O J E C T
Perencana & Perancang
NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR
HOME STORE
DATE OF COMPLETION
CHAPTER
SHEET NUMBER
2
6
-
DATE OF
REVISION
SEPTIA EDI PRATAMA
09 - 01 - 2013
9 - 02 - 2012
SEPTIA EDI PRATAMA
SEPTIA EDI PRATAMA
40. Beam plan in 2nd-4th floor
380mm
250mm
250mm
300mm
Sloof in 1st floor
380mm
250mm
150mm
150mm
Simple beam
150mm
150mm
Simple column
+12.00
+8.00
+4.00
±0.00
- 2.00
+4.00
+0.00
+8.00
5.00 5.00 5.00
STRUCUTRE &
DETAILS
SECTION A-A & PRA
DESAIN BEAM AND
COLUMN
C O N S U L T A N T
ARCHITECT
CONTRUCTION
STRUCTURE
OWNER
SEPTIA EDI PRATAMA
1:100
PROJECT ADDRESS
DUTA PRATAMA
P R O J E C T
Perencana & Perancang
NOTE TITLE SUBTITLE SCALE TITLE NAME APPR
HOME STORE
DATE OF COMPLETION
CHAPTER
SHEET NUMBER
2
7
-
DATE OF
REVISION
SEPTIA EDI PRATAMA
09 - 01 - 2013
9 - 02 - 2012
SEPTIA EDI PRATAMA
SEPTIA EDI PRATAMA
Column plan in 2nd-4th floor
Section A-A
42. P R O J E C T
DWELLING HOUSE
O W N E R
-
C O N S U L T A N T
-
N O T E
- FRONT
- REAR
T I T L E
VIEW
S U B T I T L E
DATE OF
COMPLETION
SCALE
SHEET
NUMBER
2.1
1:100
APPR
NAME
ARCHITECT
STRUKTURE/
CONTRUCTION
APPROVED
SEPTIA EDI PRATAMA
TITLE
-
CHECKED
SEPTIA EDI PRATAMA
REAR
SCALE 1:100
FRONT
SCALE 1:100
43. -0.60
P R O J E C T
DWELLING HOUSE
O W N E R
-
C O N S U L T A N T
-
N O T E
T I T L E
VIEW
S U B T I T L E
DATE OF
COMPLETION
SCALE
SHEET
NUMBER
2.2
1:100
APPR
NAME
ARCHITECT
STRUKTURE/
CONTRUCTION
APPROVED
SEPTIA EDI PRATAMA
TITLE
-
CHECKED
SEPTIA EDI PRATAMA
- FRONT SIDE RIGHT
FRONT SIDE RIGHT
SCALE 1:100