Teks tersebut merangkum pelajaran dari ayat Al-Quran tentang betapa lemahnya berlindung kepada selain Allah, meskipun sesuatu tampak kuat secara empiris. Ayat tersebut menggunakan perumpamaan sarang laba-laba yang lemah, meskipun kini diketahui bahwa seratnya sangat kuat. Teks ini menekankan bahwa dalam pandangan Allah, segala sesuatu selain Dia adalah lemah, termasuk berhala-berhala umat
1. 1
Menimba Hikmah Dari Sarang Laba-laba:
“Betapa Rapuhnya Sang Pelindung Selain Allah”
Subuh -- pagi hari ini – saya berkesempatan untuk bertadabbur, setelah membaca QS al-‘Ankabût/29: 41. Tidak ada yang luar biasa, selain saya mendapatkan pelajaran dari Allah bahwa ‘Allah’-lah satu-satunya pelindung sejati, yang terkokoh di antara yang kita persepsi ‘kokoh’. Dan bahkan semuanya – selain Allah – ‘sangat rapuh’ dan tak memiliki kekuatan apa pun ketika disandingkan dengan kekuatan Allah – Al-Azîz -- Yang Maha Perkasa.
Allah berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS al- ‘Ankabût/29: 41)
Ayat tersebut (di atas) mengemukakan betapa lemahnya sarang laba-laba. Kitapun mungkin pernah mengais-ngais sarang laba-laba yang ada di sekitar rumah kita, yang memang tampak lemah karena mudah nian untuk dirusak.
Dan fakta lain justeru menunjukannya sebagai sejenis serat yang sangat kuat. Para ilmuwan di berbagai negara (antara lain Amerika Serikat) dewasa ini tengah bergiat meneliti misteri kekuatan serat sarang laba-laba secara lebih mendalam. Beberapa hasil penelitian telah mengungkapkan bahwa serat tersebut ternyata lebih kuat daripada serat yang hingga kini dianggap terkuat (kevlar dan serat baja). Hingga saat ini sudah dapat diketahui, bahwa kekuatan serat sarang laba-laba sekitar 3 (tiga) kali serat kevlar (serat bahan rompi anti peluru) dan 5 (lima) kali lebih kuat dari serat baja.
Setiap ayat Qauliyah (yang terucap dan tertulis dalam kitab suci) dan (ayat-ayat) Kauniyah (atau realitas empirik) yang pasti serba berkait erat dan saling membuktikan itu dapat kita ambil hikmahnya, antara lain sebagai sebentuk praktik cara memersepsi ayat dan fakta yang ‘tidak boleh tidak’
2. 2
harus selalu kâffah (memertalikan realitas secara relevan dan menyeluruh, proporsional, serta tepat), agar terhindar dari bentuk-bentuk persepsi yang mengarah kepada kekufuran (kufur ayat).
Sebelum adanya penelitian yang mengungkap kekuatan serat sarang laba-laba, kita semua tampaknya sudah sepakat bahwa serat itu memang sangatlah lemah. Dan kemudian persepsi kita terhadap ayat tersebut barangkali bisa jadi sedikit agak ‘berubah’ setelah mengetahui fakta-fakta di sebaliknya yang malah metampakan kekuatannya.
Perkembangan pemikiran seperti itu sebenarnya juga kian menegaskan tentang sifat dinamis yang melekat pada daya persepsi manusia terhadap segala realitas, termasuk terhadap seluruh ayat al-Qur’an yang sifatnya mutlak (pasti benar dan tetap pula kebenarannya itu). Dalam hal ini bahwa dari sudut pandang kita (manusia) selaku perseptor, maka setiap teks al-Qur’an akan selalu tampak berkait secara dinamis dengan konteksnya. Baik dalam konteks antarkata atau kalimat di dalam ayat, antarayat, dan di antara surat (yang relevan tentunya), maupun konteks yang berkait dengan dinamika fakta-fakta kauniyahnya. Karena keterkaitan antarkonteks tersebut, sementara fakta kauniyahnya selalu berkembang (atau dinamis), maka bentuk-bentuk pertalian maknanya pun niscaya akan selalu tampak proporsional (atau khas).
Seperti halnya pertalian konteks ayat yang berkenaan tentang perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah yang adalah ‘sangat lemah’, dengan dinamika empirik yang kita ketahui di zaman modern ini tentang betapa kuatnya serat sarang laba-laba (atau – katakanlah -- bahwa serat tersebut satu-satunya bahan/materi yang paling kuat).
Yang selalu proporsional tampak antara lain sebagai berikut:
1. Bahwa serat laba-laba sebagai sarang (atau sejenis rumah), sampai kapan pun akan tampak lemah menurut ukuran manusia.
2. Kemudian serat itu menjadi tampak kuat (menurut ukuran manusia pula), setelah melalui proses tertentu yang bentuknya bukan lagi sebagai sarang laba-laba.
3. Apabila perumpamaannya kita buat terbalik, maka makna lain yang tersirat dari kekuatan serat itu boleh jadi juga berkait dengan konteks empirik yang hingga kini tampak sedemikian marak terjadi di belahan bumi mana pun. Yaitu betapa ‘kuat’ (dalam arti banyak)nya umat manusia (termasuk di kalangan yang mengaku Islam) yang mencari perlindungan kepada selain Allah.
4. Dan dalam 'pandangan' Allah Subhânahu wa Ta'âlâ, dalam bentuk seperti apa pun (sarang atau bukan sarang), yang dibentuk oleh
3. 3
manusia jadi sebesar dan sebanyak apa pun, tetap saja semua itu lemah adanya.
Dengan demikian menjadi kian jelaslah pertalian maknawi dari ayat tersebut. Bahwa sesuatu di dunia ini yang paling kuat sekali pun dan sebesar serta sebanyak apa pun, apabila itu dijadikan ‘berhala’ atau dijadikan pelindung selain Allah, maka dari sudut pandang mana pun pastilah ‘Sang Sesuatu’ itu jadi tampak lemah (tiada kekuatan sama sekali), bila dibanding Allah Subhânahu wa Ta'âlâ (Yang) Al-Qawiy (Maha Kuat), Al-Matîn (Maha Kokoh), dan Al-Waliy (Maha Pelindung) dan sebenar-benar Dzat Yang Maha Pemberi Perlindungan. Dan tentunya apalagi bila kita (atau umat manusia di zaman dahulu) sebatas mengetahui bahwa sarang laba-laba itu sebagai sejenis rumah yang sangat lemah dan sangat rapuh.
Nah, setelah kita baca ayat tersebut, “apakah kita masih akan tetap berlindung kepada selain Allah?”
Mari kita renungkan!
(Dikutip dan diselaraskan dari https://www.facebook.com/notes/pesona- tauhid/menimba-hikmah-dari-sarang-laba-laba/527351513988376)