3. DAFTAR ISI
tulisan utama I
Quo Vadis Pendidikan Indonesia?
8
SENI BUDAYA
stand Up Comedy : Seni di Balik Tawa
46
tulisan utama II
Krisis Literasi dalam Skor PISA
Indonesia
12
Senarai
Kepada Masa Depan Tentang Hari Ini
55
tulisan utama III
Balada Bimbel Online
dalam Sistem Pendidikan Indonesia
15
tOKOH
Pelangi di Tengah Suramnya Minat
Baca Indonesia
42
SecangkirTeh - 6
Transformasi Pendidikan, Jargon atau
Jawaban Perubahan Zaman?
Tulisan Utama I - 8
Quo Vadis Pendidikan Indonesia?
Tulisan Utama II - 12
Krisis Literasi dalam Skor PISA Indonesia
Tulisan Utama III - 15
Balada Bimbel Online dalam Sistem Pendidi-
kan Indonesia
Infografis - 18
Kesehatan - 20
COVID 19 Tak Terhentikan, Persiapan
Menjadi Pertanyaan
YangTerlupakan - 22
Majalah Anak : Hiburan Mendidik Masa Lalu
Jelajah - 24
GemerlapTriangulum Australe di Langit
Sydney
Kajian - 26
Online Learning : Momen DisrupvitasTe-
knologi di PerguruanTinggi
Sudut Pandang - 28
Belajar dari Negeri Paman Sam dan Matahari
Terbit
Komunitas Kita - 30
Semut Sumut : Pengubah Nasib Anak
Putus Sekolah
Penelitian - 32
Kredit Usaha Rakyat Petani Garam, Solusi
yang Tidak Tepat Fungsi
Piksel - 34
Politik Hukum - 36
Polemik GBHN, Kenangan Orde Baru untuk
Pembangunan
Teknologi - 38
Information Gathering, Celah dalam Kea-
manan Siber E-Commerce
Sosial - 40
Social JusticeWarrior, Pahlawan Keadilan
Sebenarnya?
Tokoh - 42
Pelangi di Tengah Suramnya Minat Baca
Indonesia
Lingkungan - 44
Indonesia Bagai Bak Sampah Negara Maju
Seni Budaya - 46
Stand Up Comedy : Seni di Balik Tawa
Resensi - 48
Kim JiYoung : Born in 1992
Meniliki Kompleksnya Budaya Patriarki
Kolom - 50
Tangan Tak Sampai: PJJ Permanen dan
Kesenjangan Digital Kita
Ekonomi Populer - 52
Memilih Pekerjaan yang Memberikan Imbal
BalikTinggi
Peluang - 54
BHUMI : Brand Kecantikan Lokal bisa Go
Global
Senarai - 55
Kepada Masa Depan,Tentang Hari Ini
Pojok - 58
EdukasiTanpa Esensi
Igauan - 60
Namaku Aira
3
Economica 62 / 2020
4. Economica 62 / 2020
4
DARI REDAKSI
Pendidikan merupakan bagian sentral dari masyarakat yang fungsional.
Setiapnegaramemilikisistempendidikantersendiri,termasukIndonesia.
Walaupun sama-sama digunakan untuk mendidik individu, sistem
pendidikan yang berbeda menganut tujuan yang berbeda-beda pula.
Ada yang bertujuan mengembangkan potensi intelektual individu dan
ada yang bertujuan mempersiapkan seseorang—hingga menjadi
layak—sebelum masuk ke dalam masyarakat. Dan ada pula yang
merupakan gabungan kedua tujuan tersebut.
Indonesia telah merdeka selama 75 tahun, selama itu pula sistem
pendidikan Indonesia terus mengalami perubahan, sesuai dengan visi
pemegang kuasa dan tantangan yang dihadapi. Perubahan yang terus
terjadi menimbulkan pertanyaan, ke mana kah sistem pendidikan
Indonesia mengarah dan tujuan apa yang dilayaninya?
Majalah Economica kembali hadir ke hadapan pembaca setia dengan
edisi ke-62 yang akan membahas pendidikan Indonesia secara
mendalam. Pada edisi kali ini, Majalah Economica akan mengulik tujuan,
hambatan, realiasi, dan transformasi dari sistem pendidikan Indonesia.
Tidak hanya terbatas pada isu pendidikan, Majalah Economica juga akan
menyajikan pembahasan-pembasahan lain yang tak kalah menarik. Pada
edisi ke-62 ini, Anda dapat mendalami sistem perencanaan pembangunan
di Indonesia pada rubrik Politik Hukum. Tak hanya itu, Anda juga dapat
memahami lebih dalam isu impor sampah di rubrik Lingkungan. Majalah
Economica tak lupa menghadirkan beberapa karya sastra yang akan
membantu Anda mengeksplorasi berbagai emosi.
Redaksi berharap, Majalah Economica edisi ke-62 dapat mencelikkan mata
pembacadanmemberikanpengetahuankepadamerekayangmencarinya.
Semoga Majalah Economica membantu memperluas wawasan dan
membuka cakrawala baru Anda, para pembaca setia.
TIM REDAKSI
PELINDUNGTuhan Yang Maha Esa
PENERBIT Badan Otonom Economica
PENANGGUNGJAWABPengurus Inti BOE FEB UI
PEMIMPINORGANISASI Fadhil Ramadhan
PEMIMPINUMUM Rani Widyaningsih
PEMIMPINREDAKSIPhilipus Susanto
REDAKTURPELAKSANA Maurizky Febriansyah
WAKILREDAKTURPELAKSANA1Cecilia Arviana
WAKILREDAKTURPELAKSANA2Rania Yolanda Safitri
MANAJERDISTRIBUSIGabriel Fiorentino Setiadin
REDAKSI Tesalonika Hana T., M. Daffa Nurfauzan, Sheila Firda
A., Rehulina Aglaia, Belinda Azzahra, Rama Vandika Daniswara,
Shahifa Assajjadiyyah, Klareza Putri D., Rahma Kesumaningsih,
Haikal Qinthara, Veby Kristianty Panggabean, Siti Hardianti Thalia
Utami, Emily Anggita, Donny Falah, Maria Regina Yofanka,
Nismara Paramayoga, Ricardo Juan, Nadyezdi Rifi Prihadiani,
Yudhistira Gowo Samiaji, Nurul Azmi Lestari, I Made Kharisma
Agung Putra, Rifqi Dwi Fianto, Marcello Patrick, Batrisyia Izzati
Ardhie, Timothy Joel, Vezia Berliana Hasian, Regi Trevina, Fadhel
Haryo Bhagaskara, Risa Indrawati, Revanza Auditya, Surya Felix
Wijaya, Aisha Rizqi Mahirani, Bilal Reginald Putra, uli Ardita Putri
Nugroho, Muhammad Zadda Ilman, Saffana Putri Andriana.
ILUSTRASISAMPUL Batrisyia Izzati Ardhie
DESAINDANTATALETAK Economica
DOKUMENTASIEconomica
RISET DAN KAJIAN Divisi Penelitian BO Economica, Divisi Kajian
BO Economica
LAUNCHING Dik Ajeng Sekar PutriTaufanti, Nismara Paramayoga,
Nadyezdi Rifi Prihadiani, Rifqi Dwi Fianto, Muhammad Zadda
Ilman, Batrisyia Izzati Ardhie, Kinasha Nadindya, Madina Fiscarine
, Qurratu Aina, Nurul Azmi Lestari, Resha Putra Maheswara, Zahira
Mahardhika, Risa Indrawati, Abelardo Sebastian Tambunan,
Fadhli Rahman Jamal, Yumnaa Bustainah Mudzofar, Saffana Putri
Andriana.,
PENGURUSINTI
Fadhil Ramadhan (Ketua Umum), Liana Febrianti Ismail
(Sekretaris Umum), Nadhifa Ardiyanti Zahra (Bendahara Umum),
Miftah Rasheed Amir (Kontrolir)
INTERNALAUDIT
Larasati EkaWardhani (Ketua), Adela Pravita, Dian Setyawati, Reza
Fahlevi.
DIVISIPENERBITAN
Rani Widyaningsih (Kepala), Philipus Susanto (Pemimpin Redaksi
Majalah Economica), Tazkia Astrina K., Aletheia M. Tandean,
Maurizky Febriansyah, Ruthana Bitia, Renadia Kusuma Sanusi,
Tesalonika HanaT., Haikal Qinthara, Cecilia Arviana, RaniaYolanda
Safitri, Gabriel Fiorentino Setiadin, Nadyezdi Rifi Prihadiani,
Nismara Paramayoga, Qurratu Aina, Tahtia Anharani Sazwara,
Zahira Mahardhika , Donny Falah, Madina Fiscarine
DIVISIPENELITIAN
Natsumi Jati P (Kepala), Azaria Hashina (Wakil Kepala), Fitri
Nurjanah (Wakil Kepala), Cristopher Sipayung, Roufan Hirqoni,
Belinda Azzahra, Daffa Praama, Eunike Kezia A. Prasetyo, Rahma
Kesumaningsih, Fadhel Haryo Bhagaskara, Hegar Pangestu
Egieara, Surya Felix Wijaya, Aisha Rizqi Mahirani, Bilal Reginald
Putra, Risa Indrawati
DIVISIKAJIAN
Rama Vandika Daniswara (Kepala), Anugerah Pekerti Islamilenia.
(Wakil Kepala), AnugerahTryandiW., Guntur Aryanto Putra, Erika,
M. Daffa Nurfauzan, Oliver J M Sianturi, Maria Regina Yofanka,
Resha Putra Maheswara, Ricardo Juan, Yudhistira Gowo Samiaji
DIVISIPROYEK
Fasya Nurfiranda (Kepala), Ilioni Trivonda Fensha Mon (Wakil
Kepala), Gabriella Dian S. G., Klareza Putri D., Maritza Ayu
Nathania, Sheila Firda A., Siti Hardianti T, Dik Ajeng Sekar Putri
Taufanti, Juli Ardita Putri Nugroho, Marcello Patrick, Nurul Azmi
Lestari, Rifqi Dwi Fianto
BIROPENGEMBANGANSUMBERDAYAMANUSIA
Vika Liyanda (Kepala), Shafia Nabila (Wakil Kepala), Lidya Devina
(Wakil Kepala), M. Faisal Farhan Lubis, Dian Judith, Rehulina
A., Veby Kristianty P., Aurellia Nadhira R. Wardani. Regi Trevina,
Revanza Auditya, Timothy Joel, Vezia Berliana Hasian
BIROHUBUNGANLUAR
Shafira Adjani (Kepala), Benedikta Maria (Wakil Kepala), Riana
Rusdianto (Wakil Kepala), Vincent Gunawan, Amalia Cahyani,
Amirah Hana, Emily Anggita, Julio Trijaya, I Made Kharisma
Agung Putra, Kinasha Nadindya, Muhammad Zadda Ilman,
Yumnaa Bustainah Mudzofar
BIRODESAINDANTEKNOLOGI
Yosia Kenneth Manurung (Kepala), Syskia Anelis (Wakil Kepala),
Utari Nanda (Wakil Kepala), Alisha Farizka Nadhirani, Fanindya
Dwimartha, Priskila, Dhea Monica, Shahifa Assajjadiyyah, Saffana
Putri Andriana, Fadhli Rahman Jamal, Batrisyia Izzati Ardhie,
Akmal Haikal Rahardian, Abelardo Sebastian Tambunan
KONTAK
Website : economica.id
Telepon : (021) 7865084
E-mail : boeconomica@live.com
ALAMATKANTOR
Gedung Student Center FEB UI Lt.1
Kampus Baru UI, Depok
Jawa Barat 16424
FOTO:
DOKUMENTASI
PRIBADI
5. INTERMEZZO
FOTO: ALETHEIA M. TANDEAN
ESENSI EDUKASI
DI MATA MEREKA
5
Economica 62 / 2020
“Please don’t touch politically about the education.
Biarkan pendidikan itu dengan culture, style, dan
way of life. Jangan diintervensi aneh-aneh karena
jika diintervensi pemerintah akan menjadi komoditas.
Sejatinya esensi dari lembaga pendidikan adalah
nirlaba.”
Prof. Dr. Ir. K.H. Mohammad Nuh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
Periode 2009 - 2014
“Pendidikan di negara mana pun akan melayani
paling tidak tiga imperatif fungsi dasar, yaitu untuk
kepentingan anak sebagai individu yang unik, untuk
kepentingan kontinuitas identitas bangsa, dan yang
terakhir untuk kepentingan ekonomi.”
Anindito Aditomo, Ph.D
Senior Consultant
Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK)
FOTO:
KATYA
MAZAYA
KINANTI
S
6. SECANGKIR TEH
S
S
ebagai sebuah negara-bangsa,
Indonesia mencantumkan empat
tujuan berdirinya dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), salah
satunya adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa. Frasa “mencerdaskan kehidupan
bangsa” kemudian diturunkan dalam
Pasal 31 Amandemen Keempat UUD 1945
yang memberikan hak mendapatkan
pendidikan bagi setiap warga negara dan
mewajibkan pemerintah untuk menjamin
pendidikan dasar bagi warga negara,
menyelenggarakan sistem pendidikan
nasional, memberikan prioritas anggaran
bagi pendidikan sekurang-kurangnya 20
persen dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), dan memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagaimana kewajiban negara dalam
pendidikan bisa lahir dalam UUD 1945?
Tentu kita harus merunut kembali ke
perjuangan Bapak Pendidikan Nasional Ki
HajarDewantaradalammerintispendidikan
pribumi di Hindia Belanda. Ia mendirikan
Perguruan Tamansiswa pada tahun
1922 untuk membuka akses pendidikan
bagi masyarakat pribumi yang memiliki
banyak kendala, termasuk status sosial
(Darmaningtyas, 2017). Berbeda dengan
sekolah kolonial yang bertujuan untuk
mencetak pegawai negeri yang andal,
Perguruan Tamansiswa bertujuan untuk
membangun masyarakat Indonesia yang
tertib dan damai. Pendirian Tamansiswa ini
didasari oleh falsafah Ki Hajar Dewantara,
yaitu Patrap Triloka—Sintesis dari falsafah
pendidikan Montessori dan Tagore.
PatrapTriloka yang berbunyi ingngarsa
sung tulada, ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani merupakan bentuk ideal
seorang guru yang dicetuskan oleh Ki
Hajar Dewantara. Menurutnya, seorang
guru harus dapat memberikan teladan
(tulada) untuk siswa, membangun inisiatif
(karsa) siswa, dan memberikan dorongan
(daya) bagi siswa untuk eksplorasi. Falsafah
pendidikan tersebut menjadi cikal bakal
sistem dan arah pendidikan nasional, yang
tertuang dalam Pembukaan dan Pasal 31
UUD 1945
Di zaman kiwari, penggalan terakhir
Patrap Triloka (tut wuri handayani) menjadi
semboyan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan dengan harapan
semangat falsafah Ki Hajar Dewantara
dapat diejawantahkan dalam kebijakan
pendidikan nasional. Namun, apakah
semboyan tersebut hanya teronggok di
logo Kemendikbud ataukah benar-benar
terwujud dalam kebijakan pendidikan
nasional?
Jiwa Zaman Kurikulum di
Indonesia
Kewajiban negara dalam pendidikan
nasional membutuhkan seperangkat
landasan operasional, berupa kurikulum,
agar negara dapat menjalankan amanat
konstitusi. Kurikulum nasional kerap
mengalami perubahan yang senada
dengan kebutuhan zaman (zeitgeist, jiwa
zaman).
Menilik sejarah kurikulum yang
pernah dimiliki Indonesia, Alhamuddin
(2014) mencatat bahwa pasca-Indonesia
merdeka, Indonesia telah memiliki sepuluh
kurikulum pendidikan yang berbeda.
Kurikulum “merah putih” pertama yang
dimiliki Indonesia adalah Rencana Pelajaran
1947—LebihdikenaldenganLeerPlan1947.
Sebagai sistem pendidikan negara yang
baru terbebas dari penjajahan, Leer Plan
1947 lahir dari campuran sistem pendidikan
Belanda, tetapi menitikberatkan pada
pembentukan karakter manusia yang
bermartabat, sejajar dengan bangsa lain,
dan terbebas dari nilai kolonialisme.
Pembentukan Rencana Pelajaran
1947 juga diiringi oleh pembentukan
aturan tentang sistem pendidikan nasional
pertama yang tertuang dalam UU No.4
Tahun 1950. Lima tahun berselang,
kurikulum nasional berubah menjadi
Rencana Pelajaran Terurai 1952 yang
menitikberatkan pada kesesuaian mata
pelajaran dengan kehidupan sehari-hari
dan satu guru hanya mengajar satu mata
pelajaran.
Perubahan kurikulum kembali terjadi
sebagai penutup Orde Lama. Rencana
Pendidikan 1964 cukup merombak
sistem pendidikan nasional. Rencana
Pendidikan 1964 menitikberatkan program
Pancawardhana, yakni pengembangan
moral, kecerdasan, emosional/artistik,
keterampilan (keprigelan), dan jasmani.
Kurikulum ini hanya bertahan selama
empat tahun karena naiknya Soeharto ke
kursi kepresidenan.
Kurikulum 1968 mengubah program
Pancawardhana menjadi tiga program
utama, yakni pembinaan jiwa Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan
khusus. Konsep management by objective
yang mulai digandrungi di Indonesia,
tak terkecuali pemerintah, kemudian
diterapkan dalam Kurikulum 1975.
Kurikulum 1975 merinci metode, materi,
dan tujuan pengajaran dalam satuan
pengajaran. Winarno Surakhmad (2009)
mencatat, perubahan kurikulum menjadi
Kurikulum 1975 merupakan perubahan
kurikulum yang relatif tidak terpengaruh
gejolak politik. Namun, akibat pemerincian
satuan pengajaran, para guru terjebak
dalam pekerjaan birokratis sehingga
Kurikulum 1975 menuai protes.
Alhasil, terbitlah penyempurnaan
Kurikulum 1975 dalam bentuk Kurikulum
1984. Kurikulum 1984 menitikberatkan
pendekatan proses dalam bentuk
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) tanpa
menegaskan pada hasil belajar. Akan
Sekelompok mahasiswa, lahir di sekitar reformasi, kembali menerawang masa sekolahnya. Setidaknya mereka sudah
mengalamimaju-mundurkurikulumpendidikanselamasekolah.Merekamerenung,“Apadampakperubahanitusemua
untuk kita saat ini? Toh kurikulum yang ada tidak terasa jelas efeknya ketika kita sekolah,” ujar salah seorang mahasiswa
sambil mengamati frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam Pembukaan UUD 1945.
Economica 62 / 2020
6
TRANSFORMASI pENDIDIKAN
jARGON ATAU JAWABAN tANTANGAN ZAMAN?
Fadhil Ramadhan (Ketua Umum B.O. Economica)
FOTO:
RANIA
YOLANDA
S.
|
ECONOMICA
7. 7
Economica 62 / 2020
tetapi, CBSA dalam Kurikulum 1984 terlihat
seperti melampaui zaman. Konsep CBSA
yang indah dalam kertas, tetapi tidak dapat
diwujudkan ke dalam ruang kelas. Riuh
rendah celoteh siswa dengan label diskusi
ditambahdenganmetodepengajaranyang
bergeser dari berceramah menimbulkan
penolakan terhadap CBSA.
Riuh rendah penerapan Kurikulum
1984 diselingi dengan upaya Orde Baru
membuat aturan sistem pendidikan
nasional dalam satu undang-undang. Enam
undang-undang produk Orde Lama diganti
dengan Undang-undang nomor 2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UU 2/1989, UU Sisdiknas). Kebutuhan
mewujudkan pembangunan nasional
menjadi pendorong perubahan undang-
undang,hinggaakhirnyapengejawantahan
“pembangunan” terasa kental dalam UU
Sisdiknas, sesuai dengan fokus daripada
Soeharto terhadap Indonesia.
Setengah dasawarsa kemudian, terjadi
kawin silang antara Kurikulum 1975 dan
Kurikulum 1984. Kelahiran Kurikulum
1994 kembali menuai kritik. Banyaknya
tarik-menarik antarkelompok membuat
materi pelajaran Kurikulum 1994 menjadi
sangat padat. Terdapat muatan nasional
sebagai muatan wajib dan muatan lokal
yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan
daerah masing-masing. Setelah Soeharto
lengser keprabon, Pemerintahan BJ Habibie
menerbitkan Suplemen Kurikulum 1999.
Suplemen kurikulum ini hanya berperan
sebagai penambal materi pelajaran
Kurikulum 1994.
Setelah bangsa Indonesia mengalami
hiruk pikuk Reformasi, barulah
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri
mampu menerbitkan peraturan sisdiknas
dan kurikulum baru. UU 20/2003
menggantikan UU 2/1989 sebagai UU
Sisdiknas. Perbedaan mendasar antara UU
20/2003 dengan UU 2/1989 ditunjukkan
dari tujuan pendidikan nasional.
Tantangan globalisasi, pemerataan
kesempatan pendidikan, dan peningkatan
mutu menjadi latar belakang revisi
UU Sisdiknas. UU 20/2003 menuliskan
tujuan pendidikan nasional untuk
“pengembangan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Corak pasca-Reformasi terlihat jelas dalam
frasa“warga negara yang demokratis.”
Selang setahun dengan terbitnya revisi
UU Sisdiknas, Kurikulum 2004 dengan
nama Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) hadir menggantikan Kurikulum
1994. KBK menekankan pada ketercapaian
kompetensi siswa dan berorientasi
pada hasil belajar. Akan tetapi, hingga
pergantian presiden, KBK masih belum
selesai melewati fase uji terbatas
NaiknyaSusiloBambangYudhoyonoke
tampuk kepemimpinan menghentikan uji
terbatas KBK dan mengeluarkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Salin
nama KBK menjadi KTSP turut mengubah
sistem penyusunan kurikulum dengan
mengedepankan semangat otonomi
daerah. Pemerintah pusat memberikan
tanggung jawab pengembangan silabus
dan penilaian kepada sekolah agar
pengembangannya sesuai dengan kondisi
sekolah dan daerahnya. Pemerintah
hanya terbatas pada menetapkan standar
kompetensi dan kompetensi dasar.
Setelah memerintah Indonesia hampir
satu dekade, Pemerintahan SBY kembali
mengubah kurikulum. Berkaca pada
penilaiansiswaIndonesiaterhadapTrendsin
InternationalMathematicsandScienceStudy
(TIMSS) yang tergolong rendah, berbagai
tantangan masa depan, dan potensi bonus
demografi, dibutuhkan kurikulum yang
bertujuan untuk menghasilkan manusia
Indonesia yang unggul. Mohammad Nuh
yang kala itu menjabat sebagai Menteri
Pendidikan Nasional (sekarang Mendikbud)
menjawab kondisi tersebut dengan
menerbitkan Kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 menjadi kurikulum
berbasis kompetensi terbaru yang
dimiliki oleh Indonesia. Kurikulum 2013
menekankan empat kompetensi inti yang
wajib dimiliki siswa, yakni spiritual, sosial,
pengetahuan, dan keterampilan. Keaktifan
siswa dalam proses belajar-mengajar pun
tekankan dalam kurikulum ini.
Mengamati gonta-ganti kurikulum ala
Indonesia, kita bisa melihat bahwa politik
merupakan faktor kunci dalam penentuan
kurikulum di Indonesia. Hal ini terlihat
ketika kurikulum pertama Indonesia
diterapkan dengan menitikberatkan
persamaan bangsa Indonesia dengan
bangsa lain, penggantian kurikulum oleh
Orde Baru ketika Soeharto naik ke tampuk
kekuasaan, hingga ganti presiden ganti
kurikulum terjadi kembali pada era SBY.
Quo Vadis Transformasi
Pendidikan?
Melihat fenomena “ganti presiden,
ganti kebijakan, ganti kurikulum,” tentunya
menjadi sebuah pertanyaan besar,
bagaimana pendidikan Indonesia akan
dibawa ke depannya di tengah tuntutan
bonus demografi yang akan berlangsung
sejak tahun 2020 hingga 2036 mendatang?
Di awal pemerintahan, Presiden Joko
Widodo dilihat memiliki tujuan dalam hal
pemerataan pendidikan nasional dengan
program andalannya, yaitu Kartu Indonesia
Pintar (KIP). Program KIP digadang-gadang
dapat meningkatkan pemerataan secara
kualitas dan angka partisipasi pendidikan
di Indonesia. Eksekusi di lapangan cukup
menjanjikan dengan peningkatan angka
partisipasi murni di seluruh jenjang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat
partisipasi murni untuk SD, SMP, dan
SMA pada tingkat nasional di tahun 2019
bertutut-turut sebesar 97,97 persen,
82,05 persen, dan 64,43 persen. Angka ini
meningkat pesat dibandingkan tahun 2014
yang hanya berturut-turut 96,2 persen,
77,45 persen, dan 59,46 persen.
Presiden Joko Widodo
mempercayakan pendidikan Indonesia
ke tangan dua menteri, Anies Baswedan
dan Muhadjir Effendy, di periode pertama
kepemimpinannya. Anies Baswedan
melakukan pemberhentian sementara
Kurikulum 2013 dan mengembalikan
kurikulum nasional ke KTSP. Keputusan ini
menuai pro kontra karena Kurikulum 2013
belum matang, tetapi pihak lain menilai
bahwa penggantian kurikulum di tengah
tahun ajaran dirasa memberatkan.
Hanya berselang dua tahun, Anies
berhenti menjabat dan digantikan
oleh Muhadjir Effendy. Ia kemudian
menyempurnakan Revisi Kurikulum
2013 yang sudah berlangsung sejak
kepemimpinan Anies. Revisi Kurikulum
2013 yang menekankan pada perubahan
di aspek kompetensi inti dan dasar,
pembelajaran, dan penilaian, menjadi
pedoman sistem pendidikan Indonesia
hingga saat ini.
Setelah menunjuk dua tokoh yang
berbeda menjadi Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Jokowi menunjuk
Nadiem Makarim yang bukan berasal dari
dunia pendidikan, melainkan besar di
dunia bisnis, sebagai Mendikbud. Beliau
meluncurkan program Merdeka Belajar
sebagai upaya mendorong transformasi
pendidikan Indonesia.
Orientasi pendidikan Nadiem adalah
menciptakankualitassumberdayamanusia
yang bisa bersaing di ranah global melalui
literasi dan numerasi. Orientasinya tersebut
diimplementasikan dalam salah satu
poin Merdeka Belajar, yaitu penghapusan
USBN menjadi asesmen internasional
dalam literasi dan numerasi. Melihat
permasalahan literasi dalam skor PISA
Indonesia yang selalu berada di peringkat
sepuluh terbawah, langkah Nadiem
diharapkan dapat menyelesaikannya.
Tentunya tak ada gading yang tak
retak, Nadiem pun tak sempurna. Dampak
pandemi Covid-19 mengubah metode
pembelajaran menjadi pembelajaran
jarak jauh (PJJ) secara drastis. Penyesuaian
dengan Kurikulum Darurat kerap
diperbincangkan. Program Merdeka Belajar
yang dicanangkan Nadiem tentunya akan
menghadapi jalan yang terjal. Terlebih,
kondisi penerapan PJJ sendiri yang tidak
merata akibat ketimpangan infrastruktur
pendidikan. Tentunya, hal ini menunjukkan
jalan panjang dalam implementasi sistem
pelajaran berbasis online.
Selama tujuh puluh lima warsa
Indonesia merdeka, tentunya negara-
bangsa Indonesia mengalami berbagai
tantangan yang berbeda pada setiap
zaman. Dikarunai bonus demografi, tetapi
dengan kondisi manusia yang belum siap,
membutuhkan upaya keras agar manusia
Indonesia menjadi cendekia.
Filosofi Patrap Triloka yang dicetuskan
Ki Hajar Dewantara harus menjadi
dasar perancangan kurikulum, alih-alih
kepentingan politik lima tahunan. Selain
itu, kebijakan kurikulum harus fleksibel
dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan
bangsa. Lalu, apakah upaya transformasi
pendidikan yang dilakukan pemerintah
hanya sebatas jargon atau jawaban
tantangan zaman? Hanya waktu yang akan
bisa menjawab.
Secangkir teh
Penulis merupakan Ketua Umum
Badan Otonom Economica periode
2020
8. Quo Vadis
Pendidikan Indonesia
Economica 62 / 2020
8
TULISAN UTAMA I
?
Muhammad Daffa Nurfauzan, Nismara Paramayoga, Ricardo Juan
FOTO:
MAURIZKY
FEBRIANSYAH
|
ECONOMICA
9. FOTO:
ALETHEIA
M.
TANDEAN
|
ECONOMICA
9
Economica 62 / 2020
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.”
(Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
10. tulisan utama
Economica 62 / 2020
10
"
"
Jangan diintervensi aneh-aneh. karena
jika diintervensi pendidikan akan menjadi
komoditas yang muncul adalah transaksi jual
beli. Sejatinya esensi dari lembaga pendidikan
adalah nirlaba.
P
endidikan merupakan salah
satu komponen utama dalam
perkembangan peradaban. Proses
masyarakat Yunani kuno dalam
mengembangkan sistem pemerintahan
dan tatanan politiknya hingga masyarakat
China yang mampu mengembangkan
alat-alat baru pun tak lepas dari peran
pendidikan. Pendidikan menjadikan
manusia berambisi dalam merekonstruksi
dan mengetahui apa pun yang terjadi
di sekitarnya. Oleh karena itu, tingkat
pendidikan juga dimasukkan sebagai
parameter Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) yang mengukur kualitas manusia
dalam suatu negara.
Filosofi Pendidikan Indonesia
Indonesia sendiri mengadopsi nilai-
nilai pendidikan berdasarkan filosofi Tut
WuriHandayani yang dituturkan oleh Bapak
Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara.
Tenaga pendidik sebagai inisiator
pendidikan memiliki 3 tujuan penting,
yaitu di depan memberikan teladan, di
tengah memberikan motivasi, dan di
belakang memberikan dorongan. Nilai-
nilai tersebut merupakan kiasan bahwa
dalam pendidikan itu harus membentuk
manusia-manusia yang merdeka atau
mandiri dan merupakan akhir dari sebuah
proses. Filosofi ini diterjemahkan oleh
Menteri Pendidikan petahana menjadi
visi “Merdeka Belajar” untuk membentuk
manusia-manusia yang merdeka yang pada
akhirnya bertujuan untuk menciptakan
pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Filosofi yang menjadi dasar sistem
pendidikan Indonesia tentunya harus dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman. Di abad ke-21, Indonesia dikaruniai
oleh dua hal, yaitu bonus demografi dan
bonus digital. Kedua karunia tersebut
dapat dimanfaatkan potensinya secara
penuh apabila sistem pendidikan kita siap.
“Jika kedua bonus ini tidak dimanfaatkan
dengan baik, maka bonus ini akan berubah
menjadi bencana,” ujar Mohammad Nuh,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun
2009–2014. Setelah menghadapi karunia
bonus demografi, populasi Indonesia akan
berubah menjadi aging society, ketika
terjadi peningkatan jumlah penduduk
lansia.
Menghadapi perubahan zaman yang
dibanjiri dengan pesatnya perkembangan
teknologi, sistem pendidikan yang
mengacupadakurikulumperluberadaptasi.
Indonesia telah sering kali menerapkan
berbagai macam perubahan terhadap
kurikulum pendidikan dan tercatat sudah
11 kali mengalami perubahan. Perubahan
yang terjadi tidak serta merta mengacu
pada perkembangan teknologi dan
perkembangan zaman, tetapi lebih pada
peran politik penguasa. Setiap pemimpin
senantiasa mengusung kurikulum baru
yang bahkan tidak sejalan dengan filosofi
Ki Hajar Dewantara.
Sebagai contoh, pergantian
kurikulum pasca reformasi, Kurikulum
Berstandar Kompetensi (KBK), didasari
oleh UU Sisdiknas 2003 menyatakan
bahwa pendidikan ditunjukkan untuk
pengembangan warga negara yang
demokratis. Frasa demokratis ini muncul
dari evaluasi kepemimpinan Soeharto di
era Orde Baru.
Fenomena pergantian pemimpin
memicu pergantian kurikulum kerap
terjadi hingga saat ini. Perubahan tersebut
membuat lemahnya fondasi Indonesia
dalam menetapkan kurikulum sehingga
memicu prasangka bahwa Indonesia
mengalami ambiguitas arah pendidikan
yang menghambat perbaikan. Lalu,
bagaimana sebenarnya pembentukan
kurikulum dalam mengimplementasikan
falsafah Ki Hajar Dewantara sebagai tujuan
pendidikan Indonesia?
Proses dalam Pembentukan
Kurikulum
Pembentukan kurikulum melibatkan
dialog dengan para ahli dan pemangku
kepentingan di tingkat nasional dan
internasional. Pembentukan kurikulum
mengacu pada UU No. 20 tahun 2003
terkait dengan sistem pendidikan nasional
(UU Sisdiknas) yang didasarkan pada
falsafah Ki Hajar Dewantara. Menurut
Iwan Syahril, Direktur Jenderal Guru dan
Tenaga Kependidikan Kemendikbud RI,
pembentukan kurikulum mengikuti kajian
filosofis Ki Hajar Dewantara bahwa dalam
pembentukannya harus ada“dialog dengan
kodrat alam dan kodrat zaman.”
Klausa tersebut memiliki makna
bahwa perlunya sinkronisasi antara
manusia dan akal pikirannya yang
dilambangkan sebagai kodrat alam dengan
perubahan lingkungan yang diibaratkan
sebagai kodrat zaman. Sistem kurikulum
pendidikan dapat dinyatakan efektif dalam
meningkatkan kualitas manusia apabila
kurikulum tersebut telah beradaptasi pada
perkembangan zaman dan mengikuti arah
pola pikir manusianya.
Menurut Nuh, kurikulum terdiri dari
dua komponen, ada official curriculum
(kurikulum tersurat) dan hidden curriculum
(kurikulum tersirat). Jika kurikulum tersurat
lebih kepada materi dan silabus yang
dipelajari oleh siswa, kurikulum tersirat
lebih mengacu pada totalitas pengalaman
murid ketika berada di sekolah atau nilai
sosial dan budaya yang selalu melekat pada
siswa.
Dalam praktiknya, tenaga pendidik
sering kali hanya mengacu pada kurikulum
yang tersurat. Padahal, kurikulum
tersirat juga penting karena pendidikan
harus dapat dikemas sebagai sebuah
pembentukan budaya yang menghargai
nilai-nilai kemanusiaan. Selain kedua
nilai tersebut, kurikulum juga dibentuk
berdasarkan paradigma tertentu.
“Paradigma yang harus digunakan
adalah and paradigm bukan or paradigm,”
jelas Nuh. Kompetensi yang harus
dicapai adalah tiga sekaligus, yaitu
attitude (perilaku), skill (kemampuan),
dan knowledge (pengetahuan), bukan
salah satu. Negara-negara OECD juga
menggunakan tiga kompetensi tersebut
dalam menerapkan sistem pendidikan.
Indonesia telah menggunakan kompetensi
tersebut sejak tahun 2011 dalam
penyusunan Kurikulum 2013.
Di era globalisasi saat ini, kurikulum
Indonesia harus mengacu pada berbagai
indikator penilaian internasional agar
setidaknya sumber daya manusia Indonesia
dapat sejajar dengan dunia. Salah satunya
adalah PISA yang menjadi acuan dari
berbagai kebijakan kurikulum, terutama
dalam hal asesmen atau penilaian siswa.
PISA (Programme for International Student
Assessment) merupakan penelitian yang
dilakukan oleh OECD untuk memberikan
penilai beberapa hal terhadap siswa di
satu negara, terutama dalam hal literasi.
Penelitian utama PISA terdiri dari tiga
komponen literasi, yaitu literasi membaca,
sains, dan matematika. Ketiga komponen
tersebut masih menjadi pekerjaan rumah
bagi Indonesia dan mulai digaungkan
oleh Nadiem Makarim dalam membawa
arah pendidikan Indonesia lima tahun
mendatang.
Dinamika Implementasi
Kebijakan Kurikulum
Walaupun dalam kajian Ki Hajar
Dewantara menyebutkan bahwa kurikulum
harus “berdialog dengan kodrat zaman,”
bukan berati dapat mengesampingkan
dasar falsafah Tut wuri handayani dan
UU Sisdiknas terkait tujuan pendidikan
nasional.
”Pergantian kebijakan, jika itu masih
ada di wilayah teknis, tentunya bukan suatu
masalah besar,” ujar Nuh. Menurutnya,
wilayah teknis hanya merupakan seni
untuk mengimplementasikan suatu
kebijakan. Hal yang perlu dihindari adalah
pergantian substansi dalam kebijakan.
Jika setiap pergantian pemerintahan
substansinya berganti, tujuan dari
kebijakan tidak akan sampai. Akhirnya
kebijakan tersebut memiliki peluang tidak
dapat diimplementasikan sehingga tidak
mengubah apa pun.
Salah satu contohnya adalah kebijakan
11. Dr. Iwan Syahril, Ph.D
Direktur Jendral Guru dan Tenaga
Kependidikan
Kemendikbud RI
Prof. Dr. Bambang Sudibyo, M.B.A
Menteri Pendidikan Nasional RI
Periode 2004-2009
Prof. Dr. Ir. K.H. Mohammad Nuh, DEA
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Periode 2009-2014
11
Economica 62 / 2020
FOTO:
DOKUMENTASI
PRIBADI
FOTO:
DOKUMENTASI
PRIBADI
FOTO:
DOKUMENTASI
PRIBADI
Bidikmisi pada tahun 2010. Sebelumnya,
kebijakan tersebut diberi payung
hukum Permen (Peraturan Menteri).
Namun dikarenakan adanya beberapa
hal, payung hukum kebijakan Bidikmisi
tersebut akhirnya dinaikkan menjadi
PP (Peraturan Pemerintah). Perubahan
tersebut dimaksudkan supaya jika berganti
menteri, kebijakan tersebut tidak berubah,
sepanjang presidennya masih tetap.
Namun, tidak menutup kemungkinan
peraturan tersebut berubah jika presiden
mengizinkan. Untuk mengantisipasi
hal tersebut, payung hukum kebijakan
Bidikmisi diperkuat kedudukannya
menjadi undang-undang bersama dengan
kebijakan lainnya dalam Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi. “Karena payung hukumnya sudah
berbentuk Undang-Undang, jika ada
pemerintahan yang tidak menjalankannya,
dia dapat disalahkan,”tegas Nuh.
Perubahan kurikulum pun juga
mengalami nasib serupa. Sering kali,
begitu kurikulum baru diimplementasikan
ketika terjadi pergantian pemerintahan,
pelaksanaan kurikulum sebelumnya
langsung disetop. Contohnya adalah pada
pergantian KTSP dan Kurikulum 2013. Pada
saat itu, Kurikulum 2013 tidak langsung
diimplementasikan pada seluruh jenjang
pendidikan, melainkan pada tingkat SMA
terlebih dahulu. Perubahan tersebut juga
dilakukan tanpa adanya sosialisasi yang
efektif kepada para siswa terlebih dahulu.
Kebiasaan ini seakan-akan memberi
anggapan bahwa pendidikan memiliki
sudut pandang yang pendek, padahal
sejatinya pendidikan berorientasi jangka
panjang. Nuh menganalogikannya sebagai
kendaraan, pendidikan bukanlah sebuah
bus, melainkan sebuah kereta. Kereta tidak
akan berhenti sebelum tiba di stasiun,
tentunya berbeda dengan bus yang bisa
berhenti di mana saja. Sehingga apabila
masyarakat ingin menilai keberhasilan
penerapan kurikulum secara utuh,
setidaknya dibutuhkan waktu 12 tahun,
sesuai dengan masa pendidikan sekolah
dasar hingga sekolah menengah atas. Jika
sebelum 12 tahun tersebut atau bahkan
6 tahun sudah dihentikan penerapannya,
tujuan awal penerapan kurikulum tersebut
tidak akan pernah tercapai. Evaluasi dari
penerapan kurikulum harus dilakukan pada
waktu-waktu yang tepat dan dilaksanakan
dengan satu sistem.
Hasil dari reformasi pendidikan
yang muncul jauh lebih lama
dibandingkan dengan periode kuasa
politik pada umumnya menyebabkan
rezim mengutamakan perbaikan
pendidikan yang dapat diperkirakan akan
mendapatkan pujian di buku sejarah atau
terkesan berbeda dengan sebelumnya. Hal
ini juga didukung oleh studi yang dilakukan
oleh Siriannae Dahlum dan Carl Knutsen
(2017) yang menunjukkan bahwa terdapat
bukti yang lemah antara demokrasi dengan
kualitas pendidikan. Hal ini dapat dijadikan
salah satu acuan mengapa politikus kurang
terinsentif untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.
Padaakhirnyapergantianyangkadang-
kadang disebabkan ego masing-masing
ini mengorbankan masyarakat secara
keseluruhan. Padahal, dalam hal membuat
kebijakan, tidak hanya kebijakannya
saja yang harus dipikirkan, tetapi juga
tingkat kemampuan implementasinya.
“Dalam membuat kebijakan, dari ide
dasar sampai implementasi dan detail
teknisnya harus digarap. Sebab kalau tidak,
rencana kebijakan hanya akan jadi wacana
akademik saja,”lanjut Nuh.
Perbedaan Interpretasi Tujuan
Pendidikan Nasional
Pergantian kebijakan yang kerap
terjadi ini diduga diakibatkan oleh
perbedaan interpretasi dari masing-
masing pemangku kebijakan. Menurut
Bambang Sudibyo, Menteri Pendidikan
tahun 2004–2009, UU SISDIKNAS yang
dijadikan acuan kurikulum yang tidak tegas
dalam membatasi interpretasi atas tujuan
pendidikan nasional.
Setiap menteri pendidikan yang baru
memiliki interpretasinya masing-masing
terhadap UU SISDIKNAS yang menjadi
acuan kurikulum. Alhasil, implementasi
(kurikulum) penafsiran setiap menteri
terkesan tidak berkesinambungan.
“UU ini tidak tegas dalam membatasi
interpretasinya, sehingga tidak menutupi
adanya interpretasi yang lebih luas atau
justru melebar dan tidak sesuai dengan
alam siswanya,”tambah Bambang
Hal ini pun terlihat pada kebijakan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia saat ini yang menerjemahkannya
menjadi visi “Merdeka Belajar” untuk
membentuk manusia-manusia yang
merdeka, visi yang berbeda dari
kepengurusan sebelumnya. Hal ini juga
menjadi salah satu penyebab kurangnya
kesinambungan dan konsistensi dari
bentuk kebijakan antara satu menteri dan
penerusnya. Bambang menyarankan, perlu
ada amandemen pada UU Sisdiknas agar
tingkat kebebasan dalam interpretasinya
bisa dibatasi, tetapi tanpa melarang adanya
inovasi.
Kurikulum yang Ideal
“Kurikulum yang ideal itu tidak
akan ada, tetapi kurikulum harus selalu
berkembang menyesuaikan zaman
dan menyesuaikan konteks yang ada di
lapangan,” ujar Iwan. Menurutnya, ada
dua perspektif kurikulum, yaitu kurikulum
secara keseluruhan dan kurikulum
secara implementasi. Kurikulum secara
keseluruhan harus tetap berkembang
sesuai perubahan zaman, tetapi secara
implementasi kurikulum harus selalu
menjadi hal yang terus bertumbuh sesuai
keadaan di lapangan (growing curriculum).
Asumsi yang dibuat oleh desainer
kurikulum dan fakta saat implementasinya
di lapangan bisa saja tidak selaras.
Kurikulum yang dibuat seharusnya
beradaptasi pada murid sebagai objek
pendidikan, bukan murid yang beradaptasi
dengan kurikulum. “You have to remember,
you don’t teach the curiculum, but you teach
the students,”tambah Iwan
Nuh juga menyarankan untuk
dibuatnya suatu kesepakatan nasional.
“Please don’t touch politically the education.
Biarkan pendidikan itu dengan culture,
style dan way of life pendidikannya.
Jangan diintervensi aneh-aneh. Karena
jika diintervensi pendidikan akan menjadi
komoditas, yang muncul adalah nilai
transaksi jual beli. Sejatinya esensi dari
lembaga pendidikan adalah nirlaba,” tutup
Nuh.
12. tulisan utama
FOTO:
FAUZAN
KEMAL
M.
|
ECONOMICA
tulisan utama II
Economica 62 / 2020
12
Krisis Literasi
Dalam Skor PISA Indonesia
FOTO:
TAZKIA
ASTRINA
|
ECONOMICA
Literasi tidak hanya berbicara soal kemampuan membaca dan menulis seseorang.
Dalam KBBI sendiri dijelaskan bahwa literasi juga mencakup bagaimana kita dapat
mengolah informasi dan pengetahuan. Kemampuan literasi yang menurut UNESCO
adalah hak setiap manusia dan dasar untuk belajar sepanjang hayat ini nyatanya
masih menjadi permasalahan yang tak kunjung tuntas bagi sistem pendidikan di
Indonesia.
Rama Vandika Daniswara, Maria Regina Yofanka, Donny Falah
13. 13
Economica 62 / 2020
"
"
Kita ga perlu ikut PISA. Yang perlu adalah
komitmen untuk mereformasi sistem
pendidikan kita sehingga pendidikan bisa
melayani siswa lebih baik lagi, bisa bernalar,
bisa berpikir pada tingkat yang lebih tinggi.
S
udah 75 tahun merdeka, Indonesia
masih berkutat pada kompleksnya
isu pendidikan, mulai dari
infrastruktur, sistem kurikulum,
hingga isu kesejahteraan guru. Apabila
menilik sistem pendidikan (kurikulum)
terdahulu, Indonesia belum memiliki
kurikulum yang secara spesifik berorientasi
pada kemampuan literasi. Kurikulum yang
terdahulumayoritasmasihberkutatseputar
pengetahuan umum, kewarganegaraan,
hingga keagamaan dan moralitas peserta
didik.
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan yang digadang-gadang
memiliki orientasi dalam hal numerasi dan
literasi, terkesan sadar akan permasalahan
tersebut. Keprihatinannya pun dituangkan
melalui kebijakan pendidikan baru yang
dinamakanMerdekaBelajar.Salahsatupoin
dari Merdeka Belajar adalah pergantian
Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)
menjadi asesmen kompetensi minimum.
Asesmen yang digunakan sebagai standar
adalah skor PISA yang menekankan pada
literasi dan numerasi. Namun, apakah
indikator skor PISA dalam poin Merdeka
Belajar dapat memotret krisis literasi di
Indonesia?
PISA Score dan Urgensi Krisis
Literasi
PISA (Programme for International
Assessment) adalah penilaian tingkat dunia
yang dilaksanakan oleh Organization for
Economic Co-operation and Development
(OECD) untuk melihat performa akademis
siswa berumur 15 tahun di beberapa
negara yang diukur setiap tiga tahun
sekali. Menurut Anindito Aditomo,
konsultan senior Pusat Studi Pendidikan
dan Kebijakan (PSPK), PISA tidak hanya
menunjukkan performa dalam hal literasi,
tetap juga meneliti hasil belajar yang
bersifat afektif dan sosial emosional. Dari
banyaknya penelitian yang dilakukan PISA,
penelitian utama yang menjadi sorotan
dunia adalah terkait kognitif siswa—
kemampuan literasi.
Kemampuanliterasitersebutkemudian
dibagi menjadi tiga poin—kemampuan
literasi membaca, literasi matematika, dan
literasi sains—yang memiliki penekanan
berbeda-beda. Pertama, literasi membaca
menekankan pada pemahaman peserta
didik dalam membangun makna dari teks
bacaan dan menggunakan kemampuan
tersebut dalam belajar, berpartisipasi
dalam komunitas, dan kehidupan sehari-
hari. Kemampuan literasi membaca tidak
hanya sebatas apakah seorang peserta
didik melek aksara. Kedua, Kemampuan
literasi matematika menekankan pada
kemampuan matematika dasar yang
dapat diimplementasikan dalam sebuah
penalaran. Ketiga, kemampuan literasi
sains menekankan pada kemampuan dasar
sains untuk memahami model ilmiah, data,
dan teori dari sebuah fenomena sains.
Sudarno Sumarto, Peneliti The SMERU
Research Institute, berpendapat bahwa
PISA merupakan indikator yang unik dalam
menilai kompetensi peserta didik suatu
negara. “PISA bisa dibilang cukup berbeda
dengan yang lain karena tidak menuntut
siswa untuk menghafalkan, tetapi
untuk memanfaatkan pengetahuan dan
keterampilan untuk memecahkan masalah
yang nyata terjadi,’’ujar Sudarno.
Laporan PISA Score yang dikeluarkan
oleh OECD menggambarkan bahwa
tingkat literasi Indonesia masih jauh di
bawah rata-rata negara OECD. Indonesia
terlibat PISA Score sejak tahun 2000 dan
memang peningkatan PISA Score kerap
terjadi, tetapi tidak signifikan.“Klarifikasi aja
tentang naik turunnya skor itu. Sebenarnya
Indonesia sampai tahun 2015 itu, kita ada
sedikit tren naik. Akan tetapi, memang
tidak signifikan. Setidaknya tidak turun
dan tidak stagnan,” ujar Anindito. Meski
trennya sempat meningkat, jika mengacu
pada peringkat, Indonesia selalu berada
di posisi 10 terbawah dari negara yang
berpartisipasi.
Peningkatan tersebut tidak
berlangsung lama, di tahun 2018, skor
PISA Indonesia mengalami penurunan
pada ketiga poin teruji. Literasi membaca
menghasilkan nilai rata-rata 371 poin,
literasi matematika sebesar 379 poin,
dan literasi sains sebesar 396 poin. Poin
tersebut turun dibandingkan tahun 2015
yang berturut-turut sebesar 397, 386, dan
403 poin. Alhasil, rendahnya PISA Score
di tahun 2018 membuat Indonesia harus
menempati peringkat 72 dari 79 negara
yang berpartisipasi.
Anindito menyangkal bahwa
penurunan tajam dari tahun 2015 ke
2018 disebabkan oleh mutu pendidikan
yang rendah. Ia berpendapat, penurunan
tersebut diakibatkan perubahan teknis
dalam penelitian PISA. “Dugaan saya salah
satu penyebabnya adalah karena adanya
peralihan tes berbasis kertas ke tes berbasis
online. Implikasinya sangat besar bagi tes
kompetensi literasi, di tahun 2015 PISA
mengukur kemampuan membaca teks
konvensional sedangkan di tahun 2018
berupa teks digital,”tambahnya.
Skor PISA Indonesia tidak pernah
menempati tingkat ke-2 dalam kecakapan
dasar di seluruh bidang literasi—secara
teknis, PISA membagi hasil analisis setiap
negara dalam 6 tingkatan kecakapan.
Indonesia sejauh ini hanya menempati
level 1a dengan skor di bawah angka 400.
Interpretasi skor dan tingkatan kecakapan
dalam PISA tersebut berbeda setiap bidang
literasi.
Dalam literasi sains, siswa Indonesia
di tingkat 1a dideskripsikan mampu
mengingat konten ilmiah dasar atau
pengetahuan prosedural untuk mengenali
atau mengidentifikasi penjelasan tentang
fenomena ilmiah sederhana—disajikan
menggunakan bahasa ilmiah. Namun,
siswa hanya dapat mengidentifikasi sebuah
pertanyaan ilmiah yang sederhana. Dalam
literasi matematika, tingkat 1a dapat
menjawab pertanyaan matematika yang
penjelasannya atau instruksinya tertera
secara eksplisit dan konteks kasusnya
umum terjadi. Siswa belum mampu terlalu
cakap menggunakan logaritma dasar.
Dalam literasi membaca, siswa
level 1a dapat memahami bacaan dari
sebuah kalimat pendek. Siswa juga dapat
mengambil beberapa informasi secara
independen untuk menemukan ide utama
dalam satu kalimat. Akan tetapi, siswa akan
mengalami kesulitan ketika diharuskan
untuk membandingkan informasi yang ada
dan menemukan informasi secara implisit
dalam kalimat.
Menjadi Indikator Mutu
Pendidikan
Dalam implementasinya, PISA cukup
memadai untuk memotret kualitas
pendidikan melalui tingkat literasi di
Indonesia. Laporan PISA di tahun 2018
menunjukkan tingkat coverage sebesar
85% dari siswa usia 15 tahun di Indonesia.
“Sampelnya (PISA) mewakili seluruh siswa
SMP dan SMA di Indonesia yang usianya 15
tahun.Tapi, sekolah-sekolah yang berada di
remote-area, yang termasuk 3T (Terdepan,
Terpencil, Tertinggal), memang sengaja
tidak di masukan dalam sampelnya. Jadi,
apa pun yang dihasilkan oleh PISA tidak
mencerminkan daerah-daerah terpencil,”
ucap Anindito.Ia menambahkan, tidak
masuknya daerah 3T disebabkan oleh
bias dari negara OECD yang menciptakan
tingkat kesulitan tes cukup tinggi, sesuai
dengan kemampuan kognitif negara maju.
Pemasukan daerah 3T dalam sampel akan
memicu kecilnya poin yang didapatkan
Indonesia dan estimasinya akan menjadi
undervalued. PISA Score ini juga cukup
representatif bagi negara-negara dengan
angka partisipasi sekolah yang tinggi,
termasuk Indonesia.
“PISA Score ini nilai representatif secara
nasional, tidak melihat perwilayahan. Ada
ketimpangan antar wilayah. Jadi untuk bisa
membandingkan Indonesia yang sangat
beragam ini perlu diteliti lebih lanjut
dengan indikator lain,”tambah Sudarno.
Mengacu pada rendahnya PISA Score
sejak tahun 2000 dan tingkat coverage
yang relatif tinggi, Indonesia menghadapi
sebuah urgensi untuk memperbaiki
literasi. Perbaikan dapat dilakukan melalui
sistem pendidikan, tetapi hal ini baru
mulai digaungkan sejak Nadiem menjabat.
Apakah Indonesia memang baru membuka
mata akan urgensi tersebut? Atau sudah
sejak lama PISA berpengaruh terhadap
sistem pendidikan?
PISA dalam Tatanan Kebijakan
Pendidikan
PISA Score hadir sebagai sebuah
indikator pendidikan yang kerap menjadi
acuan bagi beberapa negara dalam
melakukan perbaikan sistem pendidikan
sehingga memicu berbagai pandangan
14. TULISAN UTAMA
Dr. Sudarno Sumarto
Senior Researcher
The SMERU Research Institute
Anindito Aditomo, Ph.D
Senior Consultant
Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK)
Economica 62 / 2020
14
FOTO:
TAZKIA
ASTRINA
|
ECONOMICA
FOTO:
DOKUMENTASI
PRIBADI
FOTO:
DOKUMENTASI
PRIBADI
berbeda akan tujuannya. Dalam key feature
PISA (OECD, 2018b), PISA mengharapkan
setiap negara mampu mendefinisikan
arah tujuan kebijakan pendidikannya agar
sejalan dengan standar kompetisi global.
Pada artikel The Hidden Curriculum of
PISA, Michael Uljens beranggapan bahwa
usaha mewujudkan standar global oleh
PISA mencerminkan paham neoliberalisme
dalam pendidikan yang berorientasi
pada hubungan antara negara, pasar, dan
pendidikan. Argumen pertama adalah
PISA Score dalam penilaiannya tidak
menyesuaikan dengan kurikulum lokal,
berbeda dengan pengukuran lain seperti
TIMSS. Ditambah lagi PISA juga tidak
memberikan gambaran hal apa yang perlu
diperbaiki oleh setiap negara. Penilaian
PISA yang menekankan peringkat terkesan
sebagai usaha standarisasi SDM oleh OECD
untuk menciptakan tenaga kerja yang
bersaing dalam kompetisi ekonomi global.
Aninditomenyangkalpendapatbahwa
PISA merupakan agenda dari pemahaman
neoliberal dari OECD. “Jadi persepsi bahwa
PISA itu melayani kepentingan neoliberal,
itu persepsi yang populer. tetapi menurut
saya keliru,”ujar Anindito.
Ia menekankan bahwa pendidikan
di negara mana pun melayani tiga fungsi
imperatif dasar atau tiga kepentingan.
Pertama, kepentingan anak sebagai
individu yang punya keunikan, baik
secara bakat, minat, dan latar belakang.
Kedua, imperatif sosial dan budaya
yang menekankan kontinuitas identitas,
seperti pemahaman budaya dan sejarah
bangsa. Ketiga, imperatif ekonomi yang
menekankan pada ketersediaan sumber
daya manusia yang diperlukan oleh industri
dan dunia usaha. Menurutnya, konsep
PISA sendiri lebih pada nilai-nilai social-
democracy yang tercermin dari pertanyaan-
pertanyaan yang jawabannya berasal dari
perspektif seorang warga negara masing-
masing.
Begitu juga dengan Sudarno, ia tidak
setuju dengan label neoliberalisme pada
program PISA. Ia menjelaskan bahwa
hasil PISA hanya menunjukkan universal
necessary condition yang dibutuhkan
peserta didik setiap negara di era
globalisasi.
“PISA memang indikator yang
penting, tetapi belum cukup sebagai
indikator utama untuk mengubah sistem
pendidikan karena kita (Indonesia) masih
memiliki culture,” ujar Sudarno. Ia juga
menambahkan hasil evaluasi literasi
dari PISA bisa menunjukkan pentingnya
pendidikan untuk pembangunan ekonomi
yang ditunjukkan oleh berbagai studi
terdahulu.
Pada studi yang dilakukan oleh Eric
Hanushek dan Luedger Woessman (2010),
ditunjukkan bahwa terdapat keuntungan
ekonomi tersendiri bagi negara yang
memiliki skor PISA tinggi. Jika setiap negara
meningkatkan skor PISA sebesar 25 poin,
PDB akan meningkat sebesar 1,5%-4,6%
pada 2042 dibandingkan dengan negara
yang tidak ada peningkatan skor PISA.
Dengan skenario yang sama, PDB per
kapita akan meningkat sebesar 25% pada
2090. Studi lain dari Eric Hanushek (2015)
juga menggambarkan apabila Indonesia
berhasil memenuhi standar minimum dari
kemampuan dasar literasi di tahun 2030,
yang ditunjukkan oleh 420 skor PISA,
Indonesia akan meningkatkan long run
economic growth sebesar 0,92 %.
Studi lain dari Mckinsey (2018) juga
menggambarkan kemampuan pekerjaan
yang dibutuhkan semakin berfokus pada
segi kemampuan kognitif, sosial, dan
teknologi. Salah satu poin kognitifnya
terkait dengan literasi yang dapat
digambarkan oleh skor PISA. Terlepas dari
pandangan ideologi atau paradigma yang
dibawa oleh PISA, evaluasi terhadapnya
dalam sistem pendidikan akan berdampak
pada kualitas sumber daya manusia dan
ekonomi ke depannya
Menurut Indah Pratiwi (2019), PISA
kerap menjadi bahan kritik dari media
dan masyarakat untuk mengubah sistem
pendidikan (Kurikulum) yang dianggap
gagal. Alhasil, evaluasi PISA pun dijadikan
sebagai rujukan untuk memperbaiki sistem
pendidikan di Indonesia yang dimuat
pada Rencana Strategis Nasional (Renstra).
Bahkan,perubahankurikulumkeKurikulum
2013 secara eksplisit menerangkan bahwa
faktor-faktor eksternal seperti PISA menjadi
latar belakang penyusunannya.
Cerminan untuk Perbaikan
Krisis literasi yang ditunjukkan PISA
sejak dua puluh tahun lalu ternyata
belum dapat teratasi meski evaluasinya
telah diimplementasikan pada kurikulum.
Anindito menilai hal ini dikarenakan
skor PISA hanya menunjukkan kondisi
pendidikan, bukan untuk memperbaiki
sistem pendidikan. “Gak, dia (PISA) hanya
menunjukkan bahwa sistemnya tidak
berfungsi dengan baik. PISA itu snapshoot
aja. Kondisi kinerjanya (pendidikan) dari
tahun ke tahun seperti ini, sehingga PISA
bukan tempat yang tepat untuk kita tanya
itu,”jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa evaluasi
untuk perbaikan yang berharga dari PISA
adalah definisinya terkait literasi dan
numerasi, bukan pada peringkat yang
disajikan oleh PISA itu sendiri. “Kita gak
perlu ikut PISA sebenarnya. Yang perlu
adalahkomitmenuntukmereformasisistem
pendidikan kita sehingga pendidikan bisa
melayani siswa kita dengan lebih baik,
membuat lebih banyak siswa itu bisa
bernalar, bisa berpikir pada tingkat yang
lebih tinggi. Itu yang harusnya diambil dari
PISA ataupun tes-tes internasional lainnya,”
ujar Anindito.
Berbeda dengan Anindito, Sudarno
berpendapat bahwa PISA menggambarkan
kualitas pendidikan Indonesia yang
rendah dan penyebabnya banyak faktor.
Ia menurutkan bahwa sebagian faktor
yang menyebabkan rendahnya skor PISA
Indonesia adalah rendahnya kualitas guru
dan disparitas mutu pendidikan. “Sebagai
contoh, skor PISA di Yogyakarta mungkin
setara dengan skor PISA di negara maju,
tetapi skor daerah tertinggal mungkin
setara dengan skor di negara selatan Afrika
yang paling miskin,” jelasnya. Dalam uji
kompetensi guru, rata-rata skor hanya
mencapai 53. Padahal, skor minimum untuk
guru adalah 55.
Faktor lainnya yang turut berkontribusi
kepada rendahnya skor PISA Indonesia
adalah kualitas guru. Program-program
pengembangan kualitas guru dinilai
Sudarno kurang bermanfaat. Tingkat
keabsenan guru di Indonesia dalam
mengajar juga tertinggi kedua setelah
India.
Menurut Sudarno, jika tren sekarang
terus berlanjut, Indonesia baru akan
mencapai tingkat rata-rata dunia untuk
matematika pada 2065. Untuk membaca,
Indonesia baru akan mencapai tingkat
rata-rata dunia bahkan pada tahun 2090.
Setidaknya, 70% siswa Indonesia tidak
bisa mencapai level 2 pada kerangka PISA.
Dengan peningkatan yang sangat lambat,
Indonesia tidak akan mencapai skor yang
memuaskan jika tidak ada perubahan yang
cukup signifikan dalam sistem pendidikan.
Penutup
Perlu dipahami bahwa pendidikan
pada esensinya memang sebuah
indoktrinasi atas sistem kehidupan yang
dianut oleh setiap kultur. Pertanyaan
besar yang selalu muncul, di antara
jutaan pertanyaan lainnya, adalah doktrin
apa yang tepat dan bagaimana cara
mengimplementasikannya. Skor PISA
mengukur kemampuan kognitif dasar yang
relevan dalam kehidupan ekonomi global.
Di luar dari diskursus mengenai pendidikan
kebudayaan, skor PISA Indonesia yang
secara konsisten rendah menunjukkan
bahwa indoktrinasi dalam segi kemampuan
kognitif dasar Indonesia masih sangat
lemah.
Langkah perbaikan pendidikan perlu
dilakukan dengan sangat menyeluruh,
mulai dari resep pendidikan (kurikulum),
koki (guru), hingga bahan masak (materi
bahan ajar). Selain itu, pendidikan juga
perlu didesentralisasi dari segi kurikulum
agar dapat lebih sesuai dengan kebutuhan
daerah. Harapannya, pendidikan Indonesia
mampu menghasilkan generasi penerus
bangsa yang lebih baik dan membawa
bekal yang lebih mumpuni.
15. DALAM SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA
15
Economica 62 / 2020
tulisan utama III
Keluhan demi keluhan diajukan wali murid kepada pihak sekolah. Mereka gelisah melihat
jam belajar kelas buah hati mereka yang dinilai terlalu intens. Apakah semakin lama
pengajaran membuat anak semakin pintar? Nyatanya sekian jam yang ditambah tak
mengubah pemahaman anak. Puas mengajukan keluhan, mereka pun pergi, membawa
kembali sang anak ke tempat les favoritnya lagi.
Balada Bimbel Online
Haikal Qinthara, Yudhistira Gowo Samiaji, Nadyezdi Rifi Prihadini
FOTO:
KATYA
MAZAYA
KINANTI
SANTOSO
16. FOTO:
UTOMO
NOOR
RACHMANTO
|
ECONOMICA
Economica 62 / 2020
16
"
"
Di negara maju bimbel itu
sifatnya suplemen, sedangkan di
Indonesia lebih seperti obat.
S
iapa yang tidak mengenal
Bimbingan belajar (bimbel)? Bimbel
sudah menjadi hal yang lumrah bagi
kebanyakan pelajar. Guna meraih
hasil ujian atau tes yang terbaik, para orang
tua tak ragu-ragu mengeluarkan sejumlah
uanguntukanakmereka.Dengankemajuan
teknologi, bimbel bertransformasi ke
bentuk online sehingga dapat menjangkau
lebih banyak murid. Menjamurnya bimbel
online mungkin dianggap beberapa
orang sebagai remedi dari permasalahan
pendidikan Indonesia. Padahal, fenomena
ini justru menunjukkan bobroknya kualitas
pendidikan di Indonesia
Fenomena Gemar Bimbel di
Indonesia
Bimbel pada awalnya lahir dari
kompetisi dunia pendidikan. Pada tahun
1970-an, bimbel offline mulai menjadi
sandaran para pelajar yang mencari
tutor guna masuk ke perguruan tinggi
nasional berprestise.1 Pendiri Zenius
Education—platform pembelajaran
online—Sabda Putra Subekti menjelaskan,
“(misalkan) Mengenyam pendidikan
tinggi di universitas ternama yang
memiliki kapasitas 20.000, tetapi hanya
menerima 1000 (orang). Dampaknya akan
ada 19.000 orang yang menjadi korban.
Dari situ, muncul natural tendency untuk
akhirnya berkompetisi dan meningkatkan
kemungkinan mereka untuk bisa diterima
di universitas ternama tersebut.”Kebutuhan
berkompetisi ini lah yang diakomodasi oleh
bimbel.
Seiring waktu berjalan, bimbel
bertransformasi untuk memenuhi tiap
kebutuhan—akan ujian—yang berbeda-
beda. Mulai dari bimbel masuk universitas,
bimbel ujian sekolah, bimbel masuk
angkatan militer, bimbel Ujian Nasional,
hingga bimbel seleksi penerimaan pegawai
sipil tersedia sekarang ini. Kapasitas
bimbel jauh meluas ketimbang pada masa
kelahirannya, menyesuaikan dengan segala
macam tes yang ada.1 Bimbel juga mulai
muncul ke dalam bentuk online, sejalan
dengan perkembangan teknologi.
Masalah yang Terselubung
Fenomena bimbel memang tidaklah
unik di Indonesia. Negara-negara seperti
Jepang, Korea, China, dan Singapura
dikenal dengan budaya cram school dan
private tutoring yang kental.2 “Tujuan
mereka (pelajar) bimbel adalah untuk
meningkatkan competitiveness. Terlepas
dari kualitas pendidikan, bimbel akan selalu
ada selama ada kompetisi,” ujar Sabda.
Senada dengan Sabda, CEO MejaKita, Aksta
Efendy mengatakan, “Bimbel di sebuah
negara dengan sistem pendidikan yang
sangat kompetitif, seperti Korea Selatan
dan Singapura, merupakan sebuah industri
multimillion-dollar yang sangat laku.”
Walaupunbegitu,Akstamenilaibimbel
di Indonesia memiliki corak tersendiri. Ia
menjelaskan, bimbel di Indonesia mem-
branding diri mereka seperti pahlawan
yang diperlukan agar anak dapat masuk ke
Perguruan Tinggi Negeri. Hal ini dinilainya
sangat berbeda dengan Singapura yang
bimbelnya hanya sekadar memberikan rasa
aman.
“Perbedaan bimbel di Indonesia dan
negara-negara maju tersebut adalah kalau
di negara maju bimbel itu sifatnya seperti
suplemen, sedangkan di Indonesia lebih
seperti obat,” ucap Aksta. Keberadaan
“obat” ini menjadi indikasi adanya masalah
di dalam pendidikan Indonesia yang
mendorong melejitnya kegiatan bimbel.
Rendahnya Kualitas Guru
Beberapa tahun lalu, Kompas
mengadakan survei dengan 770 responden
pelajar.3 87,8% responden menilai bimbel
penting dalam menambah pemahaman
akan materi pelajaran. Selain itu, lebih
dari separuh responden mengatakan
memerlukan bimbel karena tidak cukup
mengerti pelajaran yang diberikan di
sekolah. Hal ini mengindikasikan terdapat
masalah pada saat pembelajaran, baik
waktu belajar maupun kompetensi guru.
Survei tersebut mengungkapkan,
hanya 47,9% yang menyatakan
kemampuan guru di sekolah cukup
memadai. Penemuan ini sejalan dengan
hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) yang
diselenggarakan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Rata-rata nasional UKG
Indonesia berada di angka 54,05 (nilai
maksimum 100).4 Angka ini jauh dari nilai
minimum 75 yang ditentukan pemerintah.
Pola Pikir Birokrat
Permasalahan kualitas guru di
Indonesia dapat ditelusuri hingga ke
Orde Baru. Sejak setengah abad yang
lalu, kebijakan Pendidikan di Indonesia
difokuskan pada akses pendidikan yang
lebih luas.5 Antara 1975 – 1987, Presiden
Suharto meluncurkan berbagai program
yang membangun ribuan sekolah dan
mempekerjakan ratusan ribu guru baru
yang dipaksa masuk ke dalam ruang
kelas dengan pelatihan minimalis.
Mereka dilengkapi wawasan pelajaran
yang terbatas dan keahlian pedadogis—
kemampuan mendidik—yang tidak
mumpuni.6
Ekspansi pendidikan yang masif
dengantenagadidikinkompetenmendilusi
kemampuan guru yang ada sebelumnya.
Ditambah dengan ekspansi pegawai sipil
non-pendidikan, gaji guru menurun (di
Indonesia, guru sekolah publik termasuk
pegawai negeri).6 Jaminan kerja, tuntutan
kerjayangrendah,waktukerjayangsingkat,
dan masa kerja seumur hidup menjadi daya
tarik utama dari pegawai negeri (termasuk
guru). Rendahnya ekspektasi melahirkan
penurunan produktivitas.6
Pergeseran pandangan guru
dari pendidik menjadi birokrat ini
sangat signifikan. Guru melihat
pertanggungjawaban mereka ada
pada atasan, bukan murid atau wali
murid. Ditambah lagi, Orde Baru
sangat menekankan pada loyalitas dan
kepatuhan kepada pemerintah ketimbang
pencerdasan murid. Guru diharapkan
untuk mempromosikan nilai-nilai Pancasila
dan menguatkan kesatuan nasional. Fokus
Pendidikan beralih dari pertumbuhan
intelektual menuju moralitas dan etika.6
Hilangnya rasa tanggung jawab dan
rendahnya upah menimbulkan masalah-
masalah lain pula. Banyak guru mulai
mencari pekerjaan sampingan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, mengalihkan
perharian dari kegiatan mendidik. Tingkat
absen guru juga meningkat hingga
mendegradasi etika kerja guru.6 Tercatat,
sekitar 10% guru di Indonesia tidak
menghadiri kelas-kelasnya.7 Jumlah guru
mungkin meningkat, setidaknya di atas
kertas, namun tidak untuk pengajaran.
Interaksi antara guru dan siswa
dinilai Aksta sangat minim sehingga akan
membuat keadaan pendidikan semakin
memprihatinkan, khususnya bagi para
murid. “Ini memang kondisi yang agak
dystopian, di mana kondisi paling parahnya,
apabila berkelanjutan, sekolah tidak dapat
beradaptasi dengan murid sehingga
datang ke sekolah hanya untuk absen,”
terang Aksta. Ia menambahkan, “Bimbel
akan membunuh sekolah jika ia (bimbel)
dijadikan obat atas bobroknya kualitas
pendidikan.”
Bimbel, Obat yang Semu
Lain dengan pendidikan formal,
bimbel online selama ini memasarkan
tenaga didiknya berkualitas. Ditambah
dengan kemampuan meraih murid di mana
pun mereka berada, bimbel online memiliki
keunggulan di mana sekolah tersandung.
Berbeda dengan sekolah konvensional,
bimbel online tidak menghadapi kesulitan
menyediakan guru kompeten. “Murid
dapat menerima materi pembelajaran dari
tulisan utama
20. KESEHATAN
“Kita mengalami ‘gagap’ karena dari awal merasa ‘pede’ sehingga belum ‘total football’ jika diibaratkan bermain bola”
ungkap Dr. Mondastry Korib Sudaryo, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ketika ditanya men-
genai kesiapan Pemerintah Indonesia dalam menghadapi penyebaran COVID-19.
Economica 62 / 2020
20
P
er 15 September 2020, jumlah
kasus positif COVID-19 di Indonesia
telah mencapai 225.000 orang
dengan total kasus meninggal dunia
sebanyak 8.965 orang. Jika dihitung tingkat
kesembuhan dan tingkat kematiannya,
Indonesia berada di angka 71,58% dan
3,98%. Ketika dibandingkan dengan
tingkat kesembuhan dan tingkat kematian
secara global yang ada di angka 72,43% dan
3,16%, Indonesia memiliki performa yang
relatif lebih buruk. Hal ini menimbulkan
pertanyaan, Apakah Pemerintah Indonesia
sebenarnya sudah siap dalam menghadapi
penyebaran pandemi COVID-19 ini?
Efektivitas Protokol Penanganan
COVID-19
Pemerintah Indonesia telah
menetapkan protokol kesehatan sebagai
pedoman dalam pengendalian pandemi
COVID-19. Protokol ini disusun oleh
Kementerian Kesehatan Indonesia
dengan mengacu pada standar dari WHO
(World Health Organization). Menurut
Dr. Mondastry Korib Sudaryo, Dosen
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, protokol penanganan
COVID-19 di Indonesia sendiri sangat
dinamis dan terus berevolusi hingga saat
ini yang sudah berada di tahap kelima.
Perubahan dan perkembangan protokol
penanganan pandemi ini disebabkan
oleh virus COVID-19 yang masih baru
dan belum dapat dipahami. Hal tersebut
memaksa otoritas yang berwenang untuk
terus menyesuaikan protokol mengikuti
perkembangan teknologi dan penelitian.
Protokol penanganan yang terus
berubah menimbulkan pertanyaan
mengenai efektivitas pedoman dan
tindakan pemerintah dalam mengatasi
pandemi. Tolak ukur efektivitas protokol
penanganan COVID-19 pemerintah
Indonesia sendiri mengikuti 24 indikator
yang sudah ditetapkan olehWHO. Indikator
ini terbagi menjadi 3 domain, yaitu 7
indikator epidemiologi, 7 indikator sistem
pelayanan kesehatan, dan 10 indikator
untuk pengamatan berkelanjutan. Namun
secara sederhana, tolak ukur efektivitas
tindakan dan protokol penanganan
pemerintah dapat dilihat melalui dua
hal, yaitu jumlah kapasitas testing dan
kemampuan contact tracing yang mampu
dilakukan oleh pemerintah.
Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Koordinator
Bidang Penanganan Kesehatan Satgas
COVID-19, mengatakan, “Jika dihitung
dari skala 5, Indonesia berada di angka 3
nilainya.”Halinimenunjukkanbahwasecara
formal, protokol penanganan COVID-19
di Indonesia tersebut dapat dibilang
siap, tetapi tidak sempurna. Ditambah
dengan proses penyusunan protokol
yang melibatkan akademisi dan para ahli,
protokol yang digunakan oleh Indonesia
juga sudah sesuai dengan standar. Namun,
di lapangan, pelaksanaan protokol di
Indonesia memang masih kurang efektif.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor
eksternal, seperti sosial, ekonomi, sektor
komersial, dan lingkungan. Tidak hanya itu,
kemampuan masing-masing daerah yang
berbeda-beda kerap menjadi kendala.
“Adanya ketimpangan daerah dalam
penanganan COVID 19 ini disebabkan
oleh adanya otonomi daerah. Ada 20-30
kabupaten yang standar-standar WHO
sudah diterapkan dengan baik, tetapi
yang lain tidak begitu. Langkah yang
bisa diambil pemerintah adalah dengan
desentralisasi semuanya, termasuk standar,
dan sebenernya ia (pemerintah) boleh
melakukan bypass pada otonomi daerah,”
tambah Akmal.
Kemampuan Indonesia Mende-
teksi Virus COVID-19
Salah satu protokol utama di Indonesia
adalah testing, kemampuan dalam
mendeteksi virus. WHO mensyaratkan
bahwa jumlah frekuensi testing dengan
PCR (polymerase chain reaction) minimal 1
per 1000 penduduk, sehingga pemerintah
harus siap melakukan tes sebanyak
270.000 orang per minggu dengan jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai 270
juta . Namun, pada kenyataannya Indonesia
hanya mampu mencapai angka sekitar
20.000 per harinya. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan Indonesia masih jauh
di bawah standar WHO.
Untuk setiap kasus positif COVID-19,
WHO menyarankan setidaknya harus
dilakukan contact tracing kepada minimal
covid-19 tak terhentikan
persiapan menjadi pertanyaan
Gabriella Dian Silvana, Rifqi Dwi Fianto, Marcello Patrick
FOTO:
KAROLINA
GRABOWSKA
|
PEXELS.COM
21. Kesehatan
FOTO:
DOKUMENTASI
PRIBADI
21
Economica 62 / 2020
dr. Mondastri Korib Sudaryo, MS, D.Sc
Dosen Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
Prof. Dr. dr. Akmal Taher
Koordinator Bidang Penanganan Kesehatan
Satgas Covid-19
FOTO:
DOKUMENTASI
PRIBADI
30 orang. Di Indonesia, untuk setiap satu
kasus positif, tracing yang dapat dilakukan
oleh pemerintah belum dapat mencapai
10 orang. “Jika pemerintah belum bisa
mencapai standar yang ditetapkan,
jumlah kasus yang ada sekarang belum
menggambarkan tren yang sesungguhnya,”
ungkapMondastry.Kurangnyakemampuan
Pemerintah Indonesia dalam mendeteksi
virus COVID-19 disebabkan oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah keterbatasan
dana. Hal ini disebabkan harga alat tes
PCR yang tergolong mahal dan kurangnya
tingkat akurasi dari rapid test. Selain harga
alat tes PCR yang mahal, kesiapan fasilitas
rumah sakit dan tenaga medis juga dirasa
masih sangat kurang dalam mengatasi
pandemi COVID-19 ini.
Kesiapan rumah sakit diukur dengan
kemampuannya dalam memberikan
perawatan yang dibutuhkan kepada
pasien. Hal ini menjadi salah satu kendala
karena selama ini rumah sakit di Indonesia
tidak dipersiapkan untuk menghadapi
pandemi besar. Dampaknya, banyak rumah
sakit yang kekurangan ruang ICU atau tidak
memiliki ruang isolasi yang cukup dan
sesuai dengan standar medis.
Lalu, angka kematian tenaga medis
yang mencapai 5-6% juga mempersulit
penanganan virus ini.
Menurut Akmal Taher dalam salah satu
riset FK UI, penyebab rentannya tenaga
medis adalah kelelahan. Dalam kondisi
kelelahan, tenaga medis akan lebih rentan
terhadap stres dan meningkatkan risiko
terjangkit virus. “Kami (satgas) juga sangat
menargetkan kesehatan dari para tenaga
medis. Ibarat perang, saat ini dokter adalah
tentara. Jika ada yang meninggal, tidak bisa
langsung digantikan,”tambah Akmal.
Indonesia Vs Dunia dalam
Melawan COVID-19
Fakta bahwa Indonesia berada diposisi
ke-23 dunia untuk tingkat kematian pasien
COVID-19 dengan ditambah angka tingkat
kematian tenaga medis Indonesia yang
mencapai 5-6% menimbulkan pertanyaan
bagaimana posisi dan perbedaan
Indonesia dalam melawan outbreak
pandemi jika dibandingkan dengan dunia.
Namun, tentu saja kita tidak bisa langsung
membandingkan Indonesia dengan negara
tetangga karena perbedaan kondisi yang
dihadapi. Misalnya dengan Singapura,
jumlah penduduk Indonesia tidak bisa
dibandingkan dengan mereka atau dengan
Hong Kong dan Taiwan yang memiliki
kisah sukses melawan pandemi SARS
pada tahun 2002 sehingga bisa dikatakan
mereka sudah memiliki persiapan dalam
menghadapi pandemi COVID-19 ini.
“Kita mengalami ‘gagap’ karena
dari awal merasa pede. Sementara
negara lain sudah penuh persiapan dan
lebih totalitas. Jadi, saya pikir gerakan
kita sedikit lambat karena ragu untuk
menginvestasikan kegiatan pada sumber
daya yang membutuhkan banyak dana,”
ujar Mondastry
Indonesia bisa belajar dari berbagai
negara atas penanganan pandemi COVID
19, salah satunya Thailand. Thailand
dengan tingkat ekonomi—ditinjau melalui
PDB— mirip dengan Indonesia, malah
penanganannya jauh berbeda. Keadaan
Thailand yang sedang dilanda gejolak
politik dahsyat, tidak lantas mengganggu
penanganan pandemi ini. Infrastruktur
kesehatannya yang lebih baik, bahkan
mencapai pelayanan primer—puskesmas,
klinik, dan setingkatnya— menjadi kiat
suksesnya. “Kenapa Thailand bisa kuat
dengan jumlah meninggal COVID hanya
sekitar 50 orang dibanding Indonesia yang
sampai 8000 lebih adalah karena Thailand
kuat infrastruktur di bawahnya (pelayanan
primer), karena di situ terjadi pencegahan
penyakit,”jelas Akmal.
Thailand yang kuat dalam infrastruktur
kesehatan primer menunjukkan bahwa
mereka cukup baik dalam mengambil
tindakan preventif dari penularan virus.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia dalam
melakukan tindakan preventif dalam
Pandemi ini?
Tindakan Preventif dan Represif
terhadap Pandemi COVID-19
Indonesia masih kurang sigap dalam
mengambil langkah preventif dengan
bukti masih banyaknya pro-kontra antar
pemerintah terkait kebutuhan lockdown
di satu daerah. Baik Mondastry maupun
Akmal berpendapat bahwa Indonesia harus
merujuk kepada rekomendasi WHO, selain
menerapkan 24 indikator juga membuat
6 kriteria mengenai lockdown atau PSBB.
Adanya kriteria ini diperlukan sebagai alat
kontrol dan kendali pemerintah dalam
menghadapi pandemi COVID-19. Secara
singkat, tindakan tersebut bisa dibagi dua
secara garis besar menurut intervensinya,
yaitu intervensi kesehatan dan intervensi
sosial (social behavioural change).
Tindakan pengendalian yang
dapat dilakukan dari sisi kesehatan atau
epidemiologi meliputi pengendalian
transisi virus dengan testing, screening,
dan karantina. Selain itu, dari sisi sosial,
diperlukan adanya perubahan perilaku
baru secara garis besar. Hal ini bisa
dimulai dengan membuat kampanye yang
menggalakkan program 3M—Memakai
masker, Mencuci tangan dan Menjaga
jarak—melalui media sosial. Ini merupakan
pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk
merancang dan mengimplementasikan
program tersebut dengan memberikan
pengetahuan dan membangun kesadaran
masyarakat.
Harapan kepada Indonesia
dalam melawan COVID-19
Kita tahu betul bahwa kelemahan
utama Indonesia adalah pada infrastruktur
dan sistem pelayanan kesehatan. Strata
pelayanan kesehatan di Indonesia terbagi
menjadi 3, yaitu pelayanan primer,
sekunder dan tersier. Pencegahan terjadi
di tingkat primer, tapi sering kali dianggap
sebelah mata oleh pemerintah.“Pemerintah
perlu mengubah prioritasnya, sistem yang
sekarang terjadi di layanan primer paling
lemah, padahal paling penting di sana,”
jelas Akmal.
Terlebih, stigma masyarakat
yang menganggap penyakit itu perlu
disembuhkan bukan dicegah menandakan
perlunya perubahan pemikiran pada
masyarakat Indonesia. Masyarakat
Indonesia dan pemerintah harus sadar
bahwa COVID-19 ini masih harus dipelajari
dan dilakukan penelitian untuk ditemukan
obatnya sehingga penekanan pada
pencegahannya menjadi hal yang utama.
“Dan terakhir harapan saya, karena
sekarang sedang dibuat vaksin, jangan
merasa karena ada vaksin, jadi sekarang
bisa seenaknya. Penelitiannya belum
selesai, belum tau seberapa efektif vaksin
tersebut, dan akan memakan waktu. Oleh
karena itu, jaga jarak, pakai masker, dan
cuci tangan itu tetap nomor satu,” tutup
Akmal.
"
"
Jika pemerintah belum bisa mencapai standar
yang ditetapkan, jumlah kasus yang ada
sekarang belum menggambarkan tren yang
sesungguhnya.
22. YANG TERLUPAKAN
Economica 62 / 2020
22
Sepuluh tahun lalu, seorang anak dengan raut wajah bahagia selalu membawa majalah favoritnya kapanpun
dan kemanapun ia pergi. Majalah itu terus menemaninya dengan serangkaian kisah yang membuatnya tersenyum
gembira. Bukan hanya menceritakan kisah menarik, tetapi majalah itu sudah menjadi bagian dari kisah hidup sang
anak. Waktu terus berjalan, majalah itu kini telah pergi, digantikan oleh ’teman baru’ yang lebih menarik bagi anak-
anak zaman sekarang. Kini, sangat sulit bagi majalah itu untuk mendapat tempat dalam kehidupan anak-anak.
S
epuluh tahun lalu, seorang anak
dengan raut wajah bahagia selalu
membawa majalah favoritnya
kapanpun dan kemanapun ia pergi.
Majalah itu terus menemaninya dengan
serangkaian kisah yang membuatnya
tersenyum gembira. Bukan hanya
menceritakan kisah menarik, tetapi majalah
itu sudah menjadi bagian dari kisah hidup
sang anak. Waktu terus berjalan, majalah
itu kini telah pergi, digantikan oleh ’teman
baru’ yang lebih menarik bagi anak-anak
zaman sekarang. Kini, sangat sulit bagi
majalah itu untuk mendapat tempat dalam
kehidupan anak-anak.
Sebagai sebuah media hiburan
terpopuler pada masanya, majalah anak
tak lepas dalam menemani tumbuh
kembang anak-anak. Selain menyuguhkan
cerita yang dapat membangun wawasan
dan imajinasi anak, tampilan gambarnya
yang warna-warni pun memikat panca
indra. Tahun demi tahun berlalu, majalah
anak secara perlahan mulai kehilangan
eksistensinya dalam menemani masa kecil
anak-anak. Perkembangan media digital
mulai menggeser kehadiran media cetak
dalam kehidupan sehari-hari. Kabar pilu
pun berdatangan dari berbagai perusahaan
majalah anak yang terpaksa harus
menghentikan produksinya di Indonesia.
Teknologi Menggeser Industri
Majalah Anak
Sedikitnya media hiburan yang
tersedia di masa lalu, menjadikan
popularitas majalah anak sempat meledak
saat itu. Bahkan, televisi hanya memiliki
beberapa saluran saja sehingga majalah
menjadi salah satu hiburan yang paling
menarik bagi anak-anak. Namun, seiring
berkembangnya teknologi, media hiburan
berbasis digital mulai mengisi kehidupan
anak-anak di masa kini. Alhasil, anak-
anak kini sudah mulai terbiasa dalam
menggunakan media digital sebagai
sarana untuk memperoleh hiburan dan
pendidikan.
Perkembangan teknologi bisa menjadi
sebuah tantangan bagi beberapa industri
media cetak seperti majalah. Penyebabnya
bukan lain adalah preferensi bacaan
konsumen yang semakin mengarah ke
digital. Bahkan, sebuah buku berjudul The
Vanishing Newspaper oleh Philip Meyer
meramalkan bahwa di tahun 2024 nanti
hanya akan ada satu eksemplar media cetak
koran. Sementara, sisanya akan tergerus
zaman dan digantikan media berbasis
online dan platform.
Hal serupa juga terjadi bagi media
cetak berbasis majalah anak di Indonesia.
Stefanie Agustin, pendiri Majalah Cahaya
Inspirasi Anak (CIA), menyatakan bahwa
banyak industri media majalah anak,
terutama Majalah CIA sendiri, yang sedang
berjuang mempertahankan eksistensinya
di tengah perkembangan teknologi.
“Perkembangan majalah anak sudah pasti
menurun. Bisa dibilang, saat ini media anak
berupa majalah cetak yang masih eksis di
pasar (jumlahnya) tidak lebih dari lima,”
ungkap Stefanie. Ia juga menyayangkan
bahwa banyak media cetak yang tidak
dapat bertahan, padahal majalah yang
dihasilkan sangat baik untuk dikonsumsi
anak-anak.
Majalah Anak
Hiburan Mendidik MASA LALU
Emily Anggita, Bilal Reginald Putra
FOTO:
MAURIZKY
F
|
ECONOMICA
23. FOTO:
DOKUMENTASI
PRIBADI
23
Economica 62 / 2020
Kita (Industri majalah anak) bukannya
kontra terhadap media digital, tetapi kami
sangat memperhatikan dampak media digital
terhadap anak.
"
"
Stefanie Augustin
Business Development Director
Majalah Cahaya Inspirasi Anak (CIA)
Rendahnya Minat Baca Anak
Indonesia
Selain perkembangan teknologi,
tantangan bagi sebuah media majalah
adalah minat baca masyarakat. Data
BPS menunjukkan bahwa pembaca dari
media majalah secara umum mengalami
penurunansetiaptahunnya.Surveitersebut
menunjukkan bahwa pada tahun 2018,
pembaca majalah di atas usia 10 tahun
dalam seminggu terakhir hanya sekitar
6,05% dari penduduk Indonesia. Angka
tersebut terus menurun sejak tahun 2012
silam yang memiliki persentase sebesar
6,92% penduduk. Dampak minimnya minat
baca ini akan sangat dirasakan oleh industri
media cetak, terutama majalah anak.
Berbagai sumber lain juga
menunjukkan bahwa minat baca anak
di Indonesia masih rendah. Beberapa
indikator seperti PISA Score menunjukkan
bahwa tingkat literasi siswa indonesia
dibandingkan dengan negara-negara
lain masih berada diperingkat sepuluh
terbawah setiap tahunnya. Studi lain dari
Most Litered Nation In the World juga
menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia
hanya membaca 0.01% buku setiap
tahunnya, sedangkan negara-negara maju
seperti Jepang bisa mencapai 18% per
tahunnya. Tentunya, banyaknya masalah
literasi anak di Indonesia sudah menjadi
rahasia umum.
Stefanie menuturkan bahwa kebiasaan
membaca perlu ditanamkan kepada
seorang anak sejak usia dini. Namun, anak-
anak kini cenderung lebih memilih untuk
mendapatkan hiburan dari media digital
yang dirasa lebih menarik. “Mungkin anak-
anak sebenarnya mau membaca (media
cetak), tetapi mereka sudah terbiasa
dengan media digital yang serba cepat
dan interaktif, sehingga fokusnya (dalam
membaca) kurang terlatih. Ketika mereka
harus membaca media cetak, mereka akan
kesulitan,”ujar Stefanie.
Haltersebutmenjadimasalahsekaligus
tantangan yang dihadapinya sebagai
penerbit majalah anak. Stefanie percaya
bahwa anak-anak dapat memperoleh jauh
lebih banyak manfaat dari membaca media
cetak. Rendahnya minat baca seorang anak
dalam jangka panjang dapat memunculkan
dampak negatif seperti mudah terpapar
beritahoakskarenakurangnyapemahaman
literasi.
Sebaliknya, anak-anak yang terbiasa
membaca lebih terlatih dalam berpikir
kritis dan memiliki pemikiran yang lebih
luas. Selain itu, rendahnya minat baca juga
menyebabkan penurunan kemampuan
anak dalam memahami instruksi yang
membuat anak menjadi kurang teliti. Jika
terus dibiarkan, dampaknya terhadap
generasi mendatang akan sangat besar.
Penyesuaian Terhadap
Perkembangan Zaman untuk
Sebuah Tujuan
Di tengah perkembangan teknologi
yang begitu masif dan rendahnya minat
baca, beberapa media majalah anak harus
terus beradaptasi. Sebuah argumen dari
Rupert Murdorch, pemilik media The Suns
di Inggris, menyatakan eksistensi media
cetak bisa diperpanjang apabila media
cetak menghentikan arogansinya dan
memberikan perhatian pada kebutuhan
masyarakat, khususnya anak muda. Salah
satu riset juga menunjukkan bahwa
beberapa perusahaan penerbitan asal
Indonesia di tahun 2014, terutama
perusahaan majalah telah menyiapkan
media elektronik untuk menyesuaikan diri
terhadap perkembangan zaman. Di masa
tersebut, sekitar 57% dari total perusahaan
majalah di Indonesia telah menyediakan
media elektronik.
Hal serupa juga banyak dilakukan oleh
berbagai media majalah anak. Beberapa
majalah anak menggunakan berbagai
platform yang sedang marak digunakan
anak zaman sekarang, seperti Instagram
dan Youtube. Mereka menggunakan
platform tersebut untuk menyajikan
berbagai konten edukasi yang menarik bagi
anak-anak. Kanal Youtube juga terkadang
digunakan untuk berbagai acara yang
diselenggarakan, seperti seminar edukasi
hingga berbagai perlombaan anak-anak.
Adaptasi dengan menggunakan cara
baru tidak melulu berarti meninggalkan
cara yang lama. Walaupun berbagai media
cetak sudah mulai pindah menggunakan
platform online, beberapa majalah anak
seperti Majalah CIA tetap konsisten dengan
media cetaknya. “Kita (Industri Majalah
Anak) bukannya kontra terhadap media
digital, tetapi kami sangat memperhatikan
dampak media digital terhadap anak,”
ungkap Stefanie. Ia percaya bahwa
media cetak akan lebih besar dampaknya
terhadap tumbuh kembang anak.
“Banyak hal positif dan penting yang
bisa kita dapatkan dari media cetak. Hanya
di media cetak kita diharuskan membaca
artikel satu per satu. Melatih fokus,
melatih panca indra, melatih anak agar
mau berproses hingga mengurangi risiko
kerusakan mata,”ujar Stefanie.
Ia menambahkan bahwa tingkat
kepercayaan orang tua terhadap konten
yang ada di media cetak juga lebih tinggi
dibandingkan dengan media online.
Dengan konsisten berdedikasi dalam
industri media cetak, Majalah CIA bisa eksis
selama 10 tahun untuk mencapai misinya
meningkatkan literasi dan minat baca anak
Indonesia.
Dalam mencapai misinya tersebut,
Majalah CIA juga sejak awal tidak menjual
produknya secara retail, melainkan
mendistribusikannya langsung ke
sekolah-sekolah. Tujuannya adalah untuk
berinteraksi secara langsung dengan
anak-anak. Selain itu, Majalah CIA juga
memberikan pelatihan ke sekolah-
sekolah untuk guru dan anak-anak. Dalam
perjalanannya, Majalah CIA selalu berhasil
memberikan bacaan menarik yang
membuat anak-anak menjadi penasaran
dan memainkan imajinasi mereka.
Harapan bagi Masa Depan
Majalah Anak
Stefanie percaya bahwa kelak majalah
anak dapat mengulang masa kejayaannya
seperti yang terjadi di era 2000-an,
meskipun ia tidak tahu kapan hal ini akan
terjadi. Kini, di luar sana mulai bermunculan
gerakan yang mengarahkan anak-anak
untuk kembali membaca media cetak.
Salah satunya adalah McDonald’s yang
mulaimenggantihadiahmainandarihappy
meals-nya menjadi buku cerita. Gerakan
ini menjadi salah satu tanda akan mulai
timbulnya kesadaran terhadap pentingnya
membaca buku cetak bagi anak-anak di
masa kini.
Stefanie berharap agar anak-anak kini
mau meluangkan waktunya untuk cinta
terhadap membaca dan berkeinginan
untuk meningkatkan minat bacanya.
Lewat konten Majalah CIA yang sangat
kental dengan budaya Indonesia, Stefanie
berharap agar anak-anak Indonesia bisa
lebih kenal dengan bangsanya sendiri.
Menurutnya juga untuk saat
ini pemerintah perlu proaktif dalam
memberikan dukungan bagi media
cetak, khususnya majalah anak yang
masih bertahan di pasar. Hal ini tentunya
bertujuan untuk mempertahankan
eksistensi majalah anak yang kini sudah
mulai tergerus perubahan zaman.
Yang terlupakan
24. JELAJAH
Economica 62 / 2020
24
S
ebelum menarik kesimpulan bahwa
saya adalah seorang stalker yang
hobinya mengintip tetangga setiap
malam (saya sungguh tidak punya
pilihan — meja belajar saya berada persis di
bawah jendela!), biarkan saya menyediakan
sedikit konteks. Saya dan teman saya
mendapatkan kesempatan untuk
menjalani program pertukaran pelajar ke
Sydney, Australia. Berada di sana selama
140 hari tidak hanya membuka mata saya
kepada ilmu baru dan kultur baru, tetapi
juga kepada penyertaan Dia lewat berbagai
macam kejadian. Seolah tahu saya butuh
pegangan, Beliau menyediakan Triangulum
Australe — terpampang jelas lewat jendela
kamar kami, untuk menjadi pengingat
bahwa apapun yang terjadi, kami akan
selalu terlindungi.
Masa-Masa Bulan Madu
Satu bulan pertama masih terasa
seperti mimpi. Hampir setiap hari saya dan
teman saya berpergian, mengeksplor sisi
kota yang belum terjamah. Saya mencoba
burger buaya (yang rasa dan teksturnya
ternyata mirip dengan daging biasa),
burger vegan-friendly (yang rasa dan
teksturnya juga mirip dengan daging biasa
— ini baru keren!), mengunjungi ikon-ikon
Sydney yang tak boleh terlewatkan: Sydney
Opera House, Circular Quay, The Rocks,
Chinatown, dan Darlingharbour. Semuanya
sangat seru, setiap tempat dan kegiatan
memiliki pesonanya sendiri.
Darlingharbour merupakan favorit
saya. Saya mengunjungi Pyrmont Bridge
di waktu sore hari. Kami — saya dan teman
saya — menikmati langit dengan semburat
jingga dan matahari tenggelam, yang lama-
lama hilang dari pandangan. Gantinya?
Kelap-kelip cahaya dari restoran dan kafe di
pinggir pelabuhan, tidak kalah cantiknya.
Belum lagi bintang-bintang yang terlihat
sangat jelas di atas, meskipun kota masih
gemerlap dengan lampu-lampu di gedung
dan jalanan.
Tanpa saya tahu, virus COVID-19
sudah menjamah Australia. Kasus pertama
terdeteksi di Melbourne. Tidak mau ambil
risiko, pemerintah Sydney menutup batas
dan menyatakan lockdown pada tanggal
13 Maret, kira-kira tiga minggu dari hari
pertama saya masuk kuliah. Untungnya,
kelompok-kelompok kelas sudah terbentuk
dan kami sudah cukup mengenal satu sama
lain, sehingga diskusi daring selanjutnya
tidak terlalu canggung.
Permintaan Pertama
Seminggu pertama school-from-home,
kami sudah pusing memikirkan perut.
Beras sudah habis di toko langganan
kami. Kalaupun ada, ukurannya 20 kilo
dan harganya menjulang tinggi. Kami
rela saja beli, tetapi pertanyaannya: mau
diangkut pakai apa? Disimpan di mana?
Pasta kering, makanan kaleng siap makan,
semua sudah raib — yang tersisa hanyalah
yang harganya untuk kalangan atas. Saat
itu, saya hanya berharap kami berdua bisa
bertahan setidaknya sampai hari belanja
mingguan berikutnya dan berdoa semoga
minggu depan bahan makanan di pasar
swalayan sudah tersedia normal.
Tak tanggung-tanggung, Meg dan
Beth, dua teman pertama kami, dipanggil
pulang oleh negara mereka (Inggris) —
mereka harus melanjutkan penelitian
di rumah. Kami semua sedih. Dengan
terpaksa, mereka mulai mengemas
barang-barang. Yang tidak dipakai, mereka
masukkan ke dalam tas, dihibahkan kepada
kami yang masih akan tinggal hingga akhir
atau setidaknya, sampai dipanggil pulang
juga. Setelah kepergian Meg dan Beth, kami
mulai memilah barang yang ditinggalkan
FOTO:
ALETHEIA
M.
TANDEAN
|
ECONOMICA
Sudah lewat beberapa minggu dari terakhir kali saya menikmati angin malam, duduk di meja belajar, termenung me-
lihat ke luar jendela. Dari posisi tersebut, saya bisa melihat dapur tetangga sebelah. Sepasang kekasih biasanya akan
menyiapkan makan malam mereka di dapur tersebut, sebelum nanti kembali ke ruangan sebelah yang saya tidak bisa
lihat dari jendela. Jika sudah begitu, saya akan mengalihkan pandangan saya ke angkasa. Diterangi oleh kerlip bintang
yang jelas sekali terpampang, di langit sebelah kiri atas, tampak rasi bintang Scorpio. Sedikit di bawah Scorpio, ada rasi
bintang berbentuk segitiga kecil, dengan ujungnya mengarah ke utara: Triangulum Australe.
gemerlap Triangulum Australe
di Langit Sydney
Aletheia M. Tandean
25. FOTO:
ALETHEIA
M.
TANDEAN
|
ECONOMICA
JELAJAH
Aletheia M. Tandean
Staff Divisi Penerbitan
Badan Otonom Economica
dan di situ saya menemukannya: sepaket
beras ukuran satu kilo, cukup untuk makan
kamiselamatigahari!Sungguh,sayasangat
lega. Kegundahan kami sudah teratasi!
Permintaan Kedua
Saya memang seorang introver, tetapi
bukan berarti saya tidak gelisah sepanjang
masa lockdown. Kami memang masih
diperbolehkan keluar dari akomodasi
untuk membeli keperluan mingguan,
tetapi perjalanan ke pasar swalayan tidak
bisa menggantikan perasaan saya ketika
berangkat ke kampus. Terdengar sangat
klise, ya? Tetapi betulan, saya kangen
berjalan kaki sambil basah berkeringat
karena panas. Ingin berada di luar ruangan
dan tidak menatap layar seharian. Rindu
diterpa angin dan bertemu orang-orang.
Karena inilah, perjalanan ke swalayan
biasanya jadi kami ulur-ulur. Kami
menjelajahi swalayan mana pun yang
belum pernah kami kunjungi.
Pernah sekali waktu, kami harusnya
menyebrang jalan, tetapi langit sore di
sisi kiri kami sangat cantik, akhirnya kami
berbelok ke kiri untuk mengejar sunset
tersebut. Perjalanan kami berakhir di
sebuah komplek apartemen, lengkap
dengan taman yang luas dan orang-
orang yang sedang mengajak anjing
mereka jalan-jalan. Di ujung jalan setapak
itulah yang tidak kami sangka muncul:
Tramsheds. Dengan gaya industrialnya,
Tramsheds benar-benar sebuah mini-mall
yang sangat indah — setiap sudutnya
sangat Instagrammable, dari konter-konter
makanan kecilnya hingga supermarket di
dalamnya.
Berawal dari perjalanan singkat itu,
saya terpacu untuk ke suatu tempat:
Milsons Point. Motivasinya sederhana
saja, idola korea yang saya suka pernah
foto di sana dan saya ingin mereplika foto
tersebut. Tak pernah saya sangka, saya
jatuh hati dengan area tersebut. Area yang
juga merupakan tempat Luna Park berdiri
itu sangat luas; jika Anda menggunakan
transportasi umum maka Anda akan
disambut oleh tangga bata merah, turun ke
arah ferrywharf— halte ferry yang nantinya
berujung di Circular Quay. Di sebelah kanan
terdapat gerbang ikonik Luna Park dan
di kiri dapat terlihat dengan jelas Sydney
Harbour Bridge — ikon Australia yang
tidak kalah populer. Tepat di bawah Sydney
Harbour Bridge ada undak-undakan yang
biasanya terisi penuh; orang-orang sejenak
duduk untuk beristirahat atau sekedar
menikmati pemandangan.
Setelah puas melihat-lihat sekeliling
dan berhasil mengambil foto tepat di
tempat Wonwoo —idola korea yang saya
sukai — berada dulu, kami pulang ke South
Sydney dengan naik feri. Perjalanannya
tidak lama, sekitar 15 menit saja, tetapi
sudah bisa membuat kami gembira. Angin
musim gugur yang dingin bertiup kencang
dan sepanjang mata memandang, terlihat
birunya ria Port Jackson.
Permintaan Ketiga
Bulan April telah berlalu, saya mulai
memikirkan cara pulang ke Indonesia.
Semua penerbangan sudah ditutup, tetapi
saya belum punya tiket pulang. Teman
saya memang membeli tiket pulang-pergi
sebelum berangkat, sedangkan saya hanya
membeli tiket pergi. Beruntung, teman
kami yang ada di Melbourne memberikan
informasi mengenai program repatriasi
yang diadakan oleh KJRI se-Australia.
Surat izin untuk masuk ke Jakarta sudah
diurus dan saya hanya tinggal mencari tiket
pulang. Karena KJRI hanya bekerjasama
dengan satu maskapai, saya mau tidak
mau memantau pergerakan tiket di situs
maskapai tersebut, baik pergerakan
ketersediaan kursi maupun tingkat harga.
Suatu pagi, begitu bangun tidur, saya
mengambil tablet dan iseng mengakses
situs maskapai. Diluar ekspektasi saya,
terdapat 3 kursi tersedia dan ada 19 orang
lainnya yang sedang membuka jadwal tiket
yang sama. Panik, saya langsung mengisi
biodata saya, padahal nyawapun belum
terkumpul sepenuhnya. Setelah bergumul
dengan ketikan yang banyak salah dan
memikirkan berkali-kali karena harga
tiketnya jauh diatas budget, saya akhirnya
berhasil mendapatkan tiket tersebut!
Rasanya lega sekali karena sudah ada
kepastian akan tanggal pulang.
Perpisahan dengan Bintang
Seminggu sebelum kepulangan,
kami mulai berberes dan bersiap dengan
oleh-oleh dan segala keperluan lainnya.
Banyak sekali yang harus kami kemas, tidak
jarang kami harus memutuskan apakah
kami harus meninggalkan suatu barang
karena koper kami sudah tidak muat lagi. Di
malam sebelum kami pergi, seperti biasa,
saya membuka jendela untuk menghirup
udara malam Sydney untuk yang terakhir
kalinya. Triangulum Australe masih di
sana. Mengingat ini adalah hari terakhir
saya untuk dapat melihat langit cerah
dengan bintang-bintang sejelas ini, saya
menengadah ke atas berusaha mengingat
pola bintang yang ada.
Tanpa sadar, mata saya jatuh ke suatu
bentuk rasi bintang — saya yakin sekali
itu rasi bintang! — di bawah Triangulum
Australe. Bentuknya sangat familiar, tetapi
saya tidak ingat nama tepatnya. Saya buru-
buru mencari di internet dan bam, ternyata
itu adalah Libra, rasi bintang saya sendiri!
Seolah-olah tahu bahwa itu adalah malam
terakhir saya, langit selatan memutuskan
untuk memberikan hadiah perpisahan
terindah.
Tiga permintaan saya sudah terpenuhi,
140 hari kami di Sydney genap selesai, dan
rasi bintang Libra telah menampakkan
diri — tiga tanda dari surga. Seolah-olah
rasi bintang menetapkan bahwa fase
kehidupan saya yang selanjutnya telah
menanti.
25
Economica 62 / 2020
26. FOTO:
KATYA
MAZAYA
KINANTI
S. KAJIAN
B
uka kelas-absen-lanjut rebahan
adalah pengalaman dari banyaknya
mahasiswa yang sedang
menjalankan Pembelajaran Jarak
Jauh (PJJ) selama masa karantina akibat
pandemi Covid-19. Meskipun PJJ telah
dijalankan selama beberapa bulan, proses
transisi dari pembelajaran offline menuju
pembelajaran online tidak semulus yang
diharapkan.
Kendala yang dihadapi mulai dari
platform pembelajaran online yang server-
nya tidak kuat menahan beban dari
banyaknyamahasiswayangmenggunakan,
permasalahan dalam implementasi ujian
secara daring, hingga minimnya bantuan
dari pihak kampus bagi mahasiswa untuk
mengakses kelas yang menggunakan
platform video conference, seperti Microsoft
Teams, Google Meet, dan Zoom. Walaupun
implementasi PJJ belum berjalan sempurna
secara menyeluruh, kesempatan ini
menunjukkan kepada banyak orang
potensi yang dimiliki oleh online learning.
Perkembangan Online Learning
Kuliah online pertama muncul pada
tahun 1982 ketika Western Behavioral
Sciences Institute di La Jolla, California
membuka studi Management and Strategic
Studies dengan menggunakan internet
untuk memberikan pembelajaran kepada
pihak eksekutif dalam bisnis dari jarak jauh.
Kemudian pada tahun 2000, 8% mahasiswa
di Amerika Serikat mulai terdaftar sebagai
partisipan pembelajaran online. Jumlah
tersebut terus bertambah menjadi 20%
pada tahun 2008 dan 30% pada tahun 2013.
Seiring berkembangnya zaman, sistem
pembelajaran online semakin berkembang.
Secara umum, sistem pembelajaran
online dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu asynchronous dan synchronous
learning. Sistem asynchronous learning
memungkinkan pembelajaran yang
tidak terikat pada satu waktu. Sistem ini
memberikan kebebasan bagi murid untuk
menentukan kapan mereka ingin belajar;
membuka akses pembelajaran ke siapapun
dan di manapun asalkan memiliki koneksi
Internet yang memadai.
Contoh asynchronous learning adalah
platform-platform Massive Open Online
Course (MOOC) seperti edX. Platform-
platformtersebuttidakhanyamenyediakan
materi akademik, tetapi non-akademik
juga tersedia, dan beberapa memberikan
sebuah gelar atau sertifikasi.
Sedangkan synchronous learning
adalah sistem pembelajaran yang
memungkinkan murid mempelajari
sebuah materi pada waktu yang
bersamaan, layaknya kelas offline. Dengan
menggunakan aplikasi video conference,
siapapun yang memiliki koneksi internet
dapat merasakan proses pembelajaran ini
layaknya di kelas pada umumnya.
Buat Apa Kuliah Offline?
Perlu dipahami bahwa akan ada
mahasiswa yang tidak cocok dengan
sistem pembelajaran online, tetapi
beberapa studi menunjukan pembelajaran
online tetap dapat bersaing. Suatu studi
membandingkan dua kelompok, online
dan offline, dari sebuah kelas. Dengan
pengajar dan instruksi yang sama, hasil
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan antara nilai tes, hasil tugas,
nilai partisipasi, dan nilai akhir,akan tetapi
nilai rata-rata pembelajaran online sedikit
lebih tinggi. bahkan, 96% dari murid
merasa bahwa belajar secara online sama
efektif bahkan lebih efektif daripada belajar
tatap muka.
Studi lain dari U.S. Department of
Education juga menunjukkan bahwa murid
yang mengikuti kelas online secara penuh
memiliki rata-rata performa yang lebih
baik dibandingkan dengan murid yang
mengambilkelasyangsamamelaluiinstitusi
online Learning
MOMENTUM
dISRUPVITAS
tEKNOLOGI dALAM
pENDIDIKAN tINGGI
Divisi Kajian
Berbaring di tempat tidur, seorang mahasiswa dengan lelah membuka mata
sembari melihat handphone-nya yang menunjukkan waktu pukul delapan
tepat. Ia kemudian bergegas menyalakan laptop yang ditinggal tidur saat
menonton serial Netflix semalam dan membuka platform online class. Setelah
memastikan bahwa namanya sudah diabsen, mahasiswa tersebut lalu kem-
bali menutup mata dan tertidur. Toh, materi yang diajarkan oleh dosen ada
banyak juga di Youtube bahkan dengan kualitas yang lebih baik, buat apa ia
mendengarkan dosen di kelas?
Economica 62/2020
26