Tiga kalimat:
Dokumen ini membahas pentingnya mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi pada siswa melalui pembelajaran untuk menghadapi tantangan abad 21. Namun, pembelajaran di sekolah saat ini lebih menekankan pada keterampilan berpikir rendah. Perlu reformasi pembelajaran dengan mengkondisikan lingkungan kelas untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa.
1. PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI
I Wayan Redhana
Jurusan pendidikan Kimia, FPMIPA
IKIP Negeri Singaraja
Pendahuluan
Abad XXI, suatu era yang oleh Richard Crawford disebut sebagai Era of Human
Capital (dalam Sidi, 2003), yaitu suatu era di mana ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya teknologi komunikasi, berkembang sangat pesat. Perkembangan yang sangat
pesat itu menyebabkan semakin derasnya arus informasi dan terbukanya pasar
internasional yang berdampak pada persaingan bebas yang begitu ketat dalam segala
aspek kehidupan manusia. Dalam proses transformasi besar-besaran pada abad XXI terjadi
perubahan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri (industrial society) dan
kemudian menuju masyarakat ilmu (knowledge society) di mana human capital merupakan
pusat dan kunci dari perubahan tersebut.
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global, tidak bisa lepas dari
persaingan bebas. Bahkan dalam skala Asia, negara-negara yang berada di kawasan ini
telah menentukan kesepakatan bersama, yaitu mulai tahun 2003 Asia menerapkan pasar
bebas yang disebut dengan Asian Free Trade Area (AFTA). Dengan era pasar bebas tersebut,
bangsa Indonesia dituntut agar dapat menghadapi persaingan bebas. Konsekuensi
logisnya adalah bahwa keberadaan sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan
memadai di masa yang akan datang menempati posisi yang sangat penting dan strategis.
Dengan adanya sumber daya manusia yang unggul dalam penguasaan berbagai jenis
keterampilan, keahlian profesional, serta ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa
Indonesia akan dapat menggerakkan sektor-sektor industri secara lebih efisien dan
produkif serta mampu bersaing di pasar dunia.
Namun, sangat disayangkan bahwa menurut Human Development Report (United
Nations Development Programme Human Development Index (HDI) negara kita masih
sangat rendah, yaitu menempati urutan 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan, negara kita
berada di bawah Vietnam yang menempati peringkat 109 (Anwar, 2004). HDI didasarkan
atas life expectancy at birth, adult literacy rate, gross enrolment ratio, dan GDP per capita.
Rendahnya sumber daya manusia Indonesia juga tampak dari prestasi yang diraih
oleh siswa-siswa Indonesia dalam ajang Internasional, misalnya pada TIMSS (The Third
International Mathematics and Science Study) (Jalal, 2006). Pada tahun 1999 dalam bidang
IPA, Indonesia menduduki peringkat 32 di bawah Iran dan di atas Turki dari 38 negara
yang berpartisipasi. Urutan pertama dalam bidang ini adalah Taiwan. Secara signifikan
Indonesia berada jauh di bawah rerata Internasional. Sementara itu, prestasi literasi sains
menurut PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2003, Indonesia
menempati urutan 38 dari 41 negara, di bawah Argentina dan di atas Albania (Jalal, 2006).
Soal-soal pada TIMSS dan PISA ini menuntut siswa melakukan keterampilan menganalisis,
mensintesis, dan mengevaluasi, di mana keterampilan-keterampilan ini merupakan
keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Rendahnya kualitas prestasi belajar siswa di atas tidak terlepas dari pembelajaran
yang dilakukan oleh guru-guru selama ini, di mana guru-guru belum mengkondisikan
pembelajaran yang memungkinkan siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi. Hasil-hasil studi pendahuluan (Redhana, 2007) menunjukkan bahwa beberapa guru
kimia sudah menerapkan pembelajaran aktif (student-centered), seperti pembelajaran
kooperatif. Namun, kebanyakan guru-guru yang lain masih mendominasi pembelajaran
(teacher-centered). Temuan Carlsen (dalam Rodrigues & Bell, 1995) menunjukkan bahwa
2. guru-guru, umumnya, menggunakan strategi pembelajaran untuk membatasi pembicaraan
siswa ketika pembelajaran materi subyek yang asing bagi siswa. Guru-guru melakukan ini
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk membatasi kesempatan siswa bertanya.
Guru cenderung lebih banyak dan lebih lama berbicara ketika membahas topik-topik yang
asing bagi siswa. Prophet & Rowell (seperti dikutip oleh Rodrigues & Bell, 1995)
memberikan argumentasi bahwa teknik ini merupakan mekanisme kendali untuk
mempertahankan otoritas guru di kelas. Sementara itu, Bassham et al. (2007) melaporkan
bahwa kebanyakan sekolah cenderung menekankan keterampilan berpikir tingkat rendah
dalam pembelajarannya. Siswa diharapkan menyerap informasi secara pasif dan kemudian
mengulanginya atau mengingatnya pada saat mengikuti tes. Dengan pembelajaran seperti
ini, siswa tidak memperoleh pengalaman mengembangkan keterampilan berpikir
tinggi/kritis, di mana keterampilan ini sangat diperlukan untuk menghadapi kehidupan
dan untuk berhasil dalam kehidupan (Zoller et al.,
Untuk menghadapi tancangan dan ancaman dalam persaingan bebeas di abad 21
serta, reformasi pendidikan perlu dilakukan dalam upaya membekali siswa dengan
keterampilan beprikir tingkat tinggi. Reformasi yang dimaksud bukanlah menyangkut
perubahan konten kurikulum, melainkan perubahan pedagogi, yaitu pergeseran dari
pengajaran tradisional (keterampilan berpikir tingkat rendah) ke pembelajaran yang
menekankan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi/berpikir kritis (Tsapartis & Zoller,
2003; Lubezky et al.
Tsapartis & Zoller (2003) menyatakan bahwa item-item keterampilan berpikir
tingkat rendah adalah pertanyaan, latihan, atau masalah pengetahuan yang memerlukan
kemampuan untuk mengingat informasi atau aplikasi dari teori atau pengetahuan pada
situasi atau konteks yang mirip. Di lain pihak, item-item keterampilan berpikir tingkat
tinggi adalah pertanyaan, latihan, atau masalah-masalah ill-defined/ill-structured, di mana
pertanyaan, latihan, atau masalah ini masih baru bagi siswa dan memerlukan solusi lebih
dari sekedar aplikasi pengetahuan. Solusi memerlukan analisis, sintesis, berpikir sistem,
pembuatan keputusan, keterampilan pemecahan masalah, pembuatan hubungan, dan
berpikir evaluatif kritis. Item-item keterampilan berpikir tingkat tinggi ini meliputi aplikasi
teori atau pengetahuan pada situasi yang tidak mirip.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan berpikir bagi
seseorang dalam membuat keputusan yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab yang
mempengaruhi hidup seseorang. Keterampilan berpikir tingkat tinggi juga merupakan
inkuiri kritis sehingga seorang yang berpikir kritis menyelidiki masalah, mengajukan
pertanyaan, mengajukan jawaban baru yang menantang status quo, menemukan informasi
baru, dan menentang dogma dan dokrin (Schafersman, 1991). Keterampilan berpikir kritis
memungkinkan seseorang menjadi penduduk yang bertanggung jawab. Sementara itu,
Lipman (2003) mengungkapkan bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi sangat penting
dimiliki agar kita dapat mengindarkan diri dari penipuan, indokrinasi, dan pencucian otak
(mindwashing). Keterampilan berpikir tingkat tinggi sangat penting diajarkan kepada siswa
karena keterampilan ini merupakan proses dasar yang memungkinkan siswa
menanggulangi dan mereduksi ketidaktentuan di masa datang (Cabrera, 1992). Dengan
keterampilan berpikir tingkat tinggi, siswa akan dapat menentukan informasi penting
yang diperoleh, diubah, atau ditransformasi, dan dipertahankan. Di samping itu, siswa
akan dapat mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengkonstruksi argumen dan dapat
menghadapi berbagai tantangan, memecahkan masalah yang dihadapi, dan mengambil
keputusan dengan tepat sehingga dapat menolong dirinya dan orang lain dalam
menghadapi kehidupan (Wade, seperti dikutip dalam Walker, 1998). Siswa yang berpikir
3. kritis adalah siswa yang dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari, mengatasi tantangan, dan memenangkan persaingan global.
Siswa yang terlahir tidak memiliki keterampilan berpikir kritis dan mereka tidak
dapat mengembangkan keterampilan berpikir secara alami (Schafersman, 1991).
Keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan yang dapat dipelajari, sehingga
keterampilan ini dapat diajarkan (Halpern, 1999; Garratt et al. Robbins, 2005).
Sementara itu, Eklof (2005) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan
kebiasaan dan keterampilan intelektual yang membimbing seseorang pada pemahaman
yang reliabel. Kebiasaan ini tidak dibawa sejak lahir, melainkan harus dipelajari.
Menurut Walker (1998), keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan suatu
proses yang memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan baru melalui proses
pemecahan masalah dan kolaborasi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi memfokuskan
pada proses belajar daripada hanya pemerolehan pengetahuan. Keterampilan berpikir
tingkat tinggi melibatkan aktivitas-aktivitas seperti menganalisis, mensintesis, membuat
pertimbangan, menciptakan dan menerapkan pengetahuan baru pada situasi dunia nyata.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi sangat penting dalam proses belajar mengajar karena
keterampilan ini memberikan kesempatan kepada siswa belajar melalui penemuan.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan jantung dari masa depan semua
masyarakat di seluruh dunia (Zoller et al.,
Candy (dalam Phillips & Bond, 2004) melaporkan bahwa keterampilan berpikir
tingkat tinggi merupakan salah satu tujuan yang paling penting dari semua sektor
pendidikan. Elam (seperti dikutip dalam McTighe & Schollenberger, 1991) mengatakan
bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan tujuan pendidikan tertinggi. Pentingnya
mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dalam pembelajaran telah
menjadi tujuan dari pendidikan akhir-akhir ini (Tsapartis & Zoller, 2003; Lubezky et al.,
2004). Oleh karena pembelajaran merupakan alat untuk menyiapkan siswa menjadi
anggota masyarakat agar dapat hidup bertanggung jawab dan aktif dalam masyarakat
berbasis teknologi, maka sekolah pada semua tingkatan seharusnya memfokuskan pada
pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa (Costa, dalam Zoller et al., 2000).
Dengan demikian, tujuan utama dari pembelajaran adalah untuk mengembangkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi dari siswa dalam konten dan proses sains (Zoller et al.
Ernst & Monroe (2004) menyatakan bahwa tujuan perbaikan keterampilan berpikir
kritis adalah untuk menciptakan penduduk yang literasi terhadap lingkungan
(environmental literacy). Sementara itu, Dumke (dalam Jones, 1996) menyatakan bahwa
pembelajaran kimia SMA dirancang untuk mencapai pemahaman dari hubungan bahasa
yang logis yang seharusnya menghasilkan kemampuan menganalisis, mengkritisi,
menyarankan ide-ide, memberi alasan secara induktif dan deduktif, dan untuk mencapai
kesimpulan yang faktual berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional. Beyer
(dalam Walker, 1998) menyatakan bahwa pembelajaran keterampilan berpikir kritis sangat
penting diterapkan oleh guru-guru agar dapat mengembangkan daya nalar siswa. Masih
menurut Beyer, agar berhasil hidup dalam alam demokrasi, siswa harus dapat berpikir
kritis sehingga dapat membuat keputusan dengan tepat dan bertanggung jawab.
Bassham et al. (2007) mengatakan bahwa guru-guru seharusnya mengajar siswa
bagaimana berpikir (how to think), bukan mengajar apa yang perlu dipikirkan oleh siswa
(what to think). Hal senada juga diungkapkan oleh Chalupa & Sormunen (1995), Foundation
for Critical Thinking (2004), Clement & Lochhead (dalam Eklof, 2005), Notar et al. (2005),
dan Brym & Lie (dalam Herbert & Sowell, 2006).
4. Studi-studi terhadap keterampilan berpikir kritis mengungkapkan bahwa
keterampilan berpikir kritis siswa tidak akan berkembang tanpa usaha eksplisit dan
disengaja ditanamkan dalam pembelajaran (Zohar, 1994). Seorang siswa tidak akan dapat
mengembangkan keterampilan berpikir kritis dengan baik tanpa ditantang berlatih
menggunakannya dalam pembelajaran (Meyers, 1986). Keterampilan berpikir kritis
memerlukan pembelajaran dan latihan secara terus menerus dan disengaja agar dapat
mengembangkannya ke arah yang potensial. Carin dan Sund (1989) mengungkapkan
bahwa keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan dan diperkaya melalui
pengalaman-pengalaman bermakna. Pengalaman-pengalaman ini diperlukan agar siswa
memiliki struktur konsep yang berguna dalam menganalisis dan mengevaluasi suatu
masalah.
Keterampilan berpikir kritis sudah semestinya menjadi bagian dari kurikulum di
sekolah. Lingkungan sekolah perlu dikondisikan agar siswa dapat mengembangkan
keterampilan berpikir kritis (teaching for thinking). Keterampilan berpikir kritis ini tidak
muncul dengan sendirinya tanpa ada upaya sadar mengkondisikannya dalam
pembelajaran. Dengan kata lain, siswa harus diberi pengalaman-pengalaman bermakna
selama pembelajaran agar dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya. Iklim
pembelajaran harus dikondisikan sedemikian rupa sehingga siswa ditantang
menggunakan keterampilan berpikir kritis. Dengan demikian, guru-guru sebagai pendidik
berkewajiban mengkondisikan pembelajaran agar siswa memperoleh pengalaman
mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya. Kewajiban ini diemban oleh guru karena
guru dan siswanya hidup dalam alam demokratis yang sangat menghargai nalar.
Pembalajaran Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
1) Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah berkembang awal tahun 1970-an. Sebagai sebuah
pendekatan pembelajaran yang baru, pembelajaran berbasis masalah pertama kali
diterapkan di Sekolah Medis Universitas McMaster Canada. Dengan dikembangkannya
pembelajaran berbasis masalah ini, kurikulum bergeser dari pengajaran yang berpusat
pada guru (teacher-centered) menuju pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-
centered). Keberhasilan dari pendekatan pembelajaran ini di Universitas McMaster
memotivasi sekolah medis lainnya untuk memasukkan pembelajaran berbasis masalah ini
ke dalam kurikulum mereka. Sekolah medis pertama yang mengadopsi pembelajaran
berbasis masalah ke dalam kurikulumnya adalah Sekolah Medis Maastrict di Belanda dan
Newcastle di Australia. Di Mexico, pembelajaran berbasis masalah juga digunakan pada
program sains kesehatan. Sekarang pendekatan pembelajaran ini telah diadopsi pada
sejumlah bidang, seperti bisnis, pendidikan, kerja sosial, dan administrasi (Savery & Duffy,
1991; Barrows, 1996).
Tujuan dari pembelajaran berbasis masalah adalah untuk membantu siswa belajar
reflektif dan mandiri yang dapat mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan (Tan,
2004). Sementara itu, Yuzhi (2003) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah
bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi/berpikir kritis. Di samping itu, pembelajaran berbasis masalah bertujuan untuk
mengembangkan dasar-dasar pengetahuan yang substansial dengan menempatkan siswa
dalam peranan sebagai seorang problem solver aktif yang dikonfrontasikan dengan suatu
situasi (ill-structured problems). Melalui masalah ill-structured, siswa akan memperoleh
kesempatan belajar bagaimana belajar (learn how to learn).
Menurut Tan (2003), bukti-bukti menyarankan bahwa pembelajaran berbasis
masalah dapat meningkatkan transfer konsep kepada situasi baru, integrasi konsep, minat
5. belajar intrinsik, dan keterampilan belajar. Sementara itu, Mitchell (dalam Tan, 2003)
mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa
mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan. Gijselaers (1996), di lain pihak,
mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis masalah diturunkan dari teori belajar
konstruktivist, yaitu siswa mengkonstruksi pengetahuan secara aktif.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan model kurikulum yang menggunakan
masalah. Beberapa hal yang berkaitan dengan masalah adalah sebagai berikut. Pertama,
masalah berhubungan dengan dunia nyata. Masalah dapat diturunkan dari contoh-contoh
dunia nyata atau dirancang secara khusus untuk penemuan pengetahuan dan
keterampilan dalam materi subyek. Masalah dunia nyata membantu siswa
menghubungkan hasil belajarnya dengan dunia nyata atau konteks dan meningkatkan
motivasinya untuk belajar. Kedua, masalah bersifat kompleks dan ill-structured. Pada
masalah yang bersifat ill-structured, masalah dinyatakan secara tidak lengkap. Siswa
diharapkan melengkapi spesifikasi masalah melalui diskusi, dan bahkan berkonsultasi
dengan ahli, meneliti kasus yang mirip, dan sebagainya. Ketiga, masalah bersifat open-
ended. Masalah open-ended memacu siswa berdiskusi dalam tim. Masalah ini mempunyai
kemungkinan solusi jamak tergantung pada asumsi yang dibuat dalam proses solusi.
Keempat, masalah memacu kerja tim. Interaksi siswa dalam tim merupakan usaha
penemuan dan transfer pengetahuan dan keterampilan yang penting dalam seting
pembelajaran berbasis masalah. Kelima, masalah mengembangkan pengalaman
sebelumnya. Untuk keberhasilan, setiap masalah harus dirancang untuk membangun
pengetahuan dan pengalaman sebelumnya dan menambahkan informasi baru pada basis
pengetahuan siswa.
Menurut Resnik (dalam Arends, 2004), antara pembelajaran berbasis masalah dan
keterampilan berpikir tingkat tinggi/berpikir kritis berhubungan sangat erat. Hal ini
ditunjukkan oleh ciri-ciri dari keterampilan berpikir tingkat tinggi/berpikir kritis, yaitu: (1)
nonalgoritmik, tidak ada tahapan tertentu dalam proses pemecahan masalah; (2)
kompleks, tahapan pemecahan masalah tidak dapat diketahui dari satu sisi; (3)
menghasilkan solusi jamak, tidak hanya satu solusi yang benar; (4) melibatkan
pertimbangan dan interpretasi; (5) melibatkan aplikasi dari banyak kriteria; (6) melibatkan
ketidaktentuan; (7) melibatkan pengendalian diri dan proses berpikir; (8) melibatkan
penemuan struktur dalam ketidakteraturan; (9) penuh dengan semangat; dan (9)
melibatkan kerja mental.
Pada pembelajaran berbasis masalah guru berperan sebagai “guide on the side”
daripada “sage on the stage.” Guru memfasilitasi proses pembelajaran dengan memberikan
bimbingan dan arahan kepada siswa, jika diperlukan. Guru hanya memberi bantuan,
bukan mencampuri cara belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis masalah, guru
berperan sebagai pelatih metakognisi (Barrows, 1988; Ram et al., 2007). Guru membantu
siswa memahami pertanyaan yang diajukan selama mendefinisikan dan menentukan
informasi; menganalisis dan mensintesis masalah; dan memilih solusi yang potensial. Guru
harus dapat menjamin agar siswa dapat menyadari keterampilan kognitifnya dan dapat
memilih dengan bijaksana di antara solusi yang ada.
Pembelajaran berbasis masalah mempunyai karakteristik cukup bervariasi, namun
semuanya mempunyai esensi yang sama. Tabel mendeskripsikan karakteristik
pembelajaran berbasis masalah yang dilaporkan oleh beberapa penulis.
6. Tabel Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah oleh Beberapa Penulis
No. Penulis Deskripsi
Gallagher et
al.
(1) Pembelajaran dimulai dengan masalah, (2) pembelajaran
menggunakan masalah ill-structured, dan (3) pembelajaran
menggunakan pelatih metakognisi
Savoi &
Hughes
(1) Memulai pembelajaran dengan masalah; (2) menggunakan
masalah dunia nyata; (3) mengorganisasi materi subyek di sekitar
masalah; (4) memberikan siswa tanggung jawab belajar; (5)
menggunakan kelompok kecil; dan (6) mendemonstrasikan produk
atau kinerja
Barrows (1) Pembelajaran berpusat pada siswa, (2) pembelajaran
menggunakan kelompok kecil, (3) guru berperan sebagai fasilitator,
masalah merupakan stimulus pembelajaran, (5) masalah
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, dan (6)
informasi baru diperoleh melalui belajar mandiri
Arends (1) Mulai dengan masalah, (2) berfokus pada keterkaitan antar
disiplin, (3) penyelidikan otentik, (4) menghasilkan karya/produk
dan memamerkannya, dan (5) kerjasama
Tan (2004) (1) Masalah sebagai starting point pembelajaran, (2) masalah berupa
dunia nyata yang tidak terstruktur, (3) masalah memerlukan
banyak perspektif, (4) menantang pengetahuan, sikap, dan
kompetensi siswa, (5) belajar berlangsung secara mandiri, (6)
menggunakan dan mengevaluasi sejumlah sumber informasi, (7)
pembelajaran berlangsung secara kolaboratif, (8) pengembangan
inkuiri dan keterampilan pemecahan masalah, (9) sintesis dan
integrasi belajar; dan (10) evaluasi dan review pengalaman dan
proses belajar
Duch et al (1) Masalah membangkitkan minat dan memotivasi siswa untuk
belajar, (2) pembuatan keputusan/pertimbangan berdasarkan
fakta, informasi, logika dan/atau rasionalisasi, (3) masalah bersifat
kompleks, (4) masalah bersifat open-ended, dan (5) tujuan konten
materi subyek diintegrasikan ke dalam masalah
Çuhadaroğlu
et al. (dalam
Akinoğlu &
Tandoğan,
(1) Masalah tentang dunia nyata, (2) masalah bersifat open-ended, (3)
masalah merangsang keingintahuan siswa, (4) masalah
memfokuskan hanya pada satu isu, (5) pembelajaran harus
mengajar prilaku yang baik, (6) pembelajaran harus membantu
siswa mengungkapkan ide-idenya dengan bebas, dan (7) siswa
menangani masalah seolah-olah masalah tersebut adalah masalah
mereka sendiri
Sintaks pembelajaran berbasis masalah yang telah dikembangkan cukup bervariasi.
Arends (2004) menguraikan ada lima tahapan utama dalam pembelajaran berbasis
masalah, ditunjukkan pada Tabel 2.
7. Tabel Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah (Arends, 2004)
Tahapan Prilaku Guru
Tahap 1: Orientasi siswa
pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, perlengkapan
penting yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat
pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya
Tahap 2: Mengorganisasi
siswa untuk belajar
Guru membimbing siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut
Tahap 3: Membimbing
penyelidikan individu
maupun kelompok
Guru mendorong siswa mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen, dan memperoleh
penjelasan dan pemecahan masalah
Tahap 4: Mengembangkan,
menyajikan, dan
memamerkan hasil karya
(artifak)
Guru membimbing siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan, video,
dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas
dengan temannya
Tahap 5: Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka
gunakan
Menurut Ommundsen (2001), pembelajaran berbasis masalah terdiri atas tahapan-
tahapan: (1) membentuk kelompok kecil; (2) mempresentasikan masalah; (3) mengaktivasi
kelompok; (4) menyediakan umpan balik; dan (5) menanyakan solusi. Kegiatan yang
dilakukan oleh siswa pada pembelajaran berbasis masalah adalah apa yang disebut
dengan DENT (Define, Explore, Narrow, and Test), yaitu: Define the problem carefully
(mendefinisikan masalah dengan hati-hati); (2) Explore possible solutions (mengeksplorasi
solusi yang mungkin); (3) Narrow choices (mempersempit pilihan); dan (4) Test solution
(menguji solusi).
Pertanyaan Socratik
Socrates adalah salah seorang ahli filosofi yang sangat terkenal dan sangat
berpengaruh pada pengembangan berpikir kritis. Selama berabad-abad, ia dikagumi
sebagai orang yang memiliki integritas dan inkuiri intelektual dan dianggap sebagai
seorang pemikir kritis yang ideal. Karena kemampuannya berpikir kritis, maka namanya
diabadikan sebagai pertanyaan Socratik untuk pertanyaan-pertanyaan kritis (Caroll, 2004).
Pertanyaan Socratik atau pertanyaan kritis merupakan suatu strategi pembelajaran
yang sangat baik digunakan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa, di
mana pertanyaan ini merupakan jantung dari keterampilan berpikir kritis. Pertanyaan
Socratik mampu membantu proses belajar siswa dengan menempatkan siswa dalam posisi
mengenal keterbatasannya dan memotivasinya belajar. Pertanyaan Socratik bertujuan
untuk mengklarifikasi informasi, mengidentifikasi pendapat atau ide, menemukan asumsi,
membedakan pernyataan faktual dari pertimbangan nilai, dan mendeteksi kesalahan
dalam penalaran.
Menurut Paul et al. (1989), pertanyaan Socratik dapat dikategorikan ke dalam tiga
bentuk. Pertama adalah spontan. Jika guru-guru memiliki rasa ingin tahu, maka guru-guru
akan secara spontan mengajukan pertanyaan tentang apa yang dimaksudkan oleh siswa
dan mengeksplorasi bagaimana siswa dapat menjelaskan bahwa pendapatnya itu benar.
Jika pendapat siswa salah atau menyesatkan, maka pertanyaan Socratik yang diajukan
8. secara spontan dapat menyediakan cara untuk membantu siswa agar mereka dapat
memperbaiki kesalahannya sendiri, bukan diperbaiki oleh guru. Kedua adalah
eksploratori. Pertanyaan Socratik eksploratori memungkinkan guru menemukan apa yang
siswa ketahui atau pikirkan dan menggunakan pertanyaan ini untuk menyelidiki berpikir
siswa pada sejumlah isu-isu. Guru mungkin mengharapkan agar siswa dapat
menyampaikan isu-isu dalam diskusi kelas atau menyuruh siswa membentuk kelompok
untuk mendiskusikan isu-isu atau topik. Ini memungkinkan siswa menyelidiki sebuah isu-
isu atau konsep secara mendalam, menugaskan siswa mengklarifikasi, mengidentifikasi,
menganalisis, dan mengevaluasi pikiran dan perspektif, membedakan yang diketahui dari
yang tidak diketahui, dan mensintesis faktor-faktor dan pengetahuan yang relevan.
Selanjutnya, Paul (1990) menguraikan pertanyaan Socratik menjadi enam jenis.
Pertanyaan klarifikasi, merupakan pertanyaan untuk memperoleh verifikasi, informasi
tambahan, atau klarifikasi tentang pendapat atau ide utama di mana siswa menjelaskan
opininya, memfrase konten, atau menjelaskan pernyataan khusus.
1) Pertanyaan yang menyelidiki asumsi, merupakan pertanyaan tentang klarifikasi,
verifikasi, eksplanasi, atau reliabilitas suatu masalah.
2) Pertanyaan yang menyelidiki alasan dan bukti, merupakan pertanyaan yang meminta
contoh tambahan, bukti atau alasan, kecukupan alasan, proses yang menghasilkan
keyakinan dan/atau sesuatu yang mungkin mengubah pikiran siswa.
3) Pertanyaan tentang pendapat atau perspektif, merupakan pertanyaan untuk
menemukan alternatif tertentu, atau membandingkan kemiripan dan perbedaan di
antara pendapat.
4) Pertanyaan yang menyelidiki implikasi atau akibat, merupakan pertanyaan yang
mendorong siswa menguraikan dan mendiskusikan implikasi dari apa yang dikatakan,
alternatif, pengaruh, dan/atau penyebab dari tindakan.
5) Pertanyaan tentang pertanyaan, menguraikan pertanyaan menjadi pertanyaan yang
lebih kecil atau menentukan apakah suatu evaluasi diperlukan atau tidak.
Tabel 3. Jenis Pertanyaan Socratik beserta Contoh-contohnya (Paul & Binker, 1990)
Jenis pertanyaan
Socratik
Contoh pertanyaan
Pertanyaan
klarifikasi
1) Apa yang Anda maksudkan dengan __?
2) Apa pendapat utama Anda?
3) Dapatkah Anda memberikan saya contoh?
4) Apa Anda berpikir isu utama ada di sini?
Pertanyaan yang
menyelidiki asumsi
1) Apa yang Anda asumsikan?
2) Bagaimana Anda mempertanggungjawabkan hal ini?
3) Apakah ini berupa kasus?
Pertanyaan yang
menyelidiki alasan
dan bukti
1) Apa contohnya?
2) Dapatkah Anda menjelaskan alasan kepada saya?
3) Apakah alasan yang Anda sampaikan sudah cukup?
Pertanyaan tentang
pendapat/perspektif
1) Bagaimana kelompok lain merespon? Mengapa?
2) Bagaimana menjawab keberatan bahwa __ terjadi?
3) Bagaimana mengetahui dengan cara yang lain?
9. Jenis pertanyaan
Socratik
Contoh pertanyaan
Pertanyaan tentang
pertanyaan
1) Bagaimana kita dapat menemukan?
2) Dapatkah kita menguraikan pertanyaan ini?
3) Apa yang diasumsikan dari pertanyaan ini?
4) Mengapa pertanyaan ini penting?
Tahapan pembelajaran menggunakan pertanyaan Socratik dapat dilakukan sebagai
berikut.
1) Guru menyajikan fenomena, bagan, gambar, prosedur, hasil percobaan, dan sebagainya.
2) Guru menyajukan pertanyaan awal berkaitan dengan apa yang disajikan.
3) Guru mengajukan pertanyaan Socratik terganjung pada respon siswa terhadap
pertanyaan awal. Pertanyaan Socratik ini digunakan untuk mengembangkan ide-ide
siswa sehingga memahami materi yang dipelajari secara mendalam. Guru tidak
menyediakan jawaban, melainkan mengajukan pertanyaan Socratik yang membimbing
siswa untuk menemukan jawaban (mengkonstruksi pengetahuan/makna).
Pembelajaran berbasis peta argumen
Untuk dapat berpikir secara kritis, siswa harus dapat mengidentifikasi,
mengkonstruksi, dan mengevaluasi argumen (Lau & Chan, 2009). Argumen mengandung
daftar pernyataan yang berupa kesimpulan dan yang lain berupa premis atau asumsi.
Menyampaikan sebuah argumen adalah menyediakan sejumlah premis sebagai alasan
agar kesimpulan dapat diterima oleh orang lain. Argumen juga dapat digunakan untuk
mendukung pendapat orang lain. Twardy (2004) menyatakan bahwa seorang pemikir
kritis yang baik adalah orang yang terampil dalam mengartikulasikan dan mengevaluasi
argumen.
Menurut Bassham et al. (2008), keterampilan berpikir kritis sangat berkaitan dengan
alasan, yaitu mengidentifikasi alasan, mengevaluasi alasan, dan memberikan alasan.
Dalam keterampilan berpikir kritis, sebuah argumen mengandung klaim (kesimpulan)
yang didukung oleh alasan (premis). Premis adalah pernyataan dalam argumen yang
menyediakan bukti atau alasan mengapa kita seharusnya menerima pernyataan lain
(kesimpulan). Dengan kata lain, sebuah argumen mengandung sekelompok premis, satu
atau lebih, yang dimaksudkan untuk membuktikan atau mendukung kesimpulan.
Menurut Twardy (2004), beberapa argumen dapat dipahami sebagai struktur klaim
yang memiliki hubungan logis kti satu sama lain. Untuk dapat memahami suatu argumen,
terutama argumen kompleks, peta argumen perlu dibuat. Peta argumen menyajikan
struktur logis dari suatu argumen. Peta argumen merupakan diagram kotak dan garis
yang menyajikan struktur logis dari argumen secara visual untuk mendukung (alasan)
klaim utama. Peta argumen mengklarifikasi dan mengorganisasikan pikiran seseorang.
Dengan kata lain, peta argumen akan memungkinkan seseorang menjawab pertanyaan
dengan benar. Peta argumen dapat meningkatkan kemampuan siswa mengartikulasikan,
memahami, dan mengkomunikasikan penalaran sehingga dapat memacu keterampilan
berpikir kritis siswa (van Gelder, 2003).
Peta argumen mengembangkan kemampuan siswa untuk memahami argumen
kompleks dengan baik (Twardy, 2004). Peta argumen dapat membantu siswa memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang susunan konseptual dari isu-isu dan debat
kompleks. Peta argumen membuat informasi lebih mudah diproses oleh pikiran dengan
10. menggunakan sejumlah sumber representasi yang lebih luas (seperti warna, garis, bentuk,
dan posisi).
Dalam membuat peta argumen kompleks, Lau & Chan (2009) menyatakan bahwa
prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut.
(1) Mengidentifikasi kesimpulan utama atau yang paling penting dari argumen.
(2) Mengidentifikasi premis yang digunakan untuk mendukung kesimpulan. Ini adalah
premis dari argumen utama.
(3) Jika argumen tambahan diberikan untuk mendukung beberapa premis, maka
identifikasi dilakukan terhadap premis dari argumen tambahan tersebut, kemudian
mengulangi lagi prosedur ini. Label premis dan kesimpulan ditulis menggunakan
bilangan atau huruf.
(4) Menulis label dalam “struktur pohon” dan menggambar panah dari sejumlah premis
menuju kesimpulan yang didukung oleh premis.
Keuntungan dari penggunaan peta argumen juga diungkapkan oleh Ostwald
(2007). Umumnya, keuntungan ini meliputi: (1) tayangan struktur argumen sangat efisien
di mana peta argumen dapat meringkaskan beberapa halaman dari debat atau isu
kompleks ke dalam peta tunggal; (2) tayangan dari struktur argumen dapat ditampilkan
dengan jelas di mana argumen ditranslasi dari bentuk teks ke dalam bentuk peta yang
merupakan praktik keterampilan berpikir kritis yang sangat baik; dan (3) masing-masing
ko-premis dapat ditunjukkan secara eksplisit di mana peta argumen akan memacu siswa
mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan dan meminta bukti untuk masing-masing
komponen dari argumen. Pendek kata, peta argumen merupakan cara transparan dan
efektif untuk menyajikan argumen dan membuat operasi keterampilan berpikir kritis
menjadi lebih jelas sehingga menghasilkan perkembangan keterampilan berpikir kritis yang
lebih cepat.
Kata-kata atau frase yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan klaim atau
kesimpulan adalah: sehingga, dengan demikian, menghasilkan, menyebabkan, dan sebagainya.
Sementara itu, kata-kata atau frase yang dapat digunakan untuk menentukan premis adalah: karena,
disebabkan oleh, alasan untuk ini, sebagai akibat dari, dan sebagainya
Berikut diberikan beberapa contoh pembuatan peta argumen.
1) Argumen terdiri dari satu klaim dan satu premis (argumen sederhana).
Contoh 1. [1] Ekonomi sedang membaik. [2] Sehingga angka pengangguran semakin berkurang.
Peta argumen:
) Argumen terdiri dari satu klaim dan dua premis, tetapi kedua premis ini saling tergantung satu
satu sama lain. Jika premis yang satu tidak ada, maka premis yang lain juga tidak berlaku.
Kedua premis ini harus ada bersama untuk mendukung kesimpulan.
Contoh [1] Jika Anda ingin memperoleh pekerjaan yang baik, Anda seharusnya bekerja keras. [2]
Anda dapat memperoleh pekerjaan yang baik. [3] Sehingga Anda seharusnya bekerja keras.
Peta argumen:
11. ) Argumen terdiri dari satu klaim dan dua premis, tetapi premis yang satu tidak tergantung pada
premis yang lain. Artinya, jika salah satu premis tidak ada, maka premis yang lain masih dapat
mendukung klaim.
Contoh 3. [3] Pemerintah seharusnya melegalkan perjudian sepak bola. [1] Perjudian ini akan
menyediakan sumber pendapatan tambahan melalui pajak. [2] Lagi pula, ada dukungan publik atas
usulan tersebut.
Peta argumen:
) Argumen terdiri dari satu premis dan dua klaim, di mana masing-masing premis ini dapat
mendukung klaim yang sama.
Contoh 4. [1] Ginseng adalah produk kesehatan yang sangat baik. [2] Sehingga Anda seharusnya
membeli beberapa dari produk tersebut untuk diri Anda sendiri. [3] Anda juga seharunya membeli
beberapa dari produk tersebut untuk orang tua Anda.
Peta Argumen:
5. Argumen dengan sistem bertingkat, di mana suatu klaim dapat menjadi premis bagi klaim yang
lain (argumen kompleks).
Contoh 5. [2] Po tidak dapat menghadiri pesta saya karena [1] sepeda motornya rusak. [4] Dipsy
juga tidak dapat menghadiri pesta saya karena [3] ia harus mengantar ibunya ke dokter. [5] Saya
tidak mengundang teletubis yang lain, sehingga [6] tidak ada teletubis yang menghadiri pesta.
Peta argumen:
Penutup
Dalam pembelajaran guru-guru seharusnya mengajar bukan what to think, tetapi
how to think. Dengan cara demikian, peserta didik akan dapat menggunakan keterampilan
berpikirnya untuk menghadapi kehidupannya yang semakin kompleks dan penuh dengan
tantangan. Dalam rangka mengajar how to think ini, guru dapat menerapkan berbagai
model pembelajaran, seperti model pembelajaran berbasis masalah, pertanyaan Soctratik,
dan peta argumen. Pada pembelajaran berbasis masalah, peserta didik dihadapkan dengan
masalah ill-structured, open-ended, kontekstual, ambigu. Dalam memecahkan masalah ini,
siswa akan menggunakan berbagai sumber dalam mengumpulkan informasi. Di lain
pihak, pada pertanyaan Socratik, guru menggunakan pertanyaan-pertanyaan kritis untuk
mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Pertanyaan tersebut meliputi
pertanyaan klarifikasi, pertanyaan yang menyelidiki asumsi, pertanyaan yang menyelidiki
bukti atau alasan, pertanyaan tentang pendapat, pertanyaan yang menyelidiki implikasi,
dan pertanyaan tentang pertanyaan (meta pertanyaan). Pada pembelajaran berbasis peta
argumen, siswa membuat peta argumen berdasakan teks materi yang disajikan secara
12. argumentatif. Peta argumen adalah diagram kotak dan garis yang menggambarkan
struktur dari argumen, yaitu dukungan premis terhadap klaim.
Daftar Pustaka
Akinoğlu, O., & Tandoğan, R. Ö The effects of problem-based active learning in science
education on students’ academic achievement, attitude and concept learning Eurasia Journal
of Mathematics, Science & Technology Education, , -
Anwar (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup. Alfabeta: Bandung.
Arends, R. I. (2004). Learning to teach th
Ed. Boston: McGraw Hill.
Barrows. H. S. (1996). Problem-based learning in medicine beyond: A brief overview. New
direction for teaching and learning, , -
Bassham, G., Irwin, W., Nardone, H., & Wallace, J. M. (2007). Critical Thinking: A Student’s
Introduction nd
Edition. Singapore: McGraw-Hill Company, Inc.
Bassham, G., Irwin, W., Nardone, H., & Wallace, J. M. (2008). Critical thinking: A student’s
introduction nd
Edition. New York: McGraw-Hill Company, Inc.
Cabrera, G. A. (1992). A Framework for Evaluating the Teaching of Critical Thinking. Education.
, -
Carin, A. A. (1997). Teaching Modern Science th
Ed. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Carroll, R. T., (2004). Becoming a Critical Thinker. Tersedia pada: http://skepdic.com/refuge/
ctlessons/ch1.pdf. Diakses pada Tanggal 6 Juli 2007.
Chalupa, M. & Sormunen, C. (1995). You Make the Difference in the Classroom: Strategies for
Developing Critical Thinking” Business Education Forum -
Duch, B. J., Groh, S. E., & Allen., D. E. (2001). The Power of problem-based learning. Virginia:
Stylus Publishing, LLC
Eklof, T. F. (2005). Higher Mind: The Method of Critical Thinking. Philosophical Practice. ,
-
Ernst, J. & Monroe, M. (2004). The Effects of Environment-Based Education on Students’ Critical
Thinking Skills and Disposition toward Critical Thinking” Environmental Education
Research. , -
Foundation for Critical Thinking. (2004). Pseudo Critical Thinking in the Educational
Establishment: A Case Study in Educational Malpractice. Tersedia pada: http://
www.criticalthinking.org/resources/articles. Diakses pada Tanggal 14 Januari 2008.
Gallagher, J. J. (2007). Teaching science for understanding: a practical guide for middle and high
school teachers. Ohio: Pearson Education, Inc.
Gallagher, S., Stepien, W. J., Sher, B. T. & Workman, D., (1995). Implementing Problem-Based
Learning in Science Classrooms. School Science and Mathematics. , -
Garratt, J., Overton, T., Tomlinson, J., & Clow, D. (2000). Critical Thinking Exercises for Chemists.
Active Learning in Higher Education. , -
Gijselaers, W. H. (1996). Connecting problem-based learning with educational theory. New
direction for teaching and learning, , -
Halpern, D. F. (1999). Teaching for Critical Thinking: Helping College Students Develop the Skills
and Dispositions of a Critical Thinker” New Directions for Teaching and Learning. , -
Herbert, F. & Sowell, T. (2006). Critical Thinking: What is It Good for? Tersedia pada:
http://www.highbeam.com/library/docFree.asp? Diakses pada Tanggal 8 September 2006.
Jalal, F. (2006). Peran PPPG dalam Memfasilitasi Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan. Makalah Disampaikan pada
Rapat Koordinasi 12 PPPG. Jakarta.
Jones, D. (1996). Critical Thinking in an Online Word. Tersedia pada: http:// www.library.
ucsb.edu/untangle/jones.html. Diakses pada Tanggal 16 Oktober 1996.
Lau, J., & Chan, J. 2009. Argument mapping. Tersedia pada: http://philosophy. hku.hk/think/
arg/arg.php. Diakse pada Tanggal 15 Februari 2009.
Lipman, M. (2003). Thinking in education nd
Ed. Cambridge: Cambridge University Press.
Meyer, C. (1986). Teaching Students Think Critically. London: Jossey-Bass Publishers.
13. Notar, C. R., Wilson, J. D. & Montgomery, M. K. (2005). A Distance Learning Model for Teaching
Higher Order Thinking. Tersedia pada: http://findarticles.com/p/articles. Diakses pada
Tanggal 8 September 2006].
Ommundsen, P., (2001). Problem-based learning in biology. Tersedia pada: http://www.
saltspring.com/capewest/pbl.htm. Diakses pada Tanggal 3 Juli 2007.
Ostwald, J. 2007. Argument mapping for critical thinking. Tersedia pada: http://www.
jostwald.com/ArgumentMapping/OstwaldHandout.pdf. Diakses pada Tanggal 15 Februari
Paul, R. (1990). Critical thinking: What every person needs to survive in a rapidly changing world.
Rohnert Park, CA: Center for Critical Thinking and Moral Critique.
Paul, R., & Binker, A. J. A. (1990). Socratic questioning. Rohnert Park, CA: Center for Critical
Thinking and Moral Critique.
Paul, R., Binker, A. J. A., Martin, D., Vetrano, C., & Kreklau, H. (1989). Critical Thinking
Handbook: 6th
- th
Grades. Rohnert Park, CA: Center for Critical Thinking and Moral
Critique.
Ram, P., Ram, A., & Spragur, C. (2007). From student learner to professional learner: Training for
lifelong learning through online PBL. Tersedia pada: http://gatech. academia.
edu/ARam/Papers/21865/From-Student-Learner-To-Professional-Learner-Training-For-
Lifelong-Learning-Through-On-Line-PBL. Diakses pada Tanggal 13 Juni 2009.
Redhana, I W., & Simamora, M. (2007). Penerapan pembelajaran berbasis masalah berbantuan
LKM untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah mahasiswa. Laporan penelitian
tidak dipublikasikan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja.
Robbins, S. (2005). The Path to Critical Thinking. Tersedia pada: http://hbswk. hbs.edu/
archive/4828.html. Diakses pada Tanggal 8 September 2006.
Rodrigues, S. & Bell, B. (1995). Chemically Speaking: A Description of Student-Teacher Talk
During Chemistry Lessons Using and Building on Students’ Experiences International
Journal of Science Education. , -
Savery, J. R., & Duffy, T., M., (1991). Problem-based learning: An instructional model and its
constructivist framework. Constructivist learning environments -
Savoi, J. M. & Hughes, A. S., (1994). Problem-Based Learning As Classroom Solution.
Educational Leadership, Nopember, -
Schafersman, S.D. (1991). Introduction to critical thinking. Tersedia pada: http://www.
freeinquiry.com/critical-thinking.html. Diakses pada Tanggal 25 September 2006.
Sidi, I. D. (2003). Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Ciputat:
Logos Wacana Ilmu.
Tan, O. S. (2003). Problem-based learning innovation. Singapore: Thomson Learning.
Tan, O. S. (2004). Cognition, metacognition, and problem-based learning. In O. S. Tan (Ed).
Enhanching thinking through problem-based learning approachs: International perspectives.
Singapore: Thomson Learning.
Tsapartis, G., & Zoller, U. 2003. Evaluation of higher vs. lower-order cognitive skills-type
examination in chemistry: implications for university in-class assessment and examination.
U.Chem.Ed , , -
Twardy, C. R. 2004. Argument maps improve critical thinking. Tersedia pada: http://
www.csse.monash.edu.au/~ctwardy/Papers/reasonpaper.pdf. Diakses pada Tanggal 8
September 2006.
United Nations Development Programme. (2005). Human Develpment Report 2005. New York:
United Nations Development Programme. Tersedia pada: http://hdr.undp.org. Diakses pada
Tanggal 25 Maret 2006.
Walker, G. H., (1998). Critical thinking. Tersedia pada: http://www.utr.edu/administration/
walkerteachingresoursecenter/facultydevelopment/criticalthinking. Diakses pada Tanggal 6
Juli 2007.
14. van Gelder, T. 2003. Enhancing deliberation through computer-supported argument visualization. In
P. A. Kirschner, S. Buckingham Shum, & C. Carr (Eds). Visualizing argumentation. London:
Springer-Verlag.
Yuzhi, W. (2003). Using Problem-based Learning in Teaching Analytical Chemistry. The China
Papers, July, -
Zohar, A. (1994). The Effect of Biology Critical Thinking Project in The Development of Critical
thinking. Journal of Research in Science Teaching. , -
Zoller, U., Ben-Chaim, D., & Ron, S. (2000). The Disposition toward Critical Thinking of High
School and University Science Students: An Inter-Intra Isreaeli-Italian Study. International
Journal of Science Education. , -