Makalah ini membahas tentang taharah dan permasalahan yang terkait dengan taharah sesuai syariat Islam. Beberapa permasalahan yang dijelaskan antara lain melakukan wudhu dengan cara yang tidak sesuai syariat, tidak memperhatikan tata cara wudhu dan mandi yang benar, serta berlebihan dalam penggunaan air ketika bersuci.
Makna Tawakkal - Materi Pemahaman Arti TawakalAnas Wibowo
asal dari tawakkul adalah al-wukûl. Dikatakan: wakkaltu amrî ilâ fulân, artinya: aku mengembalikan urusanku—dan menyandar-kannya kepada—si fulan. Dikatakan pula: Wakkala fulân, artinya: dia mencukupkan (suatu perkara) kepada si fulan karena percaya dengan kemampuannya. (Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fath al-Bârî)
hakikat tawakal adalah benarnya penyandaran hati kepada Allah SWT dalam meraih maslahat dan menolak madarat dari urusan dunia dan akhirat; mewakilkan (menyerahkan) semua urusan kepada Allah SWT; serta perealisasian iman bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi, memadaratkan dan memberikan manfaat kecuali Dia. (Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam)
usaha menempuh berbagai sebab atau menjalankan kaidah sababiyah merupakan bentuk ketaatan badaniah kepada Allah SWT. tawakal dengan hati kepada Allah SWT merupakan keimanan kepada Dia. menempuh sebab dan tawakal harus ada pada saat bersamaan dan saling beriringan.
menghadapi ujian dengan sabar dan tawakkal. bersabar agar mendapat kebaikan dari Allah SWT. optimis karena rahmat Allah sesungguhnya dekat (QS al-A’raf [7]: 56).
sepenuhnya bertawakal kepada Allah SWT, serta beriman dan percaya dengan janji Allah. beriman dan bertawakal kepada Allah SWT, sebagaimana firmanNya: Sesungguhnya setan itu tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal hanya kepada Tuhan mereka saja (TQS an-Nahl [16]: 99). berlindung hanya kepada Allah SWT karena Allah SWT telah berfirman (yang artinya): Jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mahatahu (QS al-A’raf [7]: 200).
berdoa, berikhtiar, dan bertawakal. Juga dengan ketaqwaan kepada Allah SWT karena tanpa ketaqwaan tidak akan ada prestasi.
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.’” (TQS. at-Tawbah [9]: 51).
Betapapun beratnya jalan dakwah, bila dilalui dengan tekun, sabar dan tawakal kepada Allah SWT, serta terus terikat dengan jalan yang dicontohkan oleh Junjungan kita Muhammad saw., insya Allah dakwah itu akan membuahkan hasil. siapapun yang terjun langsung dalam dakwah akan merasakan betapa umat ini terus bergerak menuju perbaikan. Denyut nadi kerinduan umat terhadap kehidupan Islam makin nyata. Pengorbanan mereka pun kian tampak. Apalagi perkembangan umat seperti ini terjadi di seluruh Dunia Islam, bahkan di kalangan kaum Muslim di dunia Barat. Kemenangan ini semakin dekat.
Mengenali dengan lebih mendalam tentang mandi dari segi makna, syariat dan hikmah.
Sebab-sebab mandi wajib yang perlu diketahui, cara-cara mandi dan perkara makhruh ketika mandi.
Makna Tawakkal - Materi Pemahaman Arti TawakalAnas Wibowo
asal dari tawakkul adalah al-wukûl. Dikatakan: wakkaltu amrî ilâ fulân, artinya: aku mengembalikan urusanku—dan menyandar-kannya kepada—si fulan. Dikatakan pula: Wakkala fulân, artinya: dia mencukupkan (suatu perkara) kepada si fulan karena percaya dengan kemampuannya. (Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fath al-Bârî)
hakikat tawakal adalah benarnya penyandaran hati kepada Allah SWT dalam meraih maslahat dan menolak madarat dari urusan dunia dan akhirat; mewakilkan (menyerahkan) semua urusan kepada Allah SWT; serta perealisasian iman bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi, memadaratkan dan memberikan manfaat kecuali Dia. (Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam)
usaha menempuh berbagai sebab atau menjalankan kaidah sababiyah merupakan bentuk ketaatan badaniah kepada Allah SWT. tawakal dengan hati kepada Allah SWT merupakan keimanan kepada Dia. menempuh sebab dan tawakal harus ada pada saat bersamaan dan saling beriringan.
menghadapi ujian dengan sabar dan tawakkal. bersabar agar mendapat kebaikan dari Allah SWT. optimis karena rahmat Allah sesungguhnya dekat (QS al-A’raf [7]: 56).
sepenuhnya bertawakal kepada Allah SWT, serta beriman dan percaya dengan janji Allah. beriman dan bertawakal kepada Allah SWT, sebagaimana firmanNya: Sesungguhnya setan itu tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal hanya kepada Tuhan mereka saja (TQS an-Nahl [16]: 99). berlindung hanya kepada Allah SWT karena Allah SWT telah berfirman (yang artinya): Jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mahatahu (QS al-A’raf [7]: 200).
berdoa, berikhtiar, dan bertawakal. Juga dengan ketaqwaan kepada Allah SWT karena tanpa ketaqwaan tidak akan ada prestasi.
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.’” (TQS. at-Tawbah [9]: 51).
Betapapun beratnya jalan dakwah, bila dilalui dengan tekun, sabar dan tawakal kepada Allah SWT, serta terus terikat dengan jalan yang dicontohkan oleh Junjungan kita Muhammad saw., insya Allah dakwah itu akan membuahkan hasil. siapapun yang terjun langsung dalam dakwah akan merasakan betapa umat ini terus bergerak menuju perbaikan. Denyut nadi kerinduan umat terhadap kehidupan Islam makin nyata. Pengorbanan mereka pun kian tampak. Apalagi perkembangan umat seperti ini terjadi di seluruh Dunia Islam, bahkan di kalangan kaum Muslim di dunia Barat. Kemenangan ini semakin dekat.
Mengenali dengan lebih mendalam tentang mandi dari segi makna, syariat dan hikmah.
Sebab-sebab mandi wajib yang perlu diketahui, cara-cara mandi dan perkara makhruh ketika mandi.
Secara etimologi kata “thaharah” adalah masdar atau kata benda yang diambil
dari kata kerja yang berarti bersuci. Sedangkan menurut istilah thaharah mempunyai
banyak definisi sebagaimana dikemukakan oleh para imam mazhab berikut ini:
a. Hanafiyyah : thaharah adalah membersihkan hadats dan khobats.
b. Malikiyyah : thaharah adalah sifat hukum yang diwajibkan sifat itu agar bisa
melaksanakan shalat, dengan pakaian yang membawanya untuk melaksanakan
shalat, dan pada tempat untuk melaksanakan shalat.
c. Syafi‟iyyah : thaharah adalah suatu perbuatan yang mengarah untuk
memperbolehkan shalat dari berupa wudhu, membasuh, tayamum, dan
menghilangkan najis.
d. Hanabilah : thahaharah adalah menghilangkan hadats dan apa-apa yang
semacamnya, dan menghilangkan najis.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik Dosen
Makalah agama islam 3 materi pertama kelompok.3
1. MAKALAH AGAMA ISLAM 3
(MATERI I) THAHARAH DAN PERMASALAHANNYA
Di bimbing oleh:
ABDUL HAMID ALY, S.PD.,M
Di susun Oleh Kelompok 5:
1. SYARIF EFENDI NPM:21801081003
2. FEBRIANSYAH NPM:21801081038
3. OKKY TRIO A. NPM:21801081009
4. SRI WASILLAH NPM:21801081036
5. MISWATI NPM:21801081092
6. ATIKA NAJDAH ANNABILA NPM:21801081358
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
PRODI MANAJEMEN
TAHUN 2019
2.
3. iii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Thaharah
Dan Permasalahannya”
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan makalah ini. Terlepas dari itu semua kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah “Thaharah Dan
Permasalahannya” dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Malang, 2 Oktober 2019
Penyusun
4. iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..iv
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………1
1.1. Latar Belakang………………………………………………………………………..1
1.2. Rumusan Masalah…………………………………………………………………….1
1.3. Tujuan………………………………………………………………………………...2
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………….3
2.1. Permasalahan Yang Muncul Dalam Thaharah Dan Seputar Alat Suci………………3
2.2. Cara Bersuci (Thaharah) Dalam Kondisi Darurat……………………………………5
2.3. Bersuci (Thaharah) Dengan Memakai Muzah (Kaos Kaki)…………………………6
2.4. Permasalahan Seputar Hadast Besar, Hadast Kecil Dan Najis………………………7
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………...10
3.1. Kesimpulan………………………………………………………………………….10
3.2. Saran………………………………………………………………………………...10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………11
5. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.
Dengan adanya hukum, perilaku kehidupan kaum muslimin secara keseluruhan dapat diatur
denan terstruktur. Oleh karena itu, kaum muslimin dalam menjalani kehidupan sehari-hari tidak
akan pernah lepas dari hukum Islam. Salah satunya yaitu dalam konteks bersuci (tahaharah).
Thaharah atau mensucikan badan dari najis hukumnya menjadi wajib karena menjadi suatu
keharusan. Misalnya dalam melakukan sebuah ibadah kepada Allah, kaum muslimin harus bersih
dari segala najis, sedangkan manusia itu sendiri tidak pernah lepas dari yang namanya najis
(kotoran).
Apabila kaum muslimin tidak bersuci terlebih dahulu ketika akan melakuakan suatu
ibadah, maka segala ibadah yang dilakukan akan sia-sia bahkan mendapat dosa dari Allah SWT.
Meskipun bersuci terlihat sederhana dalam praktiknya, namun menjadi keliru atau menimbulkan
madharat apabila dalam bersuci tidak memakai tata cara bersuci denan baik dan benar yang
sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh syariat Islam.
Maka dari itu, dalam makalah kali ini akan membahas tentang bagaimana cara bersuci
dengan baik dan benar yang sesuai dengan syariat agama Islam yan telah disyariatkan
sebelumnya. Serta menjelaskan beberapa hal yang menjadikan kaum muslimin diharuskan untuk
melakukan bersuci (thaharah).
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa saja permasalahan (masa’il fiqhiyah) yang muncul dalam thaharah dan seputar alat
suci ?
2. Bagaimana cara bersuci (thaharah) dalam kondisi darurat ?
3. Bagaimana cara bersuci (thaharah) dengan memakai muzah (kaos kaki) ?
4. Apa saja permasalahan seputar hadast besar, hadast kecil dan najis.
6. 2
1.3. Tujuan
1. Mengetahui permasalahan (masa’il fiqhiyah) yang muncul dalam thaharah dan seputar
alat suci.
2. Mengetahui cara bersuci (thaharah) dalam kondisi darurat.
3. Mengetahui cara bersuci (thaharah) dengan memakai muzah (kaos kaki).
4. Mengetahui permasalahan seputar hadast besar, hadast kecil dan najis.
7. 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Permasalahan (masa’il fiqhiyah) yang muncul dalam thaharah dan seputar alat suci
Kata thaharah berasal dari bahasa arab ارَهَطلَا yang secara bahasa artinya kebersihan atau
bersuci. Menurut syara’ ialah suci dari hadats atau najis, dengan cara yang telah di tentukan oleh
syara’ atau menghilangkan najasah, mandi, dan tayamum. Hakikat thaharah ialah memakai air
atau tanah atau salah satunya menurut sifat yang di syariatkan, untuk menghilangkan najasah dan
hadats.
Thaharah termasuk ibadah yang sering kita lakukan. Seiring dengan kurangnya
perhatian kaum muslimin terhadap ajaran agamanya, banyak kita jumpai kaum muslimin yang
terjatuh dalam kesalahan dalam melaksanakan ibadah thaharah. Terdapat beberapa kesalahan
yang umum terjadi antara lain:
1. Melafadzkan Niat ketika Memulai Wudhu
Melafadzkan niat ketika memulai berwudhu termasuk kesalahan yang sering
terjadi. Hal ini karena niat itu letaknya di hati. Niat yang syar’i adalah seseorang
menghadirkan hatinya ketika hendak berwudhu bahwa wudhu ini untuk shalat, atau
untuk menyentuh mushaf Al-Qur’an atau selainnya. Jadi niat adalah kehendak hati
untuk beribadah, tidak perlu diucapkan secara lisan. Selain itu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam memotivasi untuk memulai ibadah wudhu dengan mengucapkan basmalah,
bukan dengan kalimat-kalimat lainnya, termasuk lafadz niat. Oleh karena itu, memulai
wudhu dengan melafadzkan niat itu menyelisihi apa yang diajarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Tidak Memperhatikan Bagaimana Wudhu atau Mandi yang sesuai dengan Tuntunan
Syariat dan Meremehkan Hukum-hukum terkait dengan Wudhu (Thaharah).
Hal ini termasuk perkara yang wajib dihindari oleh seorang muslim. Hal ini
karena wudhu dan mandi wajib termasuk syarat sah shalat dari hadats, baik hadats kecil
maupun hadats besar. Barangsiapa yang meremehkannya, bisa jadi shalatnya tidak sah
karena tidak memenuhi syarat-syarat dan kewajiban dalam wudhu dan mandi wajib.
8. 4
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang Artinya: “Sempurnakanlah wudhu
kalian dengan baik.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, Abu Hurairah dan
‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َْيلٌ ل أْلَع ََْْلِمْلََ نَّر ْلِ
Artinya :“Celakalah tumit-tumit (yang tidak terbasuh dengan air wudhu) yang akan
terkena api neraka.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, wajib menyempurnakan wudhu atas semua anggota wudhu,
yaitu dengan meratakan air ke anggota wudhu tersebut, kecuali kepala yang cukup
dengan mengusap sebagian besar kepala ditambah dengan dua telinga.
3. Berlebih-lebihan dalam menggunakan air, Ini juga termasuk perkara yang terlarang,
berdasarkan makna umum dari firman Allah Ta’ala,
َاَلتْسرِفْوا ِإَُِّ َا ُِحُِّ لاِتْسرِف َاََ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am [6]: 141)
Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
‘anhu,
ْلنْْلِْلس ول ْل لَّلل ل لْللْلى ْْلع :ْلنْْلِْلس َوَلَّ ْلَْلمْلر ْلَوى ْلِ ٍَ،وْلَّللَو ل ْلع ْلَلَّْلُ ْلِ َقاْلَّْلم وا هلَّْلا َ لسل ْلنَوُ ْلي للْلَ :ْلنْْل َ نللْل َُ ََسوَّ وَ ل ََسْلَ :
َْلوْلَْ ٍْيْلْ ٍ ْلْْلْ هْلَّْلم َْلٌوٍ لَ ْلِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpapasan dengan Sa’ad
yang sedang berwudhu. Rasulullah berkata, “Ini berlebih-lebihan.” Sa’ad bertanya,
“Apakah di dalam wudhu juga ada israf (berlebih-lebihan)?” Rasulullah menjawab,
“Betul, meskipun Engkau berwudhu di sungai yang mengalir.” (HR. Ibnu Majah no.
425, namun dinilai dha’if oleh Al-Albani)
4. Berdzikir ketika di kamar mandi atau masuk ke kamar mandi dengan membawa sesuatu
yang di dalamnya terdapat dzikrullah.
9. 5
Perbuatan semacam ini hukumnya makruh, dan selayaknya bagi setiap muslim
untuk menjauhinya. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata,
ْلَّْلس َْلَلَّْلَّللْلس َونَوسْلر ْلَلَّْلُ ْلِ َقاْلَّْلم وا هلَّْلا َا ونَوُ ْلي ْلِ ل ْلع لَّوْْلي للْلََقاْلَّْلم لَو ْلر َ
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berpapasan dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam
kepada Nabi, namun Nabi tidak membalasnya.” (HR. Muslim)
2.2. Cara bersuci (thaharah) dalam kondisi darurat
Islam merupakan agama yang sempurna, mudah dan sangat memperhatikan fitrah
manusia. Dalam hal ibadah, Islam tidak memaksa kepada orang yang tidak mampu
melakukannya. Misalnya dalam sholat. Ketika orang tersebut tidak mampu untuk berdiri, maka
ia boleh sholat dengan cara duduk. Begitu pula dengan bersuci. Ketika tidak ditemukan air atau
dalam keadaan tertentu orang tersebut sakit dan tidak boleh terkena air, maka ia boleh bersuci
dengan tayammum.
1. Pengertian tayammum
Tayammum ialah mengusap muka dan dua belah tangan dengan debu yang suci
dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Tayammum dapat
menggantikan wudhu dan mandi bagi orang yang tidak dapat menggunakan air dengan
syarat-syarat tertentu.
2. Syarat melakukan tayammum
Tidak ada air dan telah berusaha mencarinya, tetapi tidak menemukannya.
a. Berhalangan menggunakan air. Misalnya karena sakit yang apabila menggunakan
air akan kambuh sakitnya.
b. Telah masuk waktu sholat.
c. Dalam perjalanan dan sukar mendapatkan air.
d. Dengan debu yang suci.
10. 6
3. Hal hal yang membatalkan tayammum
Sebagaimana wudhu, tayamum pun dapat batal oleh:
a. Segala yang membatalkan wudhu
b. Ada air sebelum sholat, kecuali karena sakit
c. Murtad, keluar dari islam.
4. Hukum melihat air bagi orang yang bertayammum
Tayammum dapat dilakukan jika tidak ada air atau dalam keadaan tertentu yang
menyebabkan seseorang harus bertayammum. Namun bagi orang yang telah
bertayammum perlu memperhatikan beberapa hal berikut:
a. Jika ada air setelah bertayammum tetapi sholat belum dikerjakan, maka ia wajib
berwudhu.
b. Pada waktu sedang melakukan sholat kemudian terdapat air, sholatnya harus
dilanjutkan jika tayammumnya musafir dan sholatnya tidak batal. Tetapi jika
tayamumnya orang yang mukim, sholat tak perlu dilanjutkan sebelum berwudhu
karena tayammum dan sholatnya batal.
c. Jika telah selesai melakukan sholat baru ada air sementara waktu sholat masih ada,
maka boleh mengulang sholat dengan berwudhu, dan boleh pula tidak mengulanginya
sebagaimana pernah terjadi pada zaman Rasulullah.
d. Jika air ada setelah shalat dikerjakan dan waktu sholat telah habis, maka sholat tidak
perlu diulangi, karena sholatnya sudah sah.
2.3. Bersuci (thaharah) dengan memakai muzah (kaos kaki)
Ada empat syarat untuk mengusap kedua khuf:
1. Hendaknya ketika memakai keduanya dalam kondisi suci. Dalilnya adalah sabda Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam kepada Mughirah bin Syu’bah, "Biarkan keduanya,
sesungguhnya keduanya saya pakai dalam kondisi suci."
2. Hendaknya kedua khuf atau kaos kaki suci, jika terdapat najis tidak dibolehkan mengusap
keduanya. Dalil akan hal itu, bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam suatu hari
bersama para shahabatnya dan beliau memakai dua sandal, kemudian dilepas di tengah
11. 7
shalatnya. Lalu beliau memberitahukan bahwa Jibril memberitahukan bahwa pada
keduanya ada kotoran. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Abu Said Al-
Khudri radhiallahu anhu dalam musnadnya. Ini adalah dalil bahwa tidak dibolehkan
shalat ketika ada najis. Karena najis kalau diusap, maka orang yang mengusap akan
terkena najis. Maka tidak sah untuk mensucikan.
3. Mengusapnya untuk hadats kecil, bukan untuk janabat atau yang mengharuskan mandi.
4. Hendaknya mengusapnya pada waktu yang telah ditentukan oleh agama, yaitu sehari
semalam bagi yang bermukim dan tiga hari tiga malam bagi yang safar berdasarkan
hadits Ali bin Abi Tolib radhiallahu anhu berkata, "Nabi sallallahu alaihi wasallam
menetapkan bagi orang mukim (menetap) sehari semalam dan bagi orang yang safar tiga
hari tiga malam. Yakni mengusap khuf. (HR. Muslim)
2.4. Permasalahan seputar hadast besar, hadast kecil dan najis.
1. Hadast dibagi menjadi dua kelompok yaitu hadast kecil dan hadast besar.
a. Hadast kecil: hadast yang mensucikannya dengan cara berwudhu atau bertayamum
dengan syarat tidak ada air.
b. Hadast besar: hadast yang mensucikannya dengan cara mandi junub dan juga
bertayamum dengan syarat tidak ada air.
Hal-hal yang termasuk dalam hadast kecil :
a. Sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur, meskipun hanya angin (kentut).
b. Bersentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan baligh dan bukan muhrim.
c. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan.
d. Tidur dalam keadaan tidak tetap
e. Hilang akal : mabuk, gila, atau pingsan.
Tatacara bersuci pada hadast kecil, hadast secara bahasa artinya kejadian atau peristiwa.
Sedangkan menurut istilah syar‘i hadast berarti kejadian-kejadian tertentu pada diri seseorang
yang menghalangi sahnya ibadah yang dikerjakan. Jika kita mengerjakan sholat dalm keadaan
berhadast maka sholat kita tidak sah menurut hukum syari'at islam.
2. Pengertian Najis
Najis menurut bahasa berarti kotor. Sedangkan menurut istilah adalah segala
sesuatu yang dianggap kotor menurut syara’ (Hukum Islam). Benda atau barang yang
12. 8
terkena najis disebut mutanajjis. dan benda mutanajjis bisa disucikan kembali, misalkan
pakaian yang terkena air kencing dapat disucikankan dengan cara menyucinya. namun
berbeda dengan benda najis, seperti bangkai, kotoran manusia dan hewan tidak dapat
disucikan lagi, sebab ia tetap najis. Kotoran adalah segala sesuatu yang kotor atau tidak
bersih. Tidak semua yang kotor berarti najis, misalnya daki yang menempel pada badan
atau noda air teh pada baju.
Dalam fikih najis dikelompokkan menjadi tiga :
a. Najis mughalladhah (najis berat) : najis yang harus dicuci hingga tujuh kali basuhan
dengan menggunakan air mutlak dan salah satunya menggunakan debu yang suci atau
air yang dicampur dengan tanah. Contoh najis dalam kelompok mughalladhah adalah
air liur anjing.
b. Najis mutawassithah (najis sedang) : najis yang dicuci dengan cara menggunakan air
mutlak sampai hilang bau dan warnanya.
Najis mutawassithah dibagi menjadi dua :
Najis ‘ainiyah, yaitu najis yang masih terlihat wujudnya, warnanya, rasanya,
maupun baunya. Cara menyucikannya dengan menghilangkan zat, warna, rasa
dan baunya.
Najis hukmiyah, yaitu najis yang kita yakini adanya namun tidak nyata wujudnya,
baunya, rasanya, dan warnanya, misalkan seperti air kencing yang sudah
mengering.
Najis mukhaffafah (najis ringan) : najis yang dapat disucikan dengan
memercikkan atau menyiram air di tempat yang terkena najis. Contohnya yaitu air
kencing bayi yang belum pernah makan apa-apa kecuali minum air susu ibu
(ASI).
Najis ma'fu (najis yang dimaafkan) : najis yang dapat disucikan cukup dengan air,
jika najisnya kelihatan. Apabila tidak kelihatan tidak dicuci juga tidak apa-apa,
karena termasuk najis yang telah dimaafkan. Misalnya najis bangkai hewan yang
tidak mengalir darahnya, darah atau nanah yang sedikit, debu dan air di lorong -
lorong yang memercik sedikit yang sukar menghindarkannya.
13. 9
3. Tatacara mensucikan Najis
Ada beberapa cara yang perlu diperhatikan dalam hal bersuci dari najis, yaitu sebagai
berikut:
a. Sesuatu yang terkena najis mughaladhah (najis berat) seperti dijilat anjing atau babi,
wajib dibasuh 7 kali dan salah satu diantaranya dengan air yang bercampur dengan
tanah.
b. Sesuatu yang terkena najis mukhaffafah (najis ringan), cara menyucikannya cukup
diperciki air pada tempat yang terkena najis tersebut.
c. Sesuatu yang terkena najis mutawassithah (najis sedang) dapat disucikan dengan cara
dibasuh sekali, asal sifat-sifat najisnya (warna, bau dan rasa) itu menjadi hilang.
Namun alangkah lebih baiknya jika dibasuh sebanyak 3 kali.
d. Jika najis hukmiah cara menghilangkannya cukup dengan mengalirkan air saja pada
najis tadi.
14. 10
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Secara umum, kata thaharah menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang kotor,
baik yang kotor itu bersifat hissiy (dapat dirasakan oleh indera), maupun maknawi (sebaliknya).
Kotor yang bersifat maknawi ini diartikan sebagai dosa, sebagaimana hadist riwayat Ibnu ‘Abbas
r.a, Bahwa baginda Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sakit akan menjadi pembersih (thahurun)
dalam bagimu insyaAllah”. Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya sakit
itu adalah pencuci sebagian dosa”. Banyak perbedaan para imam madzhab dalam hal bersuci,
semisal alat yang digunakan untuk bersuci, rukun wudhu, rukun mandi wajib, rukun tayamum,
dan beberapa hal yang membatalkannya.
3.2. Saran
Kami penulis menyadari bahwa diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Kami sebagai penulis akan memperbaiki kesalahan tersebut dengan berpedoman
pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan diatas.