Dokumen tersebut membahas tentang konsep dasar pendidikan seni rupa yang mencakup pengembangan kreativitas, emosi, dan mental anak-anak melalui kegiatan seni rupa. Dokumen juga membahas peranan guru seni rupa dalam menciptakan iklim belajar yang mendukung kreativitas siswa.
motivasi adalah suatu dorongan atau hasrat kemauan yang menggerakkan seseorang bertingkah laku untuk melaksanakan kegiatan belajar dalam rangka mencapai tujuan. Dengan adanya dorongan, maka motivasi belajar erat kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai sehingga seseorang mampu menumbuhkan semangat belajar mereka demi tujuan-tujuan baru yang hendak dicapai. Timbulnya kegiatan belajar biasanya didorong oleh sesuatu atau beberapa keinginan, hasrat, kemauan atau kebutuhan. Dengan demikian tampaklah betapa pentingnya motivasi belajar di dalam diri setiap siswa.
motivasi adalah suatu dorongan atau hasrat kemauan yang menggerakkan seseorang bertingkah laku untuk melaksanakan kegiatan belajar dalam rangka mencapai tujuan. Dengan adanya dorongan, maka motivasi belajar erat kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai sehingga seseorang mampu menumbuhkan semangat belajar mereka demi tujuan-tujuan baru yang hendak dicapai. Timbulnya kegiatan belajar biasanya didorong oleh sesuatu atau beberapa keinginan, hasrat, kemauan atau kebutuhan. Dengan demikian tampaklah betapa pentingnya motivasi belajar di dalam diri setiap siswa.
PPT ini mencakup pembahasan tentang arti kognisi, aspek kognisi, pentingnya pengembangan kognitif, faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif, klasifikasi pengembangan kognitif, dan teori pengembangan kognitif Piaget & Vygotsky
Teori teori perkembangan moral (piaget & kohlberg)Rima Trianingsih
I. Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget
Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin, 2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial. Untuk mempelajari penalaran moral anak-anak, Piaget menghabiskan waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang bermain kelereng dan menanyakan kepada mereka tentang aturan permainan yang digunakan. Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai usia 6 tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.
Piaget kemudian membagi tahap perkembangan moral anak menjadi dua tahapan, yaitu tahap heteronomous dan tahap autonomous.
II. Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg
Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54). Menurut pandangan Kohlberg dari tiga tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya ketika anak mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu, kemudian anak harus meninggalkan penalaran moral dari tahap awal menuju ke tahap berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108).
Tahapan-tahapan perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg jauh lebih kompleks dibanding dengan tahapan-tahapan perkembangan moral dalam teori Piaget.
PPT ini mencakup pembahasan tentang arti kognisi, aspek kognisi, pentingnya pengembangan kognitif, faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif, klasifikasi pengembangan kognitif, dan teori pengembangan kognitif Piaget & Vygotsky
Teori teori perkembangan moral (piaget & kohlberg)Rima Trianingsih
I. Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget
Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin, 2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial. Untuk mempelajari penalaran moral anak-anak, Piaget menghabiskan waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang bermain kelereng dan menanyakan kepada mereka tentang aturan permainan yang digunakan. Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai usia 6 tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.
Piaget kemudian membagi tahap perkembangan moral anak menjadi dua tahapan, yaitu tahap heteronomous dan tahap autonomous.
II. Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg
Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54). Menurut pandangan Kohlberg dari tiga tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya ketika anak mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu, kemudian anak harus meninggalkan penalaran moral dari tahap awal menuju ke tahap berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108).
Tahapan-tahapan perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg jauh lebih kompleks dibanding dengan tahapan-tahapan perkembangan moral dalam teori Piaget.
Dalam menunjang kebutuhan dan untuk mengetahui serta memahami karakteristik anak, maka seorang pendidik seni perlu mempelajari karakteristik gambar anak berdasarkan periodisasi perkembangan yang dikemukakan oleh para ahli di bidang pendidikan seni rupa anak. Pembagian masa atau periodisasi dimaksudkan untuk lebih mengenal karya seni rupa anak dalam hal melakukan kegiatan dan penilaian .
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
1. KONSEP DASAR PENDIDIKAN
SENI RUPA
Nama Kelompok 7 :
Ranny Aprillia (13650024)
Amelia Hendrilita (13650040)
Mei Diovana (13650046)
Abdul Basyid (13650070)
2. Pendidikan seni mempunyai kontribusi terhadap pengembangan individu
antara membantu pengembangan mental, emosional, kreativitas, estetika,
sosial, dan fisik. Kondisi lingkungan yang kreatif dan tersedianya
kesempatan melakukan berbagai kegiatan kreatif bagi anak-anak akan
sangat membantu dalam mengembangkan budaya kreativitasnya.
Ruang lingkup bahan pengajaran Pendidikan Seni Rupa bagi anak-anak
TK dan SD meliputi kegiatan berkarya dua dimensional dan tiga
dimensional. Kegiatan menggambar, mencetak, menempel, dan kegiatan
berkarya seni rupa dua dimensional lainnya yang menyenangkan anak
dengan media dan cara-cara yang sederhana dapat dikembangkan dalam
kegiatan belajar-mengajar. Juga kegiatan mematung, membentuk,
merangkai, dan menyusun dari berbagai media dan dengan cara-cara yang
menyenangkan anak akan membantu pengembangan kreativitasnya.
3. Pendidikan Seni Rupa sebagai Pendidikan
Kreativitas dan Emosi
Seni merupakan istilah yang identik dengan
keindahan, kesenangan, dan rekreasi. Dalam seni,
setiap orang dinilai memiliki kreatifitas dan
kecerdasannya masing-masing. Seni dapat
memfasilitasi setiap orang untuk menuangkan atau
mencurahkan segala kreativitas berdasarkan kehendak
masing-masing orang itu sendiri.
4. Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk
menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja
yang pada dasarnya baru, dan sebelumnya tidak ada yang
membuatnya. Kreativitas bisa berupa kegiatan imajinatif
atau sintesis pemikiran yang hasilnya bukan hanya
perangkuman.
Pada umumnya, kreativitas diartikan dengan daya atau
kemampuan untuk mencipta, tetapi sebenarnya
kreativitas memiliki arti yang lebih yaitu meliputi :
5. 1. Kelancaran menanggapi suatu masalah, ide atau
materi
2. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam setiap
situasi.
3. Memiliki keaslian atau selalu dapat mengungkapkan
sesuatu yang lain daripada yang lain.
4. Mampu berpikir secara integral, bisa menghubungkan
yang satu dengan yang lain serta dapat membuat analisis
yang tepat.
6. Fransesco (1958), seorang ahli pendidikan seni rupa
mengemukakan tugas pendidikan seni rupa antara lain
sebagai penghalus rasa dan pendidikan emosi.
Pendidikan seni rupa yang banyak melibatkan emosi,
intuisi dan imajinasi dapat dijadikan salah satu cara
yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan emosi.
Cara yang efektif untuk pendidikan emosi adalah
memberi peluang dan stimulasi yang memungkinkan
para siswa dapat bekerja dengan rasa aman serta
penuh percaya diri.
Emosi
7. Pendidikan seni sebagai bagian dari Pendidikan
Nasional, seyogyanya memperhatikan makna yang
terkandung dalam UURI No.2 tahun 1989 Bab II
Pasal 4 dan berupaya untuk dapat menunjang
pelaksanaannya. Seni dapat menghaluskan rasa, dan
mengembangkan daya cipta, serta mencintai
kebudayaan nasional, bahkan menghargai hasil-hasil
kebudayan/kesenian dari bangsa manapun.
Pendidikan Seni Rupa dengan
Pendidikan Nasional
8. Peran guru seni, tidak lagi terletak pada mengajarkan
kepada siswa bagaimana cara menggambar atau
memberikan contoh gambar untuk ditiru siswa, tetapi
lebih terfokus kepada penciptaan iklim belajar yang
menunjang, suasana yang akrab serta adanya
penerimaan guru atas pribadi para siswa yang
beraneka ragam dengan karya dan gagasan mereka
yang bervariasi pula. Tentu saja, untuk dapat berperan
seperti ini guru seni perlu mengasah kepekaan rasa
seninya secara memadai, melalui kegiatan belajar yang
terus-menerus
Peranan Guru Seni Rupa
9. Kesimpulan
Pendidikan seni merupakan sarana untuk pengembangan
kreativitas anak. Evaluasi pebelajaran seni rupa lebih menekankan
pada aspek proses pengajaran dengan mengukur adanya berbagai
gejala perubahan, termasuk perubahan nilai. Evaluasi adalah
langkah yang digunakan untuk mengukur tingkah laku anak
selamapembelajaran. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara tes dan
non tes. untuk memperoleh data berupa tingkatan kemampuan
setelah pembelajaran.