Kebijakan Pengendalian Penyakit Infeksi di fasyankes
1. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN TENTANG
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI)
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
1
dr. YANTI HERMAN, S.H., M.H.KES
DIREKTUR MUTU PELAYANAN KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KESEHATAN
Disampaikan pada acara : PELATIHAN PPI DASAR DI RUMAH SAKIT
Jakarta, 15 Februari 2024
2. PENGATURAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DALAM UU KESEHATAN
Secara umum UU Kesehatan telah mengatur konsep pengelolaan rumah sakit dengan mengacu kepada Pasal
168, Pasal 172- 179, dan Pasal 184- 196
2
BASIC/UTAMA ADVANCE
1. Melakukan fungsi utama rumah sakit
(pelayanan spesialistik dan/atau
subspesialistik)
2. Melakukan peningkatan mutu pelayanan
kesehatan dan keselamatan pasien
3. Melaksanakan Rekam Medik dan Rahasia
Medis
4. Melakukan pelaporan pelayanan
5. Menyusun SPO
6. Melaksanakan pelayanan GD, KLB dan
Bencana
7. Memiliki struktur organisasi dengan
Pimpinan yang memiliki kompetensi
manajemen yang dibutuhkan
8. Melaksanakan kewajiban RS
1. Pelayanan Telemedicine dan Telekesehatan
2. Menyelenggarakan dan melakukan upaya
pemanfaatan hasil pelayanan, pendidikan,
penelitian, dan pengembangan di bidang
Kesehatan;
3. Mengintegrasikan pelayanan, pendidikan,
penelitian, dan pengembangan dalam
suatu system (AHS) sebagai upaya
mengatasi permasalahan Kesehatan di daerah
4. menjadi Rumah Sakit pendidikan.
GOOD GOVERNANCE
INOVASI/PENGEMBANGAN YANKES
3. Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit
GOOD GOVERNANCE
CORPORATE GOVERNANCE
Your Text Here
02 Pengembangan dan penerapan sistem
untuk meningkatkan mutu klinik,
dengan cara memadukan pendekatan
manajemen, organisasi, dan klinik secara
bersama
GOOD CLINICAL GOVERNANCE
01
penerapan fungsi manajemen Rumah
Sakit yang berdasarkan prinsip Good
Corporate Governance
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
CLINICAL GOVERNANCE
DUKUNGAN DIREKSI RUMAH SAKIT
INOVASI DAN PENGEMBANGAN
PELAYANAN
CORPORATE GOVERNANCE
4. GOOD CORPORATE
GOVERNANCE
Keterbukaan dalam melaksanakan
proses pengambilan keputusan dan
keterbukaan dalam mengemukakan
informasi materil dan relevan
mengenai korporasi.
TRANPARANSI
01
02
03
04
05
06
Masing-masing organ perusahaan
tidak saling mendominasi dan
tidak dapat diintervensi oleh
pihak lain
INDEPENDENSI
pertanggung jawaban korporasi,
merupakan kesesuaian dengan
hukum dan perundang-undangan
yang berlaku serta prinsip korporasi
yang sehat dalam pengelolaan
rumah sakit..
RESPONSIBILITAS
Kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organisasi
sehingga pengelolaan rumah sakit
terlaksana secara efektif
AKUNTABILITAS
Senantiasa memperhatikan
kepentingan semua pihak dalam
korporasi mayoritas atau minoritas,
pasien serta tenaga RS
berdasarkan asas kewajaran dan
kesetaraan.
FAIRNESS
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Prinsip Good Corporate Governance merupakan prinsip-prinsip yang diterapkan oleh korporasi
untuk memaksimalkan value korporasi, meningkatkan kinerja dan kontribusi korporasi, serta
menjaga keberlanjutan korporasi secara jangka panjang.
Penerapan tata kelola rumah
sakit berguna untuk:
1. memperbaiki pengawasan
internal
2. meningkatkan efisiensi
3. melindungi hak dan
kepentingan tenaga
kesehatan dan pasien
4. meningkatkan nilai rumah
sakit
5. meningkatkan efisiensi dan
efektifitas kerja; dan
6. meningkatkan hubungan
antara pemilik rumah sakit
dengan staf medis
5. GOOD CLINICAL GOVERNANCE
8 (delapan) standar, yang dapat
digunakan dalam proses audit internal,.
Standar Clinical Governance
1. Akuntabilitas
2. Kebijakan dan strategi
3. Struktur Organisasi
4. Sumber daya
5. Komunikasi
6. Pengembangan staf dan
pelatihan
7. Pengukuran kinerja
8. Penilaian eksternal
Good Clinical Governance:
a. melindungi pasien dari tindakan medik yang bisa merugikan,
b. menjaga profesionalisme dokter dan tenaga kesehatan
(mengup-date ilmu dan ketrampilan klinik, serta memiliki
perencanaan kinerja memadai.
Fasilitas pelayanan kesehatan khususnya sejak era Jaminan Kesehatan Nasional, dituntut untuk dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu namun tetap dapat menjaga biaya pelayanan tetap efisien (kendali mutu dan kendali
biaya) melalui Good Clinical Governance
komponen kegiatan clinical
governance
Pilar Good Clinical Governance
1. Fokus pada customer
(customer value)
2. Clinical performance and
evaluation
3. Clinical risk management
4. Profesional development
and management
unsur organisasi RS yang
bertanggungjawab terhadap tata
kelola klinis yang baik
6. STANDAR MUTU PELAYANAN KESEHATAN
PELAYANAN
KESEHATAN
- Lisensi
- Registrasi
- Akreditasi
- Sertifikasi
- Audit
- Pelaporan Indikator Mutu
- Pelaporan Insiden
Kepuasan Pasien
- PPI
- PPRA
MONITORING
DAN EVALUASI
PELAYANAN
KESEHATAN
YANG BERMUTU
PENINGKATAN
STATUS
KESEHATAN
KEPUASAN PASIEN
≧76,61
7. 7
Setiap fasilitas pelayanan
kesehatan wajib melakukan
peningkatan mutu pelayanan
kesehatan secara internal dan
eksternal secara terus menerus
dan berkesinambungan
Ketentuan lebih lanjut mengenai
peningkatan mutu Pelayanan
Kesehatan secara internal dan
eksternal diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Akreditasi Fasilitas Pelayanan
Kesehatan diselenggarakan oleh
Menteri atau lembaga
penyelenggara akreditasi yang
ditetapkan oleh Menteri
PASAL 178
PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT
PENINGKATAN MUTU
SECARA INTERNAL
PENINGKATAN MUTU
SECARA EKSTERNAL
MANAJEMEN RESIKO
PELAPORAN DAN
PENGELOLAAN INSIDEN
KESELAMATAN PASIEN
PENETAPAN INDIKATOR
MUTU RS
LISENSI
REGISTRASI
AKREDITASI
AUDIT
PPRA
PPI
memastikan adanya sistem untuk memonitor pelayanan kesehatan yang
diberikan sesuai dengan standar bermutu, dievaluasi dan hasil evaluasinya
digunakan untuk perbaikan è Continous Quality Improvement
STANDAR INPUT STANDAR PROSES STANDAR OUTPUT
GOOD GOVERNANCE
8. IPC is an important element in hospitals and other health facilities because it is closely related to
patient safety. The Ministry of Health is aware of the importance of IPC in 2007 (updated in 2017)
Research on the application of IPC in
hospitals in Indonesia using the WHO
IPC Assessment Framework (IPCAF)
shows that in general IPC in hospitals
is well implemented with several
areas of improvement, including
Multimodal strategy (MMS), HCAIs
surveillance and increasing the
capacity of health workers
responsible for IPC, namely the ability
to conduct antimicrobial
susceptibility testing (AST))
The incidence of HCAIs in Indonesia
reaches 15.74% and urinary tract
infections are the most frequently
occurring infections, namely around
40% (Arisandy, 2013).
§ Data from Lower Middle Income
Countries (LMICs) shows that the
prevalence of HCAIs is estimated to
be between 5.7% - 19.1%.
§ 61% of health workers do not
adhere to recommended hand
hygiene practices (WHO, 2016)
In terms of economic burden, it is
estimated that 15% of expenditure on
health facilities is used due to …. or
because patients become infected
while hospitalized, longer treatment
times so that the financial burden
increases, and possibly an increased
risk of anti-microbial resistance.
9. Konsep Implementasi IPC dalam dukungan IT di Fasyankes
Implementasi IPCAF di FKTP & FKRTL
Pengembangan dan Implementasi
IPCAF di RS
Pengembangan dan Implementasi
IPCAF di Puskesmas
Pengembangan dan Implementasi
IPCAF di Klinik
Pengembangan dan Implementasi
IPCAF di Laboratorium Kesehatan
• Melalui Sistem Aplikasi
• Dilaporkan per tahun
• Menggunakan IPCAF
untuk RS dan IPCAF
untuk Fasyankes primer
Analisa Hasil
Pelaporan
IPCAF
Gambaran
HAIs di
Indonesia
Dasar
Kebijakan PPI
di indonesia
Pelaporan HAIs di Rumah Sakit
(Desember 2023)
1036 (31 %) RS yang sudah melaporkan
IN PROGRESS
11. PELAPORAN SURVEILANS HAIS RUMAH SAKIT
*Update Data : 22 Januari 2024
No Provinsi
Jumlah RS
(RS Online)
Lapor
Tidak
Lapor
Presentase
Patuh Lapor
1 ACEH 74 9 65 12,2%
2 BALI 79 37 42 46,8%
3 BANTEN 133 47 86 35,3%
4 BENGKULU 27 4 23 14,8%
5 D I YOGYAKARTA 92 51 41 55,4%
6 DKI JAKARTA 205 70 135 34,1%
7 GORONTALO 20 2 18 10,0%
8 JAMBI 46 9 37 19,6%
9 JAWA BARAT 416 162 254 38,9%
10 JAWA TENGAH 352 133 219 37,8%
11 JAWA TIMUR 476 175 301 36,8%
12 KALIMANTAN BARAT 61 11 50 18,0%
13 KALIMANTAN SELATAN 54 16 38 29,6%
14 KALIMANTAN TENGAH 32 11 21 34,4%
15 KALIMANTAN TIMUR 64 16 48 25,0%
16 KALIMANTAN UTARA 16 2 14 12,5%
17 KEPULAUAN BANGKA BELITUNG 28 6 22 21,4%
18 KEPULAUAN RIAU 39 7 32 17,9%
19 LAMPUNG 84 19 65 22,6%
20 MALUKU 31 5 26 16,1%
21 MALUKU UTARA 24 4 20 16,7%
22 NUSA TENGGARA BARAT 45 9 36 20,0%
23 Nusa Tenggara Timur 66 10 56 15,2%
24 PAPUA 57 2 55 3,5%
25 PAPUA BARAT 26 5 21 19,2%
26 R I A U 82 23 59 28,0%
27 SULAWESI BARAT 15 4 11 26,7%
28 SULAWESI SELATAN 133 58 75 43,6%
29 SULAWESI TENGAH 43 17 26 39,5%
30 SULAWESI TENGGARA 43 12 31 27,9%
31 SULAWESI UTARA 61 15 46 24,6%
32 SUMATERA BARAT 85 14 71 16,5%
33 SUMATERA SELATAN 89 25 64 28,1%
34 SUMATERA UTARA 243 46 197 18,9%
Grand Total 3341 1036 2305 31,0%
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Aceh
Banten
DI Yogyakarta
Gorontalo
Jawa Barat
Jawa Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kepulauan Bangka Belitung
Lampung
Maluku Utara
Nusa Tenggara Timur
Papua Barat
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Sumatera Selatan
Provinsi
Kepatuhan Pelaporan Surveilans HAIs masing-masing Provinsi
lapor tidak lapor Jumlah RS
*Pelaporan Surveilans HAIs RS dilaporkan setiap bulan
*Batas Maksimal pelaporan surveilans HAIs : tanggal 10 bulan selanjutnya
*Data yang ditampilkan adalah data HAIs bulan Desember 2023 (Periode Pelaporan sampai 10
Januari 2024
Terdapat 1036 (31%) rumah sakit yang sudah melaporkan angka
kejadian HAI’s
12. PENGUKURAN DAN PELAPORAN INDIKATOR MUTU
Pengukuran dan pelaporan indikator mutu
diselenggarakan untuk menilai keberhasilan
pelayanan kesehatan secara kuantitas dan kualitas,
melalui penetapan indikator mutu tertentu untuk
mencapai hasil yang diharapkan
01
Pengukuran Indikator Mutu dilakukan melalui
tahapan kegiatan pengumpulan, validasi, dan
analisis data berdasarkan indikator yang ditetapkan
03
Indikator mutu merupakan tolak ukur yang digunakan
Fasyankes untuk mencapai target mutu tertentu yang
telah ditetapkan, terdiri atas:
a. Indikator Mutu fasilitas pelayanan kesehatan,
b. Indikator Mutu Nasional,
02
Pelaporan indikator mutu dilakukan setelah pengukuran
indikator mutu dan harus disampaikan kepada pimpinan
fasyankes, sedangkan untuk pelaporan indikator mutu
nasional harus disampaikan kepada Menteri dengan
menggunakan sistem informasi kesehatan nasional
04
13. 13
INDIKATOR NASIONAL MUTU PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT terkait PPI
Pelaporan hasil kritis laboratorium
Kepatuhan penggunaan formularium nasional
Kepatuhan terhadap alur klinis (clinical pathway)
Kepatuhan upaya pencegahan risiko pasien jatuh
Kecepatan waktu tanggap komplain
Rumah Sakit harus melakukan pengukuran INM dan
melakukan pelaporan ke aplikasi mutufasyankes
Kepatuhan kebersihan tangan
Kepatuhan penggunaan APD
Kepatuhan identifikasi pasien
Waktu tanggap Operasi Seksio
sesarea emergensi
Waktu tunggu rawat jalan
Penundaan operasi elektif
Kepatuhan waktu visite Dokter
Kepuasan pasien
15. 4 JEE 2023 REPUBLIC OF INDONESIA
LEVEL KAPASITAS TA PENCEGAHAN & PENGENDALIAN INFEKSI
(JOINT EXTERNAL EVALUATION 2023 REPUBLIC OF INDONESIA)
LEVEL TECHNICAL AREA DESCRIPTION
LEVEL 3
INDIKATOR PROGRAM
PPI
Program PPI nasional aktif tersedia, dan rencana operasional PPI nasional sesuai persyaratan
minimum WHO tersedia termasuk peran PPI dalam KLB dan pandemi. Pedoman/standar nasional
untuk PPI di fasilitas pelayanan kesehatan tersedia dan telah didiseminasikan. Fasilitas pelayanan
kesehatan tertentu menjalankan pedoman dengan strategi multi-moda105, termasuk pelatihan
tenaga kesehatan serta pemantauan dan umpan balik
LEVEL 3
INDIKATOR
SURVEILANS HAIs
Rencana strategis nasional untuk surveilans HAIs (termasuk patogen resistan antimikroba dan/atau
rawan wabah) tersedia dan dilaksanakan melalui program dan sistem nasional pengumpulan
data, analisis, dan umpan balik. Fasilitas pelayanan kesehatan sekunder dan tersier tertentu
menjalankan
surveilans HAIs (sebagaimana dijelaskan di atas) dan memberikan umpan balik tepat waktu dan
reguler kepada pengelola senior dan tenaga kesehatan
LEVEL 3
INDIKATOR
LINGKUNGAN AMAN DI
FASYANKES
Standar dan sumber daya nasional untuk lingkungan terbangun aman, seperti area WASH,
penapisan, dan isolasi serta layanan sterilisasi di fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk
infrastruktur, material, dan peralatan PPI yang tepat, dan juga standar pengurangan kerumunan
dan optimalisasi staf di fasilitas pelayanan kesehatan, sesuai persyaratan minimum WHO, tersedia
dan dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu ditingkat nasional, sesuai rencana
nasional
1 R E K O M E N D A S I
16. 1. “Rencana Aksi Nasional PPI 2024-2029” dan
mengimplementasikannya
• Penerapan PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
• Penerapan IPCAF tools di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan
termasuk FKTP
• Rumah Sakit sebagai “Centre of Excellence” terkait PPI dan
keselamatan pasien
• Memperkuat monitoring dan evaluasi
PRIORITY AREAS FOR ACTION
2. Meningkatkan kompetensi SDM terkait PPI
3. Kepatuhan pelaporan surveilens HAIs ke dalam sistem pelaporan
kesehatan nasional (One Health/Satu Sehat)
17. Project Activities Expected Output/s
Lead
Country/Co-lead Country
Source of
Support
1. Confirm Task Force members from each ASEAN Member State Full membership of Task Force is confirmed AHC 2 Chair AMS
2. Establish Task Force’s secretariat Technical officer(s) and administrative officer for the Task Force secretariat
are hired and actively collaborating with Task Force members, AHC 2, and
US CDC
AHC 2 Chair US CDC
HSP
3. Engage with ASEAN Center for Public Health Emergencies and Emerging
Infectious Diseases (ACPHEED)
IPC Task Force and its secretariat are operationalized and sustained through
ACPHEED
IPC-TF Co-Chairs US CDC
4. Establish and operationalize at least two technical working groups
within the Task Force, with one working group focusing on IPC to
prevent transmission of antimicrobial resistance in healthcare settings
and one focusing on IPC to prevent healthcare-associated infections
Technical working groups are organized and work plans developed and
approved
IPC-TF Co-Chairs /
TF Secretariat
US CDC
5. Organize and conduct virtual meetings of the full membership of the
Task Force and/or its technical working groups
2-3 virtual meetings of the Task Force and/or 3-4 virtual meetings of its
technical working groups are held per year, with one quarterly meeting
potentially replaced with an in-person meeting
Cambodia US CDC
HSP
6. Organize and conduct annual in-person meetings of the full
membership of the Task Force
Annual meeting of the full Task Force membership held IPC TF ASEAN Co-Chair US CDC
HSP
7. Conduct a landscape assessment of the state of
national IPC programs in ASEAN Member States
A summary report describing the state of national
IPC programs in ASEAN Member States, including
success and challenges, is produced
ASEAN Member States conduct an internal national-
level assessment of IPC program using WHO tools
Indonesia US CDC
HSP
8. Support a multi-region assessment of national- and facility-level
capacities and capabilities to prevent, detect, and respond to
carbapenem-resistant organisms (CROs) in healthcare settings being
coordinated by US CDC
A summary report describing CRO capacities and capabilities in ASEAN
Member States is produced
Data from Southeast Asia is incorporated into US CDC’s multi-region report
Malaysia US CDC
HSP
ASEAN-U.S. Infection Prevention and Control Task Force Work Plan 2023-25