SlideShare a Scribd company logo
1 of 95
Download to read offline
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JAYABAYA
ISSN: 2087 – 7048
ALTERNATIFJURNAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
SEMIOTIKA KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Gema Nusantara Bakry
PROBLEM IMPLEMENTASI DAN LAW ENFORCEMENT
DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Muhammad Ikhwan Hakiki
MASALAH LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF
STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Umar Suryadi Bakry
DAMPAK NEGATIF BAGI INDONESIA JIKA BERGABUNG DENGAN
TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP
Ngudi Astuti
LATAR BELAKANG SEJARAH DAN JARINGAN SOSIAL
DIASPORA CHINA DI DUNIA
Alvi Maysayu
RESENSI BUKU:
BARGAINING SEBAGAI STRATEGI ALTERNATIF POLITIK LUAR NEGERI RI
Muhammad Isnain Abd. Malik
VOL. 07 NO. 01 – 2017
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 i
ALTERNATIFJURNAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
Pelindung:
Ketua Yayasan Jayabaya
Pembina:
Rektor Universitas Jayabaya
Prof. H. Amir Santoso, Ph.D
Penanggung Jawab:
Dekan FISIP Univ. Jayabaya
Drs. Erwin Zein, M.Si
Pemimpin Umum/
Pemimpin Redaksi:
Dr. Umar S. Bakry
Mitra Bestari:
Prof. Dr. Arry Bainus, MA
Prof. Yanyan M. Yani, Ph.D
Prof. Bob S. Hadiwinata, Ph.D
Prof. Suke Djelantik, Ph.D
Musafir Kelana, Ph.D
Redaktur Pelaksana:
Drs. Denny Ramdhany, M.Si
Sekretaris Redaksi:
Iin Sofyan, SE, MM
Dewan Editor:
Drs. Saiful Syam, MA, Ph.D
Dra. Siti Hajar, M.Si, Ph.D
Drs. Subarno, M.Hum
Dra. Ambarwati, M.Si
Drs. Mansyur Kardi, M.Si
Sinta Julina, S.Sos, M.Si
Alamat Redaksi:
FISIP-HI Universitas Jayabaya
Jl. Pulomas Selatan Kav. 23
Jakarta Timur 13210
Telp/Fax: 021-4700903
HP 08111755379/0818718570
E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg
ISSN: 2087 – 7048
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI
(Hal. ii)
SEMIOTIKA KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
(Hal. 1 – 17)
PROBLEM IMPLEMENTASI DAN LAW
ENFORCEMENT DALAM HUKUM HUMNITER
INTERNASIONAL
(Hal. 18 – 33)
MASALAH LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF
STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
(Hal. 34 – 50)
DAMPAK NEGATIF BAGI INDONESIA JIKA
BERGABUNG DAN TPP
(Hal. 51 – 68)
LATAR BELAKANG SEJARAH DAN JARINGAN
SOSIAL DIASPORA CHINA DI DUNIA
(Hal. 69 – 85)
RESENSI BUKU
(86 – 90)
PEDOMAN PENULISAN
(Hal. 91)
ALTERNATIF adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan
oleh Pogram Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP
Universitas Jayabaya. Jurnal ini terutama ditujukan
untuk menampung hasil-hasil penelitian dan pemikiran-
pemikiranalternatifdalamIlmuHubunganInternasional.
Jurnal ini terbuka untuk seluruh komunitas studi HI dan
peminat masalah-masalah internasional. Jurnal terbit
dua kali (dua volume) dalam setahun.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017ii
PENGANTAR REDAKSI
SELAMAT berjumpa kembali dengan Jurnal Ilmu Hubungan Internasional
ALTERNATIF edisi Vol. 07 No. 1 (2017). Kami sangat berbahagia kembali dapat
hadir menjumpai Anda dengan sejumlah artikel ilmiah Hubungan Internasional dari
berbagai penulis dengan kompetensinya masing-masing. Untuk menjaga konsistensi,
wajah jurnal edisi kali ini tidak mengalami perubahan. Namun sedikit perubahan kami
lakukan dalam isi jurnal ini, yakni penambahan satu tulisan mengenai resensi buku.
Seperti biasanya, dalam edisi kali ini kami hadirkan 5 (lima) buah tulisan
atau artikel, yang keseluruhannya berkaitan dengan studi Hubungan Internasional
(HI). Artikel pertama membahas tentang sebuah kajian alternatif dalam studi HI di
Indonesia, yaitu semiotika komunikasi antarbudaya yang ditulis oleh Gema Nusantara
Bakry. Seperti diketahui, di beberapa negara maju, kajian tentang semiotika sudah
banyak diterapkan dalam analisis masalah-masalah hubungan internasional.
Artikel kedua merupakan kajian hukum humaniter internasional (HHI)
berjudul problem implementasi dan law enforcement dalam HHI. Tulisan karya
Muhammad Ikhwan Hakiki ini dimaksudkan untuk menambah wawasan para
penstudi HI mengenai pokok bahasan hukum humaniter internasional. Tulisan ketiga
merupakan kajian tentang lingkungan (environment) yang sudah menjadi salah satu isu
global kontemporer dilihat dari perspektif studi HI. Disusul dengan tulisan keempat,
karya Ngudi Astuti, membahas tentang dampak-dampak negatif jika Indonesia
bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP).
Artikel kelima merupakan hasil penelitian dari alumni FISIP-HI Universitas
Jayabaya, Alvi Maysayu, mengelaborasi tentang fenomena diaspora China di dunia.
Tulisan ini khususnya lebih difokuskan pada latar belakang atau sejarah dan jaringan
sosial yang membedakan fenomena diaspora China tersebut dengan gejala diaspora
lainnya di dunia. Akhirnya, isi jurnal ini ditutup dengan sebuah resensi dari M. Isnain
Abdul Malik terhadap buku karya Yanyan M. Yani dan Ian Montratama berjudul Quo
Vadis Politik Luar Negeri Indonesia.
Kamimenyadaribahwakelangsungandankualitassebuahjurnalmembutuhkan
komitmen tidak hanya dari jajaran Redaksi, melainkan juga perlu keberlanjutan
kontribusi tulisan dari para akademisi. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih
dan menyampaikan apresiasi kepada para penulis pada edisi kali ini maupun edisi-edisi
sebelumnya. Selamat membaca!
Redaksii
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 1
SEMIOTIKA KOMUNIKASI ANTAR-BUDAYA
DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Oleh: Gema Nusantara Bakry
Dosen Komunikasi Internasional FISIP-HI Universitas Jayabaya
E-mail: gema_bakry@yahoo.com
ABSTRACT
This article discusses the use of a semiotics approach in the study of International Relations.
Semiotics is the study of signs and sign processes (semiosis), indication, designation, resemblances,
analogies, metaphors, symbolism, meaning and communication. Semiotics approach is widely used
in the studies of cultures, including in intercultural communication. In a simple term, intercultural
communication is defined as human flow across national boundaries. Intercultural communication
generally refers to face-to-face interaction among people of diverse culture. Intercultural
communication is not a phenomenon that only takes place in the domestic sphere of a country, but
also occur within the scope of global or international relations. International relations, according to
some scholars, is a cultural phenomenon and the processes that occurred in international relations is
essentially an intercultural communication or cross-cultural communication. Therefore, the processes
in international relations can be explained using a semiotic approach.
Keywords: semiotics, culture, communication, intercultural communication, international relations.
ABSTRAK
Artikel ini membahas penggunaan pendekatan semiotika dalam studi Hubungan
Internasional. Semiotika adalah studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi,
penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna dan komunikasi. Pendekatan
semiotik secara luas digunakan dalam studi budaya, termasuk dalam komunikasi antarbudaya.
Dalam istilah sederhana, komunikasi antar budaya didefinisikan sebagai arus manusia melintasi
batas-batas nasional. komunikasi antar budaya umumnya mengacu pada tatap muka interaksi
antara orang-orang dari beragam budaya. Komunikasi antarbudaya bukanlah sebuah fenomena
yang hanya terjadi di wilayah domestik suatu negara, tetapi juga terjadi dalam lingkup global atau
hubungan internasional. Hubungan internasional, menurut sebagian sarjana, adalah fenomena
budaya dan proses yang terjadi dalam hubungan internasional pada dasarnya merupakan
komunikasi antar budaya atau komunikasi lintas-budaya. Oleh karena itu, proses dalam hubungan
internasional dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan semiotik.
Kata kunci: semiotika, kebudayaan, komunikasi, komunikasi antar-budaya, hubungan
internasional.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 20172
PENDAHULUAN
DALAM dua atau tiga dekade terakhir, pendekatan atau studi-studi tentang
semiotika (semiotics) mulai merambah dalam berbagai disiplin ilmu. Pendekatan
semiotika pertama kali digunakan dalam pembelajaran bahasa, yakni berkaitan erat
dengan bidang linguistik. Selain di lingkungan bahasa, semiotika pada awalnya juga
berkembang di lingkungan filsafat. Namun saat ini hampir semua disiplin ilmu sosial
telah mengadopsi pendekatan semiotika. Di lingkungan antropologi, konsep semiotika
pertama kali digunakan pada 1978 oleh Milton Singer. Di kalangan ilmu komunikasi
salah seorang perintis pendekatan semiotika diantaranya Robert Smith dan Roland
Barthes. Selain itu pendekatan semiotika juga banyak dimanfaatkan di lingkungan studi
pemasaran (marketing studies), ilmu hukum, ilmu arsitektur, ilmu kesehatan, sosiologi,
psikologi budaya, bahkan juga di kalangan penstudi Hubungan Internasional (HI).
Istilah semiotika berasal dari bahasaYunani sēmeiōtikos, yang artinya “tanda-tanda
jeli”.1
Semiotika yang seringkali juga disebut dengan semiology adalah studi tentang
pembentukan makna (meaning-making), atau studi tentang proses-proses tanda dan
komunikasi yang bermakna. Semiotika termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses
tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme,
makna, dan komunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang
untuk sebagian, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Namun,
berbeda dari linguistik, semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda non-linguistik.
Semiotika sering dibagi menjadi tiga cabang, yaitu semantik, sintaksis, dan pragmatik.
Semantik adalah   hubungan antara tanda dan hal-hal yang mereka lihat. Sintaksis
merupakan hubungan antara tanda-tanda dalam struktur formal. Sementara pragmatik
adalah hubungan antara tanda dengan tanda yang menggunakan agen.
PENGERTIAN DAN LINGKUP SEMIOTIKA
Istilah semiotika (semiotics) konon pertama kali dimunculkan pada abad ke-19
oleh ahli filsafat aliran pragmatik dari Amerika Serikat bernama Charles Peirce. Ia secara
komprehensif mendefinisikan semiotika sebagai doktrin mengenai sifat esensial dan
varietas fundamental dari semiosis. Sedangkan yang dimaksud dengan semiosis sendiri
adalah tindakan yang melibatkan kerjasama dari tiga subyek, yaitu tanda, obyeknya,
dan interpretasinya.2
Umberto Eco mengatakan bahwa semiotika berkaitan dengan
1	 Henry G. Liddell, A Lexicon Abridged from Liddell and Scott’s Greek-English Lexicon (New York:
BiblioLife Publishers, 2015).
2	 Charles S. Peirce sebagaimana dikutip Vincent M. Colapietro, Peirce’s Approach to the Self: A
Semiotics Perspective on Human Subjectivity (New York: State Univeristy of New York Press, 1989).
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 3
segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai tanda (semiotics is concerned with everything
that can be taken as a sign).3
Dalam arti semiotika, tanda-tanda dapat berupa kata-kata
(words), gambar-gambar (images), suara-suara (sounds), gerakan (gestures), dan benda-
benda (objects).
Ahli-ahli semiotika kontemporer pada umumnya tidak mempelajari tanda-
tanda secara terisolasi. Mereka lebih tertarik mempelajari pembentukan dan pertukaran
makna melalui teks dan wacana. Sebab itu, semiotika dalam arti luas dapat juga
diartikan sebagai sebuah studi tentang semua bentuk pembentukan dan pertukaran
makna berdasarkan sistem tanda (semiotics is the study of all forms of formation and
exchange of meaning on the basis of sign system).4
Bagi ahli-ahli semiotika, “teks” dapat
eksis dalam media apapun, dan dapat berbentuk verbal maupun non-verbal, atau
mencakup keduanya.
Ferdinand de Saussure yang lebih senang menggunakan istilah semiologi
(semiology) mendefinisikan konsep ini sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat (semiology is a science that studies the life of
signs in society).5
Dalam formulasi yang hampir serupa, Daniel Chandler mengatakan
bahwa semiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari peran tanda-tanda
sebagai bagian dari kehidupan sosial (semiology is a science which studies the role of signs
as a part of social life).6
Semiologi meneliti sifat dari tanda-tanda dan hukum atau
kaidah-kaidah yang mengatur tanda-tanda tersebut.
Semiotika adalah studi tentang tanda-tanda yang membahas tindakan (action),
penggunaan (usage), komunikasi (communication), dan signifikansinya (signification).
Semiotika dapat pula dimaknai sebagai teori tentang produksi dan interpretasi makna.
Prinsip dasar semiotika adalah bahwa makna dibuat melalui penggelaran tindakan dan
obyek-obyek yang berfungsi sebagai “tanda-tanda” dalam kaitannya dengan tanda-
tanda lain. Sistem tanda-tanda yang didasari oleh pemaknaan hubungan yang kompleks
yang dapat terjadi antara satu tanda dan tanda lainnya, terutama hubungan kontras
dan superordinasi/subordinasi (misalnya kelas/anggota, keseluruhan/sebagian). Tanda
3	 Umberto Eco, Theory of Semiotics (London: Macmillan, 1976), hal. 7
4	 Farzan Sojoodi, “Intercultural Communication: A Semiotics Approach”, dalam http://iransemiotics.ir/
wp-content/uploads/2013/12/Intercultural-Communication.pdf [Diakses 24 Oktober 2016].
5	 Ferdinand de Saussure sebagaimana dikutip Vincent M. Colapietro, Peirce’s Approach to the Self: A
Semiotic Perspective on Human Subjectivity (New York: State University of New York, 1989), hal.
31.
6	 Daniel Chandler, “Semiotics for Beginners”, dalam http://visual-memory.co.uk/daniel/S4B/sem01.html
[Diakses 23 Oktober 2016].
VOLUME 07 NOMOR 01 – 20174
digelar dalam ruang dan waktu untuk menghasilkan “teks”, yang artinya ditafsirkan
oleh hubungan yang saling mengontekstualisasikan antara tanda-tandanya.7
Semiotika adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-
tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia
ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia lain. Semiotika pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tidak
hanya membawa informasi –dalam hal mana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi—
tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.8
Dengan demikian yang menjadi dasar dari semiotika maupun semiologi adalah
konsep tentang tanda. Tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun atau
terdiri dari tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun –sejauh terkait dengan
pikiran manusia— seluruhnya terdiri dari tanda-tanda. Sebab, jika tidak begitu,
manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri juga
merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia. Sedangkan tanda-
tanda non-verbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik
sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari
tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi.9
Semiotika menang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Sebagaimana dikatakan
Ferdinand de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu
jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan
itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas.
Dalam kehidupan kita pun banyak sekali kajian tentang semiotika yang mungkin kita
pun tidak menyadarinya. Seperti bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Bahasa adalah
sebuah tanda yang kita ucapkan sehari-hari untuk berkomunikasi, dan masih banyak
lagi tanda-tanda yang lain dalam kehidupan kita sebagai alat komunikasi. Kita adalah
makhluk yang disebut homo socius yang berarti makhluk yang saling berinteraksi
dengan makhluk sejenisnya. Kita berada dalam satu kumpulan keluarga yang disebut
masyarakat, dalam masyarakat tersebut mempunyai suatu alat untuk berinteraksi satu
sama lain yang berupa suara yang disebut bahasa, yang berguna sebagai tanda untuk
7	 “Semiotic Theories”, dalam https://www.utwente.nl/cw/theorieenoverzicht/Semiotic_Theories/ [Diakses
23 Oktober 2016].
8	 Roland Barthes sebagaimana dikutip Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remadja Rosda-
karya, 2009), hal. 15.
9	 Alex Sobur, ibid., hal. 13.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 5
menyampaikan informasi atau keperluan lainnya.10
Para ahli semiotika hingga saat ini telah membedakan dua jenis semiotika, yaitu
semiotika komunikasi dan semiotika signifikansi.11
Semiotika komunikasi menekankan
pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya
enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode, sistem tanda, pesan,
saluran komunikasi, dan acuan. Sedangkan semiotika signifikansi memberikan tekanan
pada teori tanda dan pemahamannya dalam konteks tertentu. Di sini tidak dipersoalkan
adanya tujuan komunikasi, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda
sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses
komunikasinya.
Ahli linguistik asal Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913), adalah tokoh
utama di balik lahirnya semiotika sebagai sebuah disiplin. Tokoh kunci semiotika
lainnya yang juga dapat disebut sebagai pendiri disiplin tersebut adalah Charles Peirce
(1839-1914), juga Charles Morris (1901-1979) yang mengembangkan semiotika
beraliran behavioralis (behaviorist semiotics). Kemudian beberapa sarjana lainnya
turut mengembangkan semiotika hingga akhirnya dipelajari secara luas di seluruh
dunia, diantaranya Roland Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992),
Yuri Lotman (1922-1993), Christian Metz (1931-1993), Roman Jacobson (1896-
1982), Louis Hjelmslev (1899-1966), Umberto Eco (1932-2016), dan Julia Kristeva
(1941-sekarang). Di bidang antropologi, Claude Levi-Strauss dikenal sebagai pelopor
semiotika beraliran strukturalisme. Kemudian Jacques Lacan dikenal mengembangkan
semiotika dalam psikoanalisa. Sementara itu salah seorang pionir pendekatan semiotika
dalam studi HI adalah Yves Delahaye.
Menurut Daniel Chandler, semiotika adalah penting karena dapat membantu
kita untuk tidak menempatkan ‘realitas’ sebagai sesuatu yang memiliki eksistensi yang
benar-benar obyektif dan independen dari interpretasi manusia. Semiotika mengajarkan
kita bahwa realitas adalah sistem tanda. Belajar semiotika dapat membantu kita untuk
menjadi lebih menyadari realitas sebagai konstruksi dan peran yang dimainkan oleh diri
kita sendiri dan orang lain dalam membangun realitas itu. Semiotika dapat membantu
kita untuk menyadari bahwa informasi atau makna tidak ‘terkandung’ di dunia atau di
buku, di komputer atau di media audio-visual. Makna tidak ‘tertransmisi’ kepada kita,
melainkan kita yang aktif membuat makna sesuai dengan interaksi yang rumit dari
10	 Ferdinand de Saussure sebagaimana dikutip Ahmad Migy Pratama Wicaksono, dalam http://migypratama.
blogspot.co.id/2016/06/semiotika.html [Diakses 23 Oktober 2016].
11	 Lihat Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta: FIPB UI, 2008), hal. 140.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 20176
kode-kode atau konvensi-konvensi yang biasanya tidak kita sadari. Menyadari bahwa
kode-kode tersebut menarik secara inherent dan memberdayakan secara intelektual.
Kita belajar dari semiotika bahwa kita hidup dalam dunia tanda-tanda dan kita tidak
memiliki cara untuk memahami apa pun kecuali melalui tanda-tanda dan kode-kode
ke mana mereka terorganisir.12
Melalui studi semiotika kita menjadi sadar bahwa tanda-tanda dan kode-
kode tersebut biasanya transparan dan menyamarkan tugas kita dalam ‘membaca’
mereka. Hidup dalam sebuah dunia dimana tanda-tanda semakin visual, kita perlu
belajar bahwa tanda-tanda yang paling realistis sekalipun bukanlah apa yang mereka
tampakkan. Dengan membuat lebih eksplisit kode-kode melalui mana tanda-
tanda diinterpretasikan, kita dapat melakukan fungsi semiotik yang berharga, yakni
menghilangkan sifat (denaturalizing) tanda-tanda. Dalam mendefinisikan realitas,
tanda-tanda menyajikan fungsi ideologis. Mendekonstruksi dan menggugat realitas dari
tanda-tanda dapat mengungkapkan realitas yang diistimewakan maupun yang ditekan.
Studi tentang tanda-tanda adalah studi tentang konstruksi dan pemeliharaan realitas.
Sebab itu menolak arti penting dari studi tersebut sama saja dengan meninggalkan
kepada orang lain kendali dari dunia makna yang kita huni.13
KOMUNIKASI ANTAR-BUDAYA
Sebelum melangkah jauh pada pembahasan mengenai komunikasi antar-
budaya dalam hubungan internasional, terlebih dahulu perlu dipahami mengenai
pengertian konsep kebudayaan. Ahli antropologi ternama, Clifford Geertz, mengatakan
bahwa konsep kebudayaan (culture concept) menunjukkan sebuah pola makna yang
terkandung dalam simbol-simbol yang ditularkan secara historis, sebuah sistem
konsepsi yang diwariskan dan dinyatakan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui
sarana dimana manusia mengkomunikasikan, melestarikan, dan mengembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.14
Menurut Adam Kuper, karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik,
maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan.15
Konsep
kebudayaan simbolik, sebagaimana yang dimaknai Geertz, merupakan sebuah
pendekatan yang sifatnya hermeneutics, suatu pendekatan yang lazim digunakan
12	 Lihat Daniel Chandler, Semiotics: The Basics (London: Routledge, 2002).
13	 Daniel Chandler, ibid.
14	 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: HarperCollins Publishers, 2016).
15	 Adam Kuper, Culture (Cambridge: Harvard University Press, 1999), hal. 98.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 7
dalam lingkungan semiotika. Pendekatan hermeunetika inilah yang kemudian
menginspirisasikannya untuk melihat kebudayaan sebagai teks-teks yang harus dibaca,
ditranslasikan, dan diinterpretasikan.  Paul Ricouer menjelaskan bahwa konstruksi
pengetahuan manusia merupakan suatu struktur fakta yang merupakan simbol
dan hukum yang mereka beri makna. Dengan demikian tindakan manusia dapat
menyampaikan makna yang dapat dibaca, suatu perlakuan yang sama seperti ketika
memperlakukan teks.16
Sementara itu yang dimaksud dengan komunikasi antar-budaya (intercultural
communication) adalah setiap jenis pertukaran komunikasi dan informasi antar orang-
orang yang mengacu pada dua kerangka budaya yang berbeda. Komunikasi antar-
budayaadalahkomunikasiyangterjadidiantaraorang-orangyangmemilikikebudayaan
yang berbeda (bisa berbeda secara ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari
semua perbedaan ini). Sebagaimana dikatakan Stewart Tubbs, komunikasi antar
budaya merupakan komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya. Sedangkan
kebudayaan itu sendiri adalah cara hidup (way of life) yang berkembang dan dianut
oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.17
Fred Jandt mengartikan komunikasi antar-budaya sebagai interaksi tatap muka
diantara orang-orang yang berbeda kebudayaan (intercultural communication generally
refers to face-to-face interaction among people of diverse culture).18
Dalam bukunya
berjudul An Introduction to Intercultural Communication, Jandt lebih mengarahkan
pemahamannya tentang komunikasi antar budaya sebagai komunikasi budaya dari
berbagai negara dalam komunitas global. Hamid Mowlana senada dengan Jandt, ia
mendefinisikan komunikasi antar-budaya sebagai arus manusia yang melintasi batas-
batas nasional (human flow across national boundaries), misalnya melalui keterlibatan
dalam suatu konferensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara
dengan kebudayaan yang berbeda-beda berkumpul dan berkomunikasi satu sama
lain.19
Komunikasi antar-budaya sering digunakan secara sinonim dengan
komunikasi lintas-budaya (cross-cultural communications). Komunikasi lintas-budaya
16	 Paul Ricouer dan John Thompson, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University
Press, 1981).
17	 Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication (New York: Random House, 1977).
18	 Fred E. Jandt, An Introduction to Intercultural Communication: Identities in a Global Community (Thousand
Oaks, CA: SAGE Publications Inc., 2013), hal. 8.
19	 Lihat Hamid Mowlana, Global Communication in Transition: The End of Diversity (New Delhi: SAGE Publi-
cations India Pvt. Ltd., 1996).
VOLUME 07 NOMOR 01 – 20178
adalah sebuah bidang studi yang melihat bagaimana orang-orang dari berbagai latar
belakang budaya berkomunikasi. Konsep komunikasi lintas-budaya digunakan
untuk memahami bagaimana orang-orang dari berbagai negara melakukan tindakan,
melakukan komunikasi, dan memahami dunia di sekitar mereka. Banyak orang dalam
komunikasi lintas-budaya berpendapat bahwa kebudayaan menentukan bagaimana
individu-individu mengkodekan pesan-pesan (encode messages), media apa yang
mereka pilih untuk mengantarkan pesan-pesan tersebut, dan cara bagaimana pesan-
pesan diinterpretasikan.20
Komunikasi lintas-budaya terdiri dari aspek komunikasi verbal dan komunikasi
non-verbal. Komunikasi verbal (verbal communication) dapat didefinisikan sebagai
mengkomunikasikan pikiran melalui kata-kata. Pikiran tersebut dapat berupa gagasan
(ideas), pendapat (opinions), petunjuk (directions), ketidakpuasan (dissatisfaction),
keberatan (objections), emosi (emotions), dan kenikmatan (pleasures). Ada dua jenis
komunikasi verbal, yakni komunikasi tertulis dan komunikasi oral (berbicara). Sedang
komunikasi non-verbal (non-verbal communication) meliputi bahasa tubuh secara
keseluruhan dari orang yang sedang berbicara, yang mencakup postur tubuh, gerakan
tangan, dan gerakan tubuh secara keseluruhan. Ekspresi wajah juga memainkan peran
penting, karena ekspresi wajah seseorang selama berkomunikasi sering mengeskpresikan
suasana hatinya. Komunikasi non-verbal dapat juga berbentuk representasi bergambar,
papan nama, atau bahkan foto-foto, sketsa, dan lukisan.21
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
Komunikasi antar-budaya atau komunikasi lintas budaya bukan fenomena
yang hanya berlangsung dalam lingkup domestik suatu negara. Bahkan akhir-akhir
ini studi komunikasi antar-budaya dalam lingkup global (komunikasi internasional
atau hubungan internasional) mulai mendapatkan perhatian serius dari para ahli-
ahli budaya maupun ahli-ahli hubungan internasional. Dengan semakin derasnya
fenomena komunikasi antar-budaya dalam lingkup global, para ahli dipaksa untuk
mengorganisasi ulang (reorganize) konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode
tentang komunikasi antar-budaya dan menyajikan perangkat analisis untuk memahami
fenomena komunikasi antar-budaya dalam hubungan internasional.
20	 Jakob Lauring, “Intercultural Organizational Communication: The Social Organizing of Interaction in Inter-
national Encounters”, dalam Journal of Business Communication, Vol. 48 No. 3 (2001), hal. 231-255.
21	 http://fsc.bsu.by/wp-content/uploads/2015/12/Konspekt-lektsij-po-distsipline_-Osnovy-krosskul-turno-
go-obshheniya.pdf [Diakses 24 Oktober 2016].
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 9
Glen Fisher dalam karyanya berjudul International Negotiation: A Cross-Cultural
Perspectivemencobamengulasproseskomunikasilintas-budayadalamkontekshubungan
internasional, dimana orang-orang dari latar belakang nasionalitas dan budaya yang
berbeda-beda berusaha untuk mencapai sebuah kesepakatan (agreement).22
Houman
Sadri dan Madelyn Flammia dalam bukunya berjudul Intercultural Communication:
A New Approach to International Relations and Global Challenges, selain menjelaskan
pentingnya pendekatan komunikasi antar-budaya dalam hubungan internasional juga
mengelaborasi berbagai konsep pokok komunikasi antar-budaya dalam hubungan
internasional serta isu-isu global yang terkait dengan komunikasi lintas-budaya.23
Karya Fisher serta Sadri dan Flammia tersebut mewakili beberapa kajian
komunikasiantar-budayaataukomunikasilintas-budayadalamhubunganinternasional.
Karya-karya tersebut sekaligus menjadi suatu penegasan bahwa berbagai peristiwa
dalam praktik hubungan internasional (seperti negosiasi, diplomasi, perdagangan,
perang urat-syaraf, dan sebagainya) sebenarnya merupakan suatu proses komunikasi
antar-budaya. Karena merupakan bagian dari komunikasi antar-budaya maka praktik-
praktikhubunganinternasionalpundapatdijelaskandenganmenggunakanpendekatan
semiotika sebagaimana kajian-kajian budaya pada umumnya.
Dengan demikian, komunikasi antar-budaya kini bukan semata-mata
menjadi bagian dari kajian ilmu komunikasi. Menurut Sadri dan Flammia, dalam
perkembangannya studi HI ternyata juga memiliki yurisdiksi alamiah terhadap
fenomena komunikasi antar-budaya, khususnya ketika kegiatan komunikasi melintasi
batas-batas negara. Bagi para ahli HI, komunikasi merupakan elemen alamiah dari
diplomasi, negosiasi, dan signaling dalam masyarakat global. Kegiatan diplomasi
mengharuskan para diplomat mengkomunikasi kepentingan nasional negaranya
dengan counterpart-nya dri negara-negara lain.
Dalam studi HI, selain konsep antar-budaya (intercultural) juga dikenal konsep
multi-budaya (multicultural). Meskipun dalam masyarakat global aplikasi kedua konsep
ini sulit dipisahkan, namun keduanya memiliki makna yang berbeda. Istilah antar-
budaya mengacu pada keberagaman atau diversitas antara negara-negara yang berbeda
(diversity among separate nations). Sedangkan istilah multikultur mengacu pada negara-
negara yang mempunyai kelompok-kelompok budaya yang berbeda (diverse cultural
groups), biasanya sebagai hasil dari proses imigrasi atau diaspora.24
Sebagai contoh,
22	 Glen Fisher, International Negotiation: A Cross-Cultural Perspective (Yarmouth, ME: Intercultural Press, 1980).
23	 Houman A. Sadri dan Madelyn Flammia, Intercultural Communication: A New Approach to International
Relations and Global Challenges (London: The Continuum International Publishing, 2011).
24	 Houman A. Sadri dan Madelyn Flammia, ibid., hal. 8.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201710
Indonesia adalah salah satu negara multi-budaya dan melalui hubungan internasional
Indonesia mengalami proses-proses komunikasi antar-budaya.
Dalam teori dan praktik hubungan internasional dikenal konsep
diplomasi budaya (cultural diplomacy). Di sini kebudayaan selain dijadikan sebagai
instrumen politik luar negeri suatu negara, juga dimaksudkan sebagai sarana untuk
mengembangkan komunikasi antar budaya dan kerjasama antara orang-orang dari
seluruh dunia. Sebagaimana dinyatakan oleh Milton Cumming, diplomasi budaya
pertukaran gagasan (ideas), nilai-nilai (values), informasi (information), seni (art), dan
aspek-aspek lain dari kebudayaan diantara negara-negara dan rakyat mereka yang
mempunyai tujuan akhir untuk memperkenalkan pemahaman timbalik balik (mutual
understanding).25
Diplomasi budaya adalah sebuah konsep yang sangat terkait dengan
istilah-istilah lain, terutama konsep hubungan budaya (cultural relations), pertukaran
antar-budaya (intercultural exchange), dan komunikasi antar-budaya.
Diplomasi budaya adalah mekanisme dasar untuk menghubungkan kebudaya-
an-kebudayaan dan mempromosikan keanekaragaman budaya. Periode pasca Perang
Dingin, ada kebutuhan di kalangan masyarakat dunia untuk memahami kebudayaan-
kebudayaan yang berbeda. Ada harapan besar agar masing-masing dari kita dapat
menjadi sarana pencegahan konflik. Komunikasi antar-budaya atau interaksi melalui
pertukaran bahasa, gagasan, musik, dan seni, diharapkan dapat meningkatkan
komunikasi antara kelompok-kelompoik yang bertentangan secara budaya.
Selain konsep diplomasi budaya, dalam studi HI juga dikenal teori konstruktivis
yang secara implisit memperhitungkan aspek-aspek komunikasi antar-budaya dalam
masalah-masalah internasional. Menurut Mary Einbinder, teori konstruktivis dalam
studi HI merupakan kerangka analisis yang paling cocok untuk membahas bagaimana
struktur internasional secara sosial dikonstruksi (socially constructed) dan dengan
demikian mampu diubah melalui gagasan (ideas), pemikiran (thoughts), keyakinan
(beliefs), dan wacana (discourses) yang berkembang dalam masyarakat global.26
Menurut konstruktivisme, sistem internasional terbentuk sebagai sebuah pemahaman
bersama (common understanding) antar aktor. Sedangkan menurut Jurgen Habermas,
pemahaman bersama hanya bisa terwujud melalui tindakan-tindakan komunikatif
(communicative actions) dari para aktor.27
25	 Milton Cumming, Cultural Diplomacy and the United States Government: A Survey (Washington, DC: Center
for Art and Culture, 2003), hal. 1.
26	 Mary Einbinder, “Cultural Diplomacy: Harmonizing International Relations through Music”, Tesis pada
School of Individualized Studies, New York University, dalam http://www.culturaldiplomacy.org/pdf/
case-studies/ [Diakses 24 Oktober 2016].
27	 Lihat Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action: Reason and Rationalization of Society (New York:
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 11
Sebagaimana dikatakan pemikir konstruktivis, Alexander Wendt, konsep-
konsep sosial bersama mengkonstruksi struktur dari sistem internasional dan dipercaya
sebagai kekuatan yang mengendalikan (driving force) struktur tersebut.28
Prinsip-prinsip
dan konsep-konsep hubungan internasional secara sosial dapat dikonstruksi oleh para
aktor apabila ada proses komunikasi antar-budaya yang terus menerus diantara mereka.
Perwujudan perdamaian dunia (seperti yang menjadi tujuan lahirnya studi HI), hanya
dapat dicapai melalui penciptaan komunikasi antar-budaya yang terus menerus (atau
tindakan-tindakan komunikatif sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas) dalam
kerangka hubungan antar-bangsa yang berkelanjutan.
SEMIOTIKA HUBUNGAN INTERNASIONAL
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa hubungan internasional pada esensinya
adalah komunikasi antar-budaya, atau setidaknya komunikasi antar-budaya yang
berkelanjutan (sustainable intercultural communication) merupakan fundasi bagi
perwujudan hubungan internasional yang damai. Akira Iriye bahkan menegaskan
bahwa hubungan internasional itu sendiri pada hakikatnya merupakan fenomena
budaya (cultural phenomenon). Pada tingkat yang lebih dalam, dapat dikatakan bahwa
hubungan internasional sebenarnya merupakan produk interaksi dari kebudayaan-
kebudayaan yang berbeda.29
Sebagai fenomena budaya maka hubungan internasional
dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan semiotika sebagaimana fenomena
budaya pada umumnya.
Semiotika sebenarnya bukan sama sekali baru merambah ranah hubungan
internasional. Semiotika budaya sebagai sistem simbol dan makna, telah lama diakui
memiliki implikasi penting bagi komunikasi antar-budaya dan hubungan internasional.
Sebagai contoh, frase “percakapan budaya” (conversation of cultures) telah digunakan
dalam artikel Robert Redfield berjudul “Does America Need a Hearing Aid?”, terbit
pada 1953 di The Saturday Review. Artikel ini menerapkan dan mengelaborasi metafora
percakapan tatap muka sebagai sesuatu yang ideal untuk melakukan hubungan
internasional. Redfield lebih lanjut menjelaskan bahwa keamanan bersama (mutual
security) tergantung pada pemahaman bersama (mutual understanding), dan untuk
dapat memahami kita harus melakukan percakapan. Dalam hubungan internasional,
John Wiley & Sons, 2015).
28	 Lihat Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press,
1999).
29	 Akira Iriye, Akira Iriye, Cultural Internationalism andWorld Order (New York: John Hopkins University Press,
1997), hal. 16.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201712
penting untuk membangun komunitas berpikiran bebas, sebuah peradaban dialog (a
dialogue of civilization).30
Studi sejarah dan etnografi tentang bagaimana tanda-tanda dan simbol-
simbol nasional muncul dan kadang-kadang ditransendensi dalam “hubungan ramah”
(convival relations) di dunia diplomasi, merupakan agenda penting untuk penelitian
semiotika hubungan internasional. Studi semiotika dalam hubungan internasional,
tidak hanya membutuhkan keahlian linguistik dan skema komunikasi internasional
yang lebih baik, namun juga memerlukan kajian tentang konteks sosial dan budaya
komunikasi serta latar belakang sejarah bangsa-bangsa dalam hubungan internasional.
Dalam bahasa Redfield, semiotika hubungan internasional dapat menjadi “alat bantu
dengar” (hearing aid) untuk mendengarkan suasana hati yang berubah, mendalami
struktur-struktur nasional yang persisten, dan untuk memahami sifat-sifat manusia
yang universal. Pada intinya, semiotika hubungan internasional berguna untuk
“mendengarkan” komunikasi intra-nasional serta komunikasi antar-budaya dari
negara-negara yang bersifat multi-etnis, multi-bahasa, dan multi-kultur.31
Jika kita menerima definisi dari Margaret Mead (1962) yang mengatakan
bahwa semiotika adalah semua komunikasi yang berpola dalam semua modalitas
(semiotics is all patterned communication in all modalities), maka cukup mudah untuk
melihat bagaimana sebuah studi tentang peradaban-peradaban besar dunia dengan
bantuan disiplin khusus perlu mempelajari semua pola komunikasi antar-budaya
dalam semua modalitas.32
Studi HI adalah studi tentang interaksi antar peradaban-
peradaban besar (lihat tesis Samuel Huntington tentang benturan peradaban dalam
hubungan internasional pasca Perang Dingin). Dengan demikian, tidak dapat
dihindarkan pendekatan semiotika akan semakin diperlukan dalam analisis masalah-
masalah internasional.
Secara formal aplikasi pendekatan semiotika untuk menganalisis masalah
internasional bermula pada 1987. Saat itu sekelompok dosen dan mahasiswa dari
beberapa departemen (termasuk departemen HI) di Universitas Chicago mulai meneliti
aspek semiotika dari isu-isu kebijakan nuklir Amerika dan Soviet. Pada intinya ini adalah
sebuah proyek penjabaran antar-disiplin dan antar-budaya serta sebuah percakapan
budaya dimana semiotika murni dan deskriptif sangat relevan. Karena hubungan
30	 Robert Redfield sebagaimana dikutip Milton Singer, Semiotics of Cities, Selves, and Cultures: Explorations in
Semiotics Anthropology (Berlin: Mouton de Gruyter, 1991), hal. 20.
31	 Milton Singer, Semiotics of Cities, Selves, and Cultures: Explorations in Semiotics Anthropology (Berlin: Mouton
de Gruyter, 1991), hal. 22.
32	 Milton Singer, ibid., hal. 21.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 13
internasionalbukansekedargeopolitik,ekonomi,danteknologipersenjataan,tetapijuga
menyangkut budaya dan simbolik, maka diperlukan semiotika hubungan internasional
untuk membantu “mendengarkan” dan “menerjemahkan” percakapan budaya dalam
panggung internasional dalam semua modalitas komunikasi.33
Sebagaimana dikatakan
Redfield, pemahaman bersama adalah kondisi yang diperlukan bagi perwujudan
keamanan bersama dalam hubungan internasional.
Dalam literatur studi HI, terdapat banyak sekali definisi tentang hubungan
internasional. Salah satu definisi yang sederhana mengenai hubungan internasional
dibuat oleh Marcel Merle. Ia mengatakan bahwa hubungan internasional adalah arus
dan pasang surut yang melintasi perbatasan, atau cenderung untuk melintasi perbatasan
(international relations is the ebbs and flows that cross borders, or tend to cross borders).34
Kata perbatasan (borders) sebagaimana disebutkan Merle, merujuk pada bagian dunia
yang berpenghuni yang dikuasai oleh unit politik yang kita sebut negara. Kriteria yang
digunakan untuk membagi negara-negara didasarkan pada pembagian politik dan
hukum mengenai ruang dimana pergerakan aktor-aktor dari skenario internasional
terjadi. Perbatasan, dalam terminologi semiotik, adalah “tanda” dari mana semua
tanda-tanda yang diadopsi dalam hubungan internasional berasal.
Dengan demikian, kata perbatasan dalam definisi Merle merupakan sebuah
elemen yang sentral dalam hubungan internasional. Definisi Merle memungkinkan kita
mengalihkan perhatian dari negara --atau tepatnya dari aktor-aktor internasional—
kepada “arus” yang “melintasi” dan “cenderung melintasi” garis perbatasan negara.
Dengan adanya perubahan fokus ini, maka banyak faktor (selain aktor) menjadi obyek
kajian dalam studi HI sepanjang faktor-faktor tersebut terlibat dalam “arus” lintas-
batas, seperti sirkulasi orang, produk-produk, modal, gagasan, dan bahkan wacana.
Mengacu pada definisi hubungan internasional dari Merle di atas, kita melihat
ada koneksi antara dimensi “domestik” dan “internasional” yang dihasilkan dari
“signifikansi internasional” yang melekat pada konsep “melintasi perbatasan”. Sebab
itu setiap pidato, pernyataan, hukum yang dihasilkan oleh pemerintah (bahkan ketika
semua itu ditujukan kepada rakyatnya sendiri), dapat menjadi penting bagi komunitas
internasional dan khususnya bagi pemerhati semiotika.Teks-teks yang berkaitan dengan
hal-hal tersebut signifikan bagi semiotika, termasuk teks-teks yang tidak dimaksudkan
memiliki efek ke luar perbatasan.35
33	 Milton Singer, Ibid., hal. 22.
34	 Marcel Merle, The Sociology of International Relations (Oxford: Berg Publishers, 1987).
35	 Evandro Menezes de Carvalho, Semiotics of International Law: Trade and Translation (New York: Springer,
2011), hal. 43-44.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201714
Semiotika hubungan internasional juga sangat berkaitan dengan aktivitas
diplomasi. Seperti diketahui, dengan berakhirnya Perang Dingin, topik diversitas
budaya dalam hubungan internasional menjadi semakin hadir dalam agenda-
agenda diplomasi. Banyak negara yang di era Perang Dingin terpinggirkan dari
sistem internasional, mulai menuntut partisipasi yang lebih luas, baik dalam bentuk
ekspresi diplomasi internasional maupun dalam proses pembentukan norma-norma
internasional baru.36
Sebab itu jika di masa lalu perilaku dan linguistik mereka
dianggap sesuatu yang ganjil, kini mereka dapat turut menjadi bagian yang biasa dalam
percakapan budaya diplomasi. Dunia diplomasi kini tidak lagi didominasi oleh tanda-
tanda, simbol-simbol, makna-makna, dan metafora dari negara-negara besar yang
menghegemoni sistem internasional, namun juga telah memberikan ruang terbuka
bagi emansipasi budaya dari berbagai aktor hubungan internasional. Dalam konteks
ini, semiotika hubungan internasional menjadi semakin relevan dan memiliki wilayah
kajian yang semakin luas.
KESIMPULAN
Pendekatan semiotika sangat dibutuhkan dalam kajian tentang komunikasi
dan kebudayaan. Dunia komunikasi dan kebudayaan penuh dengan simbol-simbol,
tanda-tanda, lambing-lambang, makna-makna. wacana, analogi, dan metafora yang
menjadi fokus kajian semiotika. Hubungan internasional merupakan fenomena
budaya, karena hubungan internasional pada hakikatnya adalah proses komunikasi
antar-budaya. Sebagai sebuah fenomena budaya dan sebagai bentuk komunikasi
antar-budaya, proses-proses dalam hubungan internasional dengan sendirinya dapat
dijelaskan dengan menggunakan pendekatan semiotika. Sebab itulah kemudian lahir
istilah semiotika hubungan internasional (semiotics of international relations).
Meskipun masih menempati posisi marjinal dalam penelitian-penelitian
hubungan internasional, sejak era pasca Perang Dingin semakin tumbuh kesadaran
di lingkungan komunitas studi HI mengenai pentingnya pemanfaatkan pendekatan
semiotika dalam kajian masalah-masalah internasional. Studi-studi semiotika dalam di
lingkungan komunitas HI selama ini banyak menyoroti proses-proses diplomasi dan
negosiasi pasca Perang Dingin. Namun beberapa kajian juga memberikan perhatian
pada analisis wacana (discourse analysis) terhadap berbagai kebijakan luar negeri dan
pernyataan para pemimpin dunia dalam peristiwa-peristiwa internasional.
36	 Evandro Menezes de Carvalho, Ibid., hal. 38.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 15
BIBLIOGRAFI
Barthes, Roland, sebagaimana dikutip Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung:
PT Remadja Rosdakarya, 2009).
Chandler, Daniel, Semiotics: The Basics (London: Routledge, 2002).
Chandler, Daniel. “Semiotics for Beginners”, dalam http://visual-memory.co.uk/
daniel/S4B/sem01.html [Diakses 23 Oktober 2016].
Cumming, Milton, Cultural Diplomacy and the United States Government: A Survey
(Washington, DC: Center for Art and Culture, 2003).
De Carvalho, Evandro Menezes, Semiotics of International Law: Trade and Translation
(New York: Springer, 2011).
De Saussure, Ferdinand, sebagaimana dikutip Vincent M. Colapietro, Peirce’s Approach
to the Self: A Semiotic Perspective on Human Subjectivity (New York: State
University of New York, 1989).
De Saussure, Ferdinand, sebagaimana dikutip Ahmad Migy Pratama Wicaksono,
dalam http://migypratama. blogspot.co.id/2016/06/semiotika.html [Diakses
23 Oktober 2016].
Eco, Umberto, Theory of Semiotics (London: Macmillan, 1976).
Einbinder, Mary, “Cultural Diplomacy: Harmonizing International Relations through
Music”, Tesis pada School of Individualized Studies, New York University,
dalam http://www.culturaldiplomacy.org/pdf/case-studies/ [Diakses 24
Oktober 2016].
Fisher, Glen, International Negotiation: A Cross-Cultural Perspective (Yarmouth, ME:
Intercultural Press, 1980).
Geertz, Clifford, The Interpretation of Cultures (New York: HarperCollins Publishers,
2016).
Habermas, Jurgen, The Theory of Communicative Action: Reason and Rationalization of
Society (New York: John Wiley & Sons, 2015).
Hoed, Benny H., Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta: FIPB UI, 2008).
Iriye, Akira, Akira Iriye, Cultural Internationalism and World Order (New York: John
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201716
Hopkins University Press, 1997).
Jandt, Fred E., An Introduction to Intercultural Communication: Identities in a Global
Community (Thousand Oaks, CA: SAGE Publications Inc., 2013), hal. 8.
Kuper, Adam, Culture (Cambridge: Harvard University Press, 1999).
Liddell, Henry G. A Lexicon Abridged from Liddell and Scott’s Greek-English Lexicon
(New York: BiblioLife Publishers, 2015).
Lauring, Jakob, “Intercultural Organizational Communication: The Social Organizing
of Interaction in International Encounters”, dalam Journal of Business
Communication, Vol. 48 No. 3 (2001), hal. 231-255.
Merle, Marcel, The Sociology of International Relations (Oxford: Berg Publishers, 1987).
Mowlana, Hamid, Global Communication in Transition: The End of Diversity (New
Delhi: SAGE Publications India Pvt. Ltd., 1996).
Peirce, Charles S. sebagaimana dikutip Vincent M. Colapietro, Peirce’s Approach to the
Self: A Semiotics Perspective on Human Subjectivity (New York: State Univeristy
of New York Press, 1989).
Redfield, Robert, sebagaimana dikutip Milton Singer, Semiotics of Cities, Selves, and
Cultures: Explorations in Semiotics Anthropology (Berlin: Mouton de Gruyter,
1991).
Ricouer, Paul dan John Thompson, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge:
Cambridge University Press, 1981).
Sadri, Houman A. dan Madelyn Flammia, Intercultural Communication: A New
Approach to International Relations and Global Challenges (London: The
Continuum International Publishing, 2011).
Singer, Milton, Semiotics of Cities, Selves, and Cultures: Explorations in Semiotics
Anthropology (Berlin: Mouton de Gruyter, 1991), hal. 22.
Sojoodi, Farzan, “Intercultural Communication: A Semiotics Approach”, dalam http://
iransemiotics.ir/wp-content/uploads/2013/12/Intercultural-Communication.
pdf [Diakses 24 Oktober 2016].
Tubbs, Stewart L. dan Sylvia Moss, Human Communication (New York: Random
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 17
House, 1977).
Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999).
“Semiotic Theories”, dalam https://www.utwente.nl/cw/theorieenoverzicht/Semiotic_
Theories/ [Diakses 23 Oktober 2016].
http://fsc.bsu.by/wp-content/uploads/2015/12/Konspekt-lektsij-po-distsipline_-
Osnovy-krosskul-turnogo-obshheniya.pdf [Diakses 24 Oktober 2016].
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201718
PROBLEM IMPLEMENTASI DAN LAW ENFORCEMENT
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Oleh: Muhammad Ikhwan Hakiki
Dosen FISIP-HI IISIP Jakarta
E-mail: hakikiikhwan87@gmail.com
ABSTRACT
International Humanitarian Law (IHL) is that portion of international law which
is inspired by considerations of humanity. It aims to minimize the suffering of those not, or
no longer, taking part in hostilities and to render the fighting more humane by restricting the
use of barbaric weapons. The two principal sources of IHL are the Hague and the Geneva
Conventions.The former setting out restrictions on the means and methods of warfare and
the latter providing protection to certain categories of vulnerable persons. Although the
objectives of IHL are very noble, the implementation and enforcement of international
humanitarian law generally faced many obstacles. As known, the international legal system
is based on the notion of the sovereignty and equality of states, and, generally speaking,
no state may interfere in the internal affairs of another sovereign state. This means that
implementation and enforcement of IHL is decentralised (there is no central authority for
enforcement). Therefore, with a few exceptions, implementation and enforcement of IHL is
often voluntary and depends on the good faith of states.
Keywords: international humanitarian law, implementation, enforcement, preventive,
compliance.
ABSTRAK
Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah bagian dari hukum internasional yang
terinspirasi oleh pertimbangan kemanusiaan. HHI bertujuan untuk meminimalkan penderitaan
orang-orang yang tidak, atau tidak lagi, ikut serta dalam pertempuran dan untuk membuat perang
menjadi lebih manusiawi dengan membatasi penggunaan senjata barbar. Dua sumber utama HHI
adalah Konvensi Den Haag dan Jenewa. Konvensi Den Haag menetapkan pembatasan terhadap
sarana dan metode peperangan dan Konvensi Jenewa memberikan perlindungan terhadap mereka
yang rentan. Meski tujuan IHL sangat mulia, implementasi dan penegakan HHI pada umumnya
menghadapi banyak kendala. Seperti diketahui, sistem hukum internasional didasarkan pada
gagasan tentang kedaulatan dan persamaan negara, dan, secara umum, tidak ada negara yang
dapat mencampuri urusan dalam negeri negara berdaulat lainnya. Ini berarti bahwa implementasi
dan penegakan HHI didesentralisasikan (tidak ada otoritas utama untuk penegakan HHI). Oleh
karena itu, dengan beberapa pengecualian, pelaksanaan dan penegakan HHI seringkali bersifat
sukarela dan tergantung pada itikad baik dari negara-negara.
Kata kunci: hukum humaniter internasional, implementasi, penegakan, pencegahan,
penegakan.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 19
PENDAHULUAN
Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law), yang
juga dikenal dengan Hukum Perang (the Law of War) dan Hukum Konflik Bersenjata
(the Law of Armed Conflict), adalah bagian dari hukum publik internasional yang
mengatur konflik-konflik bersenjata, baik yang bersifat internasional maupun
non-internasional. Hukum Humaniter Internasional –selanjutnya disingkat HHI,
hadir diinspirasi oleh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. HHI ditujukan
untuk meminimalkan mereka yang tidak –atau tidak lagi—mengambil bagian
dalam pertempuran (peperangan) dan untuk membuat pertempuran menjadi
lebih manusiawi (humane) dengan membatasi penggunaan senjata-senjata yang
barbar (biadab, kejam).1
Dalam istilah  Daniel Thürer, HHI dimaksudkan untuk
“memanusiakan” (humanize) kekerasan yang terorganisir.2
Sebagai hukum yang mengatur konflik-konflik bersenjata internasional
dan non-internasional, HHI terdiri dari aturan-aturan yang berlaku selama konflik
(in time of war) atau mengatur pelaksanaan konflik (jus in bello). Aturan-aturan
ini juga berlaku untuk situasi pendudukan (occupation) yang timbul dari konflik
bersenjata. Misalnya ketika terjadi konflik bersenjata (Perang Teluk 2003) antara
Amerika Serikat (AS) dan Irak kemudian diikuti dengan pendudukan AS terhadap
Irak hingga 2011, HHI semestinya berlaku baik pada saat Perang Teluk terjadi
maupun ketika AS melakukan pendudukan di Irak selama bertahun-tahun.
ICRC (International Committee of the Red Cross) mendefinisikan HHI
sebagai seperangkat aturan yang berusaha, untuk alasan kemanusiaan, membatasi
efek dari konflik bersenjata. HHI dimaksudkan untuk melindungi orang-orang yang
tidak –atau tidak lagi—berpartisipasi dalam peperangan (pertikaian) dan membatasi
sarana-sarana dan metode-metode perang. HHI adalah bagian dari hukum
internasional yang ditujukan untuk mengatur hubungan-hubungan antar-negara
dan diberlakukan pada konflik-konflik bersenjata.3
Sebagai seperangkat aturan,
HHI ditetapkan melalui perjanjian (treaty) atau kebiasaan (custom) yang selain
dimaksudkan untuk melindungi orang-orang, juga harta benda-benda (objek-objek)
yang kemungkinan terkena dampak konflik bersenjata, serta membatasi hak-hak
yang terlibat konflik dalam menggunakan metode dan alat perang yang mereka pilih.
1	 Aldo Zammit Borda, “Introduction to International Humanitarian Law”, dalam Commonwealth Law Bulle-
tin, Vol. 34 No. 4 (2008), hal. 739-748.
2	  Daniel Thürer, International Humanitarian Law: Theory, Practice, Context (The Hague: Hague academy of
International Law, 2011), hal. 21.
3	 ICRC, “What is International Humanitarian Law?”, dalam https://www.icrc.org/eng/assets/files/other-what_
is_ihl.pdf [Diakses 13 Januari 2017].
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201720
Sekalipun HHI merupakan bagian atau cabang dari hukum (publik)
internasional, tetapi HHI berbeda dengan hukum internasional pada umumnya.
HHI didasarkan pada konsep jus in bello, yang didefinisikan sebagai hukum perang.
Ini berarti bahwa aturan-aturan dalam HHI barulah bersifat aktif dalam situasi
konflik bersenjata atau perang. Namun, seperti halnya hukum internasional yang
lain, HHI membutuhkan (atau sangat tergantung pada) kemauan politik (political
will) dari negara-negara. Artinya, ketika sebuah situasi dianggap sebagai konflik
bersenjata maka HHI dapat diberlakukan. Banyak negara bersikeras untuk tidak
mengakui sebuah situasi sebagai konflik bersenjata (sehingga ada alasan untuk
tidak memberlakukan HHI) karena alasan-alasan politik tertentu.4
Sementara itu Elizabeth Chadwick, memahami HHI dengan membagi
menjadi dua cabang utama, yaitu hukum perang dan aspek-aspek terbatas dari
hukum hak azasi manusia (HAM). Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan hukum
perang adalah ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Den Haag,
atau hukum tentang perang yang baik yang ketentuan-ketentuannya diatur dalam
Konvensi Jenewa, atau hukum humaniter. Hukum tentang perang yang baik atau
pantas (the law of war proper) mengatur negara-negara dalam memilih sarana dan
metode peperangan dalam suatu konflik bersenjata. Hukum humaniter melindungi
individu-individu dan meringankan dampak dari sebuah konflik bersenjata.
Sedangkan hukum HAM (human rights law) adalah hukum yang pada dasarnya
mengatur hubungan sebuah negara dengan warganya sendiri selama masa damai.5
Menurut Dieter Fleck dan Michael Bothe, aturan-aturan HHI berlaku
dengan kekuatan yang sama untuk semua pihak yang terlibat dalam sebuah konflik
bersenjata, terlepas dari pihak mana atau siapa yang bertanggung jawab untuk
memulai perang atau konflik bersenjata. HHI terdiri dari keseluruhan hukum yang
ditetapkan untuk mengatur perilaku konflik bersenjata.6
Jadi, dalam hal ini, HHI
tidak dimaksudkan untuk menetapkan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam
konflik tersebut. HHI hanya memiliki komitmen agar siapa saja yang berperang
(berkonflik dengan menggunakan senjata) harus mematuhi aturan-aturan perang.
Adapun tujuan utama (main purpose) HHI adalah mempertahankan
4	 Gertrude C. Chelimo, “Defining Armed Conflict in International Humanitarian Law”, dalam INQUIRIES,
Vol. 3 No. 4 (2011), hal. 1.
5	 Elizabeth Chadwick, Self-Determination, Terrorism, and the International Humanitarian Law of Armed Con-
flict (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), hal. 5.
6	 Dieter Fleck dan Michael Bothe (eds.), The Handbook of International Humanitarian Law (Oxford: Oxford
University Press, 2013), hal. 101.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 21
kemanusiaan(maintainhumanity),menyelamatkannyawa(savinglives),danmengurangi
penderitaan (reducing suffering) orang-orang yang menjadi kurban atau terdampak
oleh adanya konflik bersenjata. Dengan kata lain, tujuan utama HHI adalah untuk
untuk memberikan perlindungan kepada penduduk sipil dan objek-objek sipil serta
orang-orang (prajurit) yang tidak lagi mengambil bagian dalam pertempuran. Untuk
dapat mencapai tujuan utama itu, HHI mengatur bagaimana perang berlangsung.
Dalam perspektif HHI, perang selain ditujukan untuk melemahkan musuh, namun
semaksimal mungkin juga harus dapat membatasi penderitaan mereka yang menjadi
kurban perang (konflik bersenjata).
Sebab itu, semua pihak yang berperang (terlibat perang) perlu menghormati
HHI, baik itu pasukan pemerintah maupun kelompok-kelompok bersenjata non-
negara. Ada konsekuensi apabila aturan-aturan peperangan dilanggar atau tidak
dipatuhi. Para pihak (individu-individu) yang diduga melakukan pelanggaran HHI
dapat disebut sebagai pelaku kejahatan perang (war crimes), yang didokumentasikan
dan dapat diinvestigasi oleh negara-negara dan pengadilan internasional. Individu-
individu tersebut dapat dituntut dan dihukum berat atas kejahatan perang yang
dilakukannya.
Selain tujuan utama tersebut, HHI secara spesifik mempunyai sasaran
sebagai berikut: (1) Melindungi mereka yang tidak ikut berperang, seperti penduduk
sipil, tenaga medis, dan petugas pemberi bantuan; (2) Melindungi mereka yang
tidak lagi mampu melawan/berperang, seperti tentara yang terluka para tahanan; (3)
Melarang menyasar warga sipil, dan melakukannya merupakan kejahatan perang;
(4) Mengakui hak penduduk sipil yang harus dilindungi dari bahaya perang, serta
menerima bantuan yang mereka butuhkan; (5) mengamanatkan bahwa mereka yang
sakit atau terluka memiliki hak untuk dirawat, terlepas dari pihak mana mereka
berasal; (6) Menetapkan bahwa tenaga medis, kendaraan medis dan rumah sakit
yang didedikasikan untuk pekerjaan kemanusiaan tidak bisa diserang; (7) Melarang
penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat tahanan; (8) Menetapkan
bahwa para tahanan harus menerima makanan dan air serta diizinkan untuk
berkomunikasi dengan orang yang mereka cintai; (9) Membatasi senjata-senjata dan
taktik-taktik yang dapat digunakan dalam perang, untuk menghindari penderitaan
yang tidak perlu; (10) Secara eksplisit melarang pemerkosaan atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual dalam konteks konflik bersenjata; (11) Melindungi bangunan-
bangunan bersejarah, monumen, karya seni, dan kekayaan budaya lainnya.7
7	 Australian Red Cross, “What is International Humanitarian Law?”, dalam http://www.redcross.org.au/
ihl-geneva-conventions.aspx [Diakses 14 Januari 2017].
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201722
POBLEMATIKA DALAM IMPLEMENTASI HHI
Perang di mana saja, pertama dan terutama, merupakan bencana kelembagaan,
macetnya sistem hukum, suatu keadaan di mana hak-hak hanya bisa dijamin oleh yang
memiliki kekuatan. Setiap orang yang telah mengalami perang, mengetahui bahwa
kekerasan yang terjadi berarti pemusnahaan standar perilaku dan sistem hukum.
Gagasan HHI adalah untuk membujuk para pihak yang berperang menerima aturan
hukum yang luar biasa, yang secara khusus disesuaikan dengan situasi yang terjadi.
Itulah sebabnya mengapa aksi kemanusiaan tidak dapat dipahami tanpa dialog yang
erat dan permanen dengan pihak-pihak yang terlibat konflik.8
Implementasi dan penegakan hukum internasional pada umumnya dan HHI
pada khususnya, sangat problematik. Tantangan dalam implementasi dan penegakan
HHI merupakan masalah endemic sebagaimana hukum internasional pada umumnya.
Sistem hukum internasional didasarkan pada gagasan kesetaraan kedaulatan negara,
yang secara umum tidak ada negara dapat mencampuri urusan internal negara
berdaulat lain. Implementasi, secara umum, berarti kepatuhan terhadap terhadap
hukum atau penegakan hukum dalam kasus terjadi pelanggaran. Dalam sebuah
sistem internasional yang tidak memiliki otoritas sentral yang bersifat supranasional,
kewajiban implementasi hukum internasional pada umumnya diperuntukkan bagi
aktor-aktor utamanya, yakni pemerintah negara-negara. Entitas lain yang bekerja di
tingkat internasional, mungkin dengan pengecualian PBB, hanya memiliki otoritas
terbatas untuk mempengaruhi proses implementasi hukum internasional.9
Dengan demikian, implementasi hukum internasional tidak semudah hukum
nasional. Dalam banyak hal, implementasi hukum internasional masih sangat
bergantung pada tindakan sukarela (voluntary action) dan tikad baik (goodwill) para
pihakataunegara-negarayangmemilikikedaulatan.Entitasdiluarnegaradibatasihanya
untuk kegiatan yang bertujuan mendorong, membantu atau membujuk pemerintah
negara-negara untuk mematuhi kewajiban hukum mereka. Selain itu, badan-badan
internasional juga hanya membantu dalam hal mengembangkan standar tanggung
jawab negara dan mempromosikan atmosfir akuntabilitas secara umum di arena
internasional. Kebanyakan mekanisme yang bisa dimanfaatkan untuk mengimplentasi
HHI lebih bersifat normatif daripada institusional.
8	 Frederic Maurice, “Humanitarian Ambition”, dalam International Review of the Red Cross, Vol. 32 No. 289
(1992), hal. 363-372.
9	 Ajibade Oladapo, “Implementation of International Humanitarian Law in Peace Times: Challenges and
Procedures”, dalam https://www.academia.edu/6456063/ [Diakses 24 Januari 2017].
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 23
Masalah implementasi norma-norma kemanusiaan juga sangat penting bagi
efisiensi dan efektivitas HHI. Secara umum, implementasi HHI terdiri dari langkah-
langkah mempromosikan norma-norma hukum humaniter ke dalam sistem hukum
nasional maupun internasional untuk menjadikan norma-norma itu sebagai bagian
dari sistem tersebut dan membuatnya berlaku dalam praktik. Implementasi tidak hanya
mengubah ketentuan satu bidang hukum ke bidang yang lain, tetapi juga menyalin
norma abstrak menjadi aturan konkret yang mengatur perilaku dalam situasi tertentu.
Implementasi merupakan prasyarat bagi aplikasi apapun dari HHI atau mengenai
masalah ketaatan terhadap norma-norma kemanusiaan dalam konflik bersenjata
tertentu.10
Menurut Horst Ficher (et al), implementasi norma-norma HHI, baik dalam
konflik internasional maupun non-internasional, biasanya yang pertama-tama harus
dilakukan di masa damai (in time of peace). Ini merupakan kesulitan tersendiri karena
pelaksanaan hukum humaniter biasanya sangat tidak menjadi prioritas dalam agenda
pemerintah berbagai negara. Menerapkan norma-norma yang berlaku dalam konflik
bersenjata non-internasional bahkan lebih sulit dan dalam praktik hampir tidak pernah
berpengaruh secara efisien, karena langkah-langkah implementasi semacam itu tidak
hanya untuk mengatasi perilaku angkatan bersenjata pemerintah tetapi juga angkatan
bersenjuata non-pemerintah (misalnya tentara pemberontak).11
Di satu sisi, implementasi HHI mensyaratkan kesiapan pemerintah untuk
menerima potensi kemungkinan mereka yang terlibat dalam konflik bersenjata non-
internasional –sebuah situasi yang hampir tak terbayangkan bertahun-tahun oleh
pemerintah. Di sisi lain, hukum harus benar-benar mengatur perilaku anggota pasukan
bersenjata non-pemerintah –dalam kapasitas mereka sebagai warga negara dari sebuah
negara. Umumnya hukum humaniter diterapkan ke dalam hukum pidana dan hukum
publik domestik dari suatu negara, yaitu dua wilayah hukum yang harus membuktikan
efektivitas dan efisiensi mereka dalam keadaan konflik bersenjata non-internasional.
Dengan demikian, pada hakekatnya implementasi HHI dibangun di atas landasan
yang sangat lemah.
Dengan beberapa pengecualian, implementasi dan penegakan HHI sering
bersifat sukarela, dan tidak ada sarana yang wajib bagi penyelesaian sengketa atau untuk
memastikan penegakan HHI. Sementara kewajiban yang dikenakan di bawah HHI,
10	 Horst Fischer dan Avril McDonald (eds.), Yearbook of International Humanitarian Law (The Hague: TMC
Asser Press, 2004), hal. 155.
11	 Horst Fischer dan Avril McDonald (eds.), Ibid.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201724
ada beberapa sanksi yang dapat dikenakan pada suatu negara yang gagal mematuhi
kewajiban mereka. Meskipun ada prospek yang tampaknya suram mengenai kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip HHI, negara-negara harus mencoba untuk memenuhi
kewajiban mereka di bawah HHI. Hal ini dilakukan dengan cara mengambil langkah-
langkah baik di masa damai maupun perang.
Langkah-langkah untuk mengimplementasi HHI dapat dikelompokkan ke
dalam empat jenis, yaitu langkah-langkah preventif (preventive measures), langkah-
langkah kepatuhan (compliance measures), langkah-langkah represif (repressive
measures), dan langkah-langkah lainnya (other measures). Langkah-langkah preventif
adalah sejumlah tindakan yang perlu dilakukan di masa damai (measures in time of
peace). Langkah-langkah kepatuhan berupa sejumlah tindakan yang harus dilakukan di
masa perang (measures in time of war), misalnya langkah-langkah yang harus dilakukan
Protecting Power dan Protected State, serta tindakan-tindakan kemanusiaan oleh
ICRC. Langkah-langkah represif adalah tindakan penegakan hukum (law enforcement
measures), sejauh mana tanggung jawab negara dan sejauh mana tanggung individu.
Sedangkan langkah-langkah lain diantaranya dibentuknya prosedur penyidikan yang
baku, kerjasama dengan komisi internasional pencari fakta, kerjasama dengan Dewan
Keamanan PBB, dan sebagainya.
IMPLEMENTASI HHI DI MASA DAMAI
Untuk memastikan bahwa HHI diterapkan dalam situasi konflik bersenjata,
seluruh rentang mekanisme pelaksanaan yang diatur dalam HHI itu sendiri harus
digunakan secara penuh, termasuk di masa damai. Bahkan, menurut Ajibade Oladapo,
sebagian besar implementasi HHI sangat tergantung pada apa yang dilakukan negara-
negara dan entitas lain di masa damai. Sifat dari perang atau konflik bersenjata biasanya
menciptakan situasi dimana pihak-pihak yang berkonflik tiba-tiba menemukan
dirinya dengan kekuatan tak terbatas. Godaan untuk menyalahgunaan kekuatan yang
ada umumnya sulit ditolak, sehingga seperti yang secara tragis telah terbukti dalam
banyak kesempatan, pada situasi seperti itu semua orang biasanya terlambat berbicara
tentang norma-norma kemanusiaan. Itulah sebabnya, implementasi HHI harus sudah
dioptimalkan pada waktu damai agar tidak terjadi situasi terlambat jika suatu saat
terjadi perang atau konflik bersenjata.
Pasal 1 Konvensi Jenewa menegaskan bahwa negara-negara penandatangan
Konvensi berusaha untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap
Konvensi ini dalam segala situasi. Dalam masa damai, mengacu pada tugas untuk
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 25
mematuhi hukum humaniter, negara-negara dapat menempuh langkah-langkah
pencegahan (preventive measures). Langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan
negara-negara diantaranya: (1) menerjemahkan teks-teks yang berkaitan dengan
Konvensi Jenewa maupun Konvensi Den Haag; (2) menyebarkan pengetahuan tentang
HHI; (3) melatih para personil yang qualified untuk memfasilitasi implementasi
HHI, dan penunjukkan penasihat-penasihat hukum dalam angkatan bersenjata; (4)
menerapkan legislasi dan ketentuan-ketentuan hukum untuk memastikan kepatuhan
terhadap HHI.12
Dari berbagai langkah preventif yang dapat ditempuh negara-negara di masa
damai tersebut, hampir semua pakar HHI sepakat bahwa mengintegrasikan norma-
norma HHI ke dalam program-program legislasi nasional merupakan yang paling
utama. Langkah-langkah nasional untuk menerapkan hukum kemanusiaan timbul
dari jaminan yang diberikan oleh pihak negara-negara terhadap perjanjian hukum
kemanusiaan, bahwa mereka bersedia menghormati perjanjian-perjanjian yang
ada dan memastikan bahwa perjanjian-perjanjian itu dihormati. Tugas ini dibuat
secara eksplisit dalam serangkaian ketentuan yang mewajibkan negara-negara untuk
mengambil langkah-langkah implementasi tertentu. Selain itu, seperti semua perjanjian
internasional, perjanjian hukum humaniter menuntut sejumlah langkah yang harus
dimasukkan dalam undang-undang nasional, untuk kasus negara-negara yang belum
melakukannya.13
Mengenai kewajiban negara-negara untuk menyebarluaskan dan memasukkan
HHI ke dalam legislasi nasional mereka, diantaranya ditegaskan dalam Pasal 49, 50,
129, dan 145 Konvensi Jenewa IV. Secara garis besar, pasal-pasal tersebut menyatakan
bahwa para pihak penandatangan Konvensi berupaya untuk memberlakukan undang-
undang apapun yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana yang efektif bagi
setiap orang yang melakukan, atau memerintahkan untuk memiliki komitmen,
setiap pelanggaran berat (the grave breaches) terhadap Konvensi ini. Dengan kata lain,
implementasi HHI mensyaratkan tiga kewajiban utama bagi negara-negara, yaitu: (1)
memberlakukan undang-undang domestik yang relevan; (2) menangkap mereka yang
tersangka melanggar HHI; dan (3) mengadili tersangka tersebut.14
Kepatuhan terhadap norma-norma HHI hanya dapat diharapkan jika warga
12	 ICRC, International Humanitarian Law: Answers to your Questions (Geneva: ICRC, 2002), hal. 27.
13	 Toni Pfanner, “Various Mechanisms and Approaches for Implementing International Humanitarian Law and
Protecting and Assisting War Victims”, dalam International Review of the Red Cross, Vol. 91 No. 874 (2009),
hal. 279-329.
14	 Ajibade Oladapo, loc. cit.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201726
sipil, anggota angkatan bersenjata, dan penguasa sudah familiar dengan isi HHI. Sesuai
dengan Pasal 47 Konvensi Jenewa I, Pasal 48 Konvensi Jenewa II, Pasal 127 Konvensi
Jenewa III, dan Pasal 144 Konvensi Jenewa IV, bahwa para pihak penandatangan
Konvensi berjanji, dalam masa damai maupun masa perang, untuk menyebarkan
teks Konvensi ini seluas mungkin di negara masing-masing dan memasukkan kajian
mengenai teks tersebut (jika memungkinkan) dalam program-program pendidikan
untuk warga sipil, sehingga prinsip-prinsip HHI menjadi semakin dikenal seluas
mungkin kepada seluruh masyarakat sipil. Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan
untuk itu misalnya melalui pengajaran HHI di universitas dan sekolah-sekolah, serta
melalui program-program edukasi publik lainnya.
Selain diseminasi dan sosialisasi kepada warga sipil, negara-negara juga harus
memastikan bahwa instruksi mengenai masalah-masalah HHI diberikan kepada
anggota angkatan bersenjata masing-masing. Ini termasuk pembuatan manual militer
yang menguraikan hukum konflik bersenjata yang berlaku untuk negara itu; integrasi
HHI ke dalam aturan-aturan terkait; dan penyediaan pelatihan reguler mengenai HHI
bagi angkatan bersenjata. Instruksi tentang HHI juga harus disediakan untuk pasukan
polisi (Brimob) dari suatu negara. Jika anggota angkatan bersenjata di seluruh dunia
telah mengenal dan memahami prinsip-prinsip HHI dengan baik, niscaya apabila
masih terjadi peperangan di masa depan norma-norma kemanusiaan yang ditegaskan
dalam HHI dapat dilindungi.
Dengan demikian, di masa damai terdapat berbagai saluran sipil dan militer
untuk memastikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip HHI. Banyak negara telah
melakukan program-program legislasi hukum humaniter (di Indonesia disatukan
dengan hukum HAM), diseminasi aturan-aturan HHI, dan pelatihan-pelatihan
serta instruksi-instruksi tentang HHI baik bagi anggota angkatan bersenjata maupun
masyarakat sipil.
IMPLEMENTASI HHI DI MASA PERANG
Padamasaperang(intimeofwar),kebutuhanuntukmenghormatidanmenjamin
penghormatan terhadap HHI merupakan hal terpenting. Prinsip ini dinyatakan dalam
Pasal 1 Konvensi Jenewa, bahwa para pihak dalam Konvensi ‘berusaha menghormati
dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi ini dalam segala situasi’. Menurut
prinsip ini, penghormatan terhadap HHI itu adalah tanggung jawab dari kedua negara
yang terkena dampak, dan semua negara peserta Konvensi, untuk memastikan bahwa
pelanggaran Konvensi dihentikan. Setiap negara yang terdampak oleh pelanggaran HHI
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 27
dapat mengambil langkah-langkah yang diperbolehkan menurut hukum internasional
pada umumnya, dan HHI khusus, untuk memastikan menghormati HHI.
Dengan demikian, masalah kepatuhan terhadap norma-norma HHI secara
umum menjadi tanggung jawab dari para pihak penandatangan Konvensi Jenewa dan
secara khusus menjadi tanggung jawab negara-negara atau para pihak yang terlibat
konflik bersenjata. Namun apabila para pihak dalam sebuah konflik bersenjata tidak
dapat atau tidak berkehendak mengimplementasikan aturan-aturan HHI, menurut
Gentian Zyberi, ada empat mekanisme atau cara-cara lain yang dapat dimanfaatkan
untuk mengimplementasi aturan-aturan HHI di masa perang atau selama konflik
bersenjata, yaitu: (1) apa yang dikenal dengan Protecting Powers; (2) mekanisme
ICRC; (3) mekanisme-mekanisme internasional, khususnya PBB; dan (4) mekanisme-
mekanisme lainnya.15
Mekanisme Protecting Powers banyak dianggap oleh para ahli HHI sebagai cara
yang paling praktis untuk menjamin penghormatan terhadap aturan-aturan HHI.
Konsep ini dipinjam dari hukum diplomatik internasional, yang pada prinsipnya
mengatur bahwa setiap orang asing di luar negeri menikmati perlindungan diplomatik
oleh negara mereka. Ketika perlindungan diplomatik tersebut tidak ada (misalnya
karena hubungan diplomatik antara dua negara terputus akibat konflik diantara
mereka), negara-negara dapat menunjuk pihak ketiga untuk bertindak sebagai
kekuatan yang melindungi (Protecting Powers) terhadap warga negara mereka. Misalnya
ketika Amerika Serikat dan Irak sedang terlibat dalam konflik bersenjata, Washington
menunjuk Kanada sebagai Protecting Powers terhadap kepentingan dan warga negara
AS yang masih berada di Irak.
Negara ketiga yang telah ditunjuk sebagai Protecting Powers bekerja dan
bertanggung jawab melindungi kepentingan negara dan warga negara dari negara yang
menunjuknya. BAgi negara yang telah ditunjuk sebagai Protecting Powers harus setuju
untuk bekerja sama sedemikian rupa. Dalam ketentuan HHI, Protecting Powers harus
menjadi negara netral yang setuju menjaga kepentingan para pihak dalam konflik. Oleh
karena Konvensi Jenewa mengandung banyak ketentuan yang memberikan referensi
bagi Protecting Powers, termasuk tugas-tugas seperti kunjungan kepada orang-orang
yang dilindungi dalam tahanan; pengawasan misi bantuan atau evakuasi; dan bantuan
dalam proses peradilan terhadap orang yang dilindungi. Masalah Protecting Powers ini
15	 Gentian Zyberi, “The Enforcement of International Humanitarian Law: Challenges and Achievements”,
dalam http://www.uio.no/studier/emner/jus/jus/JUS5730/h12/undervisningsmateriale/ihl_enforcement_
uio_2012-3.pdf [Diakses 26 Januari 2017].
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201728
diantaranya diatur dalam Pasal 8 Konvensi Jenewa I-III dan Pasal 9 Konvensi Jenewa
IV, serta Pasal 5 Protokol Tambahan I, yang menyatakan bahwa “Konvensi ini harus
diterapkan dengan kerjasama dan di bawah pengawasan dari Protecting Powers yang
tugasnya adalah untuk melindungi kepentingan para pihak yang terlibat konflik.”
Mekanisme kedua yang bisa dimanfaatkan untuk mengimplementasikan
HHI di masa perang adalah pelibatan ICRC. Dalam hal ini ICRC dapat berfungsi
sebagai pengganti Protecting Powers. Pasal 5 Protokol Tambahan I menyatakan bahwa
jika Protecting Powers belum ditunjuk atau belum diterima, ICRC –tanpa mengurangi
hak dari organisasi kemanusian imparsial lainnya untuk melakukan hal yang sama—
dapat menawarkan jasa-jasa baik (good offices) kepada para pihak dalam konflik dengan
tujuan untuk mencarikan sebuah negara sebagai Protecting Powers dimana para pihak
dalam konflik menyetujuinya.
Jika, tidak ada sebuah negara pun yang disepakati sebagai Protecting Powers
oleh para pihak yang berkonflik, mereka harus menerima tawaran yang dibuat ICRC
atau organisasi lainnya yang menawarkan jaminan imparsialitas untuk bertindak
sebagai pengganti fungsi Protecting Powers.16
Namun fungsi sebagai pengganti ini tetap
harus tunduk pada persetujuan para pihak yang berkonflik. Selain itu, setiap aktivitas
yang dilakukan ICRC dalam rangka membantu pengimplementasian aturan-aturan
HHI (termasuk sebagai pengganti Protecting Powers) harus selalu berbasis perjanjian
dan statuta, mengedepankan prinsip netralitas dan kerahasiaan, lebih menonjolkan
fungsi sebagai perantara (intermediary) dan bantuan kemanusiaan, serta senantiasa
menjalankan kegiatan penelusuran, pencatatan, dan pengawasan terhadap orang-orang
yang harus dilindungi (protected persons) dalam konflik bersenjata.
Mengenai mekanisme-mekanisme internasional (khususnya mekanisme
PBB), diantaranya secara implisit diatur dalam Pasal 1 Piagam PBB. Meskipun tidak
dimaksudkan untuk mengatur perang dan mengimplementasikan HHI, tetapi Pasal
1 Piagam PBB mewajibkan kepada negara-negara untuk senantiasa memelihara
perdamaian dan keamanan internasional, dan untuk tujuan ini melakukan tindakan-
tindakan bersama yang efektif untuk mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman
terhadap pelanggaran-pelanggaran perdamaian. Dengan demikian, PBB memiliki
tanggung jawab untuk menegakkan aturan HHI, mengingat setiap pelanggaran
terhadap HHI dalam konflik bersenjata berpotensi sebagai ancaman terhadap
perdamaian universal.
16	 Dieter Fleck dan Michael Bothe (eds.), The Handbook of Humanitarian Law in Armed Conflicts (Oxford:
Oxford University Press, 2004), hal. 545.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 29
Secara lebih spesifik, Pasal 42 Piagam PBB mengamanatkan kepada Dewan
Keamanan (DK) PBB untuk dapat mengambil tindakan dengan menggunakan
kekuatan (angkatan udara, laut dan darat) yang mungkin diperlukan guna memelihara
atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional.17
Dibenarkannya
penggunaan kekuatan (the use of force) adalah sebagai pilihan terakhir (last resort) apabila
cara-cara lain tidak efektif untuk menegakkan aturan-aturan internasional. Cara-cara
lain yang lebih dulu harus dioptimalkan dalam mekanisme PBB –sebagaimana diatur
dalam Pasal 41 Piagam PBB— diantaranya pemutusan hubungan ekonomi, termasuk
hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegraf, radio, dan alat-alat komunikasi lainnya,
serta pemutusan hubungan diplomatik.
Selain Dewan Keamanan, organ PBB lainnya yang juga dapat mengambil
bagian untuk pengimplementasian dan penegakan HHI adalah Majelis Umum
(MU). Dalam Pasal 10 Piagam PBB, misalnya, dinyatakan bahwa MU PBB dapat
membuat rekomendasi-rekomendasi kepada anggota-anggota PBB atau DK PBB atau
keduanya mengenai segala masalah (sesuai bidang kompetensi PBB). MU PBB dapat
mengeluarkan Resolusi yang secara khusus berkenaan dengan dugaan pelanggaran
HHI maupun secara umum berkaitan dengan pelanggaran terhadap perdamaian
internasional. MU PBB secara reguler juga mengingatkan para pihak dalam konflik
bersenjata mengenai kewajiban mereka terhadap HHI.
Sementara itu yang dimaksudkan dengan ‘mekanisme-mekanisme lain’ (other
mechanisms) yang dapat ditempuh untuk mengimplementasikan dan menegakkan HHI
diantaranya teknik-teknik negosiasi, mediasi, jasa-jasa baik, dan sebagainya oleh PBB
maupun organisasi-organisasi regional atau internasional lainnya, atau melalui teknik-
teknik kampanye media dan public relations yang dilakukan oleh organisasi-organisasi
swadaya masyarakat (NGO). Cara lain untuk memastikan penghormatan terhadap
HHI yang juga dapat dikategorikan ke dalam ‘mekanisme lain’ adalah pembentukan
komisi pencari fakta internasional (international fact-finding commission). Komisi ini
diciptakan berdasarkan Pasal 90 dari Protokol Tambahan I, dan secara resmi dibentuk
pada tahun 1991. Komisi ini merupakan badan internasional yang bersifat tetap yang
bertugas menyelidiki dugaan pelanggaran berat dan pelanggaran serius lainnya dari
HHI.18
17	 Secara lebih lengkap mengenai peran yang dapat dilakukan DK PBB dalam pengimplementasian aturan
HHI diantaranya dapat dibaca dalam Vaughan Lowe et. al. (eds.), The United Nations Security Council and
War: The Evolution of Thought and Practice since 1945 (Oxford: Oxford University Press, 2008).
18	 Heike Spieker, “International (Humanitarian) Fact-Finding Commission”, dalam Frauke Lachenmann dan
Rüdiger Wolfrum (eds.), The Law of Armed Conflict and The Use of Force: The Max Planck Encyclopedia of
Public International Law (Oxford: Oxford University Press, 2017), hal. 505-514.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201730
Sebuah mekanisme yang juga dapat dimanfaatkan untuk memastikan
penghormatan terhadap HHI adalah apa yang dikenal sebagai tindakan reprisals
(pembalasan). Misalnya, negara A diserang oleh negara B, maka negara B dibenarkan
untuk melakukan tindakan reprisals terhadap negara A. Sebagaimana diketahui,
kejahatan agresi atau menyerang negara lain merupakan salah satu bentuk pelanggaran
HHI dan negara yang diagresi berhak melakukan tindakan pembalasan. Namun,
tindakan pembalasan dibatasi oleh prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, sebagai
upaya terakhir (last resort) untuk memaksakan kepatuhan (compliance) dari pihak
musuh (aggressor) terhadap standar HHI. Kedua, peringatan awal (prior warning)
yang telah diberikan sebelumnya telah gagal menghentikan kejahatan yang dilakukan
pihak musuh. Ketiga, ada tindakan pencegahan khusus (special precautions) sebelum
melakukan tindakan pembalasan. Keempat, menerapkan prinsip proporsionalitas
(principle of proportionality), dalam arti tindakan pembalasan tidak boleh melebihi
tindakan yang melanggar HHI (agresi) yang menjadi preseden konflik bersenjata, dan
tindakan reprisals harus berakhir segera setelah tindakan yang melanggar HHI dapat
dihentikan.19
Namun demikian, kendati terdapat begitu banyak mekanisme untuk
memastikan penghormatan (pengimplementasian dan penegakan) aturan-aturan HHI,
cara yang paling efektif untuk memastikan aturan-aturan tersebut dapat diterapkan
adalah terpulang kembali pada itikad baik dan kesukarelaan dari para pihak yang terlibat
konflik itu sendiri. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa problematika atau
kendala-kendala bagi pengimplementasian dan penegakan HHI lebih banyak terdapat
pada negara-negara yang terlibat konflik itu sendiri. Tindakan pihak eksternal untuk
memastikan penghormatan terhadap HHI dalam situasi konflik bersenjata antar
negara, seringkali ditafsirkan sebagai tindakan mencampuri urusan dalam negeri dan
kedaulatan negara lain. Sementara itu sistem hukum internasional masih didasarkan
pada prinsip kesetaraan kedaulatan negara.
Kendala lainnya yang sering dijumpai dalam upaya penegakan HHI dalam
situasi konflik bersenjata adalah bahwa negara-negara cenderung enggan mengakui
sebuah situasi telah memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai konflik bersenjata
non-internasional. Hampir semua negara tidak mau mengakui faksi-faksi pemberontak
bersenjata (armed insurgent factions) di dalam negerinya sebagai ‘pihak’ dalam konflik
bersenjata tersebut, karena banyak pemerintah negara-negara tidak mau mengakui
eksistensi kelompok pemberontak, atau duduk sederajat dalam sebuah perundingan
19	 Gentian Zyberi, loc.cit.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 31
dengan kelompok pemberontak. Di sisi lain, kelompok pemberontak bersenjata
biasanya juga tidak memiliki motivasi untuk menerapkan HHI, karena penghormatan
terhadap HHI tidak dengan sendirinya mengubah status dan perlakuan terhadap
mereka dalam hukum domestik negaranya.20
KESIMPULAN
Meskipun hukum humaniter internasional (HHI) berlaku pada saat terjadi
konflik bersenjata atau situasi pendudukan, tetapi implementasi prinsip-prinsip
HHI sudah dapat dilakukan di masa damai (in time of peace). Bahkan sebagian besar
implementasi HHI sangat tergantung pada apa yang dilakukan negara-negara dan
entitas lain di masa damai. Dalam situasi damai, tidak ada problematika yang rumit
dalam implementasian HHI. Mengacu pada tugas untuk mematuhi hukum humaniter,
pada masa damai negara-negara hanya dituntut untuk menempuh langkah-langkah
pencegahan (preventive measures), seperti menerjemahkan teks-teks yang berkaitan
dengan HHI; menyebarkan pengetahuan tentang HHI; (3) melatih para personil
yang qualified untuk memfasilitasi implementasi HHI dan penunjukkan penasihat-
penasihat hukum dalam angkatan bersenjata; serta menerapkan legislasi dan ketentuan-
ketentuan hukum untuk memastikan kepatuhan terhadap HHI.
Problematika yang serius dalam pengimplementasian dan penegakan
(enforcement) HHI baru terjadi pada masa perang atau konflik bersenjata. Barangkali
HHI merupakan satu-satunya bagian dari hukum publik internasional yang paling
rumit serta paling sulit diaplikasikan dalam masyarakat internasional. Berbeda
dengan hukum publik internasional lainnya, untuk memastikan aturan-aturan
HHI dapat diterapkan adalah terpulang kembali pada itikad baik dan kesukarelaan
dari para pihak yang terlibat konflik itu sendiri. Problematika atau kendala-kendala
bagi pengimplementasian dan penegakan HHI lebih banyak terdapat pada negara-
negara yang terlibat konflik itu sendiri. Tindakan pihak eksternal untuk memastikan
penghormatan terhadap HHI dalam situasi konflik bersenjata antar negara, seringkali
ditafsirkan sebagai tindakan mencampuri urusan dalam negeri dan kedaulatan negara
lain.
20	 Anna Christer-Nilsson, “Problem in Implementing International Humanitarian Law in Non-International
Armed Conflicts”, dalam http://lup.lub.lu.se/luur/download?func=downloadFile&recordOId=1554995&fil-
eOId-1563512 [Diakses 30 Januari 2017].
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201732
BIBLIOGRAFI
Aksar, Yusuf, Implementing International Humanitarian Law: From the Ad HocTribunals
to Permanent International Criminal Court (London: Routledge, 2004).
Australian Red Cross, “What is International Humanitarian Law?”, dalam http://www.
redcross.org.au/ihl-geneva-conventions.aspx [Diakses 14 Januari 2017].
Borda, Aldo Zammit, “Introduction to International Humanitarian Law”, dalam
Commonwealth Law Bulletin, Vol. 34 No. 4 (2008), hal. 739-748.
Bothe, Michael, Thomas Kurzidem and Peter MacAlister-Smith (eds.), National
Implementation of International Humanitarian Law (Dordrecht: Martinus
Nijhoff Publishers, 1990).
Carey, John, William V. Dunlap and Robert John Pritchard (eds.), International
Humanitarian Law: Prospects (New York: Transnational Publishers, Inc., 2006).
Chadwick,Elizabeth,Self-Determination,Terrorism,andtheInternationalHumanitarian
Law of Armed Conflict (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996).
Chelimo, Gertrude C., “Defining Armed Conflict in International Humanitarian
Law”, dalam INQUIRIES, Vol. 3 No. 4 (2011), hal. 1.
Christer-Nilsson, Anna, “Problem in Implementing International Humanitarian
Law in Non-International Armed Conflicts”, dalam http://lup.lub.lu.se/luur/
download?func=OId-1563512 [Diakses 30 Januari 2017].
Crawford, Emily and Alison Pert, International Humanitarian Law (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015).
Fischer ,Horst dan Avril McDonald (eds.), Yearbook of International Humanitarian
Law (The Hague: TMC Asser Press, 2004).
Fleck, Dieter dan Michael Bothe (eds.), The Handbook of International Humanitarian
Law (Oxford: Oxford University Press, 2013).
ICRC, “What is International Humanitarian Law?”, dalam https://www.icrc.org/eng/
assets/ [Diakses 13 Januari 2017].
ICRC, International Humanitarian Law: Answers to your Questions (Geneva: ICRC,
2002), hal. 27.
Kalshoven, Frits (et al.), Implementation of International Humanitaran Law (Dordrecht:
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 33
Martinus Nijhoff Publishers, 1989).
Kalshoven, Frits and Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging of War: Introduction
to International Humanitarian Law (Geneva: ICRC, 2001).
Krieger, Heike and Jan Willms (eds.), Inducing Compliance with International
Humanitarian Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2015).
Lowe, Vaughan et. al. (eds.), The United Nations Security Council andWar: The Evolution
of Thought and Practice since 1945 (Oxford: Oxford University Press, 2008).
Mapuranga, Barbra, “Challenges and loopholes in the implementation and enforcement
of international conventions and protocols on the vulnerable groups of human
society”, dalam International Affairs and Global Strategy,Vol. 37 (2015), hal.
129-133.
Maurice, Frederic, “Humanitarian Ambition”, dalam International Review of the Red
Cross, Vol. 32 No. 289 (1992), hal. 363-372.
Oladapo,Ajibade,“ImplementationofInternationalHumanitarianLawinPeaceTimes:
Challenges and Procedures”, dalam https://www.academia.edu/6456063/
[Diakses 24 Januari 2017].
Pfanner, Toni, “Various Mechanisms and Approaches for Implementing International
Humanitarian Law and Protecting and Assisting War Victims”, dalam
International Review of the Red Cross, Vol. 91 No. 874 (2009), hal. 279-329.
Provost, Rene, International Human Rigts and Humanitarian Law (Cambridge:
Cambridge University Press, 2004).
Sepulveda, Cesar, “Interrelationships in the Implementation and Enforcement of
International Humanitarian Law and Human Rights Law”, dalam The American
University Law Review, Vol. 33 (1984), hal. 117-124.
Solis, Gary D., The Law of Armed Conflict: International Humanitarian Law in War
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010).
Thürer, Daniel, International Humanitarian Law: Theory, Practice, Context (The Hague:
Hague academy of International Law, 2011).
Zyberi, Gentian, “The Enforcement of International Humanitarian Law: Challenges
and Achievements”, dalam http://www.uio.no/studier/emner/jus/jus/
JUS5730/h12/ [Diakses 26 Januari 2017].
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201734
MASALAH LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF
STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Oleh: Umar Suryadi Bakry
Dosen FISIP-HI Universitas Jayabaya
E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg
ABSTRACT
Global environmental issues are an important part of the study of International Relations
(IR). There are many reasons as to why global environmental issues have found a place in the studies
of international relations. Many view environmental issues as one directly related to human security.
The environmental security approach to international relations emphasizes that the ecological crisis
we face is also a threat to national security. Environmental degradation is perceived to be as a serious
threat to human societies as the traditional military threat. Therefore, in the last three decades
various efforts and global cooperation is done to reduce the impact of environmental threats on
humanity. This article is intended to discuss why environmental issues are categorized as one of the
contemporary global issues and how the studi of IR view the problem. The writing begins with a
discussion of the understanding and scope of contemporary global issues, followed by a review of the
environment as a global issue, global efforts to address environmental issues, and concludes with
a review of three mainstream theories in the study IR (realism, liberalism and constructivism) on
global environmental issues.
Keywords: environmental issues, global issues, International Relations, realism, liberalism,
constructivism.
ABSTRAK
Isu-isu lingkungan global merupakan bagian penting dari studi Hubungan Internasional
(HI). Ada banyak alasan mengapa isu lingkungan global mendapatkan tempat yang signifikan
dalam studi hubungan internasional. Banyak ahli memandang isu lingkungan sebagai salah satu
yang berkaitan langsung dengan keamanan manusia. Pendekatan keamanan lingkungan terhadap
hubungan internasional menekankan bahwa krisis ekologis yang kita hadapi juga merupakan
ancaman bagi keamanan nasional. Degradasi lingkungan dianggap sebagai ancaman serius bagi
masyarakat manusia sebagaimana ancaman militer tradisional. Karena itu, dalam tiga dekade
terakhir berbagai upaya dan kerja sama global dilakukan untuk mengurangi dampak ancaman
lingkungan terhadap kemanusiaan. Artikel ini dimaksudkan untuk membahas mengapa isu
lingkungan dikategorikan sebagai salah satu isu global kontemporer dan bagaimana pandangan
studi HI melihat masalah tersebut. Tulisan ini diawali dengan diskusi tentang pemahaman dan
cakupan isu global kontemporer, dilanjutkan dengan ulasan mengenai lingkungan sebagai isu
global, upaya-upaya global untuk mengatasi masalah lingkungan, dan diakhiri dengan tinjauan
dari tiga teori arus utama dalam studi HI (realisme, liberalisme dan konstruktivisme) terhadap
isu-isu lingkungan global.
Kata kunci: isu lingkungan, masalah global, Hubungan Internasional, realisme, liberalisme,
konstruktivisme.
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 35
PENDAHULUAN
MASALAH lingkungan (environmental issue) merupakan salah salah isu yang
mewarnai studi Hubungan Internasional (HI) pasca Perang Dingin. Hampir semua
buku teks HI yang terbit setelah Perang Dingin berakhir memasukkan isu lingkungan
sebagai salah satu pokok bahasan tersendiri. Hampir semua sarjana HI tampaknya
telah sepakat bahwa isu lingkungan merupakan salah satu masalah global kontemporer
yang perlu mendapatkan perhatian tersendiri dari studi HI. Para pengambil keputusan
masalah-masalah global juga menyadari bahwa ancaman lingkungan dalam tiga dekade
terakhir telah menjadi salah satu masalah bersama (common issue) dan menjadi salah
satu agenda utama politik global.
Banyak buku teks HI menganalisis keterkaitan antara studi hubungan
internasional (International Relations) dengan masalah lingkungan (environment).
Keith O’Neill, misalnya, dalam bukunya berjudul The Environment and International
Relations, mengulas berbagai teori dalam studi HI yang dapat digunakan untuk
menganalisis dan menangani masalah-masalah lingkungan global. John Vogler dan
Mark Imber, dalam karyanya bertitel The Environment and International Relations, juga
menganalisis signifikansi berbagai pendekatan teoritis yang berkembang dlam studi
HI dengan perubahan lingkungan global. Bahkan Loren Cass dalam bukunya Global
Environmental Politics berupaya menempatkan politik lingkungan global sebagai salah
satu bidang kajian studi HI.
Artikel ini dimaksudkan untuk membahas mengapa masalah lingkungan
dikategorikan sebagai salah satu isu global kontemporer (contemporary global issue) dan
bagaimana studi HI memandang masalah tersebut. Tulisan dimulai dari pembahasan
tentang pengertian dan ruang lingkup isu global kontemporer, dilanjutkan dengan
ulasan tentang lingkungan sebagai isu global, upaya-upaya global dalam menangani isu
lingkungan, dan ditutup dengan perspektif sejumlah paradigma (teori) dalam studi HI
mengenai masalah lingkungan global.
ISU GLOBAL KONTEMPORER
SEBUAH masalah atau isu global dideskripsikan sebagai setiap masalah yang
sudah terjadi atau dapat terjadi dari perubahan di tingkat global atau globalisasi. Kristen
Hite dan John Seitz mengatakan bahwa secara kualitatif masalah-masalah global (global
issues) berbeda dengan masalah-masalah internasional (international affairs). Masalah-
masalah global muncul dari berkembangnya interdependensi (saling ketergantungan)
VOLUME 07 NOMOR 01 – 201736
internasional yang membuat masalah-masalah itu sendiri saling tergantung.1
Sedangkan
masalah-masalah internasional adalah peristiwa-peristiwa atau aktivitas-aktivitas yang
melibatkan pemerintah, ekonomi, politik, dan lain-lain dari berbagai negara.
Menurut Gilda Wheeler, kajian tentang masalah-masalah global adalah
relatif baru dan belum ada kesepakatan diantara para ilmuwan mengenai bagaimana
mendefinisikan istilah tersebut. Masalah-masalah global adalah hal-hal yang memiliki
(atau memiliki potensi) pengaruh yang jauh jangkauannya terhadap banyak orang.
Masalah-masalah global bersifat trans-nasional atau lintas-batas, dan berada di luar
kemampuan sebuah negara untuk menyelesaikannya. Masalah-masalah global juga
saling terhubung (interconnected), yang berarti bahwa setiap perubahan yang terjadi di
suatu tempat (apakah baik atau buruk) memberi tekanan bagi perubahan di tempat-
tempat lain.2
Sebab itu, masalah-masalah global tidak dapat diselesaikan dengan solusi
sederhana, misalnya dengan menegakkan aturan hukum atau politik semata. Masalah-
masalah global juga tidak akan dapat diatasi secara independen (terpisah) satu sama lain,
atau ditangani oleh sebuah negara tertentu saja. Solusi yang tepat terhadap masalah-
masalah global memerlukan upaya-upaya dan pemikiran-pemikiran internasional yang
berskala global.
Masalah dunia apa saja yang harus dianggap sebagai masalah global
kontemporer? Charlotte Bretherton mengkategorikan masalah-masalah yang menjadi
agenda dalam sistem politik global ke dalam tiga kelompok. Pertama, masalah-masalah
yang secara tradisional dianggap sebagai tanggung jawab masing-masing negara,
karena terkait dengan kedaulatan negara, namun sekarang dianggap sebagai obyek dari
tanggung jawab global. Masalah HAM dan stabilitas rezim domestik termasuk dalam
kategori ini, bersama-sama dengan masalah-masalah tradisional keamanan negara.
Kedua, masalah-masalah yang melampaui batas-batas negara dan menjadi obyek
kerjasama internasional. Banyak masalah dalam sistem global kontemporer, seperti
masalah penyelamatan lingkungan, pengendalian penyakit menular, perang melawan
kejahatan transnasional, termasuk dalam kategori ini. Ketiga, masalah-masalah yang
di luar kapasitas masing-masing negara untuk menanganinya dan hanya bisa dikelola
dengan memberikan kompetensi pembuatan kebijakan pada lembaga-lembaga dalam
sistem global. Masalah-masalah yang disebabkan oleh migrasi untuk alasan politik
dan ekonomi, pengurangan kesenjangan yang terjadi dalam ekonomi dunia, masalah
1	 Kristen A. Hite dan John L. Seitz, Global Issues: An Introduction (Oxford: John Wiley & Sons Ltd., 2016).
2	 Gilda Wheeler, “Global Issues – Global Opportunities: Population, Poverty, Consumption, Conflict, and the
Environment”, dalam http://clearingmagazine.org/archives/979 [Diakses 7 November 2016].
VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 37
keterbelakangan ekonomi, dan kemiskinan, termasuk dalam kategori ini.3
MohamedGalalmenyebutkandelapankecenderunganataumasalahglobalyang
akan mewarnai hubungan internasional abad ke-21, yaitu: (1) semakin meningkatnya
peran perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) dengan kekuatan finansial dan
aktivitas lintas-batas mereka; (2) semakin menguatnya peran jaringan organisasi-
organisasi non-pemerintah (NGO), khususnya dalam misi-misi kemanusian, hak azasi
manusia (HAM), perlucutan senjata, dan lingkungan hidup; (3) masalah pengungsi
dan dampaknya terhadap stabilitas dan keamanan regional maupun internasional; (4)
masalah narkoba dan dampaknya terhadap keterlibatan negara-negara dalam produksi,
transit, dan konsumsi; (5) masalah utang dan dampaknya terhadap ekonomi dunia;
(6) masalah-masalah HAM; (7) masalah-masalah lingkungan hidup, termasuk di
dalamnya isu perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan krisis pangan; dan (8)
masalah terorisme internasional dan implikasinya yang melintasi batas-batas politik.4
Menurut Zofia Dach, masalah global kontemporer adalah sebuah isu yang
tengah menjadi keprihatinan global, dan karakter global dari masalah tersebut muncul
sebagai dampak dari kemajuan ekonomi dan peradaban yang sangat cepat yang terjadi
pada abad ke-20. Kebanyakan dari masalah tersebut berasal dari premis-premis yang
sama, saling terkait, dan memiliki karakteristik yang sama.5
Hampir semua ahli HI
menyebut masalah ancaman lingkungan (environmental threats) sebagai masalah
global kontemporer. Sedangkan Dach sendiri menyebutkan beberapa isu yang dapat
dikategorikan sebagai (atau terkait dengan) masalah lingkungan, diantaranya masalah
kelebihan penduduk (overpopulation), pencemaran lingkungan (pollution), pembabatan
hutan (deforestation), penurunan kualitas dan kuantitas lahan pertanian dan sumber
daya alam, dan perubahan iklim (climate change). Sedangkan selain lingkungan, isu lain
yang dikategorikan Dach sebagai masalah global adalah wabah penyakit (epidemics),
kelaparan (famines), kejahatan tingkat tinggi (high crime rates), terorisme, narkoba, dan
sebagainya.
3	 Charlotte Bretherton sebagaimana dikutip Fulvio Attina, “International Relations and Contemporary World
Issues”, dalam Jarrod Wiener dan Robert A. Schrire (eds.), International Relations (Oxford, UK: EOLSS Pub-
lishers Co. Ltd., 2009), hlm. 55-56.
4	 Mohamed Noman Galal, “Cultural Misunderstanding and the Need to Promote Consensus in International
Relations: An Arab Perspective”, dalam Yu Xintian (ed.), Cultural Factors in International Relations (Shanghai:
Shanghai Institute of International Studies, 2004), hlm. 169-170.
5	 Zofia Dach, “Global Problems of the Contemporary World”, dalam http://www.krakow.pte.pl/pliki/zn-pte-
nr-1/01 [Diakses 9 November 2016].
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)
Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)

More Related Content

Similar to Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)

SISTEM-SOSIAL-DAN-POLITIK-INDO_Uk.pdf
SISTEM-SOSIAL-DAN-POLITIK-INDO_Uk.pdfSISTEM-SOSIAL-DAN-POLITIK-INDO_Uk.pdf
SISTEM-SOSIAL-DAN-POLITIK-INDO_Uk.pdf
FauzanYusuf3
 
STUDI TERHADAP PERGAULAN LINTAS AGAMA DALAM MENINGKATKAN KEARIFAN SOSIAL MAHA...
STUDI TERHADAP PERGAULAN LINTAS AGAMA DALAM MENINGKATKAN KEARIFAN SOSIAL MAHA...STUDI TERHADAP PERGAULAN LINTAS AGAMA DALAM MENINGKATKAN KEARIFAN SOSIAL MAHA...
STUDI TERHADAP PERGAULAN LINTAS AGAMA DALAM MENINGKATKAN KEARIFAN SOSIAL MAHA...
Succes Zen
 

Similar to Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1) (20)

KONFLIK YANG DITIMBULKAN AKIBAT PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA.pdf
KONFLIK YANG DITIMBULKAN AKIBAT PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA.pdfKONFLIK YANG DITIMBULKAN AKIBAT PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA.pdf
KONFLIK YANG DITIMBULKAN AKIBAT PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA.pdf
 
PEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIK
PEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIKPEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIK
PEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIK
 
Konflik Antar Mahasiswa dan Dosen
Konflik Antar Mahasiswa dan DosenKonflik Antar Mahasiswa dan Dosen
Konflik Antar Mahasiswa dan Dosen
 
SOSIOLINGUISTIK PRESENTASI PBSI 23ppt.pptx
SOSIOLINGUISTIK PRESENTASI PBSI 23ppt.pptxSOSIOLINGUISTIK PRESENTASI PBSI 23ppt.pptx
SOSIOLINGUISTIK PRESENTASI PBSI 23ppt.pptx
 
Ideologi, identitas dan komunikasi budaya
Ideologi, identitas dan komunikasi budayaIdeologi, identitas dan komunikasi budaya
Ideologi, identitas dan komunikasi budaya
 
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdfREVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
 
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdfREVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
 
JURNAL ANTROPOLOGI KOMUNIKASI
JURNAL ANTROPOLOGI KOMUNIKASI JURNAL ANTROPOLOGI KOMUNIKASI
JURNAL ANTROPOLOGI KOMUNIKASI
 
SISTEM-SOSIAL-DAN-POLITIK-INDO_Uk.pdf
SISTEM-SOSIAL-DAN-POLITIK-INDO_Uk.pdfSISTEM-SOSIAL-DAN-POLITIK-INDO_Uk.pdf
SISTEM-SOSIAL-DAN-POLITIK-INDO_Uk.pdf
 
Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...
Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...
Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...
 
Astika sari dewi, ISBD, Farmasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
Astika sari dewi, ISBD, Farmasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.SosAstika sari dewi, ISBD, Farmasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
Astika sari dewi, ISBD, Farmasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
 
STUDI TERHADAP PERGAULAN LINTAS AGAMA DALAM MENINGKATKAN KEARIFAN SOSIAL MAHA...
STUDI TERHADAP PERGAULAN LINTAS AGAMA DALAM MENINGKATKAN KEARIFAN SOSIAL MAHA...STUDI TERHADAP PERGAULAN LINTAS AGAMA DALAM MENINGKATKAN KEARIFAN SOSIAL MAHA...
STUDI TERHADAP PERGAULAN LINTAS AGAMA DALAM MENINGKATKAN KEARIFAN SOSIAL MAHA...
 
TB 1 Sosiologi Komunikasi - Vivi Vanesa.pptx
TB 1 Sosiologi Komunikasi - Vivi Vanesa.pptxTB 1 Sosiologi Komunikasi - Vivi Vanesa.pptx
TB 1 Sosiologi Komunikasi - Vivi Vanesa.pptx
 
KONFLIK PADA PENGGUNAAN MEDIA BARU
KONFLIK PADA PENGGUNAAN MEDIA BARUKONFLIK PADA PENGGUNAAN MEDIA BARU
KONFLIK PADA PENGGUNAAN MEDIA BARU
 
TUGAS UTS ANTROPOLOGI KOMUNIKASI SELAWATI.doc
TUGAS UTS ANTROPOLOGI KOMUNIKASI SELAWATI.docTUGAS UTS ANTROPOLOGI KOMUNIKASI SELAWATI.doc
TUGAS UTS ANTROPOLOGI KOMUNIKASI SELAWATI.doc
 
7506 16427-1-sm
7506 16427-1-sm7506 16427-1-sm
7506 16427-1-sm
 
Komunikasi antar budaya
Komunikasi antar budayaKomunikasi antar budaya
Komunikasi antar budaya
 
Hubungan Komunikasi dengan ilmu lainnya
Hubungan Komunikasi dengan ilmu lainnyaHubungan Komunikasi dengan ilmu lainnya
Hubungan Komunikasi dengan ilmu lainnya
 
Antropologi
Antropologi Antropologi
Antropologi
 
Konseling lintas sosial
Konseling lintas sosialKonseling lintas sosial
Konseling lintas sosial
 

Recently uploaded

TUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdf
TUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdfTUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdf
TUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdf
AbdulHalim854302
 

Recently uploaded (8)

Bahasa Arab kelas 4 BAB 6 (kosa kata tentang perlengkapan yang ada di rumah)
Bahasa Arab kelas 4 BAB 6 (kosa kata tentang perlengkapan yang ada di rumah)Bahasa Arab kelas 4 BAB 6 (kosa kata tentang perlengkapan yang ada di rumah)
Bahasa Arab kelas 4 BAB 6 (kosa kata tentang perlengkapan yang ada di rumah)
 
PENGEMBANGAN & PERBANYAKAN TRICHODERMA SP.ppt
PENGEMBANGAN & PERBANYAKAN TRICHODERMA SP.pptPENGEMBANGAN & PERBANYAKAN TRICHODERMA SP.ppt
PENGEMBANGAN & PERBANYAKAN TRICHODERMA SP.ppt
 
Biokimia Gizi 12: Metabolisme Vitamin 2024.pptx
Biokimia Gizi 12: Metabolisme Vitamin 2024.pptxBiokimia Gizi 12: Metabolisme Vitamin 2024.pptx
Biokimia Gizi 12: Metabolisme Vitamin 2024.pptx
 
Uji triaxial pada material batuan beku sebagai penanda kekuatan pondasi
Uji triaxial pada material batuan beku sebagai penanda kekuatan pondasiUji triaxial pada material batuan beku sebagai penanda kekuatan pondasi
Uji triaxial pada material batuan beku sebagai penanda kekuatan pondasi
 
3_Kerangka Kompetensi Numerasi - M Ilhamul Qolbi
3_Kerangka Kompetensi Numerasi - M Ilhamul Qolbi3_Kerangka Kompetensi Numerasi - M Ilhamul Qolbi
3_Kerangka Kompetensi Numerasi - M Ilhamul Qolbi
 
Materi Presentasi Dasar Perkembangan Tanaman.pptx
Materi Presentasi Dasar Perkembangan Tanaman.pptxMateri Presentasi Dasar Perkembangan Tanaman.pptx
Materi Presentasi Dasar Perkembangan Tanaman.pptx
 
TUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdf
TUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdfTUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdf
TUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdf
 
Biokimia Gizi 13: Metabolisme Mineral 2024.pptx
Biokimia Gizi 13: Metabolisme Mineral 2024.pptxBiokimia Gizi 13: Metabolisme Mineral 2024.pptx
Biokimia Gizi 13: Metabolisme Mineral 2024.pptx
 

Jurnal Alternatif vol. 07 no. 01 2017 (1)

  • 1. PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS JAYABAYA ISSN: 2087 – 7048 ALTERNATIFJURNAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL SEMIOTIKA KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL Gema Nusantara Bakry PROBLEM IMPLEMENTASI DAN LAW ENFORCEMENT DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Muhammad Ikhwan Hakiki MASALAH LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL Umar Suryadi Bakry DAMPAK NEGATIF BAGI INDONESIA JIKA BERGABUNG DENGAN TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP Ngudi Astuti LATAR BELAKANG SEJARAH DAN JARINGAN SOSIAL DIASPORA CHINA DI DUNIA Alvi Maysayu RESENSI BUKU: BARGAINING SEBAGAI STRATEGI ALTERNATIF POLITIK LUAR NEGERI RI Muhammad Isnain Abd. Malik VOL. 07 NO. 01 – 2017
  • 2. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 i ALTERNATIFJURNAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL Pelindung: Ketua Yayasan Jayabaya Pembina: Rektor Universitas Jayabaya Prof. H. Amir Santoso, Ph.D Penanggung Jawab: Dekan FISIP Univ. Jayabaya Drs. Erwin Zein, M.Si Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi: Dr. Umar S. Bakry Mitra Bestari: Prof. Dr. Arry Bainus, MA Prof. Yanyan M. Yani, Ph.D Prof. Bob S. Hadiwinata, Ph.D Prof. Suke Djelantik, Ph.D Musafir Kelana, Ph.D Redaktur Pelaksana: Drs. Denny Ramdhany, M.Si Sekretaris Redaksi: Iin Sofyan, SE, MM Dewan Editor: Drs. Saiful Syam, MA, Ph.D Dra. Siti Hajar, M.Si, Ph.D Drs. Subarno, M.Hum Dra. Ambarwati, M.Si Drs. Mansyur Kardi, M.Si Sinta Julina, S.Sos, M.Si Alamat Redaksi: FISIP-HI Universitas Jayabaya Jl. Pulomas Selatan Kav. 23 Jakarta Timur 13210 Telp/Fax: 021-4700903 HP 08111755379/0818718570 E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg ISSN: 2087 – 7048 VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI (Hal. ii) SEMIOTIKA KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL (Hal. 1 – 17) PROBLEM IMPLEMENTASI DAN LAW ENFORCEMENT DALAM HUKUM HUMNITER INTERNASIONAL (Hal. 18 – 33) MASALAH LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL (Hal. 34 – 50) DAMPAK NEGATIF BAGI INDONESIA JIKA BERGABUNG DAN TPP (Hal. 51 – 68) LATAR BELAKANG SEJARAH DAN JARINGAN SOSIAL DIASPORA CHINA DI DUNIA (Hal. 69 – 85) RESENSI BUKU (86 – 90) PEDOMAN PENULISAN (Hal. 91) ALTERNATIF adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pogram Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jayabaya. Jurnal ini terutama ditujukan untuk menampung hasil-hasil penelitian dan pemikiran- pemikiranalternatifdalamIlmuHubunganInternasional. Jurnal ini terbuka untuk seluruh komunitas studi HI dan peminat masalah-masalah internasional. Jurnal terbit dua kali (dua volume) dalam setahun.
  • 3. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017ii PENGANTAR REDAKSI SELAMAT berjumpa kembali dengan Jurnal Ilmu Hubungan Internasional ALTERNATIF edisi Vol. 07 No. 1 (2017). Kami sangat berbahagia kembali dapat hadir menjumpai Anda dengan sejumlah artikel ilmiah Hubungan Internasional dari berbagai penulis dengan kompetensinya masing-masing. Untuk menjaga konsistensi, wajah jurnal edisi kali ini tidak mengalami perubahan. Namun sedikit perubahan kami lakukan dalam isi jurnal ini, yakni penambahan satu tulisan mengenai resensi buku. Seperti biasanya, dalam edisi kali ini kami hadirkan 5 (lima) buah tulisan atau artikel, yang keseluruhannya berkaitan dengan studi Hubungan Internasional (HI). Artikel pertama membahas tentang sebuah kajian alternatif dalam studi HI di Indonesia, yaitu semiotika komunikasi antarbudaya yang ditulis oleh Gema Nusantara Bakry. Seperti diketahui, di beberapa negara maju, kajian tentang semiotika sudah banyak diterapkan dalam analisis masalah-masalah hubungan internasional. Artikel kedua merupakan kajian hukum humaniter internasional (HHI) berjudul problem implementasi dan law enforcement dalam HHI. Tulisan karya Muhammad Ikhwan Hakiki ini dimaksudkan untuk menambah wawasan para penstudi HI mengenai pokok bahasan hukum humaniter internasional. Tulisan ketiga merupakan kajian tentang lingkungan (environment) yang sudah menjadi salah satu isu global kontemporer dilihat dari perspektif studi HI. Disusul dengan tulisan keempat, karya Ngudi Astuti, membahas tentang dampak-dampak negatif jika Indonesia bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP). Artikel kelima merupakan hasil penelitian dari alumni FISIP-HI Universitas Jayabaya, Alvi Maysayu, mengelaborasi tentang fenomena diaspora China di dunia. Tulisan ini khususnya lebih difokuskan pada latar belakang atau sejarah dan jaringan sosial yang membedakan fenomena diaspora China tersebut dengan gejala diaspora lainnya di dunia. Akhirnya, isi jurnal ini ditutup dengan sebuah resensi dari M. Isnain Abdul Malik terhadap buku karya Yanyan M. Yani dan Ian Montratama berjudul Quo Vadis Politik Luar Negeri Indonesia. Kamimenyadaribahwakelangsungandankualitassebuahjurnalmembutuhkan komitmen tidak hanya dari jajaran Redaksi, melainkan juga perlu keberlanjutan kontribusi tulisan dari para akademisi. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih dan menyampaikan apresiasi kepada para penulis pada edisi kali ini maupun edisi-edisi sebelumnya. Selamat membaca! Redaksii
  • 4. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 1 SEMIOTIKA KOMUNIKASI ANTAR-BUDAYA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL Oleh: Gema Nusantara Bakry Dosen Komunikasi Internasional FISIP-HI Universitas Jayabaya E-mail: gema_bakry@yahoo.com ABSTRACT This article discusses the use of a semiotics approach in the study of International Relations. Semiotics is the study of signs and sign processes (semiosis), indication, designation, resemblances, analogies, metaphors, symbolism, meaning and communication. Semiotics approach is widely used in the studies of cultures, including in intercultural communication. In a simple term, intercultural communication is defined as human flow across national boundaries. Intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among people of diverse culture. Intercultural communication is not a phenomenon that only takes place in the domestic sphere of a country, but also occur within the scope of global or international relations. International relations, according to some scholars, is a cultural phenomenon and the processes that occurred in international relations is essentially an intercultural communication or cross-cultural communication. Therefore, the processes in international relations can be explained using a semiotic approach. Keywords: semiotics, culture, communication, intercultural communication, international relations. ABSTRAK Artikel ini membahas penggunaan pendekatan semiotika dalam studi Hubungan Internasional. Semiotika adalah studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna dan komunikasi. Pendekatan semiotik secara luas digunakan dalam studi budaya, termasuk dalam komunikasi antarbudaya. Dalam istilah sederhana, komunikasi antar budaya didefinisikan sebagai arus manusia melintasi batas-batas nasional. komunikasi antar budaya umumnya mengacu pada tatap muka interaksi antara orang-orang dari beragam budaya. Komunikasi antarbudaya bukanlah sebuah fenomena yang hanya terjadi di wilayah domestik suatu negara, tetapi juga terjadi dalam lingkup global atau hubungan internasional. Hubungan internasional, menurut sebagian sarjana, adalah fenomena budaya dan proses yang terjadi dalam hubungan internasional pada dasarnya merupakan komunikasi antar budaya atau komunikasi lintas-budaya. Oleh karena itu, proses dalam hubungan internasional dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan semiotik. Kata kunci: semiotika, kebudayaan, komunikasi, komunikasi antar-budaya, hubungan internasional.
  • 5. VOLUME 07 NOMOR 01 – 20172 PENDAHULUAN DALAM dua atau tiga dekade terakhir, pendekatan atau studi-studi tentang semiotika (semiotics) mulai merambah dalam berbagai disiplin ilmu. Pendekatan semiotika pertama kali digunakan dalam pembelajaran bahasa, yakni berkaitan erat dengan bidang linguistik. Selain di lingkungan bahasa, semiotika pada awalnya juga berkembang di lingkungan filsafat. Namun saat ini hampir semua disiplin ilmu sosial telah mengadopsi pendekatan semiotika. Di lingkungan antropologi, konsep semiotika pertama kali digunakan pada 1978 oleh Milton Singer. Di kalangan ilmu komunikasi salah seorang perintis pendekatan semiotika diantaranya Robert Smith dan Roland Barthes. Selain itu pendekatan semiotika juga banyak dimanfaatkan di lingkungan studi pemasaran (marketing studies), ilmu hukum, ilmu arsitektur, ilmu kesehatan, sosiologi, psikologi budaya, bahkan juga di kalangan penstudi Hubungan Internasional (HI). Istilah semiotika berasal dari bahasaYunani sēmeiōtikos, yang artinya “tanda-tanda jeli”.1 Semiotika yang seringkali juga disebut dengan semiology adalah studi tentang pembentukan makna (meaning-making), atau studi tentang proses-proses tanda dan komunikasi yang bermakna. Semiotika termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dan komunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang untuk sebagian, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Namun, berbeda dari linguistik, semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda non-linguistik. Semiotika sering dibagi menjadi tiga cabang, yaitu semantik, sintaksis, dan pragmatik. Semantik adalah   hubungan antara tanda dan hal-hal yang mereka lihat. Sintaksis merupakan hubungan antara tanda-tanda dalam struktur formal. Sementara pragmatik adalah hubungan antara tanda dengan tanda yang menggunakan agen. PENGERTIAN DAN LINGKUP SEMIOTIKA Istilah semiotika (semiotics) konon pertama kali dimunculkan pada abad ke-19 oleh ahli filsafat aliran pragmatik dari Amerika Serikat bernama Charles Peirce. Ia secara komprehensif mendefinisikan semiotika sebagai doktrin mengenai sifat esensial dan varietas fundamental dari semiosis. Sedangkan yang dimaksud dengan semiosis sendiri adalah tindakan yang melibatkan kerjasama dari tiga subyek, yaitu tanda, obyeknya, dan interpretasinya.2 Umberto Eco mengatakan bahwa semiotika berkaitan dengan 1 Henry G. Liddell, A Lexicon Abridged from Liddell and Scott’s Greek-English Lexicon (New York: BiblioLife Publishers, 2015). 2 Charles S. Peirce sebagaimana dikutip Vincent M. Colapietro, Peirce’s Approach to the Self: A Semiotics Perspective on Human Subjectivity (New York: State Univeristy of New York Press, 1989).
  • 6. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 3 segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai tanda (semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign).3 Dalam arti semiotika, tanda-tanda dapat berupa kata-kata (words), gambar-gambar (images), suara-suara (sounds), gerakan (gestures), dan benda- benda (objects). Ahli-ahli semiotika kontemporer pada umumnya tidak mempelajari tanda- tanda secara terisolasi. Mereka lebih tertarik mempelajari pembentukan dan pertukaran makna melalui teks dan wacana. Sebab itu, semiotika dalam arti luas dapat juga diartikan sebagai sebuah studi tentang semua bentuk pembentukan dan pertukaran makna berdasarkan sistem tanda (semiotics is the study of all forms of formation and exchange of meaning on the basis of sign system).4 Bagi ahli-ahli semiotika, “teks” dapat eksis dalam media apapun, dan dapat berbentuk verbal maupun non-verbal, atau mencakup keduanya. Ferdinand de Saussure yang lebih senang menggunakan istilah semiologi (semiology) mendefinisikan konsep ini sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat (semiology is a science that studies the life of signs in society).5 Dalam formulasi yang hampir serupa, Daniel Chandler mengatakan bahwa semiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari peran tanda-tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial (semiology is a science which studies the role of signs as a part of social life).6 Semiologi meneliti sifat dari tanda-tanda dan hukum atau kaidah-kaidah yang mengatur tanda-tanda tersebut. Semiotika adalah studi tentang tanda-tanda yang membahas tindakan (action), penggunaan (usage), komunikasi (communication), dan signifikansinya (signification). Semiotika dapat pula dimaknai sebagai teori tentang produksi dan interpretasi makna. Prinsip dasar semiotika adalah bahwa makna dibuat melalui penggelaran tindakan dan obyek-obyek yang berfungsi sebagai “tanda-tanda” dalam kaitannya dengan tanda- tanda lain. Sistem tanda-tanda yang didasari oleh pemaknaan hubungan yang kompleks yang dapat terjadi antara satu tanda dan tanda lainnya, terutama hubungan kontras dan superordinasi/subordinasi (misalnya kelas/anggota, keseluruhan/sebagian). Tanda 3 Umberto Eco, Theory of Semiotics (London: Macmillan, 1976), hal. 7 4 Farzan Sojoodi, “Intercultural Communication: A Semiotics Approach”, dalam http://iransemiotics.ir/ wp-content/uploads/2013/12/Intercultural-Communication.pdf [Diakses 24 Oktober 2016]. 5 Ferdinand de Saussure sebagaimana dikutip Vincent M. Colapietro, Peirce’s Approach to the Self: A Semiotic Perspective on Human Subjectivity (New York: State University of New York, 1989), hal. 31. 6 Daniel Chandler, “Semiotics for Beginners”, dalam http://visual-memory.co.uk/daniel/S4B/sem01.html [Diakses 23 Oktober 2016].
  • 7. VOLUME 07 NOMOR 01 – 20174 digelar dalam ruang dan waktu untuk menghasilkan “teks”, yang artinya ditafsirkan oleh hubungan yang saling mengontekstualisasikan antara tanda-tandanya.7 Semiotika adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda- tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia lain. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi –dalam hal mana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi— tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.8 Dengan demikian yang menjadi dasar dari semiotika maupun semiologi adalah konsep tentang tanda. Tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun atau terdiri dari tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun –sejauh terkait dengan pikiran manusia— seluruhnya terdiri dari tanda-tanda. Sebab, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri juga merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia. Sedangkan tanda- tanda non-verbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi.9 Semiotika menang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Sebagaimana dikatakan Ferdinand de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. Dalam kehidupan kita pun banyak sekali kajian tentang semiotika yang mungkin kita pun tidak menyadarinya. Seperti bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Bahasa adalah sebuah tanda yang kita ucapkan sehari-hari untuk berkomunikasi, dan masih banyak lagi tanda-tanda yang lain dalam kehidupan kita sebagai alat komunikasi. Kita adalah makhluk yang disebut homo socius yang berarti makhluk yang saling berinteraksi dengan makhluk sejenisnya. Kita berada dalam satu kumpulan keluarga yang disebut masyarakat, dalam masyarakat tersebut mempunyai suatu alat untuk berinteraksi satu sama lain yang berupa suara yang disebut bahasa, yang berguna sebagai tanda untuk 7 “Semiotic Theories”, dalam https://www.utwente.nl/cw/theorieenoverzicht/Semiotic_Theories/ [Diakses 23 Oktober 2016]. 8 Roland Barthes sebagaimana dikutip Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remadja Rosda- karya, 2009), hal. 15. 9 Alex Sobur, ibid., hal. 13.
  • 8. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 5 menyampaikan informasi atau keperluan lainnya.10 Para ahli semiotika hingga saat ini telah membedakan dua jenis semiotika, yaitu semiotika komunikasi dan semiotika signifikansi.11 Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode, sistem tanda, pesan, saluran komunikasi, dan acuan. Sedangkan semiotika signifikansi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam konteks tertentu. Di sini tidak dipersoalkan adanya tujuan komunikasi, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya. Ahli linguistik asal Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913), adalah tokoh utama di balik lahirnya semiotika sebagai sebuah disiplin. Tokoh kunci semiotika lainnya yang juga dapat disebut sebagai pendiri disiplin tersebut adalah Charles Peirce (1839-1914), juga Charles Morris (1901-1979) yang mengembangkan semiotika beraliran behavioralis (behaviorist semiotics). Kemudian beberapa sarjana lainnya turut mengembangkan semiotika hingga akhirnya dipelajari secara luas di seluruh dunia, diantaranya Roland Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-1993), Christian Metz (1931-1993), Roman Jacobson (1896- 1982), Louis Hjelmslev (1899-1966), Umberto Eco (1932-2016), dan Julia Kristeva (1941-sekarang). Di bidang antropologi, Claude Levi-Strauss dikenal sebagai pelopor semiotika beraliran strukturalisme. Kemudian Jacques Lacan dikenal mengembangkan semiotika dalam psikoanalisa. Sementara itu salah seorang pionir pendekatan semiotika dalam studi HI adalah Yves Delahaye. Menurut Daniel Chandler, semiotika adalah penting karena dapat membantu kita untuk tidak menempatkan ‘realitas’ sebagai sesuatu yang memiliki eksistensi yang benar-benar obyektif dan independen dari interpretasi manusia. Semiotika mengajarkan kita bahwa realitas adalah sistem tanda. Belajar semiotika dapat membantu kita untuk menjadi lebih menyadari realitas sebagai konstruksi dan peran yang dimainkan oleh diri kita sendiri dan orang lain dalam membangun realitas itu. Semiotika dapat membantu kita untuk menyadari bahwa informasi atau makna tidak ‘terkandung’ di dunia atau di buku, di komputer atau di media audio-visual. Makna tidak ‘tertransmisi’ kepada kita, melainkan kita yang aktif membuat makna sesuai dengan interaksi yang rumit dari 10 Ferdinand de Saussure sebagaimana dikutip Ahmad Migy Pratama Wicaksono, dalam http://migypratama. blogspot.co.id/2016/06/semiotika.html [Diakses 23 Oktober 2016]. 11 Lihat Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta: FIPB UI, 2008), hal. 140.
  • 9. VOLUME 07 NOMOR 01 – 20176 kode-kode atau konvensi-konvensi yang biasanya tidak kita sadari. Menyadari bahwa kode-kode tersebut menarik secara inherent dan memberdayakan secara intelektual. Kita belajar dari semiotika bahwa kita hidup dalam dunia tanda-tanda dan kita tidak memiliki cara untuk memahami apa pun kecuali melalui tanda-tanda dan kode-kode ke mana mereka terorganisir.12 Melalui studi semiotika kita menjadi sadar bahwa tanda-tanda dan kode- kode tersebut biasanya transparan dan menyamarkan tugas kita dalam ‘membaca’ mereka. Hidup dalam sebuah dunia dimana tanda-tanda semakin visual, kita perlu belajar bahwa tanda-tanda yang paling realistis sekalipun bukanlah apa yang mereka tampakkan. Dengan membuat lebih eksplisit kode-kode melalui mana tanda- tanda diinterpretasikan, kita dapat melakukan fungsi semiotik yang berharga, yakni menghilangkan sifat (denaturalizing) tanda-tanda. Dalam mendefinisikan realitas, tanda-tanda menyajikan fungsi ideologis. Mendekonstruksi dan menggugat realitas dari tanda-tanda dapat mengungkapkan realitas yang diistimewakan maupun yang ditekan. Studi tentang tanda-tanda adalah studi tentang konstruksi dan pemeliharaan realitas. Sebab itu menolak arti penting dari studi tersebut sama saja dengan meninggalkan kepada orang lain kendali dari dunia makna yang kita huni.13 KOMUNIKASI ANTAR-BUDAYA Sebelum melangkah jauh pada pembahasan mengenai komunikasi antar- budaya dalam hubungan internasional, terlebih dahulu perlu dipahami mengenai pengertian konsep kebudayaan. Ahli antropologi ternama, Clifford Geertz, mengatakan bahwa konsep kebudayaan (culture concept) menunjukkan sebuah pola makna yang terkandung dalam simbol-simbol yang ditularkan secara historis, sebuah sistem konsepsi yang diwariskan dan dinyatakan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana manusia mengkomunikasikan, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.14 Menurut Adam Kuper, karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan.15 Konsep kebudayaan simbolik, sebagaimana yang dimaknai Geertz, merupakan sebuah pendekatan yang sifatnya hermeneutics, suatu pendekatan yang lazim digunakan 12 Lihat Daniel Chandler, Semiotics: The Basics (London: Routledge, 2002). 13 Daniel Chandler, ibid. 14 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: HarperCollins Publishers, 2016). 15 Adam Kuper, Culture (Cambridge: Harvard University Press, 1999), hal. 98.
  • 10. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 7 dalam lingkungan semiotika. Pendekatan hermeunetika inilah yang kemudian menginspirisasikannya untuk melihat kebudayaan sebagai teks-teks yang harus dibaca, ditranslasikan, dan diinterpretasikan.  Paul Ricouer menjelaskan bahwa konstruksi pengetahuan manusia merupakan suatu struktur fakta yang merupakan simbol dan hukum yang mereka beri makna. Dengan demikian tindakan manusia dapat menyampaikan makna yang dapat dibaca, suatu perlakuan yang sama seperti ketika memperlakukan teks.16 Sementara itu yang dimaksud dengan komunikasi antar-budaya (intercultural communication) adalah setiap jenis pertukaran komunikasi dan informasi antar orang- orang yang mengacu pada dua kerangka budaya yang berbeda. Komunikasi antar- budayaadalahkomunikasiyangterjadidiantaraorang-orangyangmemilikikebudayaan yang berbeda (bisa berbeda secara ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Sebagaimana dikatakan Stewart Tubbs, komunikasi antar budaya merupakan komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya. Sedangkan kebudayaan itu sendiri adalah cara hidup (way of life) yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.17 Fred Jandt mengartikan komunikasi antar-budaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda kebudayaan (intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among people of diverse culture).18 Dalam bukunya berjudul An Introduction to Intercultural Communication, Jandt lebih mengarahkan pemahamannya tentang komunikasi antar budaya sebagai komunikasi budaya dari berbagai negara dalam komunitas global. Hamid Mowlana senada dengan Jandt, ia mendefinisikan komunikasi antar-budaya sebagai arus manusia yang melintasi batas- batas nasional (human flow across national boundaries), misalnya melalui keterlibatan dalam suatu konferensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara dengan kebudayaan yang berbeda-beda berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain.19 Komunikasi antar-budaya sering digunakan secara sinonim dengan komunikasi lintas-budaya (cross-cultural communications). Komunikasi lintas-budaya 16 Paul Ricouer dan John Thompson, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 1981). 17 Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication (New York: Random House, 1977). 18 Fred E. Jandt, An Introduction to Intercultural Communication: Identities in a Global Community (Thousand Oaks, CA: SAGE Publications Inc., 2013), hal. 8. 19 Lihat Hamid Mowlana, Global Communication in Transition: The End of Diversity (New Delhi: SAGE Publi- cations India Pvt. Ltd., 1996).
  • 11. VOLUME 07 NOMOR 01 – 20178 adalah sebuah bidang studi yang melihat bagaimana orang-orang dari berbagai latar belakang budaya berkomunikasi. Konsep komunikasi lintas-budaya digunakan untuk memahami bagaimana orang-orang dari berbagai negara melakukan tindakan, melakukan komunikasi, dan memahami dunia di sekitar mereka. Banyak orang dalam komunikasi lintas-budaya berpendapat bahwa kebudayaan menentukan bagaimana individu-individu mengkodekan pesan-pesan (encode messages), media apa yang mereka pilih untuk mengantarkan pesan-pesan tersebut, dan cara bagaimana pesan- pesan diinterpretasikan.20 Komunikasi lintas-budaya terdiri dari aspek komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Komunikasi verbal (verbal communication) dapat didefinisikan sebagai mengkomunikasikan pikiran melalui kata-kata. Pikiran tersebut dapat berupa gagasan (ideas), pendapat (opinions), petunjuk (directions), ketidakpuasan (dissatisfaction), keberatan (objections), emosi (emotions), dan kenikmatan (pleasures). Ada dua jenis komunikasi verbal, yakni komunikasi tertulis dan komunikasi oral (berbicara). Sedang komunikasi non-verbal (non-verbal communication) meliputi bahasa tubuh secara keseluruhan dari orang yang sedang berbicara, yang mencakup postur tubuh, gerakan tangan, dan gerakan tubuh secara keseluruhan. Ekspresi wajah juga memainkan peran penting, karena ekspresi wajah seseorang selama berkomunikasi sering mengeskpresikan suasana hatinya. Komunikasi non-verbal dapat juga berbentuk representasi bergambar, papan nama, atau bahkan foto-foto, sketsa, dan lukisan.21 KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL Komunikasi antar-budaya atau komunikasi lintas budaya bukan fenomena yang hanya berlangsung dalam lingkup domestik suatu negara. Bahkan akhir-akhir ini studi komunikasi antar-budaya dalam lingkup global (komunikasi internasional atau hubungan internasional) mulai mendapatkan perhatian serius dari para ahli- ahli budaya maupun ahli-ahli hubungan internasional. Dengan semakin derasnya fenomena komunikasi antar-budaya dalam lingkup global, para ahli dipaksa untuk mengorganisasi ulang (reorganize) konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode tentang komunikasi antar-budaya dan menyajikan perangkat analisis untuk memahami fenomena komunikasi antar-budaya dalam hubungan internasional. 20 Jakob Lauring, “Intercultural Organizational Communication: The Social Organizing of Interaction in Inter- national Encounters”, dalam Journal of Business Communication, Vol. 48 No. 3 (2001), hal. 231-255. 21 http://fsc.bsu.by/wp-content/uploads/2015/12/Konspekt-lektsij-po-distsipline_-Osnovy-krosskul-turno- go-obshheniya.pdf [Diakses 24 Oktober 2016].
  • 12. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 9 Glen Fisher dalam karyanya berjudul International Negotiation: A Cross-Cultural Perspectivemencobamengulasproseskomunikasilintas-budayadalamkontekshubungan internasional, dimana orang-orang dari latar belakang nasionalitas dan budaya yang berbeda-beda berusaha untuk mencapai sebuah kesepakatan (agreement).22 Houman Sadri dan Madelyn Flammia dalam bukunya berjudul Intercultural Communication: A New Approach to International Relations and Global Challenges, selain menjelaskan pentingnya pendekatan komunikasi antar-budaya dalam hubungan internasional juga mengelaborasi berbagai konsep pokok komunikasi antar-budaya dalam hubungan internasional serta isu-isu global yang terkait dengan komunikasi lintas-budaya.23 Karya Fisher serta Sadri dan Flammia tersebut mewakili beberapa kajian komunikasiantar-budayaataukomunikasilintas-budayadalamhubunganinternasional. Karya-karya tersebut sekaligus menjadi suatu penegasan bahwa berbagai peristiwa dalam praktik hubungan internasional (seperti negosiasi, diplomasi, perdagangan, perang urat-syaraf, dan sebagainya) sebenarnya merupakan suatu proses komunikasi antar-budaya. Karena merupakan bagian dari komunikasi antar-budaya maka praktik- praktikhubunganinternasionalpundapatdijelaskandenganmenggunakanpendekatan semiotika sebagaimana kajian-kajian budaya pada umumnya. Dengan demikian, komunikasi antar-budaya kini bukan semata-mata menjadi bagian dari kajian ilmu komunikasi. Menurut Sadri dan Flammia, dalam perkembangannya studi HI ternyata juga memiliki yurisdiksi alamiah terhadap fenomena komunikasi antar-budaya, khususnya ketika kegiatan komunikasi melintasi batas-batas negara. Bagi para ahli HI, komunikasi merupakan elemen alamiah dari diplomasi, negosiasi, dan signaling dalam masyarakat global. Kegiatan diplomasi mengharuskan para diplomat mengkomunikasi kepentingan nasional negaranya dengan counterpart-nya dri negara-negara lain. Dalam studi HI, selain konsep antar-budaya (intercultural) juga dikenal konsep multi-budaya (multicultural). Meskipun dalam masyarakat global aplikasi kedua konsep ini sulit dipisahkan, namun keduanya memiliki makna yang berbeda. Istilah antar- budaya mengacu pada keberagaman atau diversitas antara negara-negara yang berbeda (diversity among separate nations). Sedangkan istilah multikultur mengacu pada negara- negara yang mempunyai kelompok-kelompok budaya yang berbeda (diverse cultural groups), biasanya sebagai hasil dari proses imigrasi atau diaspora.24 Sebagai contoh, 22 Glen Fisher, International Negotiation: A Cross-Cultural Perspective (Yarmouth, ME: Intercultural Press, 1980). 23 Houman A. Sadri dan Madelyn Flammia, Intercultural Communication: A New Approach to International Relations and Global Challenges (London: The Continuum International Publishing, 2011). 24 Houman A. Sadri dan Madelyn Flammia, ibid., hal. 8.
  • 13. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201710 Indonesia adalah salah satu negara multi-budaya dan melalui hubungan internasional Indonesia mengalami proses-proses komunikasi antar-budaya. Dalam teori dan praktik hubungan internasional dikenal konsep diplomasi budaya (cultural diplomacy). Di sini kebudayaan selain dijadikan sebagai instrumen politik luar negeri suatu negara, juga dimaksudkan sebagai sarana untuk mengembangkan komunikasi antar budaya dan kerjasama antara orang-orang dari seluruh dunia. Sebagaimana dinyatakan oleh Milton Cumming, diplomasi budaya pertukaran gagasan (ideas), nilai-nilai (values), informasi (information), seni (art), dan aspek-aspek lain dari kebudayaan diantara negara-negara dan rakyat mereka yang mempunyai tujuan akhir untuk memperkenalkan pemahaman timbalik balik (mutual understanding).25 Diplomasi budaya adalah sebuah konsep yang sangat terkait dengan istilah-istilah lain, terutama konsep hubungan budaya (cultural relations), pertukaran antar-budaya (intercultural exchange), dan komunikasi antar-budaya. Diplomasi budaya adalah mekanisme dasar untuk menghubungkan kebudaya- an-kebudayaan dan mempromosikan keanekaragaman budaya. Periode pasca Perang Dingin, ada kebutuhan di kalangan masyarakat dunia untuk memahami kebudayaan- kebudayaan yang berbeda. Ada harapan besar agar masing-masing dari kita dapat menjadi sarana pencegahan konflik. Komunikasi antar-budaya atau interaksi melalui pertukaran bahasa, gagasan, musik, dan seni, diharapkan dapat meningkatkan komunikasi antara kelompok-kelompoik yang bertentangan secara budaya. Selain konsep diplomasi budaya, dalam studi HI juga dikenal teori konstruktivis yang secara implisit memperhitungkan aspek-aspek komunikasi antar-budaya dalam masalah-masalah internasional. Menurut Mary Einbinder, teori konstruktivis dalam studi HI merupakan kerangka analisis yang paling cocok untuk membahas bagaimana struktur internasional secara sosial dikonstruksi (socially constructed) dan dengan demikian mampu diubah melalui gagasan (ideas), pemikiran (thoughts), keyakinan (beliefs), dan wacana (discourses) yang berkembang dalam masyarakat global.26 Menurut konstruktivisme, sistem internasional terbentuk sebagai sebuah pemahaman bersama (common understanding) antar aktor. Sedangkan menurut Jurgen Habermas, pemahaman bersama hanya bisa terwujud melalui tindakan-tindakan komunikatif (communicative actions) dari para aktor.27 25 Milton Cumming, Cultural Diplomacy and the United States Government: A Survey (Washington, DC: Center for Art and Culture, 2003), hal. 1. 26 Mary Einbinder, “Cultural Diplomacy: Harmonizing International Relations through Music”, Tesis pada School of Individualized Studies, New York University, dalam http://www.culturaldiplomacy.org/pdf/ case-studies/ [Diakses 24 Oktober 2016]. 27 Lihat Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action: Reason and Rationalization of Society (New York:
  • 14. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 11 Sebagaimana dikatakan pemikir konstruktivis, Alexander Wendt, konsep- konsep sosial bersama mengkonstruksi struktur dari sistem internasional dan dipercaya sebagai kekuatan yang mengendalikan (driving force) struktur tersebut.28 Prinsip-prinsip dan konsep-konsep hubungan internasional secara sosial dapat dikonstruksi oleh para aktor apabila ada proses komunikasi antar-budaya yang terus menerus diantara mereka. Perwujudan perdamaian dunia (seperti yang menjadi tujuan lahirnya studi HI), hanya dapat dicapai melalui penciptaan komunikasi antar-budaya yang terus menerus (atau tindakan-tindakan komunikatif sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas) dalam kerangka hubungan antar-bangsa yang berkelanjutan. SEMIOTIKA HUBUNGAN INTERNASIONAL Sebagaimana diuraikan di atas bahwa hubungan internasional pada esensinya adalah komunikasi antar-budaya, atau setidaknya komunikasi antar-budaya yang berkelanjutan (sustainable intercultural communication) merupakan fundasi bagi perwujudan hubungan internasional yang damai. Akira Iriye bahkan menegaskan bahwa hubungan internasional itu sendiri pada hakikatnya merupakan fenomena budaya (cultural phenomenon). Pada tingkat yang lebih dalam, dapat dikatakan bahwa hubungan internasional sebenarnya merupakan produk interaksi dari kebudayaan- kebudayaan yang berbeda.29 Sebagai fenomena budaya maka hubungan internasional dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan semiotika sebagaimana fenomena budaya pada umumnya. Semiotika sebenarnya bukan sama sekali baru merambah ranah hubungan internasional. Semiotika budaya sebagai sistem simbol dan makna, telah lama diakui memiliki implikasi penting bagi komunikasi antar-budaya dan hubungan internasional. Sebagai contoh, frase “percakapan budaya” (conversation of cultures) telah digunakan dalam artikel Robert Redfield berjudul “Does America Need a Hearing Aid?”, terbit pada 1953 di The Saturday Review. Artikel ini menerapkan dan mengelaborasi metafora percakapan tatap muka sebagai sesuatu yang ideal untuk melakukan hubungan internasional. Redfield lebih lanjut menjelaskan bahwa keamanan bersama (mutual security) tergantung pada pemahaman bersama (mutual understanding), dan untuk dapat memahami kita harus melakukan percakapan. Dalam hubungan internasional, John Wiley & Sons, 2015). 28 Lihat Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999). 29 Akira Iriye, Akira Iriye, Cultural Internationalism andWorld Order (New York: John Hopkins University Press, 1997), hal. 16.
  • 15. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201712 penting untuk membangun komunitas berpikiran bebas, sebuah peradaban dialog (a dialogue of civilization).30 Studi sejarah dan etnografi tentang bagaimana tanda-tanda dan simbol- simbol nasional muncul dan kadang-kadang ditransendensi dalam “hubungan ramah” (convival relations) di dunia diplomasi, merupakan agenda penting untuk penelitian semiotika hubungan internasional. Studi semiotika dalam hubungan internasional, tidak hanya membutuhkan keahlian linguistik dan skema komunikasi internasional yang lebih baik, namun juga memerlukan kajian tentang konteks sosial dan budaya komunikasi serta latar belakang sejarah bangsa-bangsa dalam hubungan internasional. Dalam bahasa Redfield, semiotika hubungan internasional dapat menjadi “alat bantu dengar” (hearing aid) untuk mendengarkan suasana hati yang berubah, mendalami struktur-struktur nasional yang persisten, dan untuk memahami sifat-sifat manusia yang universal. Pada intinya, semiotika hubungan internasional berguna untuk “mendengarkan” komunikasi intra-nasional serta komunikasi antar-budaya dari negara-negara yang bersifat multi-etnis, multi-bahasa, dan multi-kultur.31 Jika kita menerima definisi dari Margaret Mead (1962) yang mengatakan bahwa semiotika adalah semua komunikasi yang berpola dalam semua modalitas (semiotics is all patterned communication in all modalities), maka cukup mudah untuk melihat bagaimana sebuah studi tentang peradaban-peradaban besar dunia dengan bantuan disiplin khusus perlu mempelajari semua pola komunikasi antar-budaya dalam semua modalitas.32 Studi HI adalah studi tentang interaksi antar peradaban- peradaban besar (lihat tesis Samuel Huntington tentang benturan peradaban dalam hubungan internasional pasca Perang Dingin). Dengan demikian, tidak dapat dihindarkan pendekatan semiotika akan semakin diperlukan dalam analisis masalah- masalah internasional. Secara formal aplikasi pendekatan semiotika untuk menganalisis masalah internasional bermula pada 1987. Saat itu sekelompok dosen dan mahasiswa dari beberapa departemen (termasuk departemen HI) di Universitas Chicago mulai meneliti aspek semiotika dari isu-isu kebijakan nuklir Amerika dan Soviet. Pada intinya ini adalah sebuah proyek penjabaran antar-disiplin dan antar-budaya serta sebuah percakapan budaya dimana semiotika murni dan deskriptif sangat relevan. Karena hubungan 30 Robert Redfield sebagaimana dikutip Milton Singer, Semiotics of Cities, Selves, and Cultures: Explorations in Semiotics Anthropology (Berlin: Mouton de Gruyter, 1991), hal. 20. 31 Milton Singer, Semiotics of Cities, Selves, and Cultures: Explorations in Semiotics Anthropology (Berlin: Mouton de Gruyter, 1991), hal. 22. 32 Milton Singer, ibid., hal. 21.
  • 16. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 13 internasionalbukansekedargeopolitik,ekonomi,danteknologipersenjataan,tetapijuga menyangkut budaya dan simbolik, maka diperlukan semiotika hubungan internasional untuk membantu “mendengarkan” dan “menerjemahkan” percakapan budaya dalam panggung internasional dalam semua modalitas komunikasi.33 Sebagaimana dikatakan Redfield, pemahaman bersama adalah kondisi yang diperlukan bagi perwujudan keamanan bersama dalam hubungan internasional. Dalam literatur studi HI, terdapat banyak sekali definisi tentang hubungan internasional. Salah satu definisi yang sederhana mengenai hubungan internasional dibuat oleh Marcel Merle. Ia mengatakan bahwa hubungan internasional adalah arus dan pasang surut yang melintasi perbatasan, atau cenderung untuk melintasi perbatasan (international relations is the ebbs and flows that cross borders, or tend to cross borders).34 Kata perbatasan (borders) sebagaimana disebutkan Merle, merujuk pada bagian dunia yang berpenghuni yang dikuasai oleh unit politik yang kita sebut negara. Kriteria yang digunakan untuk membagi negara-negara didasarkan pada pembagian politik dan hukum mengenai ruang dimana pergerakan aktor-aktor dari skenario internasional terjadi. Perbatasan, dalam terminologi semiotik, adalah “tanda” dari mana semua tanda-tanda yang diadopsi dalam hubungan internasional berasal. Dengan demikian, kata perbatasan dalam definisi Merle merupakan sebuah elemen yang sentral dalam hubungan internasional. Definisi Merle memungkinkan kita mengalihkan perhatian dari negara --atau tepatnya dari aktor-aktor internasional— kepada “arus” yang “melintasi” dan “cenderung melintasi” garis perbatasan negara. Dengan adanya perubahan fokus ini, maka banyak faktor (selain aktor) menjadi obyek kajian dalam studi HI sepanjang faktor-faktor tersebut terlibat dalam “arus” lintas- batas, seperti sirkulasi orang, produk-produk, modal, gagasan, dan bahkan wacana. Mengacu pada definisi hubungan internasional dari Merle di atas, kita melihat ada koneksi antara dimensi “domestik” dan “internasional” yang dihasilkan dari “signifikansi internasional” yang melekat pada konsep “melintasi perbatasan”. Sebab itu setiap pidato, pernyataan, hukum yang dihasilkan oleh pemerintah (bahkan ketika semua itu ditujukan kepada rakyatnya sendiri), dapat menjadi penting bagi komunitas internasional dan khususnya bagi pemerhati semiotika.Teks-teks yang berkaitan dengan hal-hal tersebut signifikan bagi semiotika, termasuk teks-teks yang tidak dimaksudkan memiliki efek ke luar perbatasan.35 33 Milton Singer, Ibid., hal. 22. 34 Marcel Merle, The Sociology of International Relations (Oxford: Berg Publishers, 1987). 35 Evandro Menezes de Carvalho, Semiotics of International Law: Trade and Translation (New York: Springer, 2011), hal. 43-44.
  • 17. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201714 Semiotika hubungan internasional juga sangat berkaitan dengan aktivitas diplomasi. Seperti diketahui, dengan berakhirnya Perang Dingin, topik diversitas budaya dalam hubungan internasional menjadi semakin hadir dalam agenda- agenda diplomasi. Banyak negara yang di era Perang Dingin terpinggirkan dari sistem internasional, mulai menuntut partisipasi yang lebih luas, baik dalam bentuk ekspresi diplomasi internasional maupun dalam proses pembentukan norma-norma internasional baru.36 Sebab itu jika di masa lalu perilaku dan linguistik mereka dianggap sesuatu yang ganjil, kini mereka dapat turut menjadi bagian yang biasa dalam percakapan budaya diplomasi. Dunia diplomasi kini tidak lagi didominasi oleh tanda- tanda, simbol-simbol, makna-makna, dan metafora dari negara-negara besar yang menghegemoni sistem internasional, namun juga telah memberikan ruang terbuka bagi emansipasi budaya dari berbagai aktor hubungan internasional. Dalam konteks ini, semiotika hubungan internasional menjadi semakin relevan dan memiliki wilayah kajian yang semakin luas. KESIMPULAN Pendekatan semiotika sangat dibutuhkan dalam kajian tentang komunikasi dan kebudayaan. Dunia komunikasi dan kebudayaan penuh dengan simbol-simbol, tanda-tanda, lambing-lambang, makna-makna. wacana, analogi, dan metafora yang menjadi fokus kajian semiotika. Hubungan internasional merupakan fenomena budaya, karena hubungan internasional pada hakikatnya adalah proses komunikasi antar-budaya. Sebagai sebuah fenomena budaya dan sebagai bentuk komunikasi antar-budaya, proses-proses dalam hubungan internasional dengan sendirinya dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan semiotika. Sebab itulah kemudian lahir istilah semiotika hubungan internasional (semiotics of international relations). Meskipun masih menempati posisi marjinal dalam penelitian-penelitian hubungan internasional, sejak era pasca Perang Dingin semakin tumbuh kesadaran di lingkungan komunitas studi HI mengenai pentingnya pemanfaatkan pendekatan semiotika dalam kajian masalah-masalah internasional. Studi-studi semiotika dalam di lingkungan komunitas HI selama ini banyak menyoroti proses-proses diplomasi dan negosiasi pasca Perang Dingin. Namun beberapa kajian juga memberikan perhatian pada analisis wacana (discourse analysis) terhadap berbagai kebijakan luar negeri dan pernyataan para pemimpin dunia dalam peristiwa-peristiwa internasional. 36 Evandro Menezes de Carvalho, Ibid., hal. 38.
  • 18. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 15 BIBLIOGRAFI Barthes, Roland, sebagaimana dikutip Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remadja Rosdakarya, 2009). Chandler, Daniel, Semiotics: The Basics (London: Routledge, 2002). Chandler, Daniel. “Semiotics for Beginners”, dalam http://visual-memory.co.uk/ daniel/S4B/sem01.html [Diakses 23 Oktober 2016]. Cumming, Milton, Cultural Diplomacy and the United States Government: A Survey (Washington, DC: Center for Art and Culture, 2003). De Carvalho, Evandro Menezes, Semiotics of International Law: Trade and Translation (New York: Springer, 2011). De Saussure, Ferdinand, sebagaimana dikutip Vincent M. Colapietro, Peirce’s Approach to the Self: A Semiotic Perspective on Human Subjectivity (New York: State University of New York, 1989). De Saussure, Ferdinand, sebagaimana dikutip Ahmad Migy Pratama Wicaksono, dalam http://migypratama. blogspot.co.id/2016/06/semiotika.html [Diakses 23 Oktober 2016]. Eco, Umberto, Theory of Semiotics (London: Macmillan, 1976). Einbinder, Mary, “Cultural Diplomacy: Harmonizing International Relations through Music”, Tesis pada School of Individualized Studies, New York University, dalam http://www.culturaldiplomacy.org/pdf/case-studies/ [Diakses 24 Oktober 2016]. Fisher, Glen, International Negotiation: A Cross-Cultural Perspective (Yarmouth, ME: Intercultural Press, 1980). Geertz, Clifford, The Interpretation of Cultures (New York: HarperCollins Publishers, 2016). Habermas, Jurgen, The Theory of Communicative Action: Reason and Rationalization of Society (New York: John Wiley & Sons, 2015). Hoed, Benny H., Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta: FIPB UI, 2008). Iriye, Akira, Akira Iriye, Cultural Internationalism and World Order (New York: John
  • 19. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201716 Hopkins University Press, 1997). Jandt, Fred E., An Introduction to Intercultural Communication: Identities in a Global Community (Thousand Oaks, CA: SAGE Publications Inc., 2013), hal. 8. Kuper, Adam, Culture (Cambridge: Harvard University Press, 1999). Liddell, Henry G. A Lexicon Abridged from Liddell and Scott’s Greek-English Lexicon (New York: BiblioLife Publishers, 2015). Lauring, Jakob, “Intercultural Organizational Communication: The Social Organizing of Interaction in International Encounters”, dalam Journal of Business Communication, Vol. 48 No. 3 (2001), hal. 231-255. Merle, Marcel, The Sociology of International Relations (Oxford: Berg Publishers, 1987). Mowlana, Hamid, Global Communication in Transition: The End of Diversity (New Delhi: SAGE Publications India Pvt. Ltd., 1996). Peirce, Charles S. sebagaimana dikutip Vincent M. Colapietro, Peirce’s Approach to the Self: A Semiotics Perspective on Human Subjectivity (New York: State Univeristy of New York Press, 1989). Redfield, Robert, sebagaimana dikutip Milton Singer, Semiotics of Cities, Selves, and Cultures: Explorations in Semiotics Anthropology (Berlin: Mouton de Gruyter, 1991). Ricouer, Paul dan John Thompson, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 1981). Sadri, Houman A. dan Madelyn Flammia, Intercultural Communication: A New Approach to International Relations and Global Challenges (London: The Continuum International Publishing, 2011). Singer, Milton, Semiotics of Cities, Selves, and Cultures: Explorations in Semiotics Anthropology (Berlin: Mouton de Gruyter, 1991), hal. 22. Sojoodi, Farzan, “Intercultural Communication: A Semiotics Approach”, dalam http:// iransemiotics.ir/wp-content/uploads/2013/12/Intercultural-Communication. pdf [Diakses 24 Oktober 2016]. Tubbs, Stewart L. dan Sylvia Moss, Human Communication (New York: Random
  • 20. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 17 House, 1977). Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999). “Semiotic Theories”, dalam https://www.utwente.nl/cw/theorieenoverzicht/Semiotic_ Theories/ [Diakses 23 Oktober 2016]. http://fsc.bsu.by/wp-content/uploads/2015/12/Konspekt-lektsij-po-distsipline_- Osnovy-krosskul-turnogo-obshheniya.pdf [Diakses 24 Oktober 2016].
  • 21. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201718 PROBLEM IMPLEMENTASI DAN LAW ENFORCEMENT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Muhammad Ikhwan Hakiki Dosen FISIP-HI IISIP Jakarta E-mail: hakikiikhwan87@gmail.com ABSTRACT International Humanitarian Law (IHL) is that portion of international law which is inspired by considerations of humanity. It aims to minimize the suffering of those not, or no longer, taking part in hostilities and to render the fighting more humane by restricting the use of barbaric weapons. The two principal sources of IHL are the Hague and the Geneva Conventions.The former setting out restrictions on the means and methods of warfare and the latter providing protection to certain categories of vulnerable persons. Although the objectives of IHL are very noble, the implementation and enforcement of international humanitarian law generally faced many obstacles. As known, the international legal system is based on the notion of the sovereignty and equality of states, and, generally speaking, no state may interfere in the internal affairs of another sovereign state. This means that implementation and enforcement of IHL is decentralised (there is no central authority for enforcement). Therefore, with a few exceptions, implementation and enforcement of IHL is often voluntary and depends on the good faith of states. Keywords: international humanitarian law, implementation, enforcement, preventive, compliance. ABSTRAK Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah bagian dari hukum internasional yang terinspirasi oleh pertimbangan kemanusiaan. HHI bertujuan untuk meminimalkan penderitaan orang-orang yang tidak, atau tidak lagi, ikut serta dalam pertempuran dan untuk membuat perang menjadi lebih manusiawi dengan membatasi penggunaan senjata barbar. Dua sumber utama HHI adalah Konvensi Den Haag dan Jenewa. Konvensi Den Haag menetapkan pembatasan terhadap sarana dan metode peperangan dan Konvensi Jenewa memberikan perlindungan terhadap mereka yang rentan. Meski tujuan IHL sangat mulia, implementasi dan penegakan HHI pada umumnya menghadapi banyak kendala. Seperti diketahui, sistem hukum internasional didasarkan pada gagasan tentang kedaulatan dan persamaan negara, dan, secara umum, tidak ada negara yang dapat mencampuri urusan dalam negeri negara berdaulat lainnya. Ini berarti bahwa implementasi dan penegakan HHI didesentralisasikan (tidak ada otoritas utama untuk penegakan HHI). Oleh karena itu, dengan beberapa pengecualian, pelaksanaan dan penegakan HHI seringkali bersifat sukarela dan tergantung pada itikad baik dari negara-negara. Kata kunci: hukum humaniter internasional, implementasi, penegakan, pencegahan, penegakan.
  • 22. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 19 PENDAHULUAN Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law), yang juga dikenal dengan Hukum Perang (the Law of War) dan Hukum Konflik Bersenjata (the Law of Armed Conflict), adalah bagian dari hukum publik internasional yang mengatur konflik-konflik bersenjata, baik yang bersifat internasional maupun non-internasional. Hukum Humaniter Internasional –selanjutnya disingkat HHI, hadir diinspirasi oleh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. HHI ditujukan untuk meminimalkan mereka yang tidak –atau tidak lagi—mengambil bagian dalam pertempuran (peperangan) dan untuk membuat pertempuran menjadi lebih manusiawi (humane) dengan membatasi penggunaan senjata-senjata yang barbar (biadab, kejam).1 Dalam istilah  Daniel Thürer, HHI dimaksudkan untuk “memanusiakan” (humanize) kekerasan yang terorganisir.2 Sebagai hukum yang mengatur konflik-konflik bersenjata internasional dan non-internasional, HHI terdiri dari aturan-aturan yang berlaku selama konflik (in time of war) atau mengatur pelaksanaan konflik (jus in bello). Aturan-aturan ini juga berlaku untuk situasi pendudukan (occupation) yang timbul dari konflik bersenjata. Misalnya ketika terjadi konflik bersenjata (Perang Teluk 2003) antara Amerika Serikat (AS) dan Irak kemudian diikuti dengan pendudukan AS terhadap Irak hingga 2011, HHI semestinya berlaku baik pada saat Perang Teluk terjadi maupun ketika AS melakukan pendudukan di Irak selama bertahun-tahun. ICRC (International Committee of the Red Cross) mendefinisikan HHI sebagai seperangkat aturan yang berusaha, untuk alasan kemanusiaan, membatasi efek dari konflik bersenjata. HHI dimaksudkan untuk melindungi orang-orang yang tidak –atau tidak lagi—berpartisipasi dalam peperangan (pertikaian) dan membatasi sarana-sarana dan metode-metode perang. HHI adalah bagian dari hukum internasional yang ditujukan untuk mengatur hubungan-hubungan antar-negara dan diberlakukan pada konflik-konflik bersenjata.3 Sebagai seperangkat aturan, HHI ditetapkan melalui perjanjian (treaty) atau kebiasaan (custom) yang selain dimaksudkan untuk melindungi orang-orang, juga harta benda-benda (objek-objek) yang kemungkinan terkena dampak konflik bersenjata, serta membatasi hak-hak yang terlibat konflik dalam menggunakan metode dan alat perang yang mereka pilih. 1 Aldo Zammit Borda, “Introduction to International Humanitarian Law”, dalam Commonwealth Law Bulle- tin, Vol. 34 No. 4 (2008), hal. 739-748. 2  Daniel Thürer, International Humanitarian Law: Theory, Practice, Context (The Hague: Hague academy of International Law, 2011), hal. 21. 3 ICRC, “What is International Humanitarian Law?”, dalam https://www.icrc.org/eng/assets/files/other-what_ is_ihl.pdf [Diakses 13 Januari 2017].
  • 23. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201720 Sekalipun HHI merupakan bagian atau cabang dari hukum (publik) internasional, tetapi HHI berbeda dengan hukum internasional pada umumnya. HHI didasarkan pada konsep jus in bello, yang didefinisikan sebagai hukum perang. Ini berarti bahwa aturan-aturan dalam HHI barulah bersifat aktif dalam situasi konflik bersenjata atau perang. Namun, seperti halnya hukum internasional yang lain, HHI membutuhkan (atau sangat tergantung pada) kemauan politik (political will) dari negara-negara. Artinya, ketika sebuah situasi dianggap sebagai konflik bersenjata maka HHI dapat diberlakukan. Banyak negara bersikeras untuk tidak mengakui sebuah situasi sebagai konflik bersenjata (sehingga ada alasan untuk tidak memberlakukan HHI) karena alasan-alasan politik tertentu.4 Sementara itu Elizabeth Chadwick, memahami HHI dengan membagi menjadi dua cabang utama, yaitu hukum perang dan aspek-aspek terbatas dari hukum hak azasi manusia (HAM). Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan hukum perang adalah ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Den Haag, atau hukum tentang perang yang baik yang ketentuan-ketentuannya diatur dalam Konvensi Jenewa, atau hukum humaniter. Hukum tentang perang yang baik atau pantas (the law of war proper) mengatur negara-negara dalam memilih sarana dan metode peperangan dalam suatu konflik bersenjata. Hukum humaniter melindungi individu-individu dan meringankan dampak dari sebuah konflik bersenjata. Sedangkan hukum HAM (human rights law) adalah hukum yang pada dasarnya mengatur hubungan sebuah negara dengan warganya sendiri selama masa damai.5 Menurut Dieter Fleck dan Michael Bothe, aturan-aturan HHI berlaku dengan kekuatan yang sama untuk semua pihak yang terlibat dalam sebuah konflik bersenjata, terlepas dari pihak mana atau siapa yang bertanggung jawab untuk memulai perang atau konflik bersenjata. HHI terdiri dari keseluruhan hukum yang ditetapkan untuk mengatur perilaku konflik bersenjata.6 Jadi, dalam hal ini, HHI tidak dimaksudkan untuk menetapkan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam konflik tersebut. HHI hanya memiliki komitmen agar siapa saja yang berperang (berkonflik dengan menggunakan senjata) harus mematuhi aturan-aturan perang. Adapun tujuan utama (main purpose) HHI adalah mempertahankan 4 Gertrude C. Chelimo, “Defining Armed Conflict in International Humanitarian Law”, dalam INQUIRIES, Vol. 3 No. 4 (2011), hal. 1. 5 Elizabeth Chadwick, Self-Determination, Terrorism, and the International Humanitarian Law of Armed Con- flict (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), hal. 5. 6 Dieter Fleck dan Michael Bothe (eds.), The Handbook of International Humanitarian Law (Oxford: Oxford University Press, 2013), hal. 101.
  • 24. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 21 kemanusiaan(maintainhumanity),menyelamatkannyawa(savinglives),danmengurangi penderitaan (reducing suffering) orang-orang yang menjadi kurban atau terdampak oleh adanya konflik bersenjata. Dengan kata lain, tujuan utama HHI adalah untuk untuk memberikan perlindungan kepada penduduk sipil dan objek-objek sipil serta orang-orang (prajurit) yang tidak lagi mengambil bagian dalam pertempuran. Untuk dapat mencapai tujuan utama itu, HHI mengatur bagaimana perang berlangsung. Dalam perspektif HHI, perang selain ditujukan untuk melemahkan musuh, namun semaksimal mungkin juga harus dapat membatasi penderitaan mereka yang menjadi kurban perang (konflik bersenjata). Sebab itu, semua pihak yang berperang (terlibat perang) perlu menghormati HHI, baik itu pasukan pemerintah maupun kelompok-kelompok bersenjata non- negara. Ada konsekuensi apabila aturan-aturan peperangan dilanggar atau tidak dipatuhi. Para pihak (individu-individu) yang diduga melakukan pelanggaran HHI dapat disebut sebagai pelaku kejahatan perang (war crimes), yang didokumentasikan dan dapat diinvestigasi oleh negara-negara dan pengadilan internasional. Individu- individu tersebut dapat dituntut dan dihukum berat atas kejahatan perang yang dilakukannya. Selain tujuan utama tersebut, HHI secara spesifik mempunyai sasaran sebagai berikut: (1) Melindungi mereka yang tidak ikut berperang, seperti penduduk sipil, tenaga medis, dan petugas pemberi bantuan; (2) Melindungi mereka yang tidak lagi mampu melawan/berperang, seperti tentara yang terluka para tahanan; (3) Melarang menyasar warga sipil, dan melakukannya merupakan kejahatan perang; (4) Mengakui hak penduduk sipil yang harus dilindungi dari bahaya perang, serta menerima bantuan yang mereka butuhkan; (5) mengamanatkan bahwa mereka yang sakit atau terluka memiliki hak untuk dirawat, terlepas dari pihak mana mereka berasal; (6) Menetapkan bahwa tenaga medis, kendaraan medis dan rumah sakit yang didedikasikan untuk pekerjaan kemanusiaan tidak bisa diserang; (7) Melarang penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat tahanan; (8) Menetapkan bahwa para tahanan harus menerima makanan dan air serta diizinkan untuk berkomunikasi dengan orang yang mereka cintai; (9) Membatasi senjata-senjata dan taktik-taktik yang dapat digunakan dalam perang, untuk menghindari penderitaan yang tidak perlu; (10) Secara eksplisit melarang pemerkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam konteks konflik bersenjata; (11) Melindungi bangunan- bangunan bersejarah, monumen, karya seni, dan kekayaan budaya lainnya.7 7 Australian Red Cross, “What is International Humanitarian Law?”, dalam http://www.redcross.org.au/ ihl-geneva-conventions.aspx [Diakses 14 Januari 2017].
  • 25. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201722 POBLEMATIKA DALAM IMPLEMENTASI HHI Perang di mana saja, pertama dan terutama, merupakan bencana kelembagaan, macetnya sistem hukum, suatu keadaan di mana hak-hak hanya bisa dijamin oleh yang memiliki kekuatan. Setiap orang yang telah mengalami perang, mengetahui bahwa kekerasan yang terjadi berarti pemusnahaan standar perilaku dan sistem hukum. Gagasan HHI adalah untuk membujuk para pihak yang berperang menerima aturan hukum yang luar biasa, yang secara khusus disesuaikan dengan situasi yang terjadi. Itulah sebabnya mengapa aksi kemanusiaan tidak dapat dipahami tanpa dialog yang erat dan permanen dengan pihak-pihak yang terlibat konflik.8 Implementasi dan penegakan hukum internasional pada umumnya dan HHI pada khususnya, sangat problematik. Tantangan dalam implementasi dan penegakan HHI merupakan masalah endemic sebagaimana hukum internasional pada umumnya. Sistem hukum internasional didasarkan pada gagasan kesetaraan kedaulatan negara, yang secara umum tidak ada negara dapat mencampuri urusan internal negara berdaulat lain. Implementasi, secara umum, berarti kepatuhan terhadap terhadap hukum atau penegakan hukum dalam kasus terjadi pelanggaran. Dalam sebuah sistem internasional yang tidak memiliki otoritas sentral yang bersifat supranasional, kewajiban implementasi hukum internasional pada umumnya diperuntukkan bagi aktor-aktor utamanya, yakni pemerintah negara-negara. Entitas lain yang bekerja di tingkat internasional, mungkin dengan pengecualian PBB, hanya memiliki otoritas terbatas untuk mempengaruhi proses implementasi hukum internasional.9 Dengan demikian, implementasi hukum internasional tidak semudah hukum nasional. Dalam banyak hal, implementasi hukum internasional masih sangat bergantung pada tindakan sukarela (voluntary action) dan tikad baik (goodwill) para pihakataunegara-negarayangmemilikikedaulatan.Entitasdiluarnegaradibatasihanya untuk kegiatan yang bertujuan mendorong, membantu atau membujuk pemerintah negara-negara untuk mematuhi kewajiban hukum mereka. Selain itu, badan-badan internasional juga hanya membantu dalam hal mengembangkan standar tanggung jawab negara dan mempromosikan atmosfir akuntabilitas secara umum di arena internasional. Kebanyakan mekanisme yang bisa dimanfaatkan untuk mengimplentasi HHI lebih bersifat normatif daripada institusional. 8 Frederic Maurice, “Humanitarian Ambition”, dalam International Review of the Red Cross, Vol. 32 No. 289 (1992), hal. 363-372. 9 Ajibade Oladapo, “Implementation of International Humanitarian Law in Peace Times: Challenges and Procedures”, dalam https://www.academia.edu/6456063/ [Diakses 24 Januari 2017].
  • 26. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 23 Masalah implementasi norma-norma kemanusiaan juga sangat penting bagi efisiensi dan efektivitas HHI. Secara umum, implementasi HHI terdiri dari langkah- langkah mempromosikan norma-norma hukum humaniter ke dalam sistem hukum nasional maupun internasional untuk menjadikan norma-norma itu sebagai bagian dari sistem tersebut dan membuatnya berlaku dalam praktik. Implementasi tidak hanya mengubah ketentuan satu bidang hukum ke bidang yang lain, tetapi juga menyalin norma abstrak menjadi aturan konkret yang mengatur perilaku dalam situasi tertentu. Implementasi merupakan prasyarat bagi aplikasi apapun dari HHI atau mengenai masalah ketaatan terhadap norma-norma kemanusiaan dalam konflik bersenjata tertentu.10 Menurut Horst Ficher (et al), implementasi norma-norma HHI, baik dalam konflik internasional maupun non-internasional, biasanya yang pertama-tama harus dilakukan di masa damai (in time of peace). Ini merupakan kesulitan tersendiri karena pelaksanaan hukum humaniter biasanya sangat tidak menjadi prioritas dalam agenda pemerintah berbagai negara. Menerapkan norma-norma yang berlaku dalam konflik bersenjata non-internasional bahkan lebih sulit dan dalam praktik hampir tidak pernah berpengaruh secara efisien, karena langkah-langkah implementasi semacam itu tidak hanya untuk mengatasi perilaku angkatan bersenjata pemerintah tetapi juga angkatan bersenjuata non-pemerintah (misalnya tentara pemberontak).11 Di satu sisi, implementasi HHI mensyaratkan kesiapan pemerintah untuk menerima potensi kemungkinan mereka yang terlibat dalam konflik bersenjata non- internasional –sebuah situasi yang hampir tak terbayangkan bertahun-tahun oleh pemerintah. Di sisi lain, hukum harus benar-benar mengatur perilaku anggota pasukan bersenjata non-pemerintah –dalam kapasitas mereka sebagai warga negara dari sebuah negara. Umumnya hukum humaniter diterapkan ke dalam hukum pidana dan hukum publik domestik dari suatu negara, yaitu dua wilayah hukum yang harus membuktikan efektivitas dan efisiensi mereka dalam keadaan konflik bersenjata non-internasional. Dengan demikian, pada hakekatnya implementasi HHI dibangun di atas landasan yang sangat lemah. Dengan beberapa pengecualian, implementasi dan penegakan HHI sering bersifat sukarela, dan tidak ada sarana yang wajib bagi penyelesaian sengketa atau untuk memastikan penegakan HHI. Sementara kewajiban yang dikenakan di bawah HHI, 10 Horst Fischer dan Avril McDonald (eds.), Yearbook of International Humanitarian Law (The Hague: TMC Asser Press, 2004), hal. 155. 11 Horst Fischer dan Avril McDonald (eds.), Ibid.
  • 27. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201724 ada beberapa sanksi yang dapat dikenakan pada suatu negara yang gagal mematuhi kewajiban mereka. Meskipun ada prospek yang tampaknya suram mengenai kepatuhan terhadap prinsip-prinsip HHI, negara-negara harus mencoba untuk memenuhi kewajiban mereka di bawah HHI. Hal ini dilakukan dengan cara mengambil langkah- langkah baik di masa damai maupun perang. Langkah-langkah untuk mengimplementasi HHI dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis, yaitu langkah-langkah preventif (preventive measures), langkah- langkah kepatuhan (compliance measures), langkah-langkah represif (repressive measures), dan langkah-langkah lainnya (other measures). Langkah-langkah preventif adalah sejumlah tindakan yang perlu dilakukan di masa damai (measures in time of peace). Langkah-langkah kepatuhan berupa sejumlah tindakan yang harus dilakukan di masa perang (measures in time of war), misalnya langkah-langkah yang harus dilakukan Protecting Power dan Protected State, serta tindakan-tindakan kemanusiaan oleh ICRC. Langkah-langkah represif adalah tindakan penegakan hukum (law enforcement measures), sejauh mana tanggung jawab negara dan sejauh mana tanggung individu. Sedangkan langkah-langkah lain diantaranya dibentuknya prosedur penyidikan yang baku, kerjasama dengan komisi internasional pencari fakta, kerjasama dengan Dewan Keamanan PBB, dan sebagainya. IMPLEMENTASI HHI DI MASA DAMAI Untuk memastikan bahwa HHI diterapkan dalam situasi konflik bersenjata, seluruh rentang mekanisme pelaksanaan yang diatur dalam HHI itu sendiri harus digunakan secara penuh, termasuk di masa damai. Bahkan, menurut Ajibade Oladapo, sebagian besar implementasi HHI sangat tergantung pada apa yang dilakukan negara- negara dan entitas lain di masa damai. Sifat dari perang atau konflik bersenjata biasanya menciptakan situasi dimana pihak-pihak yang berkonflik tiba-tiba menemukan dirinya dengan kekuatan tak terbatas. Godaan untuk menyalahgunaan kekuatan yang ada umumnya sulit ditolak, sehingga seperti yang secara tragis telah terbukti dalam banyak kesempatan, pada situasi seperti itu semua orang biasanya terlambat berbicara tentang norma-norma kemanusiaan. Itulah sebabnya, implementasi HHI harus sudah dioptimalkan pada waktu damai agar tidak terjadi situasi terlambat jika suatu saat terjadi perang atau konflik bersenjata. Pasal 1 Konvensi Jenewa menegaskan bahwa negara-negara penandatangan Konvensi berusaha untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi ini dalam segala situasi. Dalam masa damai, mengacu pada tugas untuk
  • 28. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 25 mematuhi hukum humaniter, negara-negara dapat menempuh langkah-langkah pencegahan (preventive measures). Langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan negara-negara diantaranya: (1) menerjemahkan teks-teks yang berkaitan dengan Konvensi Jenewa maupun Konvensi Den Haag; (2) menyebarkan pengetahuan tentang HHI; (3) melatih para personil yang qualified untuk memfasilitasi implementasi HHI, dan penunjukkan penasihat-penasihat hukum dalam angkatan bersenjata; (4) menerapkan legislasi dan ketentuan-ketentuan hukum untuk memastikan kepatuhan terhadap HHI.12 Dari berbagai langkah preventif yang dapat ditempuh negara-negara di masa damai tersebut, hampir semua pakar HHI sepakat bahwa mengintegrasikan norma- norma HHI ke dalam program-program legislasi nasional merupakan yang paling utama. Langkah-langkah nasional untuk menerapkan hukum kemanusiaan timbul dari jaminan yang diberikan oleh pihak negara-negara terhadap perjanjian hukum kemanusiaan, bahwa mereka bersedia menghormati perjanjian-perjanjian yang ada dan memastikan bahwa perjanjian-perjanjian itu dihormati. Tugas ini dibuat secara eksplisit dalam serangkaian ketentuan yang mewajibkan negara-negara untuk mengambil langkah-langkah implementasi tertentu. Selain itu, seperti semua perjanjian internasional, perjanjian hukum humaniter menuntut sejumlah langkah yang harus dimasukkan dalam undang-undang nasional, untuk kasus negara-negara yang belum melakukannya.13 Mengenai kewajiban negara-negara untuk menyebarluaskan dan memasukkan HHI ke dalam legislasi nasional mereka, diantaranya ditegaskan dalam Pasal 49, 50, 129, dan 145 Konvensi Jenewa IV. Secara garis besar, pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa para pihak penandatangan Konvensi berupaya untuk memberlakukan undang- undang apapun yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana yang efektif bagi setiap orang yang melakukan, atau memerintahkan untuk memiliki komitmen, setiap pelanggaran berat (the grave breaches) terhadap Konvensi ini. Dengan kata lain, implementasi HHI mensyaratkan tiga kewajiban utama bagi negara-negara, yaitu: (1) memberlakukan undang-undang domestik yang relevan; (2) menangkap mereka yang tersangka melanggar HHI; dan (3) mengadili tersangka tersebut.14 Kepatuhan terhadap norma-norma HHI hanya dapat diharapkan jika warga 12 ICRC, International Humanitarian Law: Answers to your Questions (Geneva: ICRC, 2002), hal. 27. 13 Toni Pfanner, “Various Mechanisms and Approaches for Implementing International Humanitarian Law and Protecting and Assisting War Victims”, dalam International Review of the Red Cross, Vol. 91 No. 874 (2009), hal. 279-329. 14 Ajibade Oladapo, loc. cit.
  • 29. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201726 sipil, anggota angkatan bersenjata, dan penguasa sudah familiar dengan isi HHI. Sesuai dengan Pasal 47 Konvensi Jenewa I, Pasal 48 Konvensi Jenewa II, Pasal 127 Konvensi Jenewa III, dan Pasal 144 Konvensi Jenewa IV, bahwa para pihak penandatangan Konvensi berjanji, dalam masa damai maupun masa perang, untuk menyebarkan teks Konvensi ini seluas mungkin di negara masing-masing dan memasukkan kajian mengenai teks tersebut (jika memungkinkan) dalam program-program pendidikan untuk warga sipil, sehingga prinsip-prinsip HHI menjadi semakin dikenal seluas mungkin kepada seluruh masyarakat sipil. Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan untuk itu misalnya melalui pengajaran HHI di universitas dan sekolah-sekolah, serta melalui program-program edukasi publik lainnya. Selain diseminasi dan sosialisasi kepada warga sipil, negara-negara juga harus memastikan bahwa instruksi mengenai masalah-masalah HHI diberikan kepada anggota angkatan bersenjata masing-masing. Ini termasuk pembuatan manual militer yang menguraikan hukum konflik bersenjata yang berlaku untuk negara itu; integrasi HHI ke dalam aturan-aturan terkait; dan penyediaan pelatihan reguler mengenai HHI bagi angkatan bersenjata. Instruksi tentang HHI juga harus disediakan untuk pasukan polisi (Brimob) dari suatu negara. Jika anggota angkatan bersenjata di seluruh dunia telah mengenal dan memahami prinsip-prinsip HHI dengan baik, niscaya apabila masih terjadi peperangan di masa depan norma-norma kemanusiaan yang ditegaskan dalam HHI dapat dilindungi. Dengan demikian, di masa damai terdapat berbagai saluran sipil dan militer untuk memastikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip HHI. Banyak negara telah melakukan program-program legislasi hukum humaniter (di Indonesia disatukan dengan hukum HAM), diseminasi aturan-aturan HHI, dan pelatihan-pelatihan serta instruksi-instruksi tentang HHI baik bagi anggota angkatan bersenjata maupun masyarakat sipil. IMPLEMENTASI HHI DI MASA PERANG Padamasaperang(intimeofwar),kebutuhanuntukmenghormatidanmenjamin penghormatan terhadap HHI merupakan hal terpenting. Prinsip ini dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Jenewa, bahwa para pihak dalam Konvensi ‘berusaha menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi ini dalam segala situasi’. Menurut prinsip ini, penghormatan terhadap HHI itu adalah tanggung jawab dari kedua negara yang terkena dampak, dan semua negara peserta Konvensi, untuk memastikan bahwa pelanggaran Konvensi dihentikan. Setiap negara yang terdampak oleh pelanggaran HHI
  • 30. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 27 dapat mengambil langkah-langkah yang diperbolehkan menurut hukum internasional pada umumnya, dan HHI khusus, untuk memastikan menghormati HHI. Dengan demikian, masalah kepatuhan terhadap norma-norma HHI secara umum menjadi tanggung jawab dari para pihak penandatangan Konvensi Jenewa dan secara khusus menjadi tanggung jawab negara-negara atau para pihak yang terlibat konflik bersenjata. Namun apabila para pihak dalam sebuah konflik bersenjata tidak dapat atau tidak berkehendak mengimplementasikan aturan-aturan HHI, menurut Gentian Zyberi, ada empat mekanisme atau cara-cara lain yang dapat dimanfaatkan untuk mengimplementasi aturan-aturan HHI di masa perang atau selama konflik bersenjata, yaitu: (1) apa yang dikenal dengan Protecting Powers; (2) mekanisme ICRC; (3) mekanisme-mekanisme internasional, khususnya PBB; dan (4) mekanisme- mekanisme lainnya.15 Mekanisme Protecting Powers banyak dianggap oleh para ahli HHI sebagai cara yang paling praktis untuk menjamin penghormatan terhadap aturan-aturan HHI. Konsep ini dipinjam dari hukum diplomatik internasional, yang pada prinsipnya mengatur bahwa setiap orang asing di luar negeri menikmati perlindungan diplomatik oleh negara mereka. Ketika perlindungan diplomatik tersebut tidak ada (misalnya karena hubungan diplomatik antara dua negara terputus akibat konflik diantara mereka), negara-negara dapat menunjuk pihak ketiga untuk bertindak sebagai kekuatan yang melindungi (Protecting Powers) terhadap warga negara mereka. Misalnya ketika Amerika Serikat dan Irak sedang terlibat dalam konflik bersenjata, Washington menunjuk Kanada sebagai Protecting Powers terhadap kepentingan dan warga negara AS yang masih berada di Irak. Negara ketiga yang telah ditunjuk sebagai Protecting Powers bekerja dan bertanggung jawab melindungi kepentingan negara dan warga negara dari negara yang menunjuknya. BAgi negara yang telah ditunjuk sebagai Protecting Powers harus setuju untuk bekerja sama sedemikian rupa. Dalam ketentuan HHI, Protecting Powers harus menjadi negara netral yang setuju menjaga kepentingan para pihak dalam konflik. Oleh karena Konvensi Jenewa mengandung banyak ketentuan yang memberikan referensi bagi Protecting Powers, termasuk tugas-tugas seperti kunjungan kepada orang-orang yang dilindungi dalam tahanan; pengawasan misi bantuan atau evakuasi; dan bantuan dalam proses peradilan terhadap orang yang dilindungi. Masalah Protecting Powers ini 15 Gentian Zyberi, “The Enforcement of International Humanitarian Law: Challenges and Achievements”, dalam http://www.uio.no/studier/emner/jus/jus/JUS5730/h12/undervisningsmateriale/ihl_enforcement_ uio_2012-3.pdf [Diakses 26 Januari 2017].
  • 31. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201728 diantaranya diatur dalam Pasal 8 Konvensi Jenewa I-III dan Pasal 9 Konvensi Jenewa IV, serta Pasal 5 Protokol Tambahan I, yang menyatakan bahwa “Konvensi ini harus diterapkan dengan kerjasama dan di bawah pengawasan dari Protecting Powers yang tugasnya adalah untuk melindungi kepentingan para pihak yang terlibat konflik.” Mekanisme kedua yang bisa dimanfaatkan untuk mengimplementasikan HHI di masa perang adalah pelibatan ICRC. Dalam hal ini ICRC dapat berfungsi sebagai pengganti Protecting Powers. Pasal 5 Protokol Tambahan I menyatakan bahwa jika Protecting Powers belum ditunjuk atau belum diterima, ICRC –tanpa mengurangi hak dari organisasi kemanusian imparsial lainnya untuk melakukan hal yang sama— dapat menawarkan jasa-jasa baik (good offices) kepada para pihak dalam konflik dengan tujuan untuk mencarikan sebuah negara sebagai Protecting Powers dimana para pihak dalam konflik menyetujuinya. Jika, tidak ada sebuah negara pun yang disepakati sebagai Protecting Powers oleh para pihak yang berkonflik, mereka harus menerima tawaran yang dibuat ICRC atau organisasi lainnya yang menawarkan jaminan imparsialitas untuk bertindak sebagai pengganti fungsi Protecting Powers.16 Namun fungsi sebagai pengganti ini tetap harus tunduk pada persetujuan para pihak yang berkonflik. Selain itu, setiap aktivitas yang dilakukan ICRC dalam rangka membantu pengimplementasian aturan-aturan HHI (termasuk sebagai pengganti Protecting Powers) harus selalu berbasis perjanjian dan statuta, mengedepankan prinsip netralitas dan kerahasiaan, lebih menonjolkan fungsi sebagai perantara (intermediary) dan bantuan kemanusiaan, serta senantiasa menjalankan kegiatan penelusuran, pencatatan, dan pengawasan terhadap orang-orang yang harus dilindungi (protected persons) dalam konflik bersenjata. Mengenai mekanisme-mekanisme internasional (khususnya mekanisme PBB), diantaranya secara implisit diatur dalam Pasal 1 Piagam PBB. Meskipun tidak dimaksudkan untuk mengatur perang dan mengimplementasikan HHI, tetapi Pasal 1 Piagam PBB mewajibkan kepada negara-negara untuk senantiasa memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan untuk tujuan ini melakukan tindakan- tindakan bersama yang efektif untuk mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman terhadap pelanggaran-pelanggaran perdamaian. Dengan demikian, PBB memiliki tanggung jawab untuk menegakkan aturan HHI, mengingat setiap pelanggaran terhadap HHI dalam konflik bersenjata berpotensi sebagai ancaman terhadap perdamaian universal. 16 Dieter Fleck dan Michael Bothe (eds.), The Handbook of Humanitarian Law in Armed Conflicts (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal. 545.
  • 32. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 29 Secara lebih spesifik, Pasal 42 Piagam PBB mengamanatkan kepada Dewan Keamanan (DK) PBB untuk dapat mengambil tindakan dengan menggunakan kekuatan (angkatan udara, laut dan darat) yang mungkin diperlukan guna memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional.17 Dibenarkannya penggunaan kekuatan (the use of force) adalah sebagai pilihan terakhir (last resort) apabila cara-cara lain tidak efektif untuk menegakkan aturan-aturan internasional. Cara-cara lain yang lebih dulu harus dioptimalkan dalam mekanisme PBB –sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Piagam PBB— diantaranya pemutusan hubungan ekonomi, termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegraf, radio, dan alat-alat komunikasi lainnya, serta pemutusan hubungan diplomatik. Selain Dewan Keamanan, organ PBB lainnya yang juga dapat mengambil bagian untuk pengimplementasian dan penegakan HHI adalah Majelis Umum (MU). Dalam Pasal 10 Piagam PBB, misalnya, dinyatakan bahwa MU PBB dapat membuat rekomendasi-rekomendasi kepada anggota-anggota PBB atau DK PBB atau keduanya mengenai segala masalah (sesuai bidang kompetensi PBB). MU PBB dapat mengeluarkan Resolusi yang secara khusus berkenaan dengan dugaan pelanggaran HHI maupun secara umum berkaitan dengan pelanggaran terhadap perdamaian internasional. MU PBB secara reguler juga mengingatkan para pihak dalam konflik bersenjata mengenai kewajiban mereka terhadap HHI. Sementara itu yang dimaksudkan dengan ‘mekanisme-mekanisme lain’ (other mechanisms) yang dapat ditempuh untuk mengimplementasikan dan menegakkan HHI diantaranya teknik-teknik negosiasi, mediasi, jasa-jasa baik, dan sebagainya oleh PBB maupun organisasi-organisasi regional atau internasional lainnya, atau melalui teknik- teknik kampanye media dan public relations yang dilakukan oleh organisasi-organisasi swadaya masyarakat (NGO). Cara lain untuk memastikan penghormatan terhadap HHI yang juga dapat dikategorikan ke dalam ‘mekanisme lain’ adalah pembentukan komisi pencari fakta internasional (international fact-finding commission). Komisi ini diciptakan berdasarkan Pasal 90 dari Protokol Tambahan I, dan secara resmi dibentuk pada tahun 1991. Komisi ini merupakan badan internasional yang bersifat tetap yang bertugas menyelidiki dugaan pelanggaran berat dan pelanggaran serius lainnya dari HHI.18 17 Secara lebih lengkap mengenai peran yang dapat dilakukan DK PBB dalam pengimplementasian aturan HHI diantaranya dapat dibaca dalam Vaughan Lowe et. al. (eds.), The United Nations Security Council and War: The Evolution of Thought and Practice since 1945 (Oxford: Oxford University Press, 2008). 18 Heike Spieker, “International (Humanitarian) Fact-Finding Commission”, dalam Frauke Lachenmann dan Rüdiger Wolfrum (eds.), The Law of Armed Conflict and The Use of Force: The Max Planck Encyclopedia of Public International Law (Oxford: Oxford University Press, 2017), hal. 505-514.
  • 33. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201730 Sebuah mekanisme yang juga dapat dimanfaatkan untuk memastikan penghormatan terhadap HHI adalah apa yang dikenal sebagai tindakan reprisals (pembalasan). Misalnya, negara A diserang oleh negara B, maka negara B dibenarkan untuk melakukan tindakan reprisals terhadap negara A. Sebagaimana diketahui, kejahatan agresi atau menyerang negara lain merupakan salah satu bentuk pelanggaran HHI dan negara yang diagresi berhak melakukan tindakan pembalasan. Namun, tindakan pembalasan dibatasi oleh prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, sebagai upaya terakhir (last resort) untuk memaksakan kepatuhan (compliance) dari pihak musuh (aggressor) terhadap standar HHI. Kedua, peringatan awal (prior warning) yang telah diberikan sebelumnya telah gagal menghentikan kejahatan yang dilakukan pihak musuh. Ketiga, ada tindakan pencegahan khusus (special precautions) sebelum melakukan tindakan pembalasan. Keempat, menerapkan prinsip proporsionalitas (principle of proportionality), dalam arti tindakan pembalasan tidak boleh melebihi tindakan yang melanggar HHI (agresi) yang menjadi preseden konflik bersenjata, dan tindakan reprisals harus berakhir segera setelah tindakan yang melanggar HHI dapat dihentikan.19 Namun demikian, kendati terdapat begitu banyak mekanisme untuk memastikan penghormatan (pengimplementasian dan penegakan) aturan-aturan HHI, cara yang paling efektif untuk memastikan aturan-aturan tersebut dapat diterapkan adalah terpulang kembali pada itikad baik dan kesukarelaan dari para pihak yang terlibat konflik itu sendiri. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa problematika atau kendala-kendala bagi pengimplementasian dan penegakan HHI lebih banyak terdapat pada negara-negara yang terlibat konflik itu sendiri. Tindakan pihak eksternal untuk memastikan penghormatan terhadap HHI dalam situasi konflik bersenjata antar negara, seringkali ditafsirkan sebagai tindakan mencampuri urusan dalam negeri dan kedaulatan negara lain. Sementara itu sistem hukum internasional masih didasarkan pada prinsip kesetaraan kedaulatan negara. Kendala lainnya yang sering dijumpai dalam upaya penegakan HHI dalam situasi konflik bersenjata adalah bahwa negara-negara cenderung enggan mengakui sebuah situasi telah memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai konflik bersenjata non-internasional. Hampir semua negara tidak mau mengakui faksi-faksi pemberontak bersenjata (armed insurgent factions) di dalam negerinya sebagai ‘pihak’ dalam konflik bersenjata tersebut, karena banyak pemerintah negara-negara tidak mau mengakui eksistensi kelompok pemberontak, atau duduk sederajat dalam sebuah perundingan 19 Gentian Zyberi, loc.cit.
  • 34. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 31 dengan kelompok pemberontak. Di sisi lain, kelompok pemberontak bersenjata biasanya juga tidak memiliki motivasi untuk menerapkan HHI, karena penghormatan terhadap HHI tidak dengan sendirinya mengubah status dan perlakuan terhadap mereka dalam hukum domestik negaranya.20 KESIMPULAN Meskipun hukum humaniter internasional (HHI) berlaku pada saat terjadi konflik bersenjata atau situasi pendudukan, tetapi implementasi prinsip-prinsip HHI sudah dapat dilakukan di masa damai (in time of peace). Bahkan sebagian besar implementasi HHI sangat tergantung pada apa yang dilakukan negara-negara dan entitas lain di masa damai. Dalam situasi damai, tidak ada problematika yang rumit dalam implementasian HHI. Mengacu pada tugas untuk mematuhi hukum humaniter, pada masa damai negara-negara hanya dituntut untuk menempuh langkah-langkah pencegahan (preventive measures), seperti menerjemahkan teks-teks yang berkaitan dengan HHI; menyebarkan pengetahuan tentang HHI; (3) melatih para personil yang qualified untuk memfasilitasi implementasi HHI dan penunjukkan penasihat- penasihat hukum dalam angkatan bersenjata; serta menerapkan legislasi dan ketentuan- ketentuan hukum untuk memastikan kepatuhan terhadap HHI. Problematika yang serius dalam pengimplementasian dan penegakan (enforcement) HHI baru terjadi pada masa perang atau konflik bersenjata. Barangkali HHI merupakan satu-satunya bagian dari hukum publik internasional yang paling rumit serta paling sulit diaplikasikan dalam masyarakat internasional. Berbeda dengan hukum publik internasional lainnya, untuk memastikan aturan-aturan HHI dapat diterapkan adalah terpulang kembali pada itikad baik dan kesukarelaan dari para pihak yang terlibat konflik itu sendiri. Problematika atau kendala-kendala bagi pengimplementasian dan penegakan HHI lebih banyak terdapat pada negara- negara yang terlibat konflik itu sendiri. Tindakan pihak eksternal untuk memastikan penghormatan terhadap HHI dalam situasi konflik bersenjata antar negara, seringkali ditafsirkan sebagai tindakan mencampuri urusan dalam negeri dan kedaulatan negara lain. 20 Anna Christer-Nilsson, “Problem in Implementing International Humanitarian Law in Non-International Armed Conflicts”, dalam http://lup.lub.lu.se/luur/download?func=downloadFile&recordOId=1554995&fil- eOId-1563512 [Diakses 30 Januari 2017].
  • 35. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201732 BIBLIOGRAFI Aksar, Yusuf, Implementing International Humanitarian Law: From the Ad HocTribunals to Permanent International Criminal Court (London: Routledge, 2004). Australian Red Cross, “What is International Humanitarian Law?”, dalam http://www. redcross.org.au/ihl-geneva-conventions.aspx [Diakses 14 Januari 2017]. Borda, Aldo Zammit, “Introduction to International Humanitarian Law”, dalam Commonwealth Law Bulletin, Vol. 34 No. 4 (2008), hal. 739-748. Bothe, Michael, Thomas Kurzidem and Peter MacAlister-Smith (eds.), National Implementation of International Humanitarian Law (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1990). Carey, John, William V. Dunlap and Robert John Pritchard (eds.), International Humanitarian Law: Prospects (New York: Transnational Publishers, Inc., 2006). Chadwick,Elizabeth,Self-Determination,Terrorism,andtheInternationalHumanitarian Law of Armed Conflict (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996). Chelimo, Gertrude C., “Defining Armed Conflict in International Humanitarian Law”, dalam INQUIRIES, Vol. 3 No. 4 (2011), hal. 1. Christer-Nilsson, Anna, “Problem in Implementing International Humanitarian Law in Non-International Armed Conflicts”, dalam http://lup.lub.lu.se/luur/ download?func=OId-1563512 [Diakses 30 Januari 2017]. Crawford, Emily and Alison Pert, International Humanitarian Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2015). Fischer ,Horst dan Avril McDonald (eds.), Yearbook of International Humanitarian Law (The Hague: TMC Asser Press, 2004). Fleck, Dieter dan Michael Bothe (eds.), The Handbook of International Humanitarian Law (Oxford: Oxford University Press, 2013). ICRC, “What is International Humanitarian Law?”, dalam https://www.icrc.org/eng/ assets/ [Diakses 13 Januari 2017]. ICRC, International Humanitarian Law: Answers to your Questions (Geneva: ICRC, 2002), hal. 27. Kalshoven, Frits (et al.), Implementation of International Humanitaran Law (Dordrecht:
  • 36. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 33 Martinus Nijhoff Publishers, 1989). Kalshoven, Frits and Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging of War: Introduction to International Humanitarian Law (Geneva: ICRC, 2001). Krieger, Heike and Jan Willms (eds.), Inducing Compliance with International Humanitarian Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2015). Lowe, Vaughan et. al. (eds.), The United Nations Security Council andWar: The Evolution of Thought and Practice since 1945 (Oxford: Oxford University Press, 2008). Mapuranga, Barbra, “Challenges and loopholes in the implementation and enforcement of international conventions and protocols on the vulnerable groups of human society”, dalam International Affairs and Global Strategy,Vol. 37 (2015), hal. 129-133. Maurice, Frederic, “Humanitarian Ambition”, dalam International Review of the Red Cross, Vol. 32 No. 289 (1992), hal. 363-372. Oladapo,Ajibade,“ImplementationofInternationalHumanitarianLawinPeaceTimes: Challenges and Procedures”, dalam https://www.academia.edu/6456063/ [Diakses 24 Januari 2017]. Pfanner, Toni, “Various Mechanisms and Approaches for Implementing International Humanitarian Law and Protecting and Assisting War Victims”, dalam International Review of the Red Cross, Vol. 91 No. 874 (2009), hal. 279-329. Provost, Rene, International Human Rigts and Humanitarian Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2004). Sepulveda, Cesar, “Interrelationships in the Implementation and Enforcement of International Humanitarian Law and Human Rights Law”, dalam The American University Law Review, Vol. 33 (1984), hal. 117-124. Solis, Gary D., The Law of Armed Conflict: International Humanitarian Law in War (Cambridge: Cambridge University Press, 2010). Thürer, Daniel, International Humanitarian Law: Theory, Practice, Context (The Hague: Hague academy of International Law, 2011). Zyberi, Gentian, “The Enforcement of International Humanitarian Law: Challenges and Achievements”, dalam http://www.uio.no/studier/emner/jus/jus/ JUS5730/h12/ [Diakses 26 Januari 2017].
  • 37. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201734 MASALAH LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL Oleh: Umar Suryadi Bakry Dosen FISIP-HI Universitas Jayabaya E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg ABSTRACT Global environmental issues are an important part of the study of International Relations (IR). There are many reasons as to why global environmental issues have found a place in the studies of international relations. Many view environmental issues as one directly related to human security. The environmental security approach to international relations emphasizes that the ecological crisis we face is also a threat to national security. Environmental degradation is perceived to be as a serious threat to human societies as the traditional military threat. Therefore, in the last three decades various efforts and global cooperation is done to reduce the impact of environmental threats on humanity. This article is intended to discuss why environmental issues are categorized as one of the contemporary global issues and how the studi of IR view the problem. The writing begins with a discussion of the understanding and scope of contemporary global issues, followed by a review of the environment as a global issue, global efforts to address environmental issues, and concludes with a review of three mainstream theories in the study IR (realism, liberalism and constructivism) on global environmental issues. Keywords: environmental issues, global issues, International Relations, realism, liberalism, constructivism. ABSTRAK Isu-isu lingkungan global merupakan bagian penting dari studi Hubungan Internasional (HI). Ada banyak alasan mengapa isu lingkungan global mendapatkan tempat yang signifikan dalam studi hubungan internasional. Banyak ahli memandang isu lingkungan sebagai salah satu yang berkaitan langsung dengan keamanan manusia. Pendekatan keamanan lingkungan terhadap hubungan internasional menekankan bahwa krisis ekologis yang kita hadapi juga merupakan ancaman bagi keamanan nasional. Degradasi lingkungan dianggap sebagai ancaman serius bagi masyarakat manusia sebagaimana ancaman militer tradisional. Karena itu, dalam tiga dekade terakhir berbagai upaya dan kerja sama global dilakukan untuk mengurangi dampak ancaman lingkungan terhadap kemanusiaan. Artikel ini dimaksudkan untuk membahas mengapa isu lingkungan dikategorikan sebagai salah satu isu global kontemporer dan bagaimana pandangan studi HI melihat masalah tersebut. Tulisan ini diawali dengan diskusi tentang pemahaman dan cakupan isu global kontemporer, dilanjutkan dengan ulasan mengenai lingkungan sebagai isu global, upaya-upaya global untuk mengatasi masalah lingkungan, dan diakhiri dengan tinjauan dari tiga teori arus utama dalam studi HI (realisme, liberalisme dan konstruktivisme) terhadap isu-isu lingkungan global. Kata kunci: isu lingkungan, masalah global, Hubungan Internasional, realisme, liberalisme, konstruktivisme.
  • 38. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 35 PENDAHULUAN MASALAH lingkungan (environmental issue) merupakan salah salah isu yang mewarnai studi Hubungan Internasional (HI) pasca Perang Dingin. Hampir semua buku teks HI yang terbit setelah Perang Dingin berakhir memasukkan isu lingkungan sebagai salah satu pokok bahasan tersendiri. Hampir semua sarjana HI tampaknya telah sepakat bahwa isu lingkungan merupakan salah satu masalah global kontemporer yang perlu mendapatkan perhatian tersendiri dari studi HI. Para pengambil keputusan masalah-masalah global juga menyadari bahwa ancaman lingkungan dalam tiga dekade terakhir telah menjadi salah satu masalah bersama (common issue) dan menjadi salah satu agenda utama politik global. Banyak buku teks HI menganalisis keterkaitan antara studi hubungan internasional (International Relations) dengan masalah lingkungan (environment). Keith O’Neill, misalnya, dalam bukunya berjudul The Environment and International Relations, mengulas berbagai teori dalam studi HI yang dapat digunakan untuk menganalisis dan menangani masalah-masalah lingkungan global. John Vogler dan Mark Imber, dalam karyanya bertitel The Environment and International Relations, juga menganalisis signifikansi berbagai pendekatan teoritis yang berkembang dlam studi HI dengan perubahan lingkungan global. Bahkan Loren Cass dalam bukunya Global Environmental Politics berupaya menempatkan politik lingkungan global sebagai salah satu bidang kajian studi HI. Artikel ini dimaksudkan untuk membahas mengapa masalah lingkungan dikategorikan sebagai salah satu isu global kontemporer (contemporary global issue) dan bagaimana studi HI memandang masalah tersebut. Tulisan dimulai dari pembahasan tentang pengertian dan ruang lingkup isu global kontemporer, dilanjutkan dengan ulasan tentang lingkungan sebagai isu global, upaya-upaya global dalam menangani isu lingkungan, dan ditutup dengan perspektif sejumlah paradigma (teori) dalam studi HI mengenai masalah lingkungan global. ISU GLOBAL KONTEMPORER SEBUAH masalah atau isu global dideskripsikan sebagai setiap masalah yang sudah terjadi atau dapat terjadi dari perubahan di tingkat global atau globalisasi. Kristen Hite dan John Seitz mengatakan bahwa secara kualitatif masalah-masalah global (global issues) berbeda dengan masalah-masalah internasional (international affairs). Masalah- masalah global muncul dari berkembangnya interdependensi (saling ketergantungan)
  • 39. VOLUME 07 NOMOR 01 – 201736 internasional yang membuat masalah-masalah itu sendiri saling tergantung.1 Sedangkan masalah-masalah internasional adalah peristiwa-peristiwa atau aktivitas-aktivitas yang melibatkan pemerintah, ekonomi, politik, dan lain-lain dari berbagai negara. Menurut Gilda Wheeler, kajian tentang masalah-masalah global adalah relatif baru dan belum ada kesepakatan diantara para ilmuwan mengenai bagaimana mendefinisikan istilah tersebut. Masalah-masalah global adalah hal-hal yang memiliki (atau memiliki potensi) pengaruh yang jauh jangkauannya terhadap banyak orang. Masalah-masalah global bersifat trans-nasional atau lintas-batas, dan berada di luar kemampuan sebuah negara untuk menyelesaikannya. Masalah-masalah global juga saling terhubung (interconnected), yang berarti bahwa setiap perubahan yang terjadi di suatu tempat (apakah baik atau buruk) memberi tekanan bagi perubahan di tempat- tempat lain.2 Sebab itu, masalah-masalah global tidak dapat diselesaikan dengan solusi sederhana, misalnya dengan menegakkan aturan hukum atau politik semata. Masalah- masalah global juga tidak akan dapat diatasi secara independen (terpisah) satu sama lain, atau ditangani oleh sebuah negara tertentu saja. Solusi yang tepat terhadap masalah- masalah global memerlukan upaya-upaya dan pemikiran-pemikiran internasional yang berskala global. Masalah dunia apa saja yang harus dianggap sebagai masalah global kontemporer? Charlotte Bretherton mengkategorikan masalah-masalah yang menjadi agenda dalam sistem politik global ke dalam tiga kelompok. Pertama, masalah-masalah yang secara tradisional dianggap sebagai tanggung jawab masing-masing negara, karena terkait dengan kedaulatan negara, namun sekarang dianggap sebagai obyek dari tanggung jawab global. Masalah HAM dan stabilitas rezim domestik termasuk dalam kategori ini, bersama-sama dengan masalah-masalah tradisional keamanan negara. Kedua, masalah-masalah yang melampaui batas-batas negara dan menjadi obyek kerjasama internasional. Banyak masalah dalam sistem global kontemporer, seperti masalah penyelamatan lingkungan, pengendalian penyakit menular, perang melawan kejahatan transnasional, termasuk dalam kategori ini. Ketiga, masalah-masalah yang di luar kapasitas masing-masing negara untuk menanganinya dan hanya bisa dikelola dengan memberikan kompetensi pembuatan kebijakan pada lembaga-lembaga dalam sistem global. Masalah-masalah yang disebabkan oleh migrasi untuk alasan politik dan ekonomi, pengurangan kesenjangan yang terjadi dalam ekonomi dunia, masalah 1 Kristen A. Hite dan John L. Seitz, Global Issues: An Introduction (Oxford: John Wiley & Sons Ltd., 2016). 2 Gilda Wheeler, “Global Issues – Global Opportunities: Population, Poverty, Consumption, Conflict, and the Environment”, dalam http://clearingmagazine.org/archives/979 [Diakses 7 November 2016].
  • 40. VOLUME 07 NOMOR 01 – 2017 37 keterbelakangan ekonomi, dan kemiskinan, termasuk dalam kategori ini.3 MohamedGalalmenyebutkandelapankecenderunganataumasalahglobalyang akan mewarnai hubungan internasional abad ke-21, yaitu: (1) semakin meningkatnya peran perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) dengan kekuatan finansial dan aktivitas lintas-batas mereka; (2) semakin menguatnya peran jaringan organisasi- organisasi non-pemerintah (NGO), khususnya dalam misi-misi kemanusian, hak azasi manusia (HAM), perlucutan senjata, dan lingkungan hidup; (3) masalah pengungsi dan dampaknya terhadap stabilitas dan keamanan regional maupun internasional; (4) masalah narkoba dan dampaknya terhadap keterlibatan negara-negara dalam produksi, transit, dan konsumsi; (5) masalah utang dan dampaknya terhadap ekonomi dunia; (6) masalah-masalah HAM; (7) masalah-masalah lingkungan hidup, termasuk di dalamnya isu perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan krisis pangan; dan (8) masalah terorisme internasional dan implikasinya yang melintasi batas-batas politik.4 Menurut Zofia Dach, masalah global kontemporer adalah sebuah isu yang tengah menjadi keprihatinan global, dan karakter global dari masalah tersebut muncul sebagai dampak dari kemajuan ekonomi dan peradaban yang sangat cepat yang terjadi pada abad ke-20. Kebanyakan dari masalah tersebut berasal dari premis-premis yang sama, saling terkait, dan memiliki karakteristik yang sama.5 Hampir semua ahli HI menyebut masalah ancaman lingkungan (environmental threats) sebagai masalah global kontemporer. Sedangkan Dach sendiri menyebutkan beberapa isu yang dapat dikategorikan sebagai (atau terkait dengan) masalah lingkungan, diantaranya masalah kelebihan penduduk (overpopulation), pencemaran lingkungan (pollution), pembabatan hutan (deforestation), penurunan kualitas dan kuantitas lahan pertanian dan sumber daya alam, dan perubahan iklim (climate change). Sedangkan selain lingkungan, isu lain yang dikategorikan Dach sebagai masalah global adalah wabah penyakit (epidemics), kelaparan (famines), kejahatan tingkat tinggi (high crime rates), terorisme, narkoba, dan sebagainya. 3 Charlotte Bretherton sebagaimana dikutip Fulvio Attina, “International Relations and Contemporary World Issues”, dalam Jarrod Wiener dan Robert A. Schrire (eds.), International Relations (Oxford, UK: EOLSS Pub- lishers Co. Ltd., 2009), hlm. 55-56. 4 Mohamed Noman Galal, “Cultural Misunderstanding and the Need to Promote Consensus in International Relations: An Arab Perspective”, dalam Yu Xintian (ed.), Cultural Factors in International Relations (Shanghai: Shanghai Institute of International Studies, 2004), hlm. 169-170. 5 Zofia Dach, “Global Problems of the Contemporary World”, dalam http://www.krakow.pte.pl/pliki/zn-pte- nr-1/01 [Diakses 9 November 2016].