SlideShare a Scribd company logo
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 i
ALTERNATIFJURNAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
Pelindung:
Ketua Yayasan Jayabaya
Pembina:
Rektor Universitas Jayabaya
Prof. H. Amir Santoso, Ph.D
Penanggung Jawab:
Dekan FISIP Univ. Jayabaya
Drs. Erwin Zein, M.Si
Pemimpin Umum/
Pemimpin Redaksi:
Dr. Umar S. Bakry
Mitra Bestari:
Prof. Dr. Arry Bainus, MA
Prof. Yanyan M. Yani, Ph.D
Prof. Bob S. Hadiwinata, Ph.D
Prof. Suke Djelantik, Ph.D
Musafir Kelana, Ph.D
Redaktur Pelaksana:
Drs. Denny Ramdhany, M.Si
Sekretaris Redaksi:
Iin Sofyan, SE, MM
Dewan Editor:
Drs. Saiful Syam, MA, Ph.D
Dra. Siti Hajar, M.Si, Ph.D
Drs. Subarno, M.Hum
Dra. Ambarwati, M.Si
Drs. Mansyur Kardi, M.Si
Sinta Julina, S.Sos, M.Si
Alamat Redaksi:
FISIP-HI Universitas Jayabaya
Jl. Pulomas Selatan Kav. 23
Jakarta Timur 13210
Telp/Fax: 021-4700903
HP 08111755379/0818718570
E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg
ISSN: 2087 – 7048
VOLUME 06 NOMOR 01 – 2016
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI
(Hal. ii)
STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
MADZAB CHINA: ALIRAN PEMIKIRAN
ALTERNATIF
(Hal. 1 – 15)
PEMIKIRAN GEOPOLITIK PASCA PERIODE
PERANG DINGIN
(Hal. 16 – 32)
MENYIMAK PERGESERAN NATIONAL
SECURITY KE HUMAN SECURITY DALAM ERA
GLOBAL KONTEMPORER
(Hal. 33 – 50)
ANALISIS JARINGAN DALAM KOMUNIKASI
INTERNASIONAL
(Hal. 51 – 66)
KERJASAMA KEAMANAN ASEAN:
PERSPEKTIF KONSTRUKTIVIS
(Hal. 67 – 78)
PEDOMAN PENULISAN
(Hal. 79-80)
ALTERNATIF adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan
oleh Pogram Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP
Universitas Jayabaya. Jurnal ini terutama ditujukan
untuk menampung hasil-hasil penelitian dan pemikiran-
pemikiranalternatifdalamIlmuHubunganInternasional.
Jurnal ini terbuka untuk seluruh komunitas studi HI dan
peminat masalah-masalah internasional. Jurnal terbit
dua kali (dua volume) dalam setahun.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016ii
PENGANTAR REDAKSI
Hubungan internasional pasca Perang Dingin (Cold War) mengalami
perubahan sangat fundamental dalam berbagai aspek. Dalam lingkup teori, setelah
berakhirnya struktur bipolarTimur-Barat, berbagai teori baru muncul sebagai alternatif
maupun kritik terhadap teori-teori arus utama (mainstream theories) yang berkembang
sejak kelahiran studi HI pasca Perang Dunia I. Dalam lingkup fenomena, sejak awal
dasawarsa 1990-an muncul berbagai perkembangan dalam masyarakat dunia, yang
membuat tema-tema lama yang mendominasi studi HI selama periode Perang Dingin,
mulai ditinggalkan.
Sebagai bentuk pertanggung jawaban akademik atas berbagai perubahan
tersebut, Jurnal Ilmu Hubungan Internasional ALTERNATIF akan senantiasa
hadir dengan tulisan-tulisan yang memberikan penekanan pada adanya perubahan-
perubahan tersebut. Dalam edisi kali ini, seluruh tulisan yang dimuat dalam jurnal
ini berorientasi pada perubahan (changes) yang terjadi dalam pentas hubungan
internasional yang pada akhirnya berimplikasi pada studi HI. Tulisan pertama karya
Umar Suryadi Bakry membahas munculnya madzab China (Chinese School) sebagai
pemikiran alternatif dalam studi HI yang mulai menyedot perhatian dari komunitas
HI di Eropa dan Amerika.
Tulisan kedua karya Chairul Ansari Pane mengulas tentang perubahan atau
evolusi pemikiran dalam geopolitik, terutama setelah berakhirnya Perang Dingin.
Selain tentang perubahan konsepsi mengenai ruang (space) dalam geopolitik, tulisan ini
juga mengulas perubahan geopolitik Amerika Serikat dan Rusia pasca Perang Dingin.
Tulisan ketiga karya Denny Ramdhany juga mengelaborasi pergeseran paradigma
tentang keamanan dunia, yakni dari orientasi keamanan nasional (national security)
ke keamanan manusia (human security). Tulisan keempat karya Gema Nusantara
Bakry mencoba mengintrodusir analisis jaringan (network analysis) dalam studi HI,
khususnya dalam komunikasi internasional. Sedangkan tulisan terakhir karya Jordan
Rabin Dongoran membedah isu kerjasama keamanan ASEAN dengan menggunakan
perspektif konstruktivis.
Semoga seluruh artikel yang kami sajikan dalam edisi kali ini bermanfaat bagi
komunitas studi HI. Selamat membaca!
• Redaksi
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 1
STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL MADZAB CHINA:
ALIRAN PEMIKIRAN ALTERNATIF
Oleh: Umar Suryadi Bakry
Dosen FISIP-HI Universitas Jayabaya
E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg
ABSTRACT
Since its inception after World War I, the study of International Relations (IR) is synony-
mous with the American social science. As pointed out by Stanley Hoffman that IR still an American
social science. Ole Waever also emphasize that an American hegemony exists and that it influences
the theoretical profile of the discipline of IR. However, over the last three decades, a multiplicity of
different approaches, theories, or school of though which attempt to explain the way in which actors
interact or international events has appeared. One of these different approaches or alternatives is
Chinese School. This paper investigates all about the Chinese School of International Relations,
including: the origins of an emergence of a Chinese School of IR, the meaning and the the nature of
the Chinese School of IR, the relevance of the Chinese School to contemporary international relations
problems, etc. In this paper, the authors refer to Zhao Tingyang’s opinion that Tianxia or the Chi-
nese theory of All-under-Heaven is the best philosophy for the world governance. Tianxia is a more
appropriate ‘world theory’ than ‘international theory’ in dealing with world problems.
Key Words: Tianxia, All-under-Heaven, Chinese School, world theory, international theory.
ABSTRAK
Sejak kelahirannya setelah Perang Dunia I, studi Hubungan Internasional (HI) adalah
identik dengan ilmu sosial Amerika. Seperti ditunjukkan oleh Stanley Hoffman bahwa studi HI
masih merupakan ilmu sosial Amerika. Ole Waever juga menegaskan bahwa hegemoni Amerika
memang ada dan bahwa hegemoni itu mempengaruhi profil teoritis dari disiplin HI. Namun, sela-
ma tiga dekade terakhir, banyak pendekatan, teori, atau aliran pemikiran yang berbeda, mencoba
untuk menjelaskan cara di mana aktor-aktor berinteraksi atau peristiwa-peristiwa internasional
yang terjadi. Salah satu pendekatan atau alternatif yang berbeda tersebut adalah ‘madzab China’.
Makalah ini membahas semua hal tentang Studi HI madzab China, termasuk: asal-usul dari
munculnya studi HI madzab China, makna dan hakikat dari studi HI madzab China, relevansi
madzab China untuk masalah-masalah hubungan internasional kontemporer, dan sebagainya.
Dalam tulisan ini, penulis merujuk pada pendapat Zhao Tingyang bahwa Tianxia atau teori
China tentang All-under-Heaven adalah filosofi terbaik untuk pemerintahan dunia. Tianxia lebih
tepat disebut sebagai ‘teori dunia’ daripada ‘teori internasional’ untuk menangani masalah-mas-
alah dunia.
Kata Kunci: Tianxia, All-Under-Heaven, madzab China, teori dunia, teori internasional.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 20162
PENDAHULUAN
MESKIPUN secara formal studi Hubungan Internasional (selanjutnya
disingkat studi HI) sebagai disiplin akademis lahir di Inggris, dalam perkembangannya
kemudian studi HI identik dengan ilmu sosial khas Amerika. Artinya, studi HI yang
kita kenal selama ini dan dipelajari di hampir semua universitas di seluruh dunia
(termasuk di Indonesia), identik dengan studi HI yang berkembang di Amerika
atau yang didominasi pemikiran-pemikiran Amerika. Menurut Stanley Hoffmann,
hampir semua pemikiran besar mengenai HI yang muncul di Eropa (baik mengenai
demokrasi, perang, diplomasi, kebijakan luar negeri, dan strategi militer maupun dalam
metode-metode penelitian) terinspirasi oleh pemikiran dan tradisi Amerika. Bahkan,
pemikiran-pemikiran Amerika mengenai hubungan internasional telah menjadi acuan
bagi lahirnya pemikiran-pemikiran dan kajian-kajian HI di seluruh dunia. Bapak
pendiri (the founding father), atau banyak orang menyebut “nabi” dari studi HI itu
sendiri berasal dari Amerika (Hans Morgenthau).
Stanley Hoffmann, dalam artikelnya yang dimuat di jurnal Daedalus (1977),
menegaskan bahwa studi HI merupakan ilmu sosial Amerika.1
Pernyataan yang sangat
‘provokatif’ dari Hoffmann ini kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh sedikitnya
empat orang sarjana HI, Miles Kahler (1993), Steve Smith (2000), Robert Crawford
dan Darryl Jarvis (2001), dan Stephen Walt (2011). Keempat pakar ini secara substansi
sepakat dengan pernyataan Hoffmann bahwa studi HI masih merupakan ilmu sosial
Amerika(InternationalRelationsstillanAmericansocialscience).SedangkanKaleviHolsti
(1987) secara agak santun dan tidak egois menyatakan bahwa studi HI merupakan
disiplin yang dikuasi bersama oleh Amerika dan Inggris (International Relations as an
Anglo-American condominium).2
Sementara itu Alfred Grosser sejak 1950-an secara lebih provokatif sudah
menyatakan bahwa studi HI telah menjadi spesialitas Amerika (American specialty). Ole
Waever juga menyimpulkan bahwa studi HI is not international discipline, melainkan
produk dari hegemoni Amerika. Ia memprediksikan bahwa hegemoni Amerika dalam
disiplin akademis HI masih akan terus berlanjut di masa depan sepanjang negara itu
masih memegang hegemoni dalam hubungan internasional.3
Dalam bahasa yang
1	 Stanley Hoffmann, “An American Social Science: International Relations”, dalam Daedalus, Vol. 106 No. 3
(1977), pp. 41-60.
2	 Kalevi J. Holsti, The Dividing Discipline: Hegemony and Diversity in International Theory (Boston: Allan and
Unwin Publishing, 1987).
3	 Ole Waever, “The Sociology of a Not So International Discipline: American and European Developments in
International Relations”, dalam International Organization, Vol 52 No. 4 (1998), pp. 687-727.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 3
hampirsama,RobertCrawforddanDarrylJarvismenyatakanbahwastudiHIhidupdan
berkembang di bawah hegemoni Amerika dan ini cenderung akan bertahan. Sedangkan
Steve Smith dalam tulisannya berjudul “The discipline of International Relations: still
an American social science?”, menyatakan bahwa studi HI masih dianggap sebagai ilmu
sosial Amerika karena dari hegemoni Amerika Serikat yang menjadi kekuatan dunia
baik dalam politik internasional maupun ekonomi internasional.4
Dengan kata lain,
status sebagai hegemon telah memungkinkan Amerika melakukan hegemoni dalam
ilmu pengetahuan. Dalam artikelnya berjudul “The United States and the Discipline
of International Relations: Hegemonic Country, Hegemonic Discipline”, Smith
mengatakan studi tentang hubungan internasional didominasi oleh civitas akademika
Amerika dalam banyak cara yang sama seperti negara itu mendominasi politik dunia.
Studi HI madzab Amerika telah mendominasi pembelajaran studi HI di
seluruh dunia sejak awal dekade 1920-an hingga saat ini. Dengan kata lain, studi HI
yang selama ini dipelajari oleh mahasiswa HI di seluruh dunia itulah madzab Amerika.
Menurut sejumlah pakar, dua teori atau aliran pemikiran dalam studi HI yang
identik dengan worldview orang Amerika mengenai hubungan internasional adalah
liberalisme (dengan segala variannya) dan realisme (dengan berbagai bentuknya). Dua
teori inilah yang mendominasi pengajaran tentang teori-teori HI sejak kelahiran studi
HI 1919 hingga saat ini. Politik luar negeri Amerika Serikat sendiri selama ini juga
senantiasa dibentuk atau diinspirasi berdasarkan teori-teori realisme dan liberalisme.
Secara demikian dapat dikatakan bahwa studi HI ciri khas Amerika (American-style
International Relations) adalah realisme dan liberalisme.5
Sejumlah sarjana Amerika
yang pemikiran-pemikirannya mengenai realisme banyak mewarnai pembelajaran
studi HI di seluruh dunia diantaranya Hans Morgenthau, George Kennan, Nicholas
Spykman, Herman Kahn, Edward Carr, Robert Jervis, Kenneth Waltz, Stephen Waltz,
Robert Gilpin, John Mearsheimer, Robert Art dan sebagainya. Sedangkan sarjana
Amerika yang karya-karyanya mengenai liberalisme banyak menjadi acuan di berbagai
negara adalah Woodrow Wilson, Michael Dole, Robert Keohane, Joseph Nye, Andrew
Moravcsik, Jack Snyder, dan masih banyak lagi.
Kendati demikian, sejak Perang Dingin (the Cold Ward) berakhir, dalam
komunitas studi HI mulai berkembang banyak inisiatif untuk keluar dari hegemoni
studi HI Amerika yang telah terbukti gagal mengkalkulasi beberapa peristiwa besar
4	 Steve Smith, “The discipline of International Relations: still an American social science?”, dalam The British
Journal of Politics & International Relations”, Vol. 2 No. 3 (2000), pp. 374-402.
5	 Lihat tulisan G. John Ikenberry, “Liberalism in a Realist World: International Relations as a Scholarly Amer-
ican Tradition”, dalam International Studies, Vol. 56 No. 1 & 2 (2009), hal. 203-219.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 20164
dalam politik dunia. Pasca Perang Dingin mulai muncul banyak pemikiran alternatif
untuk mengimbangi studi HI khas Amerika. Melalui literatur studi HI yang terbit
mulai dekade 1990-an, kita mulai akrab dengan istilah-istilah seperti madzab Inggris
(English School), madzab Kopenhagen (Copenhagen School), madzab Frankfurt
(Frankfurt School), madzab Perancis (France School), dan sebagainya. Selain itu, juga
ada sejumlah upaya di kalangan sejumlah sarjana HI untuk tidak terlalu tergantung
pada teori-teori HI Barat (Amerika dan Eropa), sebagaimana upaya-upaya yang
dipelopori Arlene Tickner (Universidad de Los Andes, Bogota, Kolombia). Salah satu
‘gerakan’ untuk melahirkan pemikiran alternatif tentang HI yang keluar dari madzab
HI Barat (Amerika dan Eropa) adalah usaha untuk melahirkan studi HI khas China
(yang kemudian dikenal dengan Chinese School of International Relations).
MADZAB CHINA (CHINESE SCHOOL)
Asal-usul madzab China dapat ditemukan dalam diskusi tentang perkembangan
studi HI dan teori HI yang terjadi di China sekitar akhir dekade-1980-an. Sejak saat
itu di China seering terjadi perdebatan di kalangan komunitas HI mengenai ‘apakah
China sebenarnya mempunyai teori HI atau tidak’ atau ‘bagaimana membangun teori
HI China’. Beberapa sarjana menganjurkan membangun ‘teori HI dengan karakteristik
China’ (International Relations theory with Chinese Characteristics) atau teori-teori HI
madzab China (Chinese School of International Relations Theory).6
Ide-ide yang hingga
kini menimbulkan polemik (tidak saja di China tapi juga di Eropa dan Amerika)
terinspirasi oleh gagasan besar Deng Xiaoping yang ingin membangun ‘sosialisme
dengan karakteristik China’ (You zhongguo tese de shehui zuyi) pada awal dasawarsa
1980-an.
Perdebatan mengenai studi HI madzab China bermula pada 1986, ketika
Wang Jianwei, Lin Zhimin, dan Zhao Yuliang menerbitkan sebuah paper berjudul
‘Nuli chuangian woguo ziji de guoji guanxi lilun tixi’ (melakukan upaya untuk
membangun teori HI China). Tak lama setelah itu (1987) disusul sebuah seminar yang
diselenggarakan di Shanghai yang membahas topik ‘membangun teori HI dengan
karakteristik China’. Saat itu banyak sarjana HI di China (seperti Huan Xiang, Li
Shisheng, dan lain-lain) mengungkapkan pandangannya mengenai topik tersebut.
Seminar ini dapat dianggap sebagai diskusi awal yang resmi tentang ‘teori HI dengan
6	 Wang Jiangli dan Barry Buzan, “The english and Chinese School of International Relations: Comparisons and
Lessons”, dalam Chinese Journal of International Politics, Vol. 0 No. 0 (2014), hal. 1-46.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 5
karakteristik China’. Pada awal 1990-an, Liang Shoude dan beberapa ilmuwan HI
lainnya menindaklanjuti pembahasan ‘teori HI dengan karakteristik China’ dengan
menerbitkan beberapa tulisan yang dimuat di berbagai jurnal ilmiah di China.
Sementara istilah ‘studi HI madzab China’ (Guójì guānxì xuéyuàn zhōngguó) itu sendiri
pertama kali diluncurkan oleh Zhang Minqian pada 1991.
Setelah dilansir oleh Zhang Minqian, terminologi madzab China terus meluas
dan menjadi diskusi hangat di lingkungan komunitas studi HI dalam dua dekade
ini. Mei Ran, misalnya, melalui analisis dan perbandingan dengan teori HI Amerika,
menekankan nilai teoritis dan implikasi praktis dari pembuatan madzab China.7
Ren
Xiao, Qin Yaqing, dan Wang Yiwei juga mencatatkan diri sebagai promotor dan
penganjur provokatif tentang madzab China. Qin Yaqing secara khusus membuat
studi yang paling sistematis, baik mengenai kemungkinan maupun kebutuhan akan
‘studi HI madzab China’. Sarjana HI di China yang juga mempunyai kontribusi dalam
upaya membangun studi HI madzab China melalui karya-karya ilmiah diantaranya
Zhao Tingyang, Zhang Feng, Liu Yongtao, Yan Xuetong, Feng Tejun, Fu Yaozu, Su
Changhe, Ren Xiao, dan masih banyak lagi.
Hingga kini madzab China sebagai sebuah aliran pemikiran memang belum
mendapat pengakuan formal di kalangan komunitas HI, seperti halnya madzab Inggris
atau madzab Frankfurt. Namun seiiring dengan bangkitnya China sebagai kekuatan
dunia (world power) wacana mengenai madzab China dalam studi HI mulai menjadi
topik utama dalam sejumlah buku dan jurnal tentang hubungan internasional di seluruh
dunia. Meskipun telah terjadi perubahan nama dari ‘teori HI dengan karakteristik
China’ menjadi ‘studi HI madzab China’, titik awal dan tujuannya tetap tidak berubah,
yaitu untuk membangun teori HI China yang berbeda dengan teori-teori HI yang
pernah ada sebelumnya. Setidaknya para ilmuwan HI di China ingin memberi sebuah
alternatif bagi teori-teori HI arus utama (mainstream International Relations theory)
yang didominasi oleh pemikiran Amerika dan Eropa.
Seperti halnya madzab Inggris dan madzab-madzab alternatif lainnya, gagasan
di balik madzab China adalah untuk menggugat hegemoni teori HI Amerika dan
membangun teori HI China yang mampu berdiri sejajar dengan teori-teori HI arus
utama. Pada saat yang sama studi HI China perlu membangun kemerdekaannya dari
dominasi negara dan ideologi, dengan memberikan prioritas pada metodologi ilmiah.
Hanya dengan dasar ilmiah yang dapat diandalkan, komunitas HI di China dapat
7	 Mei Ran, “Should There Be A Chinese School of IR Theories –Concurrently on American Theories”, dalam
International Politics Quaterly, No. 1 (2000), hal. 63-67.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 20166
memberikan dasar teoritis bagi kebijakan luar negeri dan praktik diplomatik negara
tersebut. Menurut Ren Xiao, perdebatan mengenai madzab China sebagian didorong
olehkeinginanuntuk“melarikandiri”darihubunganyangeratdengankebijakannegara
yang berlaku sebelum 1990-an. Sedangkan menurut Zhang Xiaoming, keberhasilan
reformasi dan politik pintu terbuka China telah menjadi sumber inspirasi bagi para
sarjana HI China untuk menghasilkan teori HI asli China. Dengan bangkitnya
kekuatan komprehensif China, para sarjana HI China berfikir bahwa cepat atau lambat
negara itu akan memanfaatkan potensi bagi muncul dan berkembangnya teori-teori
HI dengan karakteristik China.8
QinYaqingsendiritidakmenyebutChineseSchoolsebagaisebuahkontribusibagi
studi HI, melainkan lebih sebagai sebuah alternatif dalam studi HI. Qin menyatakan
bahwa bangsa China sebenarnya mempunyai sebuah konsep sebagaimana dengan
konsep international society yang dipopulerkan oleh madzab Inggris, yaitu Tianxia (天
下) yang dalam bahasa Inggris berarti All-under-Heaven. Ia mengawali pemikirannya
dengan menyatakan bahwa setiap negara memiliki teori nasional atau ide besar
masing-masing mengenai hubungan internasional. Misalnya Amerika mempunyai
teori perdamaian demokratis, Inggris mempunyai teori ‘masyarakat internasional’,
sedangkan China memiliki Datong (大同) atau great harmony dan juga Tianxia.9
Kendati China sebagai sebuah bangsa besar memiliki budaya, filsafat dan sejarah
yang panjang yang dapat menjadi sumber bagi pembentukan pemikiran-pemikiran
strategis di bidang hubungan internasional, namun eksistensi madzab China dalam
studi HI saat ini belum mencapai kemapanan seperti madzab Inggris, Frankfurt, dan
Kopenhagen.ParapemikirHIdiChinasendirihinggasaatinimasihberadadalamproses
menuju pembentukan teori atau konsep HI khas China yang berbeda dengan teori-
teori dan konsep-konsep HI yang pernah ada selama ini. Semakin dominannya peran
China dalam isu-isu global di bidang ekonomi, politik, dan keamanan akhir-akhir ini,
dapat menjadi suplemen bagi para pemikir HI di China untuk lebih bergairah dalam
mengarungi jalan menuju terwujudnya madzab China. Sebagaimana dikatakan Liu
Yongtao, situasi dunia saat ini (di mana China memainkan peran penting), menuntut
adanya pemikiran baru, ide-ide baru, bahkan sebuah “bahasa” baru untuk mewakili
dan mendefinisikan kembali keamanan dan hubungan internasional, sekaligus dapat
8	 Zhang Xiaoming, “International Relations Theory in China: A Learning Process”, dalam http://www.cloud-
front.net [Diakses 26 Agustus 2016].
9	 Lihat Qin Yaqing, “Why is there no Chinese IRT?” dalam Amitav Acharya dan Barry Buzan, Non-Western
International Relations Theory. (New York: Routledge).
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 7
menciptakan cara-cara baru untuk memelihara perdamaian dan stabilitas.10
Sebagai salah seorang perintis madzab China, Qin Yaqing sendiri mengakui
bahwa upaya melahirkan sebuah teori HI khas China yang berbeda dengan teori-teori
HI yang ada bukanlah upaya yang mudah. Banyaknya pemikiran filsafat dalam sejarah
China kuno dan tradisi intelektual yang panjang, tidak dengan sendirinya membuat
para pemikir HI China memperoleh kemudahan untuk memberikan kontribusi
bagi studi HI. Dalam tulisannya berjudul “Why is There No Chinese International
Theory?”, Qin menyebutkan tiga faktor yang membuat China hingga kini belum
mampu memberikan kontribusi bagi studi HI dalam bentuk sebuah pendekatan,
konsep, atau teori yang berbeda. Pertama, kurangnya kesadaran “keinternasionalan”
(international-ness) dalam worldview tradisional China. Kedua, masih dominannya
wacana HI Barat dalam komunitas akademik di China. Ketiga, tidak adanya pusat
teoritis yang konsisten dalam program-program penelitian HI di China.11
Meski demikian Qin Yaqing optimis ada potensi besar bagi kemunculan dan
berkembangnya madzab China dengan pendekatan, teori atau konsep yang berbeda.
Seorang professor HI dari Jerman, Nele Noesselt, juga menyatakan bahwa meskipun
hingga saat ini penelitian-penelitian di Barat belum memasukkan “Chinese approach”
mengenai HI atau politik dunia, tetapi kebanyakan studi HI telah merujuk ke China
sebagai playground untuk pengujian-pengujian teori HI atau sebagai sumber potensial
untuk perluasan ontologis teori HI. Bahkan Noesselt mensinyalir China sebagai pusat
formulasi studi HI alternatif.12
Arlene Tickner dan Ole Waever juga menekankan
bahwa China merupakan sumber potensial bagi penggalian teori-teori HI non-Barat,
dan sebab itu mereka menyarankan setiap perdebatan mengenai pengembangan teori
HI sebaiknya tidak melupakan wacana soal madzab China.
Menurut Qin Yaqing, wacana mengenai apakah sudah ada teori madzab China
dalam studi HI juga sangat tergantung pada posisi metodologis dalam memaknai
pengertian teori HI itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Amitav Acharya dan Barry
Buzan, ketika kita membedah buku-buku teori HI kita segera berhadapan dengan
sedikitnya dua definisi teori. Pertama, definisi teori yang kaku dari kaum positivis
yang dominan dalam komunitas HI di Amerika. Kedua, definisi teori yang lebih
lunak dari kaum reflektivis yang lazim berkembang di Eropa. Definisi pertama secara
10	 Liu Yongtao, “Security Theorizing in China: Culture, Evolution and Social Practice”, dalam Arlene B. Tickner
dan David L. Blaney, Thinking International Relations Differently (New York: Routledge, 2012), hal. 72-91.
11	 Qin Yaqing, loc. cit.
12	 Nele Noesselt, “Is There a Chines School of International Relations?”, Working Paper, dalam http://www.
giga-hamburg.de/workingpapers [Diakses 25 Juni 2016].
ALTERNATIF VOL 06 (1) 20168
ketat memahami teori sebagai eksplanasi hubungan kausal dan berisi hipotesis yang
dapat diuji (observable). Sedangkan definisi kedua melihat teori sebagai apa saja
yang mengorganisasi pengetahuan secara sistematis, terstruktur, serta menetapkan
seperangkat konsep dan kategori secara kohoren dan cermat.13
Dengan mengacu pada pendapat Amitav Acharya dan Barry Buzan tersebut,
QinYaqing mencoba membagi teori HI ke dalam dua jenis, yakni teori yang berorientasi
tindakan (action oriented) dan teori yang berorientasi pengetahuan (knowledge
oriented). Jenis teori yang pertama adalah teori sebagai pedoman tindakan atau yang
menyediakan prinsip-prinsip untuk pembuatan keputusan dan memiliki relevansi
langsung dengan tindakan. Misalnya China pada era Mao Zedong memiliki ‘teori
tiga dunia’ (three worlds theory) dan ‘strategi belajar ke arah satu sisi’ (learning toward
one side strategy). Ini adalah contoh teori yang berorientasi tindakan. Sedangkan jenis
teori yang kedua mendefinisikan teori HI sebagai sebuah perspektif untuk memahami
dunia dan sebagai sebuah pencapaian produksi dan reproduksi pengetahuan (misalnya
teori dari Kenneth Waltz).14
Dalam pandangan Qin Yaqing, jika teori sebatas didefinisikan sebagai
knowledge-oriented atau theory-related research maka ia dengan tegas mengakui bahwa
hingga saat ini memang belum ada teori HI yang muncul dari komunitas studi HI di
China. Dengan demikian studi HI madzab China pun dapat dikatakan masih ‘jauh
panggang dari api’. Apalagi kalau pemaknaan terhadap knowledge-oriented atau theory-
related research semata-mata diorientasikan pada lahirnya sebuah teori asli (original
theory) jelas belum ada teori baru yang dihasilkan oleh komunitas studi HI di China.15
Akan tetapi apabila teori HI dimaknai secara lebih lunak sebagai action oriented yang
berisi prinsip-prinsip untuk pembuatan keputusan atau gagasan besar atau worldview
yang menginspirasi tindakan (perilaku) internasional China, maka sudah lama ada
sejumlah “teori” khas China yang menjadi pedoman negeri itu dalam berinteraksi
dengan masyarakat internasional.
TIANXIA: KONSEP HI CHINA?
Menurut Michiel Boerwinkel (gurubesar HI Ritsumeikan University, Kyoto),
13	 Lihat Amitav Acharya dan Barry Buzan, Non-Western International Relations Theory: Perspective on and Beyond
Asia (New York: Routledge, 2007), hal. 5-10.
14	 Qin Yaqing, loc. cit.
15	 Qin Yaqing, ibid.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 9
salah satu gagasan besar atau worldview China yang banyak dibahas dan berpotensi
untuk menjadi teori HI khas China adalah konsep Tianxia.16
Ini adalah salah satu
komponen pemikiran Konfusian yang masih bertahan dan tampaknya menjadi tema
yang sangat popular atau sedang naik daun di kalangan sarjana HI China saat ini.
Namun Boerwinkel melihat bahwa memadukan pemikiran tradisional Konfusianis
dengan studi HI kontemporer merupakan masalah sangat berat, bahkan seringkali
menjadi semu. Belum lagi praktik bernegara China sendiri pada kurun waktu yang
sangat lama justru mengabaikan pemikiran-pemikiran Konfusian. Saat itu dengan
alasan modernisasi para pemimpin China lebih banyak mengeksplorasi pendekatan
Barat. Baru dalam tiga dekade terakhir, setelah China menjadi kekuatan dunia yang
diperhitungkan, pemikiran-pemikiran tradisional Konfusian mulai diperhatikan. Salah
satu pemikiran yang paling banyak didiskusikan dan dieksplorasi oleh para penstudi
HI di China adalah konsep Tianxia.
Secara leksikal, Tianxia berarti bumi (earth) atau dunia (world realm). Konsep
ini sering pula diartikan sebagai kerajaan (kingdom) atau kekaisaran (empire). Namun
banyak pula yang menerjemahkan Tianxia sebagai semua yang ada di bawah langit/
surga (All-under-Heaven). Dalam ‘bahasa Barat’, konsep Tianxia barangkali juga
ekuivalen dengan ‘the universe’ atau ‘the world’, dapat pula diterjemahkan sebagai
‘hearts of all peoples’ atau ‘general will of people’. Intinya, konsep Tianxia mengajarkan
bahwa pertama-tama yang perlu ditata (diatur dengan baik) adalah negara atau kerajaan
sendiri. Agar dapat mengatur negara atau kerajaan sendiri dengan baik, terlebih dahulu
harus bisa mengatur keluarga sendiri dengan baik. Dikaitkan dengan studi HI, konsep
Tianxia mengandung makna bahwa masyarakat dunia atau ‘semua yang ada di bawah
langit’ harus dianggap sebagai kesatuan keluarga besar dan harus dikelola dengan cara
seperti mengatur sebuah keluarga.17
Aspek keluarga (family) dalam konsep Tianxia mempunyai dua implikasi bagi
studiHIdanmasyarakatglobal.Aspekpertama,sepertipadaumumnyasebuahkeluarga,
ada satu keluarga inti di pusat (kaisar), dan hubungannya dengan seluruh anggota
keluarga didasarkan atas azas kedekatan (proximity). Konsekuensi dari prinsip ini
dalam hubungan internasional China kuno, ada konsep pengendalian langsung, yakni
pengendalian dari negara induk (middle kingdom) terhadap negara-negara vassal, atau
ada pola pengaruh yang bersifat konsentris di mana negara tengah memiliki hak lebih
16	 Michiel Boerwinkel, “ Assessing Possible Chinese IRT Contributions to Contemporary IRT:
Shapes, Identities and Emancipation”, dalam http://www.isanet.org/Web/Conferences [Diakses 26
Juni 2016].
17	 Michiel Boerwinkel, ibid.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201610
atas yang lain. Para pemikir HI kontemporer di China menerjemahkan Tianxia sebagai
prinsip hubungan antar bangsa di mana tidak berlaku konsep “berlawanan” (opposite)
maupun “intoleransi” (intolerant) karena semua aktor diperlakukan sebagai sebuah
kesatuan keluarga besar. Dalam hal tata kelola, adanya pola konsentris menimbulkan
konsekuensi semakin jauh jarak geografis akan semakin menurun pengaruh negara
tengah tersebut.18
Aspek kedua dari Tianxia adalah diterimanya sistem hirarkhi oleh semua negara
yang terlibat dalam sistem, sebagaimana menerima sistem hirarkhi dalam sebuah
keluarga. Namun sistem hirarkhi dalam konsepsi China tradisional ini berbeda dengan
hirarkhi dalam konsepsi Barat (realis). Seperti diketahui, dalam pandangan realisme,
semuanegaraharusmenciptakanbalanceofpower,baikmelaluipengelompokanbersama
untuk melawan hegemon, atau hegemon melawan hegemon lainnya. Tujuan negara-
negara menciptakan balance of power, menurut kaum realis, adalah untuk bertahan
hidup (survival) dalam sistem internasional. Sedangkan dalam konsep Tianxia, negara-
negara menerima sistem hirarkhi karena menyadari adanya kesenjangan dan bersedia
bertindak sesuai dengan kondisinya masing-masing, sehingga hubungan antara negara-
negara kecil dengan negara tengah dapat berjalan harmonis. Negara tengah (central
state’s) dalam hal ini tidak menempatkan dirinya sebagai hegemon, melainkan lebih
sebagai pelindung atau payung bagi negara-negara yang lebih kecil (lesser states). Jadi,
dalam sistem Tianxia, negara-negara tidak perlu berlomba-lomba menciptakan balance
of power karena eksistensinya dalam sistem dijamin oleh negara tengah. Dalam istilah
Zhang Feng, sistem Tianxia menginginkan suatu sistem dunia yang ditandai oleh
harmoni dan kerjasama tanpa hegemoni.19
Zhao Tingyang menerjemahkan konsep Tianxia dengan kekaisaran atau
imperium (empire). Para sarjana HI Barat acapkali berkonotasi negatif terhadap
konsep imperium, karena konsep ini selalu identik dengan praktik tirani (internal) dan
ekspansi (eksternal). Dalam pandangan Zhao, Tianxia merupakan konsep imperium
yang sempurna (perfect empire), yakni konsep pemerintahan dunia ala China yang
sama sekali berbeda dengan imperium yang selama ini dipahami orang Barat. Menurut
salah satu perintis madzab China itu, dalam konsep Tianxia terkandung gagasan yang
lebih konstruktif dan positif mengenai pemerintahan dunia (world governance) yang
18	 Qin Yaqing, “Why is there no Chinese IRT?” dalam Amitav Acharya dan Barry Buzan, op. cit., hal. 42.
19	 Zhang Feng, “The Tianxia System: A World Order in a Chinese Utopia”, dalam http://www.chinaheri-
tage-quarterly.org [Diakses 26 Juni 2016].
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 11
dapat menjadi sumber bagi pembentukan teori HI khas China (madzab China).20
Sebagaimana dikatakan oleh filsuf Xun-Zi (313-238 SM), dalam sistem Tianxia tidak
berarti kita mendapatkan tanah atau menguasai negara lain secara paksa, tetapi sebuah
sistem yang memuaskan semua orang dengan suatu pemerintahan yang baik.
Dalam pandangan Zhao Tingyang, konsep Tianxia dalam konteks HI dapat
juga diartikan sebagai sebuah institusi dunia (world institution) atau sebuah sistem
universal untuk dunia (universal system for the world), suatu utopia tentang dunia
sebagai sebuah keluarga (the world as one family). Dalam konteks ini, ide Tianxia atau
All-under-Heaven sebagai konsep filosofis tentang sebuah institusi dunia pada dasarnya
berbeda dari pola-pola imperium tradisional seperti Imperium Romawi, Imperium
Inggris, Imperium Turki Ottoman, atau ‘Imperium Amerika’ yang sedang menguasai
dunia saat ini. Konsep All-under-Heaven tidak dimaknai sebagai negara semata, tetapi
sebuah institusi dunia, yang ingin dibangun adalah masyarakat dunia (world society) dan
bukan negara-bangsa (nation-state). Dari sudut pandang ontologi politik ini, dunia kita
sekarang ini sebenarnya masih bukan-dunia (non-world), karena dunia belum terwujud
dalam arti penuh. Institusi dunia dan dukungan rakyat secara penuh masih belum ada.
Dengan kata lain, selama ini kita berbicara ‘omong kosong’ (nonsense) tentang dunia,
karena dunia belum terpenuhi dengan ke-dunia-an (worldness).21
Konsep ‘institusi dunia’ dalam pandangan Tianxia, secara metodologi berbeda
dengan konsep ‘organisasi internasional’ dalam teori politik Barat. Dalam pemikiran
Barat, unit politik terbesar dan tertinggi adalah negara-bangsa, sementara dalam teori
China adalah ‘masyarakat dunia’. Negara-negara harus selalu dilihat sebagai subordinat
dalam kerangka ‘masyarakat dunia’ yang dianggap sebagai unit politik yang diperlukan
dan tertinggi. Memang orang Barat juga berfikir tentang dunia, tetapi mereka
membayangkan dunia lebih sebagai aliansi internasional atau serikat negara-bangsa,
yang tidak melampaui kerangka negara-bangsa. Sebab itu, dalam pandangan China,
jika berbicara mengenai world governance, konsep organisasi internasional seperti PBB
saat ini masih jauh dari ideal. Konsep Tianxia mengharapkan dunia sebagai sebuah
kesatuan (oneness) keluarga, bukan dunia yang terbelah dalam banyak negara-bangsa
dengan kedaulatannya masing-masing.
Konsep Tianxia memang memiliki kesamaan dengan pola PBB. Salah satunya
adalah bahwa keduanya merupakan bentuk organisasi dunia yang didedikasikan untuk
20	 Zhao Tingyang, “Rethinking Empire from a Chinese Concept ‘All-Under-Heaven’ (Tianxia)”, dalam Social
Identities, Vol. 12 No. 1 (2006), hal. 29-41.
21	 Zhao Tingyang, ibid.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201612
memecahkan masalah internasional dan untuk menjamin perdamaian dan ketertiban
di dunia. Namun perbedaan konsep Tianxia dan pola PBB jauh lebih nyata. Konsep
All-under-Heaven dalam jangka waktu yang sangat panjang telah berhasil menciptakan
periode damai dan masyarakat yang stabil dalam berbagai dinasti yang ada di China,
sehingga masyarakat China tetap utuh (terintegrasi sejak ribuan tahuan lalu hingga
saat ini). Ini berbeda dengan pola PBB yang tidak sepenuhnya mampu menangani
berbagai konflik internasional. Sebab itu, melalui madzab China, para ilmuwan HI di
China berusaha menemukan pola-pola di dalam konsep Tianxia yang memiliki potensi
teoritis untuk memecahkan problem-problem dunia (termasuk masalah-masalah antar
budaya).
Pola All-under-Heaven muncul seperti globalisasi, tapi pada dasarnya berbeda
karena tidak mengandung sense seperti ‘-isasi’. All-under-Heaven lebih menyiratkan
globalisme daripada globalisasi. Ini berarti secara kelembagaan memerintah dunia atau
lembaga dunia yang bertanggung jawab untuk mengkonfirmasi legitimasi politik dari
pemerintahan dunia serta pemerintahan lokal, dan untuk memungkinkan justifikasi
dari sistem. Tujuan politiknya adalah untuk menciptakan ‘All-under-Heaven’, trinitas
dari dunia geografis (bumi), dunia psikologi (hati semua orang) dan dunia politik
(lembaga dunia). Ini adalah narasi besar, mungkin narasi ‘termegah’ dalam filsafat
politik. Kelebihan dari pola All-under-Heaven adalah pandangan dunia tentang ke-
dunia-an (world-ness), yang memungkinkan kita bisa memahami secara benar dan
menemukan solusi atas masalah-masalah dunia. Ke-dunia-an (world-ness) adalah
prinsip yang lebih tinggi dari internasionalitas.
Seperti disampaikan di atas bahwa konsep All-under-Heaven mengandung
arti kesatuan dari dunia (oneness of the world), dan kesatuan menunjukkan diri dalam
semua kemajemukannya (oneness in diversities). Kesatuan dari dunia juga terrefleksi
dalam prinsip politik ‘inclusion of all’ dalam All-under-Heaven, yang berarti satu
bahtera keluarga (family-ship). Konsep ‘kesatuan’ berarti juga penolakan terhadap
keberadaan ‘berhala’ apapun, sehingga di dalam keluarga dunia ini tidak ada sesuatu
yang tidak bisa diterima (seberapa aneh sekalipun). Dalam konsep All-under-Heaven,
semua berkomitmen untuk kesatuan dunia sebagai keseluruhan yang utuh (the intact
wholeness) yang menyiratkan penerimaan terhadap keanekaragaman.
KESIMPULAN
Sebagaimana dikatakan oleh Zhao Tingyang, masalah hubungan internasional
paling penting saat ini bukan hanya mengenai apa yang disebut dengan ‘negara gagal’
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 13
(failed states), tetapi juga ‘dunia gagal’ (failed world), sebuah dunia yang kacau dan
tak teratur. Itulah sebabnya, Zhao mempertahankan pendapatnya bahwa dunia kita
sekarang ini belum merupakan sebuah dunia yang sesungguhnya. Masih ada banyak
masalah dunia yang perlu dipecahkan oleh sebuah negara, sebuah kawasan, atau oleh
setiapperjanjianinternasional.Teori-teoriHI(versiAmerikadanEropa)dalamkerangka
internasionalitasnya, masih memiliki keterbatasan dalam menangani masalah-masalah
dunia, problem-problem bersama (shared problems) mengenai dunia. Dunia tidak
dapat disamakan dengan internasional, ke-dunia-an (word-ness) tidak bisa direduksi ke
dalam internasionalitas. Dunia lebih merupakan keseluruhan (wholeness) atau totalitas
daripada sebagai ke-antara-an (between-ness). Dunia kita membutuhkan sebuah teori
dunia (world theory), bukan sekedar sebuah teori internasional (international theory),
yang dapat berbicara mengenai dunia (bukan sekedar mengenai hubungan antar
negara).
Dalam konteks ini, madzab China hadir dalam komunitas studi HI, bukan
hanya sebagai alternatif tetapi juga kritik terhadap teori-teori HI arus utama yang lebih
banyak berbicara tentang hubungan antar negara (dan bukan tentang dunia). Teori
Tianxia atau All-under-Heaven, adalah teori dunia (bukan teori internasional). Teori
Tianxia dan berbagai teori yang akan dieksplorasi dan dikembangkan madzab China
diharapkan dapat memberikan sebuah pandangan yang lebih baik mengenai dunia.
Sebagaimana dikatakan Zhao Tingyang, Tianxia atau All-under-Heaven adalah filosofi
terbaik untuk pemerintahan dunia.***
KEPUSTAKAAN
Acharya, Amitav dan Barry Buzan, Non-Western International Relations Theory:
Perspective on and Beyond Asia (New York: Routledge, 2007).
Boerwinkel, Michiel, “ Assessing Possible Chinese IRT Contributions to Contemporary
IRT: Shapes, Identities and Emancipation”, dalam http://www.isanet.org/Web/
[Diakses 26 Juni 2016].
Dallmayr, Fred dan Zhao Tingyang (eds.), Contemporary Chinese Political Thought:
Debates and Perspectives (Kentucky: The University Press of Kentucky, 2012).
Hoffmann, Stanley, “An American Social Science: International Relations”, dalam
Daedalus, Vol. 106 No. 3 (1977), pp. 41-60.
Holsti, Kalevi J., The Dividing Discipline: Hegemony and Diversity in International
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201614
Theory (Boston: Allan and Unwin Publishing, 1987).
Ikenberry, G. John, “Liberalism in a Realist World: International Relations as a
Scholarly American Tradition”, dalam International Studies, Vol. 56 No. 1 & 2
(2009), hal. 203-219
Liu Yongtao, “Security Theorizing in China: Culture, Evolution and Social Practice”,
dalam Arlene B. Tickner dan David L. Blaney, Thinking International Relations
Differently (New York: Routledge, 2012), hal. 72-91.
Mei Ran, “Should There Be A Chinese School of IR Theories –Concurrently on
American Theories”, dalam International Politics Quaterly, No. 1 (2000), hal.
63-67.
Noesselt, Nele, “Is There a Chines School of International Relations?”, Working Paper,
dalam http://www.giga-hamburg.de/workingpapers [Diakses 25 Juni 2016].
Qin Yaqing, “Why is there no Chinese IRT?” dalam Amitav Acharya dan Barry Buzan,
Non-Western International Relations Theory. (New York: Routledge, 2010).
Qin Yaqing, “International Society as a Process: Institutions, Identities, and China’s
Peaceful Rise”, The Chinese Journal of International Politics, Vol. 3 (2010), hal.
129-153.
Smith, Steve, “The discipline of International Relations: still an American social
science?”, dalam The British Journal of Politics & International Relations”, Vol. 2
No. 3 (2000), pp. 374-402.
Waever, Ole, “The Sociology of a Not So International Discipline: American and
European Developments in International Relations”, dalam International
Organization, Vol 52 No. 4 (1998), pp. 687-727.
Wang Jiangli dan Barry Buzan, “The english and Chinese School of International
Relations: Comparisons and Lessons”, dalam Chinese Journal of International
Politics, Vol. 0 No. 0 (2014), hal. 1-46.
Wang Yiwei, “China: Between Copying and Contructing”, dalam Arlene B. Tickner
dan Ole Waever (eds.), International Relations Around the World: Worlding
Beyond the West (New York: Routledge, 2009).
Zhang Feng, “The Tianxia System: A World Order in a Chinese Utopia”, dalam http://
www.chinaheritage-quarterly.org [Diakses 26 Juni 2016].
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 15
Zhang Xiaoming, “International Relations Theory in China: A Learning Process”,
dalam http://www.cloud-front.net [Diakses 26 Agustus 2016].
Zhao Tingyang, “Rethinking Empire from a Chinese Concept ‘All-Under-Heaven’
(Tianxia)”, dalam Social Identities, Vol. 12 No. 1 (2006), hal. 29-41
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201616
PEMIKIRAN GEOPOLITIK PASCA PERIODE PERANG DINGIN
Oleh: Chairul Ansari Pane
Dosen FISIP-HI Universitas Jayabaya
E-mail: chairul73pane@gmail.com
ABSTRACT
The aim of this article is to present the evolution of geopolitical schools of thought after the
ColdWar period which is conditioned by the changes occurring in the international system. Concepts
will be devided into classical geopolitical concepts, geopolitical concepts resulting from the time of
the Cold War, and geopolitical concepts formed after the end the bipolarity rivalry. According to the
author, classical geopolitical concepts analyzed ‘space’ predominantly in the context of geographical
conditions. The ‘space’ also was assumed to be the main determinant of the development of the states
position, the power, and behavior in international system. In the Cold War periode, economic,
political, and ideological factors turned out to be vital in the analysis of the geopolitical structure.
But, the author emphasize, the greatest evolution occurred after the end of the ColdWar. Qualitative
changes in the polyarchic international environment, globalization processes and international
relationship, conflicts of low intensity, change of border function, created a completely new character
for ‘space’. It cannot be solely perceived as the main variable determining politics. The cultural and
civilization factor is as important as the political and economic one.
Key Words: geopolitics, international relations, the Cold War, geographical factors, space.
ABSTRAK
Tujuandariartikeliniadalahuntukmenyajikanevolusialiranpemikirangeopolitik setelah
masa Perang Dingin yang dikondisikan oleh perubahan yang terjadi dalam sistem internasional.
Konsep-konsep akan dibagi ke dalam konsep geopolitik klasik, konsep geopolitik yang dihasilkan
saat Perang Dingin, dan konsep geopolitik yang terbentuk setelah akhir rivalitas bipolar AS-US.
Menurut penulis, konsep geopolitik klasik menganalisis ‘ruang’ terutama dalam konteks kondisi
geografis. ‘Ruang’ juga diasumsikan menjadi penentu utama perkembangan posisi, kekuasaan, dan
perilaku negara dalam sistem internasional. Dalam periode Perang Dingin, faktor ekonomi, politik,
dan ideologi terbukti menjadi penting dalam analisis struktur geopolitik.Tapi, penulis menekankan,
evolusi terbesar terjadi setelah berakhirnya Perang Dingin. perubahan kualitatif dalam lingkungan
internasional polyarchic, proses globalisasi dan hubungan internasional, konflik intensitas berskala
rendah, perubahan fungsi perbatasan, telah menciptakan karakter yang sama sekali baru mengenai
‘ruang’. Ruang tidak bisa semata-mata dianggap sebagai variabel utama penentu politik. Faktor
budaya dan peradaban adalah sama pentingnya dengan politik dan ekonomi.
Kata Kunci: geopolitik, hubungan internasional. Perang Dingin, faktor-faktor geografis, ruang.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 17
PENDAHULUAN
SETELAH periode Perang Dingin (the Cold War period) berakhir pada awal
dasawarsa 1990-an, pola-pola hubungan internasional mengalami perubahan yang
sangat fundamental. Mencairnya kebekuan hubungan antara negara-negara blok
Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan blok Timur yang dikuasai Uni Soviet
(US), telah membuat berbagai sendi dalam hubungan antar negara turut mengalami
perubahan secara mendasar. Struktur politik internasional yang semula bersifat bipolar,
telah berubah menjadi sistem internasional yang bersifat multi-sentris. Perbedaan
ideologi yang di masa Perang Dingin menjadi tembok penghalang bagi kelancaran
hubungan antar negara, tidak lagi ada (kecuali di Semenanjung Korea). Aktor-aktor
baru, baik berupa negara-bangsa (nation-state) maupun aktor-aktor non-negara (non-
state actors) bermunculan dalam pentas politik dunia. Berbagai kerjasama transnasional
juga jauh lebih intensif daripada periode-periode sebelum Perang Dingin berakhir.
Terjadinya perubahan fundamental dalam praktik hubungan internasional,
pada gilirannya membawa konsekuensi pada perlunya dilakukan perubahan pada studi
Hubungan Internasional (selanjutnya disingkat studi HI). Tema-tema lama, seperti
bipolaritas Timur-Barat, persaingan komunisme-liberalisme, perebutan pengaruh
(sphere of influence) AS-US, balance of power, dan tema-tema high-politics lainnya tidak
lagi relevan dalam studi HI. Sementara tema-tema baru seperti regionalisme ekonomi,
kerjasama lintas kawasan, masalah lingkungan hidup, isu demokratisasi dan hak azasi
manusia, global warming, masalah migrasi dan pengungsi, serta masalah terorisme,
mulai membutuhkan perhatian lebih serius dari para penstudi HI.1
Teori-teori HI juga
turut mengalami metamorfosis sehubungan dengan adanya perubahan tema-tema
dalam studi HI tersebut. Sejak awal dekade 1990-an muncul banyak teori baru dalam
studi HI, seperti konstruktivisme, feminisme, teori kritis, teori sekuritisasi, dan masih
banyak lagi, menentang teori-teori HI lama yang dianggap tidak lagi relevan dengan
realitas hubungan internasional. Sementara itu berbagai pokok bahasan (subject-matter)
dalam studi HI juga mengalami perubahan substansi dan orientasi.
Beberapa pokok bahasan dalam studi HI yang mengalami perubahan
substansi dan orientasi yang cukup mendasar sehubungan dengan berakhirnya Perang
Dingin misalnya studi keamanan (international security studies), politik international
(international politics), ekonomi politik internasional (international political economy),
organisasi internasional (international organization), dan sebagainya. Salah satu pokok
1	 Maurice A. East, “The Post Cold War Era: Implications for Educators”, dalam http://www.socialstudies.org
[Diakses 29 Agustus 2016].
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201618
bahasan dalam studi HI yang kurang mendapatkan perhatian dari para penstudi HI,
namun tidak bisa tidak juga mengalami perubahan substansi dan orientasi adalah
studi geopolitik (the study of geopolitics). Di negara-negara maju, teori-teori dan
topik-topik pengajaran geopolitik di berbagai universitas telah mengalami banyak
perubahan penting sejak Perang Dingin berakhir. Tulisan ini akan mendeskripsikan
studi geopolitik dalam studi HI pasca Perang Dingin dengan berbagai perubahan yang
terjadi di dalamnya.
SEKILAS TENTANG GEOPOLITIK
Geopolitik (geopolitics) merupakan studi tentang pengaruh geografi
(sosial maupun fisik) terhadap hubungan internasional, khususnya politik
internasional.2
 Colin Gray dan Geoffrey Sloan secara singkat mendefinisikan geopolitik
sebagai studi keruangan mengenai hubungan internasional (geopolitics is the spatial
study of international relations).3
Jason Dittmer dan Joanne Sharp mengatakan bahwa
geopolitik mengacu pada teori-teori dan praktik politik dalam skala global, dengan
sebuah penekanan khusus pada geografi yang membentuk maupun menghasilkan
teori-teori-teori dan praktik politik tersebut.4
Dalam pandanganTerry O’Callaghan, geopolitik adalah studi tentang pengaruh
faktor-faktor geografis terhadap perilaku negara (the influence of geographical factors on
state behavior), yakni bagaimana lokasi, iklim, sumber-sumber daya alam, penduduk,
dan medan fisik menentukan pilihan-pilihan politik luar negeri suatu negara dan
posisinya dalam hiearkhi hubungan internasional.5
Sementara Menurut John Foster
geopolitik berkenaan dengan bagaimana faktor-faktor geografis –seperti wilayah,
penduduk, lokasi strategis, dan sumber daya alam yang melimpah (sebagaimana
dimodifikasi oleh ekonomi dan teknologi), mempengaruhi hubungan antar negara dan
perjuangan untuk menguasai dunia.6
Franz Neumann secara agak provokatif mengatakan bahwa geopolitik tidak
2	 Richard Devetak, Anthony Burke, dan Jim George (eds.), An Introduction to International Relations (New
York: Cambridge University Press, 2012), hal. 492.
3	 Colin S. Gray dan Geoffrey Sloan (eds.), Geopolitics, Geography, dan Strategy (London: Routledge, 2013), hal.
163.
4	 Jason Dittmer dan Joanne Sharp (eds.), Geopolitics: An Introductory Reader (London: Routledge, 2014), hal.3
5	 Terry O’Callaghan, “Geopolitics”, dalam Martin Griffiths (ed.), Encyclopedia of International Relations and
Global Politics (London: Routledge, 2005).
6	 John B. Foster, “The New Geopolitics of Empire”, dalam Monthly Review, Vol. 57 No. 8 (2006).
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 19
lain adalah ideologi ekspansi kaum imperialis (geopolitics is nothing but the ideology
of imperialist expansion). Lebih tepatnya, gropolitik merepresentasi cara yang spesifik
tentang pengorganisasian dan pengembangan imperium –sesuatu yang tumbuh
bersamaan dengan imperialism modern, namun geopolitik memiliki sejarahnya sendiri
yang khas yang masih tetap berkumandang di era kontemporer ini.7
Dalam sejarah
modern, pemikiran tentang geopolitik memang selalu mendasari politik ekspansionis
sejumlah imperium atau negara besar, misalnya Imperium Turki, Nazi Jerman,
Uni Soviet, Imperium Inggris Raya yang menguasai sekitar 2/3 bumi, dan bahkan
Amerika Serikat saat ini disebut Neumann sebagai the capital of an empire yang sedang
mendominasi dunia.
Terminologi ‘geopolitik’ pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Kjellen,
seorang ilmuwan politik dari Swedia, pada 1899.8
Namun istilah geopolitik sejak saat
itu belum dipergunakan secara luas, hingga akhirnya pada 1930-an dipopulerkan oleh
sekelompok ahli geopolitik Jerman yang dipimpin oleh seorang purnawaran jenderal
bernama Dr. Karl Haushofer (Jurusan Geografi Universitas Munich). Bergabungnya
Haushofer dan ahli geopolitik lainnya (Rudolf Hess) ke dalam rezim Rudolf Hitler
pada 1933 membuat konsep geopolitik semakin mendapat perhatian dari dunia.
Sejumlah sarjana di Barat dan di Rusia, China, serta Jepang mulai mengembangkan
minat dalam geopolitik sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentang ketatanegaraan (the
science of statecraft), sebuah metode pemikiran mengenai signifikansi faktor-faktor
geografis dalam hubungan internasional.
Geopolitik memusatkan perhatian pada kekuatan politik (political power)
dalam kaitannya dengan ruang geografis (geographic space), khususnya wilayah perairan
(territorial waters) dan wilayah daratan (land territory) korelasinya dengan sejarah
diplomatik. Secara akademis, geopolitik menganalisis sejarah dan ilmu sosial dengan
mengacu pada geografi dalam kaitannya dengan politik. Di luar ranah akademis,
prognosis geopolitik yang dimanfaatkan oleh berbagai kelompok termasuk kelompok
non-profit maupun oleh lembaga-lembaga swasta yang berorientasi keuntungan
(seperti perusahaan broker dan perusahaan konsultasi). Topik-topik geopolitik
mencakup hubungan antara kepentingan aktor-aktor politik internasional, yakni
kepentingan yang difokuskan pada daerah, ruang, elemen geografis atau cara-cara yang
berhubungan dengan pembuatan sistem geopolitik.
7	 Franz Neumann, Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism (New York: Oxford University
Press, 1942), hal. 147.
8	 Augusto Pinochet Ugarte, Introduction to Geopolitics (Santiago de Chile: Alfabeta Impresores, 1981), hal. 20.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201620
PEMIKIRAN GEOPOLITIK KLASIK
Sebagai sebuah sub-disiplin dari studi HI, geopolitik diinspirasi oleh karya dari
dua sarjana abad ke-19, yakni Alfred Thayer Mahan (1840-1914) dan Halford John
Mackinder(1861-1947).Tokohlainyangpemikirannyajugadisebut-sebutmemberikan
inspirasi terhadap geopolitik adalah salah seorang pionir geopolitik Jerman Friedrich
Ratzel (1844-1904) dan ahli geografi Perancis Pierre Vidal de la Blache (1845-1918).
Pemikiran empat tokoh tersebut selalu menjadi bahan pengantar atau dasar-dasar bagi
pembelajaran mengenai geopolitik di berbagai universitas di seluruh dunia hingga hari
ini.
Dalam sebuah tulisannya yang terbit pada akhir abad ke-19, Alfred Mahan
mengatakan bahwa kekuatan angkatan laut (naval power) merupakan kunci dari
kekuatan nasional suatu negara. Sebuah negara yang menguasai lautan luas (Inggris
melakukan pada saat itu) dapat mendominasi hubungan internasional. Namun
kemampuan untuk mencapai penguasaan atas lautan tersebut tergantung pada tujuh
kondisi, yaitu: (1) posisi geografis yang menguntungkan; (2) garis pantai yang berdaya
guna; (3) sumber daya alam yang melimpah, dan iklim yang kondusif; (4) wilayah
yang luas; (5) populasi yang besar untuk mempertahankan wilayah; (6) masyarakat
yang berbakat dengan dunia kelautan; dan (7) pemerintah dengan kecenderungan dan
pengaruh untuk mendominasi laut.9
Halford Mackinder mengembangkan sebuah padanan territorial terhadap
tesis Mahan tersebut (yang dia tolak pada 1943). Merujuk pada apa yang disebut
sebagai ‘teori daerah jantung’ (the heartland theory), Mackinder mengatakan bahwa
negara yang menguasai wilayah antara Jerman dan Siberia akan dapat mengontrol
dunia. Sebagaimana diekspresikan Mackinder dalam sebuah frase yang sangat dikenal,
bahwa siapa yang menguasai Eropa Timur akan mengendalikan ‘daerah jantung’, dan
siapa mengendalikan ‘daerah jantung’ akan menguasai daratan dunia, dan siapa yang
menguasai daratan dunia akan mengendalikan dunia.10
Sebaliknya sarjana HI asal Amerika, Nicholas Spykman (1893-1943),
mengajukan pemikiran yang dikenal dengan pentingnya ‘teori daerah batas’ (Rimland
Theory). Ia beraggapan bahwa daratan pesisir Eurasia (termasuk Eropa pesisir, Timur
Tengah, India, Asia Tenggara, dan China) merupakan kunci untuk mengontrol
9	 Lihat Alfred Thayer Mahan, The Problem of Asia and the Effects upon International Politics (London: Kennikat
Press, 1920), hal. 26-27.
10	 Lihat Martin Sicker, Geography and Politics Among Nations: An Introduction to Geopolitics (New York: iUni-
verse, Inc., 2010), hal. 54.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 21
dunia karena penduduknya, sumber daya alamnya, dan penggunaan jalur laut bagian
dalamnya. Ia menolak doktrin kekuatan darat (land-power doctrine) dari Mackinder
dan mengatakan bahwa “siapa yang mengontrol daerah Rimland akan menguasai
Eurasia, siapa mengontrol Eurasia akan memiliki dunia”.11
Berbagai dimensi tentang geopolitik berkaitan secara signifikan dengan
lokasi dari negara-negara pada peta dunia. Misalnya, sebuah negara yang terkurung
daratan oleh dua negara lain (landlocked position), pada umunya memiliki tujuan
politik luar negeri yang berbeda dengan sebuah negara yang dikelilingi oleh lautan
atau hambatan alam lainnya. Dengan kata lain, posisi suatu negara dalam geografi
dunia akan menentukan orientasi politik luar negeri negara tersebut. Menurut para
ahli geopolitik, juga ada sebuah koneksi penting antara lokasi, kekayaan, dan kekuatan
(location, wealth, and power) dari suatu negara. Sebuah negara yang berlokasi di wilayah
dengan temperatur atau iklim yang dingin cenderung lebih kuat dalam hal ekonomi
dan militer daripada negara yang berada di wilayah lain. Sebaliknya negara-negara yang
lokasinya berada di sekitar garis katulistiwa secara ekonomi cenderung terbelakang.
Meskipun tesis geopolitik konvensional ini terbantahkan oleh adanya sejumlah negara
di sekitar katulistiwa yang ternyata dapat maju secara ekonomi.12
Menurut para ahli geopolitik, iklim (climate) juga berdampak penting pada
kemampuan (ability) suatu negara untuk menjalankan perang. Sejumlah besar tentara
Perancis dan Jerman yang mati membeku yang mencoba menaklukkan Rusia pada
abad ke-19 dan ke-20 merupakan contoh terbaik dari kebenaran tesis tersebut. Selain
itu, iklim mempengaruhi medan dan ini memiliki dampak pada peperangan. Wilayah
hutan, gurun, atau pegunungan memerlukan perlengkapan militer dan latihan khusus
bagi prajurit, di mana ini semua bisa memberikan keuntungan tertentu bagi militer
suatu negara namun bisa juga menyebabkan kekalahan militer yang spektakuler. Sebab
itu, bagi seorang sarjana atau analis geopolitik, lokasi suatu negara memiliki implikasi
strategis yang penting bagi negara tersebut. Posisi dalam peta dunia, tidak hanya
membedakan tujuan politik luar negeri setiap negara, tetapi juga akan menyebabkan
respons strategis yang sangat berbeda dalam hal terjadi krisis militer.13
Dapat disimpulkan bahwa inti dari analisis geopolitik adalah suatu keyakinan
bahwa kapabilitas ekonomi dan militer suatu negara, posisinya dalam hierarkhi negara-
negara, dan bagaimana mereka berhubungan dengan negara-negara tetangganya
11	 Lihat Saul Bernard Cohen, Geopolitics of the World System (Maryland, USA: Rowman & Littlefield Publisher,
Inc., 2003), hal. 22.
12	 Terry O’Callaghan, “Geopolitics”, dalam Martin Griffiths (ed.), loc. cit.
13	 Lihat J.R.V. Prescott, The Geography of State Policies (London: Routledge, 2015), hal. 30.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201622
merupakan sebuah konsekuensi dari faktor-faktor geografis. Dalam hubungan
internasional, posisi geografis adalah takdir (destiny). Tetapi adalah penting bagi
kita sebagai penstudi HI untuk tidak terperangkap menyederhanakan kompleksitas
wilayah kajian hubungan internasional ke dalam sebuah faktor tunggal bernama lokasi
geografis. Ada banyak cara untuk memahami atau menginterpretasikan perilaku negara,
dan geopolitik hanya merupakan salah satu dari banyak cara tersebut. Beberapa sarjana
HI bahkan berpendapat bahwa mulai abad ke-21, pemikiran-pemikiran geopolitik
konvensional dianggap telah usang. Posisi geografis suatu negara dalam peta dunia
tidak lagi terlalu menjadi nilai strategis. Perkembangan teknologi komunikasi dan
transportasi telah mengubah nilai strategis dari ruang dan waktu. Ini mau tidak mau
menuntut perlunya pemikiran ulang (rethinking) mengenai substansi dan orientasi
studi geopolitik apabila ingin tetap menjadi salah satu pokok bahasan yang penting
dan diperhitungkan dalam studi HI.
GEOPOLITIK PASCA PERANG DINGIN
Pada akhir periode Perang Dingin, geopolitik menjadi pokok bahasan yang
penting dalam studi HI. Karena ketika lingkungan internasional yang polyarchic
mengalami perubahan yang sangat dinamis, banyak negara mulai berjuang untuk
mencari kekuasaan (fight for power) atas ruang dan daerah-daerah pengaruh. Dalam
lingkungan baru ini, atau sejumlah pengamat menyebut sebagai akhir dari tata
internasional Westphalia, berlangsung beberapa proses dan fenomena sebagai
berikut. Pertama, dikhotomi Amerika Serikat – Uni Soviet yang terbentuk dari sistem
perimbangan kekuatan (balance of power) tidak ada lagi. Kedua, aktor-aktor baru berupa
aktor non-negara mulai terlibat dalam kepemilikan senjata pemusnah massal, yang
perilaku mereka seringkali lolos dari kalkulasi dan evalusia rasional. Ketiga, proliferasi
konflik dengan intensitas rendah dari penyebab yang kompleks dan beragam mulai
terjadi. Keempat, bahaya-bahaya asimetris baru muncul, menciptakan tantangan baru
bagi keamanan negara. Kelima, menghadapi proses globalisasi dan ancaman-ancaman
baru, negara mulai kehilangan kontrol atas kejadian-kejadian yang berlangsung di
wilayahnya. Keenam, fungsi pelindung perbatasan semakin melemah dan perbatasan
menjadi mudah ditembus, sehingga memudahkan barang-barang, jasa, gagasan, nilai-
nilai, dan teknologi mengalir bebas dari satu negara ke negara lain. Ketujuh, kebijakan-
kebijakan negara cenderung menjadi bagian dari berbagai rezim internasional.14
14	 Kinga Smolen, “Evolution of Geopolitical Schools of Thought”, dalam Teka Kom. Politol. Stos. Myedzinar,
Vol. 7 (2012), hal, 5-19.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 23
Proses-prosesdanfenomenatersebutmenjadikanfaktor-faktorsepertiekonomi,
ekologi, budaya dan peradaban, serta politik itu sendiri, menjadi sangat penting dalam
struktur geopolitik global yang baru. Selama periode Perang Dingin, faktor-faktor
tersebut oleh para ahli geopolitik dianggap kurang penting, apalagi jika dibandingkan
dengan faktor militer. Lebih khusus lagi, fitur-fitur kualitatif mengenai lingkungan
internasional juga mengubah pendekatan mengenai ruang (space) dalam perspektif
geopolitik. Krzysztof Szczerski, misalnya, menaruh perhatian pada fakta bahwa dunia
teknologi baru telah menciptakan permukaan dalam ruang yang tidak ada (non-existing
space) yang tidak memerlukan batasan nyata mengenai tempat (place).15
 Dengan
demikian, hubungan antar aktor dalam struktur geopolitik baru harus dipahami dalam
kategori atau konteks kedekatan komunikasi, di mana lokasi dan jarak geografis tidak
lagi signifikan.
Anna Wolff-Poweska menginterpretasi ‘ruang’ dengan cara yang tidak jauh
berbeda dengan Szczerski. Ia menekankan bahwa proses globalisasi dan meningkatnya
proses interdependensi telah menyebabkan hilangnya sebagian besar fungsi tradisional
dari perbatasan negara (state border). Sebab itu, negara-negara yang sedang bersaing
khusus untuk mendapatkan daerah-daerah penting yang strategis, harus mulai
mengasumsikan relatifisasi dari ruang dan lokasi (space and location). Dengan kata lain,
arti penting posisi suatu negara dalam peta bumi, tidak lagi menjadi variabel utama
yang menyebabkan negara itu penting atau tidak secara geopolitik.16
Karena meningkatnya kecenderungan integratif, banyak masalah sosial,
ekonomi, dan politik dengan gamblang diselesaikan melampaui perbatasan negara.
Dengan demikian negara kehilangan kontrol atas banyak fenomena yang terjadi di
wilayahnya. Fakta ini mempengaruhi perubahan secara gradual dalam pemikiran dan
kesadaran politik mengenai ‘ruang’. Wilayah yang luas yang dulu diyakini oleh para ahli
geopolitik klasik dapat menjamin kekuatan negara, telah kehilangan signifikansinya.
Perubahan yang terjadi di wilayah Eropa dan Asia setelah berakhirnya Perang Dingin
bahwa ‘ruang’ merupakan produk politik yang mengalami perubahan secara konstan.
Semua yang terkoneksi dengan ‘ruang’ disebabkan oleh sejarah dan aktivitas manusia.
Sebab itu ‘ruang’ tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya variabel penentu dalam
politik. Berikut ini beberapa teori geopolitik yang berkembang setelah periode Perang
Dingin berakhir.
15	 Krzysztof Szczerski, Geopolitical Subjectiveness: The Studies of the Polish Foreign Policy (Warsawa: 2009), hal.,
14.
16	 Anna Wolff-Paweska dan E. Schulz (eds.), The Space and Politics: From the History of German Polit-
ical Thought (Poznan: 2000), hal, 10-11.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201624
Model Geopolitik Brzezinski
Zbigniew Brzezinzki memperlakukan ruang bumi (earth’s space) sebagai ladang
permainan seperti papan catur, di mana perjuangan untuk mendapatkan hegemoni
dunia dan perluasan daerah pengaruh berlangsung di kawasan-kawasan penting yang
paling strategis di dunia. Brzezinski sampai pada kesimpulan bahwa aktor-aktor utama
pada papan catur dunia adalah Amerika Serikat sebagai hegemon, Rusia, China,
Perancis, Jerman, dan India sebagai pemain-pemain global yang aktif. Sementara
Inggris dan Jepang merupakan pemain-pemain lama yang tidak lagi aktif secara global.
Sedangkan Ukraina, Turki, Korea Selatan, Iran, dan Afganistan, sebagai sekrup-sekrup
geopolitik, yakni negara-negara yang penting secara geopolitik sehubungan dengan
lokasi geografis mereka.17
Di luar pernyataan di atas, teori Brzezinski memprediksi kemungkinan
adanya krisis di wilayah lengkungan yang luas yang membentang dari Atlantik hingga
Samudera India. Brzezinski memperingatkan bahwa itu adalah wilayah di mana
konflik mungkin terjadi dalam bentuk yang sama sekali baru yang membenamkan
Timur Tengah, Asia Tengah, Pakistan, dan Afganistan. Dalam pandangan Brzezinski,
kurangnya stabilitas di lengkungan geografis tersebut secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi kepentingan negara-negara di kawasan Eurasia.
Dalam teorinya, Brzezinski juga menegaskan pentingnya negara-negara yang
ia sebut sebagai ‘sekrup-sekrup’ geopolitik (geopolitical bolts). Menurut perspektif
Amerika, negara-negara yang termasuk dalam geopolitical bolts adalah penting karena
lokasi geografisnya. Vagi Brzezinski, negara-negara tersebut memiliki peran tertentu,
karena mereka dapat memungkinkan atau memblokir pemain-pemain geostrategis
yang melintasi wilayah mereka. Selain itu, dalam situasi tertentu, mereka dapat menjadi
perisai pelindung bagi suatu negara atau bahkan seluruh wilayah atau memberi sinyal
kepada mereka konsekuensi politik dan budaya yang serius.
Model Geopolitik Moczulski
Sama dengan Brzezinski, Leszek Moczulski mengasumsikan negara-negara
yang termasuk dalam geopolitical bolts sebagai sebuah elemen penting dari struktur
geopolitik modern. Dalam terminologi Moczulski, negara-negara tersebut berfungsi
17	 Lihat Zbigniew Brzezenski, The Grand Chessboard: American Primacy and Its Geostrategic Imperatives (New
York: Basic Books Co., 2007).
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 25
sebagaikawasan,negara-negarasumbu(axisstates),ataudaerahporos(pivotarea).Dalam
pandangannya, proses-proses sejarah dan politik yang paling penting berkembang
di sekitar wilayah tersebut. Ia memberikan contoh daerah Mediterania sebagai zona
sumbu (axis zone). Turki adalah negara sumbu di zona tersebut pada beberapa abad
yang lalu.18
Moczulski membagi dunia ke dalam tiga kategori wilayah, yaitu daerah inti
(core areas), daerah sekrup (geopolitical bolts), dan daerah penyangga (buffer zones).
Daerah inti adalah pusat-pusat di sekitar proses-proses integrasi khusus difokuskan. Di
Eropa Barat, daerah tersebut adalah sabuk sepanjang Rhine dan Mosel, membentang
dari Italia Utara hingga pantai Laut Utara. Daerah geopolitical bolts menghubungkan
ruang-ruang atau membagi berbagai kawasan di dunia. Sedangkan zona penyangga
terletak di antara aktivitas geopolitik besar, sehingga dengan demikian zona tersebut
berperan untuk mencegah invasi dari berbagai arah. Oleh para ahli geopolitik, Ukraina
merupakan salah satu contoh yang dapat diasumsikan sebagai zona penyangga yang
melindungi Eropa dari Asia. Sedangkan Thailand pernah memerankan diri sebagai
buffer zone antara kekuasaan Perancis di Vietnam dan Inggris di Malaysia di era kolonial.
Konsep Geokultural dan Peradaban
Dalam teori-teori geopolitik klasik maupun geopolitik semasa Perang Dingin,
faktor kebudayaan (culture) dan peradaban (civilization) tidak banyak dilibatkan dalam
analisis tentang perilaku negara. Namun, setelah Perang Dingin berakhir, banyak ahli
geopolitik mulai menaruh perhatian pada aspek-aspek kebudayaan dan peradaban.
Apa yang dimaksud dengan faktor-faktor budaya dan peradaban yang ditekankan
sebagai unit dasar dalam geopolitik adalah kebudayaan-kebudayaan besar (great
culture). Kebudayaan-kebudayaan tersebut digambarkan sebagai lingkaran peradaban
(civilization circle), yaitu yang berada di posisi anak tangga teratas dari hierarkhis sistem
budaya. Dalam sejumlah literatur geopolitik belum ada kesepakatan diantara para ahli
mengenai pembagian peradaban (division of civilization). Berikut beberapa pembagian
peradaban yang memiliki pengaruh besar pada geopolitik menurut beberapa ahli.
Arnold Toynbee dalam bukunya berjudul A Study of History menyebut ada
23 peradaban di dunia yang cukup memiliki peran dalam sejarah geopolitik. Namun
mayoritas dari peradaban tersebut telah menjadi masa lalu dan tinggal lima peradaban
yang bertahan hingga saat ini serta sanggup memainkan peran penting dalam geopolitik
18	 Leszek Moczulski, Geopolitics: Power in Time and Space (Warsawa: 2000), hal. 429.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201626
dunia, yaitu: peradaban Barat (Kristen), peradaban Timur (Bizantium dan Ortodoks),
peradaban Islam, peradaban Hindu (India), dan peradaban Konfusian (China).19
Sedangkan F. Koneczny dalam karyanya berjudul On the Greatness of Civilizations
menyebut enam peradaban besar yang pernah memainkan peran signifikan dalam
geopolitik dunia, yaitu: peradaban Latin, Bizantium, Arab, Yahudi, Turanian, dan
Brahmin.20
Yang dimaksud dengan peradaban Turanian adalah kebudayaan Persia yang
pernah mendominasi Asia Tengah. Sedangkan peradaban Brahmin adalah kebudayaan
Hindu yang berpusat di India.
Leszek Moczulski menyebut empat peradaban besar yang memainkan peran
geopolitik di kawasan Eurasia, yakni peradaban Eropa, peradaban Islam, peradaban
India, dan peradaban Timur Jauh (China). Di dalam setiap peradaban besar tersebut,
tumbuh peradaban-peradaban lokal. Misalnya peradaban Jepang yang merupakan
turunan dari peradaban China. Moczulski juga membagi peradaban Eropa menjadi
peradaban Eropa Barat dan Timur. Peradaban Eropa Barat terdiri dari peradaban
Latin dan Jerman, sedangkan dalam peradaban Eropa Timur mencakup peradaban
Bizantium. Di samping peradaban-peradaban besar tersebut, para ahli geopolitik juga
mencatat banyak peradaban yang ‘belum sempurna’ (non-complete civilizations) yang
tumbuh di daerah-daerah yang terisolasi dari pusat-pusat geopolitik dunia. Mereka ini
kebanyakan berada di Afrika dan Asia.21
	
Salah satu konsep geokultural dan peradaban yang tampaknya paling dikenal
adalah yang diintrodusir oleh ilmuwan politik Amerika, Samuel Huntington. Ia
membagitujuhperadabanbesaryangmewarnaigeopolitikdunia,yaitu:peradabanBarat,
peradaban Amerika Latin, peradaban Ortodoks, peradaban Islam, peradaban Hindu,
peradaban Budha, dan peradaban Konfusian (China). Dia juga tidak mengecualikan
Afrika, yang suatu saat mungkin dapat muncul sebagai peradaban kedelapan. Menurut
Huntington, di masa depan, konflik antar peradaban akan bersumber dari perbedaan
budaya, tradisi, dan agama. Ada tiga peradaban yang berpotensi untuk berbenturan
dalam abad ke-21 ini, yaitu peradaban Barat, peradaban Islam, dan peradaban
Konfusian (China).22
19	 Lihat Arnold J. Toynbee, A Study of History (Oxford: Oxford University Press, 2000).
20	 F. Koneczny sebagaimana dikutip Jerzy Topolski, Methodology of History (Warsawa: PWN – Polish Scientific
Publishers, 1976), hal. 214.
21	 Leszek Moczulski, op. cit., hal. 272
22	 Lihat Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon
& Schuster, 2011).
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 27
Geopolitik Amerika Serikat
Pada periode Perang Dingin, pemikiran geopolitik Amerika hampir sepenuhnya
ditujukan untuk pembendungan (containment) terhadap ambisi-ambisi global Uni
Soviet. Ini diantaranya ditandai dengan kehadiran kekuatan militer Amerika di
berbagai kawasan strategis di seluruh dunia. Namun, setelah Uni Soviet bubar dan
Perang Dingin berakhir, Amerika dipaksa untuk melakukan penyesuaian (adjustment)
terhadap pemikiran dan strategi geopolitiknya yang dijalankan sejak pasca Perang
Dunia II. Tetapi, secara garis besar, pemikiran dan strategi geopolitik Amerika tetap
diorientasikan untuk memelihara posisi Amerika sebagai super power tunggal di muka
bumi.
Departemen Pertahanan AS dalam sebuah laporannya yang dipublikasikan
pada 1992 menegaskan bahwa ‘strategi Amerika (setelah jatuhnya Uni Soviet) harus
kembali fokus untuk menghalangi munculnya setiap potensi yang dapat menjadi
kompetitor global di masa depan. Departemen Pertahanan AS pada awal dekade 1990-
an juga telah menerbitkan Defense Planning Guidance yang salah satunya mengusulkan
tujuan geopolitik Amerika mempertahankan hegemoni militer yang permanen melalui
tindakan-tindakan preemptive. Tetapi sekutu-sekutu AS mendesak Washington untuk
tetap mempertahankan kehadirannya di seluruh dunia untuk menegaskan komitmen
sebagai kekuatan unilateral global.
Deputi Menteri Pertahanan AS, Paul Wolvowitz, menganggap teori ‘daerah
jatung’ (hearthland theory) dari Mackinder tetap relevan bagi geopolitik Amerika pasca
Perang Dingin. Sebab itu Wolvowitz menegaskan bahwa Rusia (sebagai pewaris Uni
Soviet) akan tetap menjadi kekuatan militer terkuat di Eurasia dan masih menjadi satu-
satunya kekuatan di dunia yang memiliki kapasitas untuk menghancurkan Amerika.23
Henry Kissinger juga mengatakan bahwa terlepas dari siapapun yang memimpin
Moskow, Rusia bagaimanapun tetap merupakan jantung geopolitik sebagaimana
dikatakan Mackinder, dan negara itu merupakan salah satu pewaris tradisi imperial
yang paling penting dalam sejarah.24
Dalam komunitas keamanan nasional AS saat ini masih berlangsung kontroversi
sehubungan dengan strategi geopolitik AS yang tepat pasca Perang Dingin. Selain soal
definisi siapa yang paling berpotensi menjadi kompetitor global bagi Amerika (apakah
Rusia, China, atau dunia Islam), juga mengenai apakah Amerika harus memimpin
23	 “Keeping the US First”, dalam Washington Post, 11 Maret 1992.
24	 Henry Kissinger, Diplomacy (New York: Simon and Schuster, 1994), hal. 814.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201628
dunia secara tiga serangkai (bersama-sama Eropa dan Jepang) atau apakah Amerika
harus secara sepihak (unilateral) mencari imperiumnya sendiri di muka bumi.
Geopolitik Rusia
Pasca Perang Dingin berakhir, geopolitik menjadi wacana nyata (visible discourse)
di Rusia, terutama untuk menjelaskan posisi Rusia dalam politik dunia kontemporer dan
menyediakan cara atau pemikiran untuk membangun kembali Rusia sebagai kekuatan
besar dalam masalah-masalah dunia. Kebutuhan akan dua hal ini memunculkan berbagai
aliran pemikiran (school of thought) yang memberdebatkan arah geopolitik yang paling
tepat bagi Rusia setelah Perang Dingin berakhir. Beberapa sarjana dan politisi menyatakan
bahwa Rusia sebaiknya berintegrasi dengan Eropa, beberapa lainnya menyarankan agar
Rusia kembali menjadi negara yang dominan di Eurasia. Sementara itu beberapa pihak
menginginkan Rusia dapat memainkan peran penyeimbang (balance role) antara Eropa
dan Asia, sebagai sebuah jembatan Eurasia yang besar, namun juga tidak sedikit yang
menghendaki untuk mengembalikan Rusia sebagai salah satu pusat geopolitik melawan
Amerika dalam politik dunia. Beragam pemikiran tentang orientasi baru geopolitik
Rusia pasca Perang Dingin tersebut sedikitnya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga aliran
pemikiran atau orientasi berikut ini.
AlirangeopolitikRusiayangpertamaadalahapayangdisebutdengan‘Westernis’
(atau di Rusia sendiri sering disebut dengan Atlanticist). Penganut aliran ini adalah
mereka yang menginginkan Rusia menjadi bagian dari masyarakat Barat. Mereka pada
umumnya sangat dipengaruhi oleh praktik politik luar negeri Rusia dalam beberapa
tahun pertama setelah berakhirnya Perang Dingin. Versi pemikiran geopolitik pro
Barat ini dapat ditelusuri kembali ke ‘pemikiran politik baru’ Mikhail Gorbachev dan
dilanjutkan oleh ide-ide Andrei Kozyrev. Perdana Menteri Rusia pertama ini pernah
mengatakan: “tidak diragukan Rusia tidak akan berhenti untuk menjadi kekuatan
besar. Tapi Rusia akan menjadi kekuatan besar yang normal. Kepentingan nasional
juga akan menjadi prioritas. Tapi kepentingan itu harus dapat dimengerti oleh negara-
negara demokratis, dan Rusia akan mempertahankan kepentingan itu melalui interaksi
dengan mitra, bukan melalui konfrontasi”.25
Ini suatu bentuk penegasan keinginannya
untuk menjadikan Rusia bagian dari Eropa dan dunia Barat.
Aliran kedua adalah neo-Eurasinist. Aliran pemikiran ini mewakili aspirasi dari
mereka yang mengharapkan Rusia kembali menjadi kekuatan dominan di Eurasia
25	 Andrei Kozyrev, “Russia: A Change for Survival”, dalam Foreign Affairs, Vol. 71 No. 2 (1992 ), hal. 10-15.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 29
(Russia as Eurasia). Penganut aliran neo-Eurasianist lebih memberikan penekanan pada
faktor-faktor geopolitik yang memisahkan Rusia dari Barat. Mereka lebih memilih
pemikir-pemikir geopolitik tradisional seperti Mackinder dan Haushofer sebagai
mentor daripada pemikir Eurasianis klasik semacam Petr Savitsky dan Nicholas
Trubetzkoy.26
Penganut aliran neo-Eurasinist dapat dikelompokkan ke dalam neo-
Eurasinist kanan baru dan neo-Eurasinist sayap kiri. Mereka yang tergabung dalam neo-
Eurasinist kanan baru adalah para ilmuwan dan politisi garis keras seperti Alexander
Prokhanov, Shamil Sultanov, dan Alexander Dugin. Sedangkan neo-Eurasinist sayap
kiri atau sering disebut “Eurasian Communism” diantaranya diwakili oleh Gennady
Zyuganov (pemimpin Partai Komunis Rusia).
Aliran ketiga adalah democratic-statism (atau di Rusia sendiri dikenal dengan
gosudastvenniki atau derzhavniki). Penganut aliran geopolitik versi ini menghendaki
Rusia menjadi sebuah kutub (pole) dari dunia yang multipolar. Aliran ini
menggabungkan beberapa pemikiran Westernisme dengan beberapa realisme politik
serta Eurasianisme. Namun Graham Smith menyebut democratic-statism sebagai
cabang utama ketiga dari neo-Eurasianism. Sebagai sebuah aliran pemikiran dalam
geopolitik Rusia, democratic-statism banyak mewarnai politik luar negeri Rusia sejak
1992. Dalam konteks domestic sphere, penganut aliran ini mendukung pengembangan
liberalisasi dan demokratisasi, namun mereka sangat dekat dengan gagasan-gasasan
neo-Eurasianist dalam hal mempertahankan kepentingan nasional dan geopolitik Rusia
di luar negeri. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran ini diantaranya Alexander
Rutskoi (mantan Wapres di Era Boris Yeltsin), Ruslan Khasbulatov (mantan Ketua
Parlemen), dan Sergei Stankevich (mantan anggota Dewan Negara). Stankevich
pernah mengatakan bahwa para pemimpin Rusia harus memusatkan konsentrasi untuk
mengembangkan hubungan dengan negara-negara Eurasia seperti China, India, dan
Turki, serta negara-negara “eselon kedua” seperti Brasil, Argentina, Meksiko, Afrika
Selatan, dan ASEAN. Namun ia juga menghendaki agar Rusia menjalankan politik
luar negeri yang pragmatis.27
KESIMPULAN
Negara dan perilaku negara tidak bekerja dalam sebuah ruang hampa, tetapi
secara ketat dipengaruhi lingkungan internasional yang berubah secara dinamis.
26	 Lihat Charles Clover, “Dream of the Eurasia Heartland”, dalam Foreign Affairs, Vol. 78 No. 2 (1999), hal. 9.
27	 Sergei Stankevich, “Russia in Search for Itself”, dalam The National Interest, Vol. 28 (1992), hal. 47-51.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201630
Evolusi dalam pendekatan terhadap ruang geografis (geographical space) berlangsung
sebagai akibat dari perubahan dalam parameter-parameter tentang sistem dunia.
Konsep geopolitik klasik yang menganalisis ‘ruang’ terutama dalam konteks kondisi
geografis. Luas wilayah, maritim, daratan, atau lokasi di semenanjung, misalnya,
diasumsikan menentukan posisi dan kekuatan negara dalam hubungan internasional.
Ruang itu diasumsikan menjadi variabel utama bagi perkembangan posisi, kekuatan,
dan perilaku negara dalam sistem internasional.
Perubahan besar terjadi setelah berakhirnya Perang Dingin. Perubahan-
perubahan kualitatif yang terjadi dalam lingkungan internasional baru yang bersifat
polyarchic, proses-proses globalisasi dan hubungan-hubungan internasional yang
disebut sebagai bahaya asimetris, konflik-konflik dengan intensitas rendah, telah
merubah fungsi perbatasan (border) yang menciptakan sebuah karakter yang sama sekali
baru mengenai ‘ruang’. Ruang tidak bisa lagi semata-mata dianggap sebagai variabel
yang menentukan politik melainkan lebih sebagai sebuah alat yang melayani realisasi
dari kepentingan tertentu. Dalam geopolitik baru, faktor budaya dan peradaban mulai
dianggap sebagai sesuatu yang penting, seperti halnya ekonomi dan politik. Ruang
bukan lagi merupakan variabel tunggal dalam geopolitik. Perubahan lainnya adalah
munculnya pendekatan pluralisme yang menggantikan pendekatan state-centric.
Subyek-subyek non-negara mulai memberikan pengaruh lebih besar atas pembentukan
tatanan internasional.
KEPUSTAKAAN
Brzezenski, Zbigniew, The Grand Chessboard: American Primacy and Its Geostrategic
Imperatives (New York: Basic Books Co.,, 2007).
Cohen, Saul Bernard, Geopolitics of the World System (Maryland, USA: Rowman &
Littlefield Publisher, Inc., 2003).
Clover, Charles, “Dream of the Eurasia Heartland”, dalam Foreign Affairs, Vol. 78 No.
2 (1999).
Dittmer, Jason dan Joanne Sharp (eds.), Geopolitics: An Introductory Reader (London:
Routledge, 2014).
Devetak, Richard, Anthony Burke, dan Jim George (eds.), An Introduction to
International Relations (New York: Cambridge University Press, 2012).
East, Maurice A.,“The Post Cold War Era: Implications for Educators”, dalam http://
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 31
www.socialstudies.org [Diakses 29 Agustus 2016].
Foster, John B., “The New Geopolitics of Empire”, dalam Monthly Review, Vol. 57 No.
8 (2006).
Gray, Colin S. dan Geoffrey Sloan (eds.), Geopolitics, Geography, dan Strategy (London:
Routledge, 2013).
Griffiths, Martin (ed.), Encyclopedia of International Relations and Global Politics
(London: Routledge, 2005).
Huntington, Samuel P., The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order
(New York: Simon & Schuster, 2011).
Kissinger, Henry, Diplomacy (New York: Simon and Schuster, 1994).
Kozyrev, Andrei, “Russia: A Change for Survival”, dalam Foreign Affairs, Vol. 71 No. 2
(1992 ), hal. 10-15.
Mahan, Alfred Thayer, The Problem of Asia and the Effects upon International Politics
(London: Kennikat Press, 1920).
Moczulski, Leszek, Geopolitics: Power in Time and Space (Warsawa: 2000).
Neumann, Franz, Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism (New
York: Oxford University Press, 1942).
Prescott, J.R.V., The Geography of State Policies (London: Routledge, 2015).
Sicker, Martin, Geography and Politics Among Nations: An Introduction to Geopolitics
(New York: iUniverse, Inc., 2010).
Smolen, Kinga, “Evolution of Geopolitical Schools of Thought”, dalam Teka Kom.
Politol. Stos. Myedzinar, Vol. 7 (2012), hal, 5-19.
Stankevich, Sergei, “Russia in Search for Itself”, dalam The National Interest, Vol. 28
(1992), hal. 47-51.
Szczerski, Krzysztof, Geopolitical Subjectiveness: The Studies of the Polish Foreign Policy
(Warsawa: 2009).
Topolski, Jerzy, Methodology of History (Warsawa: PWN – Polish Scientific Publishers,
1976).
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201632
Toynbee, Arnold J., A Study of History (Oxford: Oxford University Press, 2000).
Ugarte, Augusto Pinochet, Introduction to Geopolitics (Santiago de Chile: Alfabeta
Impresores, 1981).
Wolff-Paweska, Anna dan E. Schulz (eds.), The Space and Politics: From the History of
German Political Thought (Poznan: 2000).
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 33
MENYIMAK PERGESERAN NATIONAL SECURITY KE
HUMAN SECURITY DALAM ERA GLOBAL KONTEMPORER
Oleh: Denny Ramdhany
Dosen FISIP-HI Universitas Jayabaya
E-mail: denny.brc10@gmail.com
ABSTRACT
The purpose of writing this article is to describe the appearance of the dimensions of human
security as a new agenda in the political world with different views with the previous approach,
namely realism that focuses more on the security of the State, shifted towards the security of mankind.
This new view has provoked a debate among security scholars previously focused on traditional to
non-traditional security. The new idea of ​​human security can’t be separated from the UNDP report
on Human Development Report of the United Nations Development Programme in 1994 which
gives meaning to human security as freedom from fear, freedom of desire and equality between the
territory and the people. Human Security is based on the western concept has been implemented
by many countries, particularly Canada, Norway, and Japan. Southeast Asian countries are more
focused to the collective security compared to the security of mankind
Key Words: human security, realism, traditional security, non-traditional security
ABSTRAK
Tujuan penulisan artikel ini untuk menggambarkan kemunculan dimensi keamanan
manusia (human security) sebagai agenda baru dalam politik dunia dengan pandangan yang
berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yaitu realisme yang lebih memfokuskan pada keamanan
negara, bergeser ke arah keamanan manusia. Pandangan baru ini telah menimbulkan perdebatan
di kalangan penstudi keamanan yang sebelumnya terfokus pada keamanan tradisional menuju
non tradisional. Ide baru dari human security tidak lepas dari laporan UNDP mengenai
Human Development Report of The United Nations Development Programme tahun 1994 yang
memberikan makna human security sebagai kekebasan dari rasa takut, kebebasan mendapatkan
keinginan dan kesetaraan antara territory dan orang-orang. Keamanan manusia didasarkan pada
kosep Barat telah diimplementasikan oleh banyak negara, khususnya Kanada, Norwegia, dan
Jepang. Negara-negara Asia Tenggara lebih terfokus kepada keamanan bersama dibandingkan ke
keamanan manusia
Kata Kunci: keamanan manusia, realisme, keamanan tradisional, keamanan non tradisional
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201634
PENDAHULUAN
KetikaApollomendekatibulan,seorangastronotAmerikamemberitahustasiun
kendali bahwa hal yang paling mengesankan dalam dalam perjalanan ruang agkasa
adalah melihat bumi sebagai sebuah planet tanpa perbatasan. Dari ruang angkasa, ia
melihat bumi sejenak terbebas dari konflik bersenjata dan retorika permusuhan. Ia
menyuarakan pandangan orang banyak, jika perdamaian abadi ingin dijelang, sistem
internasional harus lebih dahulu dirombak, harus dikurangi. Karena kecewa dengan
perimbangan kekuasaan, perimbangan teror dan berbagai bentuk distibusi kekuasaan
lainnya, maka para pengamat mulai dari kaum utopia abad ke sembilan belas hingga
para tokoh futuris zaman ini berusaha mencari alternatif-alternatifnya. Mereka
mencurahkan perhatiannya pada satu masalah: bagaimana melenyapkan kemampuan
negara menciptakan kekacauan?1
Pemikiran astronot di atas tidak lepas dari situasi munculnya sejumlah
pertanyaan dari masyarakat internasional mengenai kemampuan PBB dalam menjaga
stabilitas internasional yang terwujud dalam tiga hal: (1) peningkatan perdamaian;
(2) penciptaan perdamaian, dan (3) pemeliharaan perdamaian. Mampukah PBB
memperbaiki persepsi internasional, sehingga dorongan berperang dapat dikurangi?
Apabila konflik terlanjur terjadi, dapatkah PBB menjadi penengah dan memulihkan
ketertiban? Apabila konflik itu berhasil dipadamkan, dapatkah PBB memberikan
pengaruhnya secara konsisten guna mempertahankan status quo yang damai itu?2
Ketiga pertanyaan di atas semakin sulit dijawab mengingat masa Perang Dunia
I, Perang Dunia II, dan era Perang Dingin, situasi politik internasional dikuasai oleh
pendekatan realis yang lebih mengedepankan pada keamanan nasional (national
security) dalam upaya mewujudkan national interest (kepentingan nasional). Cara
pandang realis yang lebih memilih perlindungan negara dari pada warga negaranya
yang menurut Sadako Ogata dalam Commission on Human Security (CHS) dalam Erwin
mengemukakan bahwa secara tradisional, ancaman terhadap keamanan dianggap
berasal dari sumber eksternal, sebagai contoh perlindungan negara, batas wilayahnya,
warga, institusi, dan nilai-nilai dari serangan pihak luar.3
Isu keamanan oleh karenanya
dikaji dalam konteks keamanan negara (state security).
1	 Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: kekuasaan, Ekonomi-Politik Internasional, dan Tatanan Dun-
ia 2 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 477.
2	 Ibid., hal. 391.
3	 Erwin Ruhiyat. “Pengantar Kajian Human Security”, taki-Taki ( Jurnal on-line). Tersedia di web http://
id.scribd.com/doc/14988976/Pengantar Human Security, [Diakses 26 Agustus 2015].
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 35
Keamanan nasional telah mempunyai sejarah yang panjang. Lebih kurang
350 tahun yang lalu, tepatnya sejak disepaktinya penghentian perang tiga puluh
tahun yang dituangkan dalam Treaties of Wespahalia (1648). Pada awalnya, definisi
keamanan nasional diartikan sebagai upaya yang bertujuan mempertahankan integritas
teritorial suatu negara dan kebebasan untuk menentukan bentuk pemerintahan
sendiri. Namun dengan perkembangan global dan semakin kompeksnya hubungan
antar negara serta beragamnya ancaman yang dihadapi oleh negara-negaa di dunia,
maka rumusan dan praktek penyelenggaraan keamanan cenderung dilakukan secara
bersama-sama (collective security) menjadi acuan penting negara-negara dunia yang
dalam pelaksanaannya tidak hanya dilakukan untuk menjaga kedaulatan negara, tetapi
juga menjaga keamanan warga negara.4
Brian White, Richard Little dan Michael Smith sebagaimana dikutip Budi
Winarno, menyatakan bahwa dalam membahas isu-isu global, banyak pengamat
hampir selalu berangkat darin titik pijak yang sama, yakni berakhirnya Perang Dingin.
Berakhirnya Perang Dingin tersebut lantas dikaitkan dengan dunia komtemporer
yakni globalisasi.5
Pasca berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur
terkait perang ideologi, isu-isu internasional tidak lagi mengedepankan pada isu militer
dan politik saja, tetapi juga muncul isu-isu baru yang selama Perang Dingin terabaikan,
kini menjadi pusat perhatian berbagai kalangan di dunia. Isu inilah yang kemudian
disebut dengan isu-isu global kontemporer pasca Perang Dingin.
Berbicara isu global, ada beberapa indikator yang membuat suatu isu menjadi
global. Pertama, isu yang memperoleh perhatian dari para elit pembuat kebijakan dari
sejumlah besar pemerintah mencakup beberapa isu penting, dan pemerintah terlibat
dalam perdebatan publik mengenai isu-isu tersebut. Kedua, isu yang memperoleh
liputan secara terus-menerus dalam pers dunia –dalam surat kabar dan majalah,
siaran radio dan tayangan televisi. Ketiga, isu yang menjadi subjek studi, penelitian,
perdebatan secara serius dan terus menerus oleh kelompok-kelompok professional,
scholars, scientists, dan technical experts di seluruh masyarakat internasional atau dunia.
Keempat, isu yang nampak dalam agenda atau perdebatan-perdebatan tentang agenda
organisasi-organisasi internasional.6
Fokus pembahasan isu-isu global kontemporer mencakup mencakup tujuh
bahasan utama, yaitu: (1) kesehatan dan kemiskinan (wealth and poverty); (2)
4	 Iwan., “ National Security, Human Security, HAM dan Demokrasi”, Blog tersedia dalam http:/Iwansmile.
Wordpress.com/national-security-human-security-ham-dan-demokrasi, [Diakses 27 Agustus 2015].
5	 Budi Winarno., Isu-Isu Global Kontemporer (Yogjakarta: CAPS, 2011), hal. 15.
6	 Ibid, hal. 18-19.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201636
penduduk (population); (3) makanan (food); (4) energi; (5) lingkungan (environment);
(6) teknologi (technology) dan; (7) isu-isu masa depan seperti seperti perang nuklir,
pencemaran lingkungan, dan overpopulation.7
Sementara itu, pakar lain mengemasnya
secara berbeda dengan memfokuskan pada bahasan utama yang lebih luas seperti
ekonomi dan perdagangan, kemiskinan dan kesenjangan global, pembangunan
internasional, kerjasama kawasan, globalisasi dan isu demokrasi, energi, lingkungan
dan pemanasan global, terorisme dan keamanan global, krisis pangan dunia, hak asasi
manusia (HAM), nasionalisme dan konflik etnik, proliferasi senjata nuklir, global
governance dan tata kelola dunia internasional, korupsi dan the captures state, kejahatan
perdagangan manusia.8
Dengandemikian,diantarapakarstudiHItentangmasalahglobalkontemporer
dengan istilah yang berbeda, tetapi intinya adalah menelaah persoalan-persoalan yang
menjadi fokus dan berdampak secara internasional, seperti isu penduduk, pangan,
teknologi, standar global kualitas hidup, makanan, HAM, perdagangan, keuangan,
lingkungan, dan energi.9
Secara pararel, berkembangnya isu-isu baru dalam hubungan internasional
telah menggeser makna konsep keamanan itu sendiri, di mana pada era Perang
Dingin, konsep keamanan hanya terpusat pada national security, di mana situasi politik
internasional pada saat itu didominasi oleh perang antar negara, sehingga konsep
keamanan lebih bersifat state-centric yang dalam formulasi klasik. Keamanan adalah
bagaimana negara menggunakan kekuatan (power) untuk mengelola ancaman (threats)
terhadap integritas teritorial, otonomi, dan ketertiban politik dalam negeri mereka,
terutama dari negara-negara lain.10
Salah satu kritikan atas formulasi keamanan klasik adalah bahwa keamanan
tidak dapat dibatasi pada kesejahteraan negara. Dari perspektif ini, tersirat rumusan
keamanan klasik adalah perlindungan (protection) dan kesejahteraan negara, sedangkan
apa yang seharusnya menjadi pusat perhatian adalah perlindungan dan kesejahteraan
dari warga negara secara individu (human being).11
Namun dalam era pasca Perang
7	 Ibid
8	 Op.cit, hal. 11 - 14
9	 John T. Rouke, International Politics on the World Stage, (Connecticut, USA:The Duskhin Publishing Group,
Inc, 1989), hl. 517 – 532; Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: kekuasaan, Ekonomi-Politik In-
ternasional, dan Tatanan Dunia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 477- 523; Daniel S Papp,
Contemporary International Relations Framework for Understanding (USA: Macmillan Publishing, 1984). Van-
dana, 1996, Theory of International Politics (New Delhi: Vikas Publishing House Pvt. Ltd, 1996).
10	 Erwin Ruhiyat.loc.cit.
11	 Ibid, hlm 1-2.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 37
Dingin, konsep national security yang formulasi keamanan klasiknya terpusat kepada
kepentingan negara, telah mengalami pergeseran menjadi terpusat kepada melindungi
individu dan masyarakat, baik di dalam suatu negara maupun masyarakat di seluruh
dunia. Konsep inilah yang dikenal sekarang dengan konsep human security.
Konsep human security itu sendiri mempunyai ruang lingkup yang lebih luas
dari pada national security karena keamanan umat manusia pada dasarnya merupakan
ancaman terhadap seluruh umat manusia yang bersifat global telah menimbulkan reaksi
yang beragam di kalangan pengkaji keamanan maupun para pengambil kebijakan.
Ada yang pro maupun kontra dengan berbagai argumen, sehingga dapat dikatakan
bahwa national security merupakan salah satu bagian dari human security. Makalah
ini ini mendeskripsikan alur pemikiran munculnya pemikiran human security beserta
implementasinya oleh berbagai negara.
	
PEMBAHASAN
Asal Mula Human Security
Kajian keamanan manusia juga merupakan obyek teori HI. Keamanan manusia
berfungsi sebagai buku alat untuk mengubah praktik politik pemimpin seperti yang
disarankan misalnya oleh Harvard Program on Humanitarian Policy Conflict Research.
Menurut Stanley Hoffman seperti dikutip Frederic Ramel, ada dua jenis teori yang
harus dibedakan: yaitu empiris (kerangka kerja konseptual yang menjelaskan atau
memahami realitas melalui studi empiris) dan filosofis yang berdasarkan sifat manusia.12
Dalam studi HI (khususnya politik internasional), pemahaman tradisional
mengenai keamanan difokuskan kepada keamanan untuk negara, sehingga pada era
Perang Dingin didominasi oleh pemahaman keamanan sebagai upaya pemerintah
untuk melindungi wilayahnya dari serangan militer yang dalam paradigma akademisi,
pendekatansemacaminidisebutdenganrealis.Perdebatanmengenaikeamanankembali
muncul pada era Perang Dingin, dimana kasus baru dalam kejahatan internasional dan
bahaya lingkungan telah mengancam keamanan negara, sehingga makna mengenai
keamanan negara dipertanyakan dan perlu dikaji ulang.13
12	 Frederic Ramel, “ Human Security and Political Philosophy in the Light of Judish Shaklar’s Writing”, dalam
Human Security Journal, Vol. 5, (2007), hal. 28.
13	 Tor Dahl-Eriksen, “ Human Security A New Concept which Adds New Dimensions to Human Rights Dis-
cussions”, dalam Human Security Journal, Vol. 5, (2007), hal. 17.
ALTERNATIF VOL 06 (1) 201638
Gagasan baru mengenai keamanan bukan hanya untuk negara, tetapi bagi
umat manusia keseluruhan mengemuka pasca Perang Dingin yang lebih memfokuskan
diri pada aktor yang abstrak, tidak hanya negara, tetapi juga individu dan kelompok.
Ide tentang human security membangkitkan kembali perdebatan mengenai apa itu
keamanan dan bagaimana mencapainya. Paling tidak ada tiga kontroversi dalam
perdebatan tersebut. Pertama, human security merupakan gagasan dan upaya negara-
negara Barat dalam bungkus untuk menyebarkan nilai-nilai tentang HAM. Kedua,
human security, sebagai suatu konsep, bukanlah hal baru. Human security yang secara
luas mencakup isu-isu non militer juga sudah dikembangkan di dalam konsep
keamanan komprehensif. Ketiga, paling tajam adalah perbedaan dalam definisi dan
upaya untuk mencapai human security oleh masing-masing pemerintahan nasional
berdasarkan sudut pandang, pengalaman, dan prioritas yang berbeda.14
Dengan demikian, dilihat dari substansinya, gagasan human security yang
terpusat pada keamanan individu bukanlah hal yang baru dalam disiplin Ilmu HI, hal
ini dapat dari Konvensi Jenwa diketemukan dalam dokumen penting, seperti Protokol
tambahan dalam Geneva Convention ( 1864/1944/1977), Piagam PBB tahun 1945
yang disusul oleh Deklarasi Universal Hak-hak Azasi manusia tahun 1948, Laporan
dari The Palme Commission ( 1982) dengan judul “Common Security” dan terakhir
laporan dari The Brundtland Commission ( 1982).15
Berdasarkan dokumen penting tersebut, nampak bahwa berdirinya Palang
Merah Internasional (International Red Cross) pada 1864 merupakan reaksi dari
bencana kemanusiaan sebagai akibat peperangan yang luar biasa, sehingga mendorong
masyarakat internasional untuk mendirikan suatu lembaga kemanusiaan. Ini berarti
bahwa munculnya nation state sebagai akibat dari Perjanjian Wesphalia (1648) yang
secaraformal mengakuistatesovereigntymenjadibasisutamadalampolitikinternasional.
Konsep modern tentang kedaulatan berhubungan dengan gagasan pengembangan
wilayah teritorial dan sentralisasi kekuasaan monarki yang hingga sekarang di beberapa
kerajaan, konsep kedaulatan tetap bertahan. Pada abad 20, koloni-koloni kerajaan
yang sudah merdeka. Tetapi tetap saja wilayah terotorialnya di bawah pengawasan
kedaulatan dari negara lain.16
Berakhirnya Perang Dingin dan meningkatnya globalisasi telah memunculkan
perubahan fundamental dalam paradigma ilmu sosial, diantaranya munculnya ide-
14	 Edy Prasetyono, “ Human Security”, Makalah, disampaikan pada FGD Propatria. Hotel Santika Jakarta, 11
September 2013, hal. 1.
15	 loc.cit
16	 Tor Dahl-Eriksen, op.cit. hlm 23.
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)

More Related Content

What's hot

Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...
Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...
Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...
Daniel Arie
 
Hakikat Bahasa Indonesia
Hakikat Bahasa IndonesiaHakikat Bahasa Indonesia
Hakikat Bahasa Indonesia1231011994
 
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
Coral Reef
 
Tugas prof. hapzi hubungan filsafat dengan ilmu lainnya
Tugas prof. hapzi hubungan filsafat dengan ilmu lainnyaTugas prof. hapzi hubungan filsafat dengan ilmu lainnya
Tugas prof. hapzi hubungan filsafat dengan ilmu lainnya
Joko Supono
 
Dunia pada masa perang dingin
Dunia pada masa perang dinginDunia pada masa perang dingin
Dunia pada masa perang dingin
Paranody
 
Pancasila di era reformasi
Pancasila di era reformasiPancasila di era reformasi
Pancasila di era reformasi
Fathur Rohman
 
Perpecahan Uni Soviet
Perpecahan Uni SovietPerpecahan Uni Soviet
Perpecahan Uni Soviet
kirana1004
 
Kelompok sosial dan hubungan antar kelompok
Kelompok sosial dan hubungan antar kelompokKelompok sosial dan hubungan antar kelompok
Kelompok sosial dan hubungan antar kelompok
Nari Chaos
 
Institusi sosial - Sosiologi
Institusi sosial - SosiologiInstitusi sosial - Sosiologi
Institusi sosial - Sosiologi
Rizky Erliyandi
 
Lembaga sosial
Lembaga sosialLembaga sosial
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah PublikJurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik
Satrio Arismunandar
 
Objek dan ciri ciri sosiologi
Objek dan ciri ciri sosiologiObjek dan ciri ciri sosiologi
Objek dan ciri ciri sosiologi
Arinda Natalia
 
Perkembangan sosiologi di indonesia
Perkembangan sosiologi di indonesiaPerkembangan sosiologi di indonesia
Perkembangan sosiologi di indonesia
Fikri Prasetyo Wicaksono
 
Komunisme..
Komunisme..Komunisme..
Komunisme..
Dewi Annisa
 
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945
Rido Frans
 
Penyalahgunaan iptek
Penyalahgunaan iptekPenyalahgunaan iptek
Penyalahgunaan iptek
hariyanto81
 
Model-Model Politik Luar Negeri
Model-Model Politik Luar NegeriModel-Model Politik Luar Negeri
Model-Model Politik Luar Negeri
Chartika Chika
 
Sosiologi 2
Sosiologi 2Sosiologi 2
Sosiologi 2
lombkTBK
 
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)
DIP IPDN Angkatan 3
 

What's hot (20)

Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...
Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...
Ppt materi sosiologi kelas x bab 1. sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat...
 
Hakikat Bahasa Indonesia
Hakikat Bahasa IndonesiaHakikat Bahasa Indonesia
Hakikat Bahasa Indonesia
 
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
 
Tugas prof. hapzi hubungan filsafat dengan ilmu lainnya
Tugas prof. hapzi hubungan filsafat dengan ilmu lainnyaTugas prof. hapzi hubungan filsafat dengan ilmu lainnya
Tugas prof. hapzi hubungan filsafat dengan ilmu lainnya
 
Dunia pada masa perang dingin
Dunia pada masa perang dinginDunia pada masa perang dingin
Dunia pada masa perang dingin
 
Pancasila di era reformasi
Pancasila di era reformasiPancasila di era reformasi
Pancasila di era reformasi
 
Perpecahan Uni Soviet
Perpecahan Uni SovietPerpecahan Uni Soviet
Perpecahan Uni Soviet
 
Multikulturalisme
MultikulturalismeMultikulturalisme
Multikulturalisme
 
Kelompok sosial dan hubungan antar kelompok
Kelompok sosial dan hubungan antar kelompokKelompok sosial dan hubungan antar kelompok
Kelompok sosial dan hubungan antar kelompok
 
Institusi sosial - Sosiologi
Institusi sosial - SosiologiInstitusi sosial - Sosiologi
Institusi sosial - Sosiologi
 
Lembaga sosial
Lembaga sosialLembaga sosial
Lembaga sosial
 
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah PublikJurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik
 
Objek dan ciri ciri sosiologi
Objek dan ciri ciri sosiologiObjek dan ciri ciri sosiologi
Objek dan ciri ciri sosiologi
 
Perkembangan sosiologi di indonesia
Perkembangan sosiologi di indonesiaPerkembangan sosiologi di indonesia
Perkembangan sosiologi di indonesia
 
Komunisme..
Komunisme..Komunisme..
Komunisme..
 
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945
Sistem konstitusi & dinamika pelaksanaan uud 1945
 
Penyalahgunaan iptek
Penyalahgunaan iptekPenyalahgunaan iptek
Penyalahgunaan iptek
 
Model-Model Politik Luar Negeri
Model-Model Politik Luar NegeriModel-Model Politik Luar Negeri
Model-Model Politik Luar Negeri
 
Sosiologi 2
Sosiologi 2Sosiologi 2
Sosiologi 2
 
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)
 

Similar to Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)

Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologi
Novira Chaniago II
 
Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologi
Yasirecin Yasir
 
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaFilsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Ainina Sa'id
 
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Dr. Umar S. Bakry
 
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No. 02 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No. 02 (2016)Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No. 02 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No. 02 (2016)
Dr. Umar S. Bakry
 
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Edi Awaludin
 
Kelompok 8
Kelompok 8Kelompok 8
Kelompok 8
zachazizah
 
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
ARIS SETIYANI
 
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
ARIS SETIYANI
 
RISET AKSI: SEJARAH, PERKEMBANGAN, DAN POSISINYA DALAM PARADIGMA PENELITIAN
RISET AKSI: SEJARAH, PERKEMBANGAN, DAN POSISINYA DALAM PARADIGMA PENELITIANRISET AKSI: SEJARAH, PERKEMBANGAN, DAN POSISINYA DALAM PARADIGMA PENELITIAN
RISET AKSI: SEJARAH, PERKEMBANGAN, DAN POSISINYA DALAM PARADIGMA PENELITIAN
saidokoro
 
Sifat & arti politik
Sifat & arti politikSifat & arti politik
Sifat & arti politik
virmannsyah
 
FALSAFAH KESATUAN ILMU RISKA AMI.docx
FALSAFAH KESATUAN ILMU RISKA AMI.docxFALSAFAH KESATUAN ILMU RISKA AMI.docx
FALSAFAH KESATUAN ILMU RISKA AMI.docx
RiskaAmiApriliani
 
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf
AhmadIlhamRiwaldi
 
Kel 6
Kel 6Kel 6
Kel 6
Bung Ri
 
Filsafat pendidikan
Filsafat pendidikanFilsafat pendidikan
Filsafat pendidikan
Amalia si amal
 
FALSAFAH KESATUAN ILMU_ANGGRAENI YUSPITA.docx
FALSAFAH KESATUAN ILMU_ANGGRAENI YUSPITA.docxFALSAFAH KESATUAN ILMU_ANGGRAENI YUSPITA.docx
FALSAFAH KESATUAN ILMU_ANGGRAENI YUSPITA.docx
anggraeni yuspita
 
Bab 1
Bab 1Bab 1
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahmanIslamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
Lentera: Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi
 
Resep ym25
Resep  ym25Resep  ym25
Resep ym25
albert giban
 

Similar to Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016) (20)

Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologi
 
Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologi
 
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaFilsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
 
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
 
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No. 02 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No. 02 (2016)Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No. 02 (2016)
Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No. 02 (2016)
 
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
 
Kelompok 8
Kelompok 8Kelompok 8
Kelompok 8
 
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
 
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
Filsafat ilmu, aris setiyani, hapzi ali, hubungan filsafat dengan ilmu ilmu l...
 
Salim ismail roji
Salim ismail rojiSalim ismail roji
Salim ismail roji
 
RISET AKSI: SEJARAH, PERKEMBANGAN, DAN POSISINYA DALAM PARADIGMA PENELITIAN
RISET AKSI: SEJARAH, PERKEMBANGAN, DAN POSISINYA DALAM PARADIGMA PENELITIANRISET AKSI: SEJARAH, PERKEMBANGAN, DAN POSISINYA DALAM PARADIGMA PENELITIAN
RISET AKSI: SEJARAH, PERKEMBANGAN, DAN POSISINYA DALAM PARADIGMA PENELITIAN
 
Sifat & arti politik
Sifat & arti politikSifat & arti politik
Sifat & arti politik
 
FALSAFAH KESATUAN ILMU RISKA AMI.docx
FALSAFAH KESATUAN ILMU RISKA AMI.docxFALSAFAH KESATUAN ILMU RISKA AMI.docx
FALSAFAH KESATUAN ILMU RISKA AMI.docx
 
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf
 
Kel 6
Kel 6Kel 6
Kel 6
 
Filsafat pendidikan
Filsafat pendidikanFilsafat pendidikan
Filsafat pendidikan
 
FALSAFAH KESATUAN ILMU_ANGGRAENI YUSPITA.docx
FALSAFAH KESATUAN ILMU_ANGGRAENI YUSPITA.docxFALSAFAH KESATUAN ILMU_ANGGRAENI YUSPITA.docx
FALSAFAH KESATUAN ILMU_ANGGRAENI YUSPITA.docx
 
Bab 1
Bab 1Bab 1
Bab 1
 
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahmanIslamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
 
Resep ym25
Resep  ym25Resep  ym25
Resep ym25
 

Jurnal HI ALTERNATIF Vol. 06 No.1 (2016)

  • 1. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 i ALTERNATIFJURNAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL Pelindung: Ketua Yayasan Jayabaya Pembina: Rektor Universitas Jayabaya Prof. H. Amir Santoso, Ph.D Penanggung Jawab: Dekan FISIP Univ. Jayabaya Drs. Erwin Zein, M.Si Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi: Dr. Umar S. Bakry Mitra Bestari: Prof. Dr. Arry Bainus, MA Prof. Yanyan M. Yani, Ph.D Prof. Bob S. Hadiwinata, Ph.D Prof. Suke Djelantik, Ph.D Musafir Kelana, Ph.D Redaktur Pelaksana: Drs. Denny Ramdhany, M.Si Sekretaris Redaksi: Iin Sofyan, SE, MM Dewan Editor: Drs. Saiful Syam, MA, Ph.D Dra. Siti Hajar, M.Si, Ph.D Drs. Subarno, M.Hum Dra. Ambarwati, M.Si Drs. Mansyur Kardi, M.Si Sinta Julina, S.Sos, M.Si Alamat Redaksi: FISIP-HI Universitas Jayabaya Jl. Pulomas Selatan Kav. 23 Jakarta Timur 13210 Telp/Fax: 021-4700903 HP 08111755379/0818718570 E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg ISSN: 2087 – 7048 VOLUME 06 NOMOR 01 – 2016 DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI (Hal. ii) STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL MADZAB CHINA: ALIRAN PEMIKIRAN ALTERNATIF (Hal. 1 – 15) PEMIKIRAN GEOPOLITIK PASCA PERIODE PERANG DINGIN (Hal. 16 – 32) MENYIMAK PERGESERAN NATIONAL SECURITY KE HUMAN SECURITY DALAM ERA GLOBAL KONTEMPORER (Hal. 33 – 50) ANALISIS JARINGAN DALAM KOMUNIKASI INTERNASIONAL (Hal. 51 – 66) KERJASAMA KEAMANAN ASEAN: PERSPEKTIF KONSTRUKTIVIS (Hal. 67 – 78) PEDOMAN PENULISAN (Hal. 79-80) ALTERNATIF adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pogram Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jayabaya. Jurnal ini terutama ditujukan untuk menampung hasil-hasil penelitian dan pemikiran- pemikiranalternatifdalamIlmuHubunganInternasional. Jurnal ini terbuka untuk seluruh komunitas studi HI dan peminat masalah-masalah internasional. Jurnal terbit dua kali (dua volume) dalam setahun.
  • 2. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016ii PENGANTAR REDAKSI Hubungan internasional pasca Perang Dingin (Cold War) mengalami perubahan sangat fundamental dalam berbagai aspek. Dalam lingkup teori, setelah berakhirnya struktur bipolarTimur-Barat, berbagai teori baru muncul sebagai alternatif maupun kritik terhadap teori-teori arus utama (mainstream theories) yang berkembang sejak kelahiran studi HI pasca Perang Dunia I. Dalam lingkup fenomena, sejak awal dasawarsa 1990-an muncul berbagai perkembangan dalam masyarakat dunia, yang membuat tema-tema lama yang mendominasi studi HI selama periode Perang Dingin, mulai ditinggalkan. Sebagai bentuk pertanggung jawaban akademik atas berbagai perubahan tersebut, Jurnal Ilmu Hubungan Internasional ALTERNATIF akan senantiasa hadir dengan tulisan-tulisan yang memberikan penekanan pada adanya perubahan- perubahan tersebut. Dalam edisi kali ini, seluruh tulisan yang dimuat dalam jurnal ini berorientasi pada perubahan (changes) yang terjadi dalam pentas hubungan internasional yang pada akhirnya berimplikasi pada studi HI. Tulisan pertama karya Umar Suryadi Bakry membahas munculnya madzab China (Chinese School) sebagai pemikiran alternatif dalam studi HI yang mulai menyedot perhatian dari komunitas HI di Eropa dan Amerika. Tulisan kedua karya Chairul Ansari Pane mengulas tentang perubahan atau evolusi pemikiran dalam geopolitik, terutama setelah berakhirnya Perang Dingin. Selain tentang perubahan konsepsi mengenai ruang (space) dalam geopolitik, tulisan ini juga mengulas perubahan geopolitik Amerika Serikat dan Rusia pasca Perang Dingin. Tulisan ketiga karya Denny Ramdhany juga mengelaborasi pergeseran paradigma tentang keamanan dunia, yakni dari orientasi keamanan nasional (national security) ke keamanan manusia (human security). Tulisan keempat karya Gema Nusantara Bakry mencoba mengintrodusir analisis jaringan (network analysis) dalam studi HI, khususnya dalam komunikasi internasional. Sedangkan tulisan terakhir karya Jordan Rabin Dongoran membedah isu kerjasama keamanan ASEAN dengan menggunakan perspektif konstruktivis. Semoga seluruh artikel yang kami sajikan dalam edisi kali ini bermanfaat bagi komunitas studi HI. Selamat membaca! • Redaksi
  • 3. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 1 STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL MADZAB CHINA: ALIRAN PEMIKIRAN ALTERNATIF Oleh: Umar Suryadi Bakry Dosen FISIP-HI Universitas Jayabaya E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg ABSTRACT Since its inception after World War I, the study of International Relations (IR) is synony- mous with the American social science. As pointed out by Stanley Hoffman that IR still an American social science. Ole Waever also emphasize that an American hegemony exists and that it influences the theoretical profile of the discipline of IR. However, over the last three decades, a multiplicity of different approaches, theories, or school of though which attempt to explain the way in which actors interact or international events has appeared. One of these different approaches or alternatives is Chinese School. This paper investigates all about the Chinese School of International Relations, including: the origins of an emergence of a Chinese School of IR, the meaning and the the nature of the Chinese School of IR, the relevance of the Chinese School to contemporary international relations problems, etc. In this paper, the authors refer to Zhao Tingyang’s opinion that Tianxia or the Chi- nese theory of All-under-Heaven is the best philosophy for the world governance. Tianxia is a more appropriate ‘world theory’ than ‘international theory’ in dealing with world problems. Key Words: Tianxia, All-under-Heaven, Chinese School, world theory, international theory. ABSTRAK Sejak kelahirannya setelah Perang Dunia I, studi Hubungan Internasional (HI) adalah identik dengan ilmu sosial Amerika. Seperti ditunjukkan oleh Stanley Hoffman bahwa studi HI masih merupakan ilmu sosial Amerika. Ole Waever juga menegaskan bahwa hegemoni Amerika memang ada dan bahwa hegemoni itu mempengaruhi profil teoritis dari disiplin HI. Namun, sela- ma tiga dekade terakhir, banyak pendekatan, teori, atau aliran pemikiran yang berbeda, mencoba untuk menjelaskan cara di mana aktor-aktor berinteraksi atau peristiwa-peristiwa internasional yang terjadi. Salah satu pendekatan atau alternatif yang berbeda tersebut adalah ‘madzab China’. Makalah ini membahas semua hal tentang Studi HI madzab China, termasuk: asal-usul dari munculnya studi HI madzab China, makna dan hakikat dari studi HI madzab China, relevansi madzab China untuk masalah-masalah hubungan internasional kontemporer, dan sebagainya. Dalam tulisan ini, penulis merujuk pada pendapat Zhao Tingyang bahwa Tianxia atau teori China tentang All-under-Heaven adalah filosofi terbaik untuk pemerintahan dunia. Tianxia lebih tepat disebut sebagai ‘teori dunia’ daripada ‘teori internasional’ untuk menangani masalah-mas- alah dunia. Kata Kunci: Tianxia, All-Under-Heaven, madzab China, teori dunia, teori internasional.
  • 4. ALTERNATIF VOL 06 (1) 20162 PENDAHULUAN MESKIPUN secara formal studi Hubungan Internasional (selanjutnya disingkat studi HI) sebagai disiplin akademis lahir di Inggris, dalam perkembangannya kemudian studi HI identik dengan ilmu sosial khas Amerika. Artinya, studi HI yang kita kenal selama ini dan dipelajari di hampir semua universitas di seluruh dunia (termasuk di Indonesia), identik dengan studi HI yang berkembang di Amerika atau yang didominasi pemikiran-pemikiran Amerika. Menurut Stanley Hoffmann, hampir semua pemikiran besar mengenai HI yang muncul di Eropa (baik mengenai demokrasi, perang, diplomasi, kebijakan luar negeri, dan strategi militer maupun dalam metode-metode penelitian) terinspirasi oleh pemikiran dan tradisi Amerika. Bahkan, pemikiran-pemikiran Amerika mengenai hubungan internasional telah menjadi acuan bagi lahirnya pemikiran-pemikiran dan kajian-kajian HI di seluruh dunia. Bapak pendiri (the founding father), atau banyak orang menyebut “nabi” dari studi HI itu sendiri berasal dari Amerika (Hans Morgenthau). Stanley Hoffmann, dalam artikelnya yang dimuat di jurnal Daedalus (1977), menegaskan bahwa studi HI merupakan ilmu sosial Amerika.1 Pernyataan yang sangat ‘provokatif’ dari Hoffmann ini kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh sedikitnya empat orang sarjana HI, Miles Kahler (1993), Steve Smith (2000), Robert Crawford dan Darryl Jarvis (2001), dan Stephen Walt (2011). Keempat pakar ini secara substansi sepakat dengan pernyataan Hoffmann bahwa studi HI masih merupakan ilmu sosial Amerika(InternationalRelationsstillanAmericansocialscience).SedangkanKaleviHolsti (1987) secara agak santun dan tidak egois menyatakan bahwa studi HI merupakan disiplin yang dikuasi bersama oleh Amerika dan Inggris (International Relations as an Anglo-American condominium).2 Sementara itu Alfred Grosser sejak 1950-an secara lebih provokatif sudah menyatakan bahwa studi HI telah menjadi spesialitas Amerika (American specialty). Ole Waever juga menyimpulkan bahwa studi HI is not international discipline, melainkan produk dari hegemoni Amerika. Ia memprediksikan bahwa hegemoni Amerika dalam disiplin akademis HI masih akan terus berlanjut di masa depan sepanjang negara itu masih memegang hegemoni dalam hubungan internasional.3 Dalam bahasa yang 1 Stanley Hoffmann, “An American Social Science: International Relations”, dalam Daedalus, Vol. 106 No. 3 (1977), pp. 41-60. 2 Kalevi J. Holsti, The Dividing Discipline: Hegemony and Diversity in International Theory (Boston: Allan and Unwin Publishing, 1987). 3 Ole Waever, “The Sociology of a Not So International Discipline: American and European Developments in International Relations”, dalam International Organization, Vol 52 No. 4 (1998), pp. 687-727.
  • 5. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 3 hampirsama,RobertCrawforddanDarrylJarvismenyatakanbahwastudiHIhidupdan berkembang di bawah hegemoni Amerika dan ini cenderung akan bertahan. Sedangkan Steve Smith dalam tulisannya berjudul “The discipline of International Relations: still an American social science?”, menyatakan bahwa studi HI masih dianggap sebagai ilmu sosial Amerika karena dari hegemoni Amerika Serikat yang menjadi kekuatan dunia baik dalam politik internasional maupun ekonomi internasional.4 Dengan kata lain, status sebagai hegemon telah memungkinkan Amerika melakukan hegemoni dalam ilmu pengetahuan. Dalam artikelnya berjudul “The United States and the Discipline of International Relations: Hegemonic Country, Hegemonic Discipline”, Smith mengatakan studi tentang hubungan internasional didominasi oleh civitas akademika Amerika dalam banyak cara yang sama seperti negara itu mendominasi politik dunia. Studi HI madzab Amerika telah mendominasi pembelajaran studi HI di seluruh dunia sejak awal dekade 1920-an hingga saat ini. Dengan kata lain, studi HI yang selama ini dipelajari oleh mahasiswa HI di seluruh dunia itulah madzab Amerika. Menurut sejumlah pakar, dua teori atau aliran pemikiran dalam studi HI yang identik dengan worldview orang Amerika mengenai hubungan internasional adalah liberalisme (dengan segala variannya) dan realisme (dengan berbagai bentuknya). Dua teori inilah yang mendominasi pengajaran tentang teori-teori HI sejak kelahiran studi HI 1919 hingga saat ini. Politik luar negeri Amerika Serikat sendiri selama ini juga senantiasa dibentuk atau diinspirasi berdasarkan teori-teori realisme dan liberalisme. Secara demikian dapat dikatakan bahwa studi HI ciri khas Amerika (American-style International Relations) adalah realisme dan liberalisme.5 Sejumlah sarjana Amerika yang pemikiran-pemikirannya mengenai realisme banyak mewarnai pembelajaran studi HI di seluruh dunia diantaranya Hans Morgenthau, George Kennan, Nicholas Spykman, Herman Kahn, Edward Carr, Robert Jervis, Kenneth Waltz, Stephen Waltz, Robert Gilpin, John Mearsheimer, Robert Art dan sebagainya. Sedangkan sarjana Amerika yang karya-karyanya mengenai liberalisme banyak menjadi acuan di berbagai negara adalah Woodrow Wilson, Michael Dole, Robert Keohane, Joseph Nye, Andrew Moravcsik, Jack Snyder, dan masih banyak lagi. Kendati demikian, sejak Perang Dingin (the Cold Ward) berakhir, dalam komunitas studi HI mulai berkembang banyak inisiatif untuk keluar dari hegemoni studi HI Amerika yang telah terbukti gagal mengkalkulasi beberapa peristiwa besar 4 Steve Smith, “The discipline of International Relations: still an American social science?”, dalam The British Journal of Politics & International Relations”, Vol. 2 No. 3 (2000), pp. 374-402. 5 Lihat tulisan G. John Ikenberry, “Liberalism in a Realist World: International Relations as a Scholarly Amer- ican Tradition”, dalam International Studies, Vol. 56 No. 1 & 2 (2009), hal. 203-219.
  • 6. ALTERNATIF VOL 06 (1) 20164 dalam politik dunia. Pasca Perang Dingin mulai muncul banyak pemikiran alternatif untuk mengimbangi studi HI khas Amerika. Melalui literatur studi HI yang terbit mulai dekade 1990-an, kita mulai akrab dengan istilah-istilah seperti madzab Inggris (English School), madzab Kopenhagen (Copenhagen School), madzab Frankfurt (Frankfurt School), madzab Perancis (France School), dan sebagainya. Selain itu, juga ada sejumlah upaya di kalangan sejumlah sarjana HI untuk tidak terlalu tergantung pada teori-teori HI Barat (Amerika dan Eropa), sebagaimana upaya-upaya yang dipelopori Arlene Tickner (Universidad de Los Andes, Bogota, Kolombia). Salah satu ‘gerakan’ untuk melahirkan pemikiran alternatif tentang HI yang keluar dari madzab HI Barat (Amerika dan Eropa) adalah usaha untuk melahirkan studi HI khas China (yang kemudian dikenal dengan Chinese School of International Relations). MADZAB CHINA (CHINESE SCHOOL) Asal-usul madzab China dapat ditemukan dalam diskusi tentang perkembangan studi HI dan teori HI yang terjadi di China sekitar akhir dekade-1980-an. Sejak saat itu di China seering terjadi perdebatan di kalangan komunitas HI mengenai ‘apakah China sebenarnya mempunyai teori HI atau tidak’ atau ‘bagaimana membangun teori HI China’. Beberapa sarjana menganjurkan membangun ‘teori HI dengan karakteristik China’ (International Relations theory with Chinese Characteristics) atau teori-teori HI madzab China (Chinese School of International Relations Theory).6 Ide-ide yang hingga kini menimbulkan polemik (tidak saja di China tapi juga di Eropa dan Amerika) terinspirasi oleh gagasan besar Deng Xiaoping yang ingin membangun ‘sosialisme dengan karakteristik China’ (You zhongguo tese de shehui zuyi) pada awal dasawarsa 1980-an. Perdebatan mengenai studi HI madzab China bermula pada 1986, ketika Wang Jianwei, Lin Zhimin, dan Zhao Yuliang menerbitkan sebuah paper berjudul ‘Nuli chuangian woguo ziji de guoji guanxi lilun tixi’ (melakukan upaya untuk membangun teori HI China). Tak lama setelah itu (1987) disusul sebuah seminar yang diselenggarakan di Shanghai yang membahas topik ‘membangun teori HI dengan karakteristik China’. Saat itu banyak sarjana HI di China (seperti Huan Xiang, Li Shisheng, dan lain-lain) mengungkapkan pandangannya mengenai topik tersebut. Seminar ini dapat dianggap sebagai diskusi awal yang resmi tentang ‘teori HI dengan 6 Wang Jiangli dan Barry Buzan, “The english and Chinese School of International Relations: Comparisons and Lessons”, dalam Chinese Journal of International Politics, Vol. 0 No. 0 (2014), hal. 1-46.
  • 7. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 5 karakteristik China’. Pada awal 1990-an, Liang Shoude dan beberapa ilmuwan HI lainnya menindaklanjuti pembahasan ‘teori HI dengan karakteristik China’ dengan menerbitkan beberapa tulisan yang dimuat di berbagai jurnal ilmiah di China. Sementara istilah ‘studi HI madzab China’ (Guójì guānxì xuéyuàn zhōngguó) itu sendiri pertama kali diluncurkan oleh Zhang Minqian pada 1991. Setelah dilansir oleh Zhang Minqian, terminologi madzab China terus meluas dan menjadi diskusi hangat di lingkungan komunitas studi HI dalam dua dekade ini. Mei Ran, misalnya, melalui analisis dan perbandingan dengan teori HI Amerika, menekankan nilai teoritis dan implikasi praktis dari pembuatan madzab China.7 Ren Xiao, Qin Yaqing, dan Wang Yiwei juga mencatatkan diri sebagai promotor dan penganjur provokatif tentang madzab China. Qin Yaqing secara khusus membuat studi yang paling sistematis, baik mengenai kemungkinan maupun kebutuhan akan ‘studi HI madzab China’. Sarjana HI di China yang juga mempunyai kontribusi dalam upaya membangun studi HI madzab China melalui karya-karya ilmiah diantaranya Zhao Tingyang, Zhang Feng, Liu Yongtao, Yan Xuetong, Feng Tejun, Fu Yaozu, Su Changhe, Ren Xiao, dan masih banyak lagi. Hingga kini madzab China sebagai sebuah aliran pemikiran memang belum mendapat pengakuan formal di kalangan komunitas HI, seperti halnya madzab Inggris atau madzab Frankfurt. Namun seiiring dengan bangkitnya China sebagai kekuatan dunia (world power) wacana mengenai madzab China dalam studi HI mulai menjadi topik utama dalam sejumlah buku dan jurnal tentang hubungan internasional di seluruh dunia. Meskipun telah terjadi perubahan nama dari ‘teori HI dengan karakteristik China’ menjadi ‘studi HI madzab China’, titik awal dan tujuannya tetap tidak berubah, yaitu untuk membangun teori HI China yang berbeda dengan teori-teori HI yang pernah ada sebelumnya. Setidaknya para ilmuwan HI di China ingin memberi sebuah alternatif bagi teori-teori HI arus utama (mainstream International Relations theory) yang didominasi oleh pemikiran Amerika dan Eropa. Seperti halnya madzab Inggris dan madzab-madzab alternatif lainnya, gagasan di balik madzab China adalah untuk menggugat hegemoni teori HI Amerika dan membangun teori HI China yang mampu berdiri sejajar dengan teori-teori HI arus utama. Pada saat yang sama studi HI China perlu membangun kemerdekaannya dari dominasi negara dan ideologi, dengan memberikan prioritas pada metodologi ilmiah. Hanya dengan dasar ilmiah yang dapat diandalkan, komunitas HI di China dapat 7 Mei Ran, “Should There Be A Chinese School of IR Theories –Concurrently on American Theories”, dalam International Politics Quaterly, No. 1 (2000), hal. 63-67.
  • 8. ALTERNATIF VOL 06 (1) 20166 memberikan dasar teoritis bagi kebijakan luar negeri dan praktik diplomatik negara tersebut. Menurut Ren Xiao, perdebatan mengenai madzab China sebagian didorong olehkeinginanuntuk“melarikandiri”darihubunganyangeratdengankebijakannegara yang berlaku sebelum 1990-an. Sedangkan menurut Zhang Xiaoming, keberhasilan reformasi dan politik pintu terbuka China telah menjadi sumber inspirasi bagi para sarjana HI China untuk menghasilkan teori HI asli China. Dengan bangkitnya kekuatan komprehensif China, para sarjana HI China berfikir bahwa cepat atau lambat negara itu akan memanfaatkan potensi bagi muncul dan berkembangnya teori-teori HI dengan karakteristik China.8 QinYaqingsendiritidakmenyebutChineseSchoolsebagaisebuahkontribusibagi studi HI, melainkan lebih sebagai sebuah alternatif dalam studi HI. Qin menyatakan bahwa bangsa China sebenarnya mempunyai sebuah konsep sebagaimana dengan konsep international society yang dipopulerkan oleh madzab Inggris, yaitu Tianxia (天 下) yang dalam bahasa Inggris berarti All-under-Heaven. Ia mengawali pemikirannya dengan menyatakan bahwa setiap negara memiliki teori nasional atau ide besar masing-masing mengenai hubungan internasional. Misalnya Amerika mempunyai teori perdamaian demokratis, Inggris mempunyai teori ‘masyarakat internasional’, sedangkan China memiliki Datong (大同) atau great harmony dan juga Tianxia.9 Kendati China sebagai sebuah bangsa besar memiliki budaya, filsafat dan sejarah yang panjang yang dapat menjadi sumber bagi pembentukan pemikiran-pemikiran strategis di bidang hubungan internasional, namun eksistensi madzab China dalam studi HI saat ini belum mencapai kemapanan seperti madzab Inggris, Frankfurt, dan Kopenhagen.ParapemikirHIdiChinasendirihinggasaatinimasihberadadalamproses menuju pembentukan teori atau konsep HI khas China yang berbeda dengan teori- teori dan konsep-konsep HI yang pernah ada selama ini. Semakin dominannya peran China dalam isu-isu global di bidang ekonomi, politik, dan keamanan akhir-akhir ini, dapat menjadi suplemen bagi para pemikir HI di China untuk lebih bergairah dalam mengarungi jalan menuju terwujudnya madzab China. Sebagaimana dikatakan Liu Yongtao, situasi dunia saat ini (di mana China memainkan peran penting), menuntut adanya pemikiran baru, ide-ide baru, bahkan sebuah “bahasa” baru untuk mewakili dan mendefinisikan kembali keamanan dan hubungan internasional, sekaligus dapat 8 Zhang Xiaoming, “International Relations Theory in China: A Learning Process”, dalam http://www.cloud- front.net [Diakses 26 Agustus 2016]. 9 Lihat Qin Yaqing, “Why is there no Chinese IRT?” dalam Amitav Acharya dan Barry Buzan, Non-Western International Relations Theory. (New York: Routledge).
  • 9. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 7 menciptakan cara-cara baru untuk memelihara perdamaian dan stabilitas.10 Sebagai salah seorang perintis madzab China, Qin Yaqing sendiri mengakui bahwa upaya melahirkan sebuah teori HI khas China yang berbeda dengan teori-teori HI yang ada bukanlah upaya yang mudah. Banyaknya pemikiran filsafat dalam sejarah China kuno dan tradisi intelektual yang panjang, tidak dengan sendirinya membuat para pemikir HI China memperoleh kemudahan untuk memberikan kontribusi bagi studi HI. Dalam tulisannya berjudul “Why is There No Chinese International Theory?”, Qin menyebutkan tiga faktor yang membuat China hingga kini belum mampu memberikan kontribusi bagi studi HI dalam bentuk sebuah pendekatan, konsep, atau teori yang berbeda. Pertama, kurangnya kesadaran “keinternasionalan” (international-ness) dalam worldview tradisional China. Kedua, masih dominannya wacana HI Barat dalam komunitas akademik di China. Ketiga, tidak adanya pusat teoritis yang konsisten dalam program-program penelitian HI di China.11 Meski demikian Qin Yaqing optimis ada potensi besar bagi kemunculan dan berkembangnya madzab China dengan pendekatan, teori atau konsep yang berbeda. Seorang professor HI dari Jerman, Nele Noesselt, juga menyatakan bahwa meskipun hingga saat ini penelitian-penelitian di Barat belum memasukkan “Chinese approach” mengenai HI atau politik dunia, tetapi kebanyakan studi HI telah merujuk ke China sebagai playground untuk pengujian-pengujian teori HI atau sebagai sumber potensial untuk perluasan ontologis teori HI. Bahkan Noesselt mensinyalir China sebagai pusat formulasi studi HI alternatif.12 Arlene Tickner dan Ole Waever juga menekankan bahwa China merupakan sumber potensial bagi penggalian teori-teori HI non-Barat, dan sebab itu mereka menyarankan setiap perdebatan mengenai pengembangan teori HI sebaiknya tidak melupakan wacana soal madzab China. Menurut Qin Yaqing, wacana mengenai apakah sudah ada teori madzab China dalam studi HI juga sangat tergantung pada posisi metodologis dalam memaknai pengertian teori HI itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Amitav Acharya dan Barry Buzan, ketika kita membedah buku-buku teori HI kita segera berhadapan dengan sedikitnya dua definisi teori. Pertama, definisi teori yang kaku dari kaum positivis yang dominan dalam komunitas HI di Amerika. Kedua, definisi teori yang lebih lunak dari kaum reflektivis yang lazim berkembang di Eropa. Definisi pertama secara 10 Liu Yongtao, “Security Theorizing in China: Culture, Evolution and Social Practice”, dalam Arlene B. Tickner dan David L. Blaney, Thinking International Relations Differently (New York: Routledge, 2012), hal. 72-91. 11 Qin Yaqing, loc. cit. 12 Nele Noesselt, “Is There a Chines School of International Relations?”, Working Paper, dalam http://www. giga-hamburg.de/workingpapers [Diakses 25 Juni 2016].
  • 10. ALTERNATIF VOL 06 (1) 20168 ketat memahami teori sebagai eksplanasi hubungan kausal dan berisi hipotesis yang dapat diuji (observable). Sedangkan definisi kedua melihat teori sebagai apa saja yang mengorganisasi pengetahuan secara sistematis, terstruktur, serta menetapkan seperangkat konsep dan kategori secara kohoren dan cermat.13 Dengan mengacu pada pendapat Amitav Acharya dan Barry Buzan tersebut, QinYaqing mencoba membagi teori HI ke dalam dua jenis, yakni teori yang berorientasi tindakan (action oriented) dan teori yang berorientasi pengetahuan (knowledge oriented). Jenis teori yang pertama adalah teori sebagai pedoman tindakan atau yang menyediakan prinsip-prinsip untuk pembuatan keputusan dan memiliki relevansi langsung dengan tindakan. Misalnya China pada era Mao Zedong memiliki ‘teori tiga dunia’ (three worlds theory) dan ‘strategi belajar ke arah satu sisi’ (learning toward one side strategy). Ini adalah contoh teori yang berorientasi tindakan. Sedangkan jenis teori yang kedua mendefinisikan teori HI sebagai sebuah perspektif untuk memahami dunia dan sebagai sebuah pencapaian produksi dan reproduksi pengetahuan (misalnya teori dari Kenneth Waltz).14 Dalam pandangan Qin Yaqing, jika teori sebatas didefinisikan sebagai knowledge-oriented atau theory-related research maka ia dengan tegas mengakui bahwa hingga saat ini memang belum ada teori HI yang muncul dari komunitas studi HI di China. Dengan demikian studi HI madzab China pun dapat dikatakan masih ‘jauh panggang dari api’. Apalagi kalau pemaknaan terhadap knowledge-oriented atau theory- related research semata-mata diorientasikan pada lahirnya sebuah teori asli (original theory) jelas belum ada teori baru yang dihasilkan oleh komunitas studi HI di China.15 Akan tetapi apabila teori HI dimaknai secara lebih lunak sebagai action oriented yang berisi prinsip-prinsip untuk pembuatan keputusan atau gagasan besar atau worldview yang menginspirasi tindakan (perilaku) internasional China, maka sudah lama ada sejumlah “teori” khas China yang menjadi pedoman negeri itu dalam berinteraksi dengan masyarakat internasional. TIANXIA: KONSEP HI CHINA? Menurut Michiel Boerwinkel (gurubesar HI Ritsumeikan University, Kyoto), 13 Lihat Amitav Acharya dan Barry Buzan, Non-Western International Relations Theory: Perspective on and Beyond Asia (New York: Routledge, 2007), hal. 5-10. 14 Qin Yaqing, loc. cit. 15 Qin Yaqing, ibid.
  • 11. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 9 salah satu gagasan besar atau worldview China yang banyak dibahas dan berpotensi untuk menjadi teori HI khas China adalah konsep Tianxia.16 Ini adalah salah satu komponen pemikiran Konfusian yang masih bertahan dan tampaknya menjadi tema yang sangat popular atau sedang naik daun di kalangan sarjana HI China saat ini. Namun Boerwinkel melihat bahwa memadukan pemikiran tradisional Konfusianis dengan studi HI kontemporer merupakan masalah sangat berat, bahkan seringkali menjadi semu. Belum lagi praktik bernegara China sendiri pada kurun waktu yang sangat lama justru mengabaikan pemikiran-pemikiran Konfusian. Saat itu dengan alasan modernisasi para pemimpin China lebih banyak mengeksplorasi pendekatan Barat. Baru dalam tiga dekade terakhir, setelah China menjadi kekuatan dunia yang diperhitungkan, pemikiran-pemikiran tradisional Konfusian mulai diperhatikan. Salah satu pemikiran yang paling banyak didiskusikan dan dieksplorasi oleh para penstudi HI di China adalah konsep Tianxia. Secara leksikal, Tianxia berarti bumi (earth) atau dunia (world realm). Konsep ini sering pula diartikan sebagai kerajaan (kingdom) atau kekaisaran (empire). Namun banyak pula yang menerjemahkan Tianxia sebagai semua yang ada di bawah langit/ surga (All-under-Heaven). Dalam ‘bahasa Barat’, konsep Tianxia barangkali juga ekuivalen dengan ‘the universe’ atau ‘the world’, dapat pula diterjemahkan sebagai ‘hearts of all peoples’ atau ‘general will of people’. Intinya, konsep Tianxia mengajarkan bahwa pertama-tama yang perlu ditata (diatur dengan baik) adalah negara atau kerajaan sendiri. Agar dapat mengatur negara atau kerajaan sendiri dengan baik, terlebih dahulu harus bisa mengatur keluarga sendiri dengan baik. Dikaitkan dengan studi HI, konsep Tianxia mengandung makna bahwa masyarakat dunia atau ‘semua yang ada di bawah langit’ harus dianggap sebagai kesatuan keluarga besar dan harus dikelola dengan cara seperti mengatur sebuah keluarga.17 Aspek keluarga (family) dalam konsep Tianxia mempunyai dua implikasi bagi studiHIdanmasyarakatglobal.Aspekpertama,sepertipadaumumnyasebuahkeluarga, ada satu keluarga inti di pusat (kaisar), dan hubungannya dengan seluruh anggota keluarga didasarkan atas azas kedekatan (proximity). Konsekuensi dari prinsip ini dalam hubungan internasional China kuno, ada konsep pengendalian langsung, yakni pengendalian dari negara induk (middle kingdom) terhadap negara-negara vassal, atau ada pola pengaruh yang bersifat konsentris di mana negara tengah memiliki hak lebih 16 Michiel Boerwinkel, “ Assessing Possible Chinese IRT Contributions to Contemporary IRT: Shapes, Identities and Emancipation”, dalam http://www.isanet.org/Web/Conferences [Diakses 26 Juni 2016]. 17 Michiel Boerwinkel, ibid.
  • 12. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201610 atas yang lain. Para pemikir HI kontemporer di China menerjemahkan Tianxia sebagai prinsip hubungan antar bangsa di mana tidak berlaku konsep “berlawanan” (opposite) maupun “intoleransi” (intolerant) karena semua aktor diperlakukan sebagai sebuah kesatuan keluarga besar. Dalam hal tata kelola, adanya pola konsentris menimbulkan konsekuensi semakin jauh jarak geografis akan semakin menurun pengaruh negara tengah tersebut.18 Aspek kedua dari Tianxia adalah diterimanya sistem hirarkhi oleh semua negara yang terlibat dalam sistem, sebagaimana menerima sistem hirarkhi dalam sebuah keluarga. Namun sistem hirarkhi dalam konsepsi China tradisional ini berbeda dengan hirarkhi dalam konsepsi Barat (realis). Seperti diketahui, dalam pandangan realisme, semuanegaraharusmenciptakanbalanceofpower,baikmelaluipengelompokanbersama untuk melawan hegemon, atau hegemon melawan hegemon lainnya. Tujuan negara- negara menciptakan balance of power, menurut kaum realis, adalah untuk bertahan hidup (survival) dalam sistem internasional. Sedangkan dalam konsep Tianxia, negara- negara menerima sistem hirarkhi karena menyadari adanya kesenjangan dan bersedia bertindak sesuai dengan kondisinya masing-masing, sehingga hubungan antara negara- negara kecil dengan negara tengah dapat berjalan harmonis. Negara tengah (central state’s) dalam hal ini tidak menempatkan dirinya sebagai hegemon, melainkan lebih sebagai pelindung atau payung bagi negara-negara yang lebih kecil (lesser states). Jadi, dalam sistem Tianxia, negara-negara tidak perlu berlomba-lomba menciptakan balance of power karena eksistensinya dalam sistem dijamin oleh negara tengah. Dalam istilah Zhang Feng, sistem Tianxia menginginkan suatu sistem dunia yang ditandai oleh harmoni dan kerjasama tanpa hegemoni.19 Zhao Tingyang menerjemahkan konsep Tianxia dengan kekaisaran atau imperium (empire). Para sarjana HI Barat acapkali berkonotasi negatif terhadap konsep imperium, karena konsep ini selalu identik dengan praktik tirani (internal) dan ekspansi (eksternal). Dalam pandangan Zhao, Tianxia merupakan konsep imperium yang sempurna (perfect empire), yakni konsep pemerintahan dunia ala China yang sama sekali berbeda dengan imperium yang selama ini dipahami orang Barat. Menurut salah satu perintis madzab China itu, dalam konsep Tianxia terkandung gagasan yang lebih konstruktif dan positif mengenai pemerintahan dunia (world governance) yang 18 Qin Yaqing, “Why is there no Chinese IRT?” dalam Amitav Acharya dan Barry Buzan, op. cit., hal. 42. 19 Zhang Feng, “The Tianxia System: A World Order in a Chinese Utopia”, dalam http://www.chinaheri- tage-quarterly.org [Diakses 26 Juni 2016].
  • 13. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 11 dapat menjadi sumber bagi pembentukan teori HI khas China (madzab China).20 Sebagaimana dikatakan oleh filsuf Xun-Zi (313-238 SM), dalam sistem Tianxia tidak berarti kita mendapatkan tanah atau menguasai negara lain secara paksa, tetapi sebuah sistem yang memuaskan semua orang dengan suatu pemerintahan yang baik. Dalam pandangan Zhao Tingyang, konsep Tianxia dalam konteks HI dapat juga diartikan sebagai sebuah institusi dunia (world institution) atau sebuah sistem universal untuk dunia (universal system for the world), suatu utopia tentang dunia sebagai sebuah keluarga (the world as one family). Dalam konteks ini, ide Tianxia atau All-under-Heaven sebagai konsep filosofis tentang sebuah institusi dunia pada dasarnya berbeda dari pola-pola imperium tradisional seperti Imperium Romawi, Imperium Inggris, Imperium Turki Ottoman, atau ‘Imperium Amerika’ yang sedang menguasai dunia saat ini. Konsep All-under-Heaven tidak dimaknai sebagai negara semata, tetapi sebuah institusi dunia, yang ingin dibangun adalah masyarakat dunia (world society) dan bukan negara-bangsa (nation-state). Dari sudut pandang ontologi politik ini, dunia kita sekarang ini sebenarnya masih bukan-dunia (non-world), karena dunia belum terwujud dalam arti penuh. Institusi dunia dan dukungan rakyat secara penuh masih belum ada. Dengan kata lain, selama ini kita berbicara ‘omong kosong’ (nonsense) tentang dunia, karena dunia belum terpenuhi dengan ke-dunia-an (worldness).21 Konsep ‘institusi dunia’ dalam pandangan Tianxia, secara metodologi berbeda dengan konsep ‘organisasi internasional’ dalam teori politik Barat. Dalam pemikiran Barat, unit politik terbesar dan tertinggi adalah negara-bangsa, sementara dalam teori China adalah ‘masyarakat dunia’. Negara-negara harus selalu dilihat sebagai subordinat dalam kerangka ‘masyarakat dunia’ yang dianggap sebagai unit politik yang diperlukan dan tertinggi. Memang orang Barat juga berfikir tentang dunia, tetapi mereka membayangkan dunia lebih sebagai aliansi internasional atau serikat negara-bangsa, yang tidak melampaui kerangka negara-bangsa. Sebab itu, dalam pandangan China, jika berbicara mengenai world governance, konsep organisasi internasional seperti PBB saat ini masih jauh dari ideal. Konsep Tianxia mengharapkan dunia sebagai sebuah kesatuan (oneness) keluarga, bukan dunia yang terbelah dalam banyak negara-bangsa dengan kedaulatannya masing-masing. Konsep Tianxia memang memiliki kesamaan dengan pola PBB. Salah satunya adalah bahwa keduanya merupakan bentuk organisasi dunia yang didedikasikan untuk 20 Zhao Tingyang, “Rethinking Empire from a Chinese Concept ‘All-Under-Heaven’ (Tianxia)”, dalam Social Identities, Vol. 12 No. 1 (2006), hal. 29-41. 21 Zhao Tingyang, ibid.
  • 14. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201612 memecahkan masalah internasional dan untuk menjamin perdamaian dan ketertiban di dunia. Namun perbedaan konsep Tianxia dan pola PBB jauh lebih nyata. Konsep All-under-Heaven dalam jangka waktu yang sangat panjang telah berhasil menciptakan periode damai dan masyarakat yang stabil dalam berbagai dinasti yang ada di China, sehingga masyarakat China tetap utuh (terintegrasi sejak ribuan tahuan lalu hingga saat ini). Ini berbeda dengan pola PBB yang tidak sepenuhnya mampu menangani berbagai konflik internasional. Sebab itu, melalui madzab China, para ilmuwan HI di China berusaha menemukan pola-pola di dalam konsep Tianxia yang memiliki potensi teoritis untuk memecahkan problem-problem dunia (termasuk masalah-masalah antar budaya). Pola All-under-Heaven muncul seperti globalisasi, tapi pada dasarnya berbeda karena tidak mengandung sense seperti ‘-isasi’. All-under-Heaven lebih menyiratkan globalisme daripada globalisasi. Ini berarti secara kelembagaan memerintah dunia atau lembaga dunia yang bertanggung jawab untuk mengkonfirmasi legitimasi politik dari pemerintahan dunia serta pemerintahan lokal, dan untuk memungkinkan justifikasi dari sistem. Tujuan politiknya adalah untuk menciptakan ‘All-under-Heaven’, trinitas dari dunia geografis (bumi), dunia psikologi (hati semua orang) dan dunia politik (lembaga dunia). Ini adalah narasi besar, mungkin narasi ‘termegah’ dalam filsafat politik. Kelebihan dari pola All-under-Heaven adalah pandangan dunia tentang ke- dunia-an (world-ness), yang memungkinkan kita bisa memahami secara benar dan menemukan solusi atas masalah-masalah dunia. Ke-dunia-an (world-ness) adalah prinsip yang lebih tinggi dari internasionalitas. Seperti disampaikan di atas bahwa konsep All-under-Heaven mengandung arti kesatuan dari dunia (oneness of the world), dan kesatuan menunjukkan diri dalam semua kemajemukannya (oneness in diversities). Kesatuan dari dunia juga terrefleksi dalam prinsip politik ‘inclusion of all’ dalam All-under-Heaven, yang berarti satu bahtera keluarga (family-ship). Konsep ‘kesatuan’ berarti juga penolakan terhadap keberadaan ‘berhala’ apapun, sehingga di dalam keluarga dunia ini tidak ada sesuatu yang tidak bisa diterima (seberapa aneh sekalipun). Dalam konsep All-under-Heaven, semua berkomitmen untuk kesatuan dunia sebagai keseluruhan yang utuh (the intact wholeness) yang menyiratkan penerimaan terhadap keanekaragaman. KESIMPULAN Sebagaimana dikatakan oleh Zhao Tingyang, masalah hubungan internasional paling penting saat ini bukan hanya mengenai apa yang disebut dengan ‘negara gagal’
  • 15. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 13 (failed states), tetapi juga ‘dunia gagal’ (failed world), sebuah dunia yang kacau dan tak teratur. Itulah sebabnya, Zhao mempertahankan pendapatnya bahwa dunia kita sekarang ini belum merupakan sebuah dunia yang sesungguhnya. Masih ada banyak masalah dunia yang perlu dipecahkan oleh sebuah negara, sebuah kawasan, atau oleh setiapperjanjianinternasional.Teori-teoriHI(versiAmerikadanEropa)dalamkerangka internasionalitasnya, masih memiliki keterbatasan dalam menangani masalah-masalah dunia, problem-problem bersama (shared problems) mengenai dunia. Dunia tidak dapat disamakan dengan internasional, ke-dunia-an (word-ness) tidak bisa direduksi ke dalam internasionalitas. Dunia lebih merupakan keseluruhan (wholeness) atau totalitas daripada sebagai ke-antara-an (between-ness). Dunia kita membutuhkan sebuah teori dunia (world theory), bukan sekedar sebuah teori internasional (international theory), yang dapat berbicara mengenai dunia (bukan sekedar mengenai hubungan antar negara). Dalam konteks ini, madzab China hadir dalam komunitas studi HI, bukan hanya sebagai alternatif tetapi juga kritik terhadap teori-teori HI arus utama yang lebih banyak berbicara tentang hubungan antar negara (dan bukan tentang dunia). Teori Tianxia atau All-under-Heaven, adalah teori dunia (bukan teori internasional). Teori Tianxia dan berbagai teori yang akan dieksplorasi dan dikembangkan madzab China diharapkan dapat memberikan sebuah pandangan yang lebih baik mengenai dunia. Sebagaimana dikatakan Zhao Tingyang, Tianxia atau All-under-Heaven adalah filosofi terbaik untuk pemerintahan dunia.*** KEPUSTAKAAN Acharya, Amitav dan Barry Buzan, Non-Western International Relations Theory: Perspective on and Beyond Asia (New York: Routledge, 2007). Boerwinkel, Michiel, “ Assessing Possible Chinese IRT Contributions to Contemporary IRT: Shapes, Identities and Emancipation”, dalam http://www.isanet.org/Web/ [Diakses 26 Juni 2016]. Dallmayr, Fred dan Zhao Tingyang (eds.), Contemporary Chinese Political Thought: Debates and Perspectives (Kentucky: The University Press of Kentucky, 2012). Hoffmann, Stanley, “An American Social Science: International Relations”, dalam Daedalus, Vol. 106 No. 3 (1977), pp. 41-60. Holsti, Kalevi J., The Dividing Discipline: Hegemony and Diversity in International
  • 16. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201614 Theory (Boston: Allan and Unwin Publishing, 1987). Ikenberry, G. John, “Liberalism in a Realist World: International Relations as a Scholarly American Tradition”, dalam International Studies, Vol. 56 No. 1 & 2 (2009), hal. 203-219 Liu Yongtao, “Security Theorizing in China: Culture, Evolution and Social Practice”, dalam Arlene B. Tickner dan David L. Blaney, Thinking International Relations Differently (New York: Routledge, 2012), hal. 72-91. Mei Ran, “Should There Be A Chinese School of IR Theories –Concurrently on American Theories”, dalam International Politics Quaterly, No. 1 (2000), hal. 63-67. Noesselt, Nele, “Is There a Chines School of International Relations?”, Working Paper, dalam http://www.giga-hamburg.de/workingpapers [Diakses 25 Juni 2016]. Qin Yaqing, “Why is there no Chinese IRT?” dalam Amitav Acharya dan Barry Buzan, Non-Western International Relations Theory. (New York: Routledge, 2010). Qin Yaqing, “International Society as a Process: Institutions, Identities, and China’s Peaceful Rise”, The Chinese Journal of International Politics, Vol. 3 (2010), hal. 129-153. Smith, Steve, “The discipline of International Relations: still an American social science?”, dalam The British Journal of Politics & International Relations”, Vol. 2 No. 3 (2000), pp. 374-402. Waever, Ole, “The Sociology of a Not So International Discipline: American and European Developments in International Relations”, dalam International Organization, Vol 52 No. 4 (1998), pp. 687-727. Wang Jiangli dan Barry Buzan, “The english and Chinese School of International Relations: Comparisons and Lessons”, dalam Chinese Journal of International Politics, Vol. 0 No. 0 (2014), hal. 1-46. Wang Yiwei, “China: Between Copying and Contructing”, dalam Arlene B. Tickner dan Ole Waever (eds.), International Relations Around the World: Worlding Beyond the West (New York: Routledge, 2009). Zhang Feng, “The Tianxia System: A World Order in a Chinese Utopia”, dalam http:// www.chinaheritage-quarterly.org [Diakses 26 Juni 2016].
  • 17. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 15 Zhang Xiaoming, “International Relations Theory in China: A Learning Process”, dalam http://www.cloud-front.net [Diakses 26 Agustus 2016]. Zhao Tingyang, “Rethinking Empire from a Chinese Concept ‘All-Under-Heaven’ (Tianxia)”, dalam Social Identities, Vol. 12 No. 1 (2006), hal. 29-41
  • 18. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201616 PEMIKIRAN GEOPOLITIK PASCA PERIODE PERANG DINGIN Oleh: Chairul Ansari Pane Dosen FISIP-HI Universitas Jayabaya E-mail: chairul73pane@gmail.com ABSTRACT The aim of this article is to present the evolution of geopolitical schools of thought after the ColdWar period which is conditioned by the changes occurring in the international system. Concepts will be devided into classical geopolitical concepts, geopolitical concepts resulting from the time of the Cold War, and geopolitical concepts formed after the end the bipolarity rivalry. According to the author, classical geopolitical concepts analyzed ‘space’ predominantly in the context of geographical conditions. The ‘space’ also was assumed to be the main determinant of the development of the states position, the power, and behavior in international system. In the Cold War periode, economic, political, and ideological factors turned out to be vital in the analysis of the geopolitical structure. But, the author emphasize, the greatest evolution occurred after the end of the ColdWar. Qualitative changes in the polyarchic international environment, globalization processes and international relationship, conflicts of low intensity, change of border function, created a completely new character for ‘space’. It cannot be solely perceived as the main variable determining politics. The cultural and civilization factor is as important as the political and economic one. Key Words: geopolitics, international relations, the Cold War, geographical factors, space. ABSTRAK Tujuandariartikeliniadalahuntukmenyajikanevolusialiranpemikirangeopolitik setelah masa Perang Dingin yang dikondisikan oleh perubahan yang terjadi dalam sistem internasional. Konsep-konsep akan dibagi ke dalam konsep geopolitik klasik, konsep geopolitik yang dihasilkan saat Perang Dingin, dan konsep geopolitik yang terbentuk setelah akhir rivalitas bipolar AS-US. Menurut penulis, konsep geopolitik klasik menganalisis ‘ruang’ terutama dalam konteks kondisi geografis. ‘Ruang’ juga diasumsikan menjadi penentu utama perkembangan posisi, kekuasaan, dan perilaku negara dalam sistem internasional. Dalam periode Perang Dingin, faktor ekonomi, politik, dan ideologi terbukti menjadi penting dalam analisis struktur geopolitik.Tapi, penulis menekankan, evolusi terbesar terjadi setelah berakhirnya Perang Dingin. perubahan kualitatif dalam lingkungan internasional polyarchic, proses globalisasi dan hubungan internasional, konflik intensitas berskala rendah, perubahan fungsi perbatasan, telah menciptakan karakter yang sama sekali baru mengenai ‘ruang’. Ruang tidak bisa semata-mata dianggap sebagai variabel utama penentu politik. Faktor budaya dan peradaban adalah sama pentingnya dengan politik dan ekonomi. Kata Kunci: geopolitik, hubungan internasional. Perang Dingin, faktor-faktor geografis, ruang.
  • 19. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 17 PENDAHULUAN SETELAH periode Perang Dingin (the Cold War period) berakhir pada awal dasawarsa 1990-an, pola-pola hubungan internasional mengalami perubahan yang sangat fundamental. Mencairnya kebekuan hubungan antara negara-negara blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan blok Timur yang dikuasai Uni Soviet (US), telah membuat berbagai sendi dalam hubungan antar negara turut mengalami perubahan secara mendasar. Struktur politik internasional yang semula bersifat bipolar, telah berubah menjadi sistem internasional yang bersifat multi-sentris. Perbedaan ideologi yang di masa Perang Dingin menjadi tembok penghalang bagi kelancaran hubungan antar negara, tidak lagi ada (kecuali di Semenanjung Korea). Aktor-aktor baru, baik berupa negara-bangsa (nation-state) maupun aktor-aktor non-negara (non- state actors) bermunculan dalam pentas politik dunia. Berbagai kerjasama transnasional juga jauh lebih intensif daripada periode-periode sebelum Perang Dingin berakhir. Terjadinya perubahan fundamental dalam praktik hubungan internasional, pada gilirannya membawa konsekuensi pada perlunya dilakukan perubahan pada studi Hubungan Internasional (selanjutnya disingkat studi HI). Tema-tema lama, seperti bipolaritas Timur-Barat, persaingan komunisme-liberalisme, perebutan pengaruh (sphere of influence) AS-US, balance of power, dan tema-tema high-politics lainnya tidak lagi relevan dalam studi HI. Sementara tema-tema baru seperti regionalisme ekonomi, kerjasama lintas kawasan, masalah lingkungan hidup, isu demokratisasi dan hak azasi manusia, global warming, masalah migrasi dan pengungsi, serta masalah terorisme, mulai membutuhkan perhatian lebih serius dari para penstudi HI.1 Teori-teori HI juga turut mengalami metamorfosis sehubungan dengan adanya perubahan tema-tema dalam studi HI tersebut. Sejak awal dekade 1990-an muncul banyak teori baru dalam studi HI, seperti konstruktivisme, feminisme, teori kritis, teori sekuritisasi, dan masih banyak lagi, menentang teori-teori HI lama yang dianggap tidak lagi relevan dengan realitas hubungan internasional. Sementara itu berbagai pokok bahasan (subject-matter) dalam studi HI juga mengalami perubahan substansi dan orientasi. Beberapa pokok bahasan dalam studi HI yang mengalami perubahan substansi dan orientasi yang cukup mendasar sehubungan dengan berakhirnya Perang Dingin misalnya studi keamanan (international security studies), politik international (international politics), ekonomi politik internasional (international political economy), organisasi internasional (international organization), dan sebagainya. Salah satu pokok 1 Maurice A. East, “The Post Cold War Era: Implications for Educators”, dalam http://www.socialstudies.org [Diakses 29 Agustus 2016].
  • 20. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201618 bahasan dalam studi HI yang kurang mendapatkan perhatian dari para penstudi HI, namun tidak bisa tidak juga mengalami perubahan substansi dan orientasi adalah studi geopolitik (the study of geopolitics). Di negara-negara maju, teori-teori dan topik-topik pengajaran geopolitik di berbagai universitas telah mengalami banyak perubahan penting sejak Perang Dingin berakhir. Tulisan ini akan mendeskripsikan studi geopolitik dalam studi HI pasca Perang Dingin dengan berbagai perubahan yang terjadi di dalamnya. SEKILAS TENTANG GEOPOLITIK Geopolitik (geopolitics) merupakan studi tentang pengaruh geografi (sosial maupun fisik) terhadap hubungan internasional, khususnya politik internasional.2  Colin Gray dan Geoffrey Sloan secara singkat mendefinisikan geopolitik sebagai studi keruangan mengenai hubungan internasional (geopolitics is the spatial study of international relations).3 Jason Dittmer dan Joanne Sharp mengatakan bahwa geopolitik mengacu pada teori-teori dan praktik politik dalam skala global, dengan sebuah penekanan khusus pada geografi yang membentuk maupun menghasilkan teori-teori-teori dan praktik politik tersebut.4 Dalam pandanganTerry O’Callaghan, geopolitik adalah studi tentang pengaruh faktor-faktor geografis terhadap perilaku negara (the influence of geographical factors on state behavior), yakni bagaimana lokasi, iklim, sumber-sumber daya alam, penduduk, dan medan fisik menentukan pilihan-pilihan politik luar negeri suatu negara dan posisinya dalam hiearkhi hubungan internasional.5 Sementara Menurut John Foster geopolitik berkenaan dengan bagaimana faktor-faktor geografis –seperti wilayah, penduduk, lokasi strategis, dan sumber daya alam yang melimpah (sebagaimana dimodifikasi oleh ekonomi dan teknologi), mempengaruhi hubungan antar negara dan perjuangan untuk menguasai dunia.6 Franz Neumann secara agak provokatif mengatakan bahwa geopolitik tidak 2 Richard Devetak, Anthony Burke, dan Jim George (eds.), An Introduction to International Relations (New York: Cambridge University Press, 2012), hal. 492. 3 Colin S. Gray dan Geoffrey Sloan (eds.), Geopolitics, Geography, dan Strategy (London: Routledge, 2013), hal. 163. 4 Jason Dittmer dan Joanne Sharp (eds.), Geopolitics: An Introductory Reader (London: Routledge, 2014), hal.3 5 Terry O’Callaghan, “Geopolitics”, dalam Martin Griffiths (ed.), Encyclopedia of International Relations and Global Politics (London: Routledge, 2005). 6 John B. Foster, “The New Geopolitics of Empire”, dalam Monthly Review, Vol. 57 No. 8 (2006).
  • 21. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 19 lain adalah ideologi ekspansi kaum imperialis (geopolitics is nothing but the ideology of imperialist expansion). Lebih tepatnya, gropolitik merepresentasi cara yang spesifik tentang pengorganisasian dan pengembangan imperium –sesuatu yang tumbuh bersamaan dengan imperialism modern, namun geopolitik memiliki sejarahnya sendiri yang khas yang masih tetap berkumandang di era kontemporer ini.7 Dalam sejarah modern, pemikiran tentang geopolitik memang selalu mendasari politik ekspansionis sejumlah imperium atau negara besar, misalnya Imperium Turki, Nazi Jerman, Uni Soviet, Imperium Inggris Raya yang menguasai sekitar 2/3 bumi, dan bahkan Amerika Serikat saat ini disebut Neumann sebagai the capital of an empire yang sedang mendominasi dunia. Terminologi ‘geopolitik’ pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Kjellen, seorang ilmuwan politik dari Swedia, pada 1899.8 Namun istilah geopolitik sejak saat itu belum dipergunakan secara luas, hingga akhirnya pada 1930-an dipopulerkan oleh sekelompok ahli geopolitik Jerman yang dipimpin oleh seorang purnawaran jenderal bernama Dr. Karl Haushofer (Jurusan Geografi Universitas Munich). Bergabungnya Haushofer dan ahli geopolitik lainnya (Rudolf Hess) ke dalam rezim Rudolf Hitler pada 1933 membuat konsep geopolitik semakin mendapat perhatian dari dunia. Sejumlah sarjana di Barat dan di Rusia, China, serta Jepang mulai mengembangkan minat dalam geopolitik sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentang ketatanegaraan (the science of statecraft), sebuah metode pemikiran mengenai signifikansi faktor-faktor geografis dalam hubungan internasional. Geopolitik memusatkan perhatian pada kekuatan politik (political power) dalam kaitannya dengan ruang geografis (geographic space), khususnya wilayah perairan (territorial waters) dan wilayah daratan (land territory) korelasinya dengan sejarah diplomatik. Secara akademis, geopolitik menganalisis sejarah dan ilmu sosial dengan mengacu pada geografi dalam kaitannya dengan politik. Di luar ranah akademis, prognosis geopolitik yang dimanfaatkan oleh berbagai kelompok termasuk kelompok non-profit maupun oleh lembaga-lembaga swasta yang berorientasi keuntungan (seperti perusahaan broker dan perusahaan konsultasi). Topik-topik geopolitik mencakup hubungan antara kepentingan aktor-aktor politik internasional, yakni kepentingan yang difokuskan pada daerah, ruang, elemen geografis atau cara-cara yang berhubungan dengan pembuatan sistem geopolitik. 7 Franz Neumann, Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism (New York: Oxford University Press, 1942), hal. 147. 8 Augusto Pinochet Ugarte, Introduction to Geopolitics (Santiago de Chile: Alfabeta Impresores, 1981), hal. 20.
  • 22. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201620 PEMIKIRAN GEOPOLITIK KLASIK Sebagai sebuah sub-disiplin dari studi HI, geopolitik diinspirasi oleh karya dari dua sarjana abad ke-19, yakni Alfred Thayer Mahan (1840-1914) dan Halford John Mackinder(1861-1947).Tokohlainyangpemikirannyajugadisebut-sebutmemberikan inspirasi terhadap geopolitik adalah salah seorang pionir geopolitik Jerman Friedrich Ratzel (1844-1904) dan ahli geografi Perancis Pierre Vidal de la Blache (1845-1918). Pemikiran empat tokoh tersebut selalu menjadi bahan pengantar atau dasar-dasar bagi pembelajaran mengenai geopolitik di berbagai universitas di seluruh dunia hingga hari ini. Dalam sebuah tulisannya yang terbit pada akhir abad ke-19, Alfred Mahan mengatakan bahwa kekuatan angkatan laut (naval power) merupakan kunci dari kekuatan nasional suatu negara. Sebuah negara yang menguasai lautan luas (Inggris melakukan pada saat itu) dapat mendominasi hubungan internasional. Namun kemampuan untuk mencapai penguasaan atas lautan tersebut tergantung pada tujuh kondisi, yaitu: (1) posisi geografis yang menguntungkan; (2) garis pantai yang berdaya guna; (3) sumber daya alam yang melimpah, dan iklim yang kondusif; (4) wilayah yang luas; (5) populasi yang besar untuk mempertahankan wilayah; (6) masyarakat yang berbakat dengan dunia kelautan; dan (7) pemerintah dengan kecenderungan dan pengaruh untuk mendominasi laut.9 Halford Mackinder mengembangkan sebuah padanan territorial terhadap tesis Mahan tersebut (yang dia tolak pada 1943). Merujuk pada apa yang disebut sebagai ‘teori daerah jantung’ (the heartland theory), Mackinder mengatakan bahwa negara yang menguasai wilayah antara Jerman dan Siberia akan dapat mengontrol dunia. Sebagaimana diekspresikan Mackinder dalam sebuah frase yang sangat dikenal, bahwa siapa yang menguasai Eropa Timur akan mengendalikan ‘daerah jantung’, dan siapa mengendalikan ‘daerah jantung’ akan menguasai daratan dunia, dan siapa yang menguasai daratan dunia akan mengendalikan dunia.10 Sebaliknya sarjana HI asal Amerika, Nicholas Spykman (1893-1943), mengajukan pemikiran yang dikenal dengan pentingnya ‘teori daerah batas’ (Rimland Theory). Ia beraggapan bahwa daratan pesisir Eurasia (termasuk Eropa pesisir, Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan China) merupakan kunci untuk mengontrol 9 Lihat Alfred Thayer Mahan, The Problem of Asia and the Effects upon International Politics (London: Kennikat Press, 1920), hal. 26-27. 10 Lihat Martin Sicker, Geography and Politics Among Nations: An Introduction to Geopolitics (New York: iUni- verse, Inc., 2010), hal. 54.
  • 23. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 21 dunia karena penduduknya, sumber daya alamnya, dan penggunaan jalur laut bagian dalamnya. Ia menolak doktrin kekuatan darat (land-power doctrine) dari Mackinder dan mengatakan bahwa “siapa yang mengontrol daerah Rimland akan menguasai Eurasia, siapa mengontrol Eurasia akan memiliki dunia”.11 Berbagai dimensi tentang geopolitik berkaitan secara signifikan dengan lokasi dari negara-negara pada peta dunia. Misalnya, sebuah negara yang terkurung daratan oleh dua negara lain (landlocked position), pada umunya memiliki tujuan politik luar negeri yang berbeda dengan sebuah negara yang dikelilingi oleh lautan atau hambatan alam lainnya. Dengan kata lain, posisi suatu negara dalam geografi dunia akan menentukan orientasi politik luar negeri negara tersebut. Menurut para ahli geopolitik, juga ada sebuah koneksi penting antara lokasi, kekayaan, dan kekuatan (location, wealth, and power) dari suatu negara. Sebuah negara yang berlokasi di wilayah dengan temperatur atau iklim yang dingin cenderung lebih kuat dalam hal ekonomi dan militer daripada negara yang berada di wilayah lain. Sebaliknya negara-negara yang lokasinya berada di sekitar garis katulistiwa secara ekonomi cenderung terbelakang. Meskipun tesis geopolitik konvensional ini terbantahkan oleh adanya sejumlah negara di sekitar katulistiwa yang ternyata dapat maju secara ekonomi.12 Menurut para ahli geopolitik, iklim (climate) juga berdampak penting pada kemampuan (ability) suatu negara untuk menjalankan perang. Sejumlah besar tentara Perancis dan Jerman yang mati membeku yang mencoba menaklukkan Rusia pada abad ke-19 dan ke-20 merupakan contoh terbaik dari kebenaran tesis tersebut. Selain itu, iklim mempengaruhi medan dan ini memiliki dampak pada peperangan. Wilayah hutan, gurun, atau pegunungan memerlukan perlengkapan militer dan latihan khusus bagi prajurit, di mana ini semua bisa memberikan keuntungan tertentu bagi militer suatu negara namun bisa juga menyebabkan kekalahan militer yang spektakuler. Sebab itu, bagi seorang sarjana atau analis geopolitik, lokasi suatu negara memiliki implikasi strategis yang penting bagi negara tersebut. Posisi dalam peta dunia, tidak hanya membedakan tujuan politik luar negeri setiap negara, tetapi juga akan menyebabkan respons strategis yang sangat berbeda dalam hal terjadi krisis militer.13 Dapat disimpulkan bahwa inti dari analisis geopolitik adalah suatu keyakinan bahwa kapabilitas ekonomi dan militer suatu negara, posisinya dalam hierarkhi negara- negara, dan bagaimana mereka berhubungan dengan negara-negara tetangganya 11 Lihat Saul Bernard Cohen, Geopolitics of the World System (Maryland, USA: Rowman & Littlefield Publisher, Inc., 2003), hal. 22. 12 Terry O’Callaghan, “Geopolitics”, dalam Martin Griffiths (ed.), loc. cit. 13 Lihat J.R.V. Prescott, The Geography of State Policies (London: Routledge, 2015), hal. 30.
  • 24. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201622 merupakan sebuah konsekuensi dari faktor-faktor geografis. Dalam hubungan internasional, posisi geografis adalah takdir (destiny). Tetapi adalah penting bagi kita sebagai penstudi HI untuk tidak terperangkap menyederhanakan kompleksitas wilayah kajian hubungan internasional ke dalam sebuah faktor tunggal bernama lokasi geografis. Ada banyak cara untuk memahami atau menginterpretasikan perilaku negara, dan geopolitik hanya merupakan salah satu dari banyak cara tersebut. Beberapa sarjana HI bahkan berpendapat bahwa mulai abad ke-21, pemikiran-pemikiran geopolitik konvensional dianggap telah usang. Posisi geografis suatu negara dalam peta dunia tidak lagi terlalu menjadi nilai strategis. Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi telah mengubah nilai strategis dari ruang dan waktu. Ini mau tidak mau menuntut perlunya pemikiran ulang (rethinking) mengenai substansi dan orientasi studi geopolitik apabila ingin tetap menjadi salah satu pokok bahasan yang penting dan diperhitungkan dalam studi HI. GEOPOLITIK PASCA PERANG DINGIN Pada akhir periode Perang Dingin, geopolitik menjadi pokok bahasan yang penting dalam studi HI. Karena ketika lingkungan internasional yang polyarchic mengalami perubahan yang sangat dinamis, banyak negara mulai berjuang untuk mencari kekuasaan (fight for power) atas ruang dan daerah-daerah pengaruh. Dalam lingkungan baru ini, atau sejumlah pengamat menyebut sebagai akhir dari tata internasional Westphalia, berlangsung beberapa proses dan fenomena sebagai berikut. Pertama, dikhotomi Amerika Serikat – Uni Soviet yang terbentuk dari sistem perimbangan kekuatan (balance of power) tidak ada lagi. Kedua, aktor-aktor baru berupa aktor non-negara mulai terlibat dalam kepemilikan senjata pemusnah massal, yang perilaku mereka seringkali lolos dari kalkulasi dan evalusia rasional. Ketiga, proliferasi konflik dengan intensitas rendah dari penyebab yang kompleks dan beragam mulai terjadi. Keempat, bahaya-bahaya asimetris baru muncul, menciptakan tantangan baru bagi keamanan negara. Kelima, menghadapi proses globalisasi dan ancaman-ancaman baru, negara mulai kehilangan kontrol atas kejadian-kejadian yang berlangsung di wilayahnya. Keenam, fungsi pelindung perbatasan semakin melemah dan perbatasan menjadi mudah ditembus, sehingga memudahkan barang-barang, jasa, gagasan, nilai- nilai, dan teknologi mengalir bebas dari satu negara ke negara lain. Ketujuh, kebijakan- kebijakan negara cenderung menjadi bagian dari berbagai rezim internasional.14 14 Kinga Smolen, “Evolution of Geopolitical Schools of Thought”, dalam Teka Kom. Politol. Stos. Myedzinar, Vol. 7 (2012), hal, 5-19.
  • 25. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 23 Proses-prosesdanfenomenatersebutmenjadikanfaktor-faktorsepertiekonomi, ekologi, budaya dan peradaban, serta politik itu sendiri, menjadi sangat penting dalam struktur geopolitik global yang baru. Selama periode Perang Dingin, faktor-faktor tersebut oleh para ahli geopolitik dianggap kurang penting, apalagi jika dibandingkan dengan faktor militer. Lebih khusus lagi, fitur-fitur kualitatif mengenai lingkungan internasional juga mengubah pendekatan mengenai ruang (space) dalam perspektif geopolitik. Krzysztof Szczerski, misalnya, menaruh perhatian pada fakta bahwa dunia teknologi baru telah menciptakan permukaan dalam ruang yang tidak ada (non-existing space) yang tidak memerlukan batasan nyata mengenai tempat (place).15  Dengan demikian, hubungan antar aktor dalam struktur geopolitik baru harus dipahami dalam kategori atau konteks kedekatan komunikasi, di mana lokasi dan jarak geografis tidak lagi signifikan. Anna Wolff-Poweska menginterpretasi ‘ruang’ dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan Szczerski. Ia menekankan bahwa proses globalisasi dan meningkatnya proses interdependensi telah menyebabkan hilangnya sebagian besar fungsi tradisional dari perbatasan negara (state border). Sebab itu, negara-negara yang sedang bersaing khusus untuk mendapatkan daerah-daerah penting yang strategis, harus mulai mengasumsikan relatifisasi dari ruang dan lokasi (space and location). Dengan kata lain, arti penting posisi suatu negara dalam peta bumi, tidak lagi menjadi variabel utama yang menyebabkan negara itu penting atau tidak secara geopolitik.16 Karena meningkatnya kecenderungan integratif, banyak masalah sosial, ekonomi, dan politik dengan gamblang diselesaikan melampaui perbatasan negara. Dengan demikian negara kehilangan kontrol atas banyak fenomena yang terjadi di wilayahnya. Fakta ini mempengaruhi perubahan secara gradual dalam pemikiran dan kesadaran politik mengenai ‘ruang’. Wilayah yang luas yang dulu diyakini oleh para ahli geopolitik klasik dapat menjamin kekuatan negara, telah kehilangan signifikansinya. Perubahan yang terjadi di wilayah Eropa dan Asia setelah berakhirnya Perang Dingin bahwa ‘ruang’ merupakan produk politik yang mengalami perubahan secara konstan. Semua yang terkoneksi dengan ‘ruang’ disebabkan oleh sejarah dan aktivitas manusia. Sebab itu ‘ruang’ tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya variabel penentu dalam politik. Berikut ini beberapa teori geopolitik yang berkembang setelah periode Perang Dingin berakhir. 15 Krzysztof Szczerski, Geopolitical Subjectiveness: The Studies of the Polish Foreign Policy (Warsawa: 2009), hal., 14. 16 Anna Wolff-Paweska dan E. Schulz (eds.), The Space and Politics: From the History of German Polit- ical Thought (Poznan: 2000), hal, 10-11.
  • 26. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201624 Model Geopolitik Brzezinski Zbigniew Brzezinzki memperlakukan ruang bumi (earth’s space) sebagai ladang permainan seperti papan catur, di mana perjuangan untuk mendapatkan hegemoni dunia dan perluasan daerah pengaruh berlangsung di kawasan-kawasan penting yang paling strategis di dunia. Brzezinski sampai pada kesimpulan bahwa aktor-aktor utama pada papan catur dunia adalah Amerika Serikat sebagai hegemon, Rusia, China, Perancis, Jerman, dan India sebagai pemain-pemain global yang aktif. Sementara Inggris dan Jepang merupakan pemain-pemain lama yang tidak lagi aktif secara global. Sedangkan Ukraina, Turki, Korea Selatan, Iran, dan Afganistan, sebagai sekrup-sekrup geopolitik, yakni negara-negara yang penting secara geopolitik sehubungan dengan lokasi geografis mereka.17 Di luar pernyataan di atas, teori Brzezinski memprediksi kemungkinan adanya krisis di wilayah lengkungan yang luas yang membentang dari Atlantik hingga Samudera India. Brzezinski memperingatkan bahwa itu adalah wilayah di mana konflik mungkin terjadi dalam bentuk yang sama sekali baru yang membenamkan Timur Tengah, Asia Tengah, Pakistan, dan Afganistan. Dalam pandangan Brzezinski, kurangnya stabilitas di lengkungan geografis tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kepentingan negara-negara di kawasan Eurasia. Dalam teorinya, Brzezinski juga menegaskan pentingnya negara-negara yang ia sebut sebagai ‘sekrup-sekrup’ geopolitik (geopolitical bolts). Menurut perspektif Amerika, negara-negara yang termasuk dalam geopolitical bolts adalah penting karena lokasi geografisnya. Vagi Brzezinski, negara-negara tersebut memiliki peran tertentu, karena mereka dapat memungkinkan atau memblokir pemain-pemain geostrategis yang melintasi wilayah mereka. Selain itu, dalam situasi tertentu, mereka dapat menjadi perisai pelindung bagi suatu negara atau bahkan seluruh wilayah atau memberi sinyal kepada mereka konsekuensi politik dan budaya yang serius. Model Geopolitik Moczulski Sama dengan Brzezinski, Leszek Moczulski mengasumsikan negara-negara yang termasuk dalam geopolitical bolts sebagai sebuah elemen penting dari struktur geopolitik modern. Dalam terminologi Moczulski, negara-negara tersebut berfungsi 17 Lihat Zbigniew Brzezenski, The Grand Chessboard: American Primacy and Its Geostrategic Imperatives (New York: Basic Books Co., 2007).
  • 27. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 25 sebagaikawasan,negara-negarasumbu(axisstates),ataudaerahporos(pivotarea).Dalam pandangannya, proses-proses sejarah dan politik yang paling penting berkembang di sekitar wilayah tersebut. Ia memberikan contoh daerah Mediterania sebagai zona sumbu (axis zone). Turki adalah negara sumbu di zona tersebut pada beberapa abad yang lalu.18 Moczulski membagi dunia ke dalam tiga kategori wilayah, yaitu daerah inti (core areas), daerah sekrup (geopolitical bolts), dan daerah penyangga (buffer zones). Daerah inti adalah pusat-pusat di sekitar proses-proses integrasi khusus difokuskan. Di Eropa Barat, daerah tersebut adalah sabuk sepanjang Rhine dan Mosel, membentang dari Italia Utara hingga pantai Laut Utara. Daerah geopolitical bolts menghubungkan ruang-ruang atau membagi berbagai kawasan di dunia. Sedangkan zona penyangga terletak di antara aktivitas geopolitik besar, sehingga dengan demikian zona tersebut berperan untuk mencegah invasi dari berbagai arah. Oleh para ahli geopolitik, Ukraina merupakan salah satu contoh yang dapat diasumsikan sebagai zona penyangga yang melindungi Eropa dari Asia. Sedangkan Thailand pernah memerankan diri sebagai buffer zone antara kekuasaan Perancis di Vietnam dan Inggris di Malaysia di era kolonial. Konsep Geokultural dan Peradaban Dalam teori-teori geopolitik klasik maupun geopolitik semasa Perang Dingin, faktor kebudayaan (culture) dan peradaban (civilization) tidak banyak dilibatkan dalam analisis tentang perilaku negara. Namun, setelah Perang Dingin berakhir, banyak ahli geopolitik mulai menaruh perhatian pada aspek-aspek kebudayaan dan peradaban. Apa yang dimaksud dengan faktor-faktor budaya dan peradaban yang ditekankan sebagai unit dasar dalam geopolitik adalah kebudayaan-kebudayaan besar (great culture). Kebudayaan-kebudayaan tersebut digambarkan sebagai lingkaran peradaban (civilization circle), yaitu yang berada di posisi anak tangga teratas dari hierarkhis sistem budaya. Dalam sejumlah literatur geopolitik belum ada kesepakatan diantara para ahli mengenai pembagian peradaban (division of civilization). Berikut beberapa pembagian peradaban yang memiliki pengaruh besar pada geopolitik menurut beberapa ahli. Arnold Toynbee dalam bukunya berjudul A Study of History menyebut ada 23 peradaban di dunia yang cukup memiliki peran dalam sejarah geopolitik. Namun mayoritas dari peradaban tersebut telah menjadi masa lalu dan tinggal lima peradaban yang bertahan hingga saat ini serta sanggup memainkan peran penting dalam geopolitik 18 Leszek Moczulski, Geopolitics: Power in Time and Space (Warsawa: 2000), hal. 429.
  • 28. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201626 dunia, yaitu: peradaban Barat (Kristen), peradaban Timur (Bizantium dan Ortodoks), peradaban Islam, peradaban Hindu (India), dan peradaban Konfusian (China).19 Sedangkan F. Koneczny dalam karyanya berjudul On the Greatness of Civilizations menyebut enam peradaban besar yang pernah memainkan peran signifikan dalam geopolitik dunia, yaitu: peradaban Latin, Bizantium, Arab, Yahudi, Turanian, dan Brahmin.20 Yang dimaksud dengan peradaban Turanian adalah kebudayaan Persia yang pernah mendominasi Asia Tengah. Sedangkan peradaban Brahmin adalah kebudayaan Hindu yang berpusat di India. Leszek Moczulski menyebut empat peradaban besar yang memainkan peran geopolitik di kawasan Eurasia, yakni peradaban Eropa, peradaban Islam, peradaban India, dan peradaban Timur Jauh (China). Di dalam setiap peradaban besar tersebut, tumbuh peradaban-peradaban lokal. Misalnya peradaban Jepang yang merupakan turunan dari peradaban China. Moczulski juga membagi peradaban Eropa menjadi peradaban Eropa Barat dan Timur. Peradaban Eropa Barat terdiri dari peradaban Latin dan Jerman, sedangkan dalam peradaban Eropa Timur mencakup peradaban Bizantium. Di samping peradaban-peradaban besar tersebut, para ahli geopolitik juga mencatat banyak peradaban yang ‘belum sempurna’ (non-complete civilizations) yang tumbuh di daerah-daerah yang terisolasi dari pusat-pusat geopolitik dunia. Mereka ini kebanyakan berada di Afrika dan Asia.21 Salah satu konsep geokultural dan peradaban yang tampaknya paling dikenal adalah yang diintrodusir oleh ilmuwan politik Amerika, Samuel Huntington. Ia membagitujuhperadabanbesaryangmewarnaigeopolitikdunia,yaitu:peradabanBarat, peradaban Amerika Latin, peradaban Ortodoks, peradaban Islam, peradaban Hindu, peradaban Budha, dan peradaban Konfusian (China). Dia juga tidak mengecualikan Afrika, yang suatu saat mungkin dapat muncul sebagai peradaban kedelapan. Menurut Huntington, di masa depan, konflik antar peradaban akan bersumber dari perbedaan budaya, tradisi, dan agama. Ada tiga peradaban yang berpotensi untuk berbenturan dalam abad ke-21 ini, yaitu peradaban Barat, peradaban Islam, dan peradaban Konfusian (China).22 19 Lihat Arnold J. Toynbee, A Study of History (Oxford: Oxford University Press, 2000). 20 F. Koneczny sebagaimana dikutip Jerzy Topolski, Methodology of History (Warsawa: PWN – Polish Scientific Publishers, 1976), hal. 214. 21 Leszek Moczulski, op. cit., hal. 272 22 Lihat Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon & Schuster, 2011).
  • 29. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 27 Geopolitik Amerika Serikat Pada periode Perang Dingin, pemikiran geopolitik Amerika hampir sepenuhnya ditujukan untuk pembendungan (containment) terhadap ambisi-ambisi global Uni Soviet. Ini diantaranya ditandai dengan kehadiran kekuatan militer Amerika di berbagai kawasan strategis di seluruh dunia. Namun, setelah Uni Soviet bubar dan Perang Dingin berakhir, Amerika dipaksa untuk melakukan penyesuaian (adjustment) terhadap pemikiran dan strategi geopolitiknya yang dijalankan sejak pasca Perang Dunia II. Tetapi, secara garis besar, pemikiran dan strategi geopolitik Amerika tetap diorientasikan untuk memelihara posisi Amerika sebagai super power tunggal di muka bumi. Departemen Pertahanan AS dalam sebuah laporannya yang dipublikasikan pada 1992 menegaskan bahwa ‘strategi Amerika (setelah jatuhnya Uni Soviet) harus kembali fokus untuk menghalangi munculnya setiap potensi yang dapat menjadi kompetitor global di masa depan. Departemen Pertahanan AS pada awal dekade 1990- an juga telah menerbitkan Defense Planning Guidance yang salah satunya mengusulkan tujuan geopolitik Amerika mempertahankan hegemoni militer yang permanen melalui tindakan-tindakan preemptive. Tetapi sekutu-sekutu AS mendesak Washington untuk tetap mempertahankan kehadirannya di seluruh dunia untuk menegaskan komitmen sebagai kekuatan unilateral global. Deputi Menteri Pertahanan AS, Paul Wolvowitz, menganggap teori ‘daerah jatung’ (hearthland theory) dari Mackinder tetap relevan bagi geopolitik Amerika pasca Perang Dingin. Sebab itu Wolvowitz menegaskan bahwa Rusia (sebagai pewaris Uni Soviet) akan tetap menjadi kekuatan militer terkuat di Eurasia dan masih menjadi satu- satunya kekuatan di dunia yang memiliki kapasitas untuk menghancurkan Amerika.23 Henry Kissinger juga mengatakan bahwa terlepas dari siapapun yang memimpin Moskow, Rusia bagaimanapun tetap merupakan jantung geopolitik sebagaimana dikatakan Mackinder, dan negara itu merupakan salah satu pewaris tradisi imperial yang paling penting dalam sejarah.24 Dalam komunitas keamanan nasional AS saat ini masih berlangsung kontroversi sehubungan dengan strategi geopolitik AS yang tepat pasca Perang Dingin. Selain soal definisi siapa yang paling berpotensi menjadi kompetitor global bagi Amerika (apakah Rusia, China, atau dunia Islam), juga mengenai apakah Amerika harus memimpin 23 “Keeping the US First”, dalam Washington Post, 11 Maret 1992. 24 Henry Kissinger, Diplomacy (New York: Simon and Schuster, 1994), hal. 814.
  • 30. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201628 dunia secara tiga serangkai (bersama-sama Eropa dan Jepang) atau apakah Amerika harus secara sepihak (unilateral) mencari imperiumnya sendiri di muka bumi. Geopolitik Rusia Pasca Perang Dingin berakhir, geopolitik menjadi wacana nyata (visible discourse) di Rusia, terutama untuk menjelaskan posisi Rusia dalam politik dunia kontemporer dan menyediakan cara atau pemikiran untuk membangun kembali Rusia sebagai kekuatan besar dalam masalah-masalah dunia. Kebutuhan akan dua hal ini memunculkan berbagai aliran pemikiran (school of thought) yang memberdebatkan arah geopolitik yang paling tepat bagi Rusia setelah Perang Dingin berakhir. Beberapa sarjana dan politisi menyatakan bahwa Rusia sebaiknya berintegrasi dengan Eropa, beberapa lainnya menyarankan agar Rusia kembali menjadi negara yang dominan di Eurasia. Sementara itu beberapa pihak menginginkan Rusia dapat memainkan peran penyeimbang (balance role) antara Eropa dan Asia, sebagai sebuah jembatan Eurasia yang besar, namun juga tidak sedikit yang menghendaki untuk mengembalikan Rusia sebagai salah satu pusat geopolitik melawan Amerika dalam politik dunia. Beragam pemikiran tentang orientasi baru geopolitik Rusia pasca Perang Dingin tersebut sedikitnya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga aliran pemikiran atau orientasi berikut ini. AlirangeopolitikRusiayangpertamaadalahapayangdisebutdengan‘Westernis’ (atau di Rusia sendiri sering disebut dengan Atlanticist). Penganut aliran ini adalah mereka yang menginginkan Rusia menjadi bagian dari masyarakat Barat. Mereka pada umumnya sangat dipengaruhi oleh praktik politik luar negeri Rusia dalam beberapa tahun pertama setelah berakhirnya Perang Dingin. Versi pemikiran geopolitik pro Barat ini dapat ditelusuri kembali ke ‘pemikiran politik baru’ Mikhail Gorbachev dan dilanjutkan oleh ide-ide Andrei Kozyrev. Perdana Menteri Rusia pertama ini pernah mengatakan: “tidak diragukan Rusia tidak akan berhenti untuk menjadi kekuatan besar. Tapi Rusia akan menjadi kekuatan besar yang normal. Kepentingan nasional juga akan menjadi prioritas. Tapi kepentingan itu harus dapat dimengerti oleh negara- negara demokratis, dan Rusia akan mempertahankan kepentingan itu melalui interaksi dengan mitra, bukan melalui konfrontasi”.25 Ini suatu bentuk penegasan keinginannya untuk menjadikan Rusia bagian dari Eropa dan dunia Barat. Aliran kedua adalah neo-Eurasinist. Aliran pemikiran ini mewakili aspirasi dari mereka yang mengharapkan Rusia kembali menjadi kekuatan dominan di Eurasia 25 Andrei Kozyrev, “Russia: A Change for Survival”, dalam Foreign Affairs, Vol. 71 No. 2 (1992 ), hal. 10-15.
  • 31. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 29 (Russia as Eurasia). Penganut aliran neo-Eurasianist lebih memberikan penekanan pada faktor-faktor geopolitik yang memisahkan Rusia dari Barat. Mereka lebih memilih pemikir-pemikir geopolitik tradisional seperti Mackinder dan Haushofer sebagai mentor daripada pemikir Eurasianis klasik semacam Petr Savitsky dan Nicholas Trubetzkoy.26 Penganut aliran neo-Eurasinist dapat dikelompokkan ke dalam neo- Eurasinist kanan baru dan neo-Eurasinist sayap kiri. Mereka yang tergabung dalam neo- Eurasinist kanan baru adalah para ilmuwan dan politisi garis keras seperti Alexander Prokhanov, Shamil Sultanov, dan Alexander Dugin. Sedangkan neo-Eurasinist sayap kiri atau sering disebut “Eurasian Communism” diantaranya diwakili oleh Gennady Zyuganov (pemimpin Partai Komunis Rusia). Aliran ketiga adalah democratic-statism (atau di Rusia sendiri dikenal dengan gosudastvenniki atau derzhavniki). Penganut aliran geopolitik versi ini menghendaki Rusia menjadi sebuah kutub (pole) dari dunia yang multipolar. Aliran ini menggabungkan beberapa pemikiran Westernisme dengan beberapa realisme politik serta Eurasianisme. Namun Graham Smith menyebut democratic-statism sebagai cabang utama ketiga dari neo-Eurasianism. Sebagai sebuah aliran pemikiran dalam geopolitik Rusia, democratic-statism banyak mewarnai politik luar negeri Rusia sejak 1992. Dalam konteks domestic sphere, penganut aliran ini mendukung pengembangan liberalisasi dan demokratisasi, namun mereka sangat dekat dengan gagasan-gasasan neo-Eurasianist dalam hal mempertahankan kepentingan nasional dan geopolitik Rusia di luar negeri. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran ini diantaranya Alexander Rutskoi (mantan Wapres di Era Boris Yeltsin), Ruslan Khasbulatov (mantan Ketua Parlemen), dan Sergei Stankevich (mantan anggota Dewan Negara). Stankevich pernah mengatakan bahwa para pemimpin Rusia harus memusatkan konsentrasi untuk mengembangkan hubungan dengan negara-negara Eurasia seperti China, India, dan Turki, serta negara-negara “eselon kedua” seperti Brasil, Argentina, Meksiko, Afrika Selatan, dan ASEAN. Namun ia juga menghendaki agar Rusia menjalankan politik luar negeri yang pragmatis.27 KESIMPULAN Negara dan perilaku negara tidak bekerja dalam sebuah ruang hampa, tetapi secara ketat dipengaruhi lingkungan internasional yang berubah secara dinamis. 26 Lihat Charles Clover, “Dream of the Eurasia Heartland”, dalam Foreign Affairs, Vol. 78 No. 2 (1999), hal. 9. 27 Sergei Stankevich, “Russia in Search for Itself”, dalam The National Interest, Vol. 28 (1992), hal. 47-51.
  • 32. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201630 Evolusi dalam pendekatan terhadap ruang geografis (geographical space) berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam parameter-parameter tentang sistem dunia. Konsep geopolitik klasik yang menganalisis ‘ruang’ terutama dalam konteks kondisi geografis. Luas wilayah, maritim, daratan, atau lokasi di semenanjung, misalnya, diasumsikan menentukan posisi dan kekuatan negara dalam hubungan internasional. Ruang itu diasumsikan menjadi variabel utama bagi perkembangan posisi, kekuatan, dan perilaku negara dalam sistem internasional. Perubahan besar terjadi setelah berakhirnya Perang Dingin. Perubahan- perubahan kualitatif yang terjadi dalam lingkungan internasional baru yang bersifat polyarchic, proses-proses globalisasi dan hubungan-hubungan internasional yang disebut sebagai bahaya asimetris, konflik-konflik dengan intensitas rendah, telah merubah fungsi perbatasan (border) yang menciptakan sebuah karakter yang sama sekali baru mengenai ‘ruang’. Ruang tidak bisa lagi semata-mata dianggap sebagai variabel yang menentukan politik melainkan lebih sebagai sebuah alat yang melayani realisasi dari kepentingan tertentu. Dalam geopolitik baru, faktor budaya dan peradaban mulai dianggap sebagai sesuatu yang penting, seperti halnya ekonomi dan politik. Ruang bukan lagi merupakan variabel tunggal dalam geopolitik. Perubahan lainnya adalah munculnya pendekatan pluralisme yang menggantikan pendekatan state-centric. Subyek-subyek non-negara mulai memberikan pengaruh lebih besar atas pembentukan tatanan internasional. KEPUSTAKAAN Brzezenski, Zbigniew, The Grand Chessboard: American Primacy and Its Geostrategic Imperatives (New York: Basic Books Co.,, 2007). Cohen, Saul Bernard, Geopolitics of the World System (Maryland, USA: Rowman & Littlefield Publisher, Inc., 2003). Clover, Charles, “Dream of the Eurasia Heartland”, dalam Foreign Affairs, Vol. 78 No. 2 (1999). Dittmer, Jason dan Joanne Sharp (eds.), Geopolitics: An Introductory Reader (London: Routledge, 2014). Devetak, Richard, Anthony Burke, dan Jim George (eds.), An Introduction to International Relations (New York: Cambridge University Press, 2012). East, Maurice A.,“The Post Cold War Era: Implications for Educators”, dalam http://
  • 33. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 31 www.socialstudies.org [Diakses 29 Agustus 2016]. Foster, John B., “The New Geopolitics of Empire”, dalam Monthly Review, Vol. 57 No. 8 (2006). Gray, Colin S. dan Geoffrey Sloan (eds.), Geopolitics, Geography, dan Strategy (London: Routledge, 2013). Griffiths, Martin (ed.), Encyclopedia of International Relations and Global Politics (London: Routledge, 2005). Huntington, Samuel P., The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon & Schuster, 2011). Kissinger, Henry, Diplomacy (New York: Simon and Schuster, 1994). Kozyrev, Andrei, “Russia: A Change for Survival”, dalam Foreign Affairs, Vol. 71 No. 2 (1992 ), hal. 10-15. Mahan, Alfred Thayer, The Problem of Asia and the Effects upon International Politics (London: Kennikat Press, 1920). Moczulski, Leszek, Geopolitics: Power in Time and Space (Warsawa: 2000). Neumann, Franz, Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism (New York: Oxford University Press, 1942). Prescott, J.R.V., The Geography of State Policies (London: Routledge, 2015). Sicker, Martin, Geography and Politics Among Nations: An Introduction to Geopolitics (New York: iUniverse, Inc., 2010). Smolen, Kinga, “Evolution of Geopolitical Schools of Thought”, dalam Teka Kom. Politol. Stos. Myedzinar, Vol. 7 (2012), hal, 5-19. Stankevich, Sergei, “Russia in Search for Itself”, dalam The National Interest, Vol. 28 (1992), hal. 47-51. Szczerski, Krzysztof, Geopolitical Subjectiveness: The Studies of the Polish Foreign Policy (Warsawa: 2009). Topolski, Jerzy, Methodology of History (Warsawa: PWN – Polish Scientific Publishers, 1976).
  • 34. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201632 Toynbee, Arnold J., A Study of History (Oxford: Oxford University Press, 2000). Ugarte, Augusto Pinochet, Introduction to Geopolitics (Santiago de Chile: Alfabeta Impresores, 1981). Wolff-Paweska, Anna dan E. Schulz (eds.), The Space and Politics: From the History of German Political Thought (Poznan: 2000).
  • 35. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 33 MENYIMAK PERGESERAN NATIONAL SECURITY KE HUMAN SECURITY DALAM ERA GLOBAL KONTEMPORER Oleh: Denny Ramdhany Dosen FISIP-HI Universitas Jayabaya E-mail: denny.brc10@gmail.com ABSTRACT The purpose of writing this article is to describe the appearance of the dimensions of human security as a new agenda in the political world with different views with the previous approach, namely realism that focuses more on the security of the State, shifted towards the security of mankind. This new view has provoked a debate among security scholars previously focused on traditional to non-traditional security. The new idea of ​​human security can’t be separated from the UNDP report on Human Development Report of the United Nations Development Programme in 1994 which gives meaning to human security as freedom from fear, freedom of desire and equality between the territory and the people. Human Security is based on the western concept has been implemented by many countries, particularly Canada, Norway, and Japan. Southeast Asian countries are more focused to the collective security compared to the security of mankind Key Words: human security, realism, traditional security, non-traditional security ABSTRAK Tujuan penulisan artikel ini untuk menggambarkan kemunculan dimensi keamanan manusia (human security) sebagai agenda baru dalam politik dunia dengan pandangan yang berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yaitu realisme yang lebih memfokuskan pada keamanan negara, bergeser ke arah keamanan manusia. Pandangan baru ini telah menimbulkan perdebatan di kalangan penstudi keamanan yang sebelumnya terfokus pada keamanan tradisional menuju non tradisional. Ide baru dari human security tidak lepas dari laporan UNDP mengenai Human Development Report of The United Nations Development Programme tahun 1994 yang memberikan makna human security sebagai kekebasan dari rasa takut, kebebasan mendapatkan keinginan dan kesetaraan antara territory dan orang-orang. Keamanan manusia didasarkan pada kosep Barat telah diimplementasikan oleh banyak negara, khususnya Kanada, Norwegia, dan Jepang. Negara-negara Asia Tenggara lebih terfokus kepada keamanan bersama dibandingkan ke keamanan manusia Kata Kunci: keamanan manusia, realisme, keamanan tradisional, keamanan non tradisional
  • 36. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201634 PENDAHULUAN KetikaApollomendekatibulan,seorangastronotAmerikamemberitahustasiun kendali bahwa hal yang paling mengesankan dalam dalam perjalanan ruang agkasa adalah melihat bumi sebagai sebuah planet tanpa perbatasan. Dari ruang angkasa, ia melihat bumi sejenak terbebas dari konflik bersenjata dan retorika permusuhan. Ia menyuarakan pandangan orang banyak, jika perdamaian abadi ingin dijelang, sistem internasional harus lebih dahulu dirombak, harus dikurangi. Karena kecewa dengan perimbangan kekuasaan, perimbangan teror dan berbagai bentuk distibusi kekuasaan lainnya, maka para pengamat mulai dari kaum utopia abad ke sembilan belas hingga para tokoh futuris zaman ini berusaha mencari alternatif-alternatifnya. Mereka mencurahkan perhatiannya pada satu masalah: bagaimana melenyapkan kemampuan negara menciptakan kekacauan?1 Pemikiran astronot di atas tidak lepas dari situasi munculnya sejumlah pertanyaan dari masyarakat internasional mengenai kemampuan PBB dalam menjaga stabilitas internasional yang terwujud dalam tiga hal: (1) peningkatan perdamaian; (2) penciptaan perdamaian, dan (3) pemeliharaan perdamaian. Mampukah PBB memperbaiki persepsi internasional, sehingga dorongan berperang dapat dikurangi? Apabila konflik terlanjur terjadi, dapatkah PBB menjadi penengah dan memulihkan ketertiban? Apabila konflik itu berhasil dipadamkan, dapatkah PBB memberikan pengaruhnya secara konsisten guna mempertahankan status quo yang damai itu?2 Ketiga pertanyaan di atas semakin sulit dijawab mengingat masa Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan era Perang Dingin, situasi politik internasional dikuasai oleh pendekatan realis yang lebih mengedepankan pada keamanan nasional (national security) dalam upaya mewujudkan national interest (kepentingan nasional). Cara pandang realis yang lebih memilih perlindungan negara dari pada warga negaranya yang menurut Sadako Ogata dalam Commission on Human Security (CHS) dalam Erwin mengemukakan bahwa secara tradisional, ancaman terhadap keamanan dianggap berasal dari sumber eksternal, sebagai contoh perlindungan negara, batas wilayahnya, warga, institusi, dan nilai-nilai dari serangan pihak luar.3 Isu keamanan oleh karenanya dikaji dalam konteks keamanan negara (state security). 1 Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: kekuasaan, Ekonomi-Politik Internasional, dan Tatanan Dun- ia 2 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 477. 2 Ibid., hal. 391. 3 Erwin Ruhiyat. “Pengantar Kajian Human Security”, taki-Taki ( Jurnal on-line). Tersedia di web http:// id.scribd.com/doc/14988976/Pengantar Human Security, [Diakses 26 Agustus 2015].
  • 37. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 35 Keamanan nasional telah mempunyai sejarah yang panjang. Lebih kurang 350 tahun yang lalu, tepatnya sejak disepaktinya penghentian perang tiga puluh tahun yang dituangkan dalam Treaties of Wespahalia (1648). Pada awalnya, definisi keamanan nasional diartikan sebagai upaya yang bertujuan mempertahankan integritas teritorial suatu negara dan kebebasan untuk menentukan bentuk pemerintahan sendiri. Namun dengan perkembangan global dan semakin kompeksnya hubungan antar negara serta beragamnya ancaman yang dihadapi oleh negara-negaa di dunia, maka rumusan dan praktek penyelenggaraan keamanan cenderung dilakukan secara bersama-sama (collective security) menjadi acuan penting negara-negara dunia yang dalam pelaksanaannya tidak hanya dilakukan untuk menjaga kedaulatan negara, tetapi juga menjaga keamanan warga negara.4 Brian White, Richard Little dan Michael Smith sebagaimana dikutip Budi Winarno, menyatakan bahwa dalam membahas isu-isu global, banyak pengamat hampir selalu berangkat darin titik pijak yang sama, yakni berakhirnya Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin tersebut lantas dikaitkan dengan dunia komtemporer yakni globalisasi.5 Pasca berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur terkait perang ideologi, isu-isu internasional tidak lagi mengedepankan pada isu militer dan politik saja, tetapi juga muncul isu-isu baru yang selama Perang Dingin terabaikan, kini menjadi pusat perhatian berbagai kalangan di dunia. Isu inilah yang kemudian disebut dengan isu-isu global kontemporer pasca Perang Dingin. Berbicara isu global, ada beberapa indikator yang membuat suatu isu menjadi global. Pertama, isu yang memperoleh perhatian dari para elit pembuat kebijakan dari sejumlah besar pemerintah mencakup beberapa isu penting, dan pemerintah terlibat dalam perdebatan publik mengenai isu-isu tersebut. Kedua, isu yang memperoleh liputan secara terus-menerus dalam pers dunia –dalam surat kabar dan majalah, siaran radio dan tayangan televisi. Ketiga, isu yang menjadi subjek studi, penelitian, perdebatan secara serius dan terus menerus oleh kelompok-kelompok professional, scholars, scientists, dan technical experts di seluruh masyarakat internasional atau dunia. Keempat, isu yang nampak dalam agenda atau perdebatan-perdebatan tentang agenda organisasi-organisasi internasional.6 Fokus pembahasan isu-isu global kontemporer mencakup mencakup tujuh bahasan utama, yaitu: (1) kesehatan dan kemiskinan (wealth and poverty); (2) 4 Iwan., “ National Security, Human Security, HAM dan Demokrasi”, Blog tersedia dalam http:/Iwansmile. Wordpress.com/national-security-human-security-ham-dan-demokrasi, [Diakses 27 Agustus 2015]. 5 Budi Winarno., Isu-Isu Global Kontemporer (Yogjakarta: CAPS, 2011), hal. 15. 6 Ibid, hal. 18-19.
  • 38. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201636 penduduk (population); (3) makanan (food); (4) energi; (5) lingkungan (environment); (6) teknologi (technology) dan; (7) isu-isu masa depan seperti seperti perang nuklir, pencemaran lingkungan, dan overpopulation.7 Sementara itu, pakar lain mengemasnya secara berbeda dengan memfokuskan pada bahasan utama yang lebih luas seperti ekonomi dan perdagangan, kemiskinan dan kesenjangan global, pembangunan internasional, kerjasama kawasan, globalisasi dan isu demokrasi, energi, lingkungan dan pemanasan global, terorisme dan keamanan global, krisis pangan dunia, hak asasi manusia (HAM), nasionalisme dan konflik etnik, proliferasi senjata nuklir, global governance dan tata kelola dunia internasional, korupsi dan the captures state, kejahatan perdagangan manusia.8 Dengandemikian,diantarapakarstudiHItentangmasalahglobalkontemporer dengan istilah yang berbeda, tetapi intinya adalah menelaah persoalan-persoalan yang menjadi fokus dan berdampak secara internasional, seperti isu penduduk, pangan, teknologi, standar global kualitas hidup, makanan, HAM, perdagangan, keuangan, lingkungan, dan energi.9 Secara pararel, berkembangnya isu-isu baru dalam hubungan internasional telah menggeser makna konsep keamanan itu sendiri, di mana pada era Perang Dingin, konsep keamanan hanya terpusat pada national security, di mana situasi politik internasional pada saat itu didominasi oleh perang antar negara, sehingga konsep keamanan lebih bersifat state-centric yang dalam formulasi klasik. Keamanan adalah bagaimana negara menggunakan kekuatan (power) untuk mengelola ancaman (threats) terhadap integritas teritorial, otonomi, dan ketertiban politik dalam negeri mereka, terutama dari negara-negara lain.10 Salah satu kritikan atas formulasi keamanan klasik adalah bahwa keamanan tidak dapat dibatasi pada kesejahteraan negara. Dari perspektif ini, tersirat rumusan keamanan klasik adalah perlindungan (protection) dan kesejahteraan negara, sedangkan apa yang seharusnya menjadi pusat perhatian adalah perlindungan dan kesejahteraan dari warga negara secara individu (human being).11 Namun dalam era pasca Perang 7 Ibid 8 Op.cit, hal. 11 - 14 9 John T. Rouke, International Politics on the World Stage, (Connecticut, USA:The Duskhin Publishing Group, Inc, 1989), hl. 517 – 532; Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: kekuasaan, Ekonomi-Politik In- ternasional, dan Tatanan Dunia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 477- 523; Daniel S Papp, Contemporary International Relations Framework for Understanding (USA: Macmillan Publishing, 1984). Van- dana, 1996, Theory of International Politics (New Delhi: Vikas Publishing House Pvt. Ltd, 1996). 10 Erwin Ruhiyat.loc.cit. 11 Ibid, hlm 1-2.
  • 39. ALTERNATIF VOL 06 (1) 2016 37 Dingin, konsep national security yang formulasi keamanan klasiknya terpusat kepada kepentingan negara, telah mengalami pergeseran menjadi terpusat kepada melindungi individu dan masyarakat, baik di dalam suatu negara maupun masyarakat di seluruh dunia. Konsep inilah yang dikenal sekarang dengan konsep human security. Konsep human security itu sendiri mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari pada national security karena keamanan umat manusia pada dasarnya merupakan ancaman terhadap seluruh umat manusia yang bersifat global telah menimbulkan reaksi yang beragam di kalangan pengkaji keamanan maupun para pengambil kebijakan. Ada yang pro maupun kontra dengan berbagai argumen, sehingga dapat dikatakan bahwa national security merupakan salah satu bagian dari human security. Makalah ini ini mendeskripsikan alur pemikiran munculnya pemikiran human security beserta implementasinya oleh berbagai negara. PEMBAHASAN Asal Mula Human Security Kajian keamanan manusia juga merupakan obyek teori HI. Keamanan manusia berfungsi sebagai buku alat untuk mengubah praktik politik pemimpin seperti yang disarankan misalnya oleh Harvard Program on Humanitarian Policy Conflict Research. Menurut Stanley Hoffman seperti dikutip Frederic Ramel, ada dua jenis teori yang harus dibedakan: yaitu empiris (kerangka kerja konseptual yang menjelaskan atau memahami realitas melalui studi empiris) dan filosofis yang berdasarkan sifat manusia.12 Dalam studi HI (khususnya politik internasional), pemahaman tradisional mengenai keamanan difokuskan kepada keamanan untuk negara, sehingga pada era Perang Dingin didominasi oleh pemahaman keamanan sebagai upaya pemerintah untuk melindungi wilayahnya dari serangan militer yang dalam paradigma akademisi, pendekatansemacaminidisebutdenganrealis.Perdebatanmengenaikeamanankembali muncul pada era Perang Dingin, dimana kasus baru dalam kejahatan internasional dan bahaya lingkungan telah mengancam keamanan negara, sehingga makna mengenai keamanan negara dipertanyakan dan perlu dikaji ulang.13 12 Frederic Ramel, “ Human Security and Political Philosophy in the Light of Judish Shaklar’s Writing”, dalam Human Security Journal, Vol. 5, (2007), hal. 28. 13 Tor Dahl-Eriksen, “ Human Security A New Concept which Adds New Dimensions to Human Rights Dis- cussions”, dalam Human Security Journal, Vol. 5, (2007), hal. 17.
  • 40. ALTERNATIF VOL 06 (1) 201638 Gagasan baru mengenai keamanan bukan hanya untuk negara, tetapi bagi umat manusia keseluruhan mengemuka pasca Perang Dingin yang lebih memfokuskan diri pada aktor yang abstrak, tidak hanya negara, tetapi juga individu dan kelompok. Ide tentang human security membangkitkan kembali perdebatan mengenai apa itu keamanan dan bagaimana mencapainya. Paling tidak ada tiga kontroversi dalam perdebatan tersebut. Pertama, human security merupakan gagasan dan upaya negara- negara Barat dalam bungkus untuk menyebarkan nilai-nilai tentang HAM. Kedua, human security, sebagai suatu konsep, bukanlah hal baru. Human security yang secara luas mencakup isu-isu non militer juga sudah dikembangkan di dalam konsep keamanan komprehensif. Ketiga, paling tajam adalah perbedaan dalam definisi dan upaya untuk mencapai human security oleh masing-masing pemerintahan nasional berdasarkan sudut pandang, pengalaman, dan prioritas yang berbeda.14 Dengan demikian, dilihat dari substansinya, gagasan human security yang terpusat pada keamanan individu bukanlah hal yang baru dalam disiplin Ilmu HI, hal ini dapat dari Konvensi Jenwa diketemukan dalam dokumen penting, seperti Protokol tambahan dalam Geneva Convention ( 1864/1944/1977), Piagam PBB tahun 1945 yang disusul oleh Deklarasi Universal Hak-hak Azasi manusia tahun 1948, Laporan dari The Palme Commission ( 1982) dengan judul “Common Security” dan terakhir laporan dari The Brundtland Commission ( 1982).15 Berdasarkan dokumen penting tersebut, nampak bahwa berdirinya Palang Merah Internasional (International Red Cross) pada 1864 merupakan reaksi dari bencana kemanusiaan sebagai akibat peperangan yang luar biasa, sehingga mendorong masyarakat internasional untuk mendirikan suatu lembaga kemanusiaan. Ini berarti bahwa munculnya nation state sebagai akibat dari Perjanjian Wesphalia (1648) yang secaraformal mengakuistatesovereigntymenjadibasisutamadalampolitikinternasional. Konsep modern tentang kedaulatan berhubungan dengan gagasan pengembangan wilayah teritorial dan sentralisasi kekuasaan monarki yang hingga sekarang di beberapa kerajaan, konsep kedaulatan tetap bertahan. Pada abad 20, koloni-koloni kerajaan yang sudah merdeka. Tetapi tetap saja wilayah terotorialnya di bawah pengawasan kedaulatan dari negara lain.16 Berakhirnya Perang Dingin dan meningkatnya globalisasi telah memunculkan perubahan fundamental dalam paradigma ilmu sosial, diantaranya munculnya ide- 14 Edy Prasetyono, “ Human Security”, Makalah, disampaikan pada FGD Propatria. Hotel Santika Jakarta, 11 September 2013, hal. 1. 15 loc.cit 16 Tor Dahl-Eriksen, op.cit. hlm 23.