Pemimpin seharusnya menjadi teladan dan bertanggungjawab kepada rakyat serta Allah, bukan menjadi penguasa yang hanya mengejar kekuasaan dan memaksakan kehendak. Nabi Muhammad contoh pemimpin sejati yang mementingkan rakyat meski memiliki kekuasaan besar. Pemimpin ideal adalah yang memimpin dengan hati nurani, bukan atas kehendak sendiri.
Pemimpin seharusnya menjadi teladan dan bertanggung jawab kepada rakyat dan Allah, bukan sebagai penguasa yang hanya mengejar kekuasaan. Pemimpin ideal adalah yang mengutamakan kemaslahatan rakyat dalam setiap kebijakannya. Nabi Muhammad contoh pemimpin sejati yang meskipun berkuasa besar tetapi lebih memilih menjadi teladan daripada penguasa otoriter.
Dokumen tersebut memberikan ringkasan tentang pentingnya membersihkan hati dari korupsi. Korupsi disebabkan oleh sifat manusia yang tamak serta lemahnya penegakan hukum dan transparansi. Untuk membersihkan hati dari korupsi, perlu komitmen untuk tidak melakukan korupsi dan menciptakan koalisi anti korupsi yang kuat.
Pemimpin non-Muslim haram? Tulisan ini membahas pendapat yang mengklaim bahwa memilih pemimpin non-Muslim adalah haram berdasarkan ayat Al-Quran. Namun, penulis menunjukkan bahwa klaim ini tidak akurat karena terjemahan "auliya'" sebagai "pemimpin" dalam ayat tersebut tidak tepat, dan ayat-ayat tersebut sebenarnya bersifat situasional, bukan mutlak. Penulis juga menjelaskan
Teks ini membahas tentang pentingnya memilih pemimpin yang bertakwa kepada Allah SWT dan berlandaskan syariat Islam. Teks menjelaskan bahaya pemimpin yang bodoh dan hanya mengandalkan kekuatan materi tanpa akhlak mulia. Idealnya pemimpin sejati adalah yang mampu menggabungkan kepentingan dunia dan akhirat dengan menerapkan syariat Islam dalam kepemimpinan negara. Sayangnya saat ini terpisah antara kepemimpinan
Ringkasan dari dokumen tersebut adalah:
1. Konsep jihad telah berkembang dari ideologi perang ofensif menjadi ideologi anti-kolonialisme
2. Gerakan teroris kontemporer meyakini jihad sebagai perang permanen tanpa dialog, berbeda dengan pandangan sufistik dan normatif Islam klasik
3. Deviasi konsep jihad menjadi perang ofensif semula bertujuan untuk kepentingan penguasa ekspansionis
Isu-isu global kontemporer merupakan ancaman baru seperti terorisme dan kejahatan transnasional yang mengancam keamanan negara-negara Dunia Ketiga yang masih menghadapi berbagai persoalan seperti ketidakstabilan politik dan ekonomi. Islam liberal menekankan kebebasan individu dan memisahkan otoritas agama dari politik. Ushuliyah dalam pemikiran Islam merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariat yang diambil dari Al-Quran dan Had
Tulisan ini membahas tentang semangat berkompetisi secara positif dengan mengutip ayat Al-Quran yang memerintahkan umat Islam untuk saling memajukan kebaikan. Nabi Muhammad dijadikan contoh karena mampu bersaing dengan integritas tinggi tanpa mengusik orang lain. Umat Islam disarankan untuk terus meneladani sifat-sifat positif Nabi dalam menghadapi tantangan, bukan dengan sikap anarkis atau anti-toler
Pemimpin seharusnya menjadi teladan dan bertanggung jawab kepada rakyat dan Allah, bukan sebagai penguasa yang hanya mengejar kekuasaan. Pemimpin ideal adalah yang mengutamakan kemaslahatan rakyat dalam setiap kebijakannya. Nabi Muhammad contoh pemimpin sejati yang meskipun berkuasa besar tetapi lebih memilih menjadi teladan daripada penguasa otoriter.
Dokumen tersebut memberikan ringkasan tentang pentingnya membersihkan hati dari korupsi. Korupsi disebabkan oleh sifat manusia yang tamak serta lemahnya penegakan hukum dan transparansi. Untuk membersihkan hati dari korupsi, perlu komitmen untuk tidak melakukan korupsi dan menciptakan koalisi anti korupsi yang kuat.
Pemimpin non-Muslim haram? Tulisan ini membahas pendapat yang mengklaim bahwa memilih pemimpin non-Muslim adalah haram berdasarkan ayat Al-Quran. Namun, penulis menunjukkan bahwa klaim ini tidak akurat karena terjemahan "auliya'" sebagai "pemimpin" dalam ayat tersebut tidak tepat, dan ayat-ayat tersebut sebenarnya bersifat situasional, bukan mutlak. Penulis juga menjelaskan
Teks ini membahas tentang pentingnya memilih pemimpin yang bertakwa kepada Allah SWT dan berlandaskan syariat Islam. Teks menjelaskan bahaya pemimpin yang bodoh dan hanya mengandalkan kekuatan materi tanpa akhlak mulia. Idealnya pemimpin sejati adalah yang mampu menggabungkan kepentingan dunia dan akhirat dengan menerapkan syariat Islam dalam kepemimpinan negara. Sayangnya saat ini terpisah antara kepemimpinan
Ringkasan dari dokumen tersebut adalah:
1. Konsep jihad telah berkembang dari ideologi perang ofensif menjadi ideologi anti-kolonialisme
2. Gerakan teroris kontemporer meyakini jihad sebagai perang permanen tanpa dialog, berbeda dengan pandangan sufistik dan normatif Islam klasik
3. Deviasi konsep jihad menjadi perang ofensif semula bertujuan untuk kepentingan penguasa ekspansionis
Isu-isu global kontemporer merupakan ancaman baru seperti terorisme dan kejahatan transnasional yang mengancam keamanan negara-negara Dunia Ketiga yang masih menghadapi berbagai persoalan seperti ketidakstabilan politik dan ekonomi. Islam liberal menekankan kebebasan individu dan memisahkan otoritas agama dari politik. Ushuliyah dalam pemikiran Islam merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariat yang diambil dari Al-Quran dan Had
Tulisan ini membahas tentang semangat berkompetisi secara positif dengan mengutip ayat Al-Quran yang memerintahkan umat Islam untuk saling memajukan kebaikan. Nabi Muhammad dijadikan contoh karena mampu bersaing dengan integritas tinggi tanpa mengusik orang lain. Umat Islam disarankan untuk terus meneladani sifat-sifat positif Nabi dalam menghadapi tantangan, bukan dengan sikap anarkis atau anti-toler
Teks tersebut membahas tentang reformasi politik dan masyarakat dalam Islam serta peranan ulama dan cendikiawan dalam hal tersebut. Terdapat diskusi mengenai makna reformasi, prasyarat reformasi, hubungannya dengan amr ma'ruf nahi munkar, serta pandangan berbagai kelompok tentang demokrasi dan Islam."
- Islam menganggap jender sebagai konsep budaya yang membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
- Secara prinsip dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada kesetaraan di hadapan Allah sebagai khaliq (pencipta)
Ringkasan dari dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas tentang hadis-hadis mengenai jihad dan kritik terhadap hadis yang menyebutkan kelemahan akal wanita.
2) Beberapa hadis yang dibahas antara lain hadis yang memberikan pahala bagi yang berjihad dan keutamaan berjihad.
3) Kritik hadis yang menyebutkan kelemahan akal wanita dengan melihat konteks sejarah ketika hadis itu di
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian, sumber, dan manfaat akhlak menurut Islam. Akhlak didefinisikan sebagai perilaku manusia yang menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, dan sumbernya meliputi agama seperti al-Quran dan hadis, serta pengalaman. Akhlak yang baik dapat meningkatkan derajat manusia, sementara akhlak buruk dapat menghapus amal ibadah yang telah dilakukan.
Pemimpin seharusnya menjadi teladan dan bertanggung jawab kepada rakyat dan Allah, bukan sebagai penguasa yang hanya mengejar kekuasaan. Pemimpin ideal adalah yang mengutamakan kemaslahatan rakyat dalam setiap kebijakannya, seperti Nabi Muhammad. Tugas pemimpin sangat luas, yaitu menjalankan ajaran agama, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menjaga hubungan baik dengan alam se
Kepemimpinan, politik dalam perpekstif islamPEMPROP JABAR
Teks tersebut membahas tentang politik dalam perspektif Islam, mulai dari definisi politik dalam bahasa Arab (siyasah), pengertian politik menurut Islam yang mencakup pengurusan urusan umat, contoh politik Nabi Muhammad SAW, hingga perbandingan antara politik berkualitas tinggi dan rendah menurut pandangan Islam. Juga dibahas mengenai ciri-ciri politik Machiavelli dan hubungan antara Islam dengan konsep demokrasi.
Dokumen tersebut membahas tentang model kepemimpinan tradisional Jawa-Islam dalam masyarakat Jawa. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa dalam masyarakat Jawa diperlukan kehadiran pemimpin yang sesuai dengan masyarakatnya. Dokumen juga membahas tentang tipologi dan karakteristik pemimpin menurut model kepemimpinan tradisional Jawa dan Islam, serta proses pemilihan pemimpin dan legitimasi
Kelayakan & Ciri2 Pemimpin Terbaik Menurut IslamAr Rayyan
Membincangkan tentang kelayakan serta ciri2 pemimpin terbaik menurut perspektif Islam. Terdapat juga tambahan mengenai hak & tanggungjawab pemimpin dalam negara Islam.
Siyasah syariyyah merujuk kepada pengurusan dan pengaturan kehidupan manusia oleh pemegang kekuasaan sesuai dengan syariat Islam untuk mencapai kemaslahatan dan menolak mudharat, tanpa bertentangan dengan Al Quran dan sunnah.
Teks tersebut membahas tentang reformasi politik dan masyarakat dalam Islam serta peranan ulama dan cendikiawan dalam hal tersebut. Terdapat diskusi mengenai makna reformasi, prasyarat reformasi, hubungannya dengan amr ma'ruf nahi munkar, serta pandangan berbagai kelompok tentang demokrasi dan Islam."
- Islam menganggap jender sebagai konsep budaya yang membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
- Secara prinsip dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada kesetaraan di hadapan Allah sebagai khaliq (pencipta)
Ringkasan dari dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas tentang hadis-hadis mengenai jihad dan kritik terhadap hadis yang menyebutkan kelemahan akal wanita.
2) Beberapa hadis yang dibahas antara lain hadis yang memberikan pahala bagi yang berjihad dan keutamaan berjihad.
3) Kritik hadis yang menyebutkan kelemahan akal wanita dengan melihat konteks sejarah ketika hadis itu di
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian, sumber, dan manfaat akhlak menurut Islam. Akhlak didefinisikan sebagai perilaku manusia yang menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, dan sumbernya meliputi agama seperti al-Quran dan hadis, serta pengalaman. Akhlak yang baik dapat meningkatkan derajat manusia, sementara akhlak buruk dapat menghapus amal ibadah yang telah dilakukan.
Pemimpin seharusnya menjadi teladan dan bertanggung jawab kepada rakyat dan Allah, bukan sebagai penguasa yang hanya mengejar kekuasaan. Pemimpin ideal adalah yang mengutamakan kemaslahatan rakyat dalam setiap kebijakannya, seperti Nabi Muhammad. Tugas pemimpin sangat luas, yaitu menjalankan ajaran agama, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menjaga hubungan baik dengan alam se
Kepemimpinan, politik dalam perpekstif islamPEMPROP JABAR
Teks tersebut membahas tentang politik dalam perspektif Islam, mulai dari definisi politik dalam bahasa Arab (siyasah), pengertian politik menurut Islam yang mencakup pengurusan urusan umat, contoh politik Nabi Muhammad SAW, hingga perbandingan antara politik berkualitas tinggi dan rendah menurut pandangan Islam. Juga dibahas mengenai ciri-ciri politik Machiavelli dan hubungan antara Islam dengan konsep demokrasi.
Dokumen tersebut membahas tentang model kepemimpinan tradisional Jawa-Islam dalam masyarakat Jawa. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa dalam masyarakat Jawa diperlukan kehadiran pemimpin yang sesuai dengan masyarakatnya. Dokumen juga membahas tentang tipologi dan karakteristik pemimpin menurut model kepemimpinan tradisional Jawa dan Islam, serta proses pemilihan pemimpin dan legitimasi
Kelayakan & Ciri2 Pemimpin Terbaik Menurut IslamAr Rayyan
Membincangkan tentang kelayakan serta ciri2 pemimpin terbaik menurut perspektif Islam. Terdapat juga tambahan mengenai hak & tanggungjawab pemimpin dalam negara Islam.
Siyasah syariyyah merujuk kepada pengurusan dan pengaturan kehidupan manusia oleh pemegang kekuasaan sesuai dengan syariat Islam untuk mencapai kemaslahatan dan menolak mudharat, tanpa bertentangan dengan Al Quran dan sunnah.
1. Dokumen tersebut membahas kriteria pemimpin ideal dalam perspektif Islam berdasarkan Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW. Kriteria tersebut meliputi pemimpin yang adil, jujur, bertanggungjawab, mendengarkan rakyat, dan memimpin untuk kemaslahatan bersama.
2. Dokumen juga membahas prinsip-prinsip kepemimpinan Islam seperti tauhid, kesederhanaan, musyawarah, dan keadilan.
"Ksatriasyair_Kitab Muqaddimah_Ibnu Khaldun.pdf" adalah sebuah berkas digital yang mengandung naskah penting dalam sejarah pemikiran dan ilmu pengetahuan. Naskah ini merupakan salinan dari Kitab Muqaddimah yang ditulis oleh seorang cendekiawan ternama dari abad ke-14, yaitu Ibnu Khaldun. Muqaddimah sendiri berarti "Pendahuluan" dalam bahasa Arab, dan naskah ini adalah bagian pengantar yang sangat terkenal dari karyanya yang lebih besar, "Al-Muqaddimah" atau "Prolegomena".
Dalam naskah ini, Ibnu Khaldun mengemukakan berbagai konsep dalam bidang sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu politik. Ia membahas tentang perkembangan masyarakat, peradaban, dinamika kekuasaan, dan hukum sejarah. Pemikiran-pemikirannya menyoroti bagaimana faktor-faktor seperti lingkungan, budaya, ekonomi, dan politik berinteraksi dalam membentuk arah peradaban manusia.
Naskah "Ksatriasyair_Kitab Muqaddimah_Ibnu Khaldun.pdf" ini memiliki nilai historis dan akademis yang sangat tinggi, karena ia telah memengaruhi banyak pemikir dan ilmuwan sepanjang sejarah, termasuk dalam perkembangan ilmu sosial dan humaniora. Naskah ini dapat menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan bagi mereka yang tertarik dalam memahami evolusi masyarakat dan peradaban manusia dari perspektif yang mendalam.
Dokumen tersebut membahas tentang kemudahan memahami al-Quran. Allah telah menjamin bahwa al-Quran mudah dipahami bagi siapa saja yang berkemauan kuat untuk mempelajarinya. Kebenaran agama juga jelas, meskipun diperlukan kesungguhan untuk memahaminya. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengklaim bahwa memahami al-Quran sulit.
1. Istighfar merupakan kunci utama untuk mendapatkan berkah dan kemudahan dalam kehidupan, termasuk rezeki yang melimpah. Teladan Nabi Muhammad SAW dan sahabat mencontohkan pentingnya istighfar.
2. Banyak manusia mengumpulkan harta dengan cara yang tidak benar tanpa istighfar dan mengundang murka Allah. Istighfar yang tulus dapat menyelesaikan masalah dan membuka jalan baru untuk rezeki.
3
Dokumen tersebut membahas etika dalam berdoa menurut pandangan Islam. Beberapa etika utama dalam berdoa antara lain memilih waktu-waktu mulia untuk berdoa seperti malam Jumat, bulan Ramadhan, dan sepertiga malam terakhir, tidak meninggikan suara, merendahkan hati dengan penuh khusyuk dan harap, mengawali doa dengan dzikir dan shalawat, serta berdoa dengan optimisme bahwa doa akan dikab
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dokumen tersebut membahas tentang kesalahan dalam mendidik anak generasi milenial di Indonesia yang mengakibatkan kecelakaan beruntun.
2. Orang tua kini terlalu fokus pada materi dan gaya hidup mewah tanpa memberikan fondasi hidup yang baik kepada anak-anak.
3. Anak-anak perlu dilatih keterampilan hidup seperti self-control, fleksib
Muhsin Hariyanto adalah dosen tetap Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan mubaligh kampung yang aktif mengajar, berdakwah, dan menulis di berbagai media. Ia menyelesaikan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi di berbagai lembaga pendidikan Islam. Saat ini ia juga menyelesaikan program doktoral dengan fokus Politik Islam.
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifMuhsin Hariyanto
Teks memberikan nasihat untuk berbahagia dengan cara membuang energi negatif melalui zakat dan sedekah, serta menabung energi positif melalui amal saleh seperti yang disarankan dalam beberapa ayat Al-Quran. Ayat-ayat tersebut mendorong umat Islam untuk memberikan sebagian harta mereka kepada orang-orang yang membutuhkan.
Teks ini membahas pentingnya menjadi diri sendiri tanpa topeng kepalsuan dan menyarankan untuk tampil sebagai diri sejati dengan kejujuran dan kerendahhatian. Sang penulis mengingatkan bahwa berpura-pura menjadi orang luar biasa akan menyebabkan tersiksa karena harus terus berbohong dan menyembunyikan diri sebenarnya.
1. Jadilah Pemimpin dan ’Bukan’ Penguasa
Oleh: Muhsin Hariyanto
Ada sebuah adagium yang dianggap memiliki legalitas formal yang
hingga kini seolah-olah selalu bisa menjadi ’senjata pamungkas’ para
penguasa untuk memaksakan kehendak kepada rakyat mereka: ”hukmul
hâkimu ilzâmun wa yarfa’ul khilâf”. Kata dosen Ushul Fiqih ketika penulis
’kuliah’ di Fakultas Syari’ah IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta, kurang lebih bermakna: ”setiap keputusan pemimpin bersifat
mengikat kepada setiap orang yang berada di bawah kepemimpinannya dan
selalu bisa diasumsikan sebagai solusi atas setiap perbedaan yang terjadi di
antara mereka”. Implikasinya, seolah-olah rakyat bisa dipaksa untuk taat
terhadap setiap keputusan pemerintah yang diasumsikan mewakili
kepemimpinan mereka, meskipum belum tentu keputusan itu merupakan
keputusan yang bijak dan bisa dipertanggungjawabkan keabsahan legal-
formal apalagi moral-idealnya, Adagium itu, seringkali juga disertai dengan
adagium lain yang seolah-olah bisa dianggap menguatkan keabsahan
yuridis-formal dan moral-idealnya: ”tasharruful imâm ’alal ra’iyyati manûthun
bil mashlahah” (kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya diasumsikan selalu
-- bisa dipastikan -- diorientasikan kepada kemashlahatan). Oleh karenanya,
seolah-olah rakyat hanya boleh menyatakan ’setuju’ terhadap apa pun
keputusan pemerintah yang diasumsikan merepresentasikan
kepemimpinannya dengan sikap taqlid.
Penulis sama sekali tidak ingin menggugat keabsahan kedua adagium
di atas, yang secara tekstual sudah menjadi bagian dari kaedah fiqhiyyah
yang dipercaya oleh para pembelajar ushul fiqih sebagai acuan beristinbâth.
Hanya saja, penulis selalu bertanya: ”adagium itu sebenarnya ditujukan
kepada siapa?” Apakah benar kedua adagium itu hanya ditujukan kepada
rakyat yang dipimpin oleh para pemimpin yang yang diasumsikan ’imun’
(ma’shûm). Atau kepada para pemimpin yang pada suatu saat bisa berbuat
salah dengan beragam kebijakannya? Atau, jangan-jangan kedua adagium
itu ditujukan kepada dua belah pihak – rakyat dan para pemimpin – yang
sama-sama harus selalu berpikir kritis terhadap setiap keputusan dan
kebijakan yang mereka pilih demi kemashlahatan mereka secara timbal-
balik?
Melihat dengan logika ’mashlahat’, yang dalam kajian fiqih Islam
dikenalkan dalam teori maqâshid asy-syarî’ah, seharusnya para pemimpin
sadar bahwa apa pun yang menjadi pilihan mereka untuk menjalankan roda
kepemimpinannya tidak boleh tidak selamanya ’harus’ berpihak kepada
rakyat, istilah politiknya: ”pro-rakyat’. Sebagaimana peringatan dini
(warning) Nabi s.a.w.: ”kullukum râ’in, wa kullukum masûlun ’an ra’iyyatih”
(kalian semua adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggung
jawaban atas kepemimpinan kalian). (HR al-Bukhari-Muslim dari Abdullah
bin Umar). Jadi, kepempimpinan itu terkait dengan persoalan ’tanggung
2. jawab’, sehingga seorang pemimpin harus senantiasa berpikir bagaimana
menjadi ’sosok’ yang selalu bisa mempertanggungjawabkan setiap
keputusan dan kebijakannya kepada rakyat yang dipimpinnya (secara
horisontal), dan yang jauh lebih penting lagi, ketika sadar akan posisi
kekhalifahannya, harus bisa mempertanggungjawabkan – secara vertikal --
setiap keputusan dan kebijakannya kepada Tuhan (Allah).
Seorang pemimpin selalu menyandang dua predikat: khalîfah dan
imâm. Dalam bahasa Indonesia, arti kedua kata itu sama: pemimpin atau
penguasa. Tetapi secara hakiki, maknanya berbeda. Kata khalîfah berakar dari
kata khalafa. Artinya, menunjuk pada seseorang yang berada 'di belakang'.
Itulah sebabnya mengapa khalîfah dimaknai sebagai seseorang yang
menggantikan tokoh yang ada 'di depan' (pendahulunya). Seorang
pemimpin disebut khalîfatullâh, karena dia berada ’di belakang Allah’, dalam
pengertian mewakili Allah dalam memimpin manusia yang dipimpinnya,
sehingga dia harus mempertanggungjawabkan seluruh tindakannya kepada
Allah. Sedangkan kata imâm adalah orang yang ada 'di depan.' Kata ini
sering dimaknai sebagai tokoh teladan: terdepan dalam segala tingkah-laku
kebaikan, santun, terpuji, bermoral tinggi, bijaksana, rendah hati, dan yang
paling utama: memiliki keimanan dan ketakwaan yang memadai sebagai
’Sang Teladan’ bagi orang-orang yang dipimpinnya, sehingga dirinya bisa
menjadi panutan yang sejati bagi rakyatnya, karena keputusan dan
kebijakannya yang selalu pro-mashlahah dan anti-mafsadah bagi rakyat
yang dipimpinnya.
Nabi Muhammad s.a.w., misalnya, sebenarnya bisa saja memainkan
peran penguasa dengan kekuasaan luar biasa besar, tetapi karena jiwa
kepemimpinannya yang utuh (penuh intigritas), beliau lebih memilih
menjadi 'pemimpin' sejati. Dalam konteks politik, secara sederhana,
pemimpin itu bisa kita kiaskan seperti seorang presiden yang dipilih oleh
rakyat, sementara itu ’penguasa’ seperti seorang raja yang mengangkat
dirinya (meskipun) tanpa persetujuan rakyatnya. Namun, tidak sedikit
presiden yang memainkan peran sebagai ’raja’ yang serba ingin berkuasa
tanpa ’ingat’ kehendak rakyatnya. Bahkan, karena arogansinya bisa jadi
merasa menjadi ’penguasa tunggal’ yang kekuasaannya tak bisa dikontrol
oleh rakyatnya. Padahal, pemimpin dan penguasa itu adalah dua jabatan,
dua tipe, dua amanat yang dalam konteks kepemimpinannya sering
’bertolak belakang’. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib (sebagai
budayawan), penguasa mengelola kekuasaan dirinya atas kehendak banyak
orang, sedangkan pemimpin mengelola cinta dan sistem penyejahteraan.
Bahkan -- secara umum -- Prof.Dr.HM. Quraish Shihab, M.A. menyimpulkan
dari firman Allah SWT: "(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan
mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan." (QS al-Hajj [22]: 41), bahwa pemimpin
memiliki tanggung jawab yang luas sekali, menyangkut kewajiban menjalin
3. hubungan kepada Allah, dengan masyarakat, alam semesta, berbuat baik,
mencegah keburukan baik menurut agama, sosial, politik, maupun budaya.
Bepijak dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa pemimpin
yang memahami arti tanggung jawabnya seperti inilah yang seharusnya kita
pilih untuk memimpin negara dan bangsa ini, termasuk di negeri kita
tercinta ’Indonesia’. Bukan pemimpin yang ’sok kuasa’, yang
mengasumsikan bahwa semua keputusan dan kebijakannya ’selalu benar’,
dan berkecenderungan selalu ingin memaksakan kehendaknya kepada
rakyat, meskipun ternyata keputusan dan kebijakannya lebih pantas
dianggap ’salah’ dan bisa berujung pada kemadharatan bagi rakyatnya.
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap
STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta