Tugas ini membahas import risk analysis pada produk akuakultur. Analisis risiko impor melibatkan identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko untuk menentukan status produk yang diimpor. Langkah-langkahnya meliputi identifikasi patogen, penilaian peluang masuk dan dampaknya, serta penetapan tindakan karantina sesuai tingkat risiko. Tugas ini menjelaskan proses dan tujuan dari analisis risiko impor unt
1. TUGAS MANDIRI
MATA KULIAH EVALUASI SISTEM DAN PENGELOLAAN AKUAKULTUR
(AKU)
IMPORT RISK ANALYSIS
OLEH
WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA
(C1601222016)
SEKOLAH PASCASARJANA
DOKTOR ILMU AKUAKULTUR
BOGOR
2022
2. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan arus lalu lintas komoditas perikanan sebagai konsekuensi dari perdagangan
(nasional, regional & global) dan mobilitas manusia, perlu adanya langkah antisipatif yang
terencana dan terukur untuk memastikan tidak adanya peluang terbawanya (masuk-keluar)
patogen penyebab penyakit ikan yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi dan kesehatan
manusia, serta merusak kelestarian sumber daya perikanan. Hasil kajian epidemiologis telah
diketahui bahwa muncul dan berkembangnya beberapa penyakit ikan baru (new emerging disease)
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan dampak negatif dari
peningkatan volume dan frekuensi lalu lintas komoditas perikanan, baik antar daerah/wilayah
maupun negara.
Berdasarkan fakta tersebut, Indonesia sebagai salah satu negara anggota World Trade
Organization (WTO) memiliki hak untuk melindungi manusia, sumberdaya hayati perairan serta
lingkungannya dari ancaman penyakit ikan dan bahan pencemar berbahaya lainnya yang masuk
melalui 2 importasi komoditas perikanan sesuai ketentuan yang diatur dalam Sanitary and
Phytosanitary Measure (SPS) GATT-WTO. Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil
Perikanan (BKIPM) merupakan otoritas kompeten yang memiliki tugas dan fungsi perkarantinaan
ikan, pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan berkewajiban mengambil peran strategis
dalam melindungi kelestarian sumberdaya perikanan dari ancaman hama penyakit ikan berbahaya,
menjamin kesehatan, mutu dan keamanan hasil perikanan, serta mengendalikan impor/pemasukan
komoditas perikanan berbasis scientific barrier sesuai ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan perjanjian SPS, suatu negara tidak dapat menolak importasi/pemasukan dari
negara/wilayah/zona lain tanpa alasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu alat
yang dianjurkan untuk dijadikan alasan ilmiah bagi pengambil kebijakan dan keputusan
importasi/pemasukan komoditas perikanan adalah melalui instrumen Analisis Risiko Importasi
(ARI) dan/atau Analisis Risiko Penyakit Ikan (ARPI). International Aquatic Animal Health Code
2013, OIE menyebutkan bahwa dokumen ARPI merupakan hasil analisis secara menyeluruh
terhadap 4 komponen utama: (1). Identifikasi Bahaya, (2). Penilaian Risiko, (3). Manajemen
Risiko, dan (4). Komunikasi Risiko.
3. Proses analisis terhadap ke-4 komponen tersebut harus menerapkan prinsip-prinsip: (a).
dilaksanakan dalam suatu kerangka kerja yang bersifat konsultatif; (b). merupakan proses ilmiah
sehingga secara politik harus independen; (c). bersifat transparan dan terbuka; (d). konsisten baik
dengan kebijakan pemerintah dan kewajiban internasional Indonesia (ketentuan mengenai aplikasi
SPS dalam perjanjian World Trade Organization (WTO)); dan (e). harmonis dengan standar,
panduan dan rekomendasi internasional. Selain itu, proses ARPI juga tetap mengacu pada: (a).
kemungkinan masuk, menetap dan menyebarnya suatu patogen (penyakit ikan) yang terbawa
media pembawa di negara pengimpor; (b). kemungkinan patogen tersebut menimbulkan bahaya
bagi kehidupan atau kesehatan ikan, manusia serta lingkungan sekitarnya; dan (c). kemungkinan
berkembangnya bahaya tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam upaya untuk meningkatkan sistem perkarantinaan
ikan nasional yang komprehensif, prospektif, 3 kompatibel dan mampu berperan dalam menjaga
kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan, serta mampu sebagai filter pertama bagi masuk
dan tersebarnya penyakit ikan karantina perlu merevisi Surat Keputusan Kepala Badan KIPM
Nomor 337/KEP-BKIPM/2011 yang mengatur tentang Pedoman Analisa Risiko Hama dan
Penyakit Ikan, guna mengharmoniskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta perubahan lingkungan strategis yang sedemikian cepat. Pedoman ARPI ini disusun sebagai
instrumen yang secara spesifik menganalisis risiko terhadap kemungkinan masuk, menetap dan
menyebarnya suatu penyakit ikan; dampak negatif terhadap ikan, manusia, dan lingkungan
sekitarnya; serta kemungkinan berkembangnya bahaya tersebut. Namun dapat pula diaplikasikan
dalam rangka: pemetaan penyakit ikan (geographical distribution); penerapan biosecurity pada
level unit usaha, kawasan/zona & nasional; surveilan penyakit ikan berbasis risiko (risk based
surveillance); antisipasi munculnya wabah penyakit ikan (disease emergence); serta penilaian
terhadap status penyakit ikan (HPI dan/atau HPIK). Sistem pengamanan pangan hewan di era
globalisasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
4. Gambar 1. sistem pengamanan pangan hewan
Tujuan
Tujuan dari tugas ini adalah
1. Mengetahui bagaimana mekanisme import risk analysis
2. Mengetahui penerapan import risk analysis pada produk akuakultur
3. Mengetahui kesimpulan terkait penerapan import risk analysis yang telah dilakukan
5. PEMBAHASAN
Deskripsi dan Mekanisme Import Risk Analysis
Import Risk Analysis (Analisis Risiko Import (IRA)) artinya satu proses analisis yang
melibatkan penilaian risiko, pengurusan risiko, dan komunikasi risiko oleh pihak berwenang untuk
menentukan status biota maupun barang bukan asli Indonesia yang hendak di import apakah dapat
memberikan ancaman terhadap perikanan setempat. Sebelum masuk pada mekanisme import risk
analysis maka harus diketahui beberapa istilah, diantaranya:
1. Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) adalah semua hama dan penyakit ikan yang
belum terdapat dan/atau telah terdapat hanya di area tertentu di wilayah Republik Indonesia
yang dalam waktu relatif cepat dapat mewabah dan merugikan sosio ekonomi atau yang
dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
2. Hama dan Penyakit Ikan (HPI) adalah semua HPI selain HPIK yang sudah terdapat
dan/atau belum terdapat di wilayah Republik Indonesia yang dapat merusak, mengganggu
kehidupan, atau menyebabkan kematian ikan.
3. Ikan adalah semua biota perairan yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di dalam air,
dalam keadaan hidup atau mati, termasuk bagian-bagiannya.
4. Pemasukan adalah memasukkan media pembawa dari luar negeri ke dalam wilayah
Republik Indonesia atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Republik Idonesia.
5. Area adalah meliputi daerah dalam suatu pulau, atau pulau, atau kelompok pulau di dalam
wilayah Republik Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran hama dan
penyakit ikan.
6. Tindakan karantina ikan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah masuk dan
tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina dari luar negeri dan dari suatu area ke area
lain di dalam negeri, atau keluarnya hama dan penyakit ikan dari dalam wilayah Republik
Indonesia.
7. Media pembawa adalah ikan dan/atau benda lain yang dapat membawa hama dan penyakit
ikan karantina.
6. 8. Analisis risiko adalah rangkaian kegiatan untuk mengevaluasi peluang dan konsekuensi
biologis dan ekonomis dari pemasukan suatu komoditi ikan dari suatu negara atau antar
area di wilayah Negara Republik Indonesia.
9. Identifikasi Bahaya adalah proses identifikasi HPI yang berpotensi terbawa masuk bersama
media pembawa yang dilalulintaskan dan dapat menyebabkan bahaya terhadap kelestarian
sumber daya ikan.
10. Penilaian Risiko (Risk Assessment) HPI adalah proses penilaian terhadap peluang masuk
dan menyebarnya HPI serta konsekuensi yang berkaitan dengan kelestarian sumberdaya
ikan
11. Manajemen Risiko (Risk Management) HPI adalah penentuan pilihan pengelolaan risiko
HPI untuk menghilangkan atau mengurangi risiko masuk, menetap dan menyebarnya HPI
ke suatu area baru dengan strategi prequarantine, in quarantine dan post quarantine.
12. Komunikasi Risiko (Risk Communication) adalah suatu proses pengumpulan informasi
dan opini mengenai bahaya dan risiko dari pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan analisis
risiko, dan proses dimana hasil-hasil dari analisis risiko dan pengelolaan risiko yang
diusulkan dikomunikasikan kepada para pembuat kebijakan dan pihak-pihak yang terkait.
13. Appropriate Level of Protection (ALOP) adalah suatu tingkat perlindungan kesehatan yang
dianggap sesuai dan ditentukan oleh masing-masing negara untuk melindungi kehidupan
manusia, hewan, tumbuhan atau kesehatan dalam wilayahnya.
14. Risiko adalah peluang atau peluang kejadian dan penilaian besarnya konsekuensi dari suatu
kejadian buruk (wabah) terhadap kesehatan hewan dan manusia di suatu negara dalam
selang waktu.
Ruang lingkup dari Risk Analisis ini sendiri adalah Ruang lingkup dalam melakukan
analisis risiko terhadap HPI yang berpotensi masuk dan tersebar ke/di Wilayah Kesatuan Republik
Indonesia meliputi: Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko, Manajemen Risiko, dan Komunikasi
Risiko (Gambar 2. )
Gambar 2. Risk Analisis
7. Kegiatan analisis risiko penyakit ikan dilakukan berdasarkan status negara wabah, jenis media
pembawa, dan patogennya, dilakukan dalam hal:
1. Belum pernah dilakukan analisis risiko penyakit ikan sebelumnya;
2. Sudah pernah dilakukan analisis risiko penyakit ikan tetapi terdapat perubahan status
penyakit ikan;
3. Adanya perubahan kebijakan pemerintah;
4. Terjadinya wabah penyakit ikan baru di suatu negara;
5. Diketahui adanya risiko penyakit ikan baru dari hasil penelitian;
6. Suatu penyakit ikan dilaporkan menjadi lebih merusak di suatu negara di luar negara
asalnya;
7. Adanya permintaan importasi terhadap suatu mikroorganisme yang berpotensi menjadi
penyakit ikan berbahaya;
8. Suatu organisme teridentifikasi sebagai vektor dari penyakit ikan lainnya, yang tidak
diketahui sebelumnya
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh untuk masing-masing tahapan tersebut, yaitu:
1. Menentukan ruang lingkup analisis risiko
2. Menyebutkan secara jelas tujuan dari analisis risiko.
3. Mengembangkan strategi komunikasi risiko.
4. Mengidentifikasi sumber-sumber informasi untuk analisis risiko.
5. Mengindentifikasi bahaya yang mungkin terkait dengan penyakit ikan yang menjadi
perhatian.
6. Melakukan penilaian risiko untuk memperkirakan tingkat risiko suatu penyakit ikan.
7. Menentukan manajemen risiko atau rekomendasi jenis tindakan sanitasi (sanitary
measures) sesuai tingkat risiko penyakit ikan.
Identifikasi bahaya (Hazard Identification)
Identifikasi bahaya melibatkan identifikasi agen patogen yang berpotensi menghasilkan
konsekuensi yang merugikan terkait dengan impor suatu komoditas. Bahaya yang diidentifikasi
adalah bahaya yang sesuai dengan spesies yang diimpor, atau dari mana komoditas tersebut
berasal, dan yang mungkin ada di negara pengekspor. Maka perlu untuk mengidentifikasi apakah
setiap bahaya adalah sudah ada di negara pengimpor, dan apakah itu penyakit yang terdaftar atau
8. tunduk pada kontrol atau pemberantasan dalam hal itu memastikan bahwa langkah-langkah impor
tidak melebihi batas perdagangan yang diterapkan di dalam negeri. Identifikasi bahaya merupakan
langkah pertama dalam rangkaian proses Analisis Risiko Penyakit Ikan. Kegiatan identifikasi
bahaya merupakan tahapan pengklasifikasian suatu pathogen (penyakit ikan) yang dikategorikan
sebagai “bahaya”. Identifikasi bahaya dimulai dengan pengumpulan data tentang jenisjenis
penyakit ikan yang telah ada dan kemungkinan terdapat pada suatu media pembawa tertentu di
suatu negara, namun belum terdapat di Indonesia atau sudah ada tetapi penyebarannya masih
terbatas.
Beberapa tahapan yang perlu dilakukan antara lain:
1. Tahap pertama adalah tentukan jenis penyakit yang akan diidentifikasi.
2. Tahap kedua adalah melakukan identifikasi apakah jenis penyakit tersebut telah ada di
wilayah Indonesia mengacu pada Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia tentang penetapan status tidak bebas HPIK di wilayah
RI
3. Tahap ketiga adalah melakukan identifikasi ada tidaknya inang rentan atau potensial
untuk penyakit ikan tersebut di Indonesia.
4. Tahap keempat adalah melakukan identifikasi kecocokan habitat penyakit tersebut
dengan habitat di Indonesia.
5. Tahap kelima adalah mengidentifikasi tingkat virulensi atau patogenitas penyakit ikan
tersebut sesuai literatur yang dikumpulkan.
6. Tahap keenam adalah menyimpulkan atau menentukan potensi suatu penyakit.
Contoh tabel identifikasi penyakit seperti dibawah ini:
9. Penilaian Risiko (Risk Assessment)
Penilaian risiko merupakan suatu proses pengestimasian risiko yang dilakukan melalui
pengukuran secara kuantitatif terhadap adanya ancaman bahaya (hazard) dan konsekuensi
(dampak) risiko yang mungkin ditimbulkan apabila suatu penyakit masuk dan tersebar di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia. Secara umum, proses penilaian risiko harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
dilakukan berdasarkan informasi ilmiah yang tersedia;
obyektif, terstruktur dan bersifat transparan;
fleksibel dan dapat ditinjau ulang apabila informasi terbaru telah tersedia;
konsisten dan harus dapat digunakan lagi oleh pengguna (operator) lainnya dengan
menggunakan kerangka kerja dan data yang sama; dan
hasil yang diperoleh harus dapat merepresentasikan fungsi perlindungan
Penilaian secara kuantitatif ini merupakan suatu kegiatan penilaian dimana kemungkinan-
kemungkinan yang ditetapkan pada tahapan-tahapan dalam skenario dinyatakan dalam angka
sebagai perhitungan “deterministik”. Kegiatan penilaian secara kuantitatif ini bersifat sangat
kompleks, dan melibatkan proses pengembangan model matematis untuk menghubungkan
berbagai aspek epidemiologi dari agen penyakit. Masing-masing parameter risiko diberikan
rentang nilai antara 30, 60 atau 100 dan diberikan pembobotan tertentu sesuai dengan estimasi
risiko dan kemungkinan pengaruh dampak yang ditimbulkan secara keseluruhan. Adapun
parameter/kriteria yang dinilai dalam proses penilaian risiko adalah sebagai berikut:
1. Keberadaan Penyakit di Indonesia
2. Pengakuan Penyakit oleh OIE. OIE merupakan organisasi antar-pemerintah yang
mengoordinasi, mendukung dan mempromosikan pengendalian penyakit pada organisme
(hewan, ikan dan tumbuhan).
3. Inang Rentan
4. Kesesuaian Habitat Penyakit di Indonesia
5. Tingkat Virulensi atau Patogenitas Penyakit
6. Kemampuan Agen Penyakit Bertahan Hidup
7. Rentang Stadia Media Pembawa
8. Tingkatan Taksonomi Inang Rentan
9. Transmisi dan Penularan Penyakit
10. 10. Tingkat Kesulitan Pengendalian Penyakit
11. . Epidemiologi
12. Tingkat Kesulitan Deteksi Penyakit
13. Dampak Penyakit.
14. Perlakuan/Pengobatan Penyakit
15. Rencana dan Anggaran Tanggap Darurat (Pengendalian) Penyakit
Berdasarkan hasil penilaian risiko seperti yang tercantum pada tabel 4 diatas, suatu agen penyakit
ikan dikelompokkan menjadi 3 (tiga) tingkatan risiko, yaitu risiko tinggi, risiko sedang dan risiko
rendah dengan ketentuan sebagai berikut:
Suatu agen penyakit ikan dikategorikan memiliki RISIKO TINGGI apabila memiliki skor:
> 71 - 100.
Suatu agen penyakit ikan dikategorikan memiliki RISIKO SEDANG apabila memiliki
skor: 50 - < 71
Suatu agen penyakit ikan dikategorikan memiliki RISIKO RENDAH apabila memiliki
skor : < 50
Dibawah ini adalah salah satu tahapan-tahapan dalam analisis resiko dimulai dari
1. Membentuk tim proyek analisis risiko dalam otoritas yang kompeten
2. Tentukan ruang lingkup proyek (yaitu mendefinisikan secara tepat sifat & sumber
komoditi)
3. Membentuk kelompok kerja untuk analisis risiko spesifik
4. Melakukan identifikasi bahaya awal
5. Identifikasi stakeholders
6. Menginformasikan pemangku kepentingan proyek dan mencari komentar tentang
identifikasi bahaya awal
7. Melakukan Identifikasi Bahaya secara rinci
8. Melakukan penilaian risiko: Penilaian rilis, Penilaian eksposur, Penilaian konsekuensi dan
Estimasi risiko
9. Melakukan manajemen risiko: evaluasi risiko, evaluasi Opsi, implementasi, pemantauan
dan peninjauan
10. Melakukan Tinjauan dan revisi ilmiah internal dan eksternal
11. 11. Mengedarkan analisis risiko yang direvisi kepada pemangku kepentingan untuk komentar
akhir dan revisi seperlunya
12. Menerapkan analisis risiko yang diselesaikan melalui kebijakan dan undang-undang
12. Manajemen Risiko (Risk Management)
Manajemen risiko HPI adalah proses pengambilan keputusan untuk menetapkan langkah-
langkah atau cara-cara meminimalkan risiko terhadap kemungkinan terintroduksi, menetap atau
tersebarnya suatu penyakit ikan ke dalam wilayah Indonesia. Tujuan dilakukan manajemen risiko
adalah untuk mengelola risiko penyakit secara tepat dengan mempertimbangkan berbagai
konsekuensi yang mungkin timbul. Manajemen risiko menggambarkan suatu proses
pengidentifikasian dan penerapan metode/hasil estimasi tertentu untuk mengurangi risiko-risiko
melalui penerapan tindakan-tindakan sanitari untuk melindungi kehidupan atau kesehatan
manusia, hewan, ikan, atau tumbuhan yang ada di dalam wilayah Negara Indonesia.
Dalam implementasinya, tindakan mitigasi risiko terhadap penyakit ikan harus zero-risk
sangat sulit ditentukan. Oleh karena itu, manajemen risiko diperlukan sebagai strategi pengelolaan
risiko, yang meliputi: prequarantine, in quarantine dan . Ketiga strategi ini tidak bersifat umum
untuk diterapkan terhadap seluruh kelompok agen penyakit dari negara pengekspor. Strategi
manajemen untuk setiap agen penyakit disesuaikan dengan data/deskripsi biologis agen penyakit
tersebut, dalam upaya meminimalkan risiko masuk dan tersebarnya agen penyakit ke Indonesia,
tanpa menghambat arus perdagangan media pembawa.
Pre-Quarantine Inspection
Tindakan pre-quarantine merupakan pelaksanaan tindakan karantina di negara pengekspor atau
dapat dilakukan di negara ketiga (intermediate quarantine). Upaya pencegahan dan pengendalian
terhadap HPIK/HPI tertentu yang berisiko terbawa melalui media pembawanya dapat dilakukan
tindakan karantina di negara asal dan/atau di negara ketiga sebelum media pembawa dikirim ke
dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
risiko, memperkecil risiko, maupun memindahkan risiko masuk dan tersebarnya HPIK/HPI
tertentu
In-Quarantine Inspection
Tindakan in-quarantine merupakan pelaksanaan tindakan karantina yang dilakukan petugas
karantina di tempat-tempat pemasukan, baik di dalam maupun di luar instalasi karantina yang
ditetapkan.
Post-Quarantine Inspection
Tindakan post quarantine merupakan strategi sebagai tindakan monitoring terhadap media
pembawa yang telah dilepas tetapi masih dilakukan pemantauan. Kemungkinan adanya faktor
13. kurang akurat yang dilakukan baik pada strategi pre-quarantine dan in-quarantine, sehingga
kemungkinan menyebabkan lepasnya HPIK didalam wilayah Republik Indonesia, maka perlu
segera dilakukan eradikasi darurat. Selanjutnya pemantauan terhadap kemungkinan adanya
temuan HPIK tetap dilakukan.
Komunikasi Risiko (Risk Communication)
Komunikasi risiko adalah proses yang melibatkan pertukaran informasi yang terbuka,
interaktif, iteratif, dan transparan tentang bahaya dan risiko terkait, serta tindakan mitigasi yang
diusulkan. Komunikasi risiko dilakukan di antara penilai/pengkaji risiko, pengelola risiko dan
pihak-pihak yang berpotensi terkena dampak dan/atau yang memiliki ketertarikan (stakeholders).
Hasil terbaik adalah yang mengurangi risko sampai dengan tingkat yang dapat diterima
(acceptable level), yang pada saat bersamaan meminimalkan persengketaan (disputes),
perselisihan pendapat dan tindakan yang diperlukan untuk mengelola risiko secara efektif.
Komunikasi risiko dapat mengarahkan pada pemahaman yang baik tentang dasar pemikiran dari
suatu keputusan tertentu. Stakeholders yang telah terlibat dalam proses pengambilan keputusan
sejak awal, kecil kecenderungannya untuk menentang hasilnya, terutama apabila kekhawatiran
mereka telah ditangani dengan baik
Identifikasi Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Proses Komunikasi Risiko
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi risiko atau sering disebut sebagai stakeholders,
antara lain meliputi Otoritas Kompeten KKP (BKIPM, Ditjen Budidaya, Ditjen PDSPKP),
importir dan eksportir, produsen, petani dan organisasi konsumen, akademisi dan lembaga ilmu
pengetahuan, serta media. Untuk memastikan dialog yang bermakna, seluruh stakeholders perlu
memahami analisis yang disusun. Selain itu, mereka juga memiliki hak untuk mengusulkan
pandangan yang berbeda dengan argumen yang kuat dan relevan terhadap analisis tersebut.
15. Penerapan Import Risk Analysis pada Komoditi Akuakultur
Beberapa penggunaan import risk analysis pada bidang akuakultur dapat dilihat pada gambar
dibawah ini:
16. Dari jurnal diatas terkait ikan asing invasif dapat ditarik kesimpulan kehadiran ikan asing
invasif akan merugikan ekosistem perairan dalam dua hal, yaitu: (1) sebagai pesaing relung
makanan dan habitat terhadap ikan asli, bahkan sering terjadi merupakan predator bagi ikan asli.
Karena ikan asing invasif ini menjadi pemangsa ikan asli dan ikan endemik; (2) sebagai
inang/pembawa berbagai penyakit yang sebelumnya tidak terdapat dalam ekosistem perairan yang
merupakan habitat ikan asli bahkan ikan endemik. Kedua hal ini seringkali mengubah komposisi
spesies dan struktur komunitas ikan, mendominasi dan menyingkirkan ikan asli dan ikan endemik.
17. Untuk mengetahui karakteristik suatu jenis ikan termasuk spesies ikan asing yang invasif,
beberapa kondisi pada ekosistem dapat diamati bila: (1) kelimpahan spesies introduksi yang baru
ditebar ternyata sangat tinggi, khususnya tingkat fekunditas tergolong tinggi; (2) masa atau waktu
yang dibutuhkan untuk regenerasi relatif singkat; (3) memiliki kemampuan menguasai beragam
habitat, atau dengan kata lain kisaran makanan sangat luas; serta (4) dilihat dari sisi keragaman
genetik tergolong sangat tinggi. Dengan karakteristik seperti ini, maka sangat jelas ikan asing
invasif akan berdampak menjadi pesaing spesies asli dan endemik yang mengisi relung ekologis
yang sama, akibat lanjut adalah mengganggu jejaring makanan. Alur dari pengambilan kebijakan
atau solusi dari permasalahan diatas dapat dilihat pada gambar dibawah ini;
Gambar 3. Diagram alir upaya pengendalian kehadiran ikan asing invasif
Jika ada potensi masuknya atau telah masuknya penyakit ikan dari luar maka beberapa tindakan
harus merujuk pada aturan pemerintah yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomot 13/PERMEN-KP/2019 tentang Pengendalian Penyakit Ikan meliputi tindakan
a. Survailen dan Monitoring;
b. analisis risiko (risk analisys);
c. penanganan penyakit Ikan; dan
d. tanggap darurat (emergency respons).
Analisis risiko (risk Analysis) dilakukan terhadap:
a. penyakit Ikan; dan
b. sifat bahaya Ikan.
Analisis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) peraturan menteri KP digunakan sebagai
persyaratan rekomendasi pemasukan Ikan atau produk perikanan dari luar negeri. Analisis risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) meliputi:
a. identifikasi bahaya (hazard identification);
b. penilaian risiko (risk assesment);
c. pengelolaan risiko (risk management); dan
18. d. komunikasi risiko (risk communication).
Setelah dilakukannya analisis risiko (risk analysis) maka
1. Menteri berwenang untuk menerbitkan surat hasil analisis risiko.
2. Menteri mendelegasikan wewenang penerbitan surat hasil analisis risiko kepada Direktur
Jenderal.
Kemudian menurut Pasal 31
(1) Setiap Orang untuk memiliki surat hasil analisis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal, yang memuat:
a. nama komoditas/produk;
b. negara asal; dan
c. negara transit.
Kesimpulan Terkait Import Risk Analysis
Kesimpulan dari makalah terkait import risk analysis adalah setiap tahapan analisis risiko
dimulai dari identifikasi risiko, penilaian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko untuk
mendukung pentingnya analisis risiko yang dilakukan. Import risk analysis sangat penting
dilakukan untuk mengantisipasi masuknya penyakit yang belum ada di Indonesia khususnya
bidang akuakultur. Kebijakan keputusan hanya dapat diambil oleh pemerintah atau badan yang
didelegasikan oleh pemerintah disuatu negara dalam mengatasi potensi atau penyebaran penyakit
ikan pada akuakultur khususnya berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomot 13/PERMEN-KP/2019 tentang Pengendalian Penyakit Ikan
19. REFERENSI
Arthur, J.R., Baldock, C.F., Bondad-Reantaso, M.G., Perera, R., Ponia, B. & Rodgers, C.J. 2008.
Pathogen risk analysis for biosecurity and the management of aquatic animal movements,
In M.G. Bondad-Reantaso, C.V. Mohan, M. Crumlish. & R.P. Subasinghe, eds. Diseases
in Asian aquaculture VI, pp. 21-52. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila,
Philippines.
Diggles, B.K. 2002. Import risk assessment: juvenile yellowtail kingfish (Seriola lalandi) from Spencer Gulf
Aquaculture, South Australia. NIWA Client report: WLG 2002/03. (available at:
http://www.biosecurity.govt.nz/files/pests-diseases/animals/risk/yellowtailkingfish-ra.pdf
Ferson, S. 2005. Bayesian Methods in Risk Assessment. http://www.ramas.com/bayes.pdf
ICES. 1995. ICES Code of Practice on the Introductions and Transfers of Marine Organisms 1994.
International Council for the Exploration of the Sea, Copenhagen, 12 p.
OIE. 2000. International Aquatic Animal Health Code. Third edn. Office International des
Épizooties, Paris, 153 p.
Peeler, E.J., Reese, R.A. and Thrush, M.A. 2013. Animal Disease Import Risk Analysis–a Review
of CurrentMethods and Practice. Transboundary and Emerging Diseases. 62: 480–490
KKP.2019. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomot 13/PERMEN-
KP/2019 tentang Pengendalian Penyakit Ikan.