Dokumen tersebut membahas tentang masyarakat modern dan perlunya pengembangan akhlak tasawuf. Masyarakat modern memiliki ciri-ciri seperti bersifat rasional, berfikir untuk masa depan, menghargai waktu, dan bersikap terbuka. Namun, masyarakat modern juga menghadapi berbagai problematika seperti desintegrasi ilmu pengetahuan, kepribadian yang terpecah, dan penyalahgunaan iptek. Oleh karena itu
1. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MASYARAKAT MODERN
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengartikan sebagai pergaulan hidup manusia
(hipunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu).1[1]
Sedangkan modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan demikian secara
harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat
dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Dengan demikian secara harfiah
masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan
ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.2[2]
Masyarakat modern selanjutnya sering disebutkan sebagai lawan dari masyarakat
tradisional. Delia Noer misalnya menyebutkan ciri-ciri modern sebagai berikut:
1. Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat emosi.
2. Berfikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat
sesaat.
3. Menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga.
4. Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran dan masukan.
5. Berfikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaanya bagi
masyarakat.3[3]
1[1] W.J.S.Poerdamintakamus umumBahasa Indonesia,(Jakarta:balai pustaka,1991)
2[2] Abuddinnata, akhlaktasawuf,(jakarta:rajagrafindo,1996) hlm.279
3[3] Abuddinnata, akhlaktasawuf,(jakarta:rajagrafindo,1996) hlm.279-280
2. B. PROBLEMATIKA MASYARAKAT MODERN
Penggunaan iptek modern yang demikian itu masih lebih banyak dikendalikan oleh
orang-orang yang secara moral kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sikap hidup yang
mengutamakan materi, memperturutkan kesenangan semata. Di tangan mereka yang berjiwa dan
bermental demikian itu, ilmu pengetahuan dan teknologi modern memang sangat
mengkhawatirkan. Dari sikap mental yang demikian itu kehadiran ilmu pengetahuan dan
teknologi telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern sebagai berikut:
1. Desintegrasi ilmu pengetahuan
Kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan.
Masing – masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma (cara pandang)nya sendiri dalam
memecahkan masalah yang dihadapi. Jika seseorang menghadapi masalah lalu ia pergi kepada
kaum teolog, ilmuwan, politisi, sosiologi, ahli biologi, psikologi, etnologi dan ekonom misalnya,
ia akan memberikan jawaban yang berbeda-beda dan terkadang saling bertolak belakang. Hal ini
akhirnya dapat membingungkan.
2. Kepribadian yang terpecah (split personality)
Karena kehidupan masyarakat modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan maka manusianya
menjadi pribadi yang terpecah (split personality). Kehidupan manusia modern diatur menurut
rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya kini tengah menggelinding proses hilangnya
kekayaan rohaniah, karena dibiarkanya perluasan ilmu-ilmu positif (ilmu yang hanya
mengandalkan fakta-fakta empirik, obyektif, rasional dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial.
3. Penyalahgunaan iptek
Sebagai akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikata spiritual, maka
iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya. Kecanggihan di bidang teknologi
3. komunikasi dan lainnya telah digunakan untuk menggalang kekuatan yang menghancurkan
moral umat dan sebagainya.
4. Pendangkalan Iman
Sebagai akibat lain dari pola pikiran keilmuan, khususnya ilmu-ilmu yang hanya mengaki
fakta-fakta yang bersifat empiris menyebabkan manusia dangkal imannya. Ia tidk tersentuh oleh
informasi yang diberikan oleh wahyu, bahkan informasi yang dibawa oleh wahyu itu menjadi
bahan tertawaan dan dianggap sebagai tidak ilmiah dan kampungan.
5. Pola hubungan materialistik
Semangat persaudaraan dan rasa saling tolong yang didasarkan atas panggilan iman sudah
tidak nampak lagi, karena imannya memang sudah dangkal. Pola hubungan satu dan yang
lainnya ditentukan oleh seberapa jauh antara satu dan lainnya dapat memberikan keuntungan
yang bersifat material.
6. Menghalalkan segala cara
Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistik, maka manusia
dengan mudah dapat menggunakan prinsip menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan.
Jika hal ini terjadi maka terjadilah kerusakan akhlak dalam segal bidang. Baik ekonomi, politik,
sosial dsb.
7. Strees dan frustasi
Kehidupan modern yang demikian kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan
seluruh pikiran, tenaga dan kemampuanya. Mereka harus bekerja dan bekerja tanpa mengenal
batas dan kepuasan. Hasil yang dicapai tidak pernah diyukuri dan selalu merasa kurang. Apalagi
jika usahanya gagal maka dengan mudah ia kehilangan pegangan karena memang tidak lagi
memiliki pegangan yang kokoh yang berasal dari tuhan.
4. 8. Kehilangan harga diri dan masa depannya
Terdapat sejumlah orang yang terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan. Masa mudanya
dihabiskan untuk memperturutkan hawa nafsu dan segala daya dan cara telah ditempuhnya.
Namun ada suatu saat di mana ia sudah tua renta tenaganya sudah tidak mendukung, fasilitas dan
kemewahan sudah tidak berguna lagi karena fisik dan mentalnya sudah tidak memerlukanya lagi.
Manusia yang demikian ini merasa kehilangan harga diri dan masa depanya,. Mereka tidak tau
kemana harus melangkah, yang mereka perlukan hanya kekuatan yang berada diluar dirinya,
yaitu bantuan dati tuhan.4[4]
C. CIRI-CIRI ZAMAN MODERN
Sebenarnya zaman modern ditandai dengan dua hal sebagai ciri, yaitu :
1. Penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan manusia
2. Berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual manusia
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa ciri-ciri masyarakat modern adalah sebagai
berikut:
1. Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendaat akal pikiran, daripada pendapat
emosi, sebelum melakukan pekerjaan selalu dipertimbangkan lebih dahulu untuk ruginya,
dan pekerjaan tersebut secara logika dipandang menguntungkan
2. Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh,tidak hanya memikirkan masalah yang
bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh
4[4] Ibid,hlm.289-292
5. 3. Menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatuyang sangat berharga
dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
4. Bersikap terbuka, uyakni mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan
perbaikan dari manapun datangnya
5. Berfikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaanya bagi
masyarakat.
Manusia modern idealnya adalah manusia yang berfikir logis dan mampu menggunakan
berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan kecerdasan dan
bantuan teknologi, manusia modern mestionya lebih bijak dan arif, tetapi dalam kenyataanya
banyak manusia yang kualitas kemanusiannya lebih rendah dibandingkan kemajuan berfikir dan
teknologi yang dicapaiAkibat dari ketidakseimbangan ini kemudian menimbulkan gangguan
kejiwaanya.
Celakannya lagi, penggunaan alat traportasi dan alat komunikasi modern menyebabkan
manusia hidup dalam pengaruh global dan dikehendaki oleh arus. Informasi global, padahal
kesiapan mental manusia secara individu bahkan secara etnis tidaklah sama.
D. PERLUNYA PENGEMBANGAN AKHLAK TASAWUF
Sesunguhnya tasawuf dalam Islam merupakan pengembangan metode mendekatkan diri
dengan Allah,oleh karena itu ilmu tasawuf berkembang teru menerus seiring perkembangan itu
pula.sejak pertama kali diajarkan ilmu tasawuf dan diamalkan oleh para sufi sejak itu pula
masalah – masalah itu timbul atau ( controversial ) seputar ajaran yang dianutnya.
Masalah–masalah ini membuat ilmu tasawuf disebut – disebut sebagai penghambat
kemajuan Islam pada abad pertengahan. Gaya hidup kaum sufi dalam menjalankan ajarannya
6. kebanyakan dengan gaya yang amat sederhana yakni dengan bersikap wara` Qona`ah, menerima
pemberian tuhan apadanya (berserah diri) hal ini menjadi menarik untuk dibandingkan denag
kehidupan moderen yang bersifat mewah,bekerja keras, tidak pernah puas dan lain sebagainya
yang berbau dunia. Maka timbul suatu pertanyaan“ bisakah ilmu tasawuf berkembang dalam
kehidupan modern”. Dalam makalah ini sekulumit persoalan tasawuf dalam kehidupan modern.
Hal ini menjadi penting karena berubahnya gaya hidup suatu masyarakat menjadi masyarakat
baru yang jauh dari sikap percaya pada dunia spiritual.
Kepada Allah kami memohon semoga menjadikan semua ini ikhlas semata – mata untuk
mencari ridho Allah serta memberikan manfaat kepada semua saudara–saudara kami yang
muslim.Sesungguhnya dia maha mendengar dan mengabulkan doa dan cukuplah sebaik – baik
penolong.
Dalam mendefinisikan tasawuf, kebanyakan manusia condong pada segi akhlak.
Kecenderungan ini telah tersebar, kecenderungan tersebut anatara lain: Pertama: Ketika orang
mendengar kata tashawwuf, ia pasti akan memahami makna zuhud, Kedua, orang mencampur
adukkan antara orang sufi dan seorang ‘abid (ahli ibadah). Tashawwuf bukan hanya akhlak,
kezuhudan dan ibadah, meskipun tasawuf merupakan akhlak yang tinggi dan ibadah semata ia
adalah sesuatu yang lain. Pendapat Al-Junaid, yang terhitung sebagai salah seorang ulama besar
dalam hal Tasauf mengemukakan lagi arti tasauf:
Tasauf ialah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan
makhluk, berjuang menaggalkan pengaruh budi yang asal (instink) kita, memadamkan sifat-sifat
kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat
suci kerohanian, dan bergantung kepada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan
7. terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesame ummat manusia, memegang teguh janji
kepada Allah dalam hal hakikat, dan mengikut contoh Rosululloh dalam hal syari’at.”
Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah tersebut, dan salah satu
cara yang hampir disepakati para ahli adalah dengan cara mengembangkan kehidupan yang
berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan
akhlak tasawuf mengatasi masalah tersebut adalah Hussein Nashr. Dalam hal ini Nashr
menegaskan “tarikat” atau “jalan rohani” yang biasanya dikenal sebagai tasawuf atau sufisme
adalah merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan (esoteric) dalam islam, sebagaimana
syariat berakar pada al-qur’an dan al-sunnah. Ia menjadi jiwa risalah islam, seperti hati yang ada
pada tubuh, tersembunyi jauh dari pandangan luar. Betapapun ia tetap merupakan sumber
kehidupan yang aling dalam, yang mengatur seluru orgasme keagamaan dalam islam.
Namun demikian penggunaan tasawuf mengatasi sejumlah masalah moral sebagaimana
tersebut di atas menghendaki adanya interpretasi baru terhadap tasawuf yang selama ini
dipandang sebagai sesuatu yang menyebabkan melemahnya daya juang di kalangan umat islam.
Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan dan disadari dengan Tuhan,
sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di hadirat-Nya. Karena melalui
tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa segala sumber yang ada ini berasal dari Tuhan.
Dengan adanya bantuan tasawuf ini maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan
bertabrakan, karena berada dalam satu jalan dan tujuan.5[5] Selanjutnya tasawuf melatih
manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Demikian pula tarikat yng
terdapat dalam tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa istiqamah, jiwa yang selalu di isi
5[5] M. QuraishShihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung:Mizan,1996), hlm376
8. denga nilai-nilai ketuhanan. Ia selalu mempunyai pegangan dalam hidupnya. Keadaan demikian
menyebabkan ia tetab tabah dan tidak mudah terhempas oleh cobaan yang dihadapinya.
Selanjutnya sikap frustasi dan yang lainnya dapat diatasi dengan sikap ridla yang
diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala keputusan Tuhan. Ia
menyadari bahwa yang Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah Tuhan. Demikian pula ajaran
uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu
daya keduniaan, dapat pula dipergunakan untuk membekali manusia modern dari kehidupan,
yang tidak tahu lagi arahnya. Tasawuf dengan konsep uzlah itu berusaha membebaskan manusia
dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Ini berarti manusia tersebut tetap
mengendalikan aktifitasnya ssuai dengan nilai-nilai ketuhanan,Dan bukan sebaliknys larut dalam
pengaruh keduniaan.
Di balik kemajuan ilmu teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi
yang dapat menghancurkan mertabat manusia. Untuk menyelamatkanya perlu tasawuf yang
wujud konkretnya dalam akhlak yang mulia. Terakhir problema masyarakat modern di ats adalah
adanya sejumlah manusia yang kehilangan masa depannya. Untuk ini ajaran akhlak tasawuf yang
berkenaan dengan ibadah, zikir, taubat, dan berdo’a menjadi penting adanya, sehingga tetap
mempunyai harapan, yaitu bahagia bahagia hidup di akhirat nanti. Tasawuf akhlak memberi
kesempatan bagi penyelamatan manusia, maka tasawuf dengan sistem yang diakui paling kuat
untuk manusia dengan Tuhan, ajaran akhlak tasawuf mengatasi problematika kehidupan
masyarakat modern saat ini, dan dijadikan suatu alternatif terpenting.
9. E. KESIMPULAN
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di masa modern ini, memberikan
manfaat besar pada msyarakat, baik dibidang teknologi maupun yang lainnya, sehingga dapat
mempermudahkan segala intraksi dan komunukasi dalam msyarakat. Namun dengan semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ini, perilaku masyarakat semakin rusak dan
tidak jarang masyarakat kehilangan jatidirinya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, cara
yang hampir disepakati para ahli terutama para ilmuan islam adalah dengan cara
mengembangkan kehidupan berahlak dan bertasawuf.
10. DAFTAR PUSTAKA
W.J.S.poerdarminta, kamus umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka,1996)
Abuddin Nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: PT Rajagrafindo p, 1996)
M. Quraish Shihab, Wawsan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)