1. Edisi 4 - 2013
Menanti Lahirnya
Undang-Undang
Perkotaan
2. Selamat
Hari Perumahan Nasional, 25 Agustus
Hari Habitat Dunia (HHD), 7 Oktober
Hari Tata Ruang, 8 November
2
Alamat Redaksi:
Yayasan LP P3I/The HUD Institute
Jln. Arya Putra No. 14A, Ciputat-Tangerang Selatan
Email:
lpp3hudjkt@gmail.com
hudmagz@gmail.com
2
3. dari
Dewan Pembina:
Cosmas Batubara, Siswono Yudho Husodo,
Akbar Tandjung, Theo Sambuaga,
Erna Witoelar, M. Yusuf Asy’ari,
Suharso Monoarfa
Dewan Penasehat:
Djoko Kirmanto, Gamawan Fauzi,
Direksi Perum Perumnas, DPP REI,
DPP APERSI, DPP AP2ERSI
Pemimpin Umum/Usaha/
Penanggung Jawab:
Zulfi Syarif Koto
Wakil Pemimpin Umum:
F. Teguh Satria, Indra Utama,
Martin Roestamy
Wakil Pemimpin Usaha:
Endang Kawidjaja, Djaja Roeslim,
Reddy Hartadji, Muhammad Nawir,
Ferry Sandiyana
Sekretaris Pemimpin Umum/Usaha:
M. Amry
Pemimpin Redaksi:
Oswar M Mungkasa
Redaktur:
Endrawan Natawiria, Nursalim, Erfendi E.P
Konsultan Hukum:
Muhammad Joni
Artistik dan Koordinasi Produksi:
Agus Sumarno
Manajer Iklan & Keuangan:
Herawati, Hadist GP
Administrasi dan Umum:
Eduardo H, Asep Deni Kusnadi, Yuliandi
Diterbitkan oleh:
Yayasan LP P3I/The HUD Institute
PT. HUDMAGZ Indonesia
Alamat Redaksi:
Yayasan LP P3I/The HUD Institute
Jln. Arya Putra No. 14A
Ciputat-Tangerang
Email:
lpp3hudjkt@gmail.com
hudmagz@gmail.com
Redaksi menerima kiriman naskah de
ngan panjang tulisan maksimal 1.600 kata,
melalui hudmagz@gmail.com, disertai data
diri. Redaksi berhak melakukan perubahan
naskah tanpa mengubah isi.
Redaksi
Edisi 4 - 2013
P
ertama-tama ijinkan kami segenap Pengurus Majalah HUDmagz
menyampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H, Mohon
Maaf Lahir Batin.Semoga keberkahan Ramadhan menyertai
kita semua. Amin
Saat ini, perkembangan kota di Indonesia termasuk yang paling pesat
di dunia. Penduduk perkotaan telah melampaui batas psikologis 50%.
Tidak ada yang salah dengan pertumbuhan kawasan perkotaan yang
demikian cepat ketika masalah ikutannya tidak terwujud seperti
kemacetan, layanan dasar tidak memadai, kejahatan meningkat,
tingkat pengangguran meroket sebagai dampak urbanisasi yang tidak
matang, kawasan kumuh menyebar dan terlihat dimana-mana dan
seterusnya.
Perkembangan perkotaan yang seperti ini, bukanlah hal yang
membanggakan.Bahkan telah menjadi semacam ‘siksaan’ bagi
penduduk perkotaan. Mulai dari waktu tempuh ke kantor yang tidak
berbeda jauh dengan lamanya bekerja di kantor, polusi udara yang
demikian tinggi yang mengharuskan kita menggunakan masker,
pengemis dan anak jalanan bertebaran di persimpangan jalan, dan
masih banyak lagi.
Satu hal yang patut kita syukuri bahwa Pemerintah pada tahun ini mulai
menyiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang Perkotaan sebagai
suatu langkah cerdas dalam mengelola fenomena pembangunan
perkotaan yang tak terkendali ini. Namun tentunya upaya Pemerintah
ini tidak akan optimal tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat
terkait penyempurnaan materi dari RUU tersebut.
Menyadari hal ini, majalah HUDmagz memberanikan diri secara
khusus menjadikan penyiapan RUU Perkotaan tersebut menjadi
tema utama edisi kali ini. Dengan demikian, diharapkan pengambil
kebijakan dapat memperoleh ‘second opinion’ terutama dari kami
dan pemangku kepentingan lainnya yang sayangnya tidak terlibat
langsung dalam proses penyusunan RUU tersebut.
Sebagai penutup, kami menyampaikan penghargaan dan rasa terima
kasih atas sambutan yang hangat dari para pembaca. Di lain pihak,
kami menyadari upaya mempertahankan keberadaan majalah kita
ini memang butuh upaya keras. Di samping tentunya memohon doa
kepadaNya agar semuanya berjalan lancar. Untuk itu, kami membuka
pintu selebar-lebarnya terhadap kontribusi pembaca baik berupa
masukan, kritik, artikel, opini, tips, maupun foto. Dengan demikian,
harapan kami majalah kita ini menjadi forum milik kita semua. Amin
Pemimpin Redaksi
Oswar Mungkasa
3
4. Sapaan Pembaca
KepadaYth.
Redaksi Majalah HUD
ertama perkenankan saya menyampaikan apresiasi terhadap
Majalah HUD yang telah berupaya memberikan informasi
kepada publik secara gamblang. Saya tertarik untuk
memberikan opini terkait dengan tulisan mengenai Desentralisasi
dan Otonomi Daerah pada edisi 3 bulan Maret 2013. Saya
setuju dengan penulis yang menyatakan perlunya Grand Design
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Kalau kita ingat, pada awalnya
pelaksanaan Otonomi Daerah dilaksanakan tanpa didahului adanya
pengembangan grand design. Hal ini ibarat berlayar sambil mencari
kompas. Tidak jelas harus kemana. Otonomi daerah, menurut saya,
pada saat itu didasari dengan semangat untuk mencegah terjadinya
disintegrasi republik kita ini. Baru setelah beberapa tahun berjalan,
dilaksanakan penyusunan grand design otonomi daerah.
Menurut saya, pelaksanaan otonomi daerah tidak harus
diberlakukan sama rata di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
Otonomi daerah perlu dilaksanakan secara bertahap, karena
dengan rentang kendali yang terlalu luas, maka akan sulit untuk
mengelolanya. Berikut ini beberapa hal yang menurut saya perlu
mendapat perhatian jika pelaksanaan otonomi daerah hendak
dikaji dan ditata kembali:
1. Otonomi daerah hanya diberikan kepada Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang mampu. Kemampuan ini
dinilai dari segi ketersediaan dan kualitas SDM, kelembagaan,
keuangan dan sumber daya alamnya. Jadi perlu dikembangkan
kriteria untuk menyaring daerah yang mampu. Disatu sisi, hal ini
akan membantu mencegah adanya pemekaran daerah yang tidak
terencana, namun disisi lain hal ini akan menyebabkan adanya
proses pencabutan status otonomi dari daerah-daerah yang belum
memenuh isyarat. Repot memang, tetapi kalau tidak repot bukan
bekerja namanya;
2. Efektifitas otonomi daerah salah satunya harus dinilai
melalui proses perencanaan yang sudah mempertimbangkan
kepentingan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di sekitarnya,
termasuk hasil dari pelaksanaan rencana yang dimaksud. Hal ini
belum terakomodir dalam penilaian efektifitas otonomi daerah
yang saat ini sedang berjalan, dan itu merupakan hal yang sangat
ganjil menurut saya. Seorang anak dianggap sudah mandiri dan
dapat dilepas salah satunya dinilai dari kesiapan dan kematangan
anak dalam merencanakan hidupnya, termasuk bagaimana sang
anak menyertakan harapan orang tuanya dan orang-orang di
sekelilingnya ke dalam rencana hidupnya. Jika dinilai belum mampu
maka masih diperlukan pembinaan;
3. Peran Provinsi harus dikaji ulang. Saat ini Pemerintah
Provinsi terlalu lemah, sehingga sering dilalui saja oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota. Pusat membutuhkan provinsi sebagai
kepanjangan tangannya dan sebagai “anak” tertuanya. Dengan
mengoptimalkan peran provinsi, maka rentang kendali yang begitu
luas dapat dikelola secara terstruktur dan sistematis. Ada pepatah:
“There is no impossible task, if you can break it down to smaller
manageable tasks”
Demikian opini saya, semoga bermanfaat. Terima kasih.
Kepada yth.
Redaksi Majalah HUDmagz
ertama-tama mumpung masih dalam suasana lebaran, saya
menyampaikan Selamat Idul Fitri dan Mohon Maaf Lahir
Bathin kepada jajaran pengasuh majalah ini dan juga para
pembaca.
Terus terang saja, saya menyampaikan penghargaan kepada
redaksi berikut jajarannya yang telah bersusah payah menyiapkan
majalah HUDmagz yang nota bene bukan majalah komersil tetapi
lebih kepada upaya mencerdaskan anak bangsa. Terlepas dari
kualitas majalah yang masih perlu ditingkatkan, namun upaya
seperti ini patut kita dukung. Saya selalu berdoa agar majalah ini
tetap eksis.
Redaksi HUDmagz yang baik
aya membaca majalah ini secara tidak sengaja ketika
mendatangi salah satu perpustakaan. Materinya lumayan,
walaupun materi perumahannya terlihat dominan. Atau
memang HUDmagz difokuskan pada perumahan saja? Mudahmudahan tidak.
Sebagai pemerhati masalah perkotaan, saya tertarik untuk
mendapatkan secara teratur. Mohon dapat dijelaskan caranya.
Terimakasih.
Salam hangat
Yan Garda
Bandung
Redaksi
Terima kasih atas perhatiannya. Semua kritikan, pujian, masukan
akan menjadi cambuk bagi kami dalam mengelola majalah ini.
Terkait keinginan mendapatkan secara teratur, sampai saat ini
distribusi majalah ini masih bersifat terbatas, tetapi kami juga
telah mencoba menyediakan majalah ini secara on-line. Untuk
sementara sebelum kami mempunyai situs resmi, Anda dapat
mengakses di pittsburgh.academia.edu/oswarmungkasa.
P
P
Redaksi
Selamat Idul Fitri dan maaf lahir batin.
Terima kasih atas masukan dan kritik yang disampaikan. Tentu saja
keberlanjutan majalah ini tergantung dari kita semua.
4
Salam,
Fany Wedahuditama
Jakarta
S
Salam
Lin Damayanti
Surabaya
5. Daftar Isi
Edisi 4 - 2013
Edisi 4 - 2013
Testimoni
n Teguh Kinarto: Rumah Untuk MBR dari Penjualan Properti
untuk Orang Asing........................................................................................... 54
Konsep
Peluang dan Tantangan Implementasi
n
Energi Terbarukan di Sektor Perumahan........................57
Dari Redaksi .........................................................
Sapaan Pembaca....................................................
Daftar Isi ...............................................................
Sekapur Sirih.........................................................
Laporan Utama
3
4
5
6
Profil
Kelompok Kerja Perumahan dan
n
Kawasan Permukiman (Pokja PKP):
Memperkuat Koordinasi Menuju Kolaborasi.........................................
Liputan
Indonesia Property and Bank Award ke-8...................................................
n
Urgensi Penyusunan
Undang-Undang Perkotaan................................. 7
n
61
63
n Wawancara
Soelaeman Soemawinata
(Direktur Alam Sutera)
“Membangun dengan Empati”..............................
12
Diskusi Kelompok Terfokus
n
“Mencari Solusi Pemenuhan Rumah untuk Rakyat”............................. 64
Laporan Khusus
Koalisi Perumahan Rakyat Desak Pemerintah Serius Jalankan
n
Memperingati 39 Tahun Perumnas. Rumah Rakyat, Saatnya
n
Berdayakan Perumnas Secara Maksimal ................................................. 16
Wawancara Himawan Arief (Direktur Utama Perumnas)
n
Rebranding untuk Tetap Eksis...................................................................... 17
Segmen
Catatan Kritis
n
tentang Hunian Berimbang..............................
18
Pendapat
Belajar dari Singapore’s Central Provident Fund (CPF) Sebuah Upaya
n
Merancang Tabungan Perumahan yang Handal di Indonesia...............
Menyoal dan Mencermati RUU Tapera....................................................
n
Krisis dan Tantangan Penataan Ruang Perkotaan Nasional.................
n
Pembangunan Sistem Transportasi
n
Massal Secara Terpadu dalam Rangka Mengatasi
Permasalahan Macet di Jakarta.................................................................
Jakarta Menuju Kota Global......................................................................
n
Amanat Konstitusi ......................................................................................
Agenda
Hari Lingkungan Hidup 5 Juni................................
n
Pekan Lingkungan Hidup.........................................
n
Hari Perumahan Nasional 2013.............................
n
Peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) 2013......
n
n Hari Tata Ruang 2013:
23
29
30
Tips
72
Permukiman Terkumuh Dunia ..................................................................
n
Urbanisasi dan Dampaknya di Asia........................
n
Info Buku .........................
n
Info Regulasi ....................
n
Info Situs ..........................
n
Kembali ke Dasar Menata Kembali Prioritas Pembangunan
n
71
Fakta
Ragam Info
Pemda dan Akuntabilitas Pembangunan Perumahan Rakyat...............
n
.
“Harmoni Ruang dan Air
untuk Hidup Lebih Baik”...................................
Tips Ramah Lingkungan di Rumah .........
n
35
40
67
67
68
70
66
74
76
79
80
82
43
Air Minum dan Sanitasi............................................................................... 47
Penataan Ruang Perkotaan: Menjamin Hak Bermukim bagi
n
Masyarakat Berpenghasilan Rendah......................................................... 51
5
6. Sekapur Sirih
Pembangunan Kota
Tanggung jawab Bersama
Zulfi Syarif Koto
Pemimpin Umum/Penanggung jawab
P
entingnya pembangunan kota telah lama menjadi kepedulian para pengambil keputusan Namun baru pada beberapa
dekade terakhir kemudian kepedulian ini berubah menjadi semacam ‘kesadaran baru’. Mulai timbul kesadaran pentingnya
regulasi. Jika awalnya regulasi hanya di tingkatan pelaksanaan, kini regulasi diusung pada tingkat undang-undang. Jika
sebelumnya kita hanya mempunyai regulasi berupa peraturan menteri, kini sedang diusahakan sebuah undang-undang untuk
mengendalikan pembangunan perkotaan.
Tidak ada kata terlambat. Tetapi satu hal yang perlu menjadi perhatian kita semua. Undang-undang bukan sekedar produk.
Jika ini sekedar sebuah produk, dengan gampangnya kita bisa menyerahkan ‘pengerjaan’ nya pada sekelompok orang yang
menyebut dirinya ahli perkotaan dan ahli hukum, atau sederet jenis keahlian lainnya. Tidak. Bukan itu. Proses menjadi sama
pentingnya.
Mengapa demikian pentingnya proses? Karena pada tataran inilah kita dapat memastikan bahwa data yang dipergunakan
sahih adanya. Isu yang ditampilkan benar adanya. Suara yang ditampilkan mewakili kepentingan semua pemangku kepentingan
tanpa memandang suku, agama, warna kulit. Jika proses ini tidak terjaga baik maka undang-undang yang dihasilkan hanya
sekedar sebuah hasil perenungan akademis para ahli. Kebenarannya mungkin dapat dijamin tapi yang pasti tidak dapat dijamin
adalah penerimaan oleh pemangku kepentingan. Ujungnya dapat ditebak. Produk undang-undang tersebut dalam hitungan
hari segera diproses melalui ‘Judicial Review’ di Mahkamah Konstitusi.
Salah satu pihak yang sangat berkepentingan dengan ketersediaan regulasi adalah para pengembang kawasan perumahan.
Terlepas dari kepentingan bisnis yang dikedepankan oleh para pengembang, sejatinya di jaman modern ini kontribusi
pengembang dalam pembangunan sebuah kota tidak dapat dinafikan. Ambil contoh, Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan
yang lebih dari separuh wilayahnya dibangun oleh pengembang baik kecil maupun besar. Jika demikian faktanya, menjadi suatu
keniscayaan jika pengembang menjadi mitra utama pemerintah dalam pembangunan perkotaan.
Kepemerintahan yang baik (good governance) juga menjadi suatu keniscayaan ketika pembangunan perkotaan disepakati
sebagai tanggung jawab bersama. Dengan denikian sudah sewajarnya kemudian isu ini juga menjadi bagian penting dari
rancangan undang-undang perkotaan yang saat ini sedang dipersiapkan. Keterbukaan dan akuntabilitas akan menjadi bagian
tidak terpisahkan dari pembangunan perkotaan.
Sebagai kelanjutan dari upaya internalisasi kepemerintahan yang baik dalam pembangunan perkotaan, keterlibatan
masyarakat menjadi sangat penting. Keberadaan forum komunikasi pemangku kepentingan yang beranggotakan wakil
masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya menjadi sangat berarti. Forum ini nantinya akan menjadi wadah
saling bertukar pikiran bahkan dapat menjadi ajang penyelesaian konflik diantara pemangku kepentingan pembangunan
perkotaan.
Pembangunan perkotaan sejatinya bersifat dinamis, sehingga selalu terjadi perkembangan pemikiran dan konsep
pembangunan perkotaan. Perkembangan ini perlu diantisipasi oleh para pemangku kepentingan. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah memastikan fleksibilitas rancangan undang-undang perkotaan nantinya, sehingga perkembangan pemikiran
dan konsep perkotaan dapat terwadahi.
Tentunya disadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sehingga sebagus apapun rancangan undang-undang
perkotaan nantinya, pastinya tidak akan dapat memenuhi keinginan semua pihak. Namun di atas semua itu, sepanjang proses
penyusunan rancangan undang-undang ini telah melalui proses yang terbuka, melibatkan seluruh pemangku kepentingan,
maka apapun hasilnya sudah seharusnyalah dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan.
Akhir kata, semoga keberadaan undang-undang perkotaan ini nantinya dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk
perkotaan Indonesia. Sehingga cita-cita terwujudnya negeri makmur, adil dan sejahtera dapat lebih cepat tercapai. Semoga.
(ZSK).
6
7. Laporan Utama
Edisi 4 - 2013
P
ada hakikatnya perkotaan dapat dimaknai se
bagai tempat berkonsentrasinya penduduk
yang dicirikan oleh adanya permukiman dan
berbagai aktifitasnya yang dominan berupa
kegiatan non pertanian, seperti ekonomi, sosial
budaya dan sebagainya. Tentunya diharapkan perkotaan
dapat menjadi tempat hunian yang layak dan nyaman bagi
masyarakat yang tinggal di dalamnya. Namun, yang ter
jadi pada hampir seluruh kawasan perkotaan di dunia, di
jumpai permasalahan yang serupa yakni kondisi lingkung
an kota yang tidak nyaman dan tingkat pelayanan umum
yang kurang memadai. Salah satu faktor penyebabnya ada
lah pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang tidak
diimbangi dengan ketersediaan sarana prasarana dan ruang
publik, sehingga menye ab an perkotaan semakin
b k
lama semakin kehilangan fung inya.
s
Indonesia sebagai salah satu negara de
ngan tingkat pertumbuhan penduduk yang
tinggi juga mengalami berbagai persoalan
perkotaan. Jika dilihat berbagai kota di In
donesia, terutama kota metropolitan dan
kota besar, pembangunan kawasan perko
taan selain menunjukkan hasil berupa ter
bangunnya prasarana dan sarana fisik yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, me
sumber foto: istimewa
nyimpan pula berbagai permasalahan yang
semakin lama semakin kompleks dan multidimensional.
Permasalahan pokok yang mengiringi pembangunan
perkotaan tersebut di antaranya terjadinya degradasi kon
disi sosial masyarakat, bertambahnya angka kemiskinan
dan pengangguran, tidak terkendalinya pertumbuhan
sektor informal, terjadinya penurunan daya dukung ling
kungan, menurunnya kualitas pelayanan umum, lemah
nya sumber daya manusia, serta pemahaman yang masih
sumber foto: istimewa
kurang terhadap prinsip-prinsip manajemen pengelolaan
perkotaan yang baik.
Berbagai permasalahan perkotaan tersebut tidak terlepas
dari tingginya tingkat urbanisasi yang disertai dengan per
tumbuhan penduduk alami perkotaan. Pada kenyataannya
kedua faktor tersebut tidak diimbangi oleh kemampuan
kota dalam menyediakan pelayanan dasar bagi masyarakat
nya. Kondisi ini terlihat dari adanya ketimpangan antara
pelayanan dasar perkotaan, sarana dan prasarana publik
serta jangkauan pelayanannya dengan jumlah penduduk
perkotaan yang semakin besar. Ketimpangan tersebut juga
mendorong berkembangnya kawasan-kawasan perumah n
a
baru yang pada akhirnya tumbuh menjadi kawasan perko
taan atau bahkan kota baru di wilayah Indonesia. Sayang
nya kawasan perumahan dan perkotaan yang baru tersebut
belum diatur secara terpadu dalam perun
dangan sehingga menyebabkan perkotaan
menjadi semakin tidak terkelola dengan
baik.
Banyak hal yang telah diupayakan da
lam mengatasi berbagai permasalahan
perkotaan. Dari sisi pemerintah, berbagai
program dan anggaran yang telah diper
untukkan untuk pembangunan perkotaan
belum optimal dengan berbagai alasannya.
Keterbatasan anggaran, hambatan koordi
nasi, kurang terukurnya sasaran pembangunan, serta ren
dahnya kapasitas kelembagaan dan Sumber Daya Manusia
(SDM) diduga menjadi faktor-faktor belum optimalnya
hasil dari pembangunan. Selain itu, pembangunan perko
taan di Indonesia juga dihadapkan pada tantangan bahwa
sebagai negara tropis, kota-kota di Indonesia rentan ter
hadap bencana alam dan perubahan iklim, terutama dalam
bentuk banjir dan kenaikan muka air laut.
7
8. Laporan Utama
Dilain pihak, kota dan kawasan perko
taan juga memiliki peran penting dalam
pembangunan nasional, baik sebagai
pusat pertumbuhan penduduk maupun
mesin penggerak ekonomi suatu negara.
Dengan adanya pemusatan penduduk
perkotaan, sebagian besar nilai tambah
ekonomi Indonesia terjadi di kawasan
sumber foto: istimewa
perkotaan. Pada Tahun 2010, diperkira
kan 74% Produk Domestik Bruto (PDB) dihasilkan di
kota dan kawasan perkotaan dan akan terus meningkat
seiring dengan terus bertambahnya penduduk perkotaan
(World Bank, 2012). Kondisi ini menunjukkan fakta bah
wa pembangunan nasional masa depan sangat ditentukan
oleh pembangunan kota dan kawasan perkotaan. Akan
tetapi, sebagai akibat dari peningkatan kegiatan ekonomi
di kota dan kawasan perkotaan akan mendorong pertum
buhan ekonomi di Indonesia secara keseluruhan yang ke
mudian juga mengakibatkan terjadinya migrasi besar dari
desa ke kota dan antarpulau di Indonesia, dari luar Pulau
Jawa ke Pulau Jawa.
Apakah Undang Undang Perkotaan Mendesak?
Berbagai permasalahan dan tantangan perkotaan di
Indonesia masih belum seluruhnya diatur dan diantisipasi
oleh peraturan perundangan yang sudah ada. Jika ditin
jau dari berbagai peraturan perundangan yang sudah ada,
baik yang bersifat generalis (umum) ataupun yang bersi
fat spesialis (sektoral), kenyataannya memang tidak cukup
mengakomodir permasalahan perkotaan di Indonesia yang
sangat dinamis. Multisektoral, sosio-spasial, dan lokus-nya
bervariasi mulai dari kota metropolitan sampai kawasan
perkotaan kecil yang berada di kabupaten. Kondisi tersebut
diperparah dengan ketidak-jelasan kerangka kelembagaan
pengelolaan perkotaan bagi kawasan perkotaan yang bukan
berstatus daerah otonom. Belum lagi ketika berbicara ba
gaimana bentuk atau kondisi ideal kota-kota di Indonesia
pada masa yang akan datang? Berbagai hal tersebut yang
menjadi faktor-faktor pendorong diperlukannya UndangUndang (UU) yang secara khusus mengatur perkotaan.
Keberadaan peraturan khusus tentang perkotaan di
ting at undang-undang dapat secara lebih khusus diperlu
k
kan karena berbagai faktor, antara lain.
• Belum ada Undang-undang yang secara khusus mengatur
tentang kota otonom dan non otonom.
Banyaknya peraturan perundangan yang terkait de
ngan perkotaan namun sifatnya masih bersifat sekto
ral, belum tertata secara utuh dan menyeluruh untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan perkotaan. Be
berapa peraturan yang terkait dengan perkotaan, antara
lain UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
8
Daerah, UU Nomor 26 Tahun 2007 ten
tang Penataan Ruang, dan UU Nomor
1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman. Selanjutnya pera
turan perkotaan yang lain lebih banyak
pada tingkatan yang lebih rendah, seperti
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri
(Permen), yang merupakan penjabaran
dari ketiga undang-undang tersebut. Namun sayang
nya ketiga undang-undang tersebut masih belum cu
kup, sehingga diperlukan aturan yang lebih spesifik dan
solid dalam mengelola kompleksitas pembangunan dan
pengelolaan perkotaan sebagai sebuah entitas sosioekonomi-spasial.
• Pelaksanaan sistem desentralisasi yang belum optimal.
Sejak Tahun 2001, Indonesia telah menerapkan ke
bijakan pelaksanaan desentralisasi fiskal yang kemu
dian menjadi tantangan baru dalam manajemen
eko omi makro Indonesia. Perubahan kebijakan ini
n
berpotensi menjadi masalah stabilitas ekonomi makro
berkepanjangan apabila kurang tepat dalam mengelola
pelaksanaan desentralisasi fiskal. Salah satu akar per
masalahan ini adalah perbedaan orientasi kebijakan
ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Pemerintah daerah lebih menghadapi masalah
keterbatasan keuangan (financial constraints) daripada
keterbatasan ekonomi (economic constraints) yang men
jadi perhatian pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah
daerah lebih menaruh perhatian pada masalah alokasi
daripada stabilisasi, yang dianggap sebagai beban pe
merintah pusat. Anggaran belanja pemerintah daerah
yang meningkat dapat mendorong permintaan domes
tik, dan mempe garuhi keseimbangan anggaran bila
n
efek multiplier dari pengeluaran daerah jauh melebihi
multiplier rata-rata pendapatannya.
• Belum ada pengaturan terhadap kota-kota yang diba gun
n
oleh pihak swasta seperti kota mandiri, kota terpadu, kota
industri, dan sebagainya.
Dengan adanya berbagai permasalahan perkotaan yang
sudah ada, pengelolaan kawasan perumahan besar dan
kota-kota baru yang cepat berkembang menjadi lebih
kompleks dan rentan konflik sehingga diperlukan
peng turan kerangka kelembagaan pengelolaan perko
a
taan yang bukan berstatus otonom.
• Perkembangan perkotaan sangat berpengaruh dan saling
mempengaruhi (resiprokal) dengan daerah sekitarnya.
Kecenderungan pembangunan yang ada menunjuk
kan bahwa kota telah menimbulkan back-wash effect
dibandingkan kondisi ideal yang diharapkan, yaitu
trickle-down effect. Akibat yang terjadi adalah kawasan
9. Edisi 4 - 2013
sumber foto: istimewa
pinggiran dan kawasan perdesaan menjadi sumber
(supplier) bagi sumber daya yang dibutuhkan untuk
meng-operasionalkan kota. Dilain pihak, telah terjadi
gejala urban sprawl yang menyebabkan perkembang
an tingkat urbanisasi di kawasan perdesaan. Kondisi
ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi
informasi dan tidak adanya pembagian peran antara
kota dan desa dalam berbagai aspek, seperti lingkung
an, maupun ketahanan pangan. Kedepan dibutuhkan
peng turan peran dan pemberian insentif dan disinsen
a
tif, serta kerangka kerjasama antarwilayah inti (kota)
dengan wilayah penyangganya (hinter land).
Perkembangan perkotaan juga perlu didudukkan dalam
konstelasi yang lebih luas dalam skala global. Kota-kota
metropolitan dan besar di Indonesia akan menghadapi
tantangan persaingan global yang semakin kuat, teru
tama di wilayah ASEAN. Persaingan tersebut bisa ber
bentuk persaingan ekonomi yang meliputi pelayanan
jasa dan perdagangan maupun persaingan sosial dan
lingkungan yang menuntut peran aktif perkotaan da
lam berbagai kegiatan internasional.
Apa Substansi Undang Undang Perkotaan?
Jika memang UU Perkotaan merupakan sebuah pera
turan yang mendesak dan penting, tentunya pertanyaan
berikutnya adalah berkaitan dengan substansi seperti apa
yang harus termuat dalam UU tersebut. Berikut pokokpokok substansi yang minimal harus diatur dalam UU
Perkotaan, yaitu.
1. Sistem Perkotaan Nasional
Sistem perkotaan pada dasarnya merupakan suatu
bentuk keserasian hubungan intra sistem maupun antar
sistem, serta didukung adanya kelengkapan dari sistem
kelembagaannya. Saat ini terjadi kesenjangan yang sangat
tajam antarkota di Indonesia, dilihat dari ukuran maupun
penyebarannya. Berdasar ukuran, dari 98 kota otonom
yang ada, lebih dari separuhnya merupakan kota sedang
dan kota kecil yang terletak di luar Pulau Jawa. Sementara
itu, kota metropolitan dan kota besar sebagian besar ber
lokasi di Pulau Jawa. Kondisi ini yang juga menjadi faktor
utama dalam kesenjangan antara Kawasan Barat Indonesia
dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dengan demikian
penguatan Sistem Perkotaan Nasional merupakan sebuah
keniscayaan untuk mewujudkan pembangunan yang
seimbang antara dua kawasan tersebut. Disamping perlu
terus diupayakan pembangunan kota sedang dan kota ke
cil sebagai pendukung produktivitas kawasan perdesaan.
Penguatan ini diharapkan dapat menjaga daya tarik kota
sebagai pusat pertumbuhan, tanpa harus mengorbankan
desa dengan karakteristik kegiatan yang dominan perta
nian, ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Selanjutnya, yang tidak kalah penting dan sangat men
dasar untuk diatur adalah definisi dan pengelompokan
(tipologi) perkotaan. Berbagai instansi memiliki definisi
yang berbeda, seperti halnya definisi perkotaan menurut
BPS berbeda dengan definisi perkotaan menurut beberapa
peraturan perundangan, seperti UU Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, PP Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
dan PP Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelengga
raan Penataan Ruang. Dalam ketiga peraturan tersebut,
meskipun berbeda-beda dalam mengategorikan kawasan
perkotaan, namun secara umum kawasan perkotaan didefi
nisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiat
an ekonomi.
2. Standar pelayanan perkotaan dan kota masa depan
Saat ini apabila kita mengunjungi berbagai kota di
Indonesia dan membandingkannya, tampak tidak ada
standar antara satu kota dengan tipologi atau kelas yang
sama. Kapasitas dan inovasi masing-masing kota, biasanya
dimiliki oleh kota metropolitan dan besar, menjadi faktor
penentu apakah kota sudah memiliki prasarana dan sarana
yang lengkap dan memadai. Sementara itu, kota-kota se
dang dan kecil dengan kapasitas yang rendah seolah-olah
berkembang apa adanya tanpa direncanakan. UU Perko
taan harus mendorong dan memaksa agar kota-kota memi
liki Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) yang merupakan
fasilitas minimum yang harus disediakan oleh Pemerintah
Kota agar warganya berhak mendapatkan kehidupan kota
yang aman, nyaman dan layak huni.
9
10. Laporan Utama
Dilain pihak, dalam jangka panjang,
kota-kota di Indonesia sudah seharus
nya dibangun menjadi kota masa depan
yang memperhatikan keseimbangan
antara aspek ekonomi, sosial budaya dan
lingkungan. Pembangunan ekonomi ka
wasan perkotaan harus diarahkan untuk
memberi kekuatan pada keterkaitan aliran produksi-pasar
serta keterkaitan antara sektor informal dan tradisional
dengan sektor formal. Disamping itu, kota-kota di Indo
nesia harus disiapkan juga untuk mengantisipasi bencana
dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang gejalanya su
dah dirasakan di kota-kota pesisir.
3. Pembentukan kawasan perumahan dan kota baru berskala luas
Dinamika dan tingkat kompleksitas permasalahan
perkotaan sangat terkait pada sejumlah faktor, terutama
faktor penduduk yang semakin bertambah, dan ukuran
kota yang tidak bertambah. Kombinasi dari kedua faktor
tersebut memicu perluasan permukiman baru di kawasan
non permukiman, munculnya kawasan-kawasan peru
mahan dan kota baru berskala besar di pinggir kota yang
dikembangkan oleh swasta, dan sebagainya.
Diperlukan pengaturan khusus yang dapat mengelola
kawasan permukiman perkotaan yang berada di luar dan
tidak terlayani oleh kawasan perumahan yang dikembang
kan oleh swasta sehingga tidak memicu terjadinya kesen
jangan antara penduduk yang tinggal di kedua kawasan
tersebut. Disamping itu, diperlukan pengaturan yang
mampu mengendalikan alih fungsi lahan dan perkembang
an kota yang tak terkendali (urban sprawl) melalui pemba
kuan harga lahan, pengenaan pajak lahan progresif, pen
cadangan lahan (land banking) untuk pembangunan kota,
hak pemerintah untuk membeli lahan dahulu, pengaturan
reklamasi pantai perkotaan, serta pengaturan kembali Pe
nguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Ta
nah (P4T) dalam bentuk pembatasan kepemilikan lahan
maksimum oleh swasta dan individu. Upaya-upaya terse
but harus mengikat sehingga dapat mengurangi terjadinya
spekulasi tanah dalam skala luas.
4. Kelembagaan perkotaan
Kelembagaan perkotaan perlu diatur kembali agar
mampu menyelesaikan konflik pembangunan perkotaan
sumber foto: istimewa
10
sumber foto: istimewa
lintas wilayah di kawasan perkotaan. Kelem
bagaan perkotaan harus diarahkan untuk
melakukan penanganan perkembangan
kota, penanganan urbanisasi, pengembang
an jalur transportasi, pemanfaatan sumber
daya alam pengaturan dimensi kerjasama
antarkota, baik di tingkal lokal, nasional,
maupun international dalam bentuk sister city. Dengan de
mikian, kelembagaan perkotaan diarahkan dalam konteks
pengelolaan perkotaan (urban management) yang merupa
kan sebuah proses manajemen untuk merubah dari keadaan
sekarang menuju kondisi kota ideal yang diharapkan.
Selain itu, kelembagaan perkotaan juga perlu diarahkan
untuk mewujudkan kerjasama daerah lintas wilayah admi
nistratif. Contoh yang bisa dilihat adalah keberadaan Badan
Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek yang belum
mampu menyelesaikan konflik pembangunan perkotaan
lintas wilayah di kawasan Jabodetabek. Di dalam UU Perko
taan, kelembagaan seperti BKSP harus bisa dikembalikan
agar sesuai dengan tujuan pembentukannya.
5. Pembiayaan perkotaan
Untuk mewujudkan berbagai pembangunan perkotaan,
baik penyelesaian permasalahan eksisting ataupun dalam
rangka pemenuhan Standar Pelayanan Perkotaan (SPP),
percepatan pembangunan ekonomi, dan perwujudan kota
masa depan, dibutuhkan pembiayaan yang cukup. Ber
bagai sumber pembiayaan yang sangat diperlukan dalam
pembangunan perkotaan harus direncanakan, dibangun
dan dikelola dengan baik. Disamping itu, sejalan dengan
pelaksanaan otonomi daerah, maka pembahasan juga le
bih difokuskan pada pembiayaan pembangunan di tingkat
kota. Hal ini mengingat kewenangan dan tanggung jawab
dalam pembangunan sebagian besar telah dilimpahkan
dari Pemerintah kepada Pemerintah Kota, sehingga mem
bawa konsekuensi terhadap kapasitas keuangan daerah dan
pengelolaannya. UU Perkotaan harus mampu mendorong
dan menciptakan berbagai jenis instrumen pembiayaan
yang baru, menarik dan inovatif, serta memberi jaminan
dan kepastian hukum bagi sektor swasta dan masyarakat
untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan perkotaan
di Indonesia
(Zaenal Arifin, Pemerhati Perkotaan, Alumni
Pittsburgh University/USA dan Kobe University/Jepang)
11. Edisi 4 - 2013
KEMENTERIAN
DALAM NEGERI
Selamat
Hari Perumahan Nasional, 25 Agustus
Hari Habitat Dunia (HHD), 7 Oktober
Hari Tata Ruang, 8 November
11
12. Laporan Utama
Wawancara dengan Soelaeman Soemawinata (Direktur Alam Sutera)
“Membangun dengan Empati”
U
paya pemerintah menyusun Undang Undang
Perkotaan patut didukung. Walaupun
kemudian keterlibatan para pemangku
kepentingan dalam proses penyusunannya masih
belum intensif. Untuk itu, wawancara dengan
pengembang setidaknya dapat memberi gambaran
seperti apa kontribusi dan kebutuhan para
pengembang dalam pembangunan perkotaan.
Soelaeman Soemawinata, yang saat ini merupakan
Direktur PT. Alam Sutera Realty Tbk yang
mengelola sebuah kawasan perumahan di Serpong,
merupakan salah satu petinggi perusahaan
pengembang yang berlatar belakang sebagai
perencana kota lulusan ITB tahun 1988. Selain
itu, pengalaman berkarya di dunia pengembang
perumahan sejak tahun 1988 sampai saat ini,
menjadikannya sebagai nara sumber yang tepat.
Hal ini yang kemudian menjadikan perbincangan
dengan beliau tidak hanya menarik tetapi juga
didukung oleh pemahaman yang benar tentang
perencanaan kota. Berikut ini perbincangannya.
Bagaimana kontribusi Alam Sutera sebagai pengembang
besar dalam konteks pembangunan daerah?
Prinsipnya pengembang besar dapat berkontribusi terhadap
pembangunan infrastruktur utama. Ini yang berbeda dengan
pengembang kecil. Walaupun bentuk kontribusinya beragam.
Ada yang bangun jalan tolnya. Ada yang hanya bangun jalan
aksesnya atau jalan besarnya.
Akses tol dibuka atas perencanaan dari pemda. Pemda
memiliki RTRW yang menggunakan grid system. Ada ‘tulangan
infrastruktur’ (akses masuk ke Tangerang) yang ditawarkan
ke pengembang. Dari situ pemda mengajukan permohonan
ke Menteri untuk mendapatkan ijin membuka akses ke
tol. Selanjutnya pemda mengundang pengembang untuk
berpartisipasi. Ini bukan kewajiban. Ini adalah sinergi tiga pihak,
yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pengembang.
Inilah salah satu contoh yang kemudian menjadikan
pengembang besar dapat dikatakan berpartisipasi terhadap
pembangunan daerah secara langsung. Tidak hanya berupa
pembangunan infrastruktur tetapi bahkan pembangunan
kawasan.
12
sumber foto: dok. pribadi
Pada saat itu, daerah ini (kawasan yang dibangun Alam
Sutera red.) masih belum berkembang. Pemda sangat
berkeinginan untuk membuka daerah ini. Akhirnya kami lah
yang membantu Pemda mengembangkannya.
Partisipasi pengembang yang demikian ini menjadikannya
penting untuk juga mengetahui rencana pemerintah, termasuk
dalam hal ini rancangan undang-undang perkotaan itu nantinya.
Tentu saja, kontribusi lainnya berupa pajak, kesempatan
kerja, pertumbuhan kawasan tidak bisa diabaikan.
Apakah ada konsep khusus untuk setiap kawasan yang
dibangun?.
Ada beberapa hal, baik dalam konteks fisik maupun sosial.
Kita mulai dari Jakarta. Perumahan yang berbentuk rumah tapak
akan bergeser ke sekitar Jakarta. Pembangunan Jakarta itu ke
Timur dan Barat, sementara ke arah Selatan sudah dibatasi.
Karena masalah reservasi.
Ini termasuk daerah Barat Jakarta yang didorong menjadi
hinterland Jakarta. Kita mencoba sejak awal untuk tidak
menjadikan daerah ini sebagai kota mandiri tetapi lebih
sebagai kota yang akan saling bersinergi. Alam Sutera diawali
13. Edisi 4 - 2013
sebagai dormitory town. Kerja di Jakarta tinggal di sini. Konsep
pengembangannya, suami-istri kerja di Jakarta maka bagaimana
dengan anak dan pembantu, serta pendidikan. Sehingga
dikembangkan konsep ‘services estate’. Misal jika lampu
mati di rumah, maka tersedia layanan perbaikan tanpa perlu
merepotkan suami-istri yang sedang bekerja. Tersedia layanan
pendidikan.
Kemudian berkembang, ada kebutuhan jasa lainnya. Mereka
yang menyediakan layanan jasa pun kemudian bertempat
tinggal di sini. Sehingga tiba-tiba tidak hanya sebagai dormitory
town tetapi menjelma sebagai pusat komersial yang bersifat
regional. Misalnya orang Kelapa Gading makan disini. Ini
terutama dengan adanya akses tol.
Sekarang ini, ada beberapa pusat perkantoran yang
berpindah kesini. Kantor pusat lho. Misal saja, Alfa Mart,
Es Teler, Depo Bangunan. Disini juga tersedia pergudangan
walaupun kecil.
Sisa konsep dormitory town menjadi ikon. Misalnya cluster
system. Alam Sutera yang pertama mempopulerkan sistem
cluster. Keamanan harus terjamin karena suami-istri bekerja di
Jakarta. Lingkungan cluster ini menciptakan banyak daerah hijau.
Konsep dasarnya, yang penting satu gerbang. Berapa sih
yang paling optimal?. Sistem rukun tetangga juga menjadi
pertimbangan selain biaya pelayanan. Sistem sosial juga
dipertimbangkan jadi cluster mencakup 350 keluarga yang
merupakan satu RW, terdiri dari 2 atau 3 RT. Bisa menciptakan
pelayanan mandiri. Suatu saat ketika pengembang tidak ada
lagi, lingkungan ini bisa tetap mandiri.
Terkait lingkungan hidup, beberapa upaya telah dilakukan.
Misal, upaya menangkap air hujan agar tidak langsung ke
permukaan tanah. Ditanam Trembesi (sejenis pohon red.) yang
rapat di atas jalan sehingga air hujan tidak langsung turun ke
jalan. Jalannya disebut green tunnel.
Sementara di perumahan saat ini menggunakan sumur
serapan yang dibangun oleh pengembang. Tidak boleh
dibongkar. Tetapi berbeda dengan jaman dahulu, saat ini banyak
penghuni yang menginginkan kondisi ini. Jika sebelumnya
banyak dianggap sebagai beban oleh pengembang maka
sekarang bahkan menjadi jualan. Bahkan menjadi ikon sebuah
kawasan perumahan. Pedestrian pun menjadi perhatian
termasuk jalur sepeda.
Isu pertanahan selalu mengemuka pada setiap
pembangunan perumahan skala besar. Apakah yang menjadi
kendala, atau masalah terkait penyediaan tanah ini?.
Bagaimana dengan masalah sosial terkait pembebasan lahan?.
Terobosan apa yang dilakukan?
Ini juga sebenarnya sebuah pendekatan yang khas Alam
Sutera. Pemerintah juga dapat mengadopsi. Pengembang
misalnya punya ijin mengembangkan luasan tertentu.
Masyarakat tidak mau pindah dengan berbagai alasan misal
karena ada makam keramat. Ini yang agak sulit. Alasan lain
adalah tanah leluhur berikut memorinya. Kalaupun pindah
inginnya dekat dari lokasi awal. Selebihnya mau pindah.
Cara menjualnya ada 3 (tiga) macam. Pertama, berupa jual
putus. Kedua, sebagian tanah dijual dan sebagian lagi ditukar
dengan tanah. Ada lagi yang tidak dibayar tetapi seluruhnya
ditukar dengan tanah.
sumber foto: Alam Sutera
Konsep kita berupa tanah yang ditempati oleh penduduk
digeser ke lokasi tertentu di sekitar lokasi awal. Mereka
dipindahkan ke lokasi tertentu yang berupa kompleks
perumahan. Luasan tanah dan bangunannya di tempat
yang baru disesuaikan sesuai proporsi luasan tanah mereka
sebelumnya. Tetapi tidak semua mereka mau seperti ini.
Sebagian dari mereka ingin tinggal pada suatu lokasi yang masih
alami sebagaimana perkampungan yang masih tradisional.
Mereka masih ingin memelihara ternak, dan punya pohon buahbuahan. Akhirnya sebagian kami tempatkan pada lokasi tertentu
yang tidak jauh dari lokasi awal tetapi tetap dengan suasana
yang masih alami. Bahkan jalannya pun di desain sendiri oleh
mereka.
Penanganan seperti ini menjauhkan kami dari masalah
yang timbul dari pembebasan tanah. Mungkin bisa disebut
membangun dengan empati.
Sebelum pembebasan tanah, dilakukan dulu musyawarah
dengan pemilik tanah. Mereka ditanya keinginannya. Disarankan
pindah pada lokasi dengan harga tanah yang lebih murah
sehingga bisa memperoleh tanah yang lebih luas dibanding
lokasi awal.
Kami juga tidak pernah membayar lunas tetapi ditahan dulu
sisanya 20 persen. Tentunya dengan cara sukarela. Paling lama
ditahan sampai tempat tinggal yang baru sudah terbangun.
Dengan demikian masih ada uang yang tersisa buat modal
usaha dan keperluan lainnya.
Saya kurang setuju kalau dikatakan pengembang
menyusahkan rakyat. Coba buktikan disini (Alam Sutera red.)
13
14. Laporan Utama
siapa yang hidupnya lebih melarat setelah tanahnya dibebaskan.
Kalau pun ada biasanya itu hanya kasus.
Kesesuaian dengan tata ruang perlu mendapat perhatian.
Apakah hal ini menjadi kendala selama ini?.
Selama ini sih tidak ada masalah. Tetapi memang integrasi
antarpengembang itu seharusnya bisa diantisipasi oleh
pemerintah sejak awal. Ini masalah visi. Misal keberadaan
jalan tol. Seharusnya bisa dikoordinasikan oleh pemerintah
pengembangan jalan aksesnya sehingga bisa menguntungkan
semua pihak. Dalam beberapa kasus, tidak terjadi sinergi
antarpengembang.
Pernah diupayakan integrasi pada tahun 1994. Namun pada
saat itu daerah belum berkembang. Namun ketika daerahnya
telah berkembang pesat, pemerintah terlambat mengantisipasi
integrasi antarpengembang. Salah satu sebabnya kemungkinan
karena pembangunan kawasan perumahan ini mencakup
dua pemerintah daerah (Tangerang dan Tangerang Selatan
red.). Sehingga relatif lebih sulit terlaksana integrasi
antarpengembang.
Selain itu, perubahan kebijakan maupun regulasi sering
tidak tersosialisasikan dengan baik sehingga tidak terantisipasi
oleh pengembang. Implementasinya pun sering tiba-tiba.
sumber foto: Alam Sutera
Keberadaan perumahan skala besar membutuhkan layanan
dasar seperti air, sanitasi, listrik, dan lainnya. Apakah semuanya
disiapkan oleh pengembang? Bagaimana dengan bantuan
pemerintah daerah?
Kami menyediakan sendiri SKTR (Saluran Kabel Tegangan
Rendah red.) berupa saluran listrik bawah tanah. Jika
menggunakan kabel atas tanah, maka PLN yang menyiapkan.
Tetapi jika kabel bawah tanah, pengembang yang membangun
sendiri dengan supervisi PLN. Setelah 5 (lima) tahun baru
diserahkan pada PLN.
Sementara air minum, bersumber dari WTP (Water
Treatment Plant red.) yang dibangun sendiri dan dikelola
sendiri. Kami membeli air baku dari pemerintah. Setelah jadi
air minum, kami membayar royalti ke PDAM. Sumber lainnya
berupa air baku dari PDAM yang disalurkan ke WTP. Seluruhnya
didistribusikan oleh kami. Penetapan harga untuk kebutuhan
14
dasar ditetapkan oleh PDAM. Sementara di luar kebutuhan
dasar, harga air ditetapkan oleh kami.
Pengolahan air limbah dilakukan di setiap rumah. Jadi air
kotor (black water red.) dan air hasil cucian dikelola khusus.
Hanya air hujan yang langsung disalurkan ke saluran drainase.
Itu pun sisa dari proses peresapan.
Berdasar pengalaman selama ini, hal apa yang menjadi
kendala/hambatan terbesar dalam pembangunan perumahan
skala besar di perkotaan?
Proses pembebasan tanah skala besar membutuhkan waktu
yang lama bahkan setidaknya lebih dari 5 (lima) tahun. Selain
itu, integrasi antarpengembang juga merupakan salah satu
kendala. Disamping juga kemampuan pemerintah yang terbatas
dalam pembangunan infrastruktur skala besar.
Terdapat juga hal yang menjadi kendala bagi seluruh
pengembang, yaitu masih belum jelasnya aturan dan
mekanisme penyerahan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas
umum (fasum). Walaupun Permendagri nya (Permendagri
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan
Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman
di Daerah red.) sudah ada, tetapi masih bersifat terlalu
umum. Sebagai contoh, aturan menyatakan seluruh fasos dan
fasum diserahkan kepada pemda sementara beberapa fasilitas
itu menjadi hak dari institusi di luar pemda. Seperti listrik
yang menjadi hak PLN, air menjadi hak PDAM. Akibatnya,
hanya fasos dan fasum yang diserahkan ke pemda saja yang
diperhitungkan. Ada lagi pemda yang tidak memasukkan
tanah pemakaman umum sebagai bagian dari fasos dan
fasum.
Jadi harapan kami adalah seluruh fasos dan fasum yang
diserahkan baik kepada pemda maupun institusi lain itu
seluruhnya dianggap sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban
pengembang. Ketidakjelasan seperti ini akan memberatkan bagi
pengembang. Ujung-ujungnya yang terkena dampaknya adalah
konsumen berupa kenaikan harga rumah.
Kami menyarankan agar permendagri ini dapat segera
di revisi. Tentunya dalam prosesnya juga melibatkan para
pengembang.
Terkait dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang
Perkotaan, adakah aspek/konsep/gagasan yang ingin
disampaikan kepada pemerintah?
Kota harus diatur tidak hanya dari sisi tata guna lahan
tetapi juga pengaturan bangunannya (building code) secara
rinci. Misalnya, setiap kota harus dilengkapi dengan aturan
pengelolaan air limbah. Kami disini sudah menyaratkan bahwa
setiap bangunan tinggi harus memiliki instalasi pengolahan air
limbah. Tetapi upaya kami ini terkendala oleh ketidaktersediaan
regulasi yang mendukung. Sebagai pengembang, kami
membutuhkan regulasi pendukung (OM).
15. Edisi 4 - 2013
B
erawal dari sebuah impian akan
terciptanya sebuah kehidupan yang
harmonis; sebuah kawasan yang
dihuni oleh masyarakat yang memiliki kesadaran
akan pentingnya hidup, tumbuh dan berkembang
di tengah lingkungan yang sehat, nyaman, dan
aman serta memiliki fasilitas pendukung yang
lengkap dan berkualitas.
Alam Sutera dikembangkan bukan semata-mata
untuk tujuan komersial melainkan lebih kepada
terwujudnya sebuah kawasan di mana masyarakat
yang tinggal di dalamnya dapat memiliki sebuah
kehidupan yang berkualitas.
Di Alam Sutera kami memahami bahwa hakikat
kehidupan adalah keseimbangan. Kami berusaha
untuk menemukan hidup yang seimbang antara
pekerjaan dan keluarga, antara cita-cita yang ideal
dan kenyamanan modern, antara gaya hidup kota
besar dan kehidupan kota kecil yang merakyat.
Bagi kami, untuk meraih kesuksesan juga
diperlukan adanya kontribusi dan komitmen
untuk memberikan yang terbaik bagi
kesejahteraan orang lain.
15
16. Laporan Khusus
Memperingati 39 Tahun Perumnas
Rumah Rakyat
Saatnya Berdayakan Perumnas Secara Maksimal
Backlog jadi kata kunci pembangunan rumah rakyat, angkanya terus
melambung. Peran Perumnas sebagai BUMN perumahan seharusnya
dimaksimalkan.
M
encermati pembangunan rumah subsidi untuk kalangan
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), kian hari kian
jauh dari harapan. Kekurangan pasokan rumah yang ber
tambah setiap tahun disertai laju peningkatan harga tiap tahunnya
membuat kekhawatiran yang mendalam soal keterjangkauan MBR
ini. Tiap tahun kenaikan harga rumah bisa mencapai 30 persen pa
dahal kenaikan pendapatan masyarakat hanya sampai 10 persen.
Hingga kini kekurangan pasokan rumah (backlog) terus meng
gelembung hingga 15 juta unit. Dari jumlah tersebut, hampir 90
persen adalah masyarakat berpenghasil n rendah. Angka ini diyakini
a
akan berlipat cepat hingga akhir tahun, karena adanya inflasi yang
tinggi imbas dari kenaikan bahan bakar minyak pada awal Juli lalu
dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar.
Seperti yang sudah terjadi sebelumnya, masalah ini pun akan
bermuara pada naiknya harga properti tak terkecuali rumah subsidi
bagi MBR. Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) pun be
rencana akan menaikkan harga rumah subsidi bagi masyarakat ber
penghasilan rendah ini. Rencananya kenaikan ini baru akan dilaku
kan pada awal tahun depan walau developer swasta sudah berteriak
agar harganya segera dinaikkan.
Kenaikan rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasil n rendah
a
ini pun mendapat tanggapan yang beragam. Banyak pihak mengar
tikan kenaikan rumah subsidi ini disebabkan pemerintah tak bisa
memproteksi rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Lebih
jauh, rumah subsidi ini pun tak jauh beda dengan rumah komersial
yang harganya ditentukan melalui mekanisme pasar.
Berdayakan Perumnas
Kemenpera mengakui bahwa pasokan rumah subsidi bagi
masyarakat berpenghasilan rendah ini banyak meng ndalkan peran
a
swasta. Satu-satunya developer plat me ah (BUMN) yakni Perumnas
r
masih belum bisa bergerak banyak dalam memenuhi pasokan rumah
subsidi tersebut. Pangihutan Marpaung yang juga Dewan Pengawas
(De as) Perumnas mengatakan, Perumnas belum bisa dimaksimal
w
kan perannya, karena masih terkendala lahan maupun modal kerja.
Tak seperti perusahaan BUMN lainnya, yang terkait dengan sek
tor “vital”, dukungan pemerintah kepada Perumnas memang belum
maksimal. Dukungan tersebut seperti pemberian dana kewajiban
layanan publik (public service obligation/PSO). Hal ini menyebabkan
berbagai rencana untuk meningkatkan pasokan rumah subsidi men
jadi sulit tercapai. Perumnas pun merasakan kendala yang sama se
16
perti pengembang perumahan swasta. Seperti mahalnya harga la an
h
untuk pengembangan perumahan, bahan bangun n dan masalah
a
lain seperti pajak dan ruwetnya soal perizinan yang juga harus dilalui
dalam pengembangan rumah subsidi.
Direktur Utama Perumnas, Himawan Arief menjelaskan, tanpa
adanya terobosan dan dukungan dari pemerintah, pembangunan
rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah akan stagnan.
Target tahun ini Perumnas akan membangun rumah sebanyak 15
ribu unit dan sekitar 70 persennya adalah rumah subsidi, yang akan
sulit tercapai. “Namun kita tak berdiam diri untuk memenuhi target
tersebut. Berbagai cara kita lakukan de gan bekerja sama bersama
n
pemerintah kota dan kabupaten terkait pengembangan rumah sub
sidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah ini. Begitupun dengan
BUMN lainnya kita juga bekerjasama ,” imbuh Himawan.
Lebih jauh Himawan mengatakan, idealnya dalam se ahun
t
Perumnas bisa mengembangkan 50 ribu unit rumah subsidi. “De
ngan catatan rumah tapak subsidi yang dikembangkan Perumnas
har anya Rp 60 juta/unit. Sedangkan untuk rumah susun subsidi
g
harganya Rp 150 juta/unit. Dengan target seperti ini, tentunya perlu
dukungan dana lebih kurang Rp 1 triliun.
Seperti pada tahun 2011, Perumnas mengusulkan dana PSO
tersebut sebesar Rp 1 triliun dan disetujui Kemenpera sebesar Rp
400 miliar namun sayangnya dana tersebut tidak terealisasi alias
tidak jadi cair. Selanjutnya di tahun 2012 lalu dana PSO kembali
diusulkan dan naik menjadi Rp 1,25 triliun, tapi usulan ini tak ada
tanggapan dari pemerintah.
Tak dipungkiri jika ditarik jauh ke belakang, dukungan
pemerintah terhadap pembangunan perumahan khususnya kepada
Perumnas memang merosot tajam. Saat Orde Baru, peran Perumnas
mendapat campur tangan langsung dari Presiden Soeharto. Selepas
reformasi memang sedikit berbeda, kementerian yang mengurus
perumahan rakyat pun sempat hilang beberapa waktu. Angin
perubah n sempat berembus pada tahun 2006 saat Wakil Presiden
a
Jusuf Kalla (JK) mencanangkan program pembangunan 1.000 tower
rumah susun sederhana milik di kota-kota besar. Sayang, program
ini pun seperti mati suri selepas JK tak lagi berkuasa.
Mencermati dinamika permasalahan yang ada dan bercermin
pada masa-masa keemasan pembangunan perumahan. Maka tak ada
salahnya peran Perumnas kembali digerakkan sebagaimana mesti
nya dengan dukungan penuh untuk kembali menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya menyelesaikan masalah pembangunan rumah
bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang berpenghasil n rendah.
a
Karena jika disamakan dengan swasta tentunya Perumnas akan
keteteran dan mau tak mau Perumnas juga mengikuti mekanisme pasar.
Rumah murah subsidi pun akan semakin jauh dari harapan (aan).
17. Edisi 4 - 2013
Wawancara Himawan Arief (Direktur Utama Perumnas)
Rebranding untuk Tetap Eksis
R
encana besar telah disiapkan dalam menyambut tahun
depan terkait usia Perumnas yang akan genap 40 tahun.
Sebuah perjalanan waktu yang tak pendek, banyak orang
bilang usia 40 adalah simbol kedewasaan, kesuksesan. Nah, dengan
mengambil momentum 40 tahun Perumnas, Direksi Perumnas
menggagas sebuah perubahan dengan tagline “Perumnas Baru”.
Berbagai persiapan dan perencanaan telah dijalankan untuk
merubah wajah Perumnas ke depan. Diantaranya seperti sinergi
dengan berbagai pihak, memperbaiki sistim kerja dan tentunya
melakukan rebranding untuk mewujudkan misi perusahaan
sebagai penyedia hunian yang layak bagi masyarakat Indonesia.
Berikut petikan wawancara dengan Himawan Arief, Direktur Utama
Perumnas.
Apa bedanya Perumnas baru dengan saat ini ?
Kami sudah melakukan berbagai transformasi dalam rangka
menyambut ulang tahun Perumnas yang ke 40, di tahun depan.
Contohnya semakin banyak diversifikasi perusahaan dan akan
membuat gerak Perumnas lebih baik dengan adanya anak-anak
perusahaan. Kami akan terus membangun rumah susun atau
apartemen lebih banyak yang dikhususkan kepada masyarakat
menengah-bawah.
Kemudian anak perusahaan didorong untuk membangun
produk properti komersial. Contohnya di Semarang, Jawa Tengah
kita baru saja launching proyek Sentraland. Selain itu kami juga
akan terus melakukan sinergi dengan BUMN dan memperbaiki
sistim kerja di dalam perusahaan. Dan yang terakhir adalah
melakukan rebranding, mengganti logo, ganti penampilan.
Saat ini untuk komersial dan hunian vertikal akan lebih
banyak dikembangkan ?
Sebenarnya untuk komersial, porsi kami sedikit. Kami bergerak
sesuai misi di rumah landed (tapak red.) dan rusun. Namun
saat ini kita juga mendorong properti komersil juga untuk lebih
besar. Meskipun begitu, pada dasarnya Perumnas tetap pada
properti menengah-bawah, anak perusahaan khusus untuk garap
menengah-atas.
Sekarang masih sedikit tapi akan terus kita dorong agar properti
komersial bisa 25 persen. Untuk saat ini, perkembangannya belum
5 persen, kebanyakan landed house. Bangunan vertikalnya baru di
Semarang, Jawa Tengah. Ke depan akan kita kembangkan proyek
sejenis di beberapa kota lagi.
Apa tujuan Perumnas bermain di komersial ?
Semua ingin terus maju dan berkembang. Nah, kalau kami
hanya bermain di kelas rumah bawah saja Perumnas tidak akan
berkembang. Selain itu, kami juga dituntut oleh pemegang saham
agar terus tumbuh. Kami harus bisa menyeimbangkan agar terus
tumbuh. Di sisi lain, kami juga tetap fokus dengan program
utama. Tapi kami juga harus sustain sebagai perusahaan yang
menguntungkan dan berkembang.
Ada langkah khusus
yang dilakukan saat ini
karena sudah memasuki
kelas komersial ?
Tentunya ada, karena
konsumen kelas atas dan
menangah-bawah itu
pasti beda. Maka untuk
membangun komersial
untuk kelas menengah-atas
kita buat anak usaha dan
sumber foto: istimewa
ditangani oleh staf yang
memang memiliki kemampuan mengelola kelas ini. Kami sadar
secara marketing beda, produk beda, promosi juga beda dan ini
tidak bisa dicampur adukkan perusahaannya.
Melihat kebutuhan rumah bagi masyarakat masih tinggi.
Langkah apa yang akan dilakukan sebagai perusahaan negara agar
pembangunan bisa lebih masif lagi ?
Saat ini kebutuhan rumah masih sangat tinggi, khususnya
di perkotaan tapi persediaan lahan masih sulit. Ini merupakan
masalah utama yang mendasar. Sementara tanah Perumnas di
pusat kota juga semakin sedikit dan kian menipis. Untuk itu kami
berharap sinergi dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah,
terutama pemilik lahan baik BUMN atau Pemda untuk bekerjasama
dengan kami untuk mengoptimalkan aset yang ada.
Sebetulnya Pemda dan BUMN sulit menyediakan lahan, apa
yang akan dilakukan ?
Sesulit apapun harus diterobos. Kami mengalami kesulitan,
Pemda juga mengalami kesulitan. Tentu itu harus diupayakan terusmenerus. Harus ada langkah yang pasti dan sabar dan berkali-kali
dalam menyelesaikannya.
Masalah atau kendala lainnya ?
Lahan adalah kendala utama. Kendala lainnya adalah masalah
daya beli masyarakat. Kemampuan masyarakat kita terkait daya beli
itu rendah kalau tak diberikan support seperti subsidi, maka akan
sulit. Oleh sebab itu, kordinasi dan saling support antarinstansi
sangat diperlukan.
Perumnas ini badan negara, apakah selama ini ada
kemudahan yang diberikan untuk jalannya program ?
Tidak terlalu, tak ada bedanya dengan developer swasta.
Paling tidak hubungan kita dengan Pemda saja yang lebih dekat.
Tapi insentif apapun tidak ada. Kami sebagai National Housing
Development inginnya dapat diperankan secara maksimal dan di
support. Seperti kementerian teknis lain, memberi support badan
usaha yang bergerak di bawahnya, seperti perhubungan. Ini yang
kita harapkan bisa berjalan. Mungkin melihat prioritas yang ada,
kita belum (aan).
17
18. Segmen
Oswar Mungkasa2
Sekilas tentang Hunian Berimbang
onsep hunian berimbang telah dikenal lama dalam
ilmu perencanaan kota maupun sosiologi perko
taan, sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan
sosiologis masya akat. Ide dasarnya bahwa keberadaan
r
beragam strata sosial dalam satu lingkungan hunian akan
menjamin terciptanya kerukunan diantara berbagai strata
yang ada. Selain itu, akan menjamin tersedianya rumah
bagi masyarakat berpendapatan rendah.
Kesadaran akan pentingnya konsep ini yang mendorong
pemerintah mengadopsinya melalui penetapan lingkung
an hunian berimbang dalam Surat Keputusan Bersama
(SKB) 3 Menteri Tahun 1992, sehingga diharapkan bahwa
konsep hunian berimbang dapat terwujud3. Walaupun
kemudian ternyata penerapannya tidak semudah yang
dibayangkan, sehingga sampai saat ini masih sangat sedikit
pembangunan perumahan yang menerapkan konsep ini.
Konsep hunian berimbang kemudian dicantumkan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumah
an dan Kawasan Permukiman pasal 34 sampai pasal 37 (li
hat boks), dan ditindaklanjuti dalam Permenpera Nomor
10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang.
Hunian berimbang didefinisikan sebagai perumahan
dan kawasan pemukiman yang dibangun secara berimbang
dengan komposisi tertentu dalam bentuk rumah tunggal
dan rumah deret antara rumah sederhana, rumah mene
ngah dan rumah mewah atau dalam bentuk rumah susun
antara rumah susun umum dan rumah susun komersial
(Pasal 1 Permenpera Nomor 10/2012).
Tujuan Hunian Berimbang adalah untuk (i) menjamin
tersedianya rumah mewah, rumah menengah dan rumah
sederhana bagi masyarakat yang dibangun dalam satu ham
paran atau tidak dalam satu hamparan untuk rumah seder
hana; (ii) mewujudkan kerukunan antarberbagai golongan
masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan
status sosial dalam perumahan, pemukiman, lingkung n
a
K
18
hunian dan kawasan pemukiman; (iii) mewujudkan sub
sidi silang untuk penyediaan prasarana, sarana dan utilitas
umum serta pembiayaan pembangunan perumahan; (iv)
menciptakan keserasian tempat bermukim baik secara so
sial dan ekonomi; dan (v) mendayagunakan penggunaan
lahan yang diperuntukkan bagi perumahan dan kawasan
pemukiman (pasal 3 Permenpera Nomor 10/2012).
Penyelenggaraan peru ah dan kawasan permukiman
m an
dengan Hunian Berimbang dilaksanakan di perumahan,
permukiman, ling ungan hunian dan kawasan permukim
k
an dengan skala sebagai berikut (i) perumahan dengan
jumlah rumah sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) sam
pai dengan 1.000 (seribu) rumah; (ii) permukim n dengan
a
jumlah rumah sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) sampai
dengan 3.000 (tiga ribu) rumah; (iii) Lingkungan hunian
dengan jumlah rumah sekurang-kurangnya 3.000 (tiga
ribu) sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) rumah; dan
(iv) kawasan permukiman dengan jumlah rumah lebih dari
10.000 (sepuluh ribu) rumah.
Lokasi untuk hunian berimbang dapat dilaksanakan
dalam satu kabupaten/kota pada satu hamparan; atau
tidak dalam satu hamparan. Lokasi Hunian Berimbang
dalam satu hamparan sekurang-kurangnya menampung
1.000 (seribu) rumah dan untuk lokasi yang tidak dalam
satu hamparan sekurang-kurangnya menampung 50 (lima
puluh) rumah.
Sementara persyaratan komposisi atas Hunian Berim
bang adalah berdasarkan: (i) Jumlah rumah; atau (ii) Luas
an lahan. Komposisi berdasarkan jumlah rumah merupa
1. Tulisan ini merupakan rangkuman penulis dari hasil diskusi REI dan Lembaga
Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LPP3I)
tentang Hunian Berimbang di Hotel Ciputra, Citraland tanggal 6 Maret 2013.
2. Pemimpin redaksi HUDmagz.
3. Sebagai ilustrasi, dalam konsideran menimbang huruf b. SKB 3 Menteri
dicantumkan bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan perumahan dan
permukiman yang serasi, perlu diwujudkan lingkungan permukiman yang
penghuninya terdiri dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial yang
saling membutuhkan dengan dilandasi rasa kekeluargaan, kebersamaan dan
kegotongroyongan, serta menghindari terciptanya lingkungan perumahan dengan
pengelompokan hunian yang dapat mendorong terjadinya kerawanan sosial.
19. Edisi 4 - 2013
kan perbandingan jumlah rumah sederhana, jumlah rumah a. Pembangunan rumah sederhana dalam skema hunian
menengah dan jumlah rumah mewah. Perbandingan yang
berimbang terkesan seperti pergeseran tanggungjawab
dimaksud adalah dalam skala 3:2:1, yaitu 3 (tiga) atau le
penyediaan perumahan dari pemerintah ke pengembang
bih rumah sederhana berbanding 2 (dua) rumah mene
ketika tidak tersedia insentif dari pemerintah
ngah berbanding 1 (satu) rumah mewah4.
Perumahan merupakan kebutuhan dasar bahkan
Komposisi berdasarkan luasan lahan merupakan per
bagian dari hak asasi manusia. Hal ini tercantum secara
bandingan luas lahan untuk rumah sederhana, terhadap
jelas mulai dari UUD 1945 berikut UUD 1945 Aman
luas lahan keseluruhan. Luasan lahan tersebut minimal
demen, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
25% dari luas lahan keseluruhan dengan jumlah rumah
Manusia Pasal 40, dan terbaru Undang-Undang Nomor
sederhana sekurang-kurangnya sama dengan jumlah ru
1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Per
mah mewah ditambah jumlah rumah menengah.
mukiman Pasal 129. Sebagai konsekuensinya, Negara
Selain itu, ditetapkan juga
dalam hal ini pemerintah bertanggungjawab agar ke
adanya Hunian Berimbang ru
butuhan akan perumahan masyarakat dapat terpenuhi.
mah susun yang merupa an
k
Walaupun dalam kenyataannya, masih sekitar 8,2 juta
perumahan atau lingkung
keluarga belum menempati
an hunian yang dibangun
rumah yang layak huni.
Pasal 34
secara berimbang antara ru (1) Badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib
Konsep hunian berimbang
mewujudkan
hunian berimbang.
mah susun komersial dan ru (2) Pembangunanperumahan dengan besar yang dilakukan oleh badan kemudian menjadi salah satu
perumahan skala
hukum wajib mewujudkan hunian berimbang dalam satu hamparan.
mah susun umum. Hunian
jalan keluar pemenuhan hak
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk
Berimbang yang dimaksud
perumahan masyarakat. Na
badan hukum yang membangun perumahan yang seluruhnya
ditujukan
tersebut minimal 20% (dua (4) Dalam haluntuk pemenuhan kebutuhan rumah umum.
mun dari kacamata pengem
pembangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan
puluh persen) dari total luas
bang, pelaksanaan konsep
insentif kepada badan hukum untuk mendorong pembangunan
lantai rumah susun komersial
hunian berimbang menjadi
perumahan dengan hunian berimbang.
yang dibangun adalah berupa
seperti pergeseran tanggung
Pasal 35
rumah susun umum. Rumah (1) Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang jawab dari peme intah kepa
r
meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah
susun umum tersebut dapat (2) Ketentuan mengenai hunian berimbang diatur dengan mewah.
da pihak pengembang. Kon
Peraturan
Menteri.
dibangun pada bangunan ter
disi ini sangat terasa ketika
pisah bangunan rumah susun
tidak tersedia insentif yang
Pasal 36
hal
komersial atau diba gun da (1) Dalamdalampembangunan perumahan dengan hunian berimbang memadai bagi pengembang
n
tidak
satu hamparan, pembangunan rumah umum harus
dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota.
lam satu hamparan dengan
dalam pelaksanaannya. Hal
(2) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
rumah susun komersial.
ini terlihat jelas pada pasal 34
harus mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau tempat kerja.
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
Perencanaan perumahan (3) Kemudahan aksesdaerah.
ayat 4 yang menyatakan ‘da
dengan peraturan
dan kawasan permukiman (4) Pembangunan perumahan dilakukan hunian berimbang sebagaimana lam hal pembangunan peru
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang sama.
dengan Hunian Berimbang
mahan sebagaimana dimak
Pasal 37
dapat dilaksanakan dalam
sud ayat (1)5, Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai perumahan skala besar dan kriteria
satu hamparan atau tidak da hunian berimbang sebagaimana dimaksud Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 36 dan/atau pemerintah daerah
dapat memberikan insentif
lam satu hamparan. Perenca diatur dengan Peraturan Menteri.
kepada badan hukum untuk
naan tidak dalam satu ham sumber: UU Nomor 1 Tahun 2011, tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
mendorong pembangunan
paran wajib dilakukan oleh
perumahan dengan hunian berimbang. Sementara pada
setiap orang yang sama dan perencanaan tersebut tertuang
pasal 54 ayat (2) disebutkan bahwa untuk memenuhi
dalam dokumen-dokumen berupa (i) Rencana tapak; (ii)
kebutuhan rumah bagi MBR, Pemerintah dan/atau pe
Desain rumah; (iii) Spesifikasi teknis rumah; (iv) Rencana
merintah daerah wajib memberikan kemudahan pem
kerja perwujud n hunian berimbang; (v) Rencana kerjasa
a
ma. Dokumen tersebut harus mendapat pengesahan dari
pemerintah daerah kabupaten/kota, khusus DKI Jakarta 4. Dalam Permenpera No. 10/2012 tercantum rumah komersil sebagai rumah yang
diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan.Rumah mewah sebagai rumah
oleh pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta.
komersial yang diselenggarakan dengan harga jual lebih besar dari 4 (empat)
Isu terkait Hunian Berimbang
Dalam diskusi terungkap beberapa isu utama, termasuk
juga hambatan pelaksanaan konsep hunian berimbang se
lama ini, yaitu:
kali harga jual rumah sederhana. Sedangkan rumah sederhana adalah rumah
umum yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 60 m2 sampai
dengan 200m2 dengan luas lantai bangunan paling sedikit 36 m2 dengan harga
jual sesuai ketentuan pemerintah. Selanjutnya, rumah menengah adalah rumah
komersial dengan harga jual lebih besar dari 1 (satu) sampai dengan 4 (empat)
kali harga jual rumah sederhana.
5. Pasal 34 ayat (1) menyatakan ‘Badan hukum yang melakukan pembangunan
perumahan wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang’
19
20. Segmen
bangunan dan perolehan rumah melalui program pe
rencanaan pembangunan perumahan secara bertahap
dan berkelanjutan. Jadi insentif tersebut hanya wajib
ketika membangun rumah bagi MBR tetapi menjadi
tidak wajib ketika terkait hunian berimbang. Perbedaan
ini menjadi terlihat seperti membedakan antara penye
dia rumah bagi MBR dan pengembang yang terkena
ketentuan hunian berimbang. Sementara pada dasarnya
keduanya juga membangun rumah sederhana. Bahkan
tidak tertutup kemungkinan jumlah rumah sederhana
yang dibangun dalam skema hunian berimbang jauh
lebih banyak dan masif.
b. Konsep hunian berimbang banyak disalahpahami sebagai
hanya sekedar mengurangi backlog, padahal filosofi utamanya adalah menjaga keserasian sosial dalam masyarakat
melalui hidup berdampingan diantara beragam strata sosial dalam satu lingkungan hunian. Hal ini sebenarnya
telah tercantum jelas dalam SKB 3 (tiga) Menteri ta
hun 1992 maupun dalam Permenpera No
mor 10 Tahun 2012. Sebagai akibatnya,
hunian berimbang dalam satu ham
paran adalah suatu keniscayaan. Na
mun perlu juga disepakati luasan
minimal yang dapat dikatego
rikan sebagai satu hamparan
yang memenuhi stan
dar kelayakan minimal
terbentuknya
suatu
ko unitas yang hete
m
rogen.
c. Konsep hunian berimbang dapat juga dilihat
sebagai salah satu bentuk
Corporate Social Responsibility (CSR).
Mempertimbangkan penyediaan pe
rumahan menjadi tanggung jawab pe
merintah/pemerintah daerah, beban yang
ditanggung pengembang dapat diperhitungkan sebagai
kontribusi CSR nya.
d. Pasar tanah dilepas ke pasar sehingga harga tanah tidak
terkendali. Kondisi ini menjadikan pengembang terbe
bani secara finansial, khususnya pada daerah dengan
harga tanah yang tinggi, ketika harus menyiapkan por
si tertentu lahan bagi kebutuhan rumah sederhana yang
harganya ditentukan. Sementara ke depannya tidak ada
jaminan bahwa kapling untuk rumah sederhana tidak
dipindahtangankan kepada mereka yang tidak berhak.
e. Penerapan konsep hunian berimbang perlu memperhatikan keberagaman daerah, dan tidak menerapkan skema
‘one fit for all’. Hal ini menjadikan penerapan konsep
hunian berimbang sulit dilaksanakan. Sebagai ilus
DENPASAR
20
trasi harga lahan di Jakarta berbeda dengan kota ke
cil di pedalaman pulau Sulawesi, termasuk juga biaya
pembangunan rumah yang berbeda signifikan dari satu
lokasi ke lokasi lain. Sepertinya pengaturan hunian
berimbang ‘bias kota besar’. Dibutuhkan fleksibilitas
yang memberi ruang bagi pemerintah masing-masing
daerah untuk merinci ketentuan hunian berimbang
dalam peraturan daerahnya sesuai dengan kondisi ma
sing-masing. Walaupun demikian, secara nasional perlu
ditetapkan variabel penentunya (saat ini berupa harga
rumah, luasan kapling dan jumlah rumah), yang ke
mudian masing-masing daerah dapat menyesuaikan.
f. Konsep hunian berimbang belum terakomodasi/terinternalisasi kedalam skema Rencana Tata Ruang. Sebagai
konsekuensinya, penerapan hunian berimbang dapat
bertabrakan dengan ketentuan atau penetapan tata ru
ang suatu wilayah. Sebagai ilustrasi, dalam rencana tata
ruang ditetapkan luasan kapling minimal yang tidak
sesuai dengan ketentuan hunian berimbang.
g. Penerapan skema hunian berimbang kurang mengakomodasi konsep sejenis yang telah ada sebelumnya seperti
skema Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan
Siap Bangun (Lisiba). Walaupun disadari juga bahwa
skema Kasiba dan Lisiba juga relatif tidak berjalan baik.
Tidak tertutup kemungkinan skema Kasiba dan Lisiba
dapat bersinergi dengan hunian berimbang.
h. Penerapan suatu kebijakan publik dalam hal ini hunian
berimbang membutuhkan dasar pijak yang kuat berupa
hasil evaluasi pelaksanaan hunian berimbang. Sementara
berdasar pengamatan pemangku kepentingan, pelak
sanaan konsep hunian berimbang secara resmi belum
pernah di evaluasi. Termasuk juga penetapan batasan
hamparan tidak melalui pengujian/simulasi. Akibat
nya permenpera tentang hunian berimbang menjadi
kurang matang konsepnya.
i. Penerapan hunian berimbang membutuhkan penegak
an hukum (law enforcement) yang kuat. Pengalaman
menunjukkan bahwa skema sejenis hunian berim
bang rawan penyalahgunaan. Sebagai ilustrasi, ketika
dibangun rumah sederhana pada lokasi dengan harga
tanah yang cukup mahal, terdapat kecenderungan ru
mah tersebut akan dialihkan ke pihak lain oleh pemi
liknya demi memperoleh keuntungan finansial jangka
pendek.
j. Penolakan (setidaknya tidak menjadi preferensi) dari ke
lompok strata tertentu untuk hidup berdampingan dalam
satu hamparan tertentu dengan kelompok strata bawah.
Walaupun sinyalemen ini tidak secara eksplisit dinya
takan tetapi biasanya terwujud dalam bentuk citra ka
wasan perumahan menjadi kurang ‘menjual’.
k. Pengaturan skema hunian berimbang melalui SKB 3
21. Edisi 4 - 2013
(tiga) menteri tidak mempunyai legitimasi yang kuat. Hal
ini yang ditengarai menjadi salah satu kendala penerap
an hunian berimbang selama ini. Walaupun demikian
sinyalemen ini belum pernah diuji kesahihannya.
l. Walaupun dianggap sulit diterapkan, namun ternyata
beberapa lokasi perumahan telah berupaya menerapkan
konsep hunian berimbang. Kementerian Perumahan
Rakyat mencatat setidaknya terdapat 5 (lima) lokasi
yang telah melaksanaan konsep ini yaitu Perumahan
Telaga Kahuripan (Kabupaten Bogor) seluas 750 ha,
Perumahan Bukit Semarang Baru di kabupaten Sema
rang seluas 1.250 ha, Perumahan Bukit Baruga di kota
Makassar seluas 1.000 ha, perumahan Driyorejo di ka
bupaten Gresik seluas 1.000 ha, dan Perumahan
Kurnia Jaya di kota Batam seluas 100 ha.
Agenda ke Depan
Dalam diskusi disepakati beberapa hal
diantaranya adalah (i) konsep hunian ber
imbang adalah suatu upaya mencegah ter
jadinya pengelompokan perumahan berdasar
strata sosial yang dapat mendorong terjadinya
kerawanan sosial. Selain itu, konsep hunian
berimbang juga mendukung pemerintah da
lam mengurangi backlog rumah layak huni dan terjangkau.
Namun pelaksanaannya yang membutuhkan suatu pan
duan yang rinci tetapi fleksibel disesuaikan dengan kon
disi masing-masing daerah; (ii) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2011 masih dianggap perlu ‘sedikit’ penyesuaian
terutama terkait kewajiban pemerintah/pemerintah daerah
mendukung penerapan skema lingkungan hunian berim
bang; (iii) Permenpera Nomor 10 Tahun 2012 yang se
layaknya menjadi acuan penerapan konsep hunian berim
bang, ternyata dipandang belum cukup memadai. Masih
terdapat banyak hal yang perlu diperjelas, diluruskan, dan
ditambahkan
Dalam penerapannya, konsep lingkungan hunian ber
imbang membutuhkan dukungan pemerintah setidaknya
dalam beberapa hal, yaitu.
a. Peninjauan kembali dan revisi terhadap Rencana Tata
Ruang Wilayah yang ada agar mengadopsi skema ling
kungan hunian berimbang. Sehingga penerapan skema
lingkungan hunian berimbang mempunyai acuan yang
jelas terkait aspek tata ruang.
b. Dilakukan upaya terobosan dalam mendukung penye
diaan rumah sederhana dalam skema lingkungan huni
an berimbang diantaranya dapat berupa pengenalan
konsep ‘freezing’ terhadap harga tanah, penyiapan bank
tanah, penerapan kembali (revitalisasi) skema Kasiba
dan Lisiba melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor
80 tahun 1999 tentang Kasiba dan Lisiba, pemberian
peran yang jelas kepada Perumnas sebagai ‘leading sector’ pembangunan perumahan publik, penyiapan in
sentif (disinsentif ) bagi pengembang.
c. Perlunya dilakukan kajian akademis disertai simulasi
terkait konsep hunian berimbang, khususnya terkait
besaran luasan hamparan dan jumlah rumah minimal
yang layak bagi terbentuknya sebuah komunitas so
sial yang harmonis, komposisi alternatif hunian ber
imbang (tidak mutlak 1:2:3), besaran beban finansial
maksimal yang dapat ditanggung oleh pengembang,
pilihan insentif yang wajib disediakan, kemungkinan
menjadikan kontribusi pengembang dalam
hunian berimbang menjadi ske
ma CSR pengembang.
Termasuk dalam hal
ini adalah kajian aka
demis terhadap tero
bosan yang akan di
lakukan. Keseluruhan
konsep hunian berim
bang tersebut seharusnya bersifat
fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan
kondisi masing-masing daerah. Penerapan sistem
indeks terhadap variabel yang diberlakukan secara na
sional menjadi suatu pilihan.
d. Penegasan kewenangan pemerintah, pemerintah pro
vinsi, pemerintah kabupaten/kota, pihak terkait lain
nya seperti Perumnas, BPN dalam penerapan skema
lingkungan hunian berimbang. Pada saat yang sama
juga perlu ditegaskan kewajiban pihak pengembang
termasuk masyarakat. Termasuk juga pilihan bentuk
kemitraan yang dapat dilakukan.
e. Penerapan skema hunian berimbang bersifat dinamis,
dalam arti ketika harga tanah dilepas ke pasar maka
kemungkinan akan terjadi ‘moral hazard’ berupa pen
jualan aset rumah sederhana kepada pihak lain yang
berpotensi ‘mengacaukan’ skema hunian berimbang.
Untuk itu, langkah pengendalian baik berupa peman
tauan, penerapan sanksi, penegakan hukum yang ketat
menjadi keniscayaan.
f. Bentuk dukungan tersebut sebaiknya tercantum dalam
Peraturan Menteri Perumahan Rakyat yang mengatur
tentang hunian berimbang. Untuk itu, disarankan agar
Kementerian Perumahan Rakyat melakukan penin
jauan kembali dan merevisi Permenpera terkait. Dalam
upaya peninjauan dan revisi tersebut seyogyanya meli
batkan pemangku kepentingan dan didasari oleh hasil
evaluasi pelaksanaan konsep hunian berimbang selama
ini, yang disertai hasil kajian/simulasi terhadap varia
bel/faktor yang ditetapkan sebagai penentu dimensi
hunian berimbang.
21
23. Pendapat
Edisi 4 - 2013
Belajar dari Singapore’s Central Provident Fund (CPF)
Sebuah Upaya Merancang
Tabungan Perumahan yang
Handal di Indonesia
Oswar Mungkasa*
S
ingapore’s Central Provident Fund (CPF) diresmikan
pada tahun 1955, merupakan tonggak kebijakan
sosial ekonomi Singapura yang mempengaruhi ke
hidupan hampir seluruh penduduk.
Skema CPF berbeda dengan model pay-as-you-go
(PAYG) di kebanyakan negara Barat, yang membayar pen
siun dari kontribusi pekerja saat ini.
Dalam perjalanannya CPF mengalami pembenahan.
Dimulai tahun 1968 ketika dikeluarkan ‘Public Housing
Scheme’ yang memungkinkan pemanfaatan CPF untuk
membeli rumah publik. Sementara pembelian rumah
privat diperbolehkan pada tahun 1981, ditindaklanjuti
pada tahun 1986 berupa keleluasaan pembelian properti
bukan perumahan. Bahkan pada tahun 1990, biaya per
baikan properti diperbolehkan.
Konsep
l Tujuan
Singapore’s Central Provident Fund (CPF) awalnya me
rupakan sebuah rencana tabungan jaminan sosial bagi war
ga negara dan Permanent Residents (PRs) yang memung
kinkan mereka menyisihkan sejumlah dana untuk jaminan
pensiun, namun kemudian diperluas mencakup jaminan
kesehatan, kepemilikan rumah, perlindungan keluarga
dan penguatan aset.
Setiap warga negara, PRs dan pemberi kerja menyisih
kan kontribusinya kedalam 3 (tiga) rekening CPF, yaitu (i)
Ordinary Account (OA), dipergunakan untuk pembelian
properti, asuransi, investasi dan pendidikan; (ii) Special Account (SA), bagi penduduk senior, kebutuhan darurat dan
investasi produk terkait pensiun; (iii) Medisave Account
(MA), untuk kesehatan.
l Pengelolaan
Keseluruhan pengelolaan CPF ditangani oleh sebuah
Dewan yang disebut CPF Board, yang dibentuk berdasar
undang-undang? dan beroperasi dibawah pe
ngendalian kementerian sumber daya manusia.
Anggota Dewan ditunjuk oleh Kementerian SDM,
terdiri dari perwakilan pemerintah, pekerja, pem
beri kerja, dan profesional.Dewan bertanggungjawab
melaksanakan kegiatan administrasi rutin, tetapi tidak
termasuk membuat keputusan investasi dan menetapkan
kebijakan.Investasi merupakan tanggungjawab utama dari
Government of Singapore Investment Corporation (GIC),
yang me upakan perusahaan swasta milik pemerintah
r
(Asher and Newman, 2001).
l Keanggotaan dan Kontribusi
Setiap bulan, pemberi kerja dan pekerja (hanya warga
negara Singapura dan PRs) berkontribusi pada CPF. Ben
tuk kontribusi beragam. Pemberi kerja akan membayarkan
bagi pekerjanya yang berpenghasilan di atas S$50 per bu
lan. Bagi pekerja yang memperoleh lebih besar dari S$500
per bulan, baik pemberi kerja dan pekerja diharuskan
berkontribusi pada rekening CPF pekerja.
Besarnya kontribusi mempertimbangkan pendapatan
per bulan, kelompok usia, bidang pekerjaan dan lama
menetap bagi PRs serta disesuaikan setiap tahun
berdasarkan kondisi ekonomi domestik. Kon
tribusi bervariasi dari minimal 3,75% sampai
20% dari pendapatan per bulan bagi pekerja,
Fakta Menarik tentang Singapura
l Penduduk : 5 juta,
l Luas : 710 km2
l Pendapatan per kapita (2009) US$37,000 (sekitar 10
kali Indonesia)
l Kepemilikan rumah : 89%
l Housing Stock: publik 884.000 unit (78%), dengan tingkat
kepemilikan 95%; swasta 249.000 unit (22%), dengan tingkat
kepemilikan 83%.
l Penjualan langsung oleh Housing Development Board (HDB) hanya
diperuntukkan bagi warga negara yang mampu, tetapi permanent
resident (PRs) dapat membeli melalui pasar sekunder. Sementara
penyediaan oleh swasta berupa rumah hanya untuk warga
negara, tetapi PRs dan warga asing dapat memiliki apartemen dan
kondomonium (Phang, 2010)
l Satu-satunya negara yang memberikan dividen kepada seluruh
warga negaranya sebagai hasil pertumbuhan ekonominya.
23
24. Pendapat
Tabel 1 Tingkat Kontribusi CPF dan Proporsi per Jenis Rekening
Pemanfaatan untuk Pemilikan Rumah
Tingkat pemilikan rumah di Singapura
mencapai lebih dari 90% terutama ditunjang
oleh keberadaan sumber dana CPF (Hateley
<35
14,5
20,0
34,5
and Tan, 2003). Anggota CPF dimungkin
36 – 45
14,5
20,0
34,5
kan menggunakan dana CPF melalui the
46 – 50
14,5
20,0
34,5
Public Housing Scheme (PHS) dan the Resi51 – 55
10,5
18,0
28,5
dential Properties Scheme (RPS) untuk memi
56 – 60
7,5
12,5
20,0
61 – 65
5,0
7,5
12,5
liki rumah. Kedua skema ini memungkinkan
> 65
5,0
5,0
10,0
dana di Ordinary Account dipinjam untuk
Sumber: Central Provident Fund Board (2008)
membiayai pembelian rumah publik dan/
sementara pemberi kerja berkontribusi antara 2,625%
atau rumah non-publik. Berdasar skema
sampai 14,5% dari pendapatan per bulan pekerja. Penda tersebut, anggota CPF dimungkinkan meminjam sampai
patan pekerja yang wajib dikenakan kontribusi dibatasi 100% dari nilai rumah.Jika dikemudian hari rumah dijual,
sampai S$4.500.
pinjaman harus dikembalikan berikut bunganya.Tidak ada
Setiap rekening memperoleh tingkat bunga sebesar pembatasan berapa kali pembelian rumah dapat dilakukan.
minimum 2,5% per tahun untuk OA, sampai 4% per ta Pada akhir 2007, 1,29 juta anggota telah memanfaatkan
hun untuk SA dan MA, tergantung pada tingkat bunga dana CPF untuk membeli apartemen publik, jauh melam
domestik, dan ditinjau setiap triwulan.
paui jumlah pada tahun 1968 yang hanya 2.900 anggota.
Sejak tahun 1986, besaran kontribusi relatif stabil pada Sebagai tambahan, 226 ribu anggota memanfaatkan dana
kisaran 30-40% dari pendapatan pekerja.Kontribusi pem CPF untuk membeli perumahan privat. Sejumlah S5,9
beri kerja yang relatif berfluktuasi (lebih jelasnya pada miliar telah digunakan dari CPF pada 2007 untuk kebu
Gambar 1).
tuhan pembelian rumah (CPF Board, 2009).
Pada tahun 2009, besarnya pinjaman KPR yang
Gambar 1 Fluktuasi Kontribusi CPF 1
disalurkan melalui Housing Development
Pemberi Kerja
Pekerja
Total
Board yang membangun perumahan publik
telah mencapai S$ 47 miliar, sementara be
sarnya KPR untuk perumahan swasta melalui
perbankan mencapai $91 miliar. Keseluruhan
KPR mempunyai kontribusi signifikan ter
hadap Produk Domestik Bruto, yaitu menca
pai 54%.
Kondisi Kondusif bagi CPF
Tentunya kesuksesan CPF didukung oleh
berbagai kondisi (Phang, 2010), diantaranya
(i) kondisi ekonomi makro berupa tingkat
sumber: CPF Board (2010)
tabungan dan pertumbuhan pendapatan
Gambar 2 Mobilisasi Tabungan: Perumahan Publik
tinggi, tingkat bunga, inflasi dan pengang
hibah
guran rendah, surplus anggaran pemerin
pemerintah dan
Perumahan Publik
tah, dan kecenderungan penguatan mata
pinjaman
2.5%
uang Singapura dalam jangka panjang; (ii)
hibah perumahan
pasar
dan pinjaman
pembelian
dukung n pemerintah berupa penyediaan
a
uang muka dan
jual
KPR 2.6%
langsung
pembayaran KPR
kembali
sumber keuangan kepada HDB untuk pem
Pembelian
bangunan, pemeliharaan, dan perbaikan pe
bonds
pemberi kerja dan
rumahan, pinjaman pemerintah untuk HDB
pekerja/pembeli
pemerintah
pendapatan
rumah
2.5%
kontribusi OA 2.5%
bagi penyediaan KPR, alokasi lahan bagi pe
rumahan HDB, dan perencanaan kota ter
uang muka dan
tingkat bunga
padu; (iii) pendanaan perumahan berupa
pembayaran KPR
pasar KPR
Bank
tingkat bunga tabungan CPF disesuaikan
Komersial
dengan bunga komersil dengan minimum
Rasio Kontribusi Tiap Jenis Rekening
Ordinary
Special
Medisave
Account
Account
Account
0,67
0,15
0,19
0,61
0,17
0,22
0,55
0,20
0,25
0,46
0,24
0,30
0,58
0
0,42
0,28
0
0,72
0,10
0
0,90
Proporsi terhadap gaji pekerja
Usia
Kontribusi Kontribusi Total Kontribusi
Pekerja
Pemberi
Pekerja
(% gaji)
(tahun) Kerja (% gaji) (% gaji)
sumber: CPF Board (2010)
24
25. Edisi 4 - 2013
Gambar 3 Aliran Dana Skema Pemilikan Rumah CPF
di Singapura (Asher dan Nandy, 2006), dan
merupakan penggerak utama kepemilikan
rumah yang mencapai tingkatan melebihi
Perumahan Publik
pinjaman
90%. Bahkan pada tahun 2003, diantara ru
pemerintah
$2,8 miliar
pinjaman
KPR $2,9 miliar
mah tangga dengan pendapatan 20% teren
pasar
Hibah
dah yang bertempat tinggal di rumah publik,
jual
perumahan CPF
kembali
$0,3 miliar
87% merupakan pemilik rumah.
pembelian
Berkaitan dengan itu, properti perumah
bond
pemberi kerja dan
pemerintah
pekerja/pembeli
$15,5 miliar
an merupakan komponen terpenting dari
kontribusi $20,3 miliar
rumah
kesejahteraan keluarga di Singapura, dengan
penarikan bersih untuk
sekitar 47% dari total aset rumah tangga di
perumahan publik $4,5 miliar
tingkat bunga
pasar KPR
tanamkan pada properti perumahan. Secara
penarikan bersih untuk
Bank
perumahan swasta $1,3 miliar
Komersial
rata2, nilai aset rumah tangga yang bertem
pat tinggal di rumah milik sendiri mencapai
sumber: CPF Board (2010)
S$154.000 atau 3,3 kali pendapatan tahunan
Gambar 4 Skema Pendanaan Perumahan
mereka. Untuk pemilik rumah dengan penda
Swasta melalui Dana CPF
patan 20% terendah, rasio nilai aset terhadap pendapatan
mencapai 9,8 (Singapore Department of Statistics, 2005).
Perumahan Swasta
Pengembang
Dampak positif sistem CPF-HDB terhadap pere
konomian diantaranya adalah tingkat kepemilikan rumah
Pinjaman
dan tabungan yang tinggi, termobilisasinya tabungan
perumahan dan pertumbuhan KPR, pertumbuhan eko
Kontribusi
pemberi kerja dan
nomi melalui penyediaan perumahan, pengaturan melalui
pekerja/pembeli
rumah
regulasi mengurangi spekulasi permintaan perumahan,
Penarikan bersih
untuk perumahan
kebijakan dan tingkat bunga CPF sebagai instrumen
swasta $1,3 miliar
tingkat bunga
ekonomi makro untuk mengurangi inflasi dan mengurangi
pasar KPR
biaya gaji.
Bank
hibah pemerintah
$2 miliar
sumber: CPF Board (2010)
2,5%, pemerintah menyediakan dana pinjaman kepada
HDB pada tingkat bunga tabungan CPF, KPR HBD pada
tingkat bunga CPF plus 0,1%, dan kecenderungan pe
ningkatan harga rumah jangka panjang jauh melampaui
tingkat inflasi.
Kisah Sukses dan Pembelajaran
Per Maret 2008, terdapat 3,19 juta anggota dengan
jumlah dana S$140 miliar pada rekening CPF. Jika me
masukkan pinjaman rumah, investasi dan kebutuhan lain
nya, neraca CPF mencapai S$297 miliar. Pada triwulan I
2008, jumlah pemasukan mencapai S$5,9 miliar dan S$4
miliar telah dimanfaatkan oleh anggotanya (CPF Board,
2008).
Pada salah satu survei terhadap anggota CPF, mereka
menyatakan bahwa CPF yang memungkinkan mereka
mempunyai rumah (Sherraden, et. Al., 1995). Per tahun
2008, lebih dari 1,5 juta anggota, atau 47% dari anggota
CPF, yang memiliki rumah sendiri dengan memanfaatkan
dana CPF. Sejumlah S$131 miliar telah dimanfaatkan dari
dana CPF untuk kebutuhan ini. Sebagai akibatnya, CPF
berfungsi sebagai sumber dana pasar kredit perumahan
Keberhasilan dari CPF dapat dinilai dari 5 (lima) hal
(Loke, 2009), yaitu:
l Keinklusifan
Kebijakan akan efektif hanya ketika dapat menjangkau
penerima manfaat. Para ekonom perilaku telah menemu
kan bahwa partisipasi dapat diperkuat dengan mengurangi
hambatan keterlibatan dan mendorong keterlibatan secara
otomatis (Choi, Laibson dan Madrian, 2004). CPF memi
liki persyaratan ini dan beberapa fitur tambahan yang
membantu memaksimalkan partisipasi dan cakupan.
Untuk memasilitasi partisipasi, CPF menetapkan
persyaratan yang sangat mudah berupa batas ambang
pendapatan sangat rendah, serendah S$50 per bulan. Jika
memenuhi angka tersebut, secara otomatis kontribusi di
catatkan dalam rekening CPF, dan jika belum terdaftar
maka langsung dibukakan rekening. Individu wirausaha
juga didaftarkan ketika memulai usahanya. Mereka yang
membutuhkan lisensi usaha dipersyaratkan mempunyai
rekening CPF.
Insentif juga diperkenalkan bagi mereka yang tidak
terlibat dalam pasar kerja formal agar berpartisipasi dalam
CPF. Melalui skema Minimum Sum Top-up, pengurangan
pajak sampai sebesar S$7.000 per tahun diberikan jika
25
26. Pendapat
menambahkan dana ke rekening keluarganya (istri/suami,
saudara, mertua dan lainnya).
l Koheren dan Terpadu
Ke-koheren-an dan keterpaduan dapat dilihat dari 2
(dua) perspektif, yaitu kebijakan dan institusi. Pada ting
katan kebijakan, kebijakan berbasis aset akan memadu
kan beragam kebijakan kedalam satu (single), sederhana,
multiguna namun sistem koheren yang mengikuti pemilik
rekening sepanjang hidupnya (Shrraden, 2003). Pada ting
katan institusi, kebijakan berbasis aset akan memperbesar
infrastruktur institusi yang ada bagi keuntungan penerima
manfaat. Sebagai ilustrasi, melibatkan MBR dalam arus
utama keuangan dengan memungkinkan mereka berin
vestasi pada pasar modal.
CPF juga terpadu dengan tujuan pengembangan aset
seumur hidup. Misalnya mendorong dan memasilitasi
pemilikan rumah. Anggota CPF da
pat meminjam dari rekening CPF
nya. Sebagai tambahan, tabungan
CPF dapat dipinjam untuk pemba
yaran uang muka pembelian rumah.
Skema ini yang mendorong ting
ginya tingkat kepemilikan rumah di
Si gapura (Hateley dan Tan, 2003).
n
Keterpaduan juga menyangkut
rekening CPF dan beragam entitas
swasta seperti penyedia KPR.Sebagai
contoh, ketika membeli rumah, ang
gota dapat melakukan transfer langsung secara elektronik.
l Progresifitas
Menjadikan CPF sebagai alat pengembangan aset ber
skala luas yang efektif, tidak hanya dengan memastikan
partisipasi luas tetapi bahkan memungkinkan anggota
masyarakat yang kurang beruntung untuk dapat mening
katkan dananya secara signifikan. Walaupun CPF sendi
ri tidak memiliki elemen progresif, CPF didesain terpadu
dengan kebijakan lain yang memperkuat perekonomian
MBR. Dewan CPF mengusahakan secara khusus upaya
mendorong keterlibatan MBR melalui pemberian insentif
pajak bagi keluarga yang membantu keluarga lainnya yang
miskin, meningkatkan kontribusi jaringan keluarga, dan
bahkan pemanfaatan lotere yang memungkinkan MBR
memenangkan dana tunai.
Sebagai tambahan, kebijakan seperti the Homeownership Plus Education (HOPE) meningkatkan infrastruktur
CPF untuk menyediakan paket bantuan terpadu bagi ke
luarga muda berpendapatan rendah.Selain itu, pemerintah
juga menyalurkan melalui CPF untuk mendistribusikan
kelebihan anggaran kepada masyarakat.
26
l Upaya terus menerus melakukan pembenahan
Pembenahan yang dilakukan terutama terkait dengan
perubahan ekonomi dan demografi.Sebagai contoh, sejak
tahun 2007 sejumlah pembenahan telah dilakukan. Dian
taranya, untuk membantu anggota memenuhi kebutuhan
minimum CPF dalam memastikan jaminan keuangan
pada masa pensiun, the Minimum Sum Topping-up Scheme
diperkenalkan. Berdasar skema ini, anggota keluarga yang
lebih mampu dapat menambah dana CPF dari anggota
keluarga yang kurang mampu. Insentif pajak diberikan ke
pada mereka yang menggunakan skema ini.
Mendukung peningkatan kesejahteraan dan pemba
ngunan sosial
Salah satu fitur dari CPF yang membuatnya menjadi
struktur kebijakan yang efektif dalam memasilitasi pengem
bangan aset jangka panjang adalah kemampuan individu
untuk meningkatkan dananya pada
waktu tertentu di sepanjang usianya.
Dana yang tersedia dapat diman
faatkan untuk beragam pembelian
aset dan kebutuhan pengembangan
modal sebelum pensiun dan pada
saat yang sama tetap mempunyai
dana pensiun yang memadai.
Pengalaman penduduk Singa
pu a dengan kepemilikan rumah
r
Sumber foto: Istimewa
nya merupakan contoh terbaik ba
gaimana CPF telah menarik perhatian
pengamat kebijakan sosial.
CPF terbukti berhasil berfungsi tidak hanya dalam segi
jaminan sosial tetapi juga pemupukan aset. Sistem tabung
an seumur hidup telah membantu keluarga mengelola in
vestasi dalam bidang pemilikan rumah, pemeliharaan ke
sehatan, pendidikan dan kepemilikan asset (Aw dan Low,
1996), sebagai tambahan terhadap pemberian jaminan
pensiun.
CPF telah menjadi salah satu pemercepat (katalis) ting
ginya tingkat pemilikan rumah dan tabungan di Singapura
(Hateley dan Tan, 2003). Bahkan rumah tangga miskin
pun memperoleh manfaat. Keterpaduan CPF dengan ke
bijakan lain telah menjadikan CPF salah satu pilar jaring
pengaman sosial dari sebagian besar rumah tangga, bahkan
mungkin mekanisme pendanaan terpenting untuk men
dukung kesejahteraan dan pembangunan sosial.
l
Kemungkinan Penerapan di Indonesia
Belajar dari pelaksanaan CPF di Singapura, muncul
pertanyaan yang sederhana. Apakah mungkin menerap
kan skema CPF di Indonesia? Secara teknis CPF sangat
mungkin diterapkan, namun terdapat beberapa hal yang
27. Edisi 4 - 2013
perlu mendapat perhatian, yaitu (i) ke
berhasilan Singapura dengan sistem ini,
didukung oleh PNS yang kompeten dan
tidak korup (zero tolerance for corruption).
Hal ini dapat tercapai karena pendapatan
PNS Singapura bahkan lebih besar dari
pegawai swasta, yang dimungkinkan
karena sistem penerimaan pegawai yang
ketat dan tidak memberi toleransi ter
hadap KKN, sehingga SDM terbaik yang
menjadi PNS; (ii) sistem tabungan peru
mahan harus koheren dan terpadu de
ngan sistem jaminan sosial dan kesehat
an lainnya. Dengan demikian dana yang
terkumpul akan cukup besar sehingga
fleksibelitasnya tinggi. Selain itu, sistem
ini harus ditangani hanya oleh satu in
stitusi; (iii) belajar dari kegagalan pene
rapan sistem yang sama di Cina, otonomi
daerah menjadi salah satu faktor kendala
ketika sistem ini dijalankan tidak terpusat
tetapi per wilayah disesuaikan dengan
batasan daerah otonom.
Kondisi yang dipersyaratkan tersebut
di atas, sepertinya sangat sulit terpenuhi
di Indonesia terkecuali memang terdapat
komitmen dari pemerintah yang didu
kung oleh parlemen. Demi kesejahteraan
rakyat seharusnya tabungan perumahan
dapat segera terwujud (OM dari beragam
sumber).
*) Pemimpin Redaksi HUDmagz,
fungsional perencana muda Bappenas.
Belajar dari
Kurang Optimalnya
China’s Housing Provident Fund (HPF)
K
eberhasilan Singapura dengan CPF menarik banyak perhatian
negara lain untuk mengadopsinya. Salah satu negara yang
telah mengadopsi CPF adalah Cina, namun dengan fokus pada
penyediaan perumahan. Negara lain yang mengadopsi CPF adalah
India dan Thailand.
Upaya adopsi CPF dimulai pada tahun 1990, ketika pemerintah
Cina mendorong penghuni perumahan publik untuk membeli rumah
yang didiaminya. Namun mereka tidak mempunyai cukup dana
untuk membeli rumah tersebut, sehingga pemerintah berinisiatif
menyediakan skema ‘housing provident fund’ (HPF), sebuah program
tabungan perumahan sekaligus penyiapan dana pensiun bagi
anggotanya. Program ini dimulai sebagai uji coba di Shanghai akhir
tahun 1991, dan diperluas menjadi berskala nasional pada tahun
1995.
Dalam pelaksanaannya, ditemui beberapa masalah, yaitu (i)
meskipun bersifat wajib namun hanya sekitar 60% dari kelompok
sasaran yang akhirnya menjadi anggota. Hal ini terutama disebabkan
sebagian perusahaan swasta, khususnya yang kurang maju,
menganggap kontribusi perusahaan sebagai biaya tambahan. Di
lain pihak, sebagian perusahaan menerapkan ‘binary model’ yang
diskriminatif, yaitu hanya menerapkan skema ini bagi pegawai tetap
saja; (ii) tingkat efisiensi rendah, terbukti dari hanya sekitar 8%
anggota yang menikmati pinjaman KPR. Hal ini disebabkan jumlah
pinjaman maksimum tidak dapat menjangkau harga rumah. Prosedur
yang kompleks, proses yang lama, dan biaya transaksi yang besar.
Selain itu, terjadi kompetisi dengan KPR yang dimiliki oleh bank mitra
kerja, sementara pengembang kurang tertarik; (iii) tidak dibatasinya
jumlah kontribusi mendorong terjadinya ‘moral hazard’ ketika jumlah
kontribusi menjadi semacam sumber dana tambahan bagi pekerja
dengan kontribusi besar.
Untuk itu, pemerintah Cina disarankan melakukan
beberapa tindakan berupa (i) memperluas kelompok
sasaran dengan memasukkan wirausaha, pekerja
industri rumahan dan pekerja migran; (ii)
pembatasan jumlah kontribusi; (iii)
pembenahan institusi pengelola HPF
menjadi lebih professional; (iv)
kerjasama antarwilayah
pengelola dana HPF.
Sumber:
disarikan dari The Housing Provident Fund Policy in
China: Review dan Future Reform oleh Chun Chen, Zhigang Wu,
Xueying Li, 2006 (OM).
27
29. Edisi 4 - 2013
D
Menyoal dan Mencermati RUU Tapera
alam sebuah pertemuan besar para
Oleh Miduk Hutabarat* ini mempertimbangkan keragaman peserta
sebagaimana diatur dalam pasal 7 antara lain 1)
pemangku kepentingan pembangunan
Pejabat Negara, 2) Pegawai Negeri, 3) Pegawai
perumahan, mengemuka prinsip bahwa
Bank Indonesia, BUMN dan BUMD, 4) Pejabat atau pekerja yang
tempat tinggal yang layak merupakan bagian dari pemenuhan
mendapat gaji/upah, 5) Pekerja swasta dan, 6) Pekerja mandiri.
Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara fakta menunjukkan
Terdapat kemungkinan fluktuasi penghasilan mulai dari Rp 1,5 juta
bahwa jumlah backlog perumahan mencapai 13,6 juta unit (BPS
sampai Rp 100 Juta ke atas. Sehingga dengan pertimbangan aspek
2010) di tanah air. Untuk itu, diusulkan beberapa langkah nyata
keadilan, besaran potongan terhadap gaji per bulan sebaiknya
dalam upaya memenuhi HAM itu, diantaranya (i) Pemerintah
berbeda berdasarkan pengelompokan besaran gaji; (iii), Terdapat
Daerah menyediakan lahan bagi pembangunan rumah bagi
daerah dengan tingkat kebutuhan rumah yang besar, sehingga
Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR), (ii) Pemerintah daerah
kebutuhan pengguna Tapera akan berbeda berdasarkan Daerah.
mengalokasikan dana pembangunan rumah MBR setidaknya
Menjadi penting untuk dilakukan pengaturan pengalokasian
sebesar 5 persen, (iii) Pemerintah mengalokasikan sejumlah dana
berdasar skala prioritas Daerah. Untuk itu, dibutuhkan mekanisme
dan sistem pembiayaan untuk pembangunan perumahan dan
dan standar operasi dan prosedur (SOP) pengalokasian Tapera
permukiman secara umum dan bagi Masyarakat Berpendapat
berdasar prioritas Daerah; (iv) nomenklatur tabungan perumahan
Rendah/MBR secara khusus. Usulan terakhir ini kemudian
sebaiknya juga mempertimbangkan 2 (dua) pilihan, yaitu
yang sepertinya mendapat ‘angin segar’ dengan adanya upaya
tabungan perumahan rakyat (Tapera) atau tabungan
mengembangkan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang
perumahan nasional (Tapernas).
sempat menjadi topik hangat beberapa
waktu lalu.
Kontroversi: Lembaga Pengelola
Pada dasarnya gagasan Tapera
Membaca Kompas Minggu, 12 Mei 2013 pada
ini bukan sesuatu yang baru di
rubrik Kilas Ekonomi tentang ‘RUU Tabungan
Indonesia. Pada tahun 2000
Perumahan Alot’. Terdapat pernyataan anggota
telah dibentuk tim Kelompok
DPR, Yosep Umar Hadi, selaku Ketua Tim RUU
Kerja (Pokja) yang bertugas
Tapera. Yosep menjelaskan akan terjadi penolakan
mengembangkan gagasan Tabungan
pada beberapa muatan pasal di dalam RUU
bagi Perumahan Pekerja/Buruh
tersebut. Satu diantaranya terkait dana
Perusahaan (TP3). Hal ini merupakan
penyertaan modal sebesar Rp 1 triliun,
sebuah upaya melengkapi skema
sebagai dana awal pendirian Badan
Tabungan Perumahan Bagi Pegawai
Pengelola yang bertugas untuk
Negeri Sipil (TAPERUM-PNS; TNI/POLRI)
mengelola Tapera.
yang sudah ada sejak tahun 1994. Walaupun
Pada dasarnya pertanyaan
kemudian belum terlihat secara nyata hasil
paling mendasar adalah apakah
dari Pokja tersebut.
memang dibutuhkan sebuah badan pengelola
baru. Sementara selama ini telah terbentuk Badan Pertimbangan
Usulan Mengemuka
Tabungan Perumahan PNS (Bapertarum-PNS) yang menangani
Salah satu kegiatan dalam rangka penyusunan Tapera adalah
tabungan perumahan PNS, yang dananya disimpan di Bank
berupa paparan dan pembahasan RUU Tapera di Medan pada
Tabungan Negara (BTN) sebagai penyalur Kredit Pinjaman Rumah
bulan Maret 2013 lalu. Saat Tim RUU berdiskusi dengan pemangku
(KPR). BTN, sejak berdiri tahun 1950 setelah dibekukannya Bank
kepentingan perumahan Sumatera Utara, beberapa usulan
Tabungan Post pada Februari 1950, adalah satu-satunya Bank yang
mengemuka diantaranya (i) perlunya penegasan arti tabungan.
Selama ini tabungan diartikan sebagai sebuah tindakan menyimpan fokus pada kredit pemilikan rumah.
Mempertimbangkan keberadaan BTN ini, menjadi menarik
uang yang bersifat sukarela, baik dari segi besaran (jumlahnya)
kemudian jika Tim RUU Tapera dapat mengusulkan agar BTN yang
maupun waktu menabungnya. Sementara dalam naskah RUU
akan bertindak sebagai lembaga pengelola dana Tapera. Sehingga
pada Bab III bagian kedua paragraf 2 pasal 10 menjelaskan,
diusulkan agar namanya berubah menjadi Bank Tabungan
kegiatan menabung dilakukan secara berkala sebesar 5 persen
Perumahan Nasional (BTPN). Mengapa tidak?
dari gaji per bulannya. Jika demikian, penggunaan kata tabungan
akan bias; (ii) pengaturan peserta (kelompok penabung) berdasar
*) Konsultan Pembangunan (KP) &
kategori dan/atau segmentasi sesuai besarnya pendapatan. Hal
Pendiri Institut Perumahan Rakyat Indonesia/IPRI. Domisili di Medan
29