Mencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakartamusniumar
Pemimpin sangat penting kedudukannya. Dalam Islam, pemimpin yang boleh dipilih dalam pemilu/pemilukada ialah yang amanah (terpercaya)), sidiq (jujur), fathanah (cerdas), dan tabligh (mampu berkomunikasi). Selain itu, yang dipilih adalah dari kalangan orang-orang yang beriman.
Newsletter bulanan yang dikelola oleh SekNas Jaringan GUSDURian. Bulan ini, Romo Frans Magnis Suseno menulis tentang Gus Dur dan semangat kebangsaan. Betapa saat ini Indonesia tengah terancam musuh yang menyebabkan disintegrasi bangsa.
Ada juga Tulisan dari Merah Johansyah tentang masyarakat Kalimantan Timur bersekutu untuk melawan penghancur lingkungan. Artikel lainnya berisi Tulisan Gus Dur yang berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita.
SELASAR bisa di unduh dengan cuma-cuma serta di sebar di komunitas masing-masing untuk kepentingan non profit. Untuk mengunduh SELASAR edisi 01-05 silahkan berkunung ke situs resmi kami di www.gusdurian.net
Wawancara Khusus MetroTV, 7 April 2016
Reporter: Tri Kurniawan, Misbahol Munir
Sumber: bit.ly/MetroTVWawancaraEkslusifSandi
Slide design: Ardian P. Putra (Komunitas Jakarta Tersenyum)
http://bit.ly/SlideWawancaraSandiMetroTV
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakartamusniumar
Pemimpin sangat penting kedudukannya. Dalam Islam, pemimpin yang boleh dipilih dalam pemilu/pemilukada ialah yang amanah (terpercaya)), sidiq (jujur), fathanah (cerdas), dan tabligh (mampu berkomunikasi). Selain itu, yang dipilih adalah dari kalangan orang-orang yang beriman.
Newsletter bulanan yang dikelola oleh SekNas Jaringan GUSDURian. Bulan ini, Romo Frans Magnis Suseno menulis tentang Gus Dur dan semangat kebangsaan. Betapa saat ini Indonesia tengah terancam musuh yang menyebabkan disintegrasi bangsa.
Ada juga Tulisan dari Merah Johansyah tentang masyarakat Kalimantan Timur bersekutu untuk melawan penghancur lingkungan. Artikel lainnya berisi Tulisan Gus Dur yang berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita.
SELASAR bisa di unduh dengan cuma-cuma serta di sebar di komunitas masing-masing untuk kepentingan non profit. Untuk mengunduh SELASAR edisi 01-05 silahkan berkunung ke situs resmi kami di www.gusdurian.net
Wawancara Khusus MetroTV, 7 April 2016
Reporter: Tri Kurniawan, Misbahol Munir
Sumber: bit.ly/MetroTVWawancaraEkslusifSandi
Slide design: Ardian P. Putra (Komunitas Jakarta Tersenyum)
http://bit.ly/SlideWawancaraSandiMetroTV
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
Syahwat kekuasaan di garut testimoni mustofa fattah versi lengkap
1. SYAHWAT KEKUASAAN DI GARUT
Kata Pengantar
Kabupaten Garut kerap disebut-sebut sebagai miniatur
politik di Jawa Barat. Tidak heran, jika banyak kalangan datang
berguru ke Garut. Dalam banyak hal Kabupaten Garut memang
unik dan menarik. Sebagai daerah yang berkatagori tertinggal,
ternyata sangat dinamis namun sarat intrik dan konflik
kepentingan.
Penulis yang sejak tahun 1983 berprofesi sebagai
wartawan, banyak mencatat hiruk pikuknya dinamika
perpolitikan di wilayah Kabupaten Garut. Dari catatan secara
umum melalui penulusuran, dan catatan khusus karena penulis
sering masuk ke wilayah kekuasaan mencoba menuangkannya
dalam sebuah buku yang diberi judul
“SYAHWAT KEKUASAAN DI GARUT”.
Buku tersebut penulis berharap memberi gambaran,
bahwa betapa Kabupaten Garut yang unik dan menarik tidak
mau beranjak dari ketertinggalannya di satu sisi, namun di sisi
yang lain justru sangat berkembang pesat terutama dalam
berebut kekuasaan untuk menguasai jaringan pemerintahan,
politik dan hukum.
Kemajuan dalam berebut kekuasaan memang tidak
berbanding lurus dengan upaya meningkatkan pembangunan
untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Energi dan ongkos politik
1
2. dihabiskan untuk merebut kekuasaan baik dalam jabatan politik,
penanganan masalah hukum maupun perebutan jabatan di
lingkungan birokrasi.
Celakanya, ongkos politik dan tanpa disadari justru
diongkosi oleh rakyat dengan cara mengatur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara rapih, teratur
dan lolos dari jamahan hukum.
Tokoh wartawan senior H. Usep Romli, yang juga
sastrawan terkemuka sekaligus kiayi dalam tulisannya di Surat
Kabar Umum Garoet Pos menyebutkan, bahwa Garut adalah
tempat kursus politik. Sejumlah tokoh nasional dari berbagai
bidang berasal dari Garut baik di masa lampau maupun masa
sekarang.
Sebut saja tokoh masa lampau seperti
Prof. DR. KH. Anwar Musadad yang merintis berdirinya
Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, KH. Yusuf Taudjiri,
ulama pejuang. Prof. DR. Ihromi, ahli bahasa Ibroni yang
kemudian pernah menjadi Ketua Dewan Gereja Indonesia (DGI).
Lalu ada Arudji Kartawinata, tokoh Partai Syarikat Islam
Indonesia dan pernah menduduki jabatan Ketua DPR-RI.
H. Usep Romli mencatatkan, rumah tokoh partai
nasionalis Bubu Burhan Mustafa di Jalan Bank no. 14 dijadikan
tempat kurus politik, yang melahirkan politisi-politisi handal yang
berasal dari kalangan pendidikan, seperti Drs. Sopandi guru SPG
Negeri dan Jajang Kurniadi, guru SMP Negeri I Garut.
2
3. Dari kubu partai Islam, rumah KH. Anwar Musadad di
Jalan Ciledug, juga dijadikan tempat kursus politik. Salah satu
jebolannya adalah Omo Suntama, seorang guru SPG Negeri yang
kemudian aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan
mengantarkan KH. Sulaeman Afif menjadi anggota DPR-MPR.
Faktanya, Kabupaten Garut memang tidak terbantahkan lagi
sebagai tempat kurus politik yang melahirkan politisi-politisi
handal. Tak heran, jika kemudian generasi sekarang
memunculkan nama Memo Hermawan dari PDIP dan
Dedi Suryadi dari PPP, tercatat sebagai politisi lokal yang cerdik
dan hebat.
Tokoh masa sekarang ada Prof. Soleh Solahudin, yang
pernah menjadi Menteri Pertanian semasa presiden BJ.Habibie,
Burhanudin Abdullah, mantan Menko Ekuin semasa presiden
Gusdur yang kemudian menjadi Gubernur BI. (alm) Andung
Nitimiharja, mantan menteri Perindustrian era presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Sederet tokoh lainnya yang mewarnai percaturan politik
di Indonesia berasal dari Garut. Di PDIP ada Jajang Kurniadi, di
PKB ada Prof. Cecep Syarifudin, di PPP ada Maksum Djaeladri, di
Partai Golkar ada Asep Ruhimat Sudjana. Kalau kemudian
H. Usep Romli menyebutnya sebagai tempat kursus politik,
memang Kabupaten Garut layak menyandang sebutan tersebut
karena hingga kini masih tetap menjadi tempat penggojlogan
politisi-politisi handal.
Tanpa bermaksud menyudutkan siapa pun dan kelompok
manapun, semata-mata penulis hanya mengangkat ke
3
4. permukaan berdasarkan catatan dan pengalaman yang penulis
peroleh. Bahkan dalam hal ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
terselesaikannya buku ini.
Kepada kedua anak saya tercinta, sahabat dan teman-
teman pers yang bertugas di Kabupaten Garut dari media cetak
dan elektronik terutama keluarga besar Surat Kabar Umum
Garoet Pos, penulis haturkan terima kasih atas dorongan moril
serta bantuannya dalam banyak hal sehingga memungkinkan
bagi penulis menyelesaikan buku ini.
Di saat menyelesaikan buku ini, dalam waktu bersamaan
justru penulis menghadapi banyak masalah yang berkaitan
dengan berkecamuknya pendapat pro-kontra tentang penting
tidaknya buku ini diterbitkan. Alhamdulillah penulis diberi
kekuatan mental, kesabaran dan ketabahan serta kekihlasan
dalam menghadapinya sehingga tidak menjadi penghambat
untuk terus menyelesaikan buku ini.
Hanya kepada Allah-lah, penulis memohon bimbingan
sekaligus berserah diri atas segala hal yang selama ini menjadi
bahagian dari perjalanan hidup. Hanya do’alah yang
memungkinkan semuanya bisa teratasi. Terima kasih ya Allah,
Engkau telah membimbing hamba yang tdak punya kekuatan
apa pun selain hanya karena Engkau ya Allah. (*)
Salam hormat dan salam hangat untuk semua
Garut, Mei 201 Penulis : MUSTAFA FATAH
4
5. Daftar Isi:
1. Profil Penulis
2. Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru
3. Babak Baru di Era Reformasi
4. Birokrat Orde Baru Kuasai Pemerintahan
5. Gugatan di Peradilan T.U.N
6. Tentara Kembali Rebut Pemerintahan
7. Bungalau 12
8. Bertindak dengan Hati
9. Memo dan Kepala SMK PGRI
10. Jabatan tidak Digenggam
11. Pejabat dan Dunia Hiburan
12. Media Massa dan Kejatuhan Agus Supriadi
13. Kalau Tidak, Ikut Mundur
14. Agus Tawari Iman jadi Sekda
15. Birokrat, Jaringan Politik dan Hukum
16. Politisi Rebut Pemerintahan
17. Wajah Wakil Rakyat (DPRD Garut)
18. Skandal Seks yang Di peti es kan
19. Anggota DPRD Diincar Penegak Hukum
20. Aktivis dan Proyek D.A.K Buku
21. Desakan P.A.W
22. Tebang Pilih Penanganan Hukum
23. Jabatan Sekda Dipolitisir
24. Jurus Perbup Jerat Hilman
25. Iman Putera Mahkota Bupati Momon
26. Terparkirnya Pejabat Birokrasi
27. Mafia Jabatan
28. Dua Sosok Politisi Cerdik
5
6. 29. Memo - Dedi tak Ambil Peluang
30. Memo vs Hasanudin
31. Manggungnya Independen
32. Aceng-Diky tak Penuhi Syarat
33. Aceng Fikri Orang Parpol
34. Dana Pengamanan Pemilu 2009
35. Pileg Syarat Pelanggaran
36. Potret Suram Pembangunan di Garut
37. Tiga Bupati tak Mampu Wujudkan G.O.R
38. Kabupaten Garut Selatan
39. Jelang Pemilukada 2013
40. Kepercayaan Pusat
41. Birokrat Sulit Diatur
42. Pejabat Pemda Dibidik Penegak Hukum
43. Bisnis CPNSD
6
7. Profil Penulis:
Nama pemberian orang tua adalah Mustofa, namun
kemudian ditambah dengan nama kakek yang bernama
Muhammad Fatah sehingga dalam akta kelahiran tertulis
menjadi Mustafa Fatah.
Lahir tanggal 24 Juli 1959 di desa Bojong Kecamatan
Bungbulang Kabupaten Garut. Setelah menamatkan sekolah
di SMP Negeri Bungbulang (sekarang SMP Negeri I
Bungbulang), melanjutkan ke SMEA Muhammadiyah di kota
Garut.
Pilihan sekolah bertentangan dengan keiinginan orang
tua agar masuk ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Menjadi
guru bukan pilihan, tetapi sekolah ekonomi pun nyaris tanpa
tujuan yang jelas.
Selepas SMEA berkeiinginan melanjutkan kuliah, namun
dalam waktu bersamaan harus berbarengan dengan kakak
yang kebetulan lulus seleksi masuk ke IKIP Bandung
(sekarang UPI). Akhirnya mengalah untuk tidak melanjutkan
kuliah, karena keterbatasan orang tua dalam pembiayaannya,
dan lebih mendorong kakak agar kelak menjadi seorang guru
melanjutkan cita-cita ayah.
Tahun 1983 ikut seleksi calon wartawan di Harian
Umum Mandala yang sedang naik daun karena maraknya
pemberitaan seputar kasus penembakan misterius (petrus)
terhadap orang-orang yang meresahkan masyarakat
(preman).
7
8. Tahun 1986 semasa bupati Garut H. Taufik Hidayat,
akibat berita yang selalu mengkritisi kebijakan bupati yang
merugikan rakyat akhirnya di persona non grata (diusir dari
wilayah Garut).
Perseteruan dengan bupati sempat pula dimuat di
Majalah Tempo, dan pengusiran tidak jadi dilakukan.
Menjelang pergantian bupati dari Taufik Hidayat ke bupati
Momon Gandasasmita terjadilah islah (saling memaafkan).
Tahun 1989 Harian Mandala diambil alih oleh Grup
Kompas, dan ketika dilakukan seleksi oleh manajemen
Kompas dinyatakan lolos dan terus bergabung hingga
berakhirnya pengambilalihan Harian Mandala oleh Kompas
tahun 1990.
Tahun 1990-1992 lolos seleksi di Surat Kabar Surabaya
Minggu yang manajemennya diambil alih pengusaha sukses
Yakob Hendrawan beralamat di Jalan KH. Mas Mansyur
No. 55 Tanah Abang Jakarta Pusat.
Tahun 1992 kembali lagi ke Garut membuka Perwakilan
Surat Kabar Sunda “Kudjang” setelah diajak oleh Alvertoeng,
mantan Pemimpin Redaksi salah satu surat kabar milik grup
Media Indonesia dan terjadilah kerjasama dengan pemerintah
daerah Kabupaten Garut melalui bupati
H. Momon Gandasasmita.
Koran Kudjang ditinggalkan dan kembali lagi ke Koran
Mandala hingga akhirnya ke Surat kabar Harian Suara Publik
8
9. yang terbit di awal reformasi, milik Wakil Walikota Bandung
Enjang Darsono.
Selain aktif di Suara Publik, sempat pula menjadi
deklarator Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Garut
bersama sejumlah tokoh dari Muhammadiyah.
Turut mendeklarasikan Forum Pemuda Pelajar dan
Mahasiswa Garut (FPPMG) bersama Agustiana, yang
kemudian melahirkan sejumlah aktivis seperti Arif Rahman
Hidayat, SE.,Ak (mantan ketua STIE Yasa Anggana), Oim
Abdurohim (mantan anggota DPRD Garut/mantan calon wakil
bupati Garut 2008), Hasanudin (sekarang pengurus DPN
Refdem) dan lain-lain.
Pada Pemilu pertama era reformasi, yaitu tahun 1999
maju menjadi calon anggota DPRD dari daerah pemilihan
Kecamatan Cisewu.
Tahun 2001 mengundurkan diri dari PAN dalam posisi
sebagai salah satu sekretaris DPD Kabupaten Garut, karena
lebih memilih tetap menjadi wartawan yang sejak tahun 2000
lolos seleksi di Harian Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar-
Grup Kompas).
Tahun 2003 ikut seleksi calon Anggota KPU Garut dan
lolos ke 10 besar, namun gugur di lima besar. Tahun 2005
sampai sekarang menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin
Redaksi Surat Kabar Umum Garoet Pos.
9
10. Tahun 2008 ikut lagi seleksi calon anggota KPU dan
berhasil masuk lima besar yang ditetapkan oleh Tim Seleksi
dari KPU Propinsi Jawa Barat.
Selain aktif di organisasi profesi yaitu Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), juga aktif di organisasi
kemasyarakatan, antara lain Muhammadiyah, Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan di organisasi
sepak bola PSSI Pengcab Garut.
Beberapa wartawan senior dan wartawan muda
dilahirkan melalui tangan penulis, seperti Tisna Wibawa
(wartawan Koran BOM/Majalah Cermin Harian), Ridwan, S.Pd,
Taofik Rahman, S.Sos, Yosep Nasrullah, S.Ag, Tata Ansori
(Garoet Pos), Asep Hamdani (Harian Radar/Ketua APDESI
Garut), Rommy Rusyana (mantan wartawan SINDO), Jamjam
Jamaludin (Harian Radar), Indra Prasasti (Trans TV), Deni
Muhammad Arif (Indosiar) dan lain-lain. (*).
10
11. Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru
Tahun 1996 gerakan penumbangan rezim orde baru
semakin kencang. Kelompok pro-demokrasi bermunculan
dimana-mana termasuk di kabupaten Garut yang dimotori
mahasiswa dan aktivis.
Para aktivis pro demokrasi dari kalangan kampus pada
tahun yang sama mendatangkan tokoh penentang orde baru,
yaitu DR. Ir. Sri Bintang Pamungkas, dosen Fakultas Teknik
Universitas Indonesia dalam kegiatan seminar ekonomi yang
digagas oleh SENAT Mahasiswa STIE Garut diketuai Hasanuddin
bekerjasama dengan PWI Perwakilan Garut.
Kehadiran Sri Bintang Pamungkas ke Garut tidak
dihendaki oleh penguasa di Kabupaten Garut. Bahkan seluruh
pengelola gedung yang biasa menyewakan tempatnya
mendadak tidak mau memberikannya dengan berbagai alasan.
Akhirnya seminar digelar di halaman gedung Korpri Jalan
Patriot Garut, dilanjutkan di Sekretariat PWI Garut Jalan
Pembangunan. Saat itu jumlah personil keamanan baik yang
terbuka maupun tertutup, justru lebih banyak ketimbang peserta
seminar yang kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa dan
aktivis.
Tokoh ulama, politisi, sekaligus pemilik pondok pesantren
Darussalam Wanaraja KH. Cholid Taujiri mendaulat Sri Bintang
Pamungkas dan membawanya ke Pontrennya untuk bicara
panjang lebar dihadapan santri dan warga sekitarnya.
11
12. Kehadiran Sri Bintang Pamungkas, ternyata diikuti
aparat intelejen dari Jakarta karena setelah dari Garut
langsung terbang ke Jerman menghadiri seminar sekaligus
sebagai pembicara di sana. Sri Bintang Pamungkas, langsung
ditangkap penguasa orde baru dan dijebloskan ke penjara di
Jakarta, bahkan statusnya sebagai dosen PNS di Universitas
Indonesia dipecat/diberhentikan.
Tidak lama berselang, tokoh gerakan pro demokrasi
Agustiana digelandang ke penjara di Tasikmalaya atas
tuduhan sebagai dalang kerusuhan Tasikmalaya, dan sebelum
ditangkap sempat menggelar jumpa pers di sekretariat PWI
Garut. Sekretariat Forum Pemuda Pelajar (FPPMG) yang
dikomandani Agustiana beralamat di Jalan Ranggalawe
bersebelahan dengan tempat tinggal penulis.
Pasukan keamanan dari TNI, Polisi dan Satuan Polisi
Pamongpraja lengkap dengan senjatanya mengepung
sekretariat FPPMG, dan Komandan Intelejen Kodim (Kasi
Intel- Lettu. Inf. Anan Taryana) berada di rumah penulis.
Tembok pemerintah daerah Kabupaten Garut saat itu
memang sangat kuat dan kokoh. Salah satu tokoh kunci yang
membentengi pemda Garut adalah Letkol. Inf. Kohar
Somantri, mantan Kepala Staf Kodim 0611 Garut yang
diangkat sebagai Kepala Kantor Sosial Politik (Sospol) Pemda
Garut.
Letkol. Inf. Kohar Somantri, selaku Kepala Kantor Sosial
Politik Pemda Garut sangat disegani dan ditakui oleh semua
kalangan. Dalam mengendalikan pemerintahan di lingkungan
12
13. pemda Garut, Kohar membentuk kekuatan yang waktu itu
dikenal dengan istilah MARKODOTOH (Mardjuki, Kohar
Somantri, Dodi Soemartawijaya, Toto Rahmat). Mardjuki
adalah seorang Letkol TNI yang menjadi Kepala Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten (PUK), Kohar Somantri (Kepala
Sospol), Dodi Soemartawidjaya (Kepala Bagian Kepegawaian),
Toto Rahmat (Kepala Dispenda).
Kalau sekarang di tubuh pemda Garut ada kelompok
geng, memang bukan hal baru karena sudah merupakan
tradisi (warisan) dari orang-orang yang memiliki pengaruh di
lingkungan pemda Garut. Tidak heran, kelompok tersebut
sangat dominan dalam penempatan sejumlah pejabat yang
loyal kepada kelompok geng dimaksud.
Sekarang di lingkungan birokrasi pemda Garut dikenal
dengan geng-nya Iman Alirahman, dan itu tidak bisa
terbantahkan karena geng tersebut memiliki kekuatan yang
signifikan dalam berbagai hal. Bahkan sangat disadari oleh
Wowo Wibowo dan Hilman Faridz ketika naik menjadi Sekda
Garut.
Wowo Wibowo tidak mampu bertahan lama menjadi
sekda, karena ia banyak melakukan penekanan terhadap
sejumlah pejabat di lingkungan pemda Garut yang merupakan
geng-nya Iman Alirahman.
Kekuatan geng tersebut menyeret Wowo ke ranah
hukum, yang kemudian sempat mendekam di sel tahanan
Mapolda Jabar dengan tuduhan menyalahgunakan
13
14. wewenangnya menandatangani pencarian dana bantuan
sosial sebelum APBD Garut disahkan.
Keluhan Wowo Wibowo mengemuka setelah ia dengan
kewenangannya pernah melakukan tindakan tegas kepada
beberapa pejabat padahal pejabat tersebut adalah geng-nya
Iman Alirahman. Sebut saja Kepala Bagian Umum waktu itu
Dadi Jakaria dan staf-stafnya.
Tindakan tegas Wowo merupakan pemicu diungkitnya
persoalan dirinya saat menjadi Kepala BPKD yang dituduh
menggelontorkan dana bansos sebelum APBD disahkan.
Wowo kemudian digelandang oleh Polda Jabar dan
sempat mendekam beberapa bulan lamanya di sel tahanan.
Penulis sendiri berkesempatan melayat Wowo di Polda,
namun ternyata sosok Wowo terlihat tegar, tenang dan penuh
keikhlasan menghadapinya.
Hal yang sama dialami Hilman Faridz, sekda yang
menggantikan Wowo itu sempat menyampaikan keluhannya
kepada penulis, bahwa untuk beberapa hal ia tidak bisa
nyambung/sinergis dengan sejumlah pejabat di bawahnya.
Misalnya dengan Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD)
sewaktu dijabat Drs. H. Djadja Sudardja, M.Si.
Menurut Hilman, setiap kebijakan yang diambilnya selalu
mendapat hambatan dan tantangan dari pejabat di bawahnya
yang memang gengnya Iman Alirahman. “Anda tahu sendiri di
tubuh birokrasi terpecah, ada yang memihak saya dan ada
14
15. juga yang memihak pa Iman”. Begitu dikeluhkan Hilman
Faridz. (*)
Babak Baru di Era Reformasi
Akhirnya Mei 1998 tumbanglah rezim orde baru, dan di
Kabupaten Garut bertepatan dengan akan berakhirnya masa
jabatan bupati Drs. H. Toharudin Gani, yang diangkat menjadi
bupati hasil penunjukan dari pihak Gedung Sate,
menggantikan Momon Gandasasmita yang telah dua kali
menjabat bupati.
DPRD Garut hasil pemilu 1997 atau pemilu terakhir era
rezim orde baru merupakan “DPRD transisisisi”, karena tahun
1999 digelar pemilu pertama masa reformasi. Tentu saja
anggota DPRD yang berjumlah 45 orang itu memanfaatkan
pemilihan bupati sebagai ajang mendulang uang dari para
calon bupati.
Perebutan kekuasaan menjelang pemilihan bupati pun
terasa memanas, seluruh petinggi pemda Garut, yaitu bupati
Drs. H. Toharudin Gani, Wakil Bupati Mamad Suryana, dan
Sekretaris Daerah Iing Kosim maju mencalonkan diri sebagai
bupati.
Dari luar pemda Garut muncul nama Dede Satibi, yang
masih menjabat Wakil Bupati Kabupaten Bekasi, Letkol. Pol
(sekarang AKBP) Dede Hidayat Jayalaksana, mantan Kapolres
15
16. Garut. Dan dari kalangan DPRD nama H. Rukman yang ketua
DPRD maju juga menjadi kandidat.
Pertarungan sengit terjadi antara Dede Satibi dan Dede
Hidayat Jayalaksana. Anggota DPRD Garut yang akan
menentukan pilihannya menjadi terpecah. Kelompok aktivis,
dan tokok-tokoh ulama terpecah pula. Ada yang berada di
kubu Dede Jayalaksana dan ada di kubu Dede Satibi. Dede
Jayalaksana sangat dikenal luas di Garut, karena selain
pernah menjadi Kapolres Garut, perwira muda itu sebagai
sosok santun dan lebih mengedepankan pola kemitraan
dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban di
wilayah Kabupaten Garut.
Dede Hidayat Jayalaksana mendapat dukungan dari
tokoh-tokoh aktivis, seperti Toni Munawar, Gunadi dan aktivis
mahasiswa. Dari kalangan pengusaha ada H. Heri Sunardi
yang menguasai perkebunan Condong. Sedangkan tokoh
ulamanya ada KH. Uhom Hamdani, pemimpin pondok
Pesantren Sarohan Bayongbong dan tokoh Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Sementara Dede Satibi mendapat dukungan dari Dewan
Harian Daerah (DHD) Angkatan 45, Warga Indonesia Asal
Garut (WI-ASGAR), Angkatan 66 dan tokoh ulama yang
dimotori KH Abdul Halim, pemimpin pondok pesantren Al-
Bayyinah dan salah satu putera dari ulama besar KH. Anwar
Musadad.
Pertarungan sengit terjadi antara kubu Dede Satibi dan
kubu Dede Jayalaksana. Disebut-sebut uang jago pun
16
17. mengalir ke kocek anggota DPRD, dan akhirnya Dede Satibi-
lah yang memenangkan pertarungan tersebut namun kubu
Dede Hidayat Jayalaksana tidak terima kekalahannya lalu
menyandera seluruh Anggota DPRD sekaligus menguasai
gedung wakil rakyat berhari-hari lamanya.
Kemenangan Dede Satibi nyaris saja digagalkan, kalau
saja Dede Hidayat Jayalaksana tidak segera meyakinkan
pendukungnya untuk menerima hasil yang menyakitkannya
itu. Seorang tokoh ulama PPP sekaligus pimpinan Pondok
Pesantren Sarohan Bayongbong KH. Uhom Hamdani adalah
yang paling kecewa atas kekalahan Dede Hidayat
Jayalaksana. Kiayi yang dikenal berani itu pun kemudian
meninggal dengan membawa kekecewaan yang sangat
mendalam.
Gelombang aksi tandingan dari kubu Dede Satibi
berdatangan ke gedung DPRD, yang sebelumnya dilakukan
serangkaian pertemuan di komplek pesantren Al-
Mussadadiyah.
Penulis termasuk yang ikut dalam pertemuan itu, dan
diminta oleh peserta pertemuan masuk dalam penyusun
materi tuntutan yang akan disampaikan ke DPRD dan
berbagai pihak sebagai pemangku kepentingan.
Dalam aksi tandingan dari kubu Dede Satibi, tampil KH
Abdul Halim sebagai penyampai orasi dan mendesak DPRD
Garut segera melantiknya karena sudah dinyatakan sebagai
pemenang.
17
18. Bupati terpilih Dede Satibi, memang tokoh birokrat
sejati karena malang melintang di pemda Garut hingga jadi
Mantri Polisi sebelum pindah ke Kabupaten Tangerang dan
Kabupaten Bekasi. Dalam mengendalikan pemerintahannya,
Dede Satibi tidak berkehendak didampingi Wakil Bupati
Mamad Suryana sebagai pesaing di pemilihan bupati.
Dalam masa kepemimpinan Dede Satibi tidak
didampingi Wakil Bupati karena Mamad Suryana ditarik oleh
Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan menduduki jabatan
sebagai Kepala Dispenda Jawa Barat.
Sementara Sekda Iing Kosim yang sebenarnya
didukung jajaran birokrasi dengan Korps Pegawai Negeri-nya
(KORPRI) gagal meraih kemenangan. Ia kemudian hengkang
dari Garut karena mendapat tawaran sebagai Wakil Bupati
Kabupaten Subang.
Jabatan sekda Garut, akhirnya diisi pejabat karir dari
pemda Garut, yaitu Rahman Ruhendar yang waktu itu
menjabat Ketua Bappeda (sekarang namanya Kepala
Bappeda).
Rahman Ruhendar tidak lama menjabat sekda keburu
meninggal dunia, dan Dede Satibi mengajak sohibnya
Rachmat Sudjana dari Kabupaten Sukabumi (Ketua Bappeda)
untuk mengisi jabatan sekda.
Kekuasaan Dede Satibi dimasuki kakak kandungnya
H. Hafid, yang kemudian mumunculka kelompok/geng di
lingkungan pemda Garut yang berkepentingan dalam
18
19. mengatur jabatan dan proyek. Siapa dekat dengan kelompok
tersebut, maka jabatan dan proyek pun dapat diraihnya.
Kepala Diparda, Hilman Faridz adalah salah satu
diantara yang masuk kelompok H Apit, makanya jabatannya
dipindahkan menjadi Ketua Bappeda yang ditinggalkan
Rachman Ruhendar. Kepala Diparda diisi oleh Iman Alirahman
yang semula Kepala Dinas Kebersihan.
Iman Alirahman adalah pejabat muda yang kurang
disenangi bupati Dede Satibi, namun justru bagi Iman
Alirahman dijadikan pintu masuk untuk menjalin hubungan
dengan banyak kalangan. Salah satu yang mulai dekat
dengan Iman Alirahman adalah Ketua PHRI Garut Memo
Hermawan, Manager Hotel Augusta Garut.
Geng yang dimotori kakak kandung bupati Dede Satibi
itu, semakin memperkuat posisi Asda III yang dipercayakan
kepada Drs. Yaya S. Permana dengan kewenangannya di
bidang keuangan dan kepegawaian. Penulis pun sempat
menitipkan anak dari keluarga miskin masuk menjadi Tenaga
Kerja Kontrak (TKK) tahun 2001, dan sekarang sudah
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Yaya S. Permana, sebagai pejabat yang mengurusi
keuangan dibantu oleh Kepala Bagian Keuangan Ny. Farida
Susilawati, SH (sekarang Sekretaris DPRD) dengan staf-
stafnya antara lain Totong, SE.,M.Si (sekarang Kepala
DPPKA), Anton Heryanto (mantan Kabid Anggaran),
Dra. Aneu Hayati, M.Si (sekarang Kabid Perimbangan di
DPPKA).
19
20. Kendati Iman Alirahman kurang disenangani bupati
Dede Satibi namun Iman selalu menunjukan kinerjanya
dengan baik, terutama dalam mengelola bidang
kepariwisataan. Iman juga mulai menyusun kekuatan di
lingkungan birokrasi dengan mncetak kader-kadernya, antara
lain Komar Mariyuana (terakhir Kadisdik), Arus Sukarna
(terakhir Asda I), Wawan Nurdin (sekarang Kepala
Perpustakaan Daerah), Farida Susilawati (Sekretaris DPRD),
Elka Nurhakimah (Sekarang Kepala Dinas Pendidikan) serta
sejumlah pejabat birokrat lainnya. (*).
Birokrat Orde Baru Kuasai Pemerintahan
Selama kepemimpinan Bupati Garut Dede Satibi, tokoh
sentral di lingkungan pemda Garut terutama yang berkaitan
dengan masalah keuangan dipercayakan kepada Drs. Yaya S.
Permana, selaku Asisten Daerah (Asda) III bersama-sama
dengan Sekda Rahmat Sudjana. Sedangkan nama Iman
Alirahman sama sekali tidak memiliki akses atau jaringan
dalam mengatur kebijakan di pemerintah daerah.
DPRD, di bawah kepemimpinan Ir. Iyos Somantri dan
Dedi Suryadi adalah politisi handal dan cerdik, sehingga
bupati dan jajarannya kerap tidak mampu membendung
keiinginan DPRD termasuk aliran dana APBD demi
kepentingan DPRD.
Dede Satibi tidak kalah cerdiknya, jebakan-jekabakan
pun mulai dimainkan dan DPRD tidak menyadarinya yang
20
21. penting dana APBD mengalir ke koceknya. Siasat Dede Satibi
memang luar biasa cerdiknya karena ia berkeinginan maju
lagi diperiode kedua pada pemilihan bupati tahun 2003.
Nama Iyos Somantri-Dedi Suryadi, disebut-sebut
sebagai pasangan paling berpeluang dalam pemilihan bupati,
dan itu menjadi batu sandungan bagi Dede Satibi. Akhirnya
melalui Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut KH Abdul
Halim mengendus dugaan penyimpangan dana APBD oleh
DPRD Garut yang kemudian dikenal dengan istilah APBD-Gate
hanya beberapa bulan menjelang pemilihan bupati.
Iyos Somantri, selain sebagai Ketua DPRD juga Ketua
DPD Golkar Garut, dan Dedi Suryadi adalah Wakil Ketua DPRD
sekaligus Ketua DPC PPP. Dede Satibi sangat sadar, bahwa
untuk mengalahkan pasangan Iyos-Dedi di pemilihan bupati
sangat tidak mungkin apalagi yang akan memilihnya pun
anggota DPRD yang berjumlah 45 orang.
Berkat peranan Ketua MUI yang melaporkan kasus
APBD Gate ke Kejaksaan, maka Iyos-Dedi ditetapkan sebagai
tersangka. Kedua tokoh yang sejak awal sudah dipersiapkan
maju sebagai pasangan calon menjadi berantakan, Iyos
bahkan terpental di konvensi partainya sendiri. Fraksi PPP di
DPRD terpecah belah, karena ketua Fraksinya Wawan Syafe’i
digaet oleh Dede Satibi sebagai pasangannya.
Dedi Suryadi tidak patah arang, ia pun tak kalah sengit
dengan menggaet Sekda Rahmat Sudjana sebagai pasangan
wakil bupatinya. Kemudian muncul kuda hitam Letkol. Inf.
Agus Supriadi, yang berhasil memanfaatkan keterpurukan
21
22. Iyos Somantri akibat kasus APBD Gate dan Agus Supriadi
memenangkan konvensi Partai Golkar.
Perebutan kekuasan di kabupaten Garut yang diawali
dari pemilihan bupati, memang sangat unik dan penuh intrik.
Dede Satibi yang terpental dari Partai Golkar, berkat kekuatan
keluarga besar Nahdatul Ulama (NU) berhasil menggunakan
PKB sebagai kendaraan politiknya untuk maju menjadi calon
bupati bersama Wawan Safe’i dari PPP.
Untuk meyakinkan PKB agar menyerahkan partainya
sebagai tunggangan Dede Satibi, maka tokoh NU pun
mendatangkan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) ke Pondok
Pesantren Al-Wasilah miliknya KH. Tantowi Djauhari.
Hampir seluruh partai dengan Fraksi-nya di DPRD tidak
terhindar dari konflik. Golkar yang diincar Iyos dan Dede
Satibi ternyata jatuh ke Agus Supriadi, PKB yang mestinya
memajukan Ketua DPC-nya Ali Rohman malah diberikan
kepada Dede Satibi. PPP pecah, sebagian ke Dedi Suryadi,
sebagian lagi ke Wawan Syafe’i. PAN yang akan
menyandingkan Rudi Gunawan dengan Ate Tohi, tiba-tiba
Mahyar Suara protes. Hanya PDIP yang nyaris tanpa konflik
karena hanya menyalonkan Memo Hermawan selaku Ketua
DPC-nya.
Majunya empat pasangan calon bupati tidak terlepas
dari peranan para “pemain” di luar gedung DPRD dan di luar
partai politik. Yang mengawinkan Dede Satibi-Wawan Syafe’i
adalah sejumlah Kiayi NU, yang mengawinkan Agus Supriadi-
Memo adalah mereka dari kalangan politisi dan kawan-kawan
22
23. dekatnya. Kemudian yang mengawinkan Rudi-Mahyar,
termasuk penulis ada di dalamnya melalui serangkaian
pertemuan di salah satu hotel di kawasan wisata Cipanas.
Begitu juga yang mengawinkan/memaketkan
pasangan Dedi Suryadi-Rahmat Sudjana, tidak terlepas dari
peranan kalangan tertentu yang kemudian dikenal dengan
istilah Tim Sukses. Maka empat pasangan resmi maju di
pemilihan bupati. Mereka adalah 1. Dede Satibi-Wawan
Syafei. 2. Rudi Gunawan-Mahyar Suara. 3. Agus Supriadi-
Memo Hermawan. 4. Dedi Suryadi-Rahmat Sudjana.
Di putaran pertama, pasangan Dedi-Rahmat dan Rudi-
Mahyar harus terpental, dan hanya pasangan Dede Satibi-
Wawan Syafe’i dan Agus Supriadi-Memo Hermawan yang
masuk ke putaran kedua pasangan Agus Supriadi-Meo
Hermawan keluar sebagai pemenangnya dengan selisih suara
yang sangat tipis, yaitu hanya tiga suara saja.
Kemenangan Agus Supriadi – Memo Hermawan lebih
ditentukan oleh solidnya suara PDIP yang pada saat akan
digelarnya pemilihan terlebih dahulu dilakukan pergantian
antar waktu (PAW) dua anggota Fraksi yang dianggap
mbalelo, yaitu Gunrana dan Wan Gunawan Husen, digantikan
oleh Dikdik Darmika dan Slamet Rianto.
Secara matematis suara yang diperoleh Agus-Memo
berasal dari Fraksi Golkar 14 suara dan suara Fraksi PDIP 6
suara. Kemudian mendapat tambahan suara 4 dari Fraksi PPP
yang diawali dengan komitmen politik antara Dedi Suryadi
23
24. dan Memo Hermawan yang kemudian disetujui oleh Agus
Supriadi.
Memang pemberian suara sifatnya rahasia, namun
dalam politik tidak selamanya 1 ditambah 1 menjadi 2, bisa
saja menjadi 1 atau 3. Akan halnya suara yang diperoleh
Agus-Memo, konon 6 dari PDIP, 13 dari Golkar karena satu
suara Golkar diberikan ke Dede Satibi, dan sisanya lima suara
dari Fraksi PPP yang jumlahnya 9 kursi dan 5 suara PPP
menjadi milik Dede Satibi.
Kendati Dede Satibi kalah dalam pemilihan bupati,
namun menjelang akhir jabatannya ia sukses menggiring
kelompoknya duduk di kursi Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Kabupaten Garut.
Diawali dengan penunjukan Tim Seleksi yng terdiri dari
Ketua MUI KH. Abdul Halim, Asda I Drs. Kusnaeni, M.Si.
Sekretaris PGRI Alit Burhanudin, S.Sos. KH. Deden dari unsur
ulama dan Prof. Ikeu Sartika dari unsur Perguruan Tinggi.
Lima orang anggota KPU Garut ditetapkan oleh KPU
Jawa Barat, mereka adalah Aja Rowikarim, M.Ag yang tiada
lain adalah mahasiswanya KH. Abdul Halim, Lia Juliasih, S.IP
yang masih keluarga dari isterinya KH. Abdul Halim dan isteri
dari tokoh aktivis Garut Arif Rahman Hidayat, SE.,Ak.
Kemudian H. Mohamad Iqbal Santoso, tokoh Persatuan
Islam (Persis), Ny. Hj. Yayah Hidayah, isteri dari KH. Deden
salah seorang dari Tim seleksi. Hanya Dadang Sudrajat, S.Pd
yang bukan bagian dari kelompok Dede Satibi, ia berasal dari
24
25. guru sukwan di kecamatan Bayongbong yang secara
kebetulan kakak kandungnya pejabat di KPU Garut. (*)
Gugatan di Peradilan TUN
Sejumlah peserta seleksi calon anggota KPU menggugat
Tim seleksi yang telah meloloskan 10 orang calon ke KPU
Provinsi untuk menentukan lima anggota terpilih.
Dimotori Hasanudin, yang terpental dalam seleksi calon
anggota KPU yang diawali dari ketidaksenangannya atas
sebuah pertanyaan oleh Ketua Tim Seleksi KH. Abdul Halim Lc
saat tes wawancara dengan meminta agar Hasanudin
membacakan Surat Al-Fatihah lengkap dengan terjemahnya.
Hasanudin sempat berdebat atas pertanyaan tersebut, dan
merasa ketidaklolosannya akibat dari perdebatan sengit
tersebut.
Pucuk dicinta ulam tiba, Hasanudin menemukan
kejanggalan dalam keputusan Tim Seleksi yang meloloskan
Hj. Yayah Hidayah dan Undang Fadhita yang masih berstatus
Pegawai Negeri Sipil. Materi gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (Peratun) di Bandung salah satunya tentang
status calon anggota KPU yang belum mengambil person dari
PNS.
Tim Seleksi bersama Sekretariat KPU Garut dibuat gerah
akibat gugatan Hasanudin dan kawan-kawan itu, karena
25
26. hampir setiap minggu harus mengikuti persidangan di
Bandung.
Tidak ada putusan apa pun dalam gugatan tersebut,
karena masing-masing pihak mogok di tengah jalan. Akhirnya
perkara menjadi menggantung sedangkan lima anggota KPU
Garut yang ditetapkan oleh KPU Provinsi Jawa Barat
menjalankan tugas-tugasnya sebagai komisoner dengan
menyelenggarakan pemilihan umum Tahun 2004. (*)
Tentara Kembali Rebut Pemerintahan
Kabupaten Garut memang lain dari yang lain.
umbangnya rezim orde baru telah memunculkan sikap anti
pati terhadap tentara. Dimana-mana tentara selalu dihujat,
tetapi di Garut sebaliknya. Hal itu terbukti ketika Letkol. Inf.
Agus Supriadi maju mencalonkan dirinya sebagai bupati Garut
justru disambut suka cita.
Kehadiran Agus Supriadi mengembalikan ingatan warga
Garut akan keberhasilan Letkol. Kav. Taufik Hidayat yang
sukses membawa kabupaten Garut ke arah yang berubah.
Biarlah di tempat lain tentara itu dihujat, tapi toh untuk
kabupaten Garut masih memerlukan sosok tentara sebagai
bupatinya.
Selain tekad keras Agus Supriadi sebagai putra daerah,
juga didukung kepiawaian Tim Suksesnya diawali
memenangkan pertarungan di konvensi partai Golkar untuk
26
27. mendapatkan kendaraan politik bagi Agus Supriadi supaya
bisa maju menjadi calon bupati dan kesuksesan
mengawinkannya dengan Ketua DPC PDIP Garut Memo
Hermawan.
Letkol Inf. Agus Supriadi tampil memimpin Garut setelah
terpilih melalui pemilihan di DPRD tanggal 18 Nopember
2008. Diawal terpilihnya sempat tergonjang-ganjing oleh
persoalan hukum yang mendera wakil bupatinya Memo
Hermawan yang diduga menggunakan ijazah palsu.
Suhu politik di Garut kembali memanas akibat
terkatung-katungnya penetapan bupati dan wakil bupati
terpilih. Gelombang demo nyaris tiap hari ke gedung DPRD
dari kubu Agus Supriadi-Memo Hermawan. Sedangkan kubu
Dede Satibi diam-diam mengamankan Kepala SMEA (SMK)
PGRI Garut Drs. Zaenal Arifin sebagai pihak yang dianggap
telah mengeluarkan keterangan ijazah bagi Memo Hermawan.
Kepala SMK PGRI itu, selain berada di bawah
penguasaan Dede Satibi dan kubunya, seperti Kepala Dinas
Pendidikan Drs. Darjo Sukarja, Ketua PGRI Drs. H. Amin
Minadipura, Asda I Pemda Garut Drs. Kusnaeni. Seluruh
dokumen sekolah yang berkaitan dengan kepentingan Memo
diamankan oleh pihak Dinas Pendidikan.
Yang tersisa menurut Zaenal Arifin hanya stempel
sekolah dan tiga lembar kertas ber-kop sekolahnya. Zaenal
sendiri selalu diawasi dan kerap diajak jalan-jalan oleh kubu
Dede Satibi ke Bandung dan Tasikmalaya. Sementara rumah
tinggal Zaenal Arifin secara bergiliran dijaga oleh aparat
27
28. keamanan. Keluarga Zaenal Arifin sendiri diungsikan kepada
orang tuanya di Kadungora.
Peralihan kekuasaan dari Dede Satibi kepada Agus
Supriadi nyaris tidak berjalan mulus. Memo Hermawan selaku
Ketua DPC PDIP dengan kekuatan penuh kadernya, termasuk
kekuatan Satgas partainya yang terkenal pemberani siap
berdarah-darah kalau pimpinan partainya tidak dilantik
menjadi wakil bupati.
Agus Supriadi sendiri tidak tinggal diam, dibantu oleh
jajaran Partai Golkar yang dikomandani oleh Drs. H. Ruhiyat
Prawira, M.Si terus berjuang agar kemenangannya segera
ditetapkan sekaligus dilantik setelah keluarnya Surat
Keputusan dari Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Karena rumitnya persoalan yang melilit Memo
Hermawan, maka orang-orang disekeliling Agus Supriadi
melakukan upaya agar yang dilantik cukup bupati saja.
Kubu Memo, tentu saja tidak terima perlakuan tidak adil
itu apalagi pemilihan bupati satu paket dengan wakil
bupatinya. Masalah Memo tidak pernah berhenti terus dibawa
ke ranah hukum.
Beberapa guru yang pernah mengajar di SMEA PGRI
dan teman-teman sekolah Memo tidak luput dari pemeriksaan
pihak kepolisian untuk dimintai keterangan sekitar kesahihan
Memo bersekolah di SMEA PGRI Garut.
28
29. Kasus Memo sangat melelahkan, begitu diungkapkan
Kepala SMEA PGRI Zaenal Arifin kepada penulis. Ia tidak
menyangka buntut dari pemilihan bupati akan menyeret
dirinya.
Zaenal Arifin benar-benar menjadi “bintang” yang
diperebutkan oleh percaturan politik pasca pemilihan bupati.
Kubu Dede Satibi memanfaatkannya agar dapat membatalkan
hasil pemilihan. Namun sikap Zaenal Arifin yang pendiam
punya prinsip yang sangat kuat, yaitu ingin memberikan yang
terbaik bagi kepentingan kabupaten Garut sehingga lolos dari
kemungkinan terburuk. Misalnya terjadi huru-hara yang
meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat.
Kemenangan pasangan Agus-Memo mengakibatkan
terpecah belahnya birokrasi. Sebagian ada yang tetap berada
di kubu Dede Satibi karena masih menjabat bupati, sebagian
lagi ada yang berpihak kepada Agus-Memo.
Kepala Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Achmad
Muttaqien dan Asda I Wawan Dermawan, dan Kepala Diparda
Iman Alirahman tegas menyatakan dirinya berada di kubu
Agus-Memo. Bahkan Iman Alirahman dalam berbagai
kesempatan breefing dengan bupati Dede Satibi tidak sedikit
pun menunjukan keberpihakan kepada atasannya yang masih
berkuasa itu.
Sikap tegas Iman Alirahman semata-mata karena ia
adalah orangnya Memo Hermawan, dan memiliki target
merebut jabatan sekretaris daerah. Target serupa juga
menjadi incaran Achmad Muttaqien yang setia berada di
29
30. belakang Agus Supriadi. Ketika Agus-Memo dilantik menjadi
bupati dan wakil bupati, memang pilihan menduduki jabatan
sekda jatuh ke Achmad Muttaqien.
Pertarungan kekuasaan sudah mulai diperlihatkan oleh
bupati Agus Supriadi dan Wakil Bupatinya Memo Hermawan
dari perebutan jabatan sekda. Memo kalah telak karena gagal
mengusung Iman Alirahman. Namun bukan Memo kalau tidak
mampu memainkan bidak-bidak catur politiknya. Maka melalui
peranan Iman-lah kemudian tanpa disadari oleh Agus Supriadi
bahwa sebenarnya ia sedang terancam.
Ancaman itu terbukti ketika kemarahan dan kekesalan
Memo semakin memuncak, yang akhirnya meletuslah
gelombang demontrasi yang diawali oleh kehadiran Tim dari
Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penyelidikan di
pemda Garut bulan Juni 2007. (*)
Bungalau 12
Ada apa dengan Bungalau No 12 Hotel Sumber Alam.
Terkesan seperti bercanda, padahal peristiwa politik yang
tidak mungkin bisa dilupakan oleh para pelakunya. Sebelum
terjadi sesuatu di Bungalau tersebut, penulis bersama sdr.
Daba Tabrani Zeboa, salah seorang aktivis di Garut sempat
mendatangi Memo Hermawan untuk sekedar diskusi berkaitan
dengan terkatung-katungnya pelantikan bupati dan wakil
bupati.
30
31. Melalui perbincangan santai antara Memo Hermawan-
Penulis dan Daba Tabrani di salah satu ruangan di Hotel
Augusta awal Desember 2003, terungkaplah pernyataan
Memo yang mengejutkan sekaligus miris. Kenapa tidak, waktu
itu Memo tegas menyatakan “bagi saya dilantik atau tidak
dilantik tidak jadi masalah tetapi kalau gedung DPRD, gedung
pemda dan pusat kota Garut hancur lebur saya siap
menanggung semua resiko hukuman mati sekali pun”.
Penulis bertanya “sebenarnya apa yang menyebabkan
semua itu”. Dijawab oleh Memo, kuncinya ada di Kepala SMK
PGRI Zaeanal Arifin. Jika ada surat pernyataan yang dibuat
Kepala SMK PGRI maka pihak Departemen Dalam Negeri akan
segera memproses pengangkatan Agus-Memo sebagai bupati
dan wakil bupati Garut.
Penulis dan Daba Tabrani Zeboa, tentu saja dibuat
kaget dan miris jika apa yang diungkapkan Memo menjadi
kenyataan. Penulis dan sdr. Daba kemudian berinisiatif
menghubungi Kepala SMK PGRI tanpa pamrih apa pun,
semata-mata demi penyelamatan Garut saja.
Dalam pembicaraan di rumah pak Zaenal Arifin, di Jalan
Mustofa Kamil Tarogong dibahas kemungkinan-kemungkinan
terburuk yang bakal menimpa Garut. Salah satunya adalah
kehancuran infrastruktur yang sudah terbangun dengan baik,
seperti gedung DPRD, gedung Pemda dan pusat pertokoan di
kota Garut.
Pak Zaenal terkaget-kaget dengan kemungkinan
tersebut, dia pun mengajak penulis dan Daba Tabrani
31
32. mengkonsultasikan apa yang dikehendaki oleh Memo kepada
kakaknya DR. Adang Hambali, dosen di Universitas Islam
Negeri (UIN) Bandung.
DR. Adang Hambali bersedia datang ke Garut, dan
penulis mengatur pertemuan di Bungalau No.12 Hotel Sumber
Alam sekitar pertengahan Desember 2003. Di Bungalau
tersebut, ternyata DR. Adang Hambali sudah sangat paham
dengan kondisi kabupaten Garut dan dia pun menyatakan apa
yang diinginkan oleh Memo Hermawan tidak ada masalah
yang penting adiknya Zaenal Arifin siap membuat keterangan
dari sekolah yang dipimpinnya.
Redaksional pernyataan dari Zaenal Arifin dibuat
masing-masing oleh penuis, Zaenal Arifin dan Memo
Hermawan sendiri. Isinya menyatakan bahwa benar Memo
Hermawan adalah lulusan SMK PGRI Garut. Waktu itu juga
Memo melalui telepon gengangamnya (HP)
mengkonsultasikan redaksional dengan Kepala Biro Otda
Pemprop Jabar Drs. Tjatja.
Tjatja memandu Memo secara redaksional yang
dikehendaki sebagai persyaratan mempercepat SK dari
Mendagri. Kesimpulannya redaksional versi Tjatja-lah yang
terpakai dan penulis yang membuatnya di komputer milik
penulis. Kopinya di dalam disket karena waktu itu masih
jarang menggunakan flashdisk.
Pertemuan di Bungalau No.12 berakhir tanpa ada
komitmen apa pun dengan Memo Hermawan jika yang
bersangkutan benar-benar dilantik menjadi wakil bupati. DR.
32
33. Adang Hambali, adiknya Zaenal Arifin, Penulis dan Daba
Tabrani semata-mata hanya ingin masalah di Garut cepat
selesai sehingga tidak terjadi tindakan yang merugikan
masyarakat.
Tanggal 13 Januari 2004 ketika penulis sedang rapat di
kantor Redaksi Harian Metro Bandung (sekarang Tribun
Jabar), karena waktu itu penulis masih menjadi wartawan
Metro Bandung ditelepon oleh Memo agar pulang ke Garut
untuk menyelesaikan naskah pernyataan dari Kepala SMK
PGRI versi Tjatja.
Menurut Memo, esok harinya tanggal 14 Januari 2004 ia
ditunggu oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri
(sekarang Kemendagri) Oentarto Sindung Mawardi untuk
menyerahkan surat keterangan/pernyataan dari Kepala SMK
PGRI dalam kepentingan dikeluarkannya Surat Keputusan
Pengangkatan dirinya sebagai Wakil Bupati Garut.
Tanggal 20 Januari 2004 SK Mendagri keluar, namun
dalam waktu hampir bersamaan Memo Hermawan dikabarkan
ditangkap pihak Polda Jabar atas tuduhan pemalsuan ijazah.
Perkembangan politik memang berjalan sangat cepat, Memo
pun dipulangkan dan hari Jum’at tanggal 23 Januari 2004
dilantiklah Agus Supriadi-Memo Hermawan oleh Gubernur
Jawa Barat Danny Setiawan.
Memo Hermawan boleh dilantik bersama Agus Supriadi,
namun masalah hukum Memo terus berjalan. Nyaris setiap
saat Memo digoyang aksi demonstrasi agar penggunaan
ijazahnya yang diduga palsu terus diusut.
33
34. Setiap muncul aksi unjuk rasa, maka yang dibuat sibuk
dan menguras tenaga pikiran serta ongkos politik adalah
Iman Alirahman dan kawan-kawan. Anton Heryanto tampil
sebagai eksekutor karena memang memiliki otoritas dalam
penggunaan dana APBD.
Memang sulit ditelusuri aliran dana dalam penanganan
kasus Memo, atau memang tidak ada niat dari aparat
penegak hukum menelusurinya. Padahal ketika Erlan Rivan
ditetapkan sebagai tersangka mulai terbuka aliran dana APBD
masuk kemana-mana. (*)
Bertindak dengan Hati
Wajah boleh seram dan terkesan bengis, apalagi sehari-
harinya bergaul dengan tahanan dan narapidana di Lembaga
Pemsayarakatan (LP) Garut ternyata hatinya luluh juga. Itulah
Daba Tabrani Zeboa, blasteran ayah dari Pulau Nias Sumatera
Utara dan ibu dari Garut asli.
Suara yang selalu keras dalam berbagai hal, terutama
jika berdialog atau diskusi, namun Kepeduliannya terhadap
kabupaten Garut sangat luar biasa. Ketika gonjang-ganjing
dan terkatung-katungnya pelantikan bupati dan wakil bupati
Garut terpilih (Agus Supriadi-Memo Hermawan) ia tidak
menginginkan suasana kabupaten Garut kacau balau apalagi
terjadi pertumpahan darah dan bakar-bakaran.
34
35. Seringkali pemikiran positif muncul dari benaknya,
termasuk mengajak penulis untuk menemui calon wakil bupati
terpilih Memo Hermawan karena tersiar kabar bahwa Memo
dengan kader PDIP-nya akan melakukan tindakan keras jika
Memo gagal dilantik sebagai wakil bupati.
Kala itu Daba Tabrani sempat mengemukan
pendapatnya “ janganlah dari konflik politik melebar menjadi
kerusuhan yang tidak ada artinya, bahkan hanya akan
merugikan masyarakat. Semua aturan hukum dan politik
adalah produk manusia yang bisa diubah-ubah kecuali
Al-Qur’an”.
Berangkat dari pemikiran itulah ia bersama penulis ingin
meyakinkan Memo Hermawan seputar kebenaran kabar yang
merebak di tengah-tengah masyarakat. Faktanya, terkatung-
katungnya pelantikan bupati dan wakil bupati terselesaikan
juga setelah melalui serangkaian pembicaraan antara Memo
Hermawan dengan Kepala SMK PGRI Zaenal Arifin yang
difasilitasi Daba Tabrani Zeboa dan penulis.
Daba Tabrani memang bukan seorang aktivis yang selalu
“memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan”, karena toh
ia tidak “dibayar” oleh siapa pun semata-mata sebagai bentuk
kepedulian kepada Garut agar tidak mengalami kehancuran
hanya karena tidak dilantiknya pasangan calon bupati dan
wakil bupati terpilih. Semua tindakan harus dengan hati
bukan dengan perasaan. Jika dengan hati maka semua
persoalan akan terselesaikan dengan baik tanpa harus
35
36. menelan korban. Itulah yang menjadi pemicu Daba Tabrani
Zeboa mau menemui Memo Hermawan bersama penulis. (*).
Memo dan Kepala SMK PGRI
Tanggal 23 Januari 2004 Agus Supriadi dan Memo
Hermawan resmi menjadi bupati dan wakil bupati Garut masa
bakti 2004-2009. Dua pemimpin berbeda latar belakang itu
harus mengendalikan pemerintahan dengan segudang
permasalahannya.
Agus Supriadi dengan latar belakang militer, tentu saja
penerapan disiplin merupakan prioritas utamanya. Di satu sisi
harus mendisiplinkan jajarannya, namun di lain sisi bupati
Agus Supriadi membuat kebijakan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip disiplin. Salah satunya adalah memberikan
kepercayaan penuh kepada Anton Heryanto, seorang
pelaksana pada Bagian Keuangan Sekretariat Daerah.
Sekitar setahun perjalanan kepemimpinan Agus-Memo,
penulis tidak pernah berhubungan dengan kekuasaan
termasuk dengan Memo Hermawan. Penulis pun
berkonsentrasi dengan profesi sebagai wartawan dan selalu
mengkritisi kebijakan bupati yang dianggap tidak sesuai
harapan rakyat.
Anton Heryanto, dan Wawan Nurdin, yang dikenal
sebagai geng di jajaran birokrasi datang ke rumah penulis
dengan maksud akan mengislahkan penulis dengan Memo
36
37. karena tidak pernah ada hubungan lagi. Penulis pun dibawa
oleh mereka ke rumah dinas wakil bupati yang berada di
Jalan Sudirman (Depan Bekas Mapolwil Priangan, sekarang
Mapolres Garut).
Waktu itu penulis minta kepada Anton Heryanto dan
Wawan Nurdin, jika ingin mempertemukan penulis dengan
Memo Hermawan harus menyertakan pula Kepala SMK PGRI
Zaenal Arifin.
Alasan penulis, tidak ingin ada kesalahpahaman terlebih
suuzdon bahwa seakan-akan saya ada deal-dealan dengan
Memo Hermawan. Misalnya diberi fasilitas karena sudah
menjadi wakil bupati.
Pertemuan di rumah dinas Wakil Bupati itu berlangsung
santai dan hangat, diselingi senda gurau nyaris tidak ada
batasan antara wakil bupati dengan rakyatnya.
Ketika itu Memo berjanji akan membantu SMK PGRI,
yang memang tengah kesulitan dalam hal sarana serta
prasarana. Bahkan ruangan kelas pun tidak memadai,
termasuk sangat kurangnya guru berstatus PNS.
Melalui Anton Heryanto, SMK PGRI mendapat bantuan
berupa pembangunan tiga unit ruang belajar. Sedangkan
penulis yang terlanjur memiliki ikatan bathin dengan Kepala
SMK PGRI serta Memo Hermawan menerima permintaan
Kepala SMK agar mau menjadi Ketua Komite Sekolah.
37
38. Beberapa karyawan pemda Garut yang merupakan
lulusan SMEA PGRI menggagas acara re-uni. Penulis masuk
dalam jajaran panitia re-uni, termasuk di dalamnya pejabat
Bank Jabar Drs. Yamin Abdul Latif dan Drs. Dedi (sekarang
Kabid PMG) di Dinas Pendidikan Garut.
Secara politis Memo Hermawan mendapat pengakuan
yang luar biasa, karena didaulat menjadi Ketua Alumni SMEA
PGRI. Namun demikian tidak mematahkan persoalan
hukumnya karena kasusnya terus menggelinding kendati
belakangan dikabarkan sudah dihentikan perkaranya.
Memang ada kekecewaan di diri penulis karena tidak
berhasil meyakinkan geng Memo di Pemda Garut agar
memberikan penghargaan kepada Zaenal Arifin, setidak-
tidaknya ia dipromosikan dalam jabatan sebagai Kepala SMK
Negeri atau dalam jabatan yang sama baik di SMP maupun di
SMA.
Masalahnya, Zaenal Arifin adalah seoarang PNS yang
dari persyaratan sudah terpenuhi. Hanya saja, nasib Zaenal
Arifin tidak seperti yang lain. Hingga berakhirnya Memo
Hermawan dari jabatan Wakil Bupati, tetap saja Zaenal Arifin
menjadi Kepala SMK PGRI. Ironis, memang…..
Dalam waktu bersamaan, sekitar di awal tahun 2005,
penulis dihubungi Sony MS, salah seorang wartawan yang
juga guru SMP namun sangat dekat hubungan secara
personalnya dengan Memo Hermawan dan Iman Alirahman.
38
39. Sony meminta kepada penulis menjadi pemimpin
Redaksi Surat Kabar Umum Garoet Pos. Di belakang Koran
Garoet Pos itu ada Memo Hermawan, Iman Alirahman, Anton
Heryanto dan Wawan Nurdin.
Selain mengajak penulis, atas permintaan Memo
Hermawan, Iman Alirahman dan Wawan Nurdin, diajak pula
Asep Burhannudin (Ketua KNPI), Asep Irvan Setiawan (Ketua
PHRI) yang penulis ketahui ketika berkumpul di rumah makan
Copong dan turut hadir waktu itu Ajengan Mimih Haeruman,
seoarang aktivis yang merupakan tokoh kerusuhan
Tasikmalaya Tahun 1996.
Kenapa Ketua KNPI harus dilibatkan?. Alasannya, karena
KNPI memiliki jaringan sampai ke pelosok pedasaan. Seluruh
Ketua KNPI tingkat kecamatan dilibatkan dalam mengelola
Surat Kabar Umum Garoet Pos baik sebagai distributor
maupun kontributor.
Di awal berdirinya Surat Kabar Umum Garoet Pos,
jabatan Asep Burhannudin adalah Pemimpin Perusahaan,
sedangkan Asep Irvan Setiawan sebagai Direktur Utama
PT. Garut Cahaya Cemerlang, sebuah perusahaan yang
menerbitkan Surat Kabar Umum Garoet Pos.
Penulis yang masih terikat sebagai wartawan Harian
Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar-Grup Kompas) tidak
mampu menolak tawaran tersebut.
Berlokasi di Jalan Pasundan 47, penulis resmi menjadi
Pemimpin Redaksi yang segala sarana serta fasilitas sudah
39
40. disediakan oleh Wawan Nurdin dan kawan-kawan termasuk
para pegawainya.
Tanggal 17 Maret 2005, Surat Kabar Umum Groet Pos
resmi diterbitkan perdana dan lounchingnya di rumah makan
Adirasa dihadiri langsung oleh bupati Agus Supriadi dan wakil
bupati Memo Hermawan setelah mengikuti upacara Hari Jadi
Garut di lapangan Otto Iskadardinata (alun-alun Garut). (*)
Jabatan Tidak Digenggam
Drs. Zaenal Arifin adalah seorang pribadi yang nyantri,
santun, dan lembut. Kelembutannya membuat orang lain
tidak akan menyangka kalau ia seoarang pahlawan dalam
pergolakan politik di kabupaten Garut.
Ia dipercaya mengelola SMK (dulu SMEA) PGRI dalam
keadaan yang sangat memprihatinkan. Kenapa tidak, lokasi
sekolahnya saja diusir oleh sebuah Yayasan Gereja Pasundan
di Jalan Bratayudha.
Zaenal Arifin memutar otaknya untuk menyelamatkan
anak didik, yang kemudian mendapatkan lokasi baru di Jalan
Karacak berupa tanah kosong bekas lahan pesawahan. Ia
pontang-panting membangun ruang belajar tanpa bantuan
dari pemerintah.
Tidak terbetik dalam pikiran Zaenal Arifin, sekolah yang
dipimpinnya akan menjadi pusat perhatian publik pada akhir
40
41. tahun 2003 pasca pemilihan bupati Garut yang dimenangkan
pasangan Agus Supriadi-Memo Hermawan.
Tandatangannya ternyata dipalsukan oleh seseorang
yang pernah bekerja sebagai pegawai Tata Usaha di SMEA
PGRI di masa jayanya. Pemalsu tandatangan tersebut
bernama Isur Suryana yang mendapat perintah dari Drs.
Duden Suherman, pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten
Garut yang tiada lain adalah sohibnya Memo Hermawan.
Isur diperintahkan membuat Surat Keterangan dari SMK
PGRI untuk memenuhi persyaratan Memo Hermawan saat
akan maju menjadi calon wakil bupati Garut mendampingi
calon bupati Agus Supriadi. Entah apa yang mendorong Isur
sehingga berani memalsukan tandatangan Kepala SMK PGRI
Zaenal Arifin demi kepentingan Memo Hermawan.
Isur Suryana dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri
Garut dalam proses persidangan yang sama sekali tidak
menyentuh Memo Hermawan dan Duden Suherman. Yang
pasti pengacaranya kecewa karena dua nama tersebut hanya
sebagai saksi saja.
Zaenal Arifin, ternyata baru mengetahui tandatangannya
dipalsukan setelah pemilihan bupati yang tiba-tiba ia menjadi
“bintang” yang diperebutkan oleh kelompok yang bertikai
pasca pemilihan bupati.
Kalau saja Zaenal Arifin konsisiten tidak mau
mengeluarkan Surat Keterangannya bagi kepentingan Memo
Hermawan, maka karir politik Memo sudah berakhir pada
41
42. tahun 2004 karena dipastikan hanya calon bupati terpilih saja
yang memperoleh Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri
yang berhak memimpin Kabupaten Garut.
Pahlawan penyelamat kabupaten Garut itu hingga kini
masih tetap menjadi Kepala SMK PGRI, padahal ia
berkeinginan berkarir sebagai Kepala SMK atau SMP Negeri di
lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Garut.
Boleh jadi karena Zaenal Arifin sebagai pribadi yang
mendapat jabatan tanpa harus melalui mafia jabatan atau
dengan cara tidak halal, misalnya mengeluarkan uang pelicin.
Padahal melalui penulis sudah disampaikannya kepada Memo
Hermawan ketika masih menjadi wakil bupati dan kepada
Iman Alirahman serta Wawan Nurdin yang dikenal ahli dalam
mengatur jabatan.
Geng Memo Hermawan, yang terdiri dari Iman
Alirahman, Wawan Nurdin, Komar Mariyuana, Jaja Sudarja,
Hengki Hermawan hanya butuh Zaenal Arifin dalam
memuluskan perebutan kekuasaan saja, sementara
pengorbanan seorang Zaenal Arifin sama sekali tidak
dihargainya padahal ia tidak meminta fasilitas apa pun kecuali
ingin berkarir menjadi Kepala SMK atau SMP Negeri saja. (*)
Pejabat dan Dunia Hiburan
Pejabat dan wakil rakyat di kabupaten Garut identik
dengan dunia hiburan. Ketika tim dari Komisi Pemberantasan
42
43. Korupsi (KPK) tengah melakukan penggeledahan di kantor
Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Garut, yang waktu
itu Kepala BPKD-nya Komar Mariyuana, justru sejumlah
pejabat, wakil rakyat dan aktivis berkumpul di rumah makan
Copong.
Penulis termasuk salah satu yang ikut hadir di rumah
makan tersebut hingga menjelang waktu Isya. Yang hadir
waktu itu sepakat melanjutkan pertemuannya di Hotel
Imperium Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo Bandung. Penulis
berangkat belakangan menggunakan mobil kepunyaan
Hasanudin, salah seorang aktivis Garut.
Di Hotel yang tersedia ruangan karaokean ternyata
sudah menunggu beberapa pejabat dan wakil rakyat, antara
lain Asda III Kuparman, anggota DPRD Lucky Lukmansyah,
Anton Heryanto, Wawan Nurdin dan sejumlah staf dari BPKD.
Di ruang karaokean sudah disiapkan wanita yang
berprofesi sebagai Pemandu Lagu (PL) secara berpasang-
pasangan. Penulis juga sudah disediakan dan satu ruangan
(room) bersama Wawan Nurdin dan Anton Heryanto.
Malam itu dihabiskan hanya untuk bersenang-senang
dan dipastikan menguras kocek yang tidak sedikit. Yang pasti,
penulis meninggalkan hotel itu sekira jam 3.00 pagi.
Kegiatan serupa, dilakukan pula menjelang
penangkapan Agus Supriadi oleh KPK. Beberapa pejabat dari
BPKD, Bawasda (Inspektorat) dan DPRD berkumpul lagi di
Hotel Golden Boutique Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat.
43
44. Penulis dimintai bantuan oleh Kepala Bawasda Hengki
Hermawan untuk meyakinkan isteri mudanya karena setiap
saat selalau meneleponnya. Sangat boleh jadi, isterinya itu
pencemburu sehingga selalu memantau aktivitas suaminya di
Jakarta.
Demi keselamatan keluarga Hengki Hermawan, penulis
mau membantunnya dengan meyakinkan isterinya, bahwa
suaminya Hengki Hermawan belum bisa pulang cepat-cepat
ke Garut karena setiap hari harus memenuhi panggilan ke
kantor KPK di Jakarta.
Aktivitas di Hotel Golden Boutique yang tarifnya cukup
mahal itu, selain untuk memudahkan KPK melakukan
pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat menjelang
penangkapan Agus Supriadi, selebihnya memang dijadikan
ajang hiburan. Kenapa tidak, di hotel tersebut tersedia
berbagai fasilitas hiburan termasuk wanita-wanita
penghiburnya, selain wanita lokal ada pula wanita asing
seperti dari China, Hongkong dan Korea. (*).
Media Massa dan Kejatuhan Agus Supriadi
Sosok Agus Supriadi terbilang dekat dengan kalangan
pers. Ketika proses pencalonannya sebagai bupati Garut
selalu dikerubuti wartawan ketika ia dan keluarganya tinggal
di rumah kontrakan di Jalan Pajajaran Garut.
44
45. Kepemimpinan Agus Supriadi yang sarat kontroversi,
tentu saja menjadi buruan wartawan. Tidak heran, berita
tentang bupati Agus Supriadi selalu menghiasi halaman surat
kabar dan menjadi gunjingan di kalangan masyarakat.
Keberanian Agus Supriadi semakin kentara ketika
mengancam akan menggergaji pipa kilang gas bumi Darajat
yang dikelola PT. Chevron Texaco Energi Indonesia (CTEI),
sebuah perusahaan asing milik Amerika Serikat sebelum
persoalan yang berkaitan dengan bagi hasil bagi pemerintah
daerah belum diselesaikan secara baik dan menguntungkan
bagi Kabupaten Garut.
Gaya kepemimpinannya yang keras, tegas dan disiplin
membuat gerah para petinggi birokrasi di lingkungan pemda
Garut, apalagi tersiar kabar bahwa untuk mendapatkan
promosi jabatan harus menyetorkan sejumlah uang.
Pejabat di lingkungan pemda Garut tidak bisa
menerima gaya kepemimpinan Agus Supriadi yang penuh
disiplin itu, karena mereka sudah terbiasa dipimpin bupati
yang berasal dari sipil selama tiga periode, yaitu periode
Momon Gandasasmita (1988-1993), Toharudin Gani (1993-
1998) dan Dede Satibi (1998-2003).
Kendati tidak senang dengan gaya kepemimpinannya,
namun masalah jabatan tetap menjadi incarannya para
birokrat. Dalam kepemimpinan bupati Agus Supriadi,
keberadaan geng birokrasi tidak menonjol justru geng-geng
liar memanfaatkan nama bupati.
45
46. Geng liar itu kebanyakan dari kalangan luar yang
memang tidak terorganisir rapi seperti sehingga terkesan
seperti “calo jabatan” tidak seperti di era kepemimpinan
Dede Satibi dan kepemimpinan sekarang (bupati Aceng HM
Fikri).
Kondisi pemerintahan seperti itu menimbulkan
prasangka buruk dari kalangan elit di Kabupaten Garut,
bahkan sering muncul menjadi berita panas di salah satu
stasiun radio lokal yang menampung aspirasi pendengarnya.
Tentu saja gonjang-ganjing dari kabar yang memanas
itu menjadi buruan wartawan untuk diinvestigasi yang
kemudian munculah pemberitaan yang kerap membuat
banyak kalangan terutama kalangan elit tidak menyenangi
gaya kepemimpinan Agus Supriadi.
Namun demikian, sosok Agus Supriadi tidak pernah
menekan apalagi menakut-nakuti wartawan kendati dirinya
berlatarbelakang tentara. Agus justru menempatkan
wartawan sebagai mitranya, dan melalui peranan Anton
Heryanto selalu mengeluarkan kocek APBD guna membantu
tugas-tugas wartawan.
Ketika perseteruan elit, terutama yang dimotori wakil
bupati Garut Memo Hermawan maka gelombang
ketidaksenangan terhadap Agus Supriadi semakin menguat.
Awal kejatuhannya dipicu ketika Kepala Bappeda Iman
Alirahman menyatakan mundur dari jabatanya yang kemudian
diikuti oleh Anton Heryanto, sebagai Kepala Bidang Anggaran
46
47. di Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) serta sejumlah
pejabat lainnya.
Pengunduran diri Iman Alirahman dan kawan-kawan
membuat sejumlah surat kabar menempatkan berita tersebut
di halaman muka. Akibatnya, tidak lama berselang gelombang
aksi menurunkan Agus Supriadi nyaris tidak pernah berhenti
bahkan gedung pendopo pun sempat dikepung para
demonstran.
Mundurnya Anton Heryanto, ternyata mendapat
dukungan dari seluruh Fraksi di DPRD Garut. Bahkan Fraksi
PKS yang kurang baik hubungannya dengan Anton Heryanto
mendadak menyatakan dukungannya.
Tidak hanya kalangan DPRD, tokoh keras seperti Ketua
MUI Garut KH. Abdul Halim mendukung Anton Heryanto. Kiayi
galak itu selalu berkomunikasi dengan Anton pasca
mundurnya dari jabatan di Bagian Keuangan, padahal
sebelumnya tidak pernah terjalin hubungan dekat antara KH
Abdul Halim dengan Anton Heryanto.
Ketika gelombang aksi semakin memanas, dalam waktu
bersamaan tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi justru
tengah melakukan penyelidikan dugaan terjadinya
peyimpangan keuangan di pemda Garut.
Para pejabat pemda Garut pun hampir dua pekan
berada di Jakarta, dan membooking beberapa kamar di hotel
Golden Boutique Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat.
Sejumlah anggota DPRD Garut pun kerap muncul di hotel
47
48. tersebut, bahkan Kepala Bawasda (Drs. Hengki Hermawan)
mengaku ketakutan dan tidak pernah lepas dari senjata api
yang dimilikinya untuk berjaga-jaga dari kemungkinan
terburuk yang menimpa dirinya.
Keberadaan sejumlah pejabat pemda Garut di Jakarta
untuk memudahkan komunikasi dan pemeriksaan-pemriksaan
yang dilakukan pihak KPK. Yang lumayan lama berada di
Jakarta adalah para pejabat dari Badan Pengelola Keuangan
Daerah (BPKD) dan dari Bawasda (sekarang Inspektorat
Daerah).
Akhirnya Agus Supriadi dipanggil KPK ke Jakarta
tanggal 27 Juli 2007, dan tidak pernah kembali lagi hingga
sekarang karena diganjar hukuman 10 tahun penjara oleh
Pengadilan Tindak Pidana korupsi (Tipikor).
Ketika Agus Supriadi baru berada di tahanan Mapolres
Metro Jakarta Selatan sekitar dua pekan, seorang aktivis
Garut Hasanudin mengajak penulis mengunjungi Agus
Supriadi di tahanan.
Sesampainya di Mapolres Metro Jakarta Selatan, penulis
tidak masuk dan hanya mengantarkan Hasanudin saja.
Selanjutnya Hasanudin tetap berada di Jakarta dan di
tempatkan di salah satu hotel bersama ajudan bupati Agus
Supriadi yaitu Bambang.
Kiprah Hasanudin di Jakarta, ternyata di luar dugaan
mampu merubah kondisi yang dialami sejumlah pejabat di
48
49. lingkungan pemda Garut atas ancaman yang disebut-sebut
pernah diungkapkan Agus Supriadi.
Hasanudin berhasil meluluhkan Agus Supriadi, diawali
dari kedatangan Wakil Bupati Memo Hermawan
menjenguknya di tahanan. Sejak itu pula para pejabat pemda
Garut bergiliran mendatangi Agus Supriadi, sehingga saat itu
ruang tahanan yang dihuni Agus Supriadi sekaligus menjadi
tempat beraktivitas Agus Supriadi karena masih bersatatus
sebagai bupati, seperti menandatangani surat-surat atau
dokumen. (*)
Agus Supriadi Anggap Enteng Memo
Bupati Garut Agus Supriadi yang tampil elegan sebagai
sosok perwira menengah TNI-AD sangat disegani oleh
kalangan birokrat, namun secara politis Agus Supriadi belum
teruji karena lebih banyak bertugas di pasukan tempur
ketimbang di teritorial.
Ketika ia memasuki ranah politik dan harus berhadapan
dengan para politisi terutama wakil bupatinya Memo
Hermawan, kurang cermat menghitung kalkulasi politiknya
sehingga membiarkan Memo sekaligus memperlakukan
seperti “anak bawang”.
Memo nyaris tidak diberi peran dalam mengelola
pemerintahan dan pembangunan, bahkan dalam banyak hal
Memo dibiarkan liar. Padahal Memo diam-diam menggalang
49
50. kekuatan di jajaran birokrasi yang dimotori oleh Iman
Alirahman dan Anton Heryanto serta Wawan Nurdin.
Sejumlah pejabat di lingkungan pemda Garut banyak
yang mengakui kehebatan Memo walau pun Memo sering
disebut-sebut tidak jelas sekolahnya. Ir Widyana CES, jebolan
IPB dan pernah lama di lingkungan pemda Bekasi yang
kemudian beberapa kali menduduki jabatan eselon II di
pemda Garut, adalah salah satunya yang mengakui
kecerdikan, kepintaran dan kehebatan Memo Hermawan.
Memo memang bukan politisi yang jago pidato (orator),
melainkan jago dalam hal strategi. Ia piawai membangun
jaringan dengan berbagai kelompok, tidak heran jika
kelompok yang menyerangnya berkaitan dengan dugaan
penggunaan ijazah palsunya justru berbalik menjadi
pendukung Memo.
Hal itu tidak disadari oleh Agus Supriadi, karena boleh
jadi Agus Supriadi tetap beranggapan bahwa Memo tidak
jelas sekolahnya dan tidak membahayakan dirinya, karena
memang orang bodoh. Kalau saja orang-orang dekat Agus
Supriadi, terutama staf ahlinya memberi masukan bagaimana
bahayanya seorang Memo Hermawan, maka dapat dipastikan
bupati Agus Supriadi tidak akan jatuh di tengah jalan.
Staf ahli bupati saat itu dari kalangan politisi ada
Machyar Suara, dari akademisi ada Prof.DR. Ali Ramdani, dari
kalangan aktivis ada Usep Sobar. Bahkan satu lagi dari
kalanga aktivis yang tidak terstruktural yaitu Agustiana. Para
staf ahli itu tidak mungkin tidak memiliki referensi tentang
50
51. kecerdikan Memo dalam berpolitik, atau pura-pura tidak tahu
sehingga tidak dijadikan program dan strategi bahasan
bersama bupati Agus Supriadi. Atau sangat boleh jadi
membiarkan Memo dengan bola panasnya karena staf ahli
pun menghendaki agar bupati Agus Supriadi jatuh di tengah
jalan. (*).
Kalau Tidak Ikut Mundur
“Kalau saja waktu itu saya tidak ikut mundur, saya jamin
pak Agus Supriadi tidak mungkin jatuh dari jabatannya
sebagai bupati.” Demikian diungkapkan Anton Heryanto
kepada penulis.
Anton Heryanto yang saat itu tengah disibukan dengan
masalah keuangan, pada hari Jum’at (lupa tanggalnya) di
bulan Juli 2007 pagi hari datang Iman Alirahman ke ruangan
kerjanya.
Iman bicara panjang lebar tentang situasi di
pemerintahan, salah satunya adalah bekerja seperti robot dan
sapi perahan oleh bupati Agus Supriadi. Iman menyampaikan
niatnya kepada Anton untuk mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Kepala Bappeda pada Jum’at sore hari itu
yang kebetulan akan mengikuti breefing bersama bupati Agus
Supriadi.
Betul juga, setelah breefing Iman kembali menemui
Anton di kantornya yang hanya berjarak beberapa meter saja
51
52. dari gedung Pendopo. Iman menyampaikan keputusannya
bahwa ia sudah mundur dari jabatan Kepala Bappeda
langsung disampaikan ke bupati.
Anton menyatakan siap mengikuti langkah Iman, yaitu
mundur juga dari jabatannya dan akan menggelar jumpa pers
esok harinya (hari Sabtu).
Sejumlah media massa sontak memuat pernyataan
Iman dan Anton yang mengundurkan dari jabatannya masing-
masing. Hari Senin di acara apel pagi, bupati Garut Agus
Supriadi sangat marah kepada Iman dan Anton yang
disampaikannya dalam pidato di depan peserta Apel. “Si Iman
dan si Anton adalah pengkhianat karena sudah mundur dari
jabatannya.”
Situasi setelah mundurnya Iman dan Anton semakin
memanas. Wakil Bupati Memo Hermawan, yang memiliki
kedekatan secara personal dengan pejabat di Komisi
Pemberantasan Korupsi meminta saran bagaimana menyikapi
dugaan korupsi yang dilakukan bupati Agus Supriadi melalui
hubungan telepon selular yang dikeluarkan suaranya
(loudspeaker) disaksikan Anton Heryanto.
Pejabat KPK menyarankan untuk mempercepat
penangkapan bupati Agus Supriadi adalah dengan cara
dilakukannya aksi unjuk rasa. Memo bersama Anton, Iman
dan pejabat pemda lainnya mengumpulkan sejumlah logistik
guna menggalang aksi unjuk rasa menuntut bupati Agus
Supriadi mundur.
52
53. Setelah gelombang aksi massa terus melakukan unjuk
rasa ke kantor pemda, gedung DPRD, alun-alun bahkan
mengepung gedung Pendopo sekaligus rumah dinas bupati,
maka akhirnya tanggal 27 Juli 2007 KPK memanggil bupati
Agus Supriadi ke Jakarta dan tidak kembali lagi (dilakukan
penahanan). (*)
Agus Tawari Iman jadi Sekda
Bupati Agus Supriadi yang dikenal keras dan disiplin
ternyata memiliki catatan tersendiri terhadap birokrat
bawahannya yang mempunyai kemampuan dalam kinerjanya.
Salah satunya ia memuji kecerdasan Iman Alirahman yang
justru menjadi pemicu jatuhnya Agus Supriadi dari jabatannya
sebagai bupati.
Ketika Agus Supriadi berada di sel tahanan Polres Metro
Jakarta Selatan atas peranan Hasanudin tiba-tiba antipati
terhadap Achmad Muttaqien, yang saat itu masih menjabat
sekretaris daerah.
Bupati Agus Supriadi secara tegas akan segera
mencopot Achmad Muttaqien, namun ia masih kesulitan
mencari penggantinya sebagai pejabat pelaksana tugas (Plt)
sekda. Dengan berbagai pertimbangan yang sekaligus
didiskusikan dengan Hasanudin dan Ketua APDESI Asep
Hamdani menjatuhkan plihannya ke Iman Alirahman.
53
54. Melalui telepon genggam milik Ketua APDESI yang saat
itu berada bersama bupati Agus Supriadi di kamar
tahanannya menelpon penulis agar menghubungi Iman
Alirahman guna menyampaikan tawarannya mau menjadi
pejabat pelkasana tugas sekda Garut. Menurut Agus Supriadi,
nama Iman Alirahman sangat pantas menjadi sekda.
Penulis lalu menemui Iman Alirahman di kantor Bappeda
menyampaikan pesan dan amanat dari bupati Agus Supriadi.
Kebetulan di ruang kerja Iman Alirahman sudah ada Wawan
Nurdin. Iman menyatakan akan piker-pikir dulu sekaligus
mengonsultasikannya dengan Wakil Bupati Memo Hermawan.
Memo Hermawan yang kemungkinan sudah mendapat
laporan dari Iman Alirahman kemudian menelpon penulis
dengan menyatakan bahwa Iman Alirahman jangan mau
menerima tawaran dari bupati Agus Supriadi tersebut. Memo
mengkhawatirkan tawaran itu sebagai sebuah jebakan dari
Agus Supriadi, kendati Memo tidak menjelaskan secara rinci
bentuk dan akibat dari jebakan Agus Supriadi.
Bupati Agus Supriadi akhirnya secara resmi
memberhentikan Achmad Muttaqien dari jabatan sekda,
sekaligus mengangkat Budiman sebagai pelaksana tugas
sekda. Waktu itu yang sudah merapat ke Agus Supriadi agar
mengangkatnya sebagai sekda antara lain Yaya.S Permana,
Wowo Wibowo dan Hilman Faridz.
Agus Supriadi memang tidak sendirian dalam
menentukan pilihannya mengangkat Plt sekda, karena dari
kalangan aktivis selalu didampingi oleh Dadan, Deni Ramdani
54
55. dan Ujang Saeful (Ujang Geren) dengan kelompok Dabo-Ribo-
nya.
Nama Ujang Geren adalah salah seorang aktivis yang
komitmennya dengan Agus Supriadi sangat tinggi. Ia
mempertaruhkan segala-galanya dalam membela Agus
Supriadi, bahkan selalu mengawal Agus Supriadi dalam setiap
persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Ketika Agus Supriadi mengusung Budiman sebagai Plt
Sekda, justru Kepala Badan Kepagawaian Daerah (BKD) Ara
Koswara menjadi tumbalnya karena dipecat oleh Memo
Hermawan. Padahal Ara Koswara salah satu pejabat pemda
Garut yang sangat setia membantu logistik bagi kepentingan
Agus Supriadi setelah mendekam di tahanan.
Ara Koswara dipersalahkan mengangkat Tenaga Kerja
Kontrak (TKK) dengan imbalan uang pelicin. Padahal uang
pelican tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu
dengan menjual nama bupati. Sebut saja Hasanudin ikut
menitipkan beberapa orang TKK, dan penulis termasuk yang
menitipkan kakak sepupu yang berprofesi sebagai guru dan
perawat sebagai TKK melalui Hasanudin.
Dari kasus pengangkatan TKK, Ara Koswara pernah
berurusan dengan aparat penegak hukum di Polres dan
Kejaksaan Negeri Garut. Hanya saja kasusnya tidak berlanjut,
dan Ara sendiri kini menjadi pejabat fungsional alias tidak
diberi jabatan apa pun setelah diberhentikan dari jabatannya
sebagai Kepala BKD. (*).
55
56. Birokrat, Jaringan Politik dan Hukum
Naiknya Agus Supriadi dan Memo Hermawan sebagai
bupati dan wakil bupati tidak pernah lepas dari persoalan
hukum. Apalagi Memo Hermawan sejak awal memang sudah
bermasalah dengan hukum.
Birokrasi yang secara de jure berada di bawah
kekuasaan bupati namun faktanya de facto berada di bawah
kendali Wakil Bupati Memo Hermawan dengan Iman
Alirahman sebagai motornya. Kuatnya dominasi Memo
dengan Iman Alirahman, semakin memperkuat kelompok
birokrasi yang di bawahnya ada nama Hengki Hermawan,
Anton Heryanto, Wawan Nurdin, Erlan Rivan, Kuparman dan
Komar Mariyuana.
Setumpuk persoalan hukum yang melilit Memo dan
jajaran pejabat birokrasi lainnya selalu dapat diselesaikan
dengan menggunakan kekuatan politik. Kekuatan tersebut
tidak terlepas pula dari ajang perebutan kekuasaan, sehingga
ada kelompok yang diuntungkan secara hukum namun ada
pula kelompok yang justru jatuh karena hukum. Sebut saja
Ketua DPD Partai Golkar Garut, Drs. H. Ruhiyat Prawira MSi,
adalah bukti dari kekuatan politik yang tidak pernah mengenal
kompromi ketika sudah berhadap-hadapan dengan
kepentingan kekuasaan.
Ketika Memo Hermawan naik menjadi Penjabat Bupati
Garut, saat itu pula peta perpolitikan Garut merubah 360
derajat. Anton Heryanto yang merupakan tokoh kunci dan
tokoh pada jamannya Agus Supriadi justru didepak dari
56
57. kelompok Memo-Iman. Bahkan Anton harus mengalami nasib
terburuk yaitu digelandang di Kejaksaan Negeri Garut hingga
ke persidangan di Pengadilan Negeri Garut.
Korban berikutnya adalah sekda Garut Drs. Wowo
Wibowo, yang terpaksa selain dicopot dari jabatannya malah
sempat meringkuk di sel tahanan Mapolda Jawa Barat.
Beruntung Wowo Wibowo dinyatakan bebas oleh Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Garut.
Jaringan birokrasi yang dimotori Memo Hermawan,
dengan tangan kanannya Iman Alirahman dan Wawan
Nurdin terbukti sukses memuluskan pasangan Aceng HM
Fikri-Diky Candra terpilih menjadi bupati dan wakil bupati
Garut periode 2009-2014, dan mengantarkan Memo
Hermawan menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat. Iman
Alirahman sendiri dipercaya menjadi pejabat sementara sekda
Garut setelah ditinggalkan Wowo Wibowo.
Sosok Wawan Nurdin sebagai birokrat memiliki jaringan
yang sangat luar biasa luasnya di institusi penegakan hukum,
yaitu di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Ia memiliki
kemampuan mengatur pejabat dan politisi yang tersandung
masalah hukum, sehingga kasusnya bisa terhenti atau
menggantung.
Pejabat dan politisi yang dibantunya terdiri dari dua
kelompok, Pertama mereka yang memiliki dana kuat dan
merupakan kelompoknya, sehingga secara politis harus
mengikuti permainan Wawan Nurdin bersama kelompoknya.
Kedua, yaitu pejabat dan politisi yang hanya memiliki dana
57
58. namun bukan dari kelompoknya. Yang terkahir ini, jika sukses
lolos dari jeratan hokum maka secara otomatis harus tunduk
dan masuk kelompok Wawan Nurdin.
Wawan Nurdin pernah bercerita kepada penulis tentang
masalah hukum yang dihadapi mantan Kasubbag Keuangan di
BPKD Erlan Rivan. Wawan Nurdin mau membantunya asal
ada uang tidak lebih dari satu milyar rupiah. Dana sebesar itu
tidak ada artinya dibandingkan dengan jabatan dan
kehormatan.
Erlan ternyata meragukan kemampuan Wawan Nurdin,
akhirnya mencari jalan sendiri dan menurut Wawan Nurdin
dana yang dikeluarkan Erlan Rivan hingga diputus oleh
Pengadilan diperkirakan mencapai lebih dari dua milyar
rupiah, atau jauh lebih besar jika diurus oleh Wawan Nurdin.
(*).
Politisi Rebut Pemerintahan
Lengsernya Wowo dari jabatan sekda, semula akan
memuluskan Iman Alirahman sebagai penggantinya. Namun
lagi-lagi sandiwara perebutan kekuasaan tidak terhindarkan.
Birokrat senior Hilman Faridz tiba-tiba menyodok dengan
mendapat dukungan dari banyak kalangan termasuk para
politisi.
Kelompok Iman dengan kekuatan kekuatan politiknya
menyadari bahwa kekuatan Hilman semakin besar bahkan
58
59. disebut-sebut mendapat dukungan dari Gubernur Jawa barat
melalui jaringan partai tertentu.
Jalan Hilman menuju jabatan sekda tak terelakan lagi,
namun kubu Iman tidak tinggal diam jauh-jauh hari sudah
dipersiapkan perangkat untuk menghentikan langkah Hilman,
yaitu dengan keluarnya Peraturan Bupati Garut No. 131
Tahun 2009 Tentang Pembatasan usia pensiun bagi pejabat
di lingkungan pemda Garut.
Korban pertama dari Perbup tersebut, tentu saja adalah
Hilman Faridz. Ia hanya menjabat sebagai sekda selama
sembilan saja karena keburu terkena Peraturan Bupati.
Sedangkan dua pejabat pemda lainnya yaitu Kadisdik Komar
Mariyuana dan Asda I Arus Sukarna melenggang manis
karena mendapat perpanjangan sebelum Peraturan Bupati
diterbitkan.
Politisi di Garut memang piawai dan cerdik dalam
merebut kekuasaan di pemerintahan. Politisi pendukung
Hilman harus diapresiasi karena mereka cerdik mengantarkan
Hilman kendati belum berkuasa secara penuh karena hanya
sembilan bulan.
Politisi yang berada di belakang Iman Alirahman, juga
harus diapresiasi karena mereka tidak pernah memudar
semangatnya untuk menjadikan Iman sebagai penguasa di
pemerintahan. Iman Alirahman memang sangat dikehendaki
oleh bupati Aceng HM Fikri dan Wakil Bupati Diky Candra,
karena pemimpin muda itu akan merasakan nyaman
didampingi oleh sekdanya sekelas Iman Alirahman.
59
60. Sosok Iman Alirahman, memang sangat disegani selain
usianya relatif masih muda dibandingkan pejabat birokrasi
eselon II lainnya juga memiliki kemampuan luar biasa dalam
membangun jaringan baik jaringan politik maupun jaringan
hukum.
Iman memiliki seseorang yang sangat dipercayainya,
yaitu Wawan Nurdin yang sudah bersahabat ketika Iman
menjadi Camat Bayongbong dan Wawan Nurdin waktu itu
menjadi Kepala Desa Bayongbong. Persahabatannya berlanjut
hingga Wawan Nurdin diangkat menjadi pegawai negeri sipil
(PNS) di lingkungan pemda Garut.
Iman Alirahman dan Wawan Nurdin layaknya “gula dan
manis-nya” yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Sebagai uji coba, Wawan Nurdin sempat diangkat menjadi
Kepala Bidang Pemerintahan Desa di Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) menjelang
perhelatan akbar pemilihan umum (Pemilu) Legislatif dan
pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Jabatannya itu, justru sebagai sarana untuk
menggalang kepala desa menyukseskan calon anggota DPRD
Jawa Barat Bagus Wiwaha dan Mayjen (Purn) Yahya
Sacawinata untuk DPR dari partai Demokrat. Nama Yahya
Sacawinta, waktu itu disebut-sebut bakal menjadi Menteri
Dalam Negeri jika SBY terpilih kembali menjadi presiden RI.
Setelah pemilu selesai Wawan Nurdin kembali ke habitatnya,
yaitu menjadi pejabat fungsional (jafung) di Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA).
60
61. Beberapa pergantian pejabat di lingkungan pemda
Garut dalam kepemimpinan bupati Aceng HM Fikri tidak
terlepas dari peranan Wawan Nurdin dalam menempatkan
sejumlah pejabat dari mulai eselon IV hingga eselon II.
Kongkritnya, Wawan Nurdin adalah sosok birokrat yang
sangat cerdik dalam menjabarkan sekaligus
mengaktualisasikan pola yang dirancang Iman Alirahman
dalam menguasai pemerintahan, politik dan hukum. (*)
Wajah Wakil Rakyat (DPRD Garut)
Wakil rakyat di DPRD Kabupaten Garut pasca
tumbangnya rezim orde baru, memang menjadi sangat
berkuasa. Jika periode pertama reformasi 1999-2004 yang
diketuai Ir. Iyos Somantri dan Dedi Suryadi sangat ditakuti
eksekutif. Apa yang diminta pimpinan DPRD tidak pernah ada
yang ditolaknya.
Bupati Dede Satibi dengan sekdanya Rahmat Sudjana,
dan penguasa anggaran waktu itu Drs. Yaya S. Permana
sebagai Asda III mampu mengatur semua keiinginan dan
permintaan DPRD kendati pada akhirnya wakil rakyat
tersandung masalah hukum, menyusul terendusnya
penyimpangan dana APBD yang dikenal dengan APBD-gate.
DPRD periode 2004-2009 semakin menguat setelah
Dedi Suryadi (PPP) naik menjadi Ketua DPRD mengalahkan
Kohar Somantri didukung oleh bupati Garut Agus Supriadi.
Dedi Suryadi sebagai politisi muda yang cerdik dan energik
61
62. diam-diam membangun jaringan dengan wakil bupati Garut
Memo Hermawan melalui peranan Iman Alirahman-Wawan
Nurdin-Anton Heryanto dari pihak birokrasi, diperkuat
Hasanudin dari kelompok aktivis yang dikenal dekat dengan
Dedi Suryadi.
Kocek DPRD mengalir terus dari dana APBD baik yang
mengalir secara normatif berdasarkan ketentuan yang ada
maupun yang dilakukan “di belakang layar”, terutama dalam
memuluskan Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban
(LKPJ) yang selalu diselesaikan secara “adat” jika kemudian
diketahui ada yang tidak sesuai dengan kehendak DPRD.
Memo Hermawan sebagai Wakil Bupati, dan Dedi
Suryadi sebagai Ketua DPRD adalah dua sosok politisi yang
tersandung masalah hukum. Jika kasus Memo masih terus
menggantung di Polda dan Kejaksaan Tinggi (jalan di
tempat), sementara kasus Dedi Suryadi sudah masuk ke
Mahkamah Agung.
Berkat jaringan politik dan hukum yang dilakukan para
birokrat cerdik, maka kedua kasus tersebut pun dalam
terselesaikan “secara adat”. Memo hingga kini tetap “aman”
dan Dedi Suryadi sendiri justru dalam Putusan Peninjauan
Kembali (PK) di Mahkamah Agung dinyatakan bebas. Memo
akhirnya melenggang ke gedung DPRD propinsi sebagai
anggota periode 2009-2014, sedangkan Dedi Suryadi terhenti
melenggang ke Senayan (gedung DPR-RI) karena perolehan
suaranya tidak signifikan dalam pemilu legislatif tahun 2009.
62
63. Ahmad Bajuri diuntungkan oleh Peraturan Pemerintah
No. 16 Tahun 2010 sebagai implementasi dari UU No. 27
Tahun 2009 Bahwa yang berhak menjadi Ketua DPRD adalah
dari partai pemenang pemilu. Akhirnya Lucky Lukmansyah
harus rela di posisi sebagai Wakil Ketua DPRD.
Golkar dan PDIP mendapat jatah pula untuk posisi wakil
Ketua, yaitu Drs H. Ruhiyat Prawira dan Dedi Hasan Bahtiar.
Penunjukan Dedi Hasan Bahtiar dari PDIP semata-mata
karena condongnya Memo terhadap Dedi Hasan, yang
sebelumnya Memo pun sempat meminta pendapat dan
pandangan kepada Penulis jika Dedi Hasan menjadi Wakil
Ketua DPRD.
Pasca pemilu legislatif 2009 dengan kemenangan partai
Demokrat, maka berubah pula wajah DPRD Garut karena
politisi anak bawang Ahmad Bajuri tiba-tiba naik menjadi
Ketua DPRD padahal yang dikehendaki penguasa di
pemerintahan kabupaten Garut adalah politisi PPP. Bahkan
fungsionaris partai Demokrat, yaitu H. Gunadi BSc menggebu-
gebu memperjuangkan agar Ir. Lucky Lukmansyah Trenggana
sebagai Ketua DPRD.
Penulis sempat dihubungi H. Gunadi untuk
memperjuangkan Lucky. Penulis, yang juga anggota KPU
menyampaikan pendapat kepada H. Gunadi bahwa Lucky
tidak mungkin bisa naik menjadi Ketua DPRD karena
mekanismenya sudah diatur oleh PP No. 16 Tahun 2010 dan
tidak ada mekanisme pemilihan pimpinan DPRD melainkan
penunjukan sesuai perolehan kursi hasil pemilu 2009
63
64. Wajah DPRD Garut periode 2009-2014 dari segi kualitas
jauh berbeda dengan periode sebelumnya yang memiliki
sejumlah anggota sekelas Dedi Suryadi, Kohar Somantri,
Haryono, Dikdik Darmika, Gaos Syamdani, Ali Rohman.
Di periode 2009-2014 hampir semua pemain baru,
kecuali yang tersisa antara lain Lucky Lukmansyah, Ahmad
Bajuri, Dedi Hasan Bahtiar dan Yogi Yudawibawa. Semuanya
belum teruji sehingga bisa sekelas dengan wajah anggota
DPRD periode sebelumnya. Hanya Lucky Lukmansyah yang
lumayan teruji. Sedangkan Ahmad Bajuri masih harus banyak
belajar, sehingga ia tidak pernah bisa lepas dari ketiak
Wawan Nurdin dan Bagus Wiwaha.
Wajah DPRD Garut sedikit tertolong dengan masuknya
mantan pejabat pemda Garut, H Sobirin dari partai Demokrat.
Sosok Sobirin memang cukup berpengalaman, maka tidak
heran jika ia diposisikan sebagai Ketua Komisi C yang salah
satunya membidangi masalah keuangan.
Sobirin banyak terlibat di Panitia Anggaran (Panggar),
yang setidak-tidaknya bias mengimbangi pihak eksekutif yang
jago-jago dalam hal perhitungan anggaran.
Dua anggota DPRD Garut terpilih dari Partai Golkar
(Agus Ridwan, SH) dan dari PAN (Usep Jumhur) memperoleh
kursinya dengan mengorbankan seniornya di partai masing-
masing.
Agus Ridwan mendepak Ojo Sukmana di Daerah
Pemilihan Garut I berkat bantuan salah satu anggota Panitia
64
65. Pemilihan Kecamatan (PPK) Karangpawitan Asep Irvan yang
mengatur perolehan suara sehingga Agus Ridwan menyalip
perolehan suara Ojo Kusmana. Padahal faktanya suara Ojo
Kusmana jauh di atas suara yang diperoleh Agus Ridwan.
Asep Irvan nyaris dipidanakan, namun penulis yang
juga anggota KPU menyarankan kepada Ketua KPU Garut Aja
Rowikarim, M.Ag sebaiknya Asep Irvan dipecat saja dari
anggota PPK Kecamatan Karangpawitan. Asep Irvan akhirnya
dipecat dan dalam pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden 2009 tidak lagi ikut serta dalam kegiatan kepemiluan
di PPK Kecamatan Karangpawitan.
Sedangkan Usep Jumhur dari PAN merebut kursi DPRD
setelah calon terpilih urutan peraih suara terbanyak pertama
H. Gaos Syamdani meninggal dunia sebelum pelantikan
dilaksanakan. Mestinya pengganti H. Gaos Syamdani adalah
Hj. Tinnekeu, namun isteri mantan Ketua DPD PAN Garut H.
Sofwy Irvan itu dilaporkan ke Polres Garut dengan tuduhan
penggunaan ijazan palsu SMA-nya.
Akhirnya Hj. Tinnekeu menyatakan mengundurkan diri
dari calon anggota DPRD dan belakangan sekaligus mundur
dari keanggotaannya sebagai kader Partai berlambang
matahari. Mundurnya Hj. Tinnekeu memuluskan Usep Jumhur
yang berada di posisi ketiga menjadi anggota DPRD Garut
periode 2009-2014, dan di internal PAN masa bakti Usep
Jumhur hanya 2,5 Tahun karena berikutnya akan diganti oleh
calon urutan ke 3 Haris.
65
66. Begitulah percaturan politik dalam merebut kekuasaan
menghalalkan segala cara, termasuk menari di atas
penderitaan temannya sendiri yang penting kekuasaan dapat
digenggamnya. ( *).
Skandal Seks yang Di peti es kan
Adalah satu-satunya anggota DPRD Garut dari Partai
Gerinda, Hilman Yudiswara tersandung masalah pelecehan
seksual karena membawa gadis di bawah umur ke salah satu
hotel di kawasan wisata Cipanas.
Hilman dilaporkan oleh orang tua gadis yang
dikencaninya ke polisi. Hilman pun ditetapkan sebagai
tersangka, namun kasusnya hingga kini lenyap ditelan bumi
(dipeti es kan).
Dipetieskannya kasus Hilman berawal ketika Hilman
bersama ayahnya menemui penulis di kantor Redaksi Garoet
Pos. Mereka meminta bantuan penulis agar kasusnya dapat
diselesaikan tanpa harus berlanjut ke ranah hukum. Alasan
menemui penulis karena penulis salah satu anggota KPU.
Penulis menyarankan agar menemui Hasanudin (aktivis)
yang diketahui penulis punya kedekatan khusus dengan
Kapolres Garut waktu itu AKBP. Amur Candra dan
Kasatreskrim AKP. Oon Suhendar. Penulis kemudian
mempertemukan Hilman dan ayahnya dengan Hasanudin di
restoran Pujasega.
66
67. Selanjutnya Hasanudin bekerja untuk Hilman dengan
menggunakan lobi-lobi intensif di Polres Garut. Hasilnya,
kasus Hilman dipetieskan bahkan sekarang Hilman
melenggang menjadi Ketua DPC Partai Gerinda Kabupaten
Garut.
Hasanudin sempat mengeluhkan kekecewaannya
kepada penulis setelah sukses membantu Hilman yang kasus
pidananya tidak berlanjut. Hilman dianggap politisi kemarin
sore yang tidak komit atas penyelesaian kasusnya. Bahkan
Hasanudin menyatakan politisi seperti Hilman tidak bisa
diandalkan.
Hal yang sama dialami oleh Bendahara DPD PAN Garut,
Hj Tinekeu yang dilaporkan oleh kader PAN ke Polres dengan
dugaan menggunakan ijazah palsu dalam pencalonannya
sebagai anggota DPRD Garut pada Pemilu 2009.
Hj. Tinekeu adalah calon anggota DPRD Garut dari
Daerah Pemilihan Garut 2 meliputi kecamatan Tarogong
Kaler, Tarogog Kidul, Banyuresmi, Samarang dan Pasirwangi.
Ia seharusnya menggantikan H. Gaos Syamdani yang
meninggal dunia sebelum pelaksanaan pelantikan anggota
DPRD Garut hasil pemilu 2009.
Hj. Tinnekeu tidak dikehendaki menggantikan Gaos
Syamdani, maka didongkel-lah dugaan penggunaan ijazah
palsunya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut kerja keras
menangani proses pergantian antar waktu (PAW), dan
anggota KPU Garut M. Iqbal Santoso dan pegawai di
67
68. Sekretariat KPU sempat diperiksa sebagai saksi setelah Hj.
Tinnekeu ditetapkan sebagai tersangka.
Lagi-lagi istilah “politik itu kejam”, memang benar dan
dialami oleh Hj Tinnekeu yang harus menyatakan mundur dari
pencalonannya sebagai anggota DPRD Garut terpilih karena
ada deal politik tidak akan dilanjutkan perkaranya di
kepolisian.
Terbukti sudah, setelah Hj Tinnekeu menyatakan
mundur lalu DPRD dan KPU memproses pergantian antar
waktu (PAW), kemudian keluarlah surat keputusan Gubernur
Jawa Barat yang menetapkan dan mengangkat Usep Jumhur
sebagai pengganti Hj Tinnekeu maka kasusnya di Polres Garut
hingga kini raib ditelan bumi alias dipeti es kan.(*)
Anggota DPRD Diincar Penegak Hukum
Penegak hukum terutama dari Polres Garut mulai
mengincar dan membidik anggota DPRD, yang diduga
menerima aliran bantuan sosial (bansos) dan dana alokasi
khusus (DAK) di Dinas Pendidikan.
Anggota Fraksi Partai Demokrat Ny. Euis Komariah
kepada penulis mengaku didatangani sejumlah anggota polisi
berseragam ke gedung DPRD Garut meminta keterangan
seputar aliran DAK dari Disdik, karena diduga sejumlah
anggota dewan mendapat jatah proyek yang didanai dari DAK
tersebut.
68
69. Anggota dewan yang satu ini terbilang vokal sehingga
meminta petugas dari kepolisian itu untuk tidak meminta
keterangannya di gedung DPRD melainkan secara resmi di
Markas Kepolisian Resort Garut dengan berita acara
pemeriksaan. Dengan begitu, menurut Ny. Euis Komariah bisa
leluasa berbicara apa adanya berkaitan data dan keterangan
yang dibutuhkan pihak kepolisian.
Namun ternyata tidak ada kelanjutannya, dan masih
menurut Ny Euis Komariah yang biasa dipanggil dengan
panggilan “bunda” itu padahal dirinya sudah sangat siap.
Namun belakangan malah Ketua Komisi D, dr. Helmi Budiman
yang membidangi pendidikan dan kesehatan sudah dimintai
keterangannya.
Dana Alokasi Khusus (DAK) di Dinas Pendidikan
memang sangat besar, selain ada proyek pengadaan buku,
ada juga proyek pembangunan dan rehabilitasi sekolah-
sekolah. Kabar yang merebak proyek-proyek tersebut sudah
ada yang memegang oleh pihak-pihak yang memiliki akses
termasuk di kalangan anggota DPRD.
Karena menumpuknya proyek di Dinas Pendidikan
mengakibatkan bupati Garut Aceng HM Fikri mengalami
kesulitan mencari penggganti Kepala Dinas Pendidikan yang
ditinggalkan Komar Mariyuana setelah resmi pensiun.
Kesulitan tersebut sangat boleh jadi berkaitan dengan
pengamanan proyek yang terlanjur sudah didistribusikan ke
banyak pihak, karena sangat sulit mencari figur Kepala Dinas
69
70. Pendidikan setangguh Komar Mariyuana yang dikenal dekat
dengan aparat penegak hukum.
Kerja ekstra keras berpulang kepada sekda Garut Iman
Alirahman untuk mengamankan semua persoalan yang ada di
lingkungan pemda Garut, tidak terkecuali masalah yang
menumpuk di Dinas Pendidikan, termasuk yang melibatkan
anggota DPRD.
Lagi-lagi Iman diuji kemampuannya, kepiawaian
menggalang jaringan dan kekuatan hukumnya agar semua
persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan baik seperti
motto Pegadaian “menyelesaikan masalah tanpa masalah”.
(*)
Aktivis dan Proyek D.A.K Buku
Jika anggota DPRD bermain dalam proyek yang didanai
dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan sudah tidak aneh
lagi. Kalau seorang aktivis bermain dalam proyek yang sama,
memang aneh apalagi melibatkan pejabat penegakan hukum
untuk memuluskan perolehan proyeknya.
Adalah Direktur Pusat Informasi dan Studi
Pembangunan (PISP) Hasanudin, dengan menggaet Kepala
Satuan Reserse Polres Garut AKP. Oon Suhendar berhasil
melumpuhkan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut
Komar Mariyuana dan jajarannya sehingga proyek D.A.K buku
70
71. yang nilainya 1,8 milyar rupiah diraih oleh Hasanudin dengan
mengusung bendera PT. Mangle Panglipur.
Hasanudin pernah bercerita kepada penulis bagaimana
kerasnya “berperang” melawan pesaing-pesaingnya dalam
memperebutkan proyek tersebut bahkan tangan kanan bupati
Garut Isur Suryana yang membawa pengusaha kuat harus
terpental oleh kepiawaian Hasanudin dengan gayanya yang
khas memanfaatkan ketakutan jajaran birikrat di Dinas
Pendidikan oleh pejabat di Polres Garut. Hasanudin mengaku
kecewa karena pengusaha dari Jakarta yang meminjam
bendera PT. Mangle Panglipur tidak konsisiten atas komitmen
yang disepakatinya menyangkut “komitmen fee” sebesar
sepuluh (10) persen dari nilai proyeknya.
Dari fee yang diperoleh Hasanudin dialirkan ke
beberapa pihak, terutama ke pejabat di Polres Garut, pejabat
di Dinas Pendidikan, pejabat di pemda Garut yang terlibat
dalam panitia lelang, seperti Kepala Bagian Pengendalian
Pembangunan Heri Suherman, SE.
Penulis sendiri kecipratan sebesar tiga juta rupiah,
karena saat itu Hasanudin tahu bahwa penulis sedang
kesulitan uang untuk membayar sewa kontrak kantor Redaksi
SKU Garoet Pos yang sudah habis masa kontraknya dan
pemiliknya hampir tiap hari mempertanyakan apakah akan
dilanjutkan atau tidak sewa kontraknya.
Hasanudin yang kebetulan numpang aktivitasnya di
kantor penulis mengaku kewalahan menghadapi sejumlah
71
72. orang yang meminta bagian dari fee proyek buku DAK itu,
termasuk sejumlah wartawan. (*)
Desakan PAW
DPRD Garut hasil pemilihan umum 2009 terus digoyang
kelompok masyarakat tertentu, menyusul beberapa anggota
DPRD yang bermasalah hukum, terutama tiga anggotanya
dari Fraksi partai Golkar, yaitu Wakil Ketua DPRD H. Ruhiyat
Prawira, Ketua Fraksi Rajab Prinaldi, dan Agus Ridwan.
DPRD kerap didatangi kelompok masyarakat yang
mendesak agar tiga anggota DPRD tersebut diberhentikan
karena dianggap sudah tidak memenuhi syarat setelah
dinyatakan bersalah oleh pengadilan sebelum yang
bersangkutan dilantik menjadi wakil rakyat.
Sekretaris DPRD Garut Ny. Farida Susilawati mengakui
berdatangannya kelompok masyarakat yang mendesak
dilakukannya pergantian antar waktu (PAW) anggota DPRD
itu. Hal yang sama dibenarkan oleh anggota Fraksi partai
Demokrat Ny. Euis Komariah. Bahkan menurut Ny. Euis
Komariah kelompok masyarakat yang mendesak PAW itu
menuding KPU menerima uang pengamanan dari anggota
DPRD yang bermasalah agar tidak di-PAW.
Tentu saja KPU Garut tidak terima tuduhan yang
menyakitkan itu, karena bagi KPU tidak pernah menunda-
nunda Pergantian Antar Waktu (PAW) jika prosesnya
72
73. ditempuh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Setahu penulis bahwa mekanisme PAW diawali dari
pengusulan partai politik ke DPRD untuk memproses
Pergantian Antar Waktu (PAW), yang surat dan dokumen-
dokumen lainnya ditandatangani oleh ketua dan sekretaris
partai bersangkutan. Selanjutnya DPRD mengusulkan ke KPU
agar melakukan verifikasi, dan pihak KPU membentuk
Kelompok Kerja PAW, dengan anggota pokjanya selain dari
KPU juga melibatkan unsur pemerintah daerah dan sekretariat
DPRD.
Jika hasil verifikasi sudah terpenuhi maka KPU
mengajukan usulan ke Gubernur Jawa Barat untuk
menerbitkan surat keputusan pemberhentian dan
pengangkatan anggota DPR yang terkena pergantian antar
waktu (PAW).
Kelompok penekan/pressur PAW ke DPRD Garut, diduga
kuat ada muatan-muatan politis tertentu tanpa memahami
prosedur yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan sehingga dengan arogan dan kejinya menuduh KPU
main mata dengan tuduhan menerima aliran dana dari
anggota DPRD yang bermasalah.
KPU Garut baru menyelesaikan satu kali pergantian
antar waktu (PAW) dari Partai Amanat Nasional (PAN), itu pun
prosesnya memakan waktu cukup lama karena permasalahan
di internal partai cukup alot juga sehingga pemberkasan
bolak-balik antara KPU-DPRD dan PAN. (*).
73
74. Tebang Pilih Penanganan Hukum
Penegakan hukum pasca tumbangnya rezim orde baru
memang semakin kencang terutama yang berhubungan
dengan pejabat dan wakil rakyat. Akan halnya di abupaten
Garut dimulai dengan diseretnya pimpinan DPRD Garut
periode 1999-2004, kemudian mnyusul bupati Garut H. Agus
Supriadi.
Setelah itu berturut-turut mantan Kepala Dinas Pasar
Drs. Djohansyah Kustiaman, mantan Sekda Garut H. Achmad
Muttaqien, dan mantan Sekda Wowo Wibowo, mantan Kabag
Keuangan Kuparman, mantan pejabat di di BPKD Anton
Heryanto, Erlan Rivan, Enjang dan lain-lain.
Dari pihak DPRD, tercatat nama mantan Wakil Ketua
Dikdik Darmika, Barman Sachyana (alm), Ofie Firmansyah, Ali
Rohman. Politisi sekaligus pengusaha H. Ruhiyat Prawira,
Rajab Pirnandi, Endang Suhendar, Agus Ridwan.
Sedangkan mantan Kepala Dinas PU Bina Marga, Ir.
Deni Suherlan dan sejumlah pejabat di bawahnya, kemudian
mantan pejabat di Bagian keuangan Totong, SE.,M.Si dan
Dra. Aneu Hayati, M.Si yang sudah ditetapkan sebagai
tersangka sejak tahun 2004 hingga kini terus menggantung
bahkan Deni Suherlan diangkat menjadi Kepala Dinas
Bangunan dan Pemukiman (sekarang Dispertacip). Totong
dan Aneu Hayati justru saat ini menjadi Kepala DPPKA dan
Kepala Bidang Perimbangan di DPPKA.
74
75. Kepiawaian orang atau pihak yang menggantung kasus
tersebut memang luar biasa. Bayangkan saja, tersangka dari
kalangan pengusaha yaitu H. Ocad Rosadi yang sempat
berstatus tahanan kota setelah dijatuhi hukuman empat tahun
kini beada di sel tahanan.
Hal yang sama juga dialami mantan bupati Garut
H. Agus Supriadi yang dijatuhi hukuman 10 tahun oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Agus Supriadi
termasuk yang terkait kasus serupa bersama Ocad Rosadi,
Totong dan Aneu Hayati dalam aliran dana pembayaran
pembangunan pasar Cikajang.
Penulis sempat berbincang-bincang dengan salah
seorang Jaksa di Kejaksaan Negeri Garut, kenapa Totong
digantung. Menurut Jaksa tersebut karena Totong adalah
pejabat yang berada pada jabatan panas. Maksudnya yaitu
jabatan yang mengelola keuangan daerah.
Belakangan Kepala Dinas Bina Marga H. Atang
Subarzah, juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh
Polda Jabar, namun lagi-lagi prosesnya menggantung. Kesan
tebang pilih penanganan hukum tidak bisa dipungkiri lagi.
Faktanya, Memo Hermawan, Deni Suherlan, Totong, Aneu
Hayati, Ahmad Bajuri (Ketua DPRD), Atang Subarzah nyaris
tidak terusik lagi.
Hal yang sama, diawal kepemimpinan bupati Aceng HM.
Fikri sempat berurusan dengan Polda Jabar dari dugaan
penerimaan penerimaan dana bantuan sosial untuk kegiatan
istigosah sewaktu bupati Agus Supriadi. Lagi-lagi penanganan
75