MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN POST PARTUM PADA NY. R DENGAN...Warnet Raha
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN POST PARTUM
PADA NY. R DENGAN ATONIA UTERI DI BPS BUNDA DELIMA
KECAMATAN TONGKUNO KABUPATEN MUNA
TANGGAL 13 S.D. 14 APRIL 2015
Karya Tulis
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN POST PARTUM PADA NY. R DENGAN...Warnet Raha
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN POST PARTUM
PADA NY. R DENGAN ATONIA UTERI DI BPS BUNDA DELIMA
KECAMATAN TONGKUNO KABUPATEN MUNA
TANGGAL 13 S.D. 14 APRIL 2015
Karya Tulis
SlideShare now has a player specifically designed for infographics. Upload your infographics now and see them take off! Need advice on creating infographics? This presentation includes tips for producing stand-out infographics. Read more about the new SlideShare infographics player here: http://wp.me/p24NNG-2ay
This infographic was designed by Column Five: http://columnfivemedia.com/
No need to wonder how the best on SlideShare do it. The Masters of SlideShare provides storytelling, design, customization and promotion tips from 13 experts of the form. Learn what it takes to master this type of content marketing yourself.
10 Ways to Win at SlideShare SEO & Presentation OptimizationOneupweb
Thank you, SlideShare, for teaching us that PowerPoint presentations don't have to be a total bore. But in order to tap SlideShare's 60 million global users, you must optimize. Here are 10 quick tips to make your next presentation highly engaging, shareable and well worth the effort.
For more content marketing tips: http://www.oneupweb.com/blog/
Are you new to SlideShare? Are you looking to fine tune your channel plan? Are you using SlideShare but are looking for ways to enhance what you're doing? How can you use SlideShare for content marketing tactics such as lead generation, calls-to-action to other pieces of your content, or thought leadership? Read more from the CMI team in their latest SlideShare presentation on SlideShare.
How to Make Awesome SlideShares: Tips & TricksSlideShare
Turbocharge your online presence with SlideShare. We provide the best tips and tricks for succeeding on SlideShare. Get ideas for what to upload, tips for designing your deck and more.
Asuhan kebidanan komprehensif merupakan asuhan kebidanan yang diberikan secara menyeluruh dari mulai hamil, bersalin, bayi baru lahir, sampai pada nifas. Asuhan kebidanan ini meliputi pengkajian, menegakkan diagnosa secara tepat, antisipasi masalah yang mungkin terjadi, menentukan tindakan segera, melakukan perencanaan dan tindakan sesuai kebutuhan ibu, serta melakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan.
Asuhan kebidanan komprehensif merupakan asuhan kebidanan yang diberikan secara menyeluruh dari mulai hamil, bersalin, bayi baru lahir, sampai pada nifas. Asuhan kebidanan ini meliputi pengkajian, menegakkan diagnosa secara tepat, antisipasi masalah yang mungkin terjadi, menentukan tindakan segera, melakukan perencanaan dan tindakan sesuai kebutuhan ibu, serta melakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan.
Similar to Hubungan paritas dan umur dengan kejadian perdarahan pasca persalinan primer di rsud wonosari (20)
Hubungan paritas dan umur dengan kejadian perdarahan pasca persalinan primer di rsud wonosari
1. KARYA TULIS ILMIAH
HUBUNGAN PARITAS DAN UMUR DENGAN KEJADIAN
PERDARAHAN PASCA PERSALINAN PRIMER DI RSUD WONOSARI
TAHUN 2011
Disusun untuk Memenuhi Ketentuan Melakukan Kegiatan Penyusunan Karya
Tulis Ilmiah sebagai Persyaratan Mencapai Derajat Diploma III Kesehatan
Jurusan Kebidanan
Diajukan oleh: SH I N T A
D E W I W U L ANDAR I NIM :
P07124108071
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA JURUSAN
KEBIDANAN
TAHUN 2012
2. PERSETUJUAN PEMBIMBING
Usulan Penelitian berjudul “Hubungan Paritas dan Umur dengan Kejadian
Perdarahan Pasca Persalinan Primer di RSUD Wonosari Tahun 2011” ini telah
mendapat persetujuan pada 1 September 2012.
Menyetujui,
Pembimbing I
Heni Puji Wahyuningsih, M.Keb
NIP. 197511232002122002
Pembimbing II
Anita Rahmawati, S.SiT
NIP. 197108112002122001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Kebidanan
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta
Heni Puji Wahyuningsih, M.Keb
NIP. 197511232002122002
3. PENGESAHAN
USULAN PENELITIAN
Hubungan Paritas dengan Kejadian Perdarahan Pasca Persalinan Primer di
RSUD Wonosari Tahun 2011
Disusun Oleh : SH I N T A
DE W I WU L A ND A R I NIM.
P07124108071
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 4 September 2012
SUSUN AN DEW AN PE NG UJI
Ketua Dewan Penguji
Asmar Yetti Zein, S.Pd., SKM., SST
NIP. 195802201986032001
...............................................
Anggota I
Heni Puji Wahyuningsih, M.Keb
NIP. 197511232002122002
...............................................
Anggota II
Anita Rahmawati, S.SiT
NIP. 197108112002122001
..............................................
Mengetahui,
Ketua Jurusan Kebidanan
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta
Heni Puji Wahyuningsih, M.Keb
NIP. 197511232002122002
4. KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga tugas menyusun Karya Tulis Ilmiah “Hubungan
Paritas dan Umur dengan Kejadian Perdarahan Pasca Persalinan Primer di RSUD
Wonosari Tahun 2011” dapat diselesaikan.
Usulan penelitian ini terwujud atas bimbingan, arahan, dan bantuan dari
berbagai pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu. Pada kesempatan ini, penulis
menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :
1. Dr. Hj. Lucky Herawati, SKM., M.Sc. selaku Direktur Politeknik Kesehatan
Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
menyusun usulan penelitian.
2. Heni Puji Wahyuningsih, M.Keb. selaku Ketua Jurusan Kebidanan Politeknik
Kesehatan Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk mengikuti ujian
usulan penelitian.
3. Direktur RSUD Wonosari yang telah memberikan izin untuk melakukan
penelitian.
4. Heni Puji Wahyuningsih, M.Keb selaku pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis.
5. Anita Rahmawati, SSiT selaku pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis.
6. Asmar Yetti Zein, S.Pd., SKM., SST selaku penguji yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis.
7. Bidan ruang bersalin dan pegawai instalasi rekam medis di RSUD Wonosari
iv
5. yang telah membantu peneliti untuk mencari data pada saat penelitian
pendahuluan.
8. Orang tua, saudara, dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan
kepada penulis.
Penulis menyadari usulan penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itu
penulis mengharapkan masukan, kritik, dan saran yang bersifat membangun dari
berbagai pihak.
Yogyakarta,
Penulis
v
6. DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix
INTISARI ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 5
C. Tujuan penelitian............................................................................ 6
D. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 7
E. Manfaat Penelitian ......................................................................... 7
F. Keaslian Penelitian......................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori .............................................................................. 11
1. Perdarahan Pasca Persalinan Primer....................................... 11
2. Paritas ...................................................................................... 26
3. Umur ........................................................................................ 29
B. Landasan Teori .............................................................................. 31
C. Kerangka Konsep........................................................................... 32
D. Hipotesis Penelitian........................................................................ 33
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .............................................................................. 34
B. Desain Penelitian ........................................................................... 34
C. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 36
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel .................... 36
E. Populasi dan Sampel ..................................................................... 38
F. Jenis Data dan Prosedur Pengumpulan Data................................. 42
G. Instrumen Pengumpulan Data ........................................................ 45
H. Pengolahan dan Analisis Data ....................................................... 45
I. Etika Penelitian .............................................................................. 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .............................................................................. 53
B. Pembahasan .................................................................................. 57
C. Keterbatasan Penelitian ................................................................. 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 66
B. Saran ............................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 69
vi
7. DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Kerangka Konsep.................................................................... 32
Gambar 2 : Desain Penelitian .................................................................... 35
vii
8. Daftar Tabel
Halaman
Tabel 1 : Faktor Terkait dan Etiologi PPP ................................................. 12
Tabel 2 : Distribusi Frekuensi dan Distribusi Relatif Paritas pada
Ibu Bersalin/Nifas di RSUD Wonosari tahun 2011 ...................... 54
Tabel 3 : Distribusi Frekuensi dan Distribusi Relatif Umur pada
Ibu Bersalin/Nifas di RSUD Wonosari tahun 2011 ...................... 54
Tabel 4 : Hubungan Paritas dan Umur dengan Kejadian PPP Primer
di RSUD Wonosari tahun 2011 .................................................. 55
Tabel 5 : Variabel-Variabel Kandidat Model Multivariat ............................. 56
Tabel 6 : Hasil Analisis Multivariat Paritas dan Umur dengan
Kejadian PPP Primer di RSUD Wonosari tahun 2011 ................ 56
viii
9. DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Jadwal Penelitian .................................................................. 75
Lampiran 2 : Anggaran Biaya Penelitian .................................................... 76
Lampiran 3 : Data Penelitian...................................................................... 77
Lampiran 4 : Hasil Uji Analisis Bivariat ....................................................... 78
Lampiran 5 : Hasil Uji Analisis Multivariat .................................................. 80
Lampiran 6 : Surat Izin Penelitian dari Bappeda ........................................ 81
Lampiran 7 : Surat Pernyataan Telah Melaksanakan Penelitian ................ 82
ix
10. INTISARI
Latar Belakang : 30% kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh perdarahan pasca
persalinan (PPP), sedangkan di DIY PPP adalah penyebab nomor satu kematian ibu
(32%). Faktor predisposisi PPP primer salah satunya adalah paritas dan umur.
Terdapat peningkatan kejadian PPP dari tahun 2010 ke 2011 di RSUD Wonosari.
Tujuan Penelitian : Untuk mendapatkan informasi tentang hubungan paritas dan
umur dengan kejadian PPP primer di RSUD Wonosari tahun 2011.
Metode Penelitian : penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
observasi korelasional analitik dan pendekatan kasus kontrol. Subjek penelitian
adalah ibu bersalin/nifas pada bulan Januari-Desember 2011 sejumlah 73 kasus dan
73 kontrol di RSUD Wonosari. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder.
Instrumen pengumpulan data menggunakan format lembar kerja. Data dianalisis
dengan uji korelasi chi square, koefisien kontingensi (C), Odd Ratio (OR), dan
regresi logistik dengan alpha 5% dan power 80% dengan bantuan Program R 2.9.0.
Hasil : Proporsi ibu bersalin/nifas dengan paritas berisiko (P1 dan P≥4) adalah
50,7% dan dengan paritas tidak berisiko (P2-3) adalah 49,3%. Proporsi ibu
bersalin/nifas dengan umur berisiko (U<20 dan U>35 tahun) adalah 32,9% dan
dengan umur tidak berisiko (U20-35) adalah 67,1%.Tidak terdapat hubungan antara
paritas dengan PPP primer (c2 = 0,110, P-Value = 0,741, C = 0,009). Tidak terdapat
hubungan antara umur dengan PPP primer (c2 = 3,104, P-Value = 0,078, C = 0,14).
Paritas berisiko 1,16 kali menyebabkan PPP primer meskipun angka tersebut tidak
bermakna secara statistik (OR = 1,16, 95% CI = 0,55-2,25). Umur berpeluang 1,87
kali menyebabkan PPP primer meskipun angka tersebut tidak bermakna secara
statistik (OR = 1,87, 95% CI = 0,88-4,03). Berdasarkan analisis multivariat, OR
paritas adalah 1,01 dan OR umur adalah 1,87 meskipun keduanya memiliki nilai
Pr(>|z|)>0,05. Dengan demikian, seseorang dengan status primipara dan berumur
42 tahun memiliki peluang sebesar 48% untuk mengalami PPP primer.
Kesimpulan : Paritas dan umur bukan merupakan faktor risiko utama yang dapat
menimbulkan PPP primer.
Kata Kunci : Paritas, Umur, Perdarahan Pasca Persalinan Primer.
x
11. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Hal ini merupakan bagian dari upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Ernoviana dan Hasanbasri, 2006).
Indikator yang dinilai paling peka dan telah disepakati secara nasional
sebagai ukuran derajat kesehatan suatu wilayah meliputi : (1) Umur Harapan
Hidup, (2) Angka Kematian Ibu, (3) Angka Kematian Bayi, (4) Angka
Kematian Balita, dan (5) Status Gizi Balita/Bayi (Dinas Kesehatan Provinsi
DIY, 2011).
Sampai saat ini, kematian ibu masih merupakan masalah prioritas di
Indonesia (Ernoviana dan Hasanbasri, 2006). Berdasarkan Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) 228 per
100.000 kelahiran hidup sehingga penurunan AKI di Indonesia masih jauh
dari yang diharapkan untuk dapat mencapai target Millenium Development
Goals (MDG) yaitu 102 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2015
(Kemenkes RI, 2010).
Audit kematian ibu di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
tahun 2009 menunjukkan bahwa angka kematian maternal adalah sebesar
109/100.000 kelahiran hidup (Siswosudarmo, 2010). Jumlah tersebut
menurun dari 114/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2004, tetapi
1
12. 2
meningkat dibandingkan pada tahun 2008 yaitu sebanyak 104/100.000
kelahiran hidup. Meskipun angka kematian ibu terlihat ada kecenderungan
penurunan, tingkat laju penurunan selama periode lima tahun terakhir terlihat
melandai/kurang tajam (Dinas Kesehatan Provinsi DIY, 2011).
Kematian ibu dapat disebabkan faktor penyebab langsung dan
penyebab tidak langsung. Salah satu faktor penyebab langsung kematian ibu
adalah perdarahan (Kemenkes RI, 2011). World Health Organization
(WHO) memperkirakan sebanyak 150.000 ibu meninggal setiap tahunnya
karena perdarahan saat melahirkan (Family Care International, Inc. dan
Gynuity Health Projects, 2006). Di Indonesia kematian ibu yang disebabkan
oleh perdarahan yaitu sebesar 30% (Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, 2007). Perdarahan postpartum merupakan penyebab nomor satu
kematian ibu di DIY yakni sebesar 32% (Siswosudarmo, 2010).
Perdarahan dalam lingkup obstetri merupakan perdarahan
pervaginam yang dihubungkan dengan kehamilan intrauteri. Perdarahan
tersebut diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu perdarahan abortus,
perdarahan antepartum, perdarahan intrapartum, dan perdarahan
postpartum atau disebut juga perdarahan pasca persalinan (PPP) (Magowan
dkk, 2009).
Perdarahan Pasca Persalinan yang dapat menyebabkan kematian ibu
45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir (PPP primer) (Saifuddin,
2008). Hal ini didukung fakta yang menyatakan bahwa seperempat kematian
maternal di seluruh dunia disebabkan oleh komplikasi kala III persalinan
13. 3
sehingga terjadilah perdarahan segera setelahnya atau dalam 24 jam pasca
persalinan (Mousa dan Alfirevic, 2007). Proporsi kematian maternal yang
disebabkan oleh PPP primer berbeda-beda antara negara maju dan negara
berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa kematian akibat PPP primer
sebenarnya dapat dicegah (Fawole dkk, 2010).
Seorang ibu yang mengalami PPP primer dapat meninggal dengan
cepat (biasanya dalam dua jam) kecuali jika penanganan segera dan tepat
dilakukan (Family Care International, Inc. dan Gynuity Health Projects, 2006).
Ditambah lagi, ibu yang mengalami perdarahan yang parah dan bertahan
hidup (near misses) secara signifikan lebih berpotensi meninggal dalam
jangka waktu satu tahun setelah persalinan.
Faktor risiko PPP primer dibagi menjadi faktor risiko antenatal dan
intrapartum. Faktor risiko antenatal antara lain umur, ras, Indeks Massa
Tubuh (IMT), paritas, penyakit medis, kehamilan postterm, makrosomia,
kehamilan kembar, fibroid, perdarahan antepartum, riwayat PPP sebelumnya
dan sesar. Faktor risiko intrapartum antara lain induksi persalinan, durasi
persalinan, pemberian analgesik, metode persalinan, episiotomi, dan
korioamnionitis.
Dalam obstetrik modern, terdapat pengertian potensi risiko dimana
suatu kehamilan dan persalinan selalu mempunyai risiko terjadinya
komplikasi persalinan. Untuk memperkecil peluang tersebut, dibutuhkan
upaya proaktif sejak awal kehamilan dan selama kehamilan sampai
menjelang persalinan yang dilakukan bersama-sama oleh tenaga kesehatan,
14. 4
bidan, ibu hamil, suami, keluarga, serta masyarakat. Dalam mendukung
keberhasilan tujuan pendekatan risiko, harus dilakukan penyuluhan tentang
kondisi ibu hamil dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi kepada
ibu hamil, suami, serta keluarga agar sadar, waspada. Pihak tersebut juga
agar menjadi tahu, peduli, sepakat, dan gerak untuk berangkat untuk
melakukan persiapan dan perencanaan kehamilan dan persalinan yang
aman. (Rochjati, 2003). Dari uraian faktor risiko terjadinya PPP primer di
atas, paritas dan umur merupakan informasi sederhana namun besar
dampaknya terkait deteksi dini faktor risiko dan pencegahan selama masa
prakehamilan.
Emilia (2011) memaparkan bahwa faktor paritas atau riwayat
persalinan bayi yang viabel sering dikaitkan dengan peningkatan risiko
terjadinya PPP. Hal ini dikarenakan ibu primipara berisiko mengalami trauma
jalan lahir, sedangkan ibu dengan status paritas yang tinggi (multiparitas)
cenderung mengalami peregangan uterus yang berlebihan, kelelahan otot
uterus, perlukaan jalan lahir, dan retensi produk kehamilan sehingga lebih
banyak mengalami kejadian atonia uteri. Padahal, hampir semua penyebab
komplikasi PPP dapat dicegah atau ditangani dengan upaya preventif seperti
perbaikan keadaan umum dan anemia, pertolongan persalinan dengan
tenaga terlatih, serta upaya kuratif seperti pemberian cairan intravena, dan
pemberian uterotonika (Saifuddin, 2008).
Terdapat perbedaan kajian mengenai hubungan paritas terhadap
PPP primer. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa paritas bermakna
15. 5
sebagai faktor risiko PPP primer, tetapi sebagian penelitian lain menyebutkan
bahwa paritas tidak bermakna sebagai faktor risiko PPP primer. Studi yang
melaporkan adanya hubungan tersebut juga gagal untuk mengendalikan
faktor pengganggu lain seperti usia ibu (Emilia, 2011).
Faktor umur telah terbukti berhubungan dengan meningkatnya risiko
terjadinya perdarahan pascapersalinan (Abdullah, 2002). Perdarahan
pascapersalinan pada ibu bersalin dengan usia kurang dari 20 tahun dan
lebih dari 35 tahun di Provinsi DIY pada tahun 2006 sebesar 1,8% dan pada
tahun 2007 naik menjadi 3,2% (Dinkes Yogyakarta, 2008). Peningkatan
tersebut memperbanyak kemungkinan terjadinya persalinan pada ibu dengan
usia berisiko.
Dari hasil studi pendahuluan, diketahui bahwa angka kejadian PPP
tahun 2010 di Rumah Sakit Jogja sebanyak 0%, RSUD Wates 0,16%, RSUD
Sleman 0,84%, RSUD Bantul 2,82%, dan RSUD Wonosari 7,12%.
Peningkatan kejadian PPP juga dilaporkan oleh RSUD Wonosari yaitu pada
tahun 2008 sebanyak 3,70%, tahun 2009 sebanyak 6,51%, tahun 2010
sebanyak 7,21%, dan tahun 2011 sebanyak 9,66%.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai hubungan paritas dan umur dengan kejadian
perdarahan pasca persalinan di RSUD Wonosari tahun 2011.
B. Rumusan Masalah
Tiga puluh dua persen kematian ibu di DIY disebabkan oleh PPP.
Terjadi peningkatan kejadian PPP primer di RSUD Wonosari. Pendekatan
16. 6
faktor risiko penting untuk meminimalisasi kemungkinan komplikasi yang
terjadi. Faktor paritas dan umur ibu merupakan informasi sederhana namun
besar dampaknya sehingga dapat digunakan sebagai bahan KIE agar ibu
dan keluarga dapat secara sadar merencanakan kehamilan dan persalinan
yang aman. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, rumusan penelitian
ini adalah: “Adakah hubungan antara paritas dan umur dengan kejadian PPP
primer?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang
hubungan paritas dan umur dengan kejadian perdarahan pasca
persalinan primer.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui proporsi paritas pada ibu bersalin/nifas.
b. Untuk mengetahui proporsi umur pada ibu bersalin/nifas.
c. Untuk mengetahui keeratan hubungan antara paritas dan umur
dengan kejadian PPP primer.
d. Untuk mengetahui besar odds ratio antara paritas dan umur dengan
kejadian PPP primer.
e. Untuk mengetahui probabilitas paritas dan umur dalam menyebabkan
PPP primer.
17. 7
D. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah Pelaksanaan Pelayanan
Kebidanan.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang perbandingan
besar risiko paritas dan umur terhadap kejadian PPP Primer di RSUD
Wonosari.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
melaksanakan penelitian selanjutnya tentang perdarahan pasca
persalinan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Direktur Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk
menentukan kebijakan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak di RSUD Wonosari dalam rangka
menurunkan angka kejadian PPP primer yang berdampak juga
terhadap penurunan AKI.
b. Bagi bidan pelaksana dan tenaga kesehatan terkait
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk
meningkatkan kewaspadaan dalam melakukan deteksi dini faktor
risiko terjadinya PPP primer.
18. 8
F. Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian yang mirip dengan penelitian ini. Antara
lain:
1. Penelitian Resniwiro (2011) berjudul “Faktor Risiko Paritas terhadap
Kejadian Perdarahan Postpartum di RSUD Wonosari Tahun 2010”.
Penelitian Resniwiro merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
observasional analitik dan pendekatan cross sectional. Variabel
dalam penelitian Resniwiro adalah paritas (primipara dan multipara)
dan kejadian perdarahan pasca persalinan. Analisis statistik yang
digunakan Resniwiro adalah chi square dan ratio prevalence.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Resniwiro adalah
penelitian ini menggunakan pendekatan case control dan analisis
data berupa chi square dan odds ratio. Variabel penelitian ini adalah
paritas (P1 dan P≥4, P2-3) dan umur (U<20 dan U>35, U20-35).
2. Penelitian Mutiara dan Yusad (2011) berjudul “Pengaruh Paritas
terhadap Perdarahan Postpartum Primer di RSUD DR. Pirngadi
Medan 2007–2010”. Penelitian dari Medan ini merupakan penelitian
kuantitatif dengan metode observational analitik dan pendekatan case
control. Variabelnya adalah paritas (P1, P2-P3, >P3) dan kejadian
perdarahan postpartum primer dengan kontrol status anemia. Analisis
datanya dilakukan secara univariat, bivariat, dan multivariat dengan
metode regresi logistik ganda.Perbedaan penelitian ini dengan
19. 9
penelitian Mutiara-Yusad adalah variabel penelitian ini adalah paritas
(multipara P2,3 dan P4,5) dan umur (U<20 dan U>35, U20-35).
3. Penelitian Laili (2009) berjudul “Hubungan Grandemultipara dengan
Kejadian Perdarahan Pasca Persalinan Primer di RSUD Dr. HM.
Soewandhie Surabaya”. Penelitian Laili merupakan penelitian
kuantitatif dengan metode observasional analitik dan pendekatan
cross sectional. Variabel dalam penelitian Laili adalah
grandemultipara dan kejadian perdarahan. Analisis statistik yang
digunakan Laili adalah fisher exact. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian Laili adalah penelitian ini menggunakan pendekatan case
control dan analisis data berupa chi square dan odds ratio. Variabel
penelitian ini adalah paritas (P1 dan P≥4, P2-3) dan umur (U<20 dan
U>35, U20-35).
4. Penelitian Ifadah (2011) berjudul “Faktor Risiko Umur Ibu terhadap
Kejadian Perdarahan Postpartum di RSUD Wonosari Tahun 2008-
2010”. Penelitian Ifadah merupakan penelitian kuantitatif dengan
metode observasional analitik dan pendekatan case control. Variabel
dalam penelitian Ifadah adalah umur. Analisis statistik yang
digunakan Ifadah adalah chi square dan odds ratio. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian Ifadah adalah penelitian ini
menggunakan variabel paritas (P1 dan P≥4, P2-3) dan umur (U<20
dan U>35, U20-35).
20. 10
5. Penelitian Abdullah (2002) berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Perdarahan Postpartum di Kota Palu”. Penelitian
Abdullah merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
observasional analitik dan pendekatan case control. Variabel dalam
penelitian Abdullah adalah umur. Analisis statistik yang digunakan
Abdullah adalah Odds Ratio. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian Abdullah adalah penelitian ini menggunakan variabel
paritas (P1 dan P≥4, P2-3) dan umur (U<20 dan U>35, U20-35).
21. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Perdarahan pasca persalinan primer (PPP Primer)
Perdarahan pasca persalinan primer (PPP Primer) secara
konvensional diartikan sebagai perdarahan dari saluran genital sebanyak 500
ml atau lebih dalam 24 jam pertama sejak kelahiran bayi (Mousa dan
Alfirevic, 2007). Menurut Oxorn dan Forte (2010), perdarahan dapat terjadi
setelah kelahiran bayi, sebelum, selama, dan sesudah keluarnya plasenta.
Pada praktisnya, tenaga kesehatan tidak perlu mengukur jumlah
perdarahan sampai 500 ml (Saifuddin, 2008). Perkiraan kehilangan darah
biasanya tidak sebanyak yang sebenarnya. Kadang-kadang hanya diukur
setengah dari yang sebenarnya. Sejumlah darah tersebut bercampur dengan
cairan amnion atau dengan urin. Darah juga tersebar pada spons, handuk,
dan kain, di dalam ember, dan di lantai (Saifuddin, 2002). Lagi pula, upaya
penghentian perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik.
Pada umumnya, bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi
telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun,
pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tekanan darah <90
mmHg dan nadi >100 kali/menit), penanganan harus segera dilakukan
(Saifuddin, 2008).
11
22. 12
Kehilangan darah yang begitu banyak biasanya terjadi pada periode
masa nifas awal, tetapi dapat terjadi perlahan-lahan selama 24 jam pertama
(Hacker dan Moore, 2001). Perdarahan yang aktif dan merembes terus
dalam waktu lama saat melakukan prosedur tindakan juga bisa
menyebabkan PPP.
Sebagian besar kehilangan darah pada PPP berasal dari arteriol
spiral miometrium dan vena desidua yang sebelumnya dipasok dan
didrainase ruang intervilus plasenta. Karena kontraksi rahim yang sebagian
kosong menyebabkan pemisahan plasenta, terjadilah perdarahan.
Perdarahan tersebut berlanjut hingga otot rahim berkontraksi di sekitar
pembuluh darah dan bekerja sebagai pengikat fisiologik-anatomik (Hacker
dan Moore, 2001).
Berdasarkan saat terjadinya, PPP dapat dibagi menjadi PPP primer
dan sekunder. PPP primer terjadi dalam 24 jam pertama dan biasanya
disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir, dan sisa sebagian
plasenta. Dalam kasus yang jarang, PPP primer bisa dikarenakan inversio
uteri. PPP sekunder yang terjadi setelah 24 jam persalinan biasanya
dikarenakan sisa plasenta (Saifuddin, 2008). Keempat proses diatas
kemudian disingkat menjadi empat T: tonus, tissue, trauma, dan thrombin.
Berikut dipetakan proses etiologi dan faktor risiko terkait PPP primer.
T a b el 1 . F a k t or T e r k a it d an E t i o l o g i PP P
P r os e s e t i o l o g i F a k t or r i s i k o k l i n i k
Kontraksi Uterus over distended Polihidramnion, gemelli,
uterus Otot uterus kelelahan makrosomia
abnormal Infeksi intra amnion Persalinan cepat, lama, paritas
(tonus) Kelainan bentuk uterus tinggi
23. 13
Demam, KPD
Fibroid, PP, Anomali uteri
Tabel 1 (Lanjutan)
Retensi produk
konsepsi
(tisue)
Retensi produk kehamilan
Plasenta abnormal
Retensi
kotiledon/suksenturiata
Plasenta tidak lengkap
Operasi uterus sebelumnya
Paritas tinggi
Plasenta abnormal pd USG
Retensi j endalan dar ah At onia ut er i
Trauma Laserasi serviks, vagina, Persalinan presipitatus, operatif
saluran genital perineum Malposisi, kepala masuk
(trauma) Pelebaran robekan pada panggul
SC Operasi uterus sebelumnya
R u p t ur u t er i I n v ersi u t eri P aritas t i n g g i , p l as e n t a d i f u n d u s
Koagulasi
abnormal
(trombin)
Penyakit hemofilia, von
Willebrandt
Penyakit selama hamil:
ITP, trombositopenia dg
preeklamsia, DIC
(preeklamsia, IUFD,
infeksi berat, solusio dan
emboli cairan amnion)
Terapi antikoagulan
Riwayat koagulopati dan
penyakit hati
Lebam, TD naik, fetal death,
demam, AL, PAP, kolaps tiba-tiba
Riwayat penjendalan darah
Sumber: Emilia, Ova.Materi disajikan pada Workshop Bidan
Penanganan Perdarahan Postpartum di Pelayanan Primer.
B-Lynch et al (2006) memaparkan penyebab PPP primer dengan
sebutan empat T, yaitu:
a. Tone/Tonus (Atonia Uteri)
Atonia uteri merupakan penyebab paling banyak PPP yaitu sekitar
70% kasus. Pada kondisi ini otot polos uterus gagal berkontraksi untuk
menjepit pembuluh-pembuluh darah spiral di tempat perlengketan
plasenta sehingga perdarahan terjadi sangat cepat. Kecepatan aliran
darah pada uterus aterm diperkirakan 700 ml per menit sehingga dapat
dibayangkan kecepatan darah yang hilang (B-Lynch et al, 2006).
Atonia dapat terjadi setelah persalinan vaginal, persalinan operatif
24. ataupun persalinan abdominal. Analisis regresi menunjukkan bahwa
faktor-faktor kehamilan kembar, ras tertentu, induksi lebih dari 18 jam,
makrosomia, pemberian MgSO4, dan adanya KPD berhubungan dengan
risiko terjadinya atonia uteri. Terkait dengan persalinan vaginal, kejadian
atonia uteri lebih banyak pada ibu dengan gestational DM dan kala II
lama pada multipara (B-Lynch et al, 2006).
b. Trauma
Trauma jalan lahir dilaporkan menjadi penyebab utama PPP pada
20% kasus. Trauma pada ligamen, ruptur uteri, perlukaan serviks dan
vagina, dan perlukaan perineum menyebabkan meningkatnya
pengeluaran darah pada persalinan pervaginam normal. Inversio uteri
jarang menjadi penyebab PPP (B-Lynch et al, 2006).
c. Tissue/Jaringan (retensi plasenta, plasenta akreta)
Waktu rata-rata lepasnya plasenta dari persalinan adalah 8-9
menit. Semakin lama kala III berlangsung, risiko PPP menjadi semakin
tinggi dengan peningkatan yang tajam setelah 18 menit. Retensi plasenta
biasanya didefinisikan sebagai plasenta tidak lahir setelah 30 menit yang
kejadiannya kurang dari 3% persalinan vaginal. Plasenta yang lahir lebih
dari 30 menit memiliki risiko mengalami PPP enam kali lipat dibanding
persalinan normal (Emilia, 2011).
Retensi plasenta terjadi sekitar 10% dari seluruh persalinan.
Sebagian besar retensi plasenta dapat diambil secara manual, tetapi
kadang kala pada kasus plasenta akreta, inkreta, perkreta maka perlu
25. penanganan lebih khusus. Retensi plasenta menyebabkan kehilangan
darah yang cukup hebat karena uterus gagal berkontraksi sempurna
akibat masih tersisanya jaringan plasenta di kavum uteri (B-Lynch et al,
2006).
d. Trombin meliputi gangguan koagulasi
Proporsi penyebab gangguan koagulasi tidak besar, tetapi tidak
bisa diremehkan. Karena kejadian gangguan koagulasi ini berkaitan
dengan beberapa kondisi kehamilan lain seperti solusio plasenta,
preeklamsia, septikemia dan sepsis intrauteri, kematian janin lama,
emboli air ketuban, tranfusi darah inkompatibel, aborsi dengan NaCl
hipertonik, dan gangguan koagulasi yang sudah diderita sebelumnya.
Penyebab yang potensial menimbulkan gangguan koagulasi sudah dapat
diantisipasi sebelumnya sehingga persiapan untuk mencegah terjadinya
perdarahan PPP dapat dilakukan sebelumnya (Emilia, 2011).
B-Lynch et al (2006) menjabarkan lebih lanjut mengenai faktor risiko
terjadinya PPP primer menjadi faktor risiko antenatal dan intranatal.
a. Faktor Risiko Antenatal
1) Umur
Meningkatnya usia ibu merupakan faktor independen terjadinya
PPP. Usia ≥35 tahun merupakan suatu faktor independen untuk PPP
pada persalinan baik pervaginam maupun perabdominal. Sebuah
hasil penelitian di Nigeria menyebutkan bahwa risiko terjadinya PPP
pada wanita berusia >35 tahun dua kali lebih besar dibandingkan
26. mereka dengan usia <25 tahun, meskipun penelitian ini tidak
mempertimbangkan variabel pengganggu yang lain (B-Lynch et al,
2006).
Pada usia dibawah 20 tahun, fungsi reproduksi seorang wanita
belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia 35
tahun sudah mengalami penurunan (Saifuddin, 2008). Pada umur <20
tahun, pertumbuhan tubuh belum optimal. Begitu pula dengan
pertumbuhan organ reproduksi yaitu uterus mengalami hipoplasia
uteri dan kesempitan panggul (Wahyudi, 2000). Perineum yang rapuh
biasanya terdapat pada grandemultipara dan usia ibu >35 tahun
sehingga dapat memicu terjadinya perdarahan postpartum (Oxorn,
2010).
Beberapa penelitian tentang hubungan umur dengan perdarahan
postpartum telah dilakukan. Diantaranya adalah penelitian Abdullah
(2002) yang menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan
kejadian PPP adalah umur ibu <20 tahun dan >35 tahun dengan OR
= 2,53. Naturrini (2010) juga melaporkan bahwa karakteristik ibu yang
berhubungan dengan kejadian PPP adalah ibu yang berhubungan
dengan kejadian PPP adalah usia ibu (p = 0,041) dan tingkat
pendidikan ibu (p = 0,019).
2) Ras Asia dan Hispanik
Beberapa studi menunjukkan bahwa ras Asia memiliki risiko lebih
besar untuk terkena PPP (B-Lynch et al, 2006). Selain itu, ras
27. Hispanik (Amerika Latin) juga memiliki risiko yang sama besar untuk
mengalami PPP. di sisi lain, wanita Afrika-Amerika dan Kaukasia
lebih cenderung mengalami abrupsio plasenta dibandingkan dengan
ras yang lainnya (Cunningham, 2010).
3) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Sebuah penelitian menyebutkan IMT yang tinggi sering dikaitkan
dengan peningkatan risiko kehamilan postterm dan tindakan induksi
persalinan. IMT lebih dari 30 berisiko mengalami kejadian PPP
dibandingkan dengan wanita dengan IMT 20-30 (B-Lynch et al, 2006).
4) Paritas
Paritas sering dikaitkan dengan risiko PPP. Namun hingga
sekarang, berbagai laporan studi tidak bisa membuktikan bahwa
multiparitas berhubungan dengan PPP (Emilia 2011). Di lain sisi,
Siswosudarmo (2010) menyebutkan bahwa umur tua dan paritas
tinggi (grandemultigravida) merupakan faktor risiko utama dengan
risiko relatif mencapai dua puluh kali, meskipun penelitian lain tidak
mendukung. Sebuah penelitian melaporkan adanya hubungan paritas
rendah (0-1) dengan kejadian PPP. Penelitian lain juga menemukan
bahwa primipara berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan
pada persalinan pervaginam. Di samping itu, hasil penelitian di
Pakistan dan Nigeria menyebutkan ada hubungan antara grande
multiparitas dan kejadian PPP. Namun, dua penelitian di atas gagal
mengendalikan faktor pengganggu seperti usia (B-Lynch et al, 2006).
28. Terdapat pula penelitian Mutiara dan Yusad (2011). Hasil penelitian
tersebut mengungkapkan bahwa, meskipun tidak bermakna secara
statistik, ibu dengan paritas >3 memliki risiko terjadinya PPP primer
dua kali lebih besar dibandingkan ibu dengan paritas 2-3 setelah
dikontrol status anemia (OR=1,59 ; 95% CI 0,58;4,29).
Secara fisiologis, uterus pada nullipara masih belum bekerja
secara efisien. Kontraksinya cenderung mengalami diskoordinasi atau
hipotonis. Rata-rata lama kala I persalinan pada nullipara secara
bermakna lebih lambat dibandingkan dengan multipara (pada
umumnya karena proses dilatasi serviks). Lama persalinannya
diekspektasikan lebih lambat dan bila berlangsung terlalu lama perlu
mendapatkan augmentasi sehingga menjadi persalinan dengan
tindakan. Yang menarik adalah grandemultipara mengalami fase
laten persalinan yang lebih lama dari pada ibu nullipara atau
multipara. Namun, pembukaan serviks kemudian terjadi lebih cepat.
Setelah pembukaan enam sentimeter, partogram menunjukkan
lonjakan kemajuan persalinan pada multiparitas dan grande
multiparitas secara berkesinambungan (Borton, 2006).
Grandemultipara telah lama dianggap sebagai predisposisi
komplikasi obstetrik bagi ibu maupun janinnya. Meskipun demikian,
penelitian dewasa ini mengindikasikan bahwa, dengan pemeriksaan
kehamilan yang memadai, ibu berstatus paritas tinggi tidak lagi
dalalm risiko tinggi (Goldman et al, 1995). Penelitian Goldman et al
29. (1995) mempelajari hasil persalinan pada 1700 ibu grandemultipara
dan dibandingkan dengan dua kelompok kontrol: 622 ibu primipara
dan 735 multipara (riwayat persalinan dua hingga tiga). Pemeriksaan
kehamilan yang bermutu disediakan bagi seluruh subjek tanpa
dipungut biaya. Hasilnya adalah usia ibu grandemultipara secara
bermakna lebih tinggi dari pada kedua kelompok kontrol. Hal ini dapat
menjelaskan penyebab insiden gangguan kehamilan yang lebih tinggi
pada kelompok tersebut seperti diabetes mellitus dan penyakit
hipertensif. Bayi makrosomia lebih banyak terdapat pada ibu
grandemultipara dan multipara dibandingkan dengan nullipara
(Goldman et al, 1995). B-Lynch et al (2006) menambahkan bahwa
semua hal tersebut sebenarnya dapat menjadi faktor risiko
sesungguhnya dari PPP.
Cunningham (2010) menyebutkan insiden perdarahan pasca
persalinan sebesar 0,3% terjadi pada wanita dengan paritas rendah,
tetapi meningkat 1,9% pada wanita dengan paritas empat atau lebih.
Hal ini sejalan dengan yang ditemukan oleh Bobak (1995) bahwa
antara tahun 1997 dan 1999 angka kematian maternal enam kali lebih
besar pada wanita dengan paritas empat atau lebih dibandingkan
wanita dengan kehamilan pertama.
5) Anemia
Ibu yang bersalin dengan konsentrasi haemoglobin yang menurun
(di bawah 10 gram/dL) cenderung rentan terhadap kasus kehilangan
30. darah apapun. Bagaimanapun juga, anemia ringan sering dikaitkan
dengan kelelahan uterus yang merupakan penyebab langsung atonia
uteri (Fraser dan Cooper. 2009).
6) Penyakit medis.
Beberapa penyakit yang diderita ibu selama kehamilan berhubungan
erat dengan PPP. Diantaranya adalah DM tipe II, penyakit jaringan
konektif, penyakit darah seperti von Willebrand dan Hemophilia.
Keadaan tersebut menyebabkan gangguan penjendalan darah
sehingga perdarahan sulit dihentikan (B-Lynch et al, 2006).
7) Usia Kehamilan
Hubungan usia kehamilan yang pendek maupun memanjang
dikaitkan dengan tingginya umur ibu (Jolly et al, 2000). Penelitian
menunjukkan ada hubungan antara kehamilan postterm (≥42 minggu)
dengan terjadinya PPP (B-Lynch et al, 2006). Ibu dengan kehamilan
postterm cenderung mengalami lama persalinan yang memanjang,
persalinan dengan tindakan (forsep atau vakum), perlukaan jalan lahir
karena janinnya juga cenderung besar menurut kehamilan.
Persalinan sesar terjadi dua kali lebih banyak pada kehamilan
postterm karena ukuran bayi. Ibu juga berisiko terkena infeksi dan
komplikasi perlukaan lebih tinggi (Children’s Hospital of Pittsburgh of
UPMC, 2008).
8) Janin Makrosomia
Ibu yang mengandung janin lebih dari 4000 gram memiliki
31. kemungkinan besar untuk mengalami PPP. Hal ini dikarenakan
persalinan janin makrosomia cenderung mengakibatkan perpanja-ngan
kala I dan II persalinan sehingga meningkatkan peluang
kontraksi dan retraksi yang jelek pada kala III dan mengakibatkan
atonia uteri. Selain itu, ibu dengan janin makrosomia juga berisiko
mengalami persalinan dengan tindakan, trauma perineum derajat III,
dan operasi seksio sesarea darurat (Jolly et al, 2003).
9) Kehamilan Kembar
Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa ibu yang hamil
kembar memiliki 3-4 kali kemungkinan untuk mengalami PPP (Emilia,
2011). Hal ini dikarenakan ibu yang mengandung janin ganda atau
lebih mengalami peregangan uterus berlebih sehingga ada
kecenderungan uterusnya memiliki daya kontraksi yang jelek. Dengan
demikian, atonia uteri lebih berisiko terjadi dan menyebabkan
perdarahan.
10) Fibroid
Fibroid merupakan istilah klinis leiomioma uteri. Leiomioma uteri
adalah tumor jinak yang berasal dari otot polos dan paling sering
dijumpai pada uterus. (Nuswantari, 1998). Fibroid membuat ibu
mempunyai risiko mengalami PPP. Namun demikian, risiko terjadinya
PPP lebih tinggi pada persalinan sesar dibandingkan pada persalinan
vaginal. Pada uterus dengan fibroid, sumber distensi uterus tidak
dapat digantikan oleh kontraksi uterus sehingga menyebabkan atonia
32. uteri.
11) Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum dinilai meningkatkan kemungkinan
terjadinya PPP karena ibu dengan perdarahan antepartum
menyebabkan kontraksi uterus dalam persalinan kala I dan II
terganggu sehingga cenderung terjadi partus lama. Di samping itu,
partus lama juga meningkatkan risiko terjadinya kegagalan
mekanisme pembekuan darah sehingga menyebabkan perdarahan
setelah bayi lahir tidak dapat dihentikan.
12) Riwayat PPP dan sesar sebelumnya juga meningkatkan
kemungkinan terjadinya PPP. Seksio sesarea dilakukan biasanya
dilakukan karena faktor risiko tertentu. Indikasi inilah yang biasanya
menyebabkan terulangnya PPP pada persalinan berikutnya. Namun,
seksio sesarea yang dikerjakan tanpa adanya indikasi tertentu
ternyata juga dapat menimbulkan PPP pada persalinan berikutnya.
Indikasi atau faktor risiko PPP yang terjadi pada sekseio sesarea
antara lain leiomyomata, plasenta previa, perdarahan antepartum,
persalinan preterm, anesthesi general, gangguan sistem sirkulasi,
retensi plasenta, dan makrosomia (Magann et al, 2005).
b. Faktor risiko intrapartum
1) Pemberian Induksi Persalinan
Metaanalisis menunjukkan bahwa induksi persalinan berkaitan
33. dengan PPP. Risiko terjadinya perdarahan adalah antara 1,5 hingga
1,7 kalinya dibanding tanpa induksi. Induksi yang telah diteliti
meningkatkan PPP adalah yang menggunakan medikamentosa.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa insidensi PPP meningkat
setelah pemberian induksi persalinan. Pada primipara, kejadian PPP
ini meningkat hampir dua kali lipat dalam persalinan normal (B-Lynch
et al, 2006).
Pelaksanaan induksi persalinan hanya boleh dengan indikasi
spesifik, antara lain infeksi pada ibu, perdarahan antepartum,
preeklampsia-eklampsia, ibu DM dengan janin matur, insufisiensi
ginjal, ketuban pecah dini dengan tanda-tanda persalinan, riwayat
persalinan presipitatus, polihidramnion berat, insufisiensi plasenta,
dan isoimunisasi (eritoblastosis). Sebagian besar indikasi tersebut
berhubungan langsung dengan etiologi terjadinya PPP.
2) Durasi Persalinan Memanjang
Lama kala I lebih dari 20 jam pada nulipara atau 14 jam pada
multipara memiliki 1-1,6 kali risiko perdarahan dibanding persalinan
yang lebih singkat. Kala II memiliki risiko 2,5 kali lebih besar bila
berlangsung lebih dari 3 jam. Dengan demikian persalinan dengan
kala II lama perlu mengantisipasi lebih awal akan terjadinya PPP.
Pada umur kehamilan berapapun, perdarahan semakin meningkat
bila durasi kala III meningkat dengan puncaknya 40 menit. Risiko
relatifnya berkisar antara 2,1 hingga 6,2 dan semakin tinggi bila kala
34. III berlangsung semakin lama. Titik potong PPP terjadi pada lama
kala III lebih dari 18 menit (Emilia, 2011).
Durasi persalinan yang lama bukan saja menyebabkan kelelahan
uterus sehingga berkontraksi lemah, melainkan juga ibu yang
keletihan kurang mampu bertahan terhadap kehilangan darah.
3) Anesthesi
Anasthesi inhalasi yang dalam dan lama merupakan faktor yang
sering menjadi penyebab PPP. hal ini dikarenakan terjadinya
relaksasi myometrium yang berlebihan sehingga menimbulkan
kegagalan kontraksi dan retraksi uterus, atonia uteri, dan kemudian
perdarahan postpartum.
4) Metode Persalinan Operatif
Penelitian menunjukkan ada perbedaan risiko perdarahan pada
persalinan vaginal operatif dan juga persalinan sesar. Forseps
rotasional merupakan faktor risiko terjadinya perlukaan spiral pada
vagina, sedangkan seksio sesarea dapat menyebabkan PPP karena
adanya indikasi atau faktor risiko PPP yang terjadi seperti
leiomyomata, plasenta previa, perdarahan antepartum, persalinan
preterm, anesthesi general, gangguan sistem sirkulasi, retensi
plasenta, dan makrosomia.
5) Pelaksanaan Episiotomi
Episiotomi jelas menimbulkan perdarahan lebih banyak dibanding
ruptur spontan. Namun selain itu, episiotomi ternyata juga
35. meningkatkan risiko PPP 2 sampai 4,6 kali (Emilia, 2011). Kehilangan
darah pada ibu dengan episiotomi mencapai 200 ml. jumlah darah
yang terbuang bahkan lebih banyak bila arteriol atau vena varikosa
yang besar turut terpotong atau robek. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa episiotomi merupakan faktor risiko PPP yang
sama besar konstribusinya seperti faktor risiko lain, misalnya
kehamilan multipel dan retensi plasenta.
6) Korioamionitis pada Kehamilan dan Persalinan
Korioamnionitis meningkatkan risiko PPP 1,3 kali pada persalinan
vaginal. Persalinan sesar dengan korioamnionitis berisiko mengalami
PPP hingga 2,7 kali (Emilia, 2011). Korioamnionotis secara bermakna
dapat mengganggu kontraksi uterus dalam dua kala pertama
persalinan sehingga menyebabkan partus lama. Partus lama inilah
kemudian menjadi faktor risiko terjadinya PPP.
Dari sekian banyak faktor risiko PPP primer, PPP dapat pula terjadi
pada wanita tanpa faktor klinis maupun risiko historis yang dapat
diidentifikasi (WHO, 2009). Menurut penelitian Bais et al (2004), pada
kelompok risiko rendah, kejadian PPP adalah sebesar 4%. Faktor risiko
independennya antara lain lama kala III ≥ 30 menit (7,1%, OR 3,6) dan
retensio plasenta (1,2%), OR 21,6).
Komplikasi PPP primer yang parah antara lain syok hipovolemik,
disseminated intravascular coagulopathy (DIC), terjadinya kegagalan fungsi
ginjal dan hepar, serta adult respiratory distress syndrome. Status gizi yang
36. buruk, kurangnya akses pada pelayanan kesehatan yang memadai, dan
kurangnya asuhan intensif serta persediaan darah dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu.
Pencegahan perdarahan pasca persalinan primer dapat dilakukan.
Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu
hamil saat perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas
kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi,
pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyai risiko untuk
terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pasca
persalinan (Saifuddin, 2008). Tindakan preventif yang dapat dilakukan pada
PPP primer adalah melaksanakan manajemen aktif kala III yang terdiri dari
pemberian oksitosin penegangan tali pusat terkendali, dan masase uterus.
Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:
a) Memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap penyakit kronis,
anemia, dan lain-lain sebelum hamil.
b) Mengenal faktor predisposisi PPP.
c) Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus
lama.
d) Kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
e) Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih
dan menghindari persalinan dukun.
37. f) Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan
mengadakan rujukan sebagaimana mestinya (Saifuddin, 2008).
2. Faktor Risiko Paritas
„Para‟ diartikan sebagai „riwayat persalinan‟; paritas seorang wanita
merujuk pada jumlah persalinan yang pernah dialami, tidak memandang
apakah anak yang dilahirkan hidup atau mati, tidak terhitung pula riwayat
aborsi (Fraser dan Cooper, 2009). Siswosudarmo dan Emilia (2008)
mengartikan „para„ sebagai diartikan sebagai „jumlah anak yang dilahirkan
dengan berat lebih dari 500 gram‟.
Menurut Benson dan Pernoll (2009), paritas merupakan kelahiran
satu atau lebih bayi dengan berat lebih dari 500 gram. Jika berat badan bayi
tidak diketahui, dapat digunakan usia kehamilan ≥24 minggu. Bobak dkk
(1995) mendefinisikan paritas sebagai jumlah kehamilan yang mana janin
yang dikandung dapat bertahan hidup di luar rahim, bukan jumlah janin yang
dilahirkan. Janin yang dilahirkan, hidup atau lahir mati, tidak mempengaruhi
status paritas. Hacker dan Moore (2001) memaparkan bahwa paritas
merupakan jumlah kehamilan dari seorang pasien yang bayinya berhasil
hidup (dua puluh minggu atau lebih). Menurutnya, paritas mengacu pada
jumlah kehamilan, bukan janin atau bayi yang dilahirkan. Kehamilan kembar
dihitung sebagai satu kehamilan.
Riwayat obstetrik, termasuk paritas, harus selalu diperiksa untuk
mengetahui jumlah kehamilan dan persalinan lalu yang bisa saja
mempengaruhi kondisi kehamilan saat ini. Selain itu, juga digunakan untuk
38. mendeskripsikan riwayat kehamilan yang lalu sehingga dapat memberi
prediksi kondisi dan risiko kehamilan saat ini.
Menurut Borton (2009), terdapat beberapa istilah dalam paritas.
Antara lain:
a) Nullipara adalah seorang wanita yang belum pernah mengalami
kehamilan yang melahirkan bayi hidup di luar rahim.
b) Primipara adalah wanita yang pernah mengalami kehamilan yang
melahirkan bayi yang dapat hidup di luar rahim.
c) Multipara adalah seorang wanita yang pernah mengalami dua atau lebih
kehamilan yang menghasilkan janin yang viabel. Kapasitas viabel untuk
hidup di luar uteri diperkirakan pada umur kehamilan 20 minggu atau
berat badan lahir 500 gr.
d) Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan lima kali atau lebih
dengan usia kehamilan 20 minggu atau lebih. Seorang grandemultipara
biasanya diigolongkan dalam risiko yang lebih tinggi dibandingkan wanita
pada umumnya.
e) Great grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan tujuh kali
atau lebih dengan usia kehamilan 20 minggu atau lebih.
Bobak dkk (1995) memadukan faktor paritas dan umur dalam kategori
kehamilan berisiko tinggi. Ia menyebutkan bahwa yang termasuk dalam
kelompok tersebut adalah ibu nullipara dengan umur 16 tahun ke bawah, ibu
multipara dengan umur 40 ke atas, dan ibu dengan status grandemultipara
(riwayat lima persalinan atau lebih).
39. Risiko obstetrik yang berhubungan dengan nullipara antara lain:
1) Meningkatnya risiko terjadinya preeklampsia.
2) Memanjangnya kala I persalinan, meskipun hal ini masih dianggap
normal pada nullipara.
3) Distosia (atau persalinan macet) didiagnosis terjadi pada 37% nullipara
dalam suatu penelitian di Denmark.
Paritas yang meningkat biasanya dihubungkan dengan:
1) Meningkatnya umur ibu.
2) Rendahnya status sosial, ekonomi, dan pendidikan.
3) Tidak mendapatkan pemeriksaan kehamilan yang memadai (karena
terlambat memeriksakan diri atau petugas kesehatan yang kurang peduli.
4) Merokok dan mengkonsumsi alkohol.
5) Wanita dengan IMT yang tinggi (obesitas).
6) Derajat diabetes yang cukup tinggi.
Faktor-faktor di atas sering terjadi bersamaan sehingga faktor satu dengan
yang lainnya sering kali saling mempengaruhi. Peningkatan risiko yang
berkorelasi dengan multiparitas antara lain malpresentasi janin, persalinan
presipitatus, atonia uteri, plasenta previa, ruptur uteri, emboli air ketuban,
perdarahan obstetrik, inkontenensia stressor, dan gejala urgensi sistem
perkemihan.
3. Faktor Risiko Umur
Umur adalah lamanya seorang individu mengalami kehidupan sejak
lahir sampai saat ini. Umur merupakan salah satu variabel dari model
40. demografi yang digunakan sebagai hasil ukuran mutlak atau indikator
psikologis yang berbeda (Notoatmodjo, 2010). Umur dianggap penting
karena ikut menentukan prognosis dalam persalinan karena dapat
mengakibatkan kesakitan dan kematian ibu maupun janin (Amiruddin, 2007)
Wanita yang hamil pada umur terlalu muda (di bawah 20 tahun) atau
terlalu tua (diatas 35 tahun) lebih mudah mendapat komplikasi dari
kehamilan dan persalinan (Saifuddin, 2006). Kematian maternal pada wanita
hamil dan melahirkan pada usia <20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi
daripada usia 20-29 tahun dan kematian maternal meningkat kembali pada
usia 35 tahun yang disebabkan oleh perdarahan antepartum dan postpartum
(Saifuddin, 2008). Lestari (2010) menyatakan bahwa bagi ibu yang berumur
kurang dari 20 tahun organ-organ reproduksinya belum siap untuk menerima
kehamilan sehingga perlu untuk menunda kehamilan. Sedangkan, ibu yang
berumur lebih dari 35 tahun perlu untuk mengakhiri kehamilan karena organ-organ
reproduksinya sudah berkurang kemempuannya dan keelastisannya
dalam menerima kehamilan dan proses persalinan.
Faktor usia wanita bersalin sering kali dikaitkan dengan kesiapan
mental wanita tersebut untuk menjadi seorang ibu, kesiapan mental ini
biasanya kurang dimiliki oleh ibu dengan usia yang masih muda. Diduga
semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, semakin
besar pula trauma psikis yang muncul, biasanya berupa stress. Gangguan
emosi atau sters dapat berlanjut sampai pasca melahirkan dan diikuti oleh
faktro-faktor lainnya seperti misalnya ekonomi pada keluarganuya (Fiona,
41. 2004). Menjelang proses kelahiran, kecemasan seorang wanita dapat
bertambah. Gambaran tentang proses persalinan yang diceritakan orang lain
dapat menambah kegeliahannya. Kehadiran suami dan keluarga yang
menemani selama proses persalinan berlangsung merupakan dukungan
yang tidak ternilai harganya untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan
tersebut (Suherni, 2009). Ibu yang baru pertama kali melahirkan mengalami
proses persalinan yang lebih lama yaitu rata-rata 14 jam daripada ibu yang
sudah pernah melahirkan (Murkoff, 2006).
B. Landasan Teori
Perdarahan pasca persalinan primer (PPP Primer) adalah perdarahan
dari saluran genital sebanyak 500 ml atau lebih dalam 24 jam pertama sejak
kelahiran bayi. Perdarahan dapat terjadi setelah kelahiran bayi, sebelum,
selama, dan sesudah keluarnya plasenta.
Penyebab PPP primer disingkat dengan empat T yaitu Tonus, Trauma,
Tissue, dan Trombin.Faktor risiko PPP primer terbagi menjadi faktor risiko
antenatal (umur, ras, IMT, paritas, penyakit medis, kehamilan postterm,
makrosomia, kehamilan kembar, fibroid, perdarahan antepartum, riwayat PPP
dan sesar) dan faktor risiko intrapartum (induksi persalinan, durasi persalinan,
pemberian analgesik, metode persalinan, episiotomi, korioamnionitis).
PPP primer dapat dicegah dengan klasifikasi risiko dalam kehamilan dan
penatalaksanaan manajemen aktif kala III. Dari sekian banyak faktor risiko PPP
primer, paritas dan umur merupakan informasi sederhana namun besar
42. dampaknya yang dinilai tepat seagai bahan penyuluhan prakehamilan sehingga
dapat direncanakan kehamilan, persalina, dan nifas yang lebih aman.
Paritas merupakan kelahiran satu atau lebih bayi dengan berat lebih dari
500 gram atau usia kehamilan ³20 minggu. Terdapat beberapa istilah dalam
paritas, antara lain: nullipara, primipara, multipara, grandemultipara, dan great
grandemultipara. Insiden PPP banyak terjadi pada paritas rendah dan paritas
empat atau lebih. Sebuah penelitian melaporkan adanya hubungan paritas
rendah (0-1) dengan kejadian PPP. Paritas >3 juga memliki risiko terjadinya PPP
primer bahkan dua kali lebih besar dibandingkan ibu dengan paritas 2-3. Secara
fisiologis, uterus pada nullipara masih belum bekerja secara efisien sehingga
kontraksinya cenderung mengalami diskoordinasi atau hipotonis, sedangkan
uterus pada multigravida lebih lemah sehingga ada peluang terjadi hal yang
sama.
Umur adalah lamanya seorang indivudu mngalami kehidupan sejak lahir
sampai saat ini. Pada usia dibawah 20 tahun, fungsi reproduksi seorang wanita
belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia 35 tahun sudah
mengalami penurunan (Saifuddin, 2008). Pada umur <20 tahun, pertumbuhan
tubuh belum optimal. Begitu pula dengan pertumbuhan organ reproduksi yaitu
uterus mengalami hipoplasia uteri dan kesempitan panggul (Wahyudi, 2000).
Perineum yang rapuh biasanya terdapat pada grandemultipara dan ibu dengan
usia >35 tahun sehingga dapat memicu terjadinya perdarahan postpartum
(Oxorn, 2010).
43. C. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Paritas
· Paritas 1 dan ≥4
· Paritas 2 dan 3
Umur
· Umur <20 tahun dan
>35 tahun
· Umur 20-35 tahun
Variabel Independen
Variabel Dependen
Kejadian PPP Primer
· Terjadi
· Tidak Terjadi
Gambar 1. Kerangka Konsep Hubungan Paritas dan Umur dengan Kejadian
Perdarahan Pasca Persalinan Primer dengan di RSUD Wonosari
Tahun 2011
D. Hipotesis Penelitian
Paritas dan umur berisiko 1,5-2 kali lebih besar menimbulkan kejadian
perdarahan pasca persalinan primer.
44. BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode observasi
korelasional analitik. Penelitian observasional adalah studi untuk melakukan
pengamatan dan pengukuran terhadap berbagai variabel subjek penelitian
menurut keadaan ilmiah tanpa melakukan manipulasi atau intervensi
(Sastroasmoro dan Ismael, 2011). Penelitian observasional korelasional adalah
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat hubungan antara dua
variabel atau lebih, tanpa melakukan perubahan atau manipulasi data (Arikunto,
2010). Analisis data dilakukan pada penelitian analitik untuk mencari hubungan
antarvariabel (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan mengenai kasus perdarahan
pasca persalinan primer di RSUD Wonosari. Kemudian, ditelusuri serta dianalisis
paritas dan umur subjek untuk mendapatkan hubungan antara ketiga variabel
tersebut.
B. Desain Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kasus kontrol (case
control). Pendekatan case control atau retrospektif adalah penelitian
epidemiologis analitik observasional yang menelaah hubungan antara efek
(penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu. Studi
dimulai dengan mengidentifikasi kelompok dengan faktor penyakit tertentu
34
45. 35
(kasus) dan kelompok tanpa efek (kontrol), kemudian secara retrospektif diteliti faktor risiko yang mungkin dapat
menerangkan mengapa kasus terkena efek, sedangkan kontrol tidak (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).
Adapun desain penelitian ini adalah sebagai berikut.
R i s i k o
P1 dan P≥4
Tida k Ri si ko
Paritas
Populasi
P2-3 Kas us
PPP Primer
R i s i k o
U<20 dan U>35
Ibu Bersalin/nifas
dengan Kejadian PPP
Primer di RSUD
Wonosari Tahun 2011
T ida k R i s i k o
U20-35
Umur
Sampel
Kriteria Inklusi
Dan Eksklusi
R i s i k o
P1 dan P≥4
Tida k Ri si ko
Paritas
P2-3 Kon tro l
Tidak PPP Primer
R i s i k o
U<20 dan U>35
T ida k R i s i k o
U20-35
Umur
Adakah Faktor
Risiko?
Ditelusuri secara Retrospektif
Gambar 2. Desain Penelitian Hubungan Paritas dan Umur dengan
Kejadian Perdarahan Pasca Persalinan Primer di RSUD
Wonosari Tahun 2011
Penelitian dimulai
dari sini
46. 36
C. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang bersalin dan rekam medis RSUD
Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 1 Mei 2012 s.d. 30 Mei 2012.
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
1. Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau
ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu
konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2010). Variabel yang diteliti dalam
penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu satu variabel independen dan satu
variabel dependen.
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel
terikat (Notoatmodjo, 2010). Variabel independen dalam penelitian ini adalah
status paritas dan umur ibu.
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi variabel bebas
atau variabel independen (Notoatmodjo, 2010). Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kejadian perdarahan pasca persalinan primer.
2. Definisi Operasional Variabel
a) Variabel Dependen Kejadian Perdarahan Pasca Persalinan Primer
Kejadian Perdarahan Pasca Persalinan Primer yang dimaksud
dengan dalam penelitian ini adalah ibu bersalin/nifas yang mendapatkan
47. 37
terapi cytotek sebagai terapi PPP primer. Skala data yang dipakai adalah
nominal (terjadi dan tidak terjadi).
b) Variabel Independen
1) Paritas
Paritas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah status obstetrik
ibu yang memiliki riwayat kehamilan yang menghasilkan janin yang
viabel dengan berat lebih dari 500 gram atau dengan usia kehamilan
≥20 minggu yang sedang dialami ibu saat bersalin/nifas di rumah
sakit. Penggolongan paritas yang digunakan adalah paritas 1
(nullipara) dan ≥4 (P1 dan P≥4) dan paritas 2-3 (P2-3). Skala data
yang dipakai adalah nominal.
2) Umur
Umur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah waktu hidup
seorang ibu sejak tanggal lahir hingga saat bersalin/nifas yang
dinyatakan dalam tahun. Penggolongan umur yang digunakan adalah
umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun (U<20 dan U>35)
serta umur antara 20-35 tahun (20-35). Skala data yang dipakai
adalah nominal.
c) Variabel Terkendali
1) Umur Kehamilan
Umur kehamilan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
lamanya kehamilan dihitung dari hari pertama menstruasi terakhir
dengan menggunakan rumus naegele. Yang menjadi kontrol dalam
48. 38
penelitian ini adalah ibu dengan umur kehamilan 37 hingga 41
minggu.
2) Jumlah Janin
Jumlah janin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah
janin yang dikandung dan dilahirkan ibu. Yang menjadi kontrol dalam
penelitian ini adalah ibu dengan janin tunggal (satu janin).
3) Metode Persalinan
Metode persalinan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
cara ibu bersalin. Yang menjadi kontrol dalam penelitian ini adalah ibu
dengan persalinan pervaginam.
4) Pemberian Uterotonik saat Persalinan
Pemberian uterotonik saat persalinan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah tindakan medis yang bertujuan untuk percepatan
proses persalinan. Yang menjadi kontrol dalam penelitian ini adalah
tidak diberikannya uteronika selama persalinan berlangsung.
5) Berat Badan Lahir Bayi
Berat Badan Lahir Bayi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
berat bayi yang baru lahir. Yang menjadi kontrol dalam penelitian ini
adalah bayi dengan berat badan antara 2500 hingga 4000 gram.
E. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
49. a b 1 1 2 2
1 2
39
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2007). Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang bersalin/nifas di RSUD Wonosari
tahun 2011 terhitung dari 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2011 yang
berjumlah 1191 orang.
2. Sampel dan Sampling
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi (Sugiyono, 2007). Sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi
sampel kasus dan sampel kontrol. Sampel kasus dalam penelitian ini adalah
ibu bersalin/nifas yang mengalami PPP primer di RSUD Wonosari pada
tahun 2011. Sampel kontrolnya adalah ibu bersalin/nifas yang tidak
mengalami PPP primer di RSUD Wonosari pada tahun 2011. Yang dimaksud
ibu tanpa PPP primer adalah ibu dengan PPP sekunder (perdarahan setelah
24 jam persalinan) serta ibu tanpa PPP sama sekali. Besar sampel yang
dipakai pada penelitian ini menggunakan rumus dari Sastroasmoro dan
Ismael (2011) rasio kasus dan kontrol 1:1.
n1 = n2 =
[Z 2PQ - Z (PQ + P Q ) ]
2
(P - P )2
keterangan:
n1 = besar sampel kasus
n2 = besar sampel kontrol
Zα = taraf kepercayaan (besarnya 95%, 2 sisi = 1,96)
Zβ = power dari penelitian (besarnya 80%, Zβ=0,842)
P = rata-rata proporsi = 0,635
50. Q = 1 – P = 0,365
P1 = Proporsi paparan pada kelompok kasus = 0,69
P2 = proporsi paparan pada kelompok kontrol = = 0,58
OR = 1,59
Q1 = 1 - P1 = 0,31
Q2 = 1 - P2 = 0,42
n1,2 =
[1, 96 2 ´ 0, 635 ´ 0, 365 - 0, 842 0, 69 ´ 0, 31 + 0, 58 ´ 0,
42 ]2
(0, 69 - 0,
58)2
2
=
[1, 69 ´ 0, 68 - 0, 842 ´ 0,
676] (0,11)2
2
=
(1, 33 - 0, 569)
0, 0121
=
0, 761
0, 0121 = 62, 9
Penentuan besar sampel berdasarkan variabel paritas dengan OR =
1,59 dan P1 = 0,69 diambil dari penelitian Mutiara dan Yusad (2011).
Setelah dimasukkan ke dalam rumus tersebut maka ditemukan hasil
62,9 atau dibulatkan menjadi 63 orang. Namun, karena terdapat 73 sampel
kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, sampel diperbesar
menjadi 73 sampel untuk masing-masing sampel kasus dan kontrol.
Beberapa subjek tidak dapat dimasukkan dalam sampel karena
menggunakan uterotonik selama persalinan, mengalami kehamilan ganda,
atau menjalani seksio sesarea. Selain itu, sebagian sampel tidak dapat
diikutsertakan karena tidak ditemukannya rekam medis pasien.
51. Sampling adalah pemilihan atau pengambilan objek yang diteliti dan
dianggap mewakili populasi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). Teknik
sampling dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu pengambilan
sampel berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai dengan kriteria (kriteria
inklusi dan eksklusi) yang telah ditetapkan oleh peneliti berdasarkan ciri
populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Kriteria inklusi merupakan
persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh subjek agar dapat
diikutsertakan ke dalam penelitian. Kriteria eksklusi adalah keadaan yang
menyebabkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat
diikutsertakan dalam penelitian. Kriteria yang ditetapkan merupakan cara
untuk memperketat populasi, membuat populasi menjadi homogen, dan
memperkecil terjadinya bias (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).
Adapun sampel untuk kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah
ibu bersalin/nifas yang memenuhi kriteria penelitian sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi:
1) Kehamilan tunggal
2) Kehamilan aterm (37 s.d. 41 minggu)
3) Persalinan pervaginam
b. Kriteria Eksklusi:
1) Mendapatkan induksi persalinan
2) Bayi makrosomia
3) Data tidak tersedia
Kelompok kontrol dipilih dengan melakukan frequency matching.
52. F. Jenis Data dan Prosedur Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
berupa catatan rekam medik ibu bersalin/nifas di RSUD Wonosari dalam
kurun tahun 2011 terhitung dari 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2011.
Skala data yang digunakan ialah nominal.
2. Prosedur Pengumpulan Data
Langkah pengumpulan data dimulai sejak peneliti membuat surat
penelitian pada pihak kampus, mengurus izin studi kepada dinas perijinan,
kemudian mengurus izin penelitian di RSUD Wonosari. Langkah-langkah
pengumpulannya adalah:
a. Melihat catatan register ibu bersalin di ruang bersalin RSUD Wonosari
dari tanggal 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2011.
b. Mencatat nomor rekam medis ibu bersalin yang mengalami PPP primer.
c. Membuat salinan (memfotokopi) buku register ibu bersalin.
d. Melihat catatan register ibu nifas di bangsal nifas RSUD Wonosari dari
tanggal 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2011.
e. Mencatat nomor rekam medis ibu nifas yang mengalami PPP primer.
f. Mencari lembar rekam medis ibu bersalin di ruang rekam medis sesuai
nomor rekam medis yang diperoleh dari buku register untuk
mendapatkan data yang lebih lengkap.
g. Memilah subjek dengan kriteria inklusi dan eksklusi
53. h. Menentukan sampel kasus dan mengumpulkan data paritas dan umur
subjek yaitu P1 dan P≥4, P2-3 serta U<20 dan U>35, U20-35.
i. Menentukan sampel kontrol dan mengumpulkan data paritas dan umur
subjek yaitu P1 dan P≥4, P2-3 serta U<20 dan U>35, U20-35.
j. Memasukan data ke dalam master table.
Pemilahan sampel kelompok kasus didasarkan pada diagnosis PPP
primer dari penggunaan uterotonik cytotek yang tertulis dalam buku register
persalinan tahun 2011. Penggunaan uterotonik tersebut sebenarnya
mengindikasikan bahwa kasus yang diamati mengalami atonia uteri
mengingat pertolongan penyebab PPP primer yang lain tidak menggunakan
terapi uterotonik. Penggunaan tersebut sudah sesuai dengan prosedur tata
laksana PPP primer karena atonia uteri di RSUD Wonosari. Oleh karena itu,
penyebab PPP primer lain seperti trauma, tissue, dan trombin kurang
dicermati.
Penelitian dimulai dari mengidentifikasi kelompok kasus dan kontrol
dari 1191 persalinan yang ada di RSUD Wonosari selama tahun 2011.
Kelompok kasus dipilih dari 115 ibu yang mengalami PPP primer kemudian
dicatat nomor rekam mediknya. Kelompok ini dipilah menggunakan teknik
purposive sampling. Lalu, ditelusuri riwayat kesehatan dan riwayat
persalinannya satu persatu dari arsip rekam medis di ruang rekam medis.
Tujuh puluh tiga pasien bersalin/nifas yang memenuhi lima kriteria inklusi dan
eksklusi kemudian ditentukan sebagai sampel kasus. Untuk kelompok
kontrol, seleksi sampel dilakukan pada 1076 pasien selain kelompok kasus
54. dengan berpedoman pada buku register persalinan tahun 2011. Setelah
disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang berlaku, seleksi
kelompok sampel dilakukan dengan menggunakan teknik simple random
sampling. Penyaringan tersebut menghasilkan 653 sampel representatif.
Kemudian dilakukan randomisasi menggunakan bantuan kalkulator. Angka
yang keluar dibulatkan menjadi bilangan bulat. Pengacakan ini mendapatkan
73 sampel. Sampel yang terpilih tersebut diperiksa ulang nomor rekam
medisnya dengan kelompok kasus sehingga tidak ada subjek sampel yang
tercampur.
Seperti penelitian dengan data sekunder lainnya, penulis menemukan
kesulitan menggali informasi di ruang rekam medis. Kesulitan yang pertama
adalah keharusan membuka satu per satu arsip pasien. Alangkah baiknya
jika rekam medis pasien sudah berbentuk data elektrik dalam komputer. Hal
ini dapat memudahkan pencarian informasi dalam waktu yang singkat untuk
berbagai kebutuhan. Yang kedua merupakan masalah klasik penelitian data
sekunder, yaitu ada beberapa arsip yang tidak ditemukan dalam ruang rekam
medis sehingga tidak dapat diikutsertakan menjadi sampel. Sebenarnya,
arsip sampel yang tidak ditemukan dalam rak penyimpanan arsip dapat dicari
informasinya melalui data komputer. Namun, data elektrik yang saat ini
sedang disusun oleh RSUD Wonosari tidak mengandung perjalanan
penyakit/kasus pasien secara keseluruhan. Data tersebut hanya berisi
identitas dan diagnosis awal yang dialami pasien. Karena tidak ada diagnosis
55. yang menyebutkan bahwa pasien tersebut mengalami PPP primer, data
tersebut kurang membantu dalam penentuan sampel pada penelitian ini.
G. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan dalam
mengumpulkan data (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini, instrumen
pengumpulan data yang digunakan adalah format lembar kerja yang berisi
nomor urut, nomor rekam medis, kejadian PPP primer (terjadi dan tidak terjadi),
paritas (P1 dan P≥4, P2-3), dan umur (U<25 dan U>35, U25-35).
H. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Setelah data diperoleh kemudian dilakukan pengkajian data dengan
langkah-langkah seperti di bawah ini:
a. Editing
Pada tahap ini, peneliti memeriksa kelengkapan dan ketepatan
data.
b. Coding
Peneliti memberi kode numerik (angka) terhadap data untuk
mempermudah pengolahan data, yaitu:
1) Kejadian PPP Primer
(a) Ibu bersalin/nifas tanpa perdarahan diberi kode 0.
(b) Ibu bersalin/nifas dengan PPP primer diberi kode 1.
2) Paritas
(a) Paritas 2-3 diberi kode 2.
56. (b) Paritas 1 dan Paritas ≥4 diberi kode 3.
3) Umur
(a) Umur 20-35 diberi kode 4
(b) Umur kurang dari 20 dan lebih dari 35 diberi kode 5
c. Entry Data
Peneliti memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master
tabel.
d. Tabulating
Peneliti melakukan penyusunan data dengan mengelompokkan
data sehingga data dapat dijumlah dan disusun untuk disajikan dan
dianalisis dalam bentuk tabel distribusi atau tabel silang.
2. Analisis Data
a. Analisis univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis ini
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.
(Notoatmodjo, 2010). Analisis univariat dalam penelitian ini akan
menghasilkan distribusi frekuensi kejadian PPP primer dan distribusi
frekuensi paritas. Rumus yang digunakan untuk analisis univariat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
P =
f
´ 100%
n
Keterangan:
P = persentase yang dicari
57. tabel
f = frekuensi variabel
n = jumlah populasi
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk melihat
hubungan kedua variabel (Notoatmodjo, 2010). Analisis bivariat dalam
penelitian ini diujikan pada variabel paritas (skala data nominal) dengan
kejadian perdarahan pasca persalinan primer (skala data nominal) serta
variabel umur (skala data nominal) dengan kejadian perdarahan pasca
persalinan primer (skala data nominal). Tabel silang yang digunakan
adalah 4x2 dengan nilai α sebesar 5%. Derajat kebebasan (dk) yang
digunakan = 1. Analisis yang diujikan adalah analisis chi square
dilanjutkan dengan analisis koefisien kontingensi (C) dan odds ratio (OR).
Penghitungan chi square dan OR dilakukan dengan bantuan Program R
2.9.0, sedangkan C dihitung secara manual. Hasil pengujian chi square
dinilai signifikan bila c2 >3,481 dan p-value yang diterima <0,05.
Setelah mendapatkan nilai chi square, penghitungan dilanjutkan
dengan menghitung koefisien kontingensi (C). Kegunaannya adalah
untuk mencari atau menghitung keeratan hubungan antara dua jenis
variabel yang mempunyai gejala ordinal (kategori), paling tidak berjenis
nominal. Teknik ini mempunyai kaitan erat dengan chi square yang
digunakan untuk menguji hipotesis komparatif k sampel independen.
58. Rumus yang digunakan adalah:
2
C =
c
c 2 + N
Keterangan:
C : koefisien kontingensi
c2 : nilai chi square hitung
N : jumlah data
Selanjutnya, harga C tersebut dibandingkan dengan harga C
maksimum yang dihitung dengan rumus berikut ini:
Cmaks = m - 1
m
Keterangan:
m : harga minimum antara banyak baris dan kolom
Dengan membandingkan C dengan Cmaks, keeratan hubungan
variabel paritas dan umur dengan PPP primer ditentukan oleh
persentasenya. Hubungan tersebut disimbolkan dengan Q dan
mempunyai nilai antara -1 dan 1. Bila harga Q mendekati 1, hubungan
tambah erat. Bila menjauhi 1, hubungan semakin kurang erat.
Q =
C
Cmaks
´ 100%
Analisis Odds ratio yaitu suatu rasio perbandingan pajanan di
antara kelompok kasus terhadap pajanan pada kelompok kontrol. Dalam
odds ratio, dilakukan pengujian hubungan antara sebab (pajanan)
dengan akibat (hasil jadi). Yang diperbandingkan adalah insiden atau
59. proporsi antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Untuk
mendampingi nilai rasio odds, diperlukan interval kepercayaan (IK) atau
confident interval (CI) pula. CI biasanya dihitung pada derajat
kepercayaan 95%. CI diperlukan oleh karena rasio odds hanya
merupakan nilai perkiraan pada suatu titik tertentu dari suatu sampel
populasi. Nilai kisaran pada suatu titik dari suatu sampel mungkin tidak
tepat, masih terdapat dalam kisaran, dari terendah sampai tertinggi yang
masih dapat dipercaya (Riwidikdo, 2010).
Interpretasi hasil analisis bivariat dilihat dengan melihat nilai c2,
faktor peluang (p-value), bersama dengan nilai OR. Cara
menginterpretasi c2 adalah apabila c2 hitung sama dengan c2 tabel,
diartikan bahwa ada hubungan antara dua variabel dan dilanjutkan
dengan penghitungan odds ratio. Apabila c2 hitung lebih kecil dari c2
tabel, diartikan bahwa tidak ada hubungan antara dua variabel. Hasil
penelitian dikatakan bermakna jika c2 hitung lebih dari c2 tabel dan p-value
< 0,05.
Interpretasi penghitungan odds ratio dapat dilakukan sebagai
berikut:
1) Y> 1 artinya faktor yang diteliti merupakan faktor risiko
2) Y = 1 artinya faktor yang diteliti bukan merupakan faktor risiko
3) Y< 1 artinya faktor yang diteliti merupakan faktor protektif
Jika nilai rasio odds makin besar dan nilai batas bawah interval
kepercayaan di atas satu, dapat dikatakan makin kuat dugaan bahwa
60. suatu pajanan merupakan faktor risiko terhadap hasil jadi yang sedang
diteliti. Sebaliknya jika nilai rasio odds makin kecil dari 1 dan semua nilai
interval kepercayaan antara 0 sampai 1, dapat dikatakan makin
berasosiasi negatif, yaitu pajanan tersebut dapat dikatakan makin
melindungi hasil jadi (Riwidikdo, 2010). Bila CI mencakup angka 1, berarti
dalam populasi tidak terdapat perbedaan kejadian penyakit pada
kelompok terpajan maupun tidak terpajan. Lebih jauh, apabila OR lebih
dari 1, berarti pajanan yang diteliti merupakan penyebab atau faktor
risiko. Bila kurang dari 1, berarti merupakan faktor protektif. Namun,
seperti telah disebutkan di atas, apabila CI 95% mencakup angka satu,
berarti dalam populasi tersebut tidak terjadi dan uji hipotesis akan
menghasilkan p value>0,05 (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).
c. Analisis Multivariat
Analisis multivariat bertujuan untuk menganalisis hubungan
beberapa variabel independen terhadap satu variabel dependen secara
bersama-sama. Analisis multivariat yang digunakan adalah analisis
regresi logistik yang bertujuan untuk mendapatkan model faktor risiko
yang paling baik (fit) dan sederhana (parsinomy) yang menggambarkan
hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Analisis
multivariat dalam penelitian ini dikerjakan dengan bantuan Program R
2.9.0.
Regresi logistik merupakan pengembangan lebih lanjut sebagai
multivariat chi square, yaitu variabel dependennya dalam skala data
61. nominal (dikotomus). Regresi logistik juga disebut sebagai pemodelan
logit karena regresi termasuk dalam pemodelan, regresi logistik termasuk
dalam rumpun dari regresi sehingga kedudukannya sama dengan regresi
linier sebagai uji prediksi atau estimasi. Namun, secara sederhana,
perbedaan antara regresi biasa dengan pemodelan logit ialah pada
variabel dependennya. Regresi biasa memiliki variabel dependennya
berupa data kontinyu, sedangkan regresi logistik memiliki variabel
dependen berupa kategorik (Riwidikdo, 2010).
Analisis regresi logistik dimulai dengan mengaplikasikan metode
enter, yaitu memasukkan semua variabel tanpa ada seleksi dan dianalisis
secara bersamaan. Oleh karena variabel independen dalam penelitian ini
hanya terdiri dari dua unit (paritas dan umur), tidak diperlukan analisis
dengan metode stepwise dimana pasangan variabel yang dianalisis
diubah-ubah secara manual dalam perintah analisisnya. Hasil analisis
yang signifikan diketahui dengan melihat nilai Pr(>|z|) < 0,05.
Analisis multivariat ini menghasilkan nilai OR bagi setiap variabel
yang bermakna menimbulkan suatu efek dan nilai Z yang dapat
menghitung probabilitas terjadinya suatu efek dengan faktor risiko
tertentu. Berikut adalah model logit untuk probabilitas variabel
independen dalam menimbulkan variabel dependen:
p = a+ b1X1 + b2X2
Interpretasi hasil dari model logit tersebut bukanlah nilai kuantitatif
dari respons melainkan sebagai probabilitas/peluang terjadinya suatu
62. kejadian/event dalam hal ini adalah kejadian PPP primer dengan
persamaan distribusi kumulatifnya adalah:
p = E(Y = 1 X1 ) = 1
1+ e- ( a+b1X1+b1X1
)
Perlu diketahui bahwa besarnya a+ b1X1 + b2X2 = Z. Oleh karena
itu, E(Y=1|X1) dibaca harga harapan/peluang terjadinya suatu
kejadian/event dengan nilai kuantitatif 1 dalam hal ini adalah kejadian
PPP primer dikarenakan suatu respons dengan input/prediktor variabel X.
Dari hasil koefisien regresi yang diperoleh, dapat dicari OR
(e=2,718) untuk variabel independen yaitu dengan rumus:
OR n = ebn
I. Etika Penelitian
1. Peneliti memberitahukan secara jujur dan terbuka maksud serta tujuan
kedatangan peneliti kepada pejabat setempat yang memberi izin.
2. Peneliti menghargai, menghormati dan mematuhi semua peraturan dan
norma di tempat penelitian dilakukan.
3. Peneliti menulis semua hasil penggalian dan pengkajian data secara jujur,
benar, tidak ditambah, serta menyatakannya sesuai dengan keadaan
aslinya.
63. BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Wonosari yang merupakan
rumah sakit rujukan di Wilayah Gunung Kidul dan sekitarnya. RSUD
Wonosari, berdasarkan SK Menkes No.210/SK/II/1993, merupakan
rumah sakit negeri satu-satunya milik Pemerintah Kabupaten Gunung
Kidul. Rumah sakit ini terletak dua ratus meter dari pusat kota Wonosari
dan memiliki luas area 22.031 m2 dengan luas bangunan 9.135 m2.
Rumah sakit ini memiliki spesialisasi sebagai standardisasi rumah
sakit tipe C, yaitu pelayanan kesehatan anak, bedah, penyakit dalam,
serta kebidanan dan kandungan. Selain itu, terdapat pelayanan spesialis
lain seperti telinga, hidung, tenggorok (THT), mata, gigi, saraf, kulit dan
kelamin, serta kesehatan jiwa. Pelayanan kebidanan di RSUD Wonosari
terdiri dari rawat jalan dan rawat inap. Pelayanan rawat jalan
diselenggarakan di poliklinik kebidanan dan kandungan, sedangkan
pelayanan rawat inap dilaksanakan di kamar bersalin dan bangsal nifas.
Dalam rangka menekan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi,
RSUD Wonosari selalu berusaha meningkatkan profesionalisme
pelayanan yang diberikan dengan peningkatan sarana dan sumber daya
manusianya. Sarana perawatan dan pelayanan kebidanan diisi oleh dua
53
64. 54
dokter spesialis kandungan, ruang beralin mempunyai 14 bidan, ruang
nifas mempunyai 15 bidan, dan poliklinik KIA mempunyai seorang bidan.
Jumlah ibu bersalin pada tahun 2011 di RSUD Wonosari adalah 1191 ibu
dengan kasus PPP primer 115 kasus.
2. Analisis Hasil
Sampel yang telah terkumpul diolah dan dianalisis sesuai dengan
metode yang telah ditetapkan. Hasil analisis tersebut antara lain:
Tabel 2. Distribusi Frekuensi dan Distribusi Relatif Paritas pada Ibu
B ersa l i n / N i f as di RSU D W on os a r i t a h un 2 0 11
Kasus Kontrol Jumlah
F % f % f %
Paritas
P1 dan P³4 38 2 6 , 0 36 2 4 , 7 74 5 0 , 7
P 2 - 3 35 2 4 , 0 37 2 5 , 3 72 4 9 , 3
Jumlah 73 50,0 73 50,0 146 100,0
Pada kelompok kasus maupun kontrol, proporsi sampel paritas 2-
3 hampir berbanding lurus dengan proporsi sampel paritas 1 dan ≥4.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi dan Distribusi Relatif Umur pada Ibu
B ersa l i n / N i f as di RSU D W on os a r i t a h un 2 0 11
Kasus Kontrol Jumlah
F % f % f %
Umur
U<20 dan U>35 29 19, 9 19 13, 0 48 32, 9
U 20 - 35 44 3 0 , 1 54 3 7 , 0 98 6 7 , 1
Jumlah 73 50,0 73 50,0 146 100,0
Pada kedua kelompok, proporsi sampel dengan usia reproduksi
sehat berjumlah hampir dua kali lipat dibandingkan sampel usia di bawah
20 tahun dan diatas 35 tahun.
Perhitungan ada atau tidaknya hubungan yang signifikan antara
paritas maupun umur dengan kejadian PPP primer dalam penelitian ini
65. menggunakan tabel kontingensi yang kemudian dianalisis dengan
Program R 2.9.0.
Tabel 4. Hubungan Paritas dan Umur dengan Kejadian PPP Primer di
hitung
tabel
RSUD Wonosari tahun 2011
Kej ad ian P PP Pr im er
c2 P- OR 95%
f % f % Val ue CI
Paritas
P1 dan P³4 38 26,0 36 24,7 0,110 0,741 1,16 0,55-
P2- 3 35 24,0 37 25,3
2,25
Umur
U<20 dan U>35 29 19,9 19 13,0 3,104 0,078 1,87 0,88-
U20- 35 44 30,1 54 37,0
4,03
Hasil uji menunjukkan bahwa harga c2 untuk variabel paritas
sebesar 0,110 dan p-value 0,741. Hal ini berarti bahwa c2
hitung < c2 dan
p-value > 0,05. Maka, Ho diterima sehingga dapat diartikan tidak ada
hubungan antara paritas dengan kejadian PPP primer,.
Pengujian statistik kemudian dilanjutkan pada penghitungan
koefisien kontingensi (C). Dari operasi hitung tersebut didapatkan Cparitas =
0,07 dan Cmaks.= 0,71. Dengan demikian, nilai Q untuk paritas = 4,23%
yang berarti hubungan antara paritas dan PPP primer memiliki keeratan
yang rendah.
Uji statistik diteruskan pada penghitungan OR. Hasilnya adalah
OR=1,16 pada rentang CI 0,55-2,25 sehingga dapat dipastikan hubungan
paritas dengan PPP primer tidak bermakna secara statistik. Namun
demikian, paritas yang berisiko mempunyai peluang menyebabkan PPP
primer 1,16 kali lebih besar.
Hasil uji bivariat untuk variabel umur menunjukkan bahwa harga
hitung sebesar 3,104 dan p-value 0,078. Hal ini berarti bahwa c hitung <
c2 2
66. c2
tabel dan p-value > 0,05. Maka, Ho diterima sehingga dapat diartikan
tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian PPP primer.
Pengujian statistik kemudian dilanjutkan pada penghitungan
koefisien kontingensi (C). Dari operasi hitung tersebut didapatkan Cumur =
0,08 dan Cmaks.= 0,71. Dengan demikian, nilai Q untuk umur = 11,27%
yang berarti hubungan antara umur dan PPP primer memiliki keeratan
yang rendah. Meskipun demikian, keeratan hubungan umur dengan PPP
primer lebih besar dari pada keeratan hubungan paritas dengan PPP
primer.
Lalu, dilakukan penghitungan Odds ratio dan confidence interval.
Hasilnya adalah odds ratio 1,87 pada rentang CI 0,88-4,03 sehingga
dapat dipastikan umur dapat mengakibatkan risiko PPP primer 1,87 kali,
meskipun angka tersebut tidak bermakna secara statistik.
Analisis multivariat yang digunakan adalah analisis regresi logistic
dan dikerjakan dengan bantuan Program R 2.9.0. Variabel-variabel yang
masuk ke dalam model multivariat dapat dilihat pada tabel berikut :
T a b el 5 . V a r i a b e l - V ar i a bel Kandidat Model Multivariat
Variabel p-Value
Paritas 0,741
Umur 0,078
Hasil regresi logistik dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6. Hasil Analisis Multivariat Paritas dan Umur dengan Kejadian
PP P P rimer di RSUD Wonosari tahun 2011
Variabel Est im ate St d. Err or z value Pr( >|z|)
- 2.7395 1.6665 - 1.644 - 0.1002
P aritas 0.0138 0.3392 0.041 0.9676
Umur 0.6252 0.3632 1.722 0.0851
67. Dari hasil analisis diatas, paritas memiliki nilai signifikansi lebih
rendah terhadap kejadian PPP primer dengan Pr(>|z|) = 0.9676 dan
besar koefisien regresi 0,0138 dibandingkan umur Pr(>|z|) = 0.0851 dan
besar koefisien regresi 0.6252.
Dari hasil koefisien regresi yang diperoleh, dapat dicari OR untuk
variabel paritas dan umur.
OR untuk paritas adalah OR1 = 1,01
OR untuk umur adalah OR2 = 1,87
Dari hasil tersebut, diketahui bahwa paritas sebagai faktor risiko
terjadinya PPP primer berpeluang sebesar 1,01, sedangkan umur
berpeluang sebesar 1,87.
Persamaan model regresi yang didapat adalah :
p = -2.7395 + 1,6665X1 + 0,6252X2
Dan persamaan kumulatifnya adalah:
p = E(Y = 1 X1 ) = 1
1+ e- (- 2.7395 + 1,6665X1 + 0,6252X2 )
Dengan persamaan tersebut, dapat dicari berbagai peluang terjadinya
PPP primer pada berbagai karakteristik paritas dan usia ibu. Namun,
probabilitas diatas hanya berlaku bagi populasi yang memiliki sifat mirip
dengan sampel penelitian ini. Peluang terjadinya PPP primer pada ibu
dengan paritas 1 (kode 2) dan usia 42 tahun (kode 5), yaitu 48%.
B. Pembahasan
Pada penelitian ini, homogenitas sampel diupayakan dengan menyaring
sampel dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Semua sampel telah memenuhi
68. kriteria inklusi antara lain jumlah janin (tunggal), usia kehamilan (37-41
minggu), jenis persalinan (pervaginam) dan kriteria eksklusi antara lain
pemberian uterotonik (tidak diberi), berat badan lahir (2500-4000 gram), serta
ketersediaan data (data lengkap dan dapat diakses). Dengan demikian,
diharapkan sampel yang ada dapat mencerminkan hubungan risiko antara
paritas dan umur dengan PPP primer secara lebih jelas.
1. Hubungan Paritas dengan PPP Primer
Menurut tabel 2, subjek pada kelompok paritas berisiko (50,7%)
hampir sama jumlahnya dibandingkan pada kelompok paritas tidak
berisiko (49,3%). Untuk informasi tambahan, dari 146 sampel penelitian,
hanya lima ibu yang memiliki paritas lebih dari atau sama dengan empat.
Bahkan dari 73 sampel kasus, hanya terdapat satu ibu dengan paritas
lebih dari atau sama dengan empat. Selebihnya merupakan ibu dengan
status paritas satu (P1). Karena itu, bisa jadi efek yang ditimbulkan oleh
paritas lebih dari atau sama dengan empat tidak dapat muncul di sini.
Analisis statistik yang dihasilkan pun lebih cenderung menggambarkan
risiko primipara dengan PPP primer.
Berdasarkan analisis bivariat, tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara paritas dengan kejadian PPP primer (c2=0,110, P-Value=
0,741, OR=1,16, 95% CI 0,55-2,25). Dengan nilai tersebut, paritas
dapat digolongkan menjadi faktor pemudah terjadinya PPP primer.
Meskipun, berdasarkan penelitian ini, paritas bukan faktor risiko utama,
kehadirannya dapat membuat lengah tenaga kesehatan sehingga dapat
69. dinalar bila kejadian PPP primer terjadi di kedua kelompok paritas (risiko
dan tidak risiko). Pada kelompok paritas tidak berisiko, bisa jadi tenaga
kesehatan menanggapi persalinan dengan lebih tenang namun kurang
waspada. Ketika ada faktor risiko lain yang dapat memicu PPP primer
dan PPP primer terjadi, meskipun prosedur tetap seperti manajemen aktif
kala III pun sudah dilakukan, petugas baru segera melakukan tata
laksana PPP primer. Namun, yang terpenting adalah, meskipun suatu
penyakit atau kasus terjadi, hal tersebut dapat diatasi dan diminimalisasi
tingkat kesakitannya serta klien yang bersangkutan terhindar dari
kematian.
Hasil penelitian ini mirip dengan yang ditemukan Mutiara dan
Yusad (2011). Mereka menemukan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara paritas dengan kejadian PPP primer meskipun paritas
berisiko (P>3) hampir 2 kali lipat dalam menyebabkan PPP primer
(OR=1,53 ; 95% CI 0,62-3,77). Prechapanich dan Tongtub (2007) dalam
penelitiannya juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi
terjadinya PPP pada kelompok nullipara maupun multipara (OR 0.99 95%
CI 0.39-2.51).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan sejumlah penelitian yang
menyebutkan keterkaitan paritas dengan PPP. Tsu (1993) menyebutkan
adanya hubungan antara paritas rendah (dengan persalinan 0-1
sebelumnya) dengan kejadian PPP primer dengan RR 1,7 (95% CI 1,1-
2,7) tanpa mengontrol faktor risiko intrapartum dan RR 1,5 (95% CI 0,95-
70. 2,5) dengan mengontrol faktor risiko intrapartum. Ohkuci dalam B-Lynch
et al, (2006) juga menemukan bahwa primipara berhubungan dengan
kehilangan banyak darah pada persalinan pervaginam (OR 1.6, 95% CI
1.4–1.9). Sementara, Aboyeji et al (1996) menyatakan bahwa grande
multiparitas mempunyai risiko satu setengah kali lebih besar untuk
mengalami PPP primer dari pada paritas rendah (paritas 0-1).
Secara fisiologis, uterus pada nullipara masih belum bekerja
secara efisien. Kontraksinya cenderung mengalami diskoordinasi atau
hipotonis. Rata-rata lama kala I persalinan pada nullipara secara
bermakna lebih lambat dibandingkan dengan multipara (pada umumnya
karena proses dilatasi serviks). Lama persalinannya diekspektasikan
lebih lambat dan bila berlangsung terlalu lama perlu mendapatkan
augmentasi sehingga menjadi persalinan dengan tindakan. Yang menarik
adalah grandemultipara mengalami fase laten persalinan yang lebih lama
dari pada ibu nullipara atau multipara. Namun, pembukaan serviks
kemudian terjadi lebih cepat. Setelah pembukaan enam sentimeter,
partogram menunjukkan lonjakan kemajuan persalinan pada multiparitas
dan grandemultiparitas secara berkesinambungan.
Pada ibu dengan paritas yang relatif aman (P2-3), PPP primer
dapat disebabkan oleh faktor predisposisi lainnya seperti lama kala III ≥
30 menit dan retensio plasenta. Anemia karena kekurangan gizi dan
ketidakpatuhan mengonsumsi tablet tambah darah juga dapat membuka
peluang dalam menyebabkan PPP primer.
71. 2. Hubungan Umur dengan PPP Primer
Kelompok umur tidak berisiko mendominasi 2/3 dari seluruh
sampel yaitu sebanyak 67,1% dari pada kelompok umur berisiko (32,9%).
Hal ini bisa berarti bahwasanya ibu yang bersalin di RSUD Wonosari
mulai memiliki kesadaran untuk membatasi jumlah kelahiran dan mulai
memerhatikan batas usia reproduksinya, atau bisa jadi ibu dengan usia
reproduksi tidak sehat (<20 tahun dan >35 tahun) banyak yang tidak
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga tidak dapat disertakan
menjadi sampel, atau ibu dengan usia reproduksi tidak sehat di wilayah
Wonosari dan sekitarnya tidak terjangkau oleh layanan kesehatan di
rumah sakit sehingga tidak bersalin atau tidak dirujuk ke RSUD
Wonosari.
Berdasarkan hasil analisis bivariat, diketahui bahwa umur
berpotensi menimbulkan PPP primer 1,87 kali meskipun angka tersebut
tidak bermakna secara statstik (c2=3,104, P-Value=0,078, OR=1,87, 95%
CI 0,88-4,03). Hasil ini juga mirip dengan hasil analisis bivariat paritas
terhadap PPP primer. Namun demikian, hubungan umur dengan PPP
primer lebih dekat dari pada paritas. Oleh karena itu, umur lebih dapat
memprediksi kejadian PPP primer. Umur berisiko, berdasarkan analisis
tersebut, merupakan faktor predisposisi dan bukan merupakan variabel
utama faktor risiko terjadinya PPP primer. Hal ini tentu bukan data baru
melainkan hanya salah satu hasil penghitungan yang tidak memunculkan
kemaknaan faktor risiko dari banyak penelitian tentang hubungan umur
72. dengan PPP primer. Diperlukan kajian ahli yang lebih mantap untuk
mempertimbangkan kaitan umur dan PPP primer.
Hasil penelitian ini mirip dengan yang ditemukan Mutiara dan
Yusad (2011). Mereka menemukan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara umur dengan kejadian PPP primer (OR=0,64 ; 95% CI
0,25-1,62). Mereka juga menemukan bahwa ibu dengan usia reproduksi
tidak sehat (>35 tahun) lebih sedikit (31,7%) dibandingkan dengan jumlah
ibu berusia reproduksi sehat (20-35 tahun) (68,3%).
Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Abdullah tahun
2002 yang menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan
kejadian PPP adalah umur ibu <20 tahun dan >35 tahun dengan OR =
2,53. Naturrini (2010) juga melaporkan bahwa karakteristik ibu yang
berhubungan dengan kejadian PPP adalah ibu yang berhubungan
dengan kejadian PPP adalah usia ibu (p = 0,041). Ifadah (2011)
menyebutkan hal yang sama yaitu bahwa umur ibu berisiko mengalami
PPP sebesar ,28 kali (OR=2,28, 95% CI 1,15-4,62).
Pada usia dibawah 20 tahun, fungsi reproduksi seorang wanita
belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia 35 tahun
sudah mengalami penurunan (Saifuddin, 2008). Pada umur <20 tahun,
pertumbuhan tubuh belum optimal. Begitu pula dengan pertumbuhan
organ reproduksi yaitu uterus mengalami hipoplasia uteri dan kesempitan
panggul (Wahyudi, 2000). Perineum yang rapuh biasanya terdapat pada
73. grandemultipara dan usia >35 tahun yang dapat memicu terjadinya
perdarahan postpartum (Oxorn, 2010).
Pada ibu dengan usia reproduksi sehat (20-35 tahun), PPP primer
dapat disebabkan oleh faktor predisposisi lainnya. Misalnya, ibu tersebut
menderita diabetes mellitus sehingga janin yang dikandungnya
cenderung menjadi besar menurut kehamilan, makrosomia sehingga
terjadi peregangan uterus yang berlebihan dan mengakibatkan PPP
primer. Peregangan yang sama juga dapat disebabkan oleh hidramnion.
3. Hubungan Paritas dan Umur dengan Kejadian PPP Primer
Meskipun hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa umur dan
paritas tidak bermakna secara statistik mempengaruhi perdarahan
postpartum primer, kedua faktor tersebut dimasukkan ke dalam model
multivariat karena keduanya secara substansi keilmuan berisiko
menyebabkan PPP primer. Ketidakbermaknaan yang muncul tersebut
dapat dikarenakan keterbatasan penelitian seperti keterbatasan seleksi
sampel dan keterbatasan akurasi data sekunder. Dari uji variabel
independen, paritas dan umur bukan merupakan faktor risiko PPP primer,
Berdasarkan analisis regresi logistik, disimpulkan bahwa ibu
dengan paritas berpeluang menimbulkan PPP primer sebesar 1,01 kali
dan umur berisiko 1,87 kali, meskipun keduanya tidak bermakna secara
statistik.
Perpaduan faktor paritas dan umur dinilai dapat mempengaruhi
prognosis kasus obstetrik (Bobak et al, 1995). Namun, kombinasi
74. tersebut diantaranya adalah ibu nullipara dengan umur 16 tahun ke
bawah, ibu multipara dengan umur 40 ke atas, dan ibu dengan status
grandemultipara (riwayat lima persalinan atau lebih). Oleh karena itu,
kegagalan penelitian ini menghasilkan hubungan yang bermakna bisa
jadi dikarenakan ketiga tipe kelompok di atas dalam penelitian ini sedikit
jumlahnya sehingga tidak menunjukkan efek yang sesungguhnya.
Penjelasan yang sesuai kaitannya PPP primer dengan paritas dan
umur, terutama yang disebabkan oleh atonia uteri, adalah adanya
perubahan yang terjadi pada jaringan konektif dan otot uterin yang
melemahkan kontraksi uteri dan retraksi setelah kelahiran. Faktor
penyumbang lain yang mungkin menyebabkan PPP antara lain pelebaran
berlebihan pada uterus dan persalinan memanjang (Aboyeji, 1996).
C. Keterbatasan penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menyadari bahwa masih banyak terdapat
keterbatasan, antara lain:
1. Pemilihan sampel kasus didasarkan pada penggunaan uterotonik cytotek
sebagai terapi atonia uteri sehingga penyebab PPP primer yang lain
kurang dicermati.
2. Ada arsip rekam medis yang tidak ditemukan sehingga subjek yang
arsipnya tidak dapat ditemukan tidak dapat diikutsertakan menjadi
sampel penelitian.
75. 3. Ada kemumngkinan terjadi bias pada proses seleksi sampel kasus dan
kontrol sehingga tidak memunculkan nilai hubungan paritas dan umur
dengan PPP primer yang sebenarnya.
4. Ada faktor lain yang tidak diteliti tetapi justru berpengaruh besar terhadap
penyakit yang diteliti yang dapat menimbulkan bias perancu seperti
diabetes mellitus, anemia, dan persalinan memanjang.
76. BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada penelitian tentang hubungan paritas dan umur dengan kejadian
PPP primerdidapatkan populasi sebanyak 1191 ibu bersalin. Setelah diambil
sampel, didapatkan sampel sebanyak 73 kasus dan 73 kontrol. Dari analisa data
yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Proporsi ibu bersalin/nifas dengan paritas berisiko (P1 dan P≥4) adalah
50,7% dan dengan paritas tidak berisiko (P2-3) adalah 49,3%.
2. Proporsi ibu bersalin/nifas dengan umur berisiko (U<20 dan U>35 tahun)
adalah 32,9% dan dengan umur tidak berisiko (U20-35) adalah 67,1%.
3. Tidak terdapat hubungan antara paritas dengan PPP primer (c2 = 0,110, P-Value
= 0,741, C = 0,009).
4. Tidak terdapat hubungan antara umur dengan PPP primer (c2 = 3,104, P-Value
= 0,078, C = 0,14).
5. Paritas berisiko 1,16 kali menyebabkan PPP primer meskipun angka tersebut
tidak bermakna secara statistik (OR = 1,16, 95% CI = 0,55-2,25).
6. Umur berpeluang 1,87 kali menyebabkan PPP primer meskipun angka
tersebut tidak bermakna secara statistik (OR = 1,87, 95% CI = 0,88-4,03).
7. Berdasarkan analisis multivariat, OR untuk paritas adalah 1,01, sedangkan
OR untuk umur adalah 1,87 meskipun nilai Pr(>|z|) keduanya <0,05.
Berdasarkan model logit probabilitas dan persamaan kumulatif faktor paritas
66
77. 67
67
dan umur dalam penelitian ini, didapatkan bahwa seseorang dengan status
primipara dan berumur 42 tahun memiliki peluang sebesar 48% untuk
mengalami PPP primer.
B. Saran
Saran yang dapat dikemukakan berdasarkan kesimpulan penelitian di
atas adalah sebagai berikut:
1. Bagi Direktur RSUD Wonosari
Membuat kebijakan yang mendukung peningkatan pelayanan kebidanan dan
kualitas rekam medis sehingga dapat mengurangi angka kesakitan dan
kematian serta membawa manfaat bagi banyak kepentingan.
2. Bagi bidan pelaksana dan tenaga kesehatan terkait
Melakukan deteksi dini dan perhatian pada ibu hamil, bersalin dan nifas
sehingga dapat mencegah komplikasi perdarahan seperti penyuluhan
maupun konseling prakehamilan. Bidan di Ruang bersalin maupun di bangsal
nifas dapat melengkapi dokumentasi dengan menuliskan diagnosis dini dan
final dari keadaan yang dialami pada ibu bersalin/nifas.
3. Bagi staf rekam medis di RSUD Wonosari
Senantiasa meningkatkan kinerja dalam menyimpan data rekam medis dan
melengkapi data elektrik sehingga dapat bermanfaat bagi banyak
kepentingan termasuk untuk kepentingan penelitian dan pengembangan
informasi kesehatan.
78. 68
68
4. Bagi peneliti selanjutnya
dapat melanjutkan dan menyempurnakan penelitian dengan mengeliminasi
kelemahan dan keterbatasan pada penelitian seperti mengendalikan faktor
perancu maupun dengan variabel lain yang memiliki kontribusi yang besar
dalam mempengaruhi perdarahan postpartum seperti diabetes gestasional,
kala II lama, kala III lama, dan preeklampsia.