1. HENTIKAN PROGRAM
SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL
(SBI)
SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL
ADALAH PROGRAM YANG SALAH KONSEP
DAN 90% PASTI GAGAL
Ikatan Guru Indonesia (IGI)
2. MENGAPA PROGRAM SBI HARUS
DIHENTIKAN?
Jika kita cermati ternyata program SBI ini
mengandung banyak kekurangan mencolok. Alih-alih
menghasilkan kualitas bertaraf internasional seperti
yang diinginkan, kualitas pendidikan kita justru akan
merosot.
Mengapa?
Ada beberapa kelemahan mendasar dari program
SBI sehingga program ini memang harus dievaluasi,
diredefinisi, dan perlu untuk dihentikan sampai hal-
hal mendasar tersebut ditangani.
3. KONSEPNYA LEMAH
• Pertama, program ini jelas tidak didahului dengan riset
yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan
bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak
memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang
diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dll
tersebut. Apakah “X’ ini sistem Cambridge, IGCSE, atau IB?
Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai
“X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham
dengan apa yang ia maksud dengan “X” tersebut. Sampai saat ini tak
ada penjelasan akademik apa yang dimaksud dengan “X” tsb.
4. APA ITU ‘BERTARAF INTERNASIONAL’?
• Program ini sudah SALAH KONSEP sejak dari awalnya. UU yang
mencantumkan tentang program ini harus di judicial
review. Coba perhatikan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, "Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada
semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional."
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan satuan pendidikan yang
bertaraf internasional tersebut? Istilah ini tidak pernah
dikenal sebelumnya dan tidak jelas apa acuan, kriteria dan
apalagi rujukan akademiknya. Istilah ini muncul begitu saja
dalam UU Sisdiknas. Bagaimana mungkin sebuah UU memuat sebuah
rumusan yang sama sekali tidak memiliki acuan, kriteria, dan
rujukan akademik?
5. APA RUJUKAN AKADEMIK ‘SNP + X’?
• Apakah sebenarnya satuan pendidikan yang
bertaraf internasional itu? Apakah kalau
menggunakan bahasa Inggris, berbasis IT,
berfasilitas wah, dlsbnya maka sekolah tersebut bisa
disebut satuan pendidikan yang bertaraf
internasional? Apa rujukan akademik yang
digunakan ketika menyatakan bahwa SNP + X
= bertaraf internasional? Apa sebenarnya yang
dimaksud dalam UU istilah ‘bertaraf internasional’
tersebut? Rumusan “SNP + X” adalah rumusan yang
tidak jelas maksudnya.
6. SALAH MODEL
• Kedua, Dikdasmen membuat rumusan 4 model pembinaan SBI tersebut
yaitu : (1) Model Sekolah Baru (Newly Developed), (2) Model
Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School), (3) Model
Terpadu, dan (4) Model Kemitraan. Padahal kalau dilihat sebenarnya hanya
ada dua model yaitu Model (1) Model Sekolah Baru dan Model (2)
Model Sekolah yang Telah Ada. Dari dua model tersebut Dikdasmen
sebenarnya hanya melakukan satu model rintisan yaitu Model (2) Model
Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (existing School) dan tidak
memiliki atau berusaha untuk membuat model (1) Model Sekolah Baru.
Anehnya, buku Panduan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) yang dikeluarkan sebenarnya lebih
mengacu pada Model (1) padahal yang dikembangkan saat ini
semua adalah Model (2). Jelas bahwa sekolah yang ada tidak akan
mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI karena acuan
yang dikeluarkan sebenarnya ditujukan bagi pendirian sekolah
baru atau Model (1).
7. SALAH MODEL
• Sebagai contoh, jika sekolah yang ada sekarang ini diminta untuk memiliki
guru berkategori hard science seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi (dan
nantinya diharapkan kategori soft science-nya juga menyusul) menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, atau memiliki tanah dengan luas
minimal 15.000 m, dll persyaratan seperti dalam buku Panduan, maka jelas
itu tidak akan mungkin dapat dipenuhi oleh sekolah yang ada. Ini ibarat
meminta kereta api untuk berjalan di jalan tol!
• Sebagai ilustrasi, sedangkan guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah ‘favorit’
kita saja hanya sedikit yang memiliki TOEFL > 500, apalagi jika itu
dipersyaratkan bagi guru-guru mata pelajaran hard science. Maka itu jelas
tidak mungkin. Ini berarti Dikdasmen tidak mampu untuk
menerjemahkan model yang ditetapkannya sendiri sehingga
membuat Dikdasmen berresiko gagal total dalam mencapai
tujuannya.
8. TEMPO Interaktif, Mojokerto -
Nilai TOEFL para guru yang mengajar di sekolah
menengah atas (SMA) yang menyandang status
Rintisan Sekolah Berstandar Internasional
(RSBI) di Mojokerto, Jawa Timur, masih di
bawah standar.
Seharusnya nilai standar TOEFL para guru RSBI
ini adalah 450. ”Tapi saya akui saat ini rata-rata
di bawah itu. Saya yang tertinggi saja hanya
430,” kata Ali Ismail, Kepala SMU Negeri 1
Sooko, Mojokerto, Kamis (15/07).
9. SALAH ASUMSI
• Ketiga, Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard
science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki
TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL
dengan kemampuan mengajar hard science dalam bhs Inggris.
Skor TOEFL yang tinggi tidak menjamin kefasihan dan kemampuan
orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang
yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris
dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 . Singkatnya,
menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan
pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi
yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang,
padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance- nya,
dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic.
TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogik.
10. KETIDAKPAHAMAN
• Keempat, penggagas ide ini nampaknya juga tidak paham
bahwa tidak semua orang bisa ‘dijadikan’ fasih berbahasa
Inggris (apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa
Inggris) meskipun orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di
negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari.
Sebagai ilustrasi, bahkan masih banyak guru-guru kita di daerah-daerah
yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam
mengajar! Sebagian dari guru kita di tanah air ini masih menggunakan
bahasa daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di
lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar. Hal ini menunjukkan bahwa adalah tidak mungkin
‘menyulap’ para guru hard science agar dapat fasih
berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai TOEFL>500
seperti persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran
Rintisan SBI tersebut) meski mereka dikursuskan di sekolah
bahasa Inggris terbaik.
11. KEMUSTAHILAN
• Berdasarkan pendapat para guru bahasa Inggris senior susah sekali
untuk menjadikan orang dewasa yang tidak berbahasa Inggris sama
sekali untuk menguasai bahasa Inggris untuk percakapan sehari-hari
apalagi untuk meminta mereka untuk mentransfer konsep pengajaran
dalam bahasa Inggris. Jadi untuk mengubah guru yang tidak berbahasa
Inggris untuk mengajar dalam bahasa Inggris dengan mengirimkan
mereka ke institusi/kursus bahasa Inggris yang terbaik sekalipun adalah
HAL YANG MUSTAHIL. Ini menyangkut teori otak juga dimana
Bahasa akan mudah dipelajari oleh otak dari usia dini 0-6 tahun. Di usia
6-12 untuk mempelajari suatu bahasa akan memakan waktu lebih lama
dan sulit, sedangkan diatas 12 tahun lebih sulit lagi untuk menguasai
suatu bahasa. Banyak Master dan PhD lulusan luar negeri kita yang
kemampuan bahasa Inggrisnya masih rendah dan masih terbata-bata
dalam menyampaikan pendapat. Padahal mereka telah hidup dan
belajar menggunakan bahasa Inggris selama mereka belajar di luar
negeri.
12. Mungkinkah Guru Indonesia Menggunakan
Bahasa Inggris sebagai Bahasa
Pengantar?
Jim Cummins, ahli bahasa dari University of Toronto. dalam
proses akusisi bahasa kedua kita harus membedakan antara Basic
Interpersonal Communication Skills (BICS) dengan Cognitive
Academic Language Proficiency (CALP). BICS adalah
kemampuan bahasa yang diperlukan dalam konteks sosial, misalnya
percakapan dengan teman, transaksi jual beli di pasar, jamuan makan di
restoran, dsb. Percakapan sosial ini banyak memiliki petunjuk-petunjuk
non-verbal (seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan objek acuan)
dan tidak begitu memerlukan aspek kognitif secara dominan.
Sedangkan CALP lebih mengacu kepada bahasa yang
digunakan pada konteks pembelajaran akademik formal,
yang meliputi kegiatan membaca, menulis, mendengar dan
berbicara dalam sesuai dengan kaidah keilmuan tertentu,
misalnya ilmu fisika, biologi, sosiologi, seni suara, dsb.
13. Jim Cummins PhD
University of Toronto.
Hasil riset menunjukkan bahwa waktu untuk menguasai BICS dan
CALP tidaklah sama. BICS dapat dikuasai dalam waktu relatif
singkat, enam bulan hingga dua tahun, sedangkan CALP
memerlukan waktu sekitar lima hingga sepuluh tahun.
Konteks Indonesia berbeda dari AS dan Kanada karena bahasa Inggris
tidak dipergunakan dalam percakapan sehari-hari sehingga waktu
untuk penguasaan bahasa tentunya lebih lama. Selain itu
penguasaan bahasa akademik bukan hanya penghafalan kosakata dan
struktur bahasa, namun juga pada keluwesan dalam bertutur lisan dan
tulisan, dan kemahiran dalam mendengar dan membaca serta berpikir
dengan bahasa tersebut.
14. S ur ya Dharma M P A, PhD
Direktur Tenaga Kependidikan Direktorat Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK)
23/6/2009
Test of English for International Communication
(ToEIC), dari sekitar 600 guru dan Kepala
Sekolah SMP, SMA, dan SMK Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di
seluruh Indonesia pada umumnya rendah,
Sebanyak 60 % nya berada pada level
kemampuan berbahasa paling rendah
(novice)
15. KEGAGALAN DIDAKTIK
• Kelima, dengan penekanan pada penggunaan bahasa Inggris
sebagai medium of instruction di kelas oleh guru-guru yang selain
tak mampu berbahasa Inggris juga masih diragukan kemampuan
penguasaan materi dan metode pembelajarannya, jelas akan
membuat proses KBM menjadi kacau balau. Program ini
jelas merupakan eksperimen yang beresiko tinggi yang
belum pernah diteliti dan dikaji secara mendalam dampaknya tapi
sudah dilakukan di seribu lebih sekolah yang sebetulnya
merupakan sekolah-sekolah berstandar “A”. Program ini
sangat beresiko. Ratusan sekolah-sekolah berstatus Mandiri
yang diikutkan program ini beresiko besar untuk mengalami
kekacauan dalam proses KBM-nya.
16. Hywel Coleman
Honorary Senior Research Fellow, School of
Education, University of Leeds, UK
The purpose of these schools is ambiguous.
The purpose of teaching other subjects through English is unclear
Many teachers do not possess the English language
competence they need to teach core subjects.
The consequences for other languages in Indonesia are potentially
serious : competence in the national language (Bahasa Indonesia) is
likely to decline
The international standard schools appear to give rise to negative
social attitudes between their pupils and those who study in
mainstream schools.
17. KEGAGALAN DIDAKTIK
Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten (atau
kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah
kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk
ditanggung. Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam
proses KBM yang selama ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri
yang dianggap telah mencapai standar SNP tersebut.
FAKTA : Hasil Ujian Nasional baru-baru ini menunjukkan bahwa
banyak sekolah-sekolah berstatus RSBI ternyata hasil UN-
nya lebih rendah daripada sekolah-sekolah reguler lainnya.
Banyak siswa RSBI yang bahkan tidak lulus dalam Ujian nasional tahun
2010. Ini adalah fakta keras yang menunjukkan bahwa program RSBI
ini telah menghancurkan best practice dan menurunkan
mutu sekolah-sekolah terbaik yang dijadikan sekolah RSBI.
18. Kisah Malaysia
Pengajaran dan Pembelajaran Sains dan Matematik
dalam Bahasa Inggeris
Pengajaran dan Pembelajaran Sains dan Matematik dalam
Bahasa Inggeris (PPSMI) ialah nama program pendidikan
Malaysia yang menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar
mata pelajaran Sains dan Matematika di semua peringkat pendidikan.
Program ini dimulai oleh Dr Mahathir pada tahun 2003. Akhirnya
pada 8 Juli 2009 setelah kajian mendalam dilakukan diputuskan
bahwa program ini akan dihapuskan sepenuhnya pada tahun 2012
karena dianggap gagal.
PPSMI ini memang tidak menghasilkan apa yang
diharapkan pencetusnya. Yang bisa survive hanya sekolah
yang berada di kota besar dan sekolah berasrama di kota;
pada jenis sekolah lainnya nyaris tanpa ampun terjadi
degradasi penurunan mutu
19. KESALAHAN ASUMSI (LAGI)
• Ketujuh, kritik paling mendasar barangkali adalah kesalahan
asumsi dari penggagas sekolah ini bahwa Sekolah BERTARAF
internasional itu harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris
khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan
canggih seperti laptop, LCD, dan VCD . Padahal negara-negara maju
seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll. tidak perlu
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin
menjadikan sekolah mereka BERTARAF internasional.Kita tidak perlu
harus mengajarkan materi hard science dalam bhs Inggris supaya dapat
dianggap bertaraf internasional. Kurikulumnyalah yang harus bertaraf
internasional atau dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum negara
lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan kurikulumnya.
Penguatan kemampuan berbahasa Inggris bertaraf internasional bisa
dilakukan secara simultan dengan memberi pelatihan terus menerus kepada
guru-guru bhs Inggris yang mempunyai beban untuk meningkatkan
kompetensi siswa dalam berbahasa Inggris.
21. KESALAHAN ASUMSI (LAGI)
Selama ini siswa-siswa kita yang melanjutkan pendidikannya di
luar negeri tidak pernah diminta untuk mempunyai persyaratan
berstandar Cambridge, umpamanya. Jika mereka memiliki
tingkat penguasaan yang tinggi dalam bidang studi dan mereka
mampu memiliki kompetensi berbahasa Inggris yang baik maka
mereka selalu bisa masuk ke perti di luar negeri. Bukankah
selama ini mereka tidak pernah ditest masuk dengan
menggunakan materi Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dll
dalam bhs Inggris? Lantas mengapa mereka harus dilatih sejak
awal untuk memahami materi bidang studi tersebut dalam bhs
Inggris (oleh guru yang tidak memiliki kompetensi memadai
untuk itu)?
22. PROSES, DAN BUKAN ALAT
• Kedelapan, Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan
mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan
seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional.
Sebagian besar sekolah hebat di luar negeri masih menggunakan kapur
dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti
laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka.
Program ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses.
Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang
alat.
Pendidikan yang berorientasi ke hasil adalah paradigma
lama dan telah digantikan oleh pendidikan yang
berorientasikan pada proses karena pendidikan itu sendiri
adalah sebuah proses.
23. PENDIDIKAN BERMUTU BUKAN HANYA
UNTUK ANAK CERDAS BERBAKAT
• Kesembilan, kesalahan mendasar lain adalah asumsi dan
anggapan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah
bagi siswa yang memiliki standar kecerdasan tertentu.
Sekolah yang bertaraf internasional dianggap tidak bisa diterapkan
pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Ini juga
mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah
bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah
asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah ‘mengkhianati’
SNP itu sendiri karena menganggap SNP ‘tidak layak’ bagi siswa-
siswa cerdas Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan
jika dianggap belum mampu untuk memberikan kualitas yang setara
dengan standar internasional? Ini juga paham yang diskriminatif
dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap
kecerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-
galanya sehingga perlu mendapat perhatian dan fasilitas
lebih daripada siswa yang tidak memilikinya.
24. KEUNGGULAN AKADEMIK SEMATA
Kesalahan konseptual (R)SBI adalah terutama pada penekanannya
pada segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan
segala yang non-akademik. Semua keunggulan yang hendak
dicapai oleh program SBI ini adalah keunggulan akademik semata
dan tak ada lain. Seolah tujuan pendidikan adalah untuk
menjadikan siswa untuk menjadi seseoarang yang cerdas
akademik belaka. Tak ada dibicarakan tentang keunggulan di
bidang Seni, Budaya, dan Olahraga. Padahal paradigma
keunggulan akademik adalah pandangan yang sudah sangat kuno.
Seolah ‘bertaraf internasional’ adalah keunggulan akademik
padahal justru Seni, Budaya, dan Olahragalah yang
akan lebih mampu mengantarkan kita untuk bersaing
dan tampil di dunia internasional.
25. BERTARAF INTERNASIONAL HANYA 2%
Sekolah yang dirancang untuk menjadi SBI hanyalah sekitar
2% dari jumlah sekolah yang ada di tanah air. Artinya, jika
kita menganggap bahwa sekolah-sekolah SBI-lah sekolah
yang nantinya akan dianggap bertaraf internasional dan
SETARA dengan sekolah-sekolah di negara maju secara
umum maka itu sama artinya dengan menyatakan bahwa
hanya 2% dari sekolah kita yang mutunya setara
dengan sekolah-sekolah di dunia internasional
(meskipun yang paling buruk). Ini jelas
‘menghinakan’ sistem pendidikan kita dan program SBI ini
jelas merendahkan sistem pendidikan kita secara nasional.
26. SBI = PEMBOHONGAN PUBLIK
• Kesepuluh, dengan program SBI ini pemerintah
memberikan persepsi yang keliru kepada para orang
tua, siswa, dan masyarakat bahwa sekolah-sekolah yang
ditunjuknya menjadi sekolah Rintisan tersebut adalah sekolah yang
‘akan’ menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dengan berbagai
kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat
dicapai atau bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang
ada. Dan ini adalah sama dengan menanam “bom waktu’.
Masyarakat akan merasa dibohongi dengan program ini dan pada
akhirnya akan menuntut tanggungjawab pemerintah yang
mengeluarkan program ini.
27. MENCIPTAKAN KESENJANGAN SOSIAL
• Kesebelas, Program SBI ini di lapangan ternyata menciptakan
kesenjangan sosial pada siswa. Program SBI menjadikan sekolah yang
mengikutinya menjadi eksklusif dan menciptakan kastanisasi karena
hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan menengah ke atas. Tingginya
pembiayaan yang dikenakan pada orang tua siswa membuat sekolah-sekolah
SBI ini tidak dapat dimasuki oleh anak-anak dari kalangan bawah. Akibatnya
terjadi kesenjangan sosial di sekolah.
• Hal ini juga akan menimbulkan kekecewaan dan kemarahan dalam hati para
orang tua kalangan bawah yang tidak mampu masuk ke dalam sekolah
eksklusif ini. Mereka akan merasa sengaja dipinggirkan dalam sebuah sistem
pendidikan yang dianggap ‘terbaik’ dan yang akan menjamin masa depan
anak-anak mereka. Kekecewaan dan rasa frustrasi yang menumpuk akan
dapat meledak jika telah mencapai kulminasinya juga.
28. KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Keduabelas, Salah satu kritik terbesar dari masyarakat tentang SBI ini
adalah bahwa program ini telah memberi legitimasi kepada sekolah
untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Pendidikan
diperdagangkan justru oleh pemerintah yang seharusnya memberikan
pelayanan pendidikan kepada rakyatnya secara gratis dan juga
bermutu. Komersialisasi pendidikan ini adalah
pengkhianatan terhadap tujuan pendirian bangsa dan
negara. Saat ini sekolah-sekolah publik RSBI bahkan telah menjadi
lebih swasta dari swasta dalam memungut biaya pada masyarakat.
Hampir semua sekolah RSBI menarik dana dari masyarakat dengan
biaya tinggi yang sebenarnya sungguh tidak layak mengingat mereka
adalah sekolah publik yang semestinya dibiayai sepenuhnya oleh
pemerintah dan ‘haram’ sifatnya menjadi komersial.
29. BERTARAF INTERNASIONAL UJIANNYA
NASIONAL?
Ketigabelas, Sungguh ganjil jika sebuah UU Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) tiba-tiba memunculkan sebuah istilah ‘bertaraf
internasional’ ! Mau dimasukkan ke mana dan dengan konstelasi
bagaimana sebuah sistem pendidikan yang ‘bertaraf internasional’ dalam
sebuah Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), apalagi dianggap sebagai
standar tertinggi?
Selain itu, Meski menyandang nama ‘bertaraf internasional’ tapi
siswanya masih harus ikut ujian nasional. Alangkah ganjilnya jika
sebuah sekolah yang bertaraf INTERNASIONAL tapi kemudian masih harus
mengikuti sebuah UJIAN NASIONAL!
Tidak mungkin sekolah harus mempersiapkan siswa untuk mengikuti DUA
SISTEM UJIAN yang berbeda (nasional dan internasional) karena itu
SANGAT MEMBERATKAN guru dan siswa serta tidak bermanfaat.
30. BAGAIMANA DENGAN PROGRAM WAJIB
BELAJAR 9 TAHUN?
• Keempat belas, Pemerintah telah menetapkan Wajib Belajar 9
Tahun sebagai programnya. Maka sebagai konsekuensinya SEMUA
pembiayaan pendidikan bagi siswa mulai dari pendidikan dasar
maupun menengah HARUS dipenuhinya dan tidak boleh ada
pungutan pada siswa. Pungutan pada orang tua siswa,
meski melalui komite, adalah bertentangan dengan
Undang-Undang Sisdiknas itu sendiri.
Pasal yang memuat aturan tentang diperbolehkannya pungutan
bagi siswa sekolah bertaraf internasional HARUS
DIAMANDEMEN karena bertentangan satu sama lain.
31. SISWA BUKAN GLADIATOR!
Kelimabelas, salah satu tujuan dari dicetuskannya program SBI ini
adalah agar pendidikan kita mampu menelurkan siswa-siswa yang akan
mampu mewakili dan mampu menjadi pemenang dalam berbagai
olimpiade bidang studi dan adu kecerdasan tingkat regional dan
internasional. Ini jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan itu
sendiri dan sama artinya dengan membuat sekolah-sekolah gladiator
yang akan menghasilkan para gladiator untuk diadu ke sana kemari
demi menutupi kelemahan sistem pendidikan pemerintah secara
umum.
Ini bisa dianggap sebagai penyalahgunaan tujuan pendidikan atau
education abuse. Pendidikan berfungsi untuk menjadikan siswa
sebagai manusia seutuhnya dan bukan untuk menjadi gladiator di
bidang ilmu pengetahuan.
32. HENTIKAN PROGRAM SBI
• Mari kita hentikan program SBI yang konsepnya asal-
asalan ini karena justru akan merugikan kualitas
pendidikan kita. Program ini tidak akan mungkin berhasil
meski diguyur dengan dana seberapa pun dan dalam
jangka waktu berapa pun karena memang sudah SALAH
DESAIN dan juga telah TERBUKTI GAGAL di negara
lain. Dalam prakteknya program SBI ini juga
mengkhianati rakyat kecil yang justru lebih membutuhkan
pendanaan dan perhatian yang lebih besar ketimbang
anak-anak cerdas kita. Anak-anak cerdas kita SELALU
bisa menunjukkan kehebatan maupun kompetensinya di
mana pun dan kapan pun tanpa harus dijadikan ‘gladiator’
di sekolah.
33. APA GANTINYA?
• Program SBI jelas salah konsep, tidak sesuai dengan
semangat nasionalisme, dan tidak sesuai untuk semua
kalangan.
Untuk itu bangsa kita hanya memerlukan SATU standar
yaitu SSN (Sekolah Standar Nasional) yg bermutu
tinggi dan GRATIS. Pemerintah perlu mengembangkan
SSN menjadi sebuah standar pendidikan yang terbaik yang
bisa dicapai oleh bangsa Indonesia yang tidak kalah mutunya
dengan pendidikan di negara lainnya. Kita tidak
memerlukan LABEL ‘internasional’ hanya untuk sekedar
menunjukkan bahwa kita dapat sejajar dengan bangsa-
bangsa lain
34. USULAN
Jika istilah ‘bertarf internasional’ tidak bisa dihapus dan
dihindari maka perlu adanya suatu REINTERPRETASI dan
REFORMULASI dari rumusan sekolah bertaraf internasional
yang ada selama ini. Usulan rumusan dasar tersebut adalah sbb :
“Satuan Pendidikan yang bertaraf Internasional adalah sekolah yang
dapat memberikan pelayanan pendidikan berkualitas tinggi
kepada siswa-siswa yang memiliki potensi akademik dan non-
akademik yang sangat menonjol sehingga siswa-siswa tersebut
dapat memiliki bekal pengetahuan, ketrampilan dan sikap pribadi serta
kompetensi dan prestasi akademik dan non-akademik yang menonjol
dan memiliki kemampuan untuk berkolaborasi secara
internasional.”
35. PENDIDIKAN BERTARAF
INTERNASIONAL
Pelayanan pendidikan yang bertaraf internasional di sini mencakup
8 SNP dan ditambah dengan pelayanan pendidikan tambahan yang
akan dapat memunculkan kompetensi terbaik dari siswa agar dapat
memiliki daya saing internasional.
Ada tiga komponen penting yang mencakup pengertian ‘bertaraf
internasional’ di sini, yaitu :
Pelayanan sekolah yang bermutu tinggi
Input siswa yang memiliki potensi akademik dan non-
akademik yang sangat menonjol
Prestasi akademik dan non-akademik di bidang Seni,
Budaya, dan Olahraga serta kemampuan untuk bekerjasama
dan berkolaborasi secara internasional dengan lulusan dari mana
pun.
36. SUBSTANSI DAN BUKAN
KOSMETIK
Dengan konsep seperti ini maka tidak diperlukan lagi segala
macam aksesori dan kosmetik yang tidak perlu pada program ini
agar berbau internasional seperti : Standar ISO, Ujian
Cambridge, IBO, TOEFL, Sister School, Studi Banding ke luar
negeri, kelas ber AC, menggunakan laptop dan LCD, dll.
Sekolah dapat memusatkan perhatiannya pada program-program
dan proses pembelajaran yang benar-benar dapat merangsang
siswa untuk mengembangkan potensinya secara optimal melalui
program-program yang sudah diketahui efektifitasnya.
Pendidikan harus benar-benar diarahkan pada proses dan bukan
pada alat dan aksesori
37. BUKAN HANYA AKADEMIK
Konsep SBI yang lama yang hanya menonjolkan kemampuan
akademik siswa semata hendaknya direinterpretasikan ulang dan
kemudian haruslah memberikan porsi yang sama besarnya
kepada bakat menonjol siswa yang bersifat non-akademik seperti
Seni, Budaya, dan Olahraga karena pada hakikatnya dalam
kehidupan nyata bakat di bidang non-akademik dan kecerdasan-
kecerdasan lain yang tercakup dalam multiple intellegencies
justru sangat dibutuhkan dalam kehidupan mereka di dunia nyata
kelak. Pengagungan kepada bakat akademik semata menunjukkan
ketidakpahaman kita akan dimensi pendidikan itu sendiri yang
memang tidaklah semata akademik.
38. GUNAKAN BAHASA NASIONAL
Untuk itu semua bidang studi (kecuali bahasa asing) harus
diajarkan dalam bahasa Indonesia yang baku dan
standar untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
menggunakan bahasa nasional tersebut. Dengan dihapuskannya
kewajiban menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar
di kelas maka guru dapat kembali memfokuskan persiapannya
pada proses pembelajaran yang efektif dan tidak perlu berjibaku
menggunakan bahasa Inggris yang samasekali tidak dikuasainya
tersebut. Kita tidak perlu mengikuti kesalahan yang sama yang
telah dilakukan oleh pemerintah Malaysia.
39. KOMPETENSI BAHASA INGGRIS
Untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam menggunakan
bahasa Inggris sebagai bekal untuk hidup di dunia global maka
pelajaran bahasa Inggris mesti ditambah porsinya baik
itu jumlah jam belajarnya mau pun efektifitas
pembelajarannya. Pembelajarannya juga harus lebih variatif
agar dapat mendukung berkembangnya kemampuan siswa dalam
4 ketrampilan berbahasa Inggris yang mencakup : Listening,
Speaking, Reading dan Writing. Berbagai program dapat sidusun
untuk meningkatkan kompetensi siswa ini. Ada banyak program
dari lembaga-lembaga internasional yang dapat diadopsi untuk
mencapai tujuan ini.
40. TERIMA KASIH ATAS PERHATIAN ANDA
SK. Menkumham Nomor AHU-125.AH.01.06.Tahun 2009,
tertanggal 26 November 2009