2. Gerakan Revitalisasi Mas Djakaria 1811-1827
Setelah Kesultanan Banten dihancurkan oleh Belanda,
mulai muncul berbagai gerakan yang dipimpin oleh elite
bangswan dan elite agama untuk merevitalisasi
kesultanan Banten, salah satunya Mas Djakaria dan
Pangeran Achmad yang membantu Raffles untuk
menaklukan Belanda pada 1811.
3. Kebijakan Raffles 1811-1816
Menghapuskan kebijakan lama yang telah dilaksanakan Daendels
yang tidak manusiawi, diantarnya:
1. Penghapusan segala bentuk dan jenis penyerahan wajib
maupun kerja paksa terhadap rakyat.
2. Peranan para pemungut pajak dihapuskan, sebagai
penggantinya mereka dijadikan sebagai bagian dari
pemerintah colonial.
3. Pemerintah kolonial ditempatkan sebagai pemilik tanah,
sehingga para petani yang menggarap tanah dianggap
sebagai penyewa.
4. Menghapus sistem tanam paksa dan menggantinya dengan
sistem sewa tanah atau land rent system.
4. Pangeran Achmad meminta legitimasi kepada Inggris agar
diangkat menjadi penguasa baru di Banten, tetapi Mas Jakaria
keberatan untuk mengakui Pangeran Achmad sehingga terjadi
perang saudara. Hal ini dimanfaatkan pemerintahan Inggris
untuk menangkap kedua tokoh yang dikenal sebagai orang
yang berbahaya terhadap eksistensi pemerintahan Inggris.
Tapi Mas Djakaria berhasil dibebaskan dari penjara pada
tahun 1827 dengan bantuan mandor pribumi.
Penangkapan Pangeran Achmad & Mas Djakaria 1812
5. Pemberontakan Mas
Djakaria 1827
Berita lolosnya tokoh pemberontak telah membuat
pemerintah kolonial Belanda mewaspadai gerakan Mas
Jakaria, karena pengaruh buruk masa lalu di Banten yang
ingin menguasai dan menjadikan dirinya sebagai Sultan
Banten yang baru. Hal ini yang membuat pemerintah
kolonial memberikan informasi untuk para penduduk Banten
yang berhasil menangkap Mas Jakaria hidup atau mati akan
mendapatkan hadiah sebesar 2000 gulden.
Pada 21 November 1827, Mas Jakaria bersembunyi di tempat
tinggalnya yang terletak di desa Baros. Roes Agus seorang
kerabat Raden Djaga Manggala memberitahu kepada Wakil
Bupati Djaga Manggala, bahwa Mas Jakaria sedang berada di
rumahnya. Akhirnya berhasil ditangkap dan dihukum mati
dengan dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibakar
6. Pemberontakan Nyi Mas Gamparan 1836
Pada tanggal 16 Agustus 1836, tampil sosok wanita bernama Saliah
yang berasal dari Kampung Melayu yang tiba di Balaraja, Tangerang. Di
desa itu, Saliah mengaku sebagai seorang yang memiliki ilmu mistik
dengan penampilannya menggunakan sandal atau gampar, sehingga
lebih dikenal dengan Nyai Gamparan. Meskipun, belum diketahui
secara pasti asal-usulnya, Saliah atau Nyai Gamparan bisa disebut
sebagai sosok yang memiliki kemampuan untuk meyakini para
penduduk tentang kesaktian dan kewibawaan dirinya. Gerakan ini
berusaha membebaskan rakyat Banten dari system tanam paksa yang
membuat rakyat Banten Menderita.
pemerintah kolonial Belanda memerintahkan Raden
Tumenggung Kartanata Negara yang menjadi Demang di
Jasinga untuk menangkap Nyai Gamparan dan pasukannya
dengan imbalan akan diangkat menjadi Bupati di Lebak.
Akhirnya Damang berhasil menangkap Nyi Gamparan.
7. Di Banten mencapai pucak gejolak sosial pemberontakan pada 1888 yang dilakukan
oleh para tokoh agama, para petani dan buruh. Tokoh yang menentukan dalam
peristiwa Geger Cilegon ini adalah Abdul Karim Tanara sebelum akhirnya diambil
alih oleh Haji Wasid, Tubagus Ismail yang pernah belajar di Mekkah pada Syekh
Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon.
Tiga pokok ajaran yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh
dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam
dan harus dipraktekan dalam setiap kegiatan sehari-hari.
Antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan
Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang
ternak ditambah lentusan Gunung Krakatau yang Meletus pada 1883.
Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak
ada yang tumbuh dan air minum pun sulit didapat. Sehingga membuat rakyat
mengalami penderitaan yang begitu berat.
Pemberontakan Petani Banten 1888 (Geger Cilegon)
8. Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini,
karena banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai
hewan dapat ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang
datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa. Tidak heran dari
catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari ± 210.000
penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak
dapat tertolong dan menemui ajalnya.
Pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang
baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib,
seperti kerja pancen dan kerja rodi. Untuk menggambarkan
besarnya pajak yang ditanggung rakyat Banten, setahun setelah
letusan Gunung Krakatau, pajak tanah f. 125.000,- Pada tahun
berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh negeri dinaikkan,
sehingga jumlah pajak yang terkumpul jauh besar jumlahnya dari
jumlah pajak tanah tahun 1872, meskipun jumlah penduduk turun ±
100.000.
Keadaan Masyarakat Cilegon Pra-Pemberontakan
9. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya
menara langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten
Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk
mengalunkan azan setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan
“masyarakat” kerena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh.
Pada hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para
kiyai untuk persiapan terakhir/pematangan gerakan di rumah Haji
Akhia di Jombang Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji
Sa’id dari Jaha, Haji Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari
Ciora, Haji Halim dari Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji
Iskak dari Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang)
dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di Cilegon).
10. Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah
serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman
dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah
selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji
Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji
dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara.
Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis
di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus
Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor,
Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas
Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala
penjualan garam ─ semuanya adalah orang-orang yang tidak
disenangi rakyat.
11. Penumpasan Gerakan Pemberontakan 1888
Setelah menduduki Cilegon, Ki Wasid memimpin
pemberontakan menuju Serang untuk merebut ibukota
Keresidenan dan membunuh para pegawainya baik pribumi
maupun Eropa. Sementara itu, bupati dan kontrolir Serang
Letnan van ser Star membawa pasukan tentara 28 pasukan
bersenjata dan terjadi pertempuran di Toyomerto dan berhasil
memukul para pemberontak dan menewaskan Sembilan orang
dan beberapa luka-luka.
Pada tanggal 30 Juli 1888, Ki Wasid dan pengikutnya pergi ke
Banten Selatan, tetapi karena informasi dari mata-mata
pribumi, tentara Belanda melakukan ekspedisi ke Banten
Selatan hingga daerah Sumur dan berhasil melumpuhkan para
pemberontak dan teridentifikasi bahwa Haji Wasid, Tubagus
Ismail, Abdul Gani tewas dan mayatnya di bawa ke Serang. Dua
mayat hilang terjatuh ke Sungai dan hanya satu yang dapat
ditemukan
12. Korban tewas oleh pemberontak 17 orang, korban luka-luka 7
orang, pemberontakan yang tewas: 30 orang termasuk yang
dihukum gantung, Pemberontak yang dibuang sebanyak 90 orang .
Tempat pembuangannya Tondano, Gorontalo, Kema, Padang,
Maros, Ternate, Ambon, Banda, Manado.
13. Pemberontakan PKI 1926
Di Banten gejolak dan pemberontakan masih dilakukan
rakyat Banten karena kebencian terhadap Belanda masih
mendalam. Sarekat Islam dibawa HOS Tjokroaminoto ke
Serang tetapi sangat rendah peminatnya karena Sarekat
Islam dipandang kurang berani menentang pemerintahan
Belanda. PKI masuk ke daerah Banten pada tahun 1923,
dimulai dengan membuat Sarekat Rakjat dibawah pimpinan
Oesadiningrat, namun gagal. Baru pada Agustus 1925
dengan kembalinya seorang putra Banten, Tubagus Alipan,
bersama kader PKI Priangan (Sunda) bernama Puradisastra
dan kader PKI Batavia bernama Achmad Bassaif, yang fasih
berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan tentang Islam,
PKI baru memiliki cabang seksi yang kuat.
14. Simpati dan ketertarikan ulama dan petani didapat dengan mendirikan
sebuah perkumpulan kemasyarakatan yang bernama "Rukun Asli". Perlahan
dengan bantuan Achmad Bassaif dan Hassan (PKI Sumatera Barat) yang
memiliki pengetahuan tentang Islam, para ulama ditarik ke dalam PKI yang
sangat revolusioner dan tidak kenal kompromi. Sedangkan para petani
tertarik dengan janji-janji bahwa mereka tidak akan lagi dikenakan pajak
tinggi seperti dibawah Belanda dan bebas dari tekanan para priyayi yang
menjadi antek Belanda. Akhirnya Achmad Chatib (Menantu Syekh Asnawi
Caringin) tertarik pada konsep Gerakan PKI dan ditunjuk sebagai ketua PKI
Cabang Banten. Hadirnya Achmad Khatib menambah dukungan dari ulama
dan para petani Banten, sehingga dalam jangka waktu singkat mampu
mendapatkan ratusan dukungan dari para penduduk Banten.
Achmad Khatib
15. Pemberontakan PKI VS Belanda
Insiden paling serius di kabupaten Serang terjadi di wilayah Petir pada malam 13 November 1926. Tidak seperti
di wilayah Serang pada umumnya, di daerah ini PKI tetap begitu kuat dan hampir tidak terpengaruh oleh akibat
dari aksi penangkapan tokoh-tokoh pemimpin PKI mereka beberapa waktu lalu, seperti di kabupaten Serang,
hampir semua tokoh lokal PKI daerah ini adalah ulama. Pemberontakan ini hampir berhasil memukul mundur
pasukan Belanda, tetapi karena mendapatkan pasukan militer dari Batavia dengan senjata lengkap.
Serangan balasan kolonial Belanda telah berhasil dilakukan dalam waktu singkat, para
pemberontak berhasil dilumpuhkan karena tidak memiliki persenjataan lengkap.
Sebanyak 1.300 anggota PKI dan simpatisan ditangkap, 4 orang dihukum mati,
sedangkan 99 orang di buang ke Boven Digoel. Sebanyak 29 diantaranya sudah bergelar
haji, 17 diantaranya bahkan pernah tinggal di Mekkah, sedangkan 11 orang lainnya
tercatat sebagai guru agama