2. MUTIARA KECIL KEHIDUPAN
Detik demi detik yang kujalani kini kulewati dengan sendiri. Terkadang
kesepian membuatku larut dalam kesedihan. Dulu, memang aku mengharapkan ini
karna waktu itu seakan keadaan mengazabku dan perasaan kecilkupun tak mampu
menahan itu semua? Mengapa? Karna sembilan tahun yang singkat itu mewarnai
kisah hidupku dengan warna pekat dan memilukan.
“rasakan ini!!” seraya memukul dengan tongkat.
“ampun nek” isakku menahan setiap pukulan marah nenek
“anak celaka! Dasar anak tak tahu di untung”
“ampun nek” aku terus menangis, tersedu menahan setiap pukulan nenek yang tak
tanggung. Aku sebenarnya telah biasa menghadapi hal seperti ini,bahkan sering
luka bekas pukulan nenek mengeluarkan darah dan membekas biru.
Aku tak habis pikir begitu besarkah kesalahanku? apa yang telah kulakukan
sehingga semua orang membenciku dan hanya nenekku ini yang merawatku sejak
kecil. Ibu dan ayahku telah bercerai semenjak aku masih kecil. Bukannya seperti
di film, orang tua bercerai memmperebutkan anak. Orang tuaku malah tak
menginginkan aku. Hingga aku dititipkan di nenek. Sampai saat ini umurku hampir
sembilan tahun, aku belum pernah merasakan diciumi mama dan papa, pergi main
ketaman, bahkan bertemu merekapun aku tidak pernah, meskipun itu hanya dalam
mimpi.
“kamu anak haram, kenapa main sama anak orang kaya itu, tak tahu diri kamu”
bentak nenek sambil menjabak rambutku.
“ampun nek, ampun!” hanya itu yang bisa kupinta
“kau adalah bencana dikeluarga ini! Pergi kau anak haram ! pergi!!!”
“ampun nek, ampuni harmi, harmi gak akan mengulanginya lagi! Tadi waktu harmi
buang sampah kedepan harmi di ajak main sama mereka” aku memelas, telah
3. sering, ratusan kali aku diusir dari sini. Tapi, aku terus memohon kepada nenek,
menyembah mintak belas kasihannya agar diizinkan tinggal dirumahnya. Aku
berfikir apa yang bisa dilakukan gadis kecil sepertiku diluar sana? Tentu aku
takkan sanggup untuk membuat perut ini terisi meski itu sehari. Untuk itulah aku
lebih memilih menahan tiap pukulan, tiap cacian, dan sumpah serapah nenek.
Kekerasan adalah santapanku sehari- hari, cacian adalah alunan kepedihan yang
tak bisa aku mengelakkan.
Aku hanya gadis kecil yang berusaha untuk dewasa, aku harus bisa
mencerna scenario tuhan itu hanya dengan akal polosku. apalah diri ini? Hanya
anak haram, bahkan tanggal lahirnyapun tidak tahu pasti. Aku punya ibu, aku
punya ayah, tapi aku anak haram! Aku tak di inginkan ! aku tak pernah mengenal
kata syukur karna semua yang kuinginkan tak pernah bisa aku menggapainya. Aku
hanya ingin bermain, bercanda dengan anak- anak lain, bermimpi layaknya mereka,
bersekolah, menikmati masa kecil mereka penuh keceriaan, jangankan bermain
dengan anak- anak diluar sana mendekati mereka saja nenek memukuliku hingga
aku babak belur. Semua angan yang sempat terlintas dipikiranku, harus kukubur
dengan jawaban pukulan nenek. Aku tak tahu indahnya dunia luar, tak tahu
luasnya kebebasan, dunia seakan mengucilkanku dirumah sederhana ini, tinggal
bersama nenek sebatang kara ini. Nenek sangat memebenciku, aku seakan babu
dirumah ini, memang babu. Semua pekerjaan tangan kecil inilah yang
mengerjakannya.
Pernah aku berfikir apakah ibu mau merawatku kembali?
Namun niat itu kuurungkan, karna ibu pasti malu pernah punya anak haram
seperti ku ! ayah ?entahlah, aku belum pernah bertemu beliau. Tuhan, aku tak
pula ingin lahir kedunia ini,
“pergi ! pergi ! pergi kau anak haram !” kata itu selalu terngiang dirongga telinga
ku hingga terjerat dimemoriku dan sangat sulit untuk dihapus. kata kasar,
amukan, cacian, pikulan hal biasa yang ku hadapi setiap hari.
4. Sering aku dikurung digudang belakang. Sering aku dikurung seharian, dua hari
diruang ini kedinginan, ketakutan dan kelaparan berteman dengan hausnya
nyamuk akan santapan darah, disana aku menjadi makanan nyamuk, tak diberi
makan tapi ku tetap hidup meskipun aku sakit digelapnya kehidupan.
“pergi...! pergi...! kembali kata- kata itu tengiang ditelingaku. Tuhan, apakah
salahku ? sehingga nenek memebenciku seperti ini? Apakah aku pantas dijadikan
tersangka dalam mempermalukan (aib) keluarga ini? Aku bahkan tak pernah di
izinkan nenek untuk bertemu anggota keluarga yang datang berkunjung. Setiap
kali mereka datang aku disekap digudang yang menjadi saksi bisu hidupku. Hanya
air mata meneteskan sejarah hidup yang ku alami. Aku tak pernah di izinkan
bertemu saudara- saudaraku, tante- tanteku, seperti yang nenek katakan mereka
malu punya anggota keluarga sepertiku. Mungkin nenek sudah terlalu letih
memeliharaku, dia telah terlalu tua, telah terlalu lama dia korbankan hidupnya
untukku, sudah sembilan tahun dia membesarkanku, tiba – tiba saja.
“harmi ! keluar, cuci piring didapur ! cepat” nenek mebuka pintu gudang, semalam
aku dikurung disini. Aku hanya bisa menurut, tadi malam aku tidak diberi makan,
seluruh tubuhku serasa lemas, tapi apa yang bisa kuperbuat ? jika aku tidak
mengerjakan perintah nenek, nenek takkan memeberiku makan. Piring demi
piring, gelas, sendok, kucuci bersih, kalau tidak bersih nenek bisa marah. Saat
kukerjakan semua air mataku jatuh dengan sendirinya. Tuhan, apa aku begitu tak
diinginkan, aku juga tak ingin lahir kedunia ini ! mengapa mereka begitu
memebenciku, apakah karena aku anak haram ?
“taarrrrr” ya allah, dengan tak sengaja piring jatuh kelantai dan pecah, matilah
aku !!
“harmi !!!” teriak nenek terkejut
“oh, tidak, kau memecahkan piring kesayanganku !” seraya menjabak rambutku,
nenek mendorong kepalaku ketembok. Sakit memang tapi ini memang salahku.
5. “plakk” kau anak haram pembawa bencana !” nenek menamparku, mulailah nenek
memukuliku dengan sendok.
“ampun nek, sakit nek ,ampun !” aku menangis menahan sakit
“aku benci padamu anak haram ! pembawa bencana “dia terus mencercaku dan
memukuliku, sekuat yang dia bisa. Seperti itulah yang kurasakan, kesalahan kecil
akan dibalas dengan amarahan besar.
“aku sudah tidak tahan lagi memeliharamu anak haram”
“bunuh saja harmi nek,bunuh ! harmi juga gak mau lahir kedunia ini !kenapa nenek
beri nama harmi? Karena harmi anak haram ?iya !!!”. aku tak tahu kenapa lidahku
bisa lancang seperti ini? Biasanya aku tak pernah lancang seperti ini.
“apa kau bilang”jambakan nenek semakin kuat “anak haram”
“ampun nek, ampun” tangisku semakin perih.
“pergi kau dari sini,pergi kau anak haram”nenek menyeretku kepintu, kemudian
kepintu pagar, kemudian aku di dorong hingga terguling di aspal.
“pergi kau dari sini anak haram ! pergi, jangan kembali lagi “
Teriakan nenek mengusirku begitu serius.
Aku coba berdiri, kucoba melangkah !
Aku coba untuk pergi,telah terlalu sering aku menyembah, memohon dikaki nenek
agar aku di izinkan tetap tinggal, sekarang aku telah lelah, mungkin kepergianku
akan menghilangkan kehinaan di keluarga ini.
Sebenarnya aku ingin mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih pada nenek
karna ia telah membesarkanku selama sembilan tahun. Namun semua keinginan itu
harus kuhapus, karna nenek telah masuk kedalam rumah, sambil membanting
pintu. Sampailah aku pada kesimpulan, aku memang harus pergi.
***************
Langkah demi langkah kutempuh jalan raya yang begitu ramai ini. Banyak
persimpangan, yang aku tak tahu arahnya kemana. Banyak kegiatan yang tak bisa
dipahami anak seusiaku. Arah mana yang harus kupilih ? kemana aku akan pergi?
6. Kerumah ibuku ?atau kerumah ayahku ? aku pusing dan bingung di kota Malang
sebesar ini. Mungkin saudara- saudaraku banyak dikota ini, tapi aku tak tahu
meraka dimana dan aku tak mengenal mereka dan pastinya mereka tak
mengenaliku karna aku tak pernah bertemu dengan mereka.
Terus ku telusuri jalan yang ramai ini, banyak anak- anak sebaya dengan ku
bermain di taman kota, berlarian, tertawa, dan bercanda. Betapa bahagianya
mereka sejanek kulihat dan betapa inginku seperti mereka ! tapi ku ahrus
bergegas pergi meneruskan perjalanan yang aku tak tahu harus kemana. Sayup –
sayup ku dengar azan zuhur yang begitu menyentuh hatiku. Kucoba mencari
sumber azan itu dan kulangkahkan kaki menuju halaman mesjid. Setiba dinesjid,
kupeluk salah satu tiang mesjid, aku tak berani masuk kedalam mesjid karna
kulihat banyak sekali jemaah dalam mesjid, aku berfikir, “mereka pasti masuk
surga “.
“ada apa nak ?”suara lemah lembut itu mengagetkan ku, aku menoleh dan
tergagap,
“eh...eh... apakah saya boleh sholat disini pak ustadz ?”
“boleh la sayang, ini kan rumah allah, siapapun boleh sholat disini. Ayo ambil
wuduk disana “pak ustadz smbil menunjuk kearah tempat berwuduk, aku sangat
senang dan segera bergegas.
Setelah selesai aku ikuti gerakan sholat para jamaah, kupanjatkan doa
“ ya allah, tuntunlah langkah harmi ya allah. Harmi gak tahu harus keamana ya
allah. Harmi serahkan semuanya pada mu ya allah”.
****************
Kulanjutkan perjalanan, langkah demi langkah kutelusuri lagi jalan aspal ini.
“kreokkkk...kreokk “ perutku minta di isi lagi, terakhir aku makan nasi kemaren
pagi, nenek memberiku sepiring nasi tampa lauk dan sayur. Dan sekarang aku
lapar lagi, andai ada orang yang seperti nenek yang memberiku nasi,
“ini nasi,makan ! jangan lupa beri kucing !” biasanya nenek bicara seperti itu.
7. Disana ada warung, barang kali mereka mau memberiku segengam nasi.
Kulangkahkan kaki, kutabah- tabahkan hti,
“pak ...pak...harmi boleh minta nasinya pak ?” tanya ku pelan
“apa ?lo kira gw bapak lo, pergi sana ! “ namun ku tetap berdiri ditempatku
“ sedikit saja pak, harmi belum makan “ aku memelas
“pergi...pergi..!” melihatku tetap diam ditempat, bapak itu mengambil tindakan,
menyeretku manjauhi warungnya dan mendorong keras tubuhku. Aku terpaksa
pergi, melangkah lagi, kucoba bersabar, mungkin bapak tadi lagi bankrut makanya
dia tidak mau memberiku sedikit nasi. Di ujung sana juga ada warung,
kulangkahkan kaki perlahan,
“buk harmi boleh minta rotinya ya ?” pintaku
“minta...minta....emang gw emak lo !pergi sana “bentak ibu itu
“sedikit saja bu harmi belum makan” aku memelas
“pergi sana ! dasar anak gelandangan !”hardikan ibu tersebut semakin keras.
Aku terpaksa mengayunkan kaki melangkah pergi. Tetesan hangat kurasakn
mengaliri pipiku yang mungil. Gadis kecil yang malang, kemana kau harus pergi ?
Ku rasa aku menangis sesunggukkan ditengah ramainya kendaraan yang lalu lalang,
tak ada rasa malu bagi gadis kecil berumur sembilan tahun sepertiku.
Warung demi warung,wartek demi wartek dan juga rumah warga ku
datangi untuk meminta belas kasihan, namun semua itu sia- sia. Dan sekarang aku
berada dipinggir taman air pancur kota, kubasahi wajahku yang kumuh, aku
berfikir “andai aku jadi air ini, putih jernih, damai, bergairah, terus mengalir dan
hidup”.
Kemudian aku menangis lagi, adakah ibuku teringat pada ku ? adakah pernah
terlintas bayanganku dipikiran ayahku ? adakah kontak batin di antara kami ?
adakah ibuku merasakan bahwa anaknya sedang kelaparan ? adakah ayahku
berniat menjenngukku ? cepat- cepat kuhapus semua angan itu ! mana mungkin
mereka teringat pada anak haram yang tak di inginkan ini.
8. Ku ingin berteriak sekuat- kuatnya memanggil ayah dan ibuku, namun ku
takut kalau mereka tahu, pasti mereka akan memarahiku. Tak jauh dari tempat
aku nerdiri ada sebuah jembatan gantung besar, dikaki limanya ada beberapa
penjual sate, pembelinya banyak sekali. Semoga mereka mau memeberiku sedikit
sate untuk mengganjal perutku yang sangat lapar ini.
“ pak, harmi boleh minta satenya sedikit ?”aku memelas, namun bapak tersebut
tidak menoleh kearahku
“ pak, harmi boleh minta satenya ?” ku ulangi sekali lagi, namun dia tetap diam,
seakan tak mendengar permintaanku
“ pak, harmi bo....”belum terselesaikan ucapanku, bapak setengah baya tersebut
menoleh kearahku,tatapan garangnya memebuatku ciut
“ emang gw bapak lo ! minta- minta ! pergi sana, anak kecil malam- malam kok
berkeliaran ?!” tapi rasa lapar itu mengalahkan rasa takutku,
“ harmi minta sedikit saja pak !” lelaki garan g tersebut menoleh berbalik
kearahku, kemudian menyeretku dengan kasar, dengan sekuat tenaga dia
mendorongku kejalan raya menjauhi gerobak satenya. Bersamaan dengan
kencangnya laju sebuah mobil sedan hitam, aku tertabrak dan mungkin terlindas.
Sempat kulihat cahaya mobil sebelum semuanya menjadi gelap dan gelap yang
sangat panjang, akhirnya sempurna tak dapat dirasakan lagi, entah berapa lama ?
********************
Ketika sedikit demi sedikit kekuatan itu datang, kupaksakan memebuka
mata. Semua trerasa panah, dunia seakan berputar. Aku benar- benar tak tahu
aku dimana, mungkin aku sudah mati. Namun pandangan mataku semakin jelas,
mulai terbentuk bayangan orang- orang yang membenciku,ada nenek, ibu dan
ayah. Aku bermimpi ? setelah semua semakin baik kusadari mereka sedang
menangis, tetapi kenapa ? dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, ibu
9. mememlukku, kemudian terucap kata maaf dibibirnya. Untuk pertama kalinya
juga aku tahu bagai mana rasa nya bahagia. Aku sangat bahagia saat ini.
Ternyata yang menabrakku adalah saudara sepupuku yang hendak belibur
dikota Malang dan rencananya mereka menginap dirumah nenek, karena nenek tak
mau mereka bertemu dengan ku, nenek mengusirku dari rumah. Ketika mereka
menabrakku, mereka menelfon nenek dan terjadilah semua ini. Rasanya semua
penderitaanku dibayar lunas, karena tiba- tiba saja semua orang yang
membenciku, saat ini ada disampingku, menangisi entah apa !?
Rasa bahagia itu tak mampu instan menyembuhkanku secara sempurna.
Kata pak dokter, pagi ini aku harus dioperasi cesar, karna ada pendarahan di otak
belakangku. Untuk pertama kali pula, dalam hidupku aku tahu bagai mana rasanya
untuk makan agar aku kuat menjalani operasi nanti. Aku sangat bahagia...sangat
bahagia !!! tuhan, telah membayar deritaku selama ini, sekaligus !
Ditengah kebahagiian itu, aku berkata pada nenek,
“nek, maafin harmi ya nek, harmi udah nyusahin nenek dan makasih ya nek, nenek
udah merawat harmi “: ucapku pelan
“ ibu, ayah, maafin harmi ya, harmi sudah memebuat malu ibu dan ayah !”
Aku kecewa, kenapa mereka menjawab perkataanku hanya dengan isak tangis
“ nek, kalau harmi mati, jangan pernah benci harmi lagi ya nek !”
“ibu, ayah, maafin harmi, harmi udah buat malu kelurga”
Dan yang terdengar tetap saja jawaban isak tangis. Ayahku malah berlari keluar
ruangan. Tak berapa lama yang masuk malah dokter dan inilah saatnya aku harus
bertarung dengan maut.
Tak berapa lama, aku dibawa keruangan yang serba putih, inilah ruangan
operasi. Aku dibaringkan di atas dipan disela- sela peralatan canggih yang tak
satupun aku mengerti. Setelah itu, aku disuruh menatap bola lampu putih yang
10. ada didepan wajahku. Perlahan, kurasakan sedikit demi sedikit kesadaranku
hilang, satu demi satu, hilang, hilang dan sempurna hilang. Akhirnya semua gelap
lagi. Entah berapa lama, sebelum pada akhirnya kulihat bintang- bintang kecil
menari dilangit, semakin dekat...semakin dekat, ternyata adalah sekumpulan
bidadari yang menari dengan sangat anggunnya. Mereka semakin dekat kemudian
menyambar tanganku, mengajakku menari bersama, terbang melayang- layang
bagaikan kapas. Aku bisa terbang melayang- layang semauku . kami terbang lagi,
semakin jauh,,,semakin jauh,akhirnya sedikit turun,turun lagi. Sekarang aku
melihat gundukan tanah merah, pak ustadz tengah menengadahkan tangannya,
ada banyak orang, ada nenek,ibi dan ayahku di sana.
HARMI BINTI WAHAB
LAHIR 1 APRIL 1991
WAFAT 5 MEI 1999
Nisan itu namaku, berarti aku bukanlah seorang manusia yang bernyawa
lagi. Jasadku ada dibwah gundukan tanah merah itu. Bidadri disampingku ,
tersenyum isyarat menghiburku. Kulihat lagi nenek, ibu dan ayah menaburi
kembang digundukan tanah merah itu dengan berlinangan air mata. selamat
tinggal nenek, ibu, ayah !! selamat tinggal.
Didepanku terbentang pelangi, sempurna setengah lingkaran. Tersenyum
menantiku disurga. Bumi bersenandung mengiringi nyaanyian burung dan alunan
sayap kupu- kupu menina bobokan jasadku dibawah sana. Langit biru cerah
menyambut kedatanganku, hanya bidadari surga yang mengantarkanku
keperistirahatan terakhir. Tuhan telah mengabulkan doa seorang anak haram.
SEPTEMBER 2011
Nola Riska Dewi
11. Tentang Penulis
Namaku Nola Riska Dewi, biasa dipanggil Nola oleh sobat-sobatku.
Aku lahir di Bonjol, 15 Februari 1994. Ini adalah cerpen ke-2 ku.
Adapun cerpen ini terinspirasi saat aku tersedu-sedu ketika terjaga
dari mimpi burukku. Sejujurnya aku tak mau kisah ini benar-benar ada
dalam kehidupan yang nyata ini.
Semoga pembaca tersentuh dan selamat membaca.
Setiap Aksi Pasti Ada Reaksi.
Maka Lakukanlah Aksi Yang Bisa
Mendatangkan Reaksi Yang
Menguntungkan.