Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yg mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
Retnowulan Sutantio
Hukum Acara Perdata disebut juga hukum perdata formil yaitu kesemuanya kaidah hukum yg menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yg diatur dalam hukum perdata materiil
Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yg mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
Retnowulan Sutantio
Hukum Acara Perdata disebut juga hukum perdata formil yaitu kesemuanya kaidah hukum yg menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yg diatur dalam hukum perdata materiil
Oleh: Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
STUDI PERBANDINGAN TERHADAP
UU NO. 22 TAHUN 1948, UU NO. 1 TAHUN 1957,
UU NO. 18 TAHUN 1965, UU NO. 5 TAHUN 1974, UU NO. 22 TAHUN 1999, SERTA UU NO. 32 TAHUN 2004
DI SUSUN OLEH :
NAMA : WIDYIA ASTUTI
NPM : 1434021395
KELAS : KARYAWAN (SABTU)
NAMA DOSEN : DR. EDDY SANUSI, SE, MM
NAMA PENGARANG : DR. H. SUDIARTO, SH, M.HUM
Materi Produk Hukum Daerah ini merupakan bahan perkenalan untuk selayang pandang mengenai jenis dan prosedur pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah dipresentasikan dihadapan Mahasiswa STIA Al Gazali Barru pada Latihan Kepemimpinan Dasar 14 Agustus 2019
Oleh: Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
STUDI PERBANDINGAN TERHADAP
UU NO. 22 TAHUN 1948, UU NO. 1 TAHUN 1957,
UU NO. 18 TAHUN 1965, UU NO. 5 TAHUN 1974, UU NO. 22 TAHUN 1999, SERTA UU NO. 32 TAHUN 2004
DI SUSUN OLEH :
NAMA : WIDYIA ASTUTI
NPM : 1434021395
KELAS : KARYAWAN (SABTU)
NAMA DOSEN : DR. EDDY SANUSI, SE, MM
NAMA PENGARANG : DR. H. SUDIARTO, SH, M.HUM
Materi Produk Hukum Daerah ini merupakan bahan perkenalan untuk selayang pandang mengenai jenis dan prosedur pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah dipresentasikan dihadapan Mahasiswa STIA Al Gazali Barru pada Latihan Kepemimpinan Dasar 14 Agustus 2019
Istilah freies ermessen atau (pouvoir discretionnaire, Perancis) berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata frei dan freie yang artinya : bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Sedangkan kata ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi secara etimologis, freies ermessen dapat diartikan sebagai ”orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan”. Selain itu istilah freies ermessen sepadan dengan kata discretionair, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti : menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada undang-undang.
Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.pptxEgi Fahroji
Dalam proses pembentukan undang-undang, terdapat transformasi visi, misi dan nilai yang diinginkan oleh lembaga pembentuk undang-undang dengan masyarakat dalam suatu bentuk aturan hukum. Proses pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 162 – 173 UU MD3 beserta perubahannya. Dalam hal ini proses pembentukan peraturan undang-undang memiliki beberapa proses yang harus dilewati sebelum disahkan menjadi sebuah peraturan undang-undang yang utuh, dan untuk itu kita harus mengetahui bagaimana proses tersebut terjadi.
PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM YANG POSITIVISTIK TERHADAP NILAI-NILAI BUDAYA DALAM MASYARAKAT (Suatu tinjauan Sosiologis) ( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum )
J.S. Furnivall (1967), seorang sarjana bangsa Belanda yang banyak menulis tentang Indonesia, memberikan suatu gambaran tentang masyarakat majemuk ini, dia mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Suatu masyarakat adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat berbeda satu sama lain.
Masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relatif murni,serta oleh sering timbulnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungn di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya.
More from Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Indonesia (15)
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
1. FUNGSI PENGAWASAN POLITIK DALAM PEMBENTUKAN HUKUM
NASIONAL
( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Hukum )
Oleh :
FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.
NIM : 11/322217/PHK/06731
PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH
MADA YOGYAKARTA
MAGISTER HUKUM
2011
1
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia sebagai mahluk sosial hanya dapat mewujudkan kehidupannya dalam
kebersamaan dengan orang lain dengan menjamin kehidupan bersama serta memberi tempat
bagi orang per orang dan kelompok untuk mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan
hidupnya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Untuk itu diperlukan hukum yang
mengatur sehingga konflik kepentingan dapat dicegah, dan tidak menjadi konflik terbuka,
yang semata – mata diselesaikan atas dasar kekuatan atau kelemahan pihak-pihak yang
terlibat.
Dengan tidak adanya lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memuat arah
untuk mencapai tujuan bernegara yang ditentukan, maka politik hukum yang menyangkut
rencana pembangunan materi hukum di Indonesia pada saat ini termuat di dalam program
legislasi nasional (Prolegnas), artinya kalau kita ingin mengetahui pemetaan atau potret
rencana tentang hukum-hukum apa yang akan dibuat dalam periode tertentu sebagai politik
hukum maka kita dapat melihatnya dari prolegnas tersebut. Prolegnas ini disusun oleh DPR
bersama Pemerintah yang dalam penyusunannya dikordinasikan oleh DPR. Bahwa DPR yang
mengkoordinasikan penyusunan prolegnas ini merupakan konsekuensi logis dari hasil
amandemen pertama UUD 1945 yang menggeser penjuru atau titik berat pembentukan
Undang-Undang dari pemeirntah ke DPR. Seperti diketahui bahwa Pasal 20 ayat (1) UUD
1945 hasil amandemen pertama berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang”.
Bahwa prolegnas merupakan wadah politik hukum (untuk jangka waktu tertentu) dapat
dilihat dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
2
3. Perundang-undangan, yang dalam Pasal 16 menggariskan bahwa, “Perencanaan penyusunan
Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas”. Sedangkan untuk setiap daerah, sesuai dengan
Pasal 32 (Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda
Provinsi) dan Pasal 39 (Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota) UU No.12 Tahun 2011, digariskan juga untuk
membuat program legislasi daerah (Prolegda) agar tercipta konsistensi antar berbagai
peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai ke daerah. Kemudian dari prolegnas
inilah kita dapat melihat setiap jenis undang-undang yang akan dibuat untuk jangka waktu
tertentu sebagai politik hukum.
Prolegnas merupakan potret politik hukum nasional yang memuat tentang rencana
materi dan sekaligus merupakan instrumen (mekanisme) pembuat hukum. Sebagai materi
hukum Prolegnas dapat dipandang sebagai potret rencana isi atau substansi hukum,
sedangkan instrumen Prolegnas dapat dipandang sebagai pengawal/pengawas dalam
pembentukan hukum nasional.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut : “Bagaimanakah Fungsi Pengawasan Politik Dalam Pembentukan Hukum
Naional ?”
3
4. BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Kata pengawasan menurut Henry Fayol sebagaimana dikutip Ni’matul Huda adalah
“control consist in verifying whether everything occur in conformity with the plan adopted,
the instruction issued and principles establish. It has objected to point out weaknesses and
errors in order to reactivity them and prevent recurrence. It operates everything, people
action” (Pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala sesuatu berlangsung sesuai dengan
rencana yang telah ditentukan dengan instruksi yang telah digariskan. Ia bertujuan untuk
menunjukkan (menentukan) kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan dengan maksud
untuk memperbaikinya dan mencegah terulangnya kembali.1 Menurut Prayudi, pengawasan
adalah proses kegiatan-kegiatan yang yang membandingkan apa yang dijalankan,
dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau
diperintahkan. Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai dimana terdapat
kecocokan atau ketidakcocokan, dan apakah sebab-sebabnya.2
Untuk menjaga agar kaidah-kaidah konsitusi yang termuat dalam Undang-Undang
Dasar dan peraturan perundang-undangan konstitusional lainnya tidak dilanggar atau
disimpangi (baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk
tindakan-tindakan pemerintah lainnya), perlu ada badan serta tata cara mengawasinya. Dalam
literatur yang ada terdapat tiga kategori besar pengujian peraturan perundang-undangan (dan
perbuatan administrasi negara), yaitu:
1
Huda Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, 2009, hal.103
2
Atmosudirdjo Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Cetakan kesepuluh, Ghalia Indonesia Jakarta, 1995,
hal.84
4
5. 1. Pengujian oleh badan peradilan (judicial review);
2. Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review); dan
3. Pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (administrative review).3
Adapun fungsi pengawasan secara umum dapat mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi
prefentif dan fungsi represif. Yang dimaksud dengan fungsi prefentif adalah pengawasan
yang dilakukan sebalum ada kejadian dalam arti lain tindakan ini bisa disebut dengan
tindakan berjaga-jaga atau pencegahan. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan represif,
yaitu tindakan yang dilakukan setelah adanya kejadian, dalam kata lain tindakan ini dapat
diserbu dengan tindakan pemerintah sebagai wujud dari kedaulatan rakyat mempunyai tugas
untuk melaksanakan terhadap amanah yang telah embannya, namun bagaimanapun subjek
pemerintah dalam hal ini aparatur pemerintah tidaklah mutlak untuk senantiasa melaksanakan
fungsi-fungsi yang dimilikinya. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kelemahan yang dimiliki
oleh personal yang menjalankan. Oleh karena itu perlu adanya suatu lembaga yang dapat
mengawasi segala bentuk aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah. lembaga yang
mempunyai peran penuh (full power) didalam menjalankan pengawasan adalah Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini tercantum dalam Pasal 20 A UUD 1945 yang berbunyi;
“Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan” dan dipertegas dengan Pasal 21 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Dalam bunyi kedua Pasal tersebut,
disebut secara ekplisit terutama Pasal 21, dengan demikian DPR mempunyai fungsi
pengawasan terhadap proses dari suatu rancangan perundang-undangan, sehingga
3
Manan Bagir, Empat Tulisan Tentang Hukum, (Bandung: Program Pascasarjana BKU Hukum Ketatanegaraan,
Universitas Padjajaran, 1995), hlm. 3
5
6. meminimalisir tindakan-tindakan yang bersifat menyimpang, oleh karena itu perlu adanya
perencanaan, pelaksanaan serta hasil dari suatu program pemerintah.
B. TAHAP PERENCANAAN DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL
Terkait dengan tahapan awal (tahap perencanaan) didalam pembuatan kebijakan Prof.
Budi winarto4 merumuskan tiga tahapan, yaitu: Pertama, perumusan masalah (defining
problem). Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah
masyarakat harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula. Kedua, agenda kebijakan,
yaitu bagaimana masalah tersebut mendapatkan perhatian para pengambil kebijakan ditingkat
pemerintah, dengan cara memenuhi persyaratan-persyaratannya. Ketiga, pemilihan alternatif
kebijakan untuk memecahkan masalah. Biasanya dalam tahap ini para perumus suatu
kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antar berbagai actor yang terlibat
dalam perumusan kebijakan. Keempat, tahap penetapan kebijakan, setelah melalui beberapa
tahapan-tahapan diatas maka yag terakhir dalam tingkatan ini adalah tahap penetapan
kebijakan tersebut, supaya memiliki kekuatan hukum. Penetapan kebijakan publik disini
dapat berbentuk Undang-Undang, Yurisprudensi, Keputusan presiden, keputusan-keputusan
menteri dan lain sebagainya. Dalam proses perencanaan ini, lembaga pemerintah mempunyai
instrumen dasar didalam merumuskan program-program yang akan dilakukannya baik yang
berupa jangka pendek atau jangka panjang, yaitu melaluli Program Legislasi Nasional
(Prolegnas), adapun yang berwenang untuk menentukan komposisi lembaga ini adalah
presiden bersama Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Ditingkat daerah dikenal dengan
Program Legislasi Daerah (Prolegda).
4
Winarto Budi, Kebijakan Publik Teori Dan Proses, Media Pressindo Edisi Revisi 2008, hal 120-123
6
7. Dasar Pertimbangan Penyusunan Prolegnas
1. Landasan Filosofis
Pembentukan undang-undang yang terencana, sistematis, terarah, terpadu dan
menyeluruh melalui Prolegnas diharapkan dapat mengarahkan pembangunan hukum,
mewujudkan konsistensi peraturan undang-undang, serta meniadakan pertentangan antara
undang-undang yang ada (vertikal maupun horizontal) yang bermuara pada terciptanya
hukum yang dapat melindungi hak-hak warga negara dan dapat menjadi sarana untuk
mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Proses pembentukan undang-undang memberikan
arah dan pedoman bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Landasan Sosiologis
Salah satu tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Sebagai perwujudan hukum, pembentukan undang-undang
harus sesuai dengan nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sekalipun
memang tidak mungkin semua nilai yang ada di dalam masyarakat dimuat dalam suatu
undang-undang.
Adapun wujud dari penempatan rakyat sebagai subyek dalam legislasi adalah pelibatan
masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang. Artinya pembentukan undang-
undang harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan demokratis sehingga masyarakat
dapat terlibat dalam lahirnya suatu undang-undang. Dalam rangka mendapatkan gambaran
kebutuhan hukum dalam masyarakat, perencanaan Prolegnas Tahun 2010 – 2014 meminta
masukan dari berbagai kalangan masyarakat yang meliputi kalangan akademisi, organisasi
7
8. kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, kalangan pelaku usaha,
lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan petani, nelayan, pekerja dan unsur masyarakat
lainnya. Dengan disusunnya Prolegnas diharapkan dapat dihasilkan kebijakan yang sesuai
dengan aspirasi masyarakat, mengandung perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, serta mempunyai daya guna yang efektif dalam masyarakat.
3. Landasan Yuridis
Prolegnas sebagai instrumen perencanaan pembangunan hukum tidak terlepas dari
upaya pengembangan dan pemantapan sistem hukum nasional. Prolegnas sebagai instrumen
perencanaan pembentukan undang-undang semakin penting jika dikaitkan dengan fungsi dan
kedudukan DPR sebagai pembentuk undang-undang sebagaimana ditegaskan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Konstitusi kita telah mengamanatkan perlunya penataan sistem hukum nasional yang
dilakukan secara menyeluruh dan terpadu yang didasarkan pada cita-cita Proklamasi dan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3), yang
menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum harus
menjunjung tinggi supremasi hukum, mengakui persamaan kedudukan di hadapan hukum
dan menjadikan hukum sebagai landasan operasional dalam menjalankan sistem
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Upaya membangun
sistem hukum nasional, tidak dapat dilepaskan dari kerangka fungsi legislasi yang telah diatur
secara jelas dan tegas dalam konstitusi. Sesuai ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, DPR merupakan pemegang
kekuasaan pembentuk undang-undang. Hal ini merupakan perubahan mendasar, karena
menempatkan DPR sebagai pelaku sentral dalam pembentukan undang-undang.
8
9. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan mengatur bahwa ”Program legislasi nasional adalah
instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara
berencana, terpadu, dan sistematis”. Dengan demikian Program Legislasi Jangka Menengah
dapat berarti instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun
secara terencana, terpadu, dan sistematis selama 5 (lima) tahun. Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan
berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi
kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan
materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan,
dan keterbukaan.5
Maksud Penyusunan Prolegnas, yaitu :
1. Memberikan landasan perencanaan dan arahan yang sistematis dan berkelanjutan
terhadap pembangunan jangka menengah yang berlandaskan kemampuan nasional
dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mewujudkan
masyarakat adil makmur.
2. Mengintegrasikan pembangunan nasional di bidang hukum secara spesifik diarahkan
pada pembenahan dan penguatan sistem hukum nasional yang didasarkan pada
konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tuntutan
reformasi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
3. Meningkatkan sinergi antarlembaga yang berwenang membentuk undang-undang di
tingkat pusat.
5
www.google.com; Program Legislasi Nasional Tahun 2010 – 2014, hal.5-7
9
10. Tujuan Penyusunan Prolegnas
1. Mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis melalui pembangunan
sistem hukum nasional dengan membentuk undangundang yang aspiratif dan
progresif, serta berasaskan kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan
keadilan demi terwujudnya kemandirian bangsa;
2. Mewujudkan supremasi hukum yang berlandaskan pada rasa keadilan dan
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yang demokratis;
3. Mewujudkan penyempurnaan substansi hukum yang tidak sesuai dengan
tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang demokratis; dan
4. Mewujudkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang diharapkan
mampu membawa perubahan menuju masyarakat demokratis dan berkeadilan,
serta berorientasi pada pengaturan perlindungan hak – hak asasi manusia
dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender.6
C. TAHAP PALAKSANAAN DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL
Prosedur penyusunan peraturan perundang-undangan, selain sebagian ditentukan
dalam UU No. 12 Tahun 2011, secara rinci juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61
tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan
Presiden Nomor 68 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Ran-perpu, Ran-PP, dan Ran-
Perpres. Dalam Perpres 61 ditentukan bahwa penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI
dikoordinasikan oleh Badan Legislasi sedangkan penyusunan Prolegnas dilingkungan
Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri (Menteri Hukum dan HAM). Dalam rangka
pembentukan hukum tertulis yang sinkron antara kepentingan DPR dan pemerintah,
6
Ibid. hal.4
10
11. semestinya hasil penyusunan Prolegnas yang dilakukan dilingkungan DPR-RI dan
Pemerintah disinergikan dengan memperhatikan konsepsi RUU yang meliputi:
1. Latar belakang dan tujuan penyusunan;
2. Sasaran yang akan diwujudkan;
3. Pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan
4. Jangkauan dan arah pengaturan.
Terkait dengan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah, Menteri/Kepala
Bappenas meminta kepada menteri lain dan pimpinan LPND mengenai perencanaan
pembentukan RUU di lingkungan instansinya masing-masing sesuai dengan lingkup bidang
tugas dan tanggung jawabnya. Penyampaian perencanaan pembentukan RUU tersebut harus
disertai dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini menteri lain atau pimpinan LPND perlu
menyertakan naskah akademis, agar semua pihak dapat memahami urgensi pengusulan
rencana pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Menteri Hukum dan HAM
yang berwenang melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU
dengan penyusun perencanaan (pemrakarsa) bersama-sama dengan menteri lain dan
pimpinan LPND yang terkait dengan substansi RUU. Upaya pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi RUU diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi dengan:
a. Falsafah negara;
b. Tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya;
c. UUD Negara RI Tahun 1945;
d. Undang-undang lain yang telah ada berikut segala peraturan
pelaksanaannya;
11
12. e. Kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dengan RUU
tersebut.7
Implementasi upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU
dilaksanakan melalui forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri/Kepala Bappenas.
Dalam hal konsepsi RUU yang diajukan disertai dengan naskah akademis, maka naskah
akademis
dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi. Dalam forum konsultasi tersebut, dapat
diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik,
profesi, atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Konsepsi RUU yang telah memperoleh pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden agar
dapat menjadi bagian dari Prolegnas usulan Pemerintah sebelum dikoordinasikan dengan
DPR-RI. Dalam hal Presiden memandang perlu kejelasan lebih lanjut terhadap konsepsi
RUU, Presiden menugaskan Menteri untuk mengkoordinasikan kembali konsepsi RUU
dengan penyusun perencanaan dan menteri lain atau pimpinan LPND yang terkait. Hasil
koordinasi tersebut oleh Menteri dilaporkan kembali kepada Presiden. Untuk selanjutnya
Menteri menyampaikan hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah kepada DPR-
RI melalui Badan Legislasi dalam rangka sinkronisasi dan
harmonisasi Prolegnas. Demikian pula sebaliknya terhadap hasil penyusunan Prolegnas di
lingkungan DPR-RI dikonsultasikan kepada pemerintah dalam rangka pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Jika penyusunan Prolegnas dilakukan secara
cemat dan matang akan membawa kemudahan dalam penyusunan peraturan perundang –
7
www.google.com; Laporan Penelitian Pengawasan Terhadap Produk Hukum Daerah Dalam Rangka
Mewujudkan Pembangunan Hukum Nasional, Kerjasama DPD RI dengan Pusat Kajian Dampak Regulasi Dan
Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Agustus 2009, hal. 44-46
12
13. undangan.8 Terhadap penyusunan RUU yang dilakukan pemrakarsa berdasarkan usulan RUU
dalam Prolegnas, tidak diperlukan lagi adanya persetujuan izin prakarsa dari Presiden.
Pemrakarsa cukup melaporkan penyiapan dan penyusunan RUU kepada Presiden secara
berkala. Berbeda halnya jika Pemrakarsa mengajukan usul RUU di luar Prolegnas hanya
karena alasan “dalam keadaan tertentu”, maka pemrakarsa terlebih dahulu harus mengajukan
permohonan izin prakarsa kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi
pengaturan RUU yang meliputi:
a. Urgensi dan tujuan penyusunan;
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
c. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. Jangkauan serta arah pengaturan.
Keadaan tertentu di atas meliputi: (a) menetapkan Perpu menjadi UU; (b) meratifikasi
konvensi atau perjanjian internasional; (c) mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik,
atau bencana alam; (d) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional
atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri. Dengan adanya
ketentuan seperti ini, keinginan DPR-RI dan Pemerintah untuk meratifikasi konvensi atau
penjanjian internasional setiap saat bisa dilakukan. Dalam proses pembahasan (baik antardep
maupun di DPR) lebih mudah dibandingkan dengan penyusunan RUU biasa karena
substansinya hanya 2 Pasal. Dalam mempersiapkan RUU, sebagaimana dilakukan selama ini,
pengaturan dalam Perpres 68 ditentukan mengenai pembentukan panitia antadepartemen dan
pemrakarsa dapat mempersiapkan naskah akademisnya terlebih dahulu. Dalam rapat
antardepartemen, pemrakarsa dapat mengundang pakar baik dari perguruan tinggi maupun
pihak lainnya. Setelah RUU selesai dibahas, pemrakarsa diberikan kesempatan untuk
8
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan
Peraturan Preside
13
14. mengadakan sosialiasi kepada masyarakat (sebagai asas keterbukaan) untuk mendapatkan
masukan atas substansi RUU.
Jika proses ini dapat dilakukan secara jelas dan taat asas, dengan sendirinya dapat
mengurangi terjadinya inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang selama ini sangat
mewarnai kondisi hukum tertulis di Indonesia. Ketaataan pembentukan hukum di tingkat
pusat ini memegang peran penting dalam rangka menata hukum nasional karena sejalan
dengan asas hukum bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, dapat dengan mudah
diterapkan. Problem yang terjadi saat ini peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
dengan sendirinya dibatalkan padahal peraturan perundang-undangan di tingkat pusat belum
terbentuk secara harmonis dan konsisten.9
D. PROGRAM LEGISLASI DAERAH: KORELASINYA DENGAN PROLEGNAS
Mengingat peranan Peraturan Daerah yang demikian penting dalam penyelenggaraan
otonomi daerah, maka penyusunannya perlu diprogramkan, agar berbagai perangkat hukum
yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi dapat dibentuk secara sistematis,
terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang jelas. Dasar hukum Prolegda
tercantum dalam Pasal 32 yang menentukan: “Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah
dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah Provinsi” dan Pasal 39 Undang – Undang
Nomor 12 Tahun 2011, yang menentukan: “Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota”. Prolegda dimaksudkan untuk
menjaga agar produk peraturan perundang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan
sistem hukum nasional. Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011, Prolegda adalah
instrumen perencanaan pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana,
9
Op.cit.,hal. 46-49
14
15. terpadu dan sistematis. Secara operasional, Prolegda memuat daftar Rancangan Peraturan
Daerah yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu sebagai bagian integral dari
sistem perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis, dalam sistem hukum nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Prolegda
merupakan pedoman dan pengendali penyusunan Peraturan Daerah yang mengikat lembaga
yang berwenang membentuk Peraturan Daerah.
Menurut Oka Mahendra, ada beberapa alasan obyektif perlunya Prolegda yaitu untuk :
1. Memberikan gambaran obyektif tentang kondisi umum mengenai “permasalahan
pembentukan Peraturan Daerah”;
2. Menetapkan skala prioritas penyusunan rancangan Peraturan Daerah untuk
jangka panjang, menengah atau jangka pendek
3. Menjadi pedoman bersama dalam pembentukan Peraturan Daerah;
4. Menyelenggarakan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk Peraturan
Daerah;
5. Mempercepat proses pembentukan Peraturan Daerah dengan memfokuskan
kegiatan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah menurut skala prioritas yang
ditetapkan;
6. Menjadi sarana pengendali kegiatan pembentukan Peraturan Daerah.
Walaupun UU No. 12 Tahun 2011 dan UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan perlunya
Prolegda, namun tidak ditentukan mekanisme penyusunan Prolegda. Pedoman penyusunan
Prolegda saat ini diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004
tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah. Keputusan Menteri Dalam Negeri
yang ditetapkan pada tanggal 26 Agustus 2004 merupakan diskresi yang dibuat dengan
pertimbangan:
15
16. 1. Penyusunan peraturan perundang-undangan daerah belum diprogramkan sesuai
dengan kewenangan daerah, sehingga dalam penerbitan peraturan perundang-
undangan daerah tidak sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat;
2. Dalam rangka tertib administrasi dan peningkatan kualitas penyusunan peraturan
perundang-undangan di daerah.
Jika dicermati substansi Kepmen belum mampu mengatur secara jelas mekanisme dan
prosedur serta pertanggungjawaban penyusunan Prolegda dalam rangka manajemen
pembentukan peraturan di daerah yang dapat mendorong terwujudnya RPJPD dan RPJMD.
Secara garis besar ketentuan pengaturan tersebut sangat sumir dan normatif hanya
menentukan kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap Prolegda di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.10
Selain itu, Ketika berlaku UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintah mulai melakukan
koreksi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 dengan menerapkan empat model pengawasan
terhadap produk hukum daerah. Pertama, executive preview, yakni terhadap rancangan
Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum
disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk
Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Kedua, executive
review (terbatas), yakni apabila hasil evaluasi Raperda tentang APBD dan rancangan
Peraturan Gubernur/Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD dinyatakan
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur/Bupati/Walikota bersama DPRD dan
Gubernur/Bupati/Walikota tetap menetapkan Raperda tersebut menjadi Perda dan Peraturan.
Gubernur/Bupati/ Walikota, Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan oleh Gubernur untuk
10
www.google.com; Laporan Penelitian Pengawasan Terhadap Produk Hukum Daerah Dalam Rangka
Mewujudkan Pembangunan Hukum Nasional, Op.cit., hal. 56-57
16
17. Kabupaten/Kota membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota tersebut.
Ketiga, pengawasan represif, berupa pembatalan (executive review) terhadap semua Peraturan
Daerah dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden. Keempat, pengawasan preventif,
yakni terhadap rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD baru dapat dilaksanakan
setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan Gubernur bagi
kabupaten/kota.
Dalam konteks NKRI penyusunan Prolegda harus sinkron dengan Prolegnas sehingga
tujuan pengaturan legislasi secara nasional dapat terwujud. Agar di dalam pembuatan UU dan
Perda terbangun konsistensi isi dengan nilai-nilai Pancasila dan ketentuan konstitusi.
Keharusan adanya Prolegnas dan prolegda dimaksudkan agar semua UU dan Perda yang akan
dibuat dapat dinilai lebih dulu kesesuaiannya dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945
melalui perencanaan dan pembahasan yang matang. Di dalam prolegnas dan prolegda ini
diatur pula mekanisme pembuatan UU yang tidak boleh dilanggar dengan konsekuensi jika
mekanisme itu dilanggar dapat dibatalkan melalui pengujian oleh lembaga yudisial. Untuk
UU pengujiannya terhadap UUD dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan pengujian
Perda terhadap peraturan yang lebih tinggi dilakukan oleh Mahkamah Agung. Berdasar Pasal
Pasal 24A Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap
peraturan perundang – undangan yang secara hirarkis lebih tinggi.
Menurut Moh. Mahfud MD, Prolegnas dan Prolegda menjadi penyaring isi (penuangan)
Pancasila dan UUD di dalam UU dan Perda dengan dua fungsi. Pertama, sebagai potret
rencana isi hukum untuk mencapai tujuan _oloni yang sesuai dengan Pancasila selama lima
tahun; di sini rencana isi hukum dapat dibicarakan lebih dulu agar sesuai dengan Pancasila.
Kedua, sebagai mekanisme atau dan prosedur pembuatan agar apa yang telah ditetapkan
sebagai rencana dapat dilaksanakan dengan prosedur dan mekanisme yang benar.
17
18. Kesalahan isi (misalnya bertentangan dengan UUD atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi) dan kesalahan prosedur dan mekanisme (misalnya
pembuatannya tidak menurut tingkat-tingkat pembahasan yang ditentukan atau tidak
memenuhi korum) dapat dimintakan (digugat) pembatalan melalui pengujian oleh lembaga
yudisial (judicial review) ke MK (untuk pengujian UU terhadap UUD) _oloni MA (untuk
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi). Dengan demikian lembaga yudisial (MK dan MA) melakukan
pengujian baik secara material (uji materi) maupun secara formal (uji prosedur).
Pengelolaan Prolegda mempersyaratkan pula kemampuan untuk melakukan fungsi-
fungsi manajemen dengan baik yaitu fungsi perencanaan, penggerakan dan fungsi
pengawasan. Sehubungan dengan fungsi perencanaan setidak-tidaknya ada 3 (tiga) hal yang
perlu diperhatikan dalam pengelolaan Prolegda yaitu:
1. Pemahaman peta permasalahan yang berkaitan dengan prioritas Prolegda dan
sumber daya yang ada, serta cara-cara mengatasinya.
2. Perlunya koordinasi, konsistensi antar berbagai kegiatan, penggunaan sumber
daya dalam pelaksanaan prioritas, penyusunan rancangan Peraturan Daerah
berdasarkan Prolegda.
3. Penerjemahan secara cermat dan akurat Prolegda kedalam kegiatan konkrit yang
terjadwal dengan dukungan dana yang memadai.
Prolegnas dan Prolegda yang dibuat untuk masa lima tahun dapat dipenggal-penggal ke
dalam program legislasi tahunan sebagai prioritas pelaksanaan berdasar anggaran yang
disediakan. Sekalipun terdapat daftar prioritas penyusunan RUU dalam Prolegnas, akan tetapi
dimungkinkan dibentuk RUU baru dengan tujuan tertentu (kemendesakan). Selain itu RUU
tersebut memang diperlukan dalam rangka menindaklanjuti putusan MK yang membatalkan
suatu UU. Keharusan segera dibentuk UU ini guna mengisi kevakuman hukum yang timbul.
18
19. Untuk tingkat daerah pun demikian, tatkala terdapat Perda yang dibatalkan atau munculnya
kondisi khusus yang memerlukan segera pengaturan maka dimungkinkan hal itu dilakukan,
agar tidak terjadi kevakuman dan kegoncangan kondisi akibat situasi khusus tersebut.11
E. TAHAPAN HASIL DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL
Pembentukan undang-undang melalui Prolegnas diharapkan dapat mewujudkan
konsistensi undang-undang, serta meniadakan pertentangan antar undang-undang (vertikal
maupun horizontal) yang bermuara pada terciptanya hukum nasional yang adil, berdaya guna,
dan demokratis. Selain itu dapat mempercepat proses penggantian materi hukum yang
merupakan peninggalan masa kolonial yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum
masyarakat. Sebagai instrumen mekanisme perencanaan hukum yang menggambarkan
sasaran politik hukum secara mendasar, Prolegnas dari aspek isi atau materi hukum (legal
substance) memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang dibentuk selaras dengan tujuan
pembangunan hukum nasional yang tidak dapat dilepaskan dari rumusan pencapaian tujuan
Negara bagaimana dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Dalam tataran konkrit, sasaran politik hukum nasional harus
mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai arah dan
prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
11
Ibid, hal. 63-66
19
20. F. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Prolegnas merupakan kerja bersama antara DPR dengan Pemerintah, yang dikoordinasi
oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi. Dipihak lain juga
Pemerintah, yang berhak mengajukan inisiatif RUU, menyusun juga prolegnas yang
dikoordinasikan oleh Menhukham. Dalam kenyataan, tampak bahwa Prolegnas sebagai
sebagai sebuah instrumen pengarah dalam pembangunan dan pembentukan hukum belum
memenuhi standar sebagai satu politik hukum yang menggambarkan arah kedepan yang
dilakukan berdasarkan satu analisis kebijakan yang disusun atas dasar tujuan dan
dasar/falsafah negara, melainkan baru merupakan satu daftar keinginan (wish list), karena
yang muncul baru sebatas judul RUU, yang kadang-kadang mengalami duplikasi, di mana
dua RUU judulnya sama. Di tingkat daerah persoalan kualitas peraturan daerah sangat buruk,
sehingga harus dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, karena bertentangan dengan Undang-
Undang diatasnya, melanggar HAM dan bersifat diskriminatif.12 Terkait dengan hubungan
antarkelembagaan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat Pusat dan
daerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 16, Pasal 32 dan Pasal UU Nomor 12 Tahun
2011, Departemen Hukum dan HAM mempunyai fungsi koordinasi dalam penyusunan
program legislasi nasional. Sebagai instansi vertikal, peran Kantor Wilayah Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia diharapkan dapat menjembatani kesenjangan komunikasi dan
koordinasi dalam pembentukan peraturan daerah, untuk meminimalisasi terjadinya tumpang
tindih dan pertentangan peraturan di tingkat Pusat dan daerah. Namun, dalam
pelaksanaannya, koordinasi dan komunikasi tersebut belum berjalan dengan baik karena
adanya pendapat bahwa tidak ada landasan hukum yang memerintahkan pemerintah daerah
harus berkoordinasi dengan kantor wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
dalam proses penyusunan peraturan daerah, selain kepada Departemen Dalam Negeri sebagai
12
Harian Kompas tanggal 15 November, 2010
20
21. instansi pembina daerah. Disharmoni peraturan perundang-undangan juga terjadi karena
egoisme sektoral kementerian/lembaga dalam proses perencanaan dan pembentukan hukum.
Terkait dengan kualitas peran lembaga penegak hukum, walaupun berbagai langkah
perbaikan terus menerus dilakukan, pelaksanaannya masih mengalami hambatan. Terjadinya
kasus korupsi beberapa tahun ini justru terjadi di lingkungan lembaga penegak hukum. Hal
tersebut akan semakin mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
penegak hukum. Faktor penyebabnya antara lain fungsi pengawasan internal dan eksternal
pada lembaga-lembaga penegak hukum belum secara optimal memberikan sanksi yang
memberikan efek jera. Sebagai bagian dari sistem hukum secara keseluruhan, masyarakat
mempunyai peran yang penting untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri, yang
didukung oleh politik hukum yang tinggi dari Pemerintah. Namun, kendala masih dihadapi,
terutama masih minimnya pemberian akses terhadap keadilan dalam arti luas (pendidikan,
kesehatan, politik, budaya, hukum, ekonomi, teknologi, dan lain-lain) atas partisipasi aktif
masyarakat dengan didukung oleh peraturan dan perundang-undangan.
21
22. BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
antara lain :
Bahwa didalam menjalankan fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum
nasional adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini tercantum dalam Pasal 20 A UUD
1945 yang berbunyi; “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan” dan dipertegas dengan Pasal 21 yang berbunyi: “Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Dalam bunyi kedua
Pasal tersebut, disebut secara ekplisit terutama Pasal 21, dimana DPR mempunyai fungsi
pengawasan yang mana objek dari pengawasan disini meliputi aparatur pemerintah, produk
hukum yang dihasilkan, serta sarana yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan
fungsi-fungsinya sehingga meminimalisir tindakan-tindakan yang bersifat menyimpang, oleh
karena itu perlu adanya perencanaan, pelaksanaan serta hasil dari suatu program pemerintah.
Bahwa prolegnas merupakan wadah politik hukum, hal ini diatur dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dalam
Pasal 16 menggariskan bahwa, “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam
Prolegnas”. Sedangkan untuk setiap daerah, sesuai dengan Pasal 32 yang berbunyi;
“Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi”
dan Pasal 39 “Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam
Prolegda Kabupaten/Kota”. Prolegda dimaksudkan untuk menjaga agar produk peraturan
perundang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.
22
23. Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011, Prolegda adalah instrumen perencanaan
pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis.
Secara operasional, Prolegda memuat daftar Rancangan Peraturan Daerah yang disusun
berdasarkan metode dan parameter tertentu sebagai bagian integral dari sistem perundang-
undangan yang tersusun secara hierarkis, dalam sistem hukum nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Bahwa dalam kenyataan, tampak bahwa Prolegnas sebagai sebagai sebuah instrumen
pengarah dalam pembangunan dan pembentukan hukum belum memenuhi standar sebagai
satu politik hukum yang menggambarkan arah kedepan yang dilakukan berdasarkan satu
analisis kebijakan yang disusun atas dasar tujuan dan dasar/falsafah negara, melainkan baru
merupakan satu daftar keinginan (wish list), karena yang muncul baru sebatas judul RUU,
yang kadang-kadang mengalami duplikasi, di mana dua RUU judulnya sama. Di tingkat
daerah persoalan kualitas peraturan daerah sangat buruk, sehingga harus dibatalkan oleh
Pemerintah Pusat, karena bertentangan dengan Undang-Undang diatasnya, melanggar HAM
dan bersifat diskriminatif
B. SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan saran yang dapat
penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional, dalam
kenyataannya belum dapat berjalan sebagimana mestinya, untuk itu harus di upayakan oleh
Pemerintah untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan
perlu dilakukan secara terus menerus sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan hal ini perlu
23
24. ditindaklanjuti dengan serius. Sebagai pengemban fungsi law center, Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia diharapkan mampu memberikan masukan sekaligus melakukan
harmonisasi dalam perumusan kebijakan pembentukan hukum serta menjadikan program
legislasi daerah sebagai bagian yang sinkron dengan program legislasi nasional sehingga
kebijakan pembentukan hukum di daerah tetap berada dalam kerangka kebijakan
pembentukan hukum nasional.
Bahwa perlu adanya keterbukaan informasi yang didukung oleh fasilitas teknologi
informasi dapat meningkatkan akses masyarakat yang membutuhkan informasi permasalahan
mengenai hukum, termasuk peraturan perundang-undangan, dan juga belum memadainya
sistem technology informations (IT) di Pemda khususnya daerah kabupaten, kondisi giografis
dan transportasi, keterbatasan sumber daya manusia di Depdagri dan Depkeu yang bertugas
melakukan pengawasan langsung. Oleh karenanya untuk mendukung suksesnya
pembangunan hukum nasional, perlu adanya penguatan sumber daya terkait IT maupun
SDM-nya.
24
25. DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU – BUKU :
Atmosudirdjo Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Cetakan kesepuluh, Ghalia Indonesia
Jakarta, 1995
Huda Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, 2009
____________, “Implikasi Pengawasan Produk Hukum Daerah Terhadap Pembangunan
Hukum Nasional” Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD)
kerjasama antara Dewan Perwakilan Daerah RI dengan Pusat Kajian Dampak
Regulasi dan Otonomi Daerah Fakultas Hukum UGM dengn DPD RI, Yogyakarta, 17
Juli 2009
Manan Bagir, Empat Tulisan Tentang Hukum, (Bandung: Program Pascasarjana BKU
Hukum Ketatanegaraan, Universitas Padjajaran, 1995)
Winarto Budi, Kebijakan Publik Teori Dan Proses, Media Pressindo Edisi Revisi, 2008
B. PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN :
UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden
C. INTERNET :
www.google.com; Laporan Penelitian Pengawasan Terhadap Produk Hukum Daerah Dalam
Rangka Mewujudkan Pembangunan Hukum Nasional, Kerjasama DPD RI dengan
Pusat Kajian Dampak Regulasi Dan Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Agustus 2009
25