Suplemen Materi “Agenda Setting dan Perumusan Kebijakan”
Diklat Analisis Kebijakan Publik Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Jakarta, 4-5 Maret 2013
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi
Suplemen Materi “Agenda Setting dan Perumusan Kebijakan”
Diklat Analisis Kebijakan Publik Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Jakarta, 4-5 Maret 2013
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi
Mata kuliah ini membahas konsep-konsep dasar kebijakan publik, yang mencakup makna dan ruang lingkup kebijakan publik, sistem kebijakan, pendekatan, proses kebijakan, dan lingkungan kebijakan.
Disampaikan pada Pelatihan Khusus Analis Kebijakan Tahun 2022
Dr. Tri Widodo W. Utomo, SH,.MA
Deputi Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara – LAN RI
Ringkasan Materi dan Transparansi
Sumber:
Ginandjar Kartasasmita, 1997, “Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia”, LP3ES.
Mata kuliah ini membahas konsep-konsep dasar kebijakan publik, yang mencakup makna dan ruang lingkup kebijakan publik, sistem kebijakan, pendekatan, proses kebijakan, dan lingkungan kebijakan.
Disampaikan pada Pelatihan Khusus Analis Kebijakan Tahun 2022
Dr. Tri Widodo W. Utomo, SH,.MA
Deputi Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara – LAN RI
Ringkasan Materi dan Transparansi
Sumber:
Ginandjar Kartasasmita, 1997, “Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia”, LP3ES.
Analisis Kebijakan Publik Karya Dr. Drs. Awan Y. Abdoellah, M.Si. Dan Dr. Y...Universitas Sriwijaya
Istilah “policy” berasal dari kata Latin "politia," yang berarti pemerintah, dan dari kata Yunani Kuno "polis," yang berarti negara. Kata "polis" menurunkan istilah "politeia" dan "polites," yang berarti penduduk suatu negara. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini berkembang menjadi politik dan ilmu politik, yang merupakan cabang ilmu sosial. Menurut W.J.S. Poerwadarminta (1986), istilah terkait meliputi:
1. **Bijak**: Pandai, mahir, selalu menggunakan akal budi atau cakap.
2. **Kebijakan**: Kepandaian atau kemahiran.
3. **Bijaksana**: Selalu menggunakan akal budi berdasarkan pengalaman dan pengetahuan.
4. **Kebijaksanaan**: Kepandaian menggunakan akal budi.
Istilah-istilah ini menggambarkan bagaimana kebijakan dan kebijaksanaan melibatkan penggunaan akal budi dan pengetahuan untuk pengambilan keputusan yang cerdas dan efektif dalam konteks sosial dan politik.
Kebijakan public dan administrasi negara memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kebijakan public atau public policy merupakan salah satu bidang kajian yang menjadi pokok perhatian administrasi negara.. Bidang kajian ini amat penting bagi administrasi negara, karena selain ia menentukan arah umum yang harus ditempuh untuk mengatasi isu-isu masyarakat, iapun dapat dipergunakan untuk menentukan ruang lingkup permasalahan yang dihadapi oleh pemerintahan. Selain itu dapat pula dipergunakan untuk mengetahui betapa luas dan besarnya organisasi pemerintahan
Secara konseptual, kebijakan public ( public policy ) itu dipelajari oleh 2 ilmu disiplin yaitu ilmu politik dan ilmu administrasi publik. Masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda-beda terhadap Kebijakan Publik. Hal ini dikarenakan masing-masing disiplin ilmu itu memiliki Locus dan Focus yang berbeda. Locus ilmu administrasi negara adalah organisasi dan manajemen, sedangkan focus ilmu adminiatrasi negara adalah efektifitas dan efisiensi
Hi semua, terima kasih sudah berkunjung kesini 😆 Semua file yang diupload adalah materi perkuliahan. Nah... materi ini dari dosen yang dikhususkan untuk teman-teman kelas #manabeve 💚
Biar gampang diakses, yah masukin sini aja kan😆 Sekalian membantu kalian yang mungkin butuh beberapa konten dalam file-file ini.
Jangan lupa di like yah 💙 Kalau mau dishare atau didownload PLEASE MINTA IZIN dulu oke??
Biar ngga salah paham cuy😆
ASK FOR PERMISSION ▶ itsmeroses@mail.ru
Kalau kesulitan untuk mendownload FEEL FREE untuk email ke aku🔝🔝🔝🔝
[DISCLAIMER] Mohon banget kalau udah didownload. Kemuadian ingin dijadikan materi atau referensi. Jangan lupa cantumkan sumbernya. Terima kasih atas pengertiannya💖
------------------------------------------------------------
Materi details :
Coming soon ")
------------------------------------------------------------
MEET CLASS FELLAS💚
Instagram ▶ https://www.instagram.com/manabeve
Blog ▶ https://manabeve.blogspot.com
Email ▶ manabeve@gmail.com
------------------------------------------------------------
LET'S BECOME FRIENDS WITH ME💜
Instagram ▶ https://www.instagram.com/ameldiana3
Twitter ▶ https://www.twitter.com/amlediana3
Kampung Keluarga Berkualitas merupakan salah satu wadah yang sangat strategis untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan prioritas Program Bangga Kencana secara utuh di lini
lapangan dalam rangka menyelaraskan pelaksanaan program-program yang dilaksanakan Desa
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan.visi guru penggerakpptx
Desain kebijakan publik
1. Materi 9a
DESAIN KEBIJAKAN (POLICY DESIGN)
Hampir semua kebijakan publik yang berbentuk tertulis : konstitusi, undang-undang,
keputusan pemerintah, pedoman lembaga atau praktek implementasi memiliki desain.
Di sini pengertian desain kebijakan (policy design) merujuk kepada isi (content) atau
substansi dari suatu kebijakan, apakah kebijakan itu dilihat sebagai alat (tools), instru-
men, atau dilihat dalam konteks arsitekturnya.
Studi tentang desain kebijakan bukanlah hal yang baru tetapi telah berjalan seiiring
dengan dimulainya studi kebijakan publik. Mempelajari isi (content) atau substansi ke-
bijakan publik pada dasarnya selalu menjadi bagian sentral dalam lapangan studi kebi-
jakan publik, hanya dahulu studi desain kebijakan ini kebanyakan difokuskan pada stu-
di kasus dengan mendeskripsikan dan menganalisis suatu kebijakan seperti pada umum
nya. Namun sekarang sudah berkembang semakin sistematik, tidak semata mendeskrip-
sikan tetapi hingga mengkomparasikan pada berbagai arena, negara, lintas waktu dan se
bagainya.
Pendapat Tentang DesainKebijakan.
Pentingnya kebijakan sebagai instrumen telah disorot oleh Dahl dan Lindblom mulai
tahun 1953 ketika mereka menyatakan bahwa “proses mendesain kebijakan - sebagai
penciptaan dan inovasi teknik sosial - yang mungkin saat ini adalah revolusi politik be-
sar di zaman kita”. Pernyataan ini disebabkan pada waktu itu kemampuan pemerintah
untuk membuat pilihan dikhotomis antara sosialisme dan kapitalisme tampak masih
kabur padahal dikhotomi ini mutlak diperlukan.
Sebagian besar upaya para sarjana pada awalnya mencoba untuk menggambarkan isi
(content) kebijakan dalam sapuan yang lebar. Dahl dan Lindblom (1953) misalnya, me-
ngemukakan ada lima dimensi dalam desain kebijakan yang mereka percaya dapat
mengungkap perbedaan isi (content) kebijakan yaitu : (1) private to public; (2) com-
pulsory (wajib) to informative, (3) direct to indirect; (4) compulsory to voluntary mem-
bership (keanggotaan sukarela), dan (5) prescriptive (resep) to outonomous dalam hi-
rarki.
Ripley (1985) kemudian mengemukakan ada tiga jenis desain kebijakan: (1) subsidi,
(2) regulasi, dan yang paling baru (3) manipulasi, termasuk upaya untuk mengurangi
jurang antara memanjakan dan mengurangi. Sedangkan Bardach (1979) mengemuka-
kan empat jenis desain : (1) presciption (resep), (2) enabling (memungkinkan), (3) in-
centive (insentif), dan (4) deterrence (pencegahan).
Sementara itu Theodore Lowi (1972) yang secara luas diakui sebagai sarjana pertama
yang mengusulkan cara mengkarakterisasikan isi (content) kebijakan, telah memicu per
kembangan teoritis dan empiris tentang studi desain kebijakan. Tulisannya “Four Sys-
tem of Policy, Politics, and Choice” dalam Pubilc Administration Review, 1972, 11, me
nekankan bahwa studi desain kebijakan tidak harus fokus secara eksklusif pada menga-
2. pa berbagai jenis desain kebijakan muncul tetapi justru pada realitasnya, yaitu dengan
mengakui bahwa isi (content) kebijakan merupakan penyebab penting dari politik.
Lowi berpendapat, kemungkinan yang dapat ditawarkan oleh suatu kebijakan adalah
membuat arena di mana politik dimainkan oleh berbagai jenis/variasi desain kebijakan
yang akan memproduksi politik pluralis atau elitis. Kerena itu menurut Lowi kebijakan
memiliki dua dimensi yaitu :
(1) The extent of coercion (memperluas tingkat paksaan) di mana manfaat atau beban
didistribusikan, dan
(2) The policy is directed at specific group or it consists of rules (kebijakan diarahkan
kepada kelompok-kelompok tertentu atau kebijakan terdiri dari aturan-aturan) un-
tuk mempengaruhi lingkungan yang lebih umum.
Berdasarkan dua dimensi ini, menurut Lowi pada akhirnya ada 4 (empat) jenis desain
kebijakan yaitu: distributif, regulatif, redistributif, dan konstituen, yang masing-
masing isinya berbeda.
James Q. Wilson (1979) juga mengembangkan tipologi/jenis desain kebijakan dengan
menawarkan penjelasan tentang bagaimana isi (content) kebijakan menghasilkan pola
politik yang berbeda. Ada dua dimensi tipologi desain kebijakan, yaitu :
(1) Apakah manfaat (benefit) atau biaya (cost) didistribusikan, dan
(2) Apakah penerima terkonsentrasi (concentrated) atau tersebar (dispersed).
Politik mayoritas, menurut Wilson, akan terjadi jika manfaat dan biaya secara luas di-
distribusikan kepada sejumlah besar orang. Sedangkan politik yang terbatas hanya pada
kelompok kepentingan, akan muncul jika manfaat terkonsentrasikan dan biaya didistri-
busikan hanya di antara beberapa orang saja (contohnya, peraturan yang mendukung pe
kerja dengan mengorbankan bisnis atau sebaliknya).
Pada tahun 1985 Stephen Linder dan Guy Peters menyebutkan studi desain kebijakan
sebagai teori tingkat menengah (middle-level theory), yaitu campuran dari tiga dimensi:
teori kausalitas, evaluasi, dan instrumen. Sedangkan David Boborow dan John Dryzek
(1987) menyebutkan bahwa studi desain kebijakan justru berkonsentrasi kepada proses
di mana desain dibentuk dan disahkan.
Tujuan dari pengungkapan pendapat para sarjana tersebut di atas adalah untuk menge-
nali dialog yang luas tentang perspektif desain kebijakan yang terlihat beragam, yaitu
pada isu-isu alasan instrumental dan komunikatif hingga ke proses desain yang terbuka
dan demokratis, atau pada isu-isu sebagai penerapan instrumen tertentu atau alat
(tools). Adapun perhatian terhadap desain kebijakan sebagai alat (tools) yang berkem-
bang saat ini merupakan perwujudan dari ide-ide kontemporer desentralisasi dan devo-
lusi yang mungkin dapat memiliki efek tak terduga dan perlu dikenali pula,
Elemen DesainKebijakan
Schneider dan Ingram (1997) dalam studinya mengemukakan bahwa desain kebijakan
publik yang berbentuk tertulis : konstitusi, undang-undang, pedoman lembaga atau prak
tek implementasi hampir selalu mengandung sejumlah elemen (unsur) umum yaitu :
3. ● Tujuan atau masalah yang harus dipecahkan.
● Populasi sasaran (mereka yang terkena dampak langsung atau tidak langsung dari
kebijakan).
● Alokasi manfaat atau beban (baik material dan simbolik).
● Tools (perangkat yang digunakan untuk memastikan perilaku yang dibutuhkan oleh
kebijakan).
● Aturan (siapa yang melakukan apa, kapan, dengan sumber daya apa, kepada siapa,
dengan kendala apa).
● Implementasi struktur (lembaga, kontraktor, pekerja kasus street-level).
● Alasan-alasan (logika, argumentasi kausal, perangkat retoris, data).
● Asumsi yang mendasari (implisit atau eksplisit, disepakati atau diperebutkan).
Masing-masing elemen (unsur) di atas memiliki beberapa dimensi. Sebagai contoh, ele-
men alat (tools) dapat dikonseptualisasikan sebagai yang mendasari asumsi perilaku da-
lam memproduksi beberapa “jenis'' alat (tools) seperti insentif positif, insentif negatif,
kekuatan, informasi, pengembangan kapasitas, otoritas (pernyataan tanpa hukuman),
persuasi, dan belajar.
Dari kerangka elemen desain tersebut, Schneider dan Ingram (1997) selanjutnya me-
ngembangkan dua dimensi tipologi populasi sasaran kebijakan yang terdiri dari :
(1) Politik sumber daya kelompok sasaran dan kepentingan pihak lainnya (mulai dari
tinggi ke rendah), dan
(2) Konstruksi sosial populasi sasaran/target dan pihak lain yang berkepentingan (mu-
lai dari positif ke negatif).
Konstruksi (ruang) kebijakan yang dibuat dengan memperhatikan kekuatan politik dan
sosial akan menghasilkan berbagai jenis populasi sasaran yang lebih kontinyu dari
pada karakterisasi kategoris.
Sumber :
Disarikan dari tulisan Anne L. Scheneider & Helen Ingram, “Policy Design” dalam Jack Rabin (edt),
Encyclopedia of Public Andministration and Policy,2005, pp.204-208.
DIDIT SETIABUDI –Jakarta.