SlideShare a Scribd company logo
1 of 40
Download to read offline
Situasi Stunting di Indonesia
Penulis : Khairani, SKM, MKM
Topik Terkait
Pemantauan Pertumbuhan Untuk Pencegahan Stunting
Penulis : Andri Mursyita, SKM, MKM
Hubungan Antara Infeksi Parasit Usus dengan Pendek
Penulis : Dr. Syarief Darmawan, S.St, M.Kes
Topik Utama
Semester II, 2020
ISSN 2088 - 270X
Daftar Isi
Situasi Stunting di Indonesia
Penulis : Khairani, MKM, SKM
Pemantauan Pertumbuhan Untuk Pencegahan Stunting
Penulis : Andri Mursyita, SKM, MKM
Hubungan Antara Infeksi Parasit Usus dengan Pendek
Penulis : Dr. Syarief Darmawan, S.St, M.Kes
01
15
26
Salam Redaksi
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya atas tersusunnya Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan edisi semester II tahun 2020.
Kami selalu berusaha untuk memberikan informasi yang bermanfaat, menarik dan membuka wawasan terkait
dengan permasalahan Kesehatan di sekitar kita.
Kali ini tim redaksi Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan mengangkat sebuah tema “Situasi Stunting
di Indonesia”. Stunting yang terjadi di Indonesia saat ini masih menjadi Beban Gizi Ganda atau Double Burden
yang perlu segera diselesaikan oleh pemerintah dan lintas sektor terkait. Kondisi stunting dapat mempengaruhi
tingkat kecerdasan dan kesehatan anak dari bayi bahkan sampai dewasa, sehingga dapat mempengaruhi generasi
sumber daya manusia dikemudian hari.
Buletin ini juga membahas tema yang berkaitan dengan situasi stunting di Indonesia yaitu Pemantauan
Pertumbuhan untuk Pencegahan Stunting serta Hubungan Antara Infeksi Parasit Usus dengan Pendek.
Pada kesempatan ini kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut berkontribusi dalam
penyusunan buletin ini. Semoga apa yang telah kami susun ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan memberikan
kontribusi khususnya dalam upaya penanggulangan stunting di Indonesia.
Selamat membaca.......!
Redaksi
Tim Redaksi
Pusat Data dan Informasi
Jl. H.R. Rasuna Said Blok x-5, Kav 4-9
Jakarta 12950
Pelindung
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI
drg. Oscar Primadi, MPH
Pengarah
Kepala Pusat Data dan Informasi
dr. Anas Ma’ruf, MKM
Redaktur
Kepala Bidang Pengelolaan Data dan Informasi
Boga Hardhana, S.Si, MM
Redaktur
Kasubbid Diseminasi Informasi
Winne Widiantini, SKM, MKM
Penyunting
JFT Statistisi Ahli Muda
Khairani, SKM, MKM
Desainer Grafis
JFT Pranata Komputer Ahli Muda
Dian Mulya Sari, S.Ds
Kesekretariatan
Staf Pusat Data dan Informasi
Prillia Syafira, SKM
Sekapur Sirih
Kepala Pusat Data dan Informasi,
Kementerian Kesehatan RI
dr. Anas Ma’ruf, MKM
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saat ini Indonesia masih bekerja keras untuk mengatasi masalah kekurangan gizi, salah satunya adalah stunting
atau tubuh pendek. Stunting merupakan kondisi anak yang memiliki tinggi badan kurang jika dibandingkan
dengan usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir. Akan
tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah anak berusia dua tahun. Anak dengan kondisi stunting akan
berisiko memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal dan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Dampak
stunting tidak hanya dialami oleh anak tetapi dapat berpengaruh di masa yang akan datang hingga dewasa, hal
ini dapat berisiko menurunnya tingkat produktivitas.
Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas masyarakat Indonesia. Pada akhirnya secara luas
stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar
ketimpangan.
Upaya pemerintah untuk penanggulangan stunting diantaranya yaitu strategi nasional percepatan pencegahan
stunting. Upaya percepatan penurunan stunting perlu ditunjang dengan upaya intervensi yang bersifat spesifik
dan sensitif agar tercapainya target angka stunting sebesar 14% di tahun 2024. Pada tahun 2020 ditetapkan
terdapat 260 kabupaten/kota yang menjadi lokasi prioritas stunting. Upaya yang melibatkan lintas kementerian
dan lembaga ini diharapkan dapat menurunkan angka stunting di Indonesia.
Buletin ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan kepada masyarakat di Indonesia tentang
situasi, kondisi, faktor risiko, penyebab, pencegahan, dan dampak stunting. Semoga informasi yang kami sajikan
dapat bermanfaat dan kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan ini.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 30 Desember 2020
Penulis
Khairani, SKM, MKM
Jabatan Fungsional Statistisi Ahli Muda di Pusat Data dan
Informasi. Menamatkan Program Sarjana dan Pasca Sarjana
di Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Biostatistik dan
Kependudukan di Universitas Indonesia.
Situasi Stunting
di Indonesia
Topik Utama
Stunting adalah suatu kondisi dimana anak mengalami gangguan pertumbuhan, sehingga tinggi badan anak
tidak sesuai dengan usianya, sebagai akibat dari masalah gizi kronis yaitu kekurangan asupan gizi dalam waktu
yang lama. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang standar
antropometri penilaian status gizi anak, stunting atau pendek merupakan status gizi yang didasarkan pada
indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan zscore kurang dari -2 SD (standar deviasi). Stunting bukan
hanya masalah gangguan pertumbuhan fisik saja, namun juga mengakibatkan anak menjadi mudah sakit, selain
itu juga terjadi gangguan perkembangan otak dan kecerdasan, sehingga stunting merupakan ancaman besar
terhadap kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
01
Gambar 1. Proporsi Kasus Stunting di Dunia
Sumber: https://twitter.com/CIFFchild/status/689126684981891073
Sekitar
151 juta anak
di dunia mengalami stunting
tiga perempat dari populasi anak
dengan stunting berada
di Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan
LINGKUP PERMASALAHAN
55% 39%
ASIA AFRIKA
55% populasi
anak stunting
terdapat di Asia
39% populasi
anak stunting
terdapat di Afrika
dibawah 5 tahun
Fokus dari seluruh target tersebut antara lain gizi masyarakat, sistem kesehatan nasional, akses kesehatan dan
reproduksi, Keluarga Berencana (KB), serta sanitasi dan air bersih.
02
Gambar 2. Prevalensi Stunting di Berbagai Benua Tahun 2019
Kondisi di Indonesia berdasarkan data Studi Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) 2019 masih tergolong tinggi,
dimana prevalensi stunting sebesar 27,67%. Jika dibandingkan dengan informasi pada peta di atas, maka
prevalensi stunting di Indonesia masih lebih tinggi dari prevalensi di Asia Tenggara sebesar 24,7%.
Gambar 3. Perbandingan Prevalensi Stunting di Asia dan Afrika Tahun 2019
Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020
Pada tahun 2019 lebih dari
setengah anak balita yang
stunting berada di Asia dan
dua dari lima anak yang
stunting berada di Afrika.
AFRIKA
ASIA 40%
54%
27%
69%
24%
45%
Pada tahun 2019, lebih dari
dua pertiga dari anak usia di
bawah 5 tahun yang wasting
berada di Asia dan lebih dari
seperempatnya berada di
Afrika.
pada tahun 2019, hampir
setengah dari anak usia di
bawah 5 tahun yang obesitas
tinggal di Asia dan lebih dari
seperempatnya tinggal di
Afrika
Stunting Wasting Obesitas
Tujuh sub-regional memiliki prevalensi stunting yang tinggi atau sangat tinggi
Persentase balita stunting, berdasarkan WHO, tahun 2019
GLOBAL
21.3%
Oceania **
Amerika
Utara***
Afrika Utara
Karibia
Amerika
Selatan
Amerika
Tengah
Afrika Barat
Afrika Selatan
Afrika Tengah
Afrika Timur
Asia Tenggara
Asia Tengah
Asia Barat
Asia Timur
Asia Selatan
2.6
8.1
12.6
7.3
29.0
31.5
27.7
17.6
34.5
12.7
9.9
31.7
4.5
24.7
38.4
>30% (sangat tinggi)
20-<30 (tinggi)
10-20% (medium)
2.5-<10% (rendah)
<2.5% (sangat rendah)
tidak ada data
Pembangunan sektor kesehatan untuk Sustainable Development Goals (SDGs) sangat tergantung kepada peran
aktif seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah pusat dan daerah, parlemen, dunia usaha, media massa,
lembaga sosial kemasyarakatan, organisasi profesi dan akademisi, mitra pembangunan serta Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB).
Catatan
* Asia dan Asia Timur kecuali Jepang;
**Oceania tidak termasuk Australia dan Selandia Baru;
***Perkiraan angka stunting sub-regional Amerika Utara berdasarkan data Amerika Serikat. Tidak ada angka estimasi tersedia untuk regional atau sub regional kategori berkembang di
Eropa, Autralia dan Selandia Baru disebabkan cakupan populasi tidak memenuhi syarat.
menggambarkan regional/sub regional dimana perubahan terjadi secara signifikan
Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020
Gambar 4. Perbandingan Prevalensi Stunting di Berbagai Benua Tahun 2000 dan 2019
Gambar 5. Proporsi Stunting pada Balita di Asia Tahun 2019
Sumber:
Afrika adalah satu-satunya benua dimana prevalensi stunting terus meningkat
Trend stunting pada balita dalam angka (juta), berdasarkan regional WHO, tahun 2000 dan 2019
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Angka
t(juta)
Afrika
Selatan
Afrika
Utara
Afrika
Tengah
Afrika
Barat
Afrika
Timur
1.92.0
5.05.1 7.0
9.5
14.8
17.8 21.1
23.1
1.7 0.8
5.3 3.4
18.4
4.1
21.0
13.9
90.2
55.9
Asia
Tengah
Asia
Barat
Asia
Timur**
Asia
Tenggara
Asia
Selatan
Karibia Amerika
Tengah
Amerika
Selatan
Oceania** Amerika
Utara***
0.6 0.3
3.9 2.0
5.0 2.4
0.5 0.6 0.70.6
2000 2019
49.7
juta
57.5
juta
136.6
juta
78.2
juta
9.5
juta
4.7
juta
Afrika Asia* Amerika Latin dan Karibia
Catatan
* Asia dan Asia Timur kecuali Jepang;
**Oceania tidak termasuk Australia dan Selandia Baru;
***Perkiraan angka stunting sub-regional Amerika Utara berdasarkan data Amerika Serikat. Tidak ada angka estimasi tersedia untuk regional atau sub regional kategori berkembang di
Eropa, Autralia dan Selandia Baru disebabkan cakupan populasi tidak memenuhi syarat.
menggambarkan regional/sub regional dimana perubahan terjadi secara signifikan
2 dari 5 anak stunting di dunia terdapat
di Asia Tenggara
angka (juta) stunting balita,
berdasarkan sub regional Amerika Serikat, 2019
Amerika Latin
dan Caribbean
4.7 juta
Afrika
57.5 juta
Asia*
78.2 juta
Oceania **
0.6 juta
Amerika Utara***
Afrika
Utara
Amerika
Amerika
Selatan
Amerika
Tengah
Afrika Barat
Afrika Selatan
Afrika Tengah
Afrika Timur
Asia Tenggara
Asia Tengah
Asia Barat
Asia Timur
GLOBAL
144.0
juta
55.9 4.1
3.4
13.9
23.1
5.1
17.8
9.5
2.0
2.0
2.4
0.3
0.6
0.8 ASIA SELATAN
03
Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020
Catatan
* Asia dan Asia Timur kecuali Jepang;
**Oceania tidak termasuk Australia dan Selandia Baru;
***Perkiraan angka stunting sub-regional Amerika Utara berdasarkan data Amerika Serikat. Tidak ada angka estimasi tersedia untuk regional atau sub regional kategori berkembang di
Eropa, Autralia dan Selandia Baru disebabkan cakupan populasi tidak memenuhi syarat.
menggambarkan regional/sub regional dimana perubahan terjadi secara signifikan
Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020
Indonesia merupakan salah satu negara dengan double burden atau masalah gizi ganda, yang ditandai dengan
tingginya prevalensi stunting dan anemia pada ibu hamil. Berdasarkan data stunting JME, UNICEF World Bank
tahun 2020, prevalensi stunting Indonesia berada pada posisi ke 115 dari 151 negara di dunia. Sebagai dampak
dari pandemi COVID-19, tanpa adanya tindakan yang cukup dan tepat waktu, jumlah anak kekurangan gizi akut
(wasting) diprediksi akan meningkat sebesar 15% (7 juta anak) di seluruh dunia pada setahun pertama pandemi
ini.
Proporsi Stunting di Indonesia
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 angka prevalensi stunting di Indonesia yaitu 36,8%, tahun
2010 yaitu 35,6%, dan pada tahun 2013 prevalensinya meningkat menjadi 37,2%, terdiri dari 18% sangat
pendek dan 19,2% pendek. Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia
sebesar 30,8%. Berdasarkan batasan WHO Indonesia berada pada kategori masalah stunting yang tinggi.
Balita ataupun Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat
kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat
beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan (TN2PK, 2017).
Tabel 1. Estimasi Prevalensi Stunting Secara Global
Stunting Wasting and Severe Wasting Overweight
2000 2019
% stunted
(sedang dan
berat)
32.4 [30.9-34.0]
foot
note
% stunted
(sedang dan
berat)
21.3 [19.7-22.8]
foot
note
2019 2019
% wasted
(sedang dan
berat)
foot
note
% wasted
(berat)
2000 2019
% overweight
(sedang dan
berat)
foot
note
% overweight
(sedang dan
berat)
Wilayah Amerika Serikat
Global
Regional belum berkembang
Afrika
Afrika Timur
Afrika Tengah
Afrika Utara
Afrika Selatan
Afrika Barat
Asia
Asia Tengah
Asia Timur
Asia Selatan
Asia Tenggara
Asia Barat
Amerika Latin dan Karibia
Karibia
Amerika Tengah
Amreika Selatan
Oceania
Regional Maju
Australia dan Selandia Baru
Eropa
Amerika Utara
35.7 [34.0-37.4]
37.9 [35.6-40.2]
45.8 [41.2-50.5]
39.7 [34.1-45.6]
24.2 [18.1-31.6]
32.8 [28.7-37.2]
36.0 [33.1-39.1]
37.8 [35.5-40.2]
28.2 [21.5-36.0]
19.2 [17.8-20.6]
49.7 [45.6-53.9]
38.5 [32.7-44.7]
23.0 [16.0-31.8]
16.8 [13.3-20.2]
15.3 [7.5-28.7]
23.7 [16.6-32.8]
13.8 [10.4-18.0]
37.0 [20.2-57.6]
-
0.8
-
3.0
23.1 [21.4-24.8]
29.1 [26.8-31.4]
34.5 [30.7-38.5]
31.5 [26.4-37.0]
17.6 [11.6-25.7]
29.0 [25.5-32.8]
27.7 [23.8-32.0]
21.8 [19.3-24.3]
9.9 [7.9-12.3]
4.5 [4.1-4.9]
31.7 [4.1-4.9]
24.7 [18.7-31.9]
12.7 [6.2-24.0]
9.0 [6.1-11.8]
8.1 [3.5-17.8]
12.6 [8.0-19.3]
7.3 [4.3-11.9]
38.4 [21.9-58.1]
-
-
-
2.6
6.9 [5.7-8.2]
7.6 [6.2-8.9]
6.4 [5.4-7.5]
5.3 [3.8-7.4]
6.7 [5.1-8.7]
7.2 [3.6-13.9]
3.3 [2.2-4.8]
7.5 [6.5-8.6]
9.1 [6.9-11.3]
2.4 [1.6-3.6]
1.7 [1.6-1.8]
14.3 [10.4-19.3]
8.2 [5.9-11.4]
3.7 [1.5-8.7]
1.3 [0.8-1.7]
2.9 [2.1-4.0]
0.9 [0.7-1.0]
1.3 [0.8-2.3]
9.5 [5.9-15.0
-
-
-
0.4]
2.1 [1.6-2.6]
2.3 [1.8-2.9]
1.8 [1.4-2.1]
1.1 [0.8-1.5]
2.2 [1.7-2.9]
3.1 [1.6-6.2]
0.9 [0.6-1.2]
1.8 [1.5-2.2]
2.9 [2.1-3.8]
0.6 [0.2-1.8]
0.4 [0.4-0.4]
4.4 [3.1-6.2]
3.6 [1.7-7.6]
1.1 [0.2-0.4]
0.3 [0.2-0.4]
0.9 [0.8-1.1]
0.2 [0.2-0.3]
0.2 [0.1-0.5]
3.6 [2.8-4.5]
-
-
-
0.0
4.9 [4.3-5.5]
4.5 [4.0-5.0]
5.0 [4.1-5.9]
4.8 [3.7-6.2]
4.3 [2.9-6.4]
8.4 [4.8-14.4]
10.2 [7.1-14.4]
3.0 [2.3-4.0]
4.0 [3.3-15.2]
9.6 [5.9-15.2]
6.4 [5.8-7.1]
2.4 [1.5-4.1]
3.2 [2.5-4.0]
6.7 [4.9-9.2]
6.6 [5.5-7.7]
5.1 [3.9-6.5]
5.9 [4.7-7.3]
7.1 [5.7-8.9]
4.7 [3.3-6.5]
-
8.7 [0.0-22.4]
-
6.7 [6.4-6.9]
5.6 [4.9-6.4]
5.0 [4.3-5.7]
4.7 [3.5-6.0]
3.7 [2.9-4.6]
5.1 [3.3-7.6]
11.3 [5.6-21.5]
12.7 [8.6-18.3]
1.9 [1.4-2.5]
4.8 [3.8-5.8]
6.2 [3.3-11.3]
6.3 [5.5-7.2]
2.5 [1.5-4.4]
7.5 [4.3-12.6]
8.4 [4.6-15.0]
7.5 [6.7-8.4]
7.0 [3.6-13.2]
6.9 [5.9-8.2]
7.9 [6.9-9.1]
9.4 [6.1-14.4]
-
20.7 [4.8-36.5]
-
8.9 [8.6-9.2]
1
2
2
3
4
4
foot
note
foot
note
04
Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020
Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020
Gambar 5. Arah Kebijakan RPJMN Bidang Kesehatan Tahun 2020-2024
Gambar 6. Target Percepatan Penurunan Stunting RPJMN Kesehatan
Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020
ARAH KEBIJAKAN RPJMN BIDANG KESEHATAN 2020-2024
Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta
dengan penekanan pada penguatan pelayanan kesehatan dasar (Primary health care) dan
peningkatan upaya promotif dan preventif didukung oleh
STRATEGI RPJMN 2020-2024
Peningkatan
kesehatan ibu, anak,
KB, dan kesehatan
reproduksi
INOVASI DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI
Percepatan
perbaikan gizi
masyarakat
Peningkatan
pengendalian
penyakit
Penguatan
Gerakan Masyarakat
Hidup Sehat
(GERMAS)
Peningkatan
pelayanan kesehatan
dan pengawasan
obat dan makanan
Skenario 1
Tahun 2019
27,7%
Skenario 2
SKENARIO
PERJALANAN
PENDEMI
COVID-19
Menurunkan prevalensi stunting
(pendek dan sangat pendek) pada balita
Tahun 2024
14%
2020 2021 2022 2023 2024
14%
14%
2020 2021 2022 2023 2024
COVID-19
Pandemi
COVID-19 Perlu INOVASI
Berfikir dan
Bertindak
TIDAK BIASA
APA?
BAGAIMANA?
05
Secara global, diperkirakan bahwa kasus wasting dan stunting masih meningkat diakibatkan adanya pandemi
COVID-19. Pandemi menyebabkan banyak keluarga terdampak secara ekonomi, banyaknya kasus PHK
menyebabkan perubahan akses terhadap makanan dan juga gangguan terhadap akses ke pelayanan kesehatan.
Tanpa adanya tindakan yang cukup dan tepat waktu, jumlah anak wasting diprediksi akan meningkat sebanyak
15% atau sekitar 7 juta anak di seluruh dunia pada setahun pertama pandemi COVID-19. Penurunan 19. Gross
Domestic Product (GDP) global setiap satu persen akan berakibat pada kenaikan jumlah anak stunting 0,7 juta
di seluruh dunia (Unicef dan SUN Factsheet, 2020).
Jumlah penderita stunting di Indonesia menurut hasil Riskesdas 2018 terus menurun. Tetapi langkah
pencegahan stunting sangat perlu dilakukan, antara lain :
1. Memenuhi kebutuhan gizi sejak hamil
06
Tindakan yang relatif ampuh dilakukan untuk mencegah stunting pada anak adalah selalu memenuhi gizi
sejak masa kehamilan. Lembaga kesehatan Millenium Challenge Account Indonesia menyarankan agar ibu
yang sedang mengandung selalu mengonsumsi makanan sehat dan bergizi maupun suplemen atas anjuran
dokter. Selain itu, perempuan yang sedang menjalani proses kehamilan juga sebaiknya rutin memeriksakan
kesehatannya ke dokter atau bidan.
2. Beri ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan
Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan makanan pendamping atau
MPASI. Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang dipilih bisa memenuhi gizi mikro dan makro yang
sebelumnya selalu berasal dari ASI untuk mencegah stunting. WHO pun merekomendasikan fortifikasi atau
penambahan nutrisi ke dalam makanan. Namun sebaiknya seorang ibu berhati-hati saat akan menentukan
produk tambahan tersebut.
Veronika Scherbaum, ahli nutrisi dari Universitas Hohenheim, Jerman, menyatakan ASI ternyata berpotensi
mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro dan makro. Oleh karena itu, ibu
disarankan untuk tetap memberikan ASI Eksklusif selama enam bulan kepada sang buah hati. Protein whey
dan kolostrum yang terdapat pada susu ibu pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi.
3. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI sehat
4. Terus memantau tumbuh kembang anak
Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka, terutama dari tinggi dan berat badan anak.
Bawa si Kecil secara berkala ke Posyandu maupun klinik khusus anak. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi
ibu untuk mengetahui gejala awal gangguan dan penanganannya.
5. Selalu jaga kebersihan lingkungan
Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan penyakit, terutama kalau lingkungan sekitar
mereka kotor. Faktor ini pula yang secara tak langsung meningkatkan peluang stunting. Studi yang dilakukan
di Harvard Chan School menyebutkan diare adalah faktor ketiga yang menyebabkan gangguan kesehatan
tersebut. Sementara salah satu pemicu diare datang dari paparan kotoran yang masuk ke dalam tubuh
manusia.
Gambar di atas menyajikan 5 pilar upaya percepatan penurunan stunting , yang perlu ditunjang dengan upaya
intervensi yang bersifat spesifik dan sensitif demi tercapainya target angka stunting sebesar 14% di tahun
2024. 5 Pilar Penurunan Stunting ini dimulai pada 260 kab/kota yang menjadi lokus stunting pada tahun 2020,
untuk kemudian bertambah menjadi 514 kabupaten/kota di tahun 2024.
Gambar 7. Adaptasi Integrasi Intervensi Anemia dan Stunting Pada Masa Pandemi COVID-19
Gambar 8. Upaya Penanggulangan Stunting Terintegrasi
Sumber : Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020
Sumber : Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting, 2018-2024
5 PILAR
1. Komitmen dan
visi kepemimpinan
2. Kampanye nasional dan
komunikasi perubahan
perilaku
3. Konvergensi program,
pusat, daerah, desa
4. Ketahanan pangan dan
gizi
5. Pemantauan dan Evaluasi
1. Promosi konseling menyusui dan
Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA)
2. Suplementasi gizi (TTD, Kapsul vit A,
makanan tambahan balita dan bumil
3. Pemantauan tumbuh kembang balita
4. Tatalaksana gizi buruk
5. Imunisasi
1. Air bersih dan sanitasi
2. Bantuan pangan non tunai
3. Jaminan kesehatan nasional
4. Pendidikan anak usia dini
5. Program keluarga harapan
6. Bina keluarga Balita
7. Kawasan rumah pangan lestari
8. Fortifikasi pangan
INTERVENSI
Target
stunting
14%
Tahun
2024
260 kab/kota di 2020
Lokus
514 kab/kota di 2024
Spesifik
Sensitif
1. Gizi Seimbang
2. Pemberian makanan kaya gizi
--> PMT Lokal/Formula khusus
3. Diversifikasi Pangan
4. Peningkatan pengetahuan gizi,
pertumbuhan & perkembangan
-->bayi, balita, anak sekolah,
dan remaja
5. Peningkatan pengetahuan pola
asuh anak
6. Suplemen gizi
7. Fortifikasi gizi
8. Air Bersih
9. Sanitasi
10. Higiene
Pre-natal
Ibu
malnutrisi
Remaja putri
malnutrisi
1. Gizi Seimbang
2. ASI EKSLUSIF
3. Pemberian makanan kaya gizi
--> PMT Lokal/Formula khusus
4. Diversifikasi Pangan
5. Pemantauan pertumbuhan dan
perkembangan
6. Stimulasi Mental
7. Imunisasi
8. Suplemen gizi
9. Fortifikasi gizi
10. Air Bersih
11. Sanitasi
12. Higiene
Post-natal < 2 tahun
_
Wasting
Bayi berat
badan rendah
Stunting
07
Pendek
Sangat Pendek
18,0
18,8
2017
17,1
18,5
2010
19,2
18,0
2013
11,5
9,3
2018
Situasi
Stunting
di Indonesia
Gambar di atas menerangkan beberapa penyebab terjadinya stunting, yang terdiri dari penyebab langsung dan
tidak langsung. Ternyata faktor intake makanan, diare pada balita, serta imunisasi lengkap sebagai penyebab
langsung dipengaruhi oleh penyebab tidak langsung seperti keluarga tidak memiliki sanitasi layak, kondisi
rawan pangan pada penduduk, dan balita tidak dipantau pertumbuhannya secara rutin. Permasalahan
multidimensi yang menjadi penyebab stunting memerlukan kerjasama dan upaya dari lintas Kementerian/Lintas
Sektor untuk bersinergi dalam upaya percepatan penurunan stunting.
Gambar 9. Diagram Penyebab Terjadi Masalah Stunting
Sumber : Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020
KONDISI BALITA STUNTING DI INDONESIA
Gambar 10. Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2007-2018
Sumber: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Balitbangkes Kemenkes RI
Penyebab
Langsung
Anak 6-23 bulan
makan tidak beragam
53,4% Diare Balita
(Riskesdas 2018)
11%
Belum mendapat
Imunisasi Lengkap
42,1%
STUNTING Balita
27,67%
Penduduk
Rawan Pangan
(Riskesdas 2018)
7 Juta
(FSVA, 2018)
45,4% Balita tidak
dipantau
pertambahannya
secara rutin
(Riskesdas 2018)
22,39% KK belum
diakses
terhadap
sanitasi layak
(Riskesdas 2018)
Penduduk >15 tahun
rerata mendapatkan
pendidikan kurang
dari 9 tahun
53,4% Penduduk Miskin
26 Juta
(SUSENAS, 2018)
(BPS, 2018)
Penyebab
Tidak
Langsung
Akar
Masalah
Permasalahan multidimensional,
bukan sebatas kurang makan
08
Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan
menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%.
Upaya keberhasilan program pemerintah ditunjukkan melalui penurunan prevalensi balita pendek pada tahun
2018 menjadi 30,8%.
Gambar 11. Proporsi Stunting pada Balita Menurut Provinsi Tahun 2019
Sumber : Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI, SSGBI 2019
Gambar di atas menyajikan proporsi stunting pada balita Indonesia berdasarkan hasil SSGBI 2019 yaitu sebesar
27,67%. Masih terdapat 18 Provinsi (52,94%) yang memiliki prevalensi stunting lebih tinggi dari angka
nasional.
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Barat
Gorontalo
Aceh
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Maluku
Sumatera Utara
Papua
Maluku Utara
Sumatera Selatan
Kalimantan Timur
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Jawa Timur
Bengkulu
Lampung
Kalimantan Utara
Jawa Barat
Papua Barat
Banten
Riau
Sulawesi Utara
DI Yogyakarta
Jambi
DKI Jakarta
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
Bali
43,82
40,38
37,85
34,89
34,18
32,3
31,75
31,45
31,44
31,26
30,59
30,38
30,11
29,35
29,07
28,98
28,09
27,68
27,47
26,86
26,86
26,25
26,25
26,21
24,58
24,11
23,95
21,18
21,04
21,03
19,96
19,93
16,82
14,42
0 10 20 30 40 50
INDONESIA :
27,67
Situasi Beberapa Indikator Penting Faktor Risiko Terjadinya Stunting di Indonesia
1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
09
2. Panjang Badan Lahir Pendek
BBLR berdasarkan Riskesdas 2013 sebesar 10,2% kemudian menurun menjadi sebesar 6,2% pada tahun
2018, dan hal ini meningkatkan risiko stunting pasca lahir.
Panjang Badan Lahir Pendek (PBLP) mengalami kenaikan sebesar 2,5% dari Riskesdas 2013 (20,2%) ke
Riskesdas 2018 (22,6%), dan hal ini juga dapat menyebabkan risiko stunting pasca lahir. Selain itu pada hasil
Riskesdas 2013 diketahui 4,3% bayi memiliki berat lahir rendah dan panjang badan lahir pendek kemudian
menurun sedikit menjadi 4,0% pada hasil Riskesdas 2018.
3. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap
Gambar 12. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Pada Bayi Tahun 2018-2019
Sumber: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI
4. Cakupan Pemberian Vitamin A
INDONESIA
Bali
Nusa Tenggara Barat
Jawa Timur
Sumatera Selatan
Jambi
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Lampung
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
Kep. Riau
Sulawesi Selatan
Bengkulu
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kep. Bangka Belitung
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Tengah
Sumatera Utara
Kalimantan Selatan
Gorontalo
Papua Barat
Kalimantan Barat
Maluku Utara
Sulawesi Barat
Maluku
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Timur
Riau
Papua
Kalimantan Utara
Aceh
93,70
104,20
103,80
68,75
100,00
100,00
97,37
88,24
100,00
100,00
100,00
100,00
87,50
100,00
96,30
100,00
86,36
80,00
92,31
60,00
90,00
85,71
70,59
71,43
60,61
69,23
66,67
76,92
35,71
30,00
33,33
54,55
47,37
4,55
41,67
10,34
60,00
17,39
103,30
102,90
102,80
102,70
102,60
99,30
99,00
98,00
97,70
96,90
95,50
95,50
93,20
92,80
92,60
91,50
88,40
88,10
86,20
86,10
84,50
83,40
82,50
80,50
79,50
77,00
76,20
74,90
73,30
71,90
71,20
50,90
2019 2018
10
Cakupan Imunisasi dasar lengkap berdasarkan hasil Riskesdas 2013 sebesar 59,2% menjadi 57,9% Pada
Riskesdas 2018. Cakupan imunisasi yang menurun sebesar 1,3% dapat menyebabkan balita rentan terhadap
penyakit infeksi dan dapat menyebabkan terjadinya stunting.
Pada hasil Riskesdas 2013 sebanyak 75,5% anak umur 6-59 bulan menerima vitamin A, sedangkan pada
Riskesdas 2018 pemberian vitamin A sesuai standar menurun menjadi 53,5%. Hal ini disebabkan kriteria
pemberian vitamin A pada Riskesdas 2018 harus memenuhi 2 kali dalam setahun. Risiko yang terjadi jika
terdapat kondisi kekurangan vitamin A pada balita adalah turunnya imunitas tubuh yang kemudian
menyebabkan rentan terhadap infeksi dan berakibat pada kejadian stunting.
Gambar 13. Cakupan Pemberian Kapsul Vitamin A Pada Balita Tahun 2018 - 2019
Sumber: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI
Gambar di atas menginformasikan pemberian vitamin A pada balita di Indonesia, dimana data Direktorat
Jenderal Kesehatan Masyarakat menunjukkan cakupan tahun 2019 mengalami penurunan sekitar 8%, dari
86,18% pada tahun 2018 menjadi 78,68% pada tahun 2019.
INDONESIA
DI Yogyakarta
jawa Tengah
Bali
Nusa Tenggara Barat
Aceh
Lampung
Sulawesi Utara
Nusa Tenggara Timur
Jambi
Bengkulu
DKI Jakarta
Sulawesi Selatan
Gorontalo
Sumatera Utara
Selawesi Tengah
Sumatera Barat
Kep. Bangka Belitung
Banten
Kalimantan Selatan
Sumatera Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Riau
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kep. Riau
Maluku
Kalimantan Timur
Jawa Timur
Kalimantan Utara
Jawa Barat
Papua
Maluku Utara
Papua Barat
76,68
100,00
99,45
86,18
99,86
99,18
96,31
94,56
88,92
98,48
87,12
92,22
92,12
87,62
91,42
90,53
90,97
88,34
85,91
88,86
79,45
86,95
86,31
81,66
83,61
86,6
84,75
69,55
78,57
77,79
74,44
92,19
69,7
71,69
85,45
99,33
97,90
96,17
94,12
93,43
93,13
93,07
92,15
92,12
91,80
91,49
91,33
91,03
87,36
87,27
86,57
86,51
85,56
83,56
83,48
82,24
82,01
81,23
79,16
76,92
73,77
70,92
60,23
53,50
31,97
2019 2018
11
5. Pemberian ASI eksklusif
Gambar 14. Cakupan Bayi mendapatkan ASI Eksklusif Tahun 2018 dan 2019
Sumber: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI
Berdasarkan gambar di atas, cakupan ASI eksklusif di Indonesia tahun 2019 sebesar 67,74% atau menurun
1,0% jika dibandingkan dengan cakupan ASI eksklusif tahun 2018 sebesar 68,74%. ASI eksklusif merupakan
salah satu upaya penting untuk mencegah terjadinya stunting.
INDONESIA
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Timur
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Barat
Sumatera Barat
Riau
Bengkulu
Bali
Sulawesi Selatan
DKI Jakarta
Jawa Tengah
Lampung
Jambi
Kalimantan Selatan
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Utara
Kalimantan Barat
Jawa Barat
Maluku Utara
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
Sumatera Selatan
Kalimantan Tengah
Aceh
Sulawesi Tengah
Banten
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Gorontalo
Maluku
Papua
Papua Barat
67,74
86,26
78,53
78,27
77,50
77,02
76,50
75,92
73,44
72,16
71,71
70,82
70,22
69,46
69,33
69,10
68,02
66,81
64,25
63,61
63,53
60,06
60,00
59,75
57,79
57,35
55,24
54,69
53,96
50,90
50,35
49,29
2019 2018
43,35
41,42
41,12
41,42
7. Anemia pada ibu hamil
6. Pemberian MP-ASI
12
Cakupan pemberian MP-ASI pada hasil Riskesdas 2018 masih rendah, yaitu sebesar 46,6%. Dapat diartikan
bahwa separuh bayi tidak mendapatkan MP-ASI minimum yang dianjurkan, dan dapat memicu kejadian
stunting.
Pertanyaan pemberian MP-ASI pada Riskesdas 2018 bertujuan untuk memperoleh data atau informasi
tentang jenis makanan pendamping ASI yang pertama kali diberikan kepada bayi. Jenis makanan pendamping
ASI yang pertama kali diberikan biasanya satu macam tetapi tidak menutup kemungkinan
kombinasi/gabungan dari 2 macam jenis makanan/minuman seperti biskuit yang dicampur dengan susu
formula.
Pada Riskesdas 2018 diketahui 48,8% ibu hamil mengalami anemia, meningkat jika dibandingkan hasil
Riskesdas 2013 dimana proporsi wanita hamil mengalami anemia sebesar 37,1%.
8. Diare pada balita
Sumber : Direktorat Gizi Masyarakat, 2020
Pelaksana
Kemenkes, BKKBN, Kemendikbud, Kemensos,
KemenPU&PR, Kemendagri, Kementan, Kemenperin,
Kemenag, KKP, KemenPP&PA, Kemenkominfo, BPOM,
KemendesPDTT, Kementerian PPN/Bappenas,
KemenkoPMK, BPS, Kemendag, Kemensetneg, BATAN
dan Pemda
Baseline 2018: 30,8%
2020
24,1% 2021
21,1%
2023
16%
2022
18,4%
Stunting Balita
(persen)
2024
14%
Baseline 2018: 10,2%
2020
8,1%
2021
7,8%
2023
7,3% 2022
7,5%
2024
7%
Wasting Balita
(persen)
Anemia Ibu Hamil
48,9%
2024: 20%
Ibu Hamil KEK
17,3%
2024: 10%
Balita gizi kurang
10,2%
2024: 7%
Obesitas dewasa
21,8%
2024: tidak terjadi
kenaikan
konsekuensi terhadap
perkembangan janin
Berisiko terhadap berat
badan bayi lahir rendah
gagal tumbuh dan cenderung
pendek dibanding usianya
Berisiko obesitas dan PTM
saat dewasa
Gambar 16. Tantangan Penurunan Stunting dan Wasting
BASIC RISK DRIVERS UNDERLYING RISK DRIVERS IMMEDIATE RISK DRIVERS
KONTEKS YANG TIDAK
PRIORITAS
BERKURANGNYA PENGHASILAN
DAN KETERBATASAN SUMBER DAYA
PRAKTIK PEMBERIAN MAKAN YANG
TIDAK BERGIZI & KERAWANAN PANGAN
TERBATASNYA PELAYANAN DAN
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
LINGKUNGAN RUMAH TANGGA
TIDAK SEHAT
ASUPAN MAKANAN
YANG BURUK
INSIDENSI PENYAKIT
LEBIH TINGGI DENGAN
DURASI SAKIT
LEBIH LAMA
RISIKO TRANSFER
ANTARGENERASI YANG
LEBIH TINGGI
(TERGANGGUNYA
KESEHATAN IBU)
STUNTING
WASTING
BERAT BADAN KURANG
USIA KEHAMILAN
TERLALU MUDA
DEFISIENSI
MIKRONUTRIEN IBU
DAN ANAK
TERGANGGUNYA
KESEHATAN
IBU
DAN
ANAK
Pengalihan kebijakan
kepada perawatan
kesehatan darurat
Pengurangan
pengeluaran sektor
sosial atau pengalihan
untuk
penanganan COVID
Meningkatnya
ketimpangan status
sosial ekonomi
Meningkatnya kemiskinan
dan berkurangnya
daya beli
Limited/interruped
social safety nets
Terganggu/terhentinya
Pendidikan
Rantai pasokan makanan
terbatas atau terputus,
menyebabkan kerawanan
pangan
Putus sekolah dan
terganggunya program
konseling nutrisi
berkurangnya pencarian
terhadap pelayanan kesehatan
Akses terbatas ke kontrasepsi
modern dan keluarga berencana-
mendorong kehamilan
berisiko tinggi
Mengurangi cakupan pelayanan
kesehatan antenatal
Terbatasnya pelayanan dan
persediaan untuk persalinan
ibu dan anak secara teratur,
misalnya imunisasi
Akses Terbatas / kedekatan
dengan layanan yang tersedia
(misalnya: air bersih, sanitasi
yang aman)
Gambar 15. Faktor Risiko pada Ibu dan Anak dalam Konteks COVID-19
Terjadinya Kejadian Malnutrisi
Sumber : https://academic.oup.com/ajcn/article-abstract/doi/10.1093/ajcn/nqaa171/5860091
13
Insidens diare pada balita berdasarkan diagnosis dan gejala pada hasil Riskesdas 2013 sebesar 6,7%,
kemudian meningkat pada Riskesdas 2018 sebesar 12,3%. Kasus diare pada balita dapat juga memicu
terjadinya stunting.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2018. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan,
Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia, Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan,
Badan Pusat Statistik ; 2019. Laporan Pelaksanaan Integrasi SUSENAS Maret 2019 dan SSGBI Tahun 2019,
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2019. Laporan Nasional Riskesdas
Tahun 2018, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Unicef,WHO Geneva, etc. 2020. Levels And Trends In Child Malnutrition, UNICEF / WHO / World Bank Group
Joint Child Malnutrition Estimates, Key findings of the 2020 edition, Washington DC: UNICEF, WHO Geneva and
the Development Data Group of the World Bank.
World Health Organization, 2019. Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile Indicators,
Interpretation Guide 2nd Edition, Switzerland: World Health Organization.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2019. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018, Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2020. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. 2014. Riskesdas 2013 dalam Angka, Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Yulis DCN, M.Kes, dr. Rita Ratna. 24 Oktober 2020. Peran Stake Holder Untuk Penanganan Masalah Gizi pada
Anak di Masa Pandemi COVID-19, 24 Oktober 2020, Depok: FKM Universitas Indonesia.
Izwardy, Dody. 5 Agustus 2020. Inovasi Program Perbaikan Gizi, 5 Agustus 2020, Jakarta: Direktorat Gizi
Masyarakat Kementerian Kesehatan RI.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017. 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi
Anak Kerdil (Stunting), Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Pencegahan Stunting Pada Anak, 2019, [Diakses November 2020] Dari :
https://promkes.kemkes.go.id/pencegahan-stunting
https://twitter.com/CIFFchild/status/689126684981891073, diakses 20 November 2020
Daftar Pustaka
14
Penulis
Andri Mursita, SKM, M.Epid
Staf Subdit Surveilans Gizi di Direktorat Gizi Masyarakat.
Merupakan Lulusan Program Sarjana Kesehatan Masyarakat
dan Pasca Sarjana Epidemiologi di Universitas Indonesia.
Pemantauan
Pertumbuhan untuk
Pencegahan Stunting
Topik Terkait
Indonesia merupakan salah satu negara dengan permasalahan gizi balita yaitu stunting (pendek) dan wasting
(gizi kurang) yang cukup tinggi. Di antara negara ASEAN, stunting di Indonesia (30,8%) masih lebih tinggi jika
dibandingkan negara tetangga seperti Thailand (10,5%) dan Malaysia (20,7%). Pada Tahun 2019, diperkirakan
ada sekitar 6,6 juta balita stunting atau 3 dari 10 anak di Indonesia mengalami stunting. Stunting merupakan
kondisi gagal tumbuh dan kembang di awal masa kehidupan yang disebabkan adanya gangguan kronis,
rendahnya asupan gizi, penyakit infeksi, dan pola asuh yang tidak memadai sejak masa kehamilan, bahkan
adanya gangguan gizi dan kesehatan pada masa pra-kehamilan (Frongillo, 1999).
Anak stunting diidentifikasi dengan membandingkan panjang atau tinggi badan terhadap standar yang
disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin. Stunting memiliki banyak patologi perubahan yang ditandai dengan
peningkatan retardasi pertumbuhan linier, kesakitan dan kematian, mengurangi kapasitas fisik, perkembangan
saraf serta kerugian ekonomi. Stunting merupakan siklus antar generasi (gambar 17). Wanita yang mengalami
stunting cenderung melahirkan anak stunting yang berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas ekonomi
hingga meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan di masyarakat yang terjadi secara terus menerus
(Prendergast & Humphrey, 2014).
15
Gambar 17. Sindrom Stunting, 2014
Dalam upaya penanggulangan stunting di Indonesia, pemerintah baik pusat maupun daerah bersama swasta dan
masyarakat melaksanakan program percepatan penurunan stunting dengan pendekatan multisektoral yang
terintegrasi dalam memberikan intervensi spesifik dan sensitif pada kabupaten/kota lokus yang telah
ditetapkan secara bertahap.
Intervensi spesifik adalah kegiatan mengatasi penyebab langsung terjadinya stunting yang dilakukan oleh sektor
kesehatan, sedangkan intervensi sensitif adalah kegiatan untuk mencegah dan mengurangi masalah gizi secara
tidak langsung seperti penyediaan air minum dan sanitasi yang dilakukan oleh sektor non kesehatan.
Intervensi spesifik meliputi: 1) promosi dan konseling PMBA termasuk konseling ASI Esklusif; 2) Pemantauan
dan promosi pertumbuhan dan perkembangan; 3) Suplementasi gizi mikro meliputi Tablet Tambah Darah bagi
ibu hamil dan remaja putri, Vitamin A bagi ibu nifas dan balita; 4) Suplementasi zat gizi makro (makanan
tambahan bagi ibu hamil dan balita); 5) Tatalaksana Gizi buruk; 6) Pemeriksaan kehamilan dan imunisasi; dan 7)
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
- Zscore TB/U <-2SD
- Lebih sedikit tahun
bersekolah
- Buruknya prestasi
di sekolah
Usia Sekolah
Stunted
Overweight
Obesitas Sentral
Hipertensi
Diabetes
CVD
Dewasa
Pendek
Stamina Fisik Rendah
IQ Rendah
Kurangnya pendapatan
dan miskin
Dewasa
Intervensi pemberian
makanan sangat
diperlukan
Pra Konsepsi
- Tidak cukup asupan makanan
- Adanya infeksi intrauterine
(janin)
- Infeksi yang sistemik dan
atau adanya radang
- Embryonic Ectodrm
Development (EED)
- Polusi udara
Masa kehamilan
- BBLR
- Usia kelahiran
terlalu muda
- Kelahiran premature
- Lingkar kepala kecil
- Hiperinsulinemia
Neonatal
- Pengenalan MPASI <6 bulan
- Kurang baiknya praktek pola
pemberian MPASI
- Kurangnya praktek cuci tangan
berakibatkan diare
- Kejadian infeksi berulang
- Pajanan terhadap mycotoxin,
logam arsen,
bahan bakar biomass
- Kurangnya stimulasi
bayi perawatan
- Depresi pada ibu
Konsespsi
ZscoreTB/U <-2SD
- Meningkatkan morbiditas
dan mortalitas terhadap
kejadian infeksi
- Terhambatnya
kemampuan motoric
Usia 2 tahun
- Overweight
- Peningkatan BB/U
relative terhadap TB/U
Usia Sekolah
Asupan gizi cukup
namun kalori berlebihan
PUBERTAS
- Ketidakcukupan asupan
zat gizi dan energi
- Kurangnya praktek cuci
tangan berakibat diare
- Kejadian infeksi berulang
- Pajanan terhadap mycotoxin
- Kecilnya kesempatan
perbaikan perkembangan
dan petumbuhan anak
16
Selain stunting, kekurangan gizi lainnya pada balita adalah wasting. Berdasarkan waktu terjadinya, stunting
merupakan kekurangan gizi yang berlangsung lama dan berulang sedangkan wasting terjadi dalam waktu yang
singkat. Stunting ditandai dengan hambatan pertumbuhan tinggi badan yang dinilai menggunakan indeks tinggi
badan menurut umur dan merupakan indikator jangka panjang yang cukup kuat dalam menilai kematian dan
produktifitas sedangkan wasting ditandai dengan menurunnya berat badan menurut umur atau berat badan
menurut tinggi badan atau Lingkar Lengan Atas (LILA) dan merupakan indikator jangka pendek yang cukup baik
dalam menilai kematian (gambar 18).
Gambar 18. Bentuk Kekurangan Gizi pada Balita
Menurut Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), kekurangan gizi berkontribusi pada
hampir setengah dari kematian balita di seluruh dunia. Identifikasi gangguan pertumbuhan dan intervensi sejak
dini dapat mencegah terjadinya masalah gizi pada anak dan juga masalah kesehatan dan gizi pada remaja, orang
dewasa, dan lansia. Dengan demikian segala upaya perbaikan gizi pada usia dini merupakan investasi jangka
panjang untuk kesehatan dan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat umum.
STUNTING
KEKURANGAN GIZI
Hambatan Pertumbuhan Tinggi
Badan menurut Umur
TB/U
Indikator Jangka Panjang
Kematian dan Produktifitas
WASTING
Turunya Berat Badan menurut Umur
atau Berat Badan menurut Tinggi Badan
atau LILA
BB/TB atau LILA
Indikator Jangka Pendek
Kematian
17
Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), dan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ), sebagaimana tertuang
dalam surat komitmen bersama 6 Menteri mengenai Optimalisasi Pemantauan Pertumbuhan dan Perkembangan
Balita serta Edukasi kepada Masyarakat untuk Percepatan Pencegahan Stunting.
Pemantauan pertumbuhan merupakan salah satu kegiatan program perbaikan gizi sebagai upaya untuk
mencapai derajat kesehatan balita yang optimal. WHO mendefinisikan pemantauan pertumbuhan sebagai
intervensi gizi yang mengukur berat badan anak dan memetakan hasil pengukuran berat badan tersebut ke
dalam kurva pertumbuhan, serta menggunakan informasi tersebut untuk memberikan konseling kepada para
orang tua/pengasuh agar mereka dapat mengambil tindakan yang tepat untuk memperbaiki pertumbuhan anak.
Pemantauan pertumbuhan adalah bagian dari kegiatan rutin pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pada
pelayanan gizi dan kesehatan di puskesmas. Namun, untuk memberdayakan dan memberikan kemudahan
kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar, maka kegiatan pemantauan pertumbuhan
dilakukan di posyandu sebagai bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). Pemantauan
pertumbuhan di posyandu dilakukan oleh kader dengan didampingi tenaga kesehatan. Untuk memperluas
cakupan, pemantauan pertumbuhan setiap bulan dapat dilakukan juga di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
Kementerian Kesehatan telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 tahun 2020 tentang Standar
Antropometri Anak untuk menggantikan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Berdasarkan Pasal 3
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 tahun 2020, disebutkan bahwa Standar Antropometri Anak wajib
digunakan sebagai acuan bagi tenaga kesehatan, pengelola program, dan para pemangku kepentingan terkait
untuk penilaian status gizi anak dan tren pertumbuhan anak. Salah satu perwujudan dari penilaian status gizi
anak dan tren pertumbuhan anak adalah pemantauan pertumbuhan.
Prinsip pemantauan pertumbuhan balita adalah semua anak dipantau secara teratur pertumbuhannya sehingga
deteksi dini timbulnya masalah gizi dapat segera di intervensi. Dalam setahun, sebaiknya minimal anak
ditimbang sebanyak 8 kali dan diukur tinggi badannya sebanyak 2 kali di posyandu (SPM, 2019). Dalam konteks
wilayah, kegiatan pemantauan pertumbuhan diharapkan dapat menjangkau seluruh sasaran balita agar
pelaksanaan program penanggulangan dan pencegahan masalah gizi khususnya stunting dapat berjalan secara
optimal.
Pemantauan pertumbuhan terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan, yakni: (1) Penimbangan setiap bulan,
pengisian buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)/Kartu Menuju Sehat (KMS), dan penentuan status pertumbuhan
menurut grafik pertumbuhan anak berdasarkan indikator berat badan menurut umur; (2) mencatat dan
melaporkan hasil pemantauan pertumbuhan; (3) memberikan konseling dan menindaklanjuti setiap kasus
gangguan pertumbuhan dengan dengan rujukan; dan (4) menindaklanjuti dalam bentuk kebijakan dan program
di tingkat masyarakat, serta meningkatkan motivasi untuk memberdayakan keluarga.
Gambar 19. Alur pemantauan pertumbuhan di Posyandu
PENGISIAN KMS
PENIMBANGAN
BALITA
PELAYANAN
OLEH PETUGAS
PENDAFTARAN
PENYULUHAN
18
Penilaian pertumbuhan dilakukan dengan antropometri karena dinilai lebih mudah, tidak mahal, dan tidak
membahayakan. Antropometri adalah suatu metode yang digunakan untuk menilai ukuran, proporsi, dan
komposisi tubuh manusia. Antropometri untuk pengukuran berat badan yang umum digunakan di posyandu
adalah dacin. Dacin memiliki ketelitian 100 g dan kapasitas maksimum 25 kg serta cukup kuat. Namun saat ini,
pengukuran berat badan di posyandu ada yang sudah menggunakan timbangan injak. Prinsip penggunaan alat
adalah sesuai dengan rekomendasi dan tentunya harus konsisten.
Standar pemantauan pertumbuhan anak adalah persyaratan yang harus diikuti untuk menjamin kualitas
pelayanan gizi pemantauan pertumbuhan anak. Informasi yang diperoleh dari pengukuran tersebut digunakan
untuk memberikan konseling kepada orang tua/pengasuh agar mereka dapat mengambil tindakan yang tepat
untuk memperbaiki pertumbuhan anak. Pemantauan pertumbuhan anak juga bertujuan untuk memastikan
bahwa setiap anak tumbuh mengikuti jalur pertumbuhan anak-anak sehat. Dengan demikian, kegiatan ini juga
dapat difungsikan sebagai langkah deteksi dini gangguan pertumbuhan pada anak. Anak yang terdeteksi
mengalami gangguan pertumbuhan dapat segera ditangani agar dapat kembali ke jalur pertumbuhan anak
sehat.
Gambar 20. KMS dan Buku KIA
Buku KIA KMS anak perempuan
19
Dalam mengoptimalkan kegiatan pemantauan pertumbuhan, digunakan buku KIA atau KMS untuk mencatat
hasil kegiatan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA)
merupakan buku yang berisi lembar informasi dan catatan kesehatan serta catatan khusus adanya kelainan ibu
selama hamil, bersalin sampai nifas serta anak (janin, bayi baru lahir, bayi dan anak sampai usia 6 tahun). Ibu
harus membawa buku KIA setiap kali melakukan pemantauan pertumbuhan di posyandu atau berkunjung ke
fasilitas pelayanan kesehatan, misalnya puskesmas. Salah satu isi dari Buku KIA adalah acuan kurva
pertumbuhan anak yang disebut sebagai KMS berdasarkan indeks antropometri berat badan menurut umur
(BB/U) dan dibedakan berdasarkan jenis kelamin. KMS untuk anak laki-laki berwarna biru, sedangkan KMS
untuk anak perempuan berwarna pink. Kurva pertumbuhan berat badan menurut umur dibedakan menurut jenis
kelamin karena anak laki-laki mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda dibandingkan dengan anak
perempuan. Halaman depan KMS berisi kurva pertumbuhan berat badan menurut umur dari usia 0-2 tahun,
sedangkan halaman belakang KMS berisi kurva pertumbuhan berat badan menurut umur anak dari usia 2-5
tahun (gambar 20).
Penilaian Pertumbuhan Anak adalah menilai pertambahan berat badan anak dibandingkan dengan standar
kenaikan berat badan. Pertumbuhan bersifat simultan, yakni terjadi pada waktu yang bersamaan, tetapi
kecepatannya bisa berbeda-beda. Jika pertumbuhan berat badan dapat dipertahankan normal, maka
panjang/tinggi badan dan lingkar kepala juga akan normal. Namun, saat pertumbuhan berat badan mengalami
gangguan (growth faltering), yaitu tidak sesuai dengan yang seharusnya, maka pada saat yang bersamaan
pertumbuhan panjang/tinggi badan dan lingkar kepala juga mengalami gangguan. Pertumbuhan anak dievaluasi
menggunakan grafik pertumbuhan berat badan dan kenaikan berat badan berdasarkan Kenaikan Berat Badan
Minimal (KBM). Kader menghubungkan garis pertumbuhan antara bulan ini dan bulan lalu. Apabila anak tidak
ditimbang bulan lalu, maka garis pertumbuhan tidak dapat dihubungkan. Masalah yang dialami anak seperti
kurang nafsu makan atau sakit, maka kejadian tersebut dicatat dalam grafik pertumbuhan.
Untuk mengetahui ada tidaknya perubahan, maka pengukuran antropometri harus dilakukan secara teratur.
Pengukuran yang dilakukan satu kali hanya dapat menunjukkan ukuran pada saat itu sehingga tidak dapat
memberikan informasi mengenai perubahan yang terjadi, misalnya peningkatan, tetap, atau penurunan. Dengan
demikian, pengukuran antropometri juga berfungsi sebagai alat deteksi dini gangguan pertumbuhan pada anak,
misalnya risiko gagal tumbuh, risiko stunting, atau risiko kegemukan. Ketika gangguan pertumbuhan terdeteksi,
maka dapat dilakukan tata laksana lanjutan dengan segera dalam bentuk konfirmasi penilaian status gizi dan
tindak lanjut, baik berupa konseling maupun rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan demikian,
gangguan pertumbuhan dapat diatasi secara dini. Kader melakukan kunjungan rumah (sweeping) ke rumah
tangga balita yang tidak hadir di posyandu untuk menimbang sekaligus mengedukasi ibu balita tentang
pentingnya melakukan pemantauan pertumbuhan setiap bulan.
Jika anak memiliki risiko gangguan pertumbuhan seperti grafik memotong garis pertumbuhan dibawahnya atau
pertumbuhan mendatar atau menurun, maka kader mencatat dan melaporkan kejadian gangguan pertumbuhan
kepada tenaga kesehatan, serta merujuk ke fasyankes atau puskesmas untuk ditindaklanjuti. Selain itu, kader
juga tetap memberikan konseling kepada ibu/pengasuh dan menganjurkan untuk kembali ke posyandu pada
bulan berikutnya (gambar 21).
KMS anak laki-laki
Grafik
Pertumbuhan Anak
20
Gambar 21. Alur deteksi dini
Pesan umum yang disampaikan agar ibu/pengasuh dapat menerapkan Prinsip Gizi Seimbang kepada anak,
diantaranya adalah:
1) mengonsumsi aneka ragam pangan dengan jumlah dan jenis sesuai dengan umur anak,
2) membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat,
3) melakukan aktivitas fisik, termasuk bermain dan kegiatan yang dapat menstimulasi anak,
4) memantau berat badan secara teratur untuk mempertahankan berat badan normal,
5) menyampaikan kepada ibu untuk kembali ke Posyandu di bulan berikutnya.
Di fasyankes atau puskesmas, tenaga kesehatan akan melakukan konfirmasi dengan pengukuran ulang. Selain
menilai pertumbuhan tenaga kesehatan juga melakukan penilaian status gizi anak melalui pengukuran berat
badan dan tinggi badan. Jika anak mengalami masalah gizi baik stunting atau gizi kurang maka tenaga kesehatan
akan mengidentifikasi penyebab masalah gizi tersebut agar dapat memberikan intervensi secara tepat dan
komprehensif. Anak yang medapat intervensi harus dilakukan pendampingan dengan melibatkan peran kader
dan masyarakat.
Setiap bulan Februari dan Agustus, pemantauan pertumbuhan dilakukan terintegrasi dengan pemberian kapsul
vitamin A, anak usia 6- 11 bulan mendapatkan vitamin A berwarna biru (kandungan vitamin A sebesar 100,000
IU) sedangkan anak 12 – 59 bulan mendapat mendapatkan vitamin A berwarna merah (kandungan vitamin A
sebesar 200,000 IU).
- Penimbangan teratur
- Plot di KMS
- Interpretasi grafik pertumbuhan
Pertumbuhan
Normal
Ada indikasi gangguan
pertumbuhan
(berat badan tidak naik)
Edukasi dan mendorong
pemanfaatan pelayanan
kesehatan
Konseling PMBA dan
promosi pemantauan
pertumbuhan
Dirujuk ke puskesmas
atau yankes terdekat
untuk dikonfirmasi
Identifikasi masalah gizi
konseling PMBA
PEMANTAUAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
pendampingan
Intervensi
Tidak intervensi
21
Pada masa pandemi COVID-19 kegiatan pemantauan pertumbuhan diupakan tetap dilakukan dengan merujuk
pada keputusan pemerintah daerah mengenai hari buka posyandu. Pelayanan dilakukan melalui modifikasi
dengan pendekatan protokol kesehatan. (gambar 22)
Gambar 22. Modifikasi Kegiatan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan di Posyandu
Seluruh kegiatan pemantauan pertumbuhan oleh tenaga kesehatan direkam kedalam Sistem Informasi Gizi
(SIGIZI) Terpadu sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan yang berbasis data individu by name by address.
Pencatatan dan pelaporan dapat dilakukan secara elektronik yang memungkinkan untuk melakukan input data
lebih komprehensif, membantu proses komunikasi dan pengiriman data ke unit lainnya secara cepat sehingga
dapat memberikan analisis kinerja program yang lebih tepat. Proses pencatatan dan pelaporan secara elektronik
ini pada dasarnya mengikuti prinsip-prinsip dasar yang sama dengan proses pencatatan dan pelaporan secara
manual. Pencatatan dan pelaporan yang baik akan bermanfaat bagi kegiatan monitoring yang efektif. Sistem ini
dapat diakses melalui alamat sigiziterpadu.gizi.kemkes.go.id
Sebelum hari Posyandu
Menyusun jadwal
Cek kesehatan petugas
Pembagian tugas
Penyiapan undangan
Penyiapan area
Posyandu
Setelah hari Posyandu
Melengkapi pencatatan
Kunjungan rumah balita
berisiko
Edukasi melalui daring
atau kelompok terbatas
Hari Posyandu
Kehadiran sesuai jadwal
Posyandu
1
Cek suhu dan
cuci tangan pakai sabun
2 Meja Pendaftaran &
menyerahkan kain
timbang bersih
3 Menunggu giliran
dengan menjaga
jarak 1-2 m
4 Penimbangan pengukuran
pantau perkembangan
Pencatatan hasil
di buku KIA
6
8
7
5
Ploting, konseling,
janji temu bagi
balita berisiko
Pelayanan kesehatan
(Vit A Feb & Agustus)
Pencatatan
melalui ePPGBM
22
Gambar 23. Dashboard Sistem Informasi Gizi Terpadu
23
Gambar 24. Grafik pada Sistem Informasi Gizi Terpadu
24
Frongillo, E. A. (1999). Symposium: Causes and Etiology of Stunting. Introduction. The Journal of
Nutrition, 129(2S Suppl), 529S-530S. https://doi.org/10.1093/jn/129.2.529S
JME UNIICEF World Bank, 2020.
Kementerian Kesehatan, 2020. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 tahun 2020 tentang Standar
Antropometri Anak
Kementerian Kesehatan, 2019. Riskesdas 2018
Kementerian Kesehatan, 2020. Laporan SSGBI 2019
Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H. (2014). The stunting syndrome in developing countries.
Paediatrics and International Child Health, 34(4), 250–265.
https://doi.org/10.1179/2046905514Y.0000000158
WHO Multicentre Growth Reference Study Group. (2006). Assessment of differences
in linear growth among populations in the WHO Multicentre Growth Reference Study. Acta
Pædiatrica, (Suppl 450), 56–65. https://doi.org/10.1080/08035320500495514
Daftar Pustaka
25
Penulis
Dr. Syarief Darmawan, S.ST, M.Kes
Dosen di jurusan Poltekkes Kemenkes Jakarta II sejak tahun
2003. Menamatkan Program Doktoral di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia dalam Program Doktor Ilmu Biomedik
pada tahun 2019 dengan judul desertasi : Peran Inflamasi
usus pada Anak Usia di Bawah 2 Tahun terhadap Kejadian
Pendek.
Hubungan Antara
Infeksi Parasit Usus
dengan Pendek
Topik Terkait
Infeksi parasit usus dapat mengganggu tumbuh kembang anak dan menurunkan produktivitas anak karena
cacing usus menghisap zat gizi host sehingga anak kekurangan zat gizi, anemia, berat badan menurun, dan
pertumbuhannya terhambat1
. Ada hubungan yang signifikan antara intensitas infeksi Soil Transmitted Helminths
(STH) tunggal atau campuran terhadap status gizi pendek.2
Infeksi parasit usus dapat disebabkan oleh cacing,
virus, bakteri dan protozoa. Infeksi bakteri disebabkan oleh bakteri shigella, sedangkan infeksi protozoa dikenal
sebagai disentri amuba karena kontaminasi melalui oral dari kista E. histolytica yang merupakan
mikroorganisme an-aerob bersel tunggal dan bersifat pathogen sehingga menyebabkan disentri pada anak yang
usianya di atas lima tahun tetapi jarang ditemukan pada balita.3
Infeksi cacing usus terutama cacing yang ditularkan melalui tanah STH dapat menyebabkan gangguan gizi dan
merupakan infeksi kronis yang paling banyak menginfeksi anak balita dan anak usia sekolah dasar (SD).
Prevalensi parasit usus pada anak SD di Bekasi pada tahun 2012 sebesar 64,6% dengan rincian B. hominis
43,1%, E. coli 3,1%, G. lamblia 3,1%, H. nana 2,3%. Infeksi campur B. hominis dan E. coli 3,1%, B. hominis dan
G. lamblia 8,5%, B. hominis dan T. trichiura 0,8%, dan infeksi campur B. hominis, E. coli, T. trichiura dan H. nana
0,8%.1
I. Latar Belakang
26
Kompilasi dari 101 penelitian yang dilakukan mulai tahun 1970-2013 di Malaysia terhadap infeksi parasit usus
mendapatkan hasil 342 anak yang diteliti 24,6% positif terhadap infeksi parasit usus dengan rincian 32,3%
anak-anak pedesaan, 20,6% tuna wisma perkotaan dan 5,4% anak-anak dari rumah susun positif terhadap satu
atau lebih parasit. Parasit yang paling umum ditemui adalah Trichuris trichiura (20,2%) diikuti oleh Ascaris
lumbricoides (10,5%) dan cacing tambang (6,7%). Tidak ada kasus cacing tambang yang dilaporkan pada
anak-anak perkotaan sedangkan 12,2% anak-anak pedesaan positif. Parasit protozoa yang paling umum
dideteksi adalah Entamoeba coli (3,2%) diikuti oleh Giardia intestinalis (1,8%), Entamoeba histolytica (1,8%)
dan Blastocystis hominis (1,2%). Hampir seperlima (18,4%) anak-anak memiliki infeksi tunggal diikuti oleh dua
kali lipat (12,0%) dan infeksi tiga kali lipat (1,2%). Anak-anak penduduk asli (44,3%) memiliki tingkat infeksi
tertinggi diikuti oleh orang India (20,2%), Melayu (14,0%) dan Cina (11,9%).4
Makro parasit seperti cacing adalah kelompok parasit yang mampu memperpanjang infeksi dengan peningkatan
sel imunoregulasi, penghambatan respons Sel Limphosit T-helper 1 (Th1) atau Th2, reseptor pengenalan pola
target dan mengurangi jumlah sel kekebalan melalui induksi apoptosis. Apoptosis yang dipicu kecacingan
melemahkan imunitas host sehingga membuka jalan untuk menghasilkan lingkungan mudah terinfeksi dan
infeksi kronis.5
Diare akut yang disebabkan oleh infeksi parasitik dapat didiagnosa meIalui pemeriksaan
spesimen feses. Protozoa usus dapat ditemukan di feses, baik dalam bentuk motil (trofozoit) ataupun bentuk
kista.6
Peran usus yang sehat dalam mencapai pertumbuhan fisik yang sehat kadang-kadang kurang mendapatkan
perhatian. Usus merupakan sebuah komponen utama dari penyerapan zat gizi dalam tubuh, bertindak sebagai
antarmuka antara asupan gizi dan pertumbuhan, dan elemen penting dari sistem kekebalan tubuh. Sebuah usus
yang bebas dari peradangan persisten mungkin menjadi elemen penting untuk mencapai pertumbuhan fisik yang
sehat.7
Populasi mikroba dalam usus berpengaruh dalam mengoptimalkan penyerapan dan pemanfaatan gizi
bagi tubuh.8
Status gizi pendek merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara gizi yang tidak optimal, kesehatan usus
yang buruk, penyakit infeksi, fungsi imunitas tubuh menurun, keturunan (genetika) dan hormonal. Berdasarkan
uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirasa perlu untuk menelusuri literatur mengenai hubungan
antara infeksi parasit usus dengan status gizi pendek.
Spesies utama yang menginfeksi saluran cerna manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). World
II. Infeksi Cacing Saluran Cerna Manusia
A. Spesies Cacing
27
Health Organization (WHO) menggolongkan cacing ini sebagai infeksi cacing yang ditularkan melalui
tanah/Soil-Transmitted Helminths (STH). Cacing ini ditransmisikan oleh telur yang ada dalam kotoran manusia
kemudian mencemari tanah di daerah dengan sanitasi buruk. Kecacingan termasuk dalam masalah kesehatan
masyarakat karena cacing mengganggu kemampuan individu untuk menyerap zat gizi, dan bagi anak-anak dapat
menghambat pertumbuhan dan perkembangan fisik.
Proses penularan terjadi secara tidak langsung antar individu, tetapi harus ditransmisikan melalui tanah yang
terkontaminasi kotoran manusia, karena telur cacing membutuhkan waktu 3 minggu untuk matang di tanah
sebelum menjadi infeksi dan cacing ini juga tidak berkembang biak di host manusia.9
Cacing gelang dan
tambang hidup di usus halus manusia, sedangkan cacing cambuk hidup di usus besar. Ketiga cacing dapat hidup
mulai dari 1 sampai 7 tahun. Cacing gelang dapat mencapai panjang 150-400 mm, cacing cambuk memiliki
panjang 30-50 mm dan 7-13 mm panjang dari cacing tambang. Cacing betina dari ketiga cacing dapat
menghasilkan telur lebih dari 1000 telur per hari.10
Prevalensi trichuriasis adalah sekitar 477 juta di seluruh dunia, dengan jumlah infeksi terbesar di Asia, Afrika
Sub-Sahara, dan daerah tropis Amerika.11
Iklim merupakan variabel utama dari penyebaran infeksi ini. Kondisi
yang lembab dan suhu yang panas sangat diperlukan bagi perkembangan larva dalam tanah. Jika kelembaban
rendah telur A. lumbricoides dan T. trichiura tidak akan berkembang dengan baik dan larva cacing tambang akan
cepat mati. Telur A. lumbricoides memerlukan temperatur yang berkisar antara 20o
-25o
C, T. trichiura sekitar
30o
C dan N. americanus memerlukan temperatur optimum antara 28o
-32o
C.t
T. trichiura tidak memiliki inang reservoir. Beban penyakit akibat trichuris lebih tinggi pada kelompok
anak-anak daripada orang dewasa. Anak-anak yang terinfeksi berat dapat menyebabkan pertumbuhan
terhambat serta mengalami penurunan kapasitas intelektual dan kognitif. Hasil pemeriksaan tinja pada anak
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah mendapatkan hasil bahwa kecacingan dan infeksi saluran pencernaan lain
pada tahun 2002 – 2009 di 398 SD/MI yang tersebar di 33 Propinsi memiliki rata-rata prevalensi cacingan
adalah 31,8%.13
Prevalensi infeksi cacing usus pada balita gizi buruk di kecamatan Kasihan, Bantul Propinsi DI Yogyakarta
didapatkan Ascaris lumbricoides (52,17%), cacing tambang (13,04%) dan Enterobius vermicularis (8,69%).
Kondisi demografi yang didapatkan pada keluarga balita gizi buruk tersebut adalah 84% berstatus sosial
ekonomi rendah, 96% orang tua berpendidikan rendah dan sedang, 40% mempunyai sarana sanitasi memadai
dan 64% terinfeksi penyakit kronis.14
Penelitian di kota Malinau, Kalimantan Timur didapatkan hasil infeksi
cacing golongan STH terjadi pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, dan pada golongan umur 6 tahun
keatas.
B. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
28
Penelitian pada anak sekolah dasar di tepi sungai Batanghari didapatkan perilaku tidak mencuci tangan dengan
sabun sebelum makan ataupun setelah buang air besar, berenang di sungai dan mandi kurang dari 2 kali sehari
berisiko terinfeksi parasit usus.16
Prevalensi parasit usus pada anak di kampung Pasar Keputran Utara Surabaya
didapatkan sebesar 36% dengan komposisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Kondisi sosial seperti
padat penduduk, lingkungan dan sanitasi yang buruk serta aktifitas dan intensitas kontak anak dengan alam
terbuka menjadi penyebab tingginya infeksi cacing usus.17
Terdapat hubungan yang signifikan antara higenitas
diri dengan infeksi STH (P=0,012), dengan faktor yang mempengaruhi adalah aktifitas mencuci tangan
(P=0,001) dan kontak dengan tanah (P=0,003).18
Penelitian terhadap 1126 anak sekolah dasar terpilih di Kabupaten Nunukan Kalimantan Selatan pada tahun
2010 didapatkan hasil persentase penderita ascariasis 10,3%, trichuriasis 8,97% dan penderita hookworm
2,93%. Ascaris lumbricoides mengambil karbohidrat dari tubuh anak-anak yang terinfeksi sebanyak 0,14
gram/ekor/hari dan protein 0,035 gram/ekor/hari. Trichuris trichiura menghisap darah sebanyak 0,005
cc/ekor/hari dan cacing Hookworm menghisap darah sebanyak 0,2 cc/ekor/hari. Konversi dalam rupiah,
karbohidrat diasumsikan seharga beras Rp. 7.199,49/kg, protein seharga daging sapi Rp. 62.894,25/kg dan
darah seharga Rp. 250.000/kantong isi 250 cc (Rp.1000/cc). Berdasarkan perhitungan maka didapatkan
kerugian nutrisi dan finansial yang dialami oleh Kabupaten Nunukan selama tahun 2010 adalah kerugian
karbohidrat sebesar 2.068,9 kg/tahun senilai Rp. 14.895.075,- kerugian protein sebesar 517,23 kg/tahun senilai
Rp. Rp 32.530.588,-, kerugian darah sebesar 1.220.241,17 cc /tahun senilai Rp.1.220.241.100,- maka total
kerugian financial akibat kecacingan adalah sebesar Rp.1.276.666.763,-.19
STH yang hidup dalam usus individu yang terinfeksi dapat menghasilkan ribuan telur setiap hari dan dapat
dikeluarkan dari individu tersebut melalui feses. Saat kondisi lingkungan sesuai dengan kebutuhan telur, maka
telur akan berkembang menjadi tahap infektif. Manusia dapat terinfeksi melalui proses memakan makanan yang
terkontaminasi telur STH (Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura) atau larva (Ancylostoma duodenale).
Kontaminasi oral dapat melalui : sayuran yang tidak dicuci, dikupas dan dimasak secara baik, tangan, peralatan
atau melalui penetrasi kulit oleh larva cacing tambang dari tanah yang terkontaminasi Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale. Tidak ada penularan langsung orang ke orang atau infeksi dari tinja segar karena telur
yang dikeluarkan melalui tinja membutuhkan sekitar 3 minggu di tanah sebelum menjadi infeksi.
Cacing yang ditularkan melalui tanah merusak status gizi orang yang mereka terinfeksi dalam berbagai cara9
:
a) Cacing memakan jaringan inang, termasuk darah, yang menyebabkan hilangnya zat besi dan protein,
b) Cacing tambang juga menyebabkan kehilangan darah usus kronis yang dapat menyebabkan anemia,
c) Cacing meningkatkan malabsorpsi zat gizi. Selain itu, cacing gelang mungkin bersaing untuk mendapatkan
vitamin A di usus,
C. Daur Kehidupan Cacing yang Menginfeksi Saluran Cerna Manusia
D. Hubungan Infeksi Cacing yang Menginfeksi Saluran Cerna terhadap Status Gizi Pendek
29
d) Beberapa cacing yang ditularkan melalui tanah juga menyebabkan hilangnya nafsu makan dan, karenanya,
mengurangi asupan nutrisi dan kebugaran fisik. Secara khusus, T.trichiura dapat menyebabkan diare dan
disentri.
Penelitian di Ekuador mengenai STH dan status gizi didapatkan hasil bahwa 257 (27,9%) anak-anak terinfeksi
dengan setidaknya satu parasit STH. Prevalensi Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides dan cacing tambang
masing-masing adalah 19,3%, 18,5% dan 5,0%. Malnutrisi terjadi pada 14,2% anak-anak dan paling sering
adalah anak pendek (12,3%). Dibandingkan dengan daerah lain, anak sekolah di wilayah Amazon memiliki
prevalensi STH tertinggi (58,9%) di mana proporsi infeksi yang lebih besar adalah intensitas sedang/berat
(45,6%) dan memiliki prevalensi kekurangan gizi tertinggi (20,4%). Analisis statistik didapatkan hasil
hubungan positif yang bermakna antara infeksi sedang sampai berat dengan A. lumbricoides dan malnutrisi
(disesuaikan OR 1,85, 95% CI 1,04-3,31, p=0,037)20.
Penelitian mengenai hubungan antara infeksi STH, hemoglobin dan indeks perkembangan anak di Distrik
Manufahi, Timor Leste mendapatkan hasil bahwa tidak ada intensitas infeksi N.americanus yang dikaitkan
dengan pendek, namun infeksi Ascaris intensitas tinggi dikaitkan dengan risiko relatif lebih tinggi untuk pendek.
Hasil lainnya adalah infeksi Ancylostoma dikaitkan dengan pendek21
. Penelitian di kota Medan mendapatkan
hasil bahwa dari 140 anak yang terinfeksi STH, 8,6% terinfeksi dengan Ascaris lumbricoides, 17,1% dengan
Trichuris trichiura dan 74,3% dengan infeksi campuran (Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura). Penelitian
ini juga menemukan bahwa anak yang terinfeksi STH lebih banyak secara signifikan dengan kurang gizi (kurus)
daripada kelompok yang tidak terinfeksi22
.
Spesies yang tergolong protozoa intestinal dan terutama yang dapat menimbulkan infeksi saluran pencernaan
pada manusia yaitu, dari kelas Rhizopoda adalah Entamoeba histolytica, kelas Mastigophora adalah Giardia
lamblia dan kelas Sporozoa adalah Blastocystis hominis. Jenis protozoa yang sering menjadi penyebab diare
adalah Entamoeba histolytica. Terdapat juga jenis protozoa intestinal lain seperti, Entamoeba coli, Endolimax
nana dari kelas Rhizopoda, Balantidium coli dari kelas Ciliata, dan Isospora belli, Cryptosporidium parvum serta
Cyclospora cayetanesis dari kelas Sporozoa.
Amebiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Entamoeba histolytica. Amebiasis dapat mengenai
siapa saja, meskipun lebih umum pada orang yang hidup di daerah tropis dengan sanitasi yang buruk. Dalam
daur hidupnya Entamoeba histolytica mempunyai 3 stadium yaitu bentuk histolitika, minuta dan kista. Bentuk
histolitika dan minuta adalah bentuk trofozoit. Perbedaan antara kedua bentuk trofozoit tersebut adalah bentuk
histolitika bersifat patogen dan mempunyai ukuran yang lebih besar dari bentuk minuta. Bentuk histolitika
dapat hidup di jaringan hati, paru, usus besar, kulit, otak, dan vagina.
III. Infeksi Protozoa Saluran Cerna Manusia
A. Spesies Protozoa
30
Giardia intestinalis (Giardia duodenalis, Giardia lamblia) adalah parasit dapat menyerang manusia dan hewan
peliharaan seperti anjing serta kucing. Tanda dan gejala umum infeksi Giardia adalah diare, perut bergas,
ketidaknyamanan perut, mual, dan muntah. Giardia lamblia mempunyai dua bentuk yaitu trofozoit dan kista.
Meskipun trofozoit ditemukan di dalam tinja tetapi trofozoit tidak dapat hidup di luar tubuh manusia. Kista
adalah bentuk infeksius G.lamblia yang resisten terhadap berbagai macam gangguan di luar pejamu dan dapat
bertahan hidup selama sebulan di air atau tanah.
Blastocystis hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di sampel feses manusia, baik pada pasien
yang simtomatik maupun pasien yang sehat. B. hominis mempunyai 4 bentuk, yaitu vakuolar, granular, ameboid
dan bentuk kista. Vakuolar adalah bentuk yang paling sering ditemukan dalam tinja maupun biakan. Di tengah
ada struktur yang mirip vakuol yang tampak transparan dan refraktil dengan mikroskop phase contrast. Vakuol
ini dilapisi permukaan yang mudah dilihat dengan tinta India. Bentuk granular berasal dari stadium vakuolar,
fungsinya dalam dalam daur hidup B. hominis masih belum diketahui. Ameboid mempunyai bentuk yang tidak
beraturan dan banyak ditemukan di dalam tinja maupun biakan namun aktivitas ameboid sukar dilihat.
Sedangkan kista B. hominis berbentuk polimorfik, tetapi kebanyakan tampak oval atau sirkular, dengan atau
tanpa lapisan membrane di sebelah luarnya. Fungsi kista masih belum jelas.
E.histolytica ditemukan hampir di seluruh dunia, tetapi prevalensi tertinggi didapatkan di negara-negara
berkembang terutama di daerah endemik seperti Durban, Ibadan dan Kampala di Afrika mencapai 50%. Angka
mortalitas diperkirakan 75.000 pertahun. Infeksi E.histolytica dapat melalui makanan dan air serta melalui
kontak manusia ke manusia. Entamoeba histolytica, agen penyebab amebiasis manusia, tetap menjadi penyebab
signifikan morbiditas dan mortalitas di negara-negara berkembang dan bertanggung jawab atas 100.000
kematian di seluruh dunia setiap tahun23
. Entamoeba dispar, secara morfologis tidak dapat dibedakan dengan E.
histolytica. Demikian pula Entamoeba moshkovskii secara morfologis identik dengan E. histolytica dan E. dispar.
Satu-satunya spesies yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah E. histolytica. Studi terbaru
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari semua infeksi E. histolytica berkembang menjadi gejala klinis
pada inang dan terdapat perbedaan tingkat populasi antara strain E. histolytica yang diisolasi dari individu tanpa
gejala dan individu yang bergejala. Faktor-faktor yang mendasari hasil klinis dari infeksi E. histolytica sebagian
besar belum diketahui.
Giardiasis terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi lebih tinggi dengan kondisi sanitasi buruk. Giardiasis dapat
mengenai semua golongan umur, tetapi pada daerah endemis infeksi lebih sering terjadi pada bayi. Giardiasis
adalah penyakit protozoa patogen yang paling sering dilaporkan di Amerika Serikat. Manusia adalah reservoir
utama parasit, tetapi berbagai hewan membawa Giardia spp. mirip dengan yang menginfeksi manusia. Pada
awalnya, genus dianggap mengandung banyak spesies khusus inang, tetapi saat ini diyakini bahwa hanya dua
spesies yang berbeda secara morfologis yang menginfeksi hewan. Salah satunya, G. duodenalis (termasuk
B. Epidemiologi Infeksi Protozoa
31
G. lamblia) secara alami menginfeksi manusia, berang-berang, coyote, sapi, kucing, dan anjing. Tidak ada bukti
yang terdokumentasi penularan dari anjing ke manusia. Infeksi menyebar langsung dari orang ke orang melalui
kontaminasi tinja-oral dengan kista atau secara tidak langsung melalui penularan dalam air dan kadang-kadang
makanan. Banyak wabah di seluruh masyarakat berasal dari sumber air yang terkontaminasi feses. Penularan
juga terjadi di antara homoseksual pria yang melakukan praktik seksual oral-anal.
Blastocystis spp telah diamati di seluruh dunia. Organisme ini berada di usus besar dan sekum anak-anak dan
orang dewasa. Mode transmisi tidak sepenuhnya dipahami; penularan fecal-oral telah dipostulasikan. Beberapa
penulis berpendapat bahwa air yang terkontaminasi juga dapat menjadi sumber infeksi. Blastocystis spp juga
telah ditemukan pada hewan termasuk babi, monyet, tikus, dan unggas. Tampaknya ada kekhususan host yang
buruk; penularan terjadi dari manusia ke manusia dan antara manusia dan hewan. Infeksi Blastocystis lebih
umum di antara individu dengan paparan pekerjaan terhadap hewan, mendukung potensi penularan zoonosis.
Prevalensi Blastocystis spp bervariasi antara negara dan antara masyarakat. Secara umum, perkiraan prevalensi
Blastocystis spp lebih tinggi di negara berkembang daripada negara maju (masing-masing 30 hingga 50 persen
berbanding 5 hingga 10 persen). Ini mungkin terkait dengan kebersihan yang buruk, paparan hewan, dan
konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi. Dalam satu penelitian dari Senegal, 100 persen dari 93 sampel
tinja positif untuk Blastocystis spp. Dalam sebuah studi dari Kanada, 8 persen sampel tinja yang diserahkan ke
laboratorium rujukan positif untuk Blastocystis spp; ketika Blastocystis adalah satu-satunya organisme yang
diidentifikasi, 76 persen dari subyek terus memendam parasit dua bulan setelah deteksi awal.
Siklus hidup dari seluruh ameba usus hampir sama. Bentuk yang infektif adalah kista. Setelah tertelan, kista
akan mengalami eksistasi di ileum bagian bawah menjadi trofozoit kembali. Trofozoit kemudian memperbanyak
diri dengan cara belah pasang. Trofozoit kerap mengalami enkistasi (merubah diri menjadi bentuk kista). Kista
akan dikeluarkan bersama tinja. Bentuk trofozoit dan kista dapat dijumpai di dalam tinja, namun trofozoit
biasanya dijumpai pada tinja yang cair. E. histolytica bersifat invasif, sehingga trofozoit dapat menembus dinding
usus dan kemudian beredar di dalam sirkulasi darah (hematogen).
Trofozoit dapat menempel pada mukosa usus halus dengan bantuan sucking disc, sehingga mengganggu
penyerapan makanan. Kelainan di saluran cerna dapat menyebabkan defisiensi zat gizi, terutama vitamin, asam
folat, protein dan gammaglobulin. Sindrom malabsorbsi dan steatorrhea dapat timbul dan merupakan penanda
infeksi berat. Hubungan infeksi protozoa dengan status gizi terjadi tidak langsung, tetapi melalui mekanis
kerusakan saluran cerna dalam bentuk malabsorbsi.
C. Daur Kehidupan Protozoa yang Menginfeksi Saluran Cerna Manusia
D. Hubungan Infeksi Protozoa yang Menginfeksi Saluran Cerna terhadap Gizi Pendek
32
Penelitian mengenai hubungan antara infeksi STH, hemoglobin dan indeks perkembangan anak di Distrik
Manufahi, Timor Leste menemukan bahwa anak yang terinfeksi STH lebih banyak secara signifikan dengan
kurang gizi (kurus) daripada kelompok yang tidak terinfeksi.
Infeksi protozoa pada saluran cerna menyebabkan defisiensi zat gizi, karena protozoa menyebabkan
kerusakan saluran cerna dalam bentuk malabsorbsi. Efek dari malabsorbsi pada balita adalah
terhambatnya proses pertumbuhan yang bisa menyebabkan terjadinya stunting.
Kerugian lain yang timbul akibat infeksi protozoa dan cacing adalah kerugian secara ekonomi. Hasil
penelitian pada 1.126 anak di Kabupaten Nunukan tahun 2010 menyebutkan bahwa total kerugian
finansial akibat kecacingan pada tahun 2010 sebesar 1.276.666.763 rupiah.
Hasil penelitian pada anak sekolah dasar di tepi sungai Batanghari adalah bahwa terdapat beberapa
perilaku yang menyebabkan anak-anak berisiko terinfeksi parasit atau pun cacing usus. Perilaku tersebut
antara lain tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan atau setelah buang air besar, berenang di
sungai dan mandi kurang dari dua kali sehari. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu kondisi sosial seperti
lingkungan rumah padat penduduk, lingkungan dan sanitasi buruk serta intensitas anak dengan alam
terbuka.
Kesimpulan
Fransisca RO, Iriani AD, Mutiksa FA, Izati S, Utami RK. Hubungan Infeksi Parasit Usus dengan Pengetahuan
Perilaku Hidup Bersih Sehat pada Anak SD Bekasi , 2012 (The prevalance of intestinal parasitic infection
among primary school children in Bekasi in 2012 and its association with knowledge level about clean .
Jurnal Kesehatan Indonesia. 2012;3(1):2-6.
Nababan D. Mother and Child Nutrition; (A Review of Stunting Studies). Int J Sci Basic Appl Res ISSN
2307-4531. 2015;4531:13-20.
Andayasari L. Kajian epidemiologi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan Yang Disebabkan Oleh Amuba Di
Indonesia. Media Litbang Kesehatan. 2011;21:1-9.
Sinniah B, Hassan AKR, Sabaridah I, Soe MM, Ibrahim Z, Ali O. Prevalence of intestinal parasitic infections
among communities living in different habitats and its comparison with one hundred and one studies
conducted over the past 42 years (1970 to 2013) in Malaysia. Trop Biomed. 2014;31(2):190-206.
Zakeri A. Helminth-induced apoptosis: a silent strategy for immunosuppression. Parasitology. 2017:1-14.
doi:10.1017/S0031182017000841.
WHO. Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium Kesehatan ( Manual of Basic Techniques for A Health
Laboratory ), Alih Bahasa, Chairlan, Estu Lestari, Editor Bahasa Indonesia, Albertus Agung Mahode.; 2011.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/42295/4/9241545305_ind.pdf.
Piwoz E, Sundberg S, Rooke J. Promoting Healthy Growth : What Are the Priorities for Research and Action?
1 , 2. Adv Nutr An Int Rev J. 2012;(3):234-241. doi:10.3945/an.111.001164.234
Daftar Pustaka
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
33
Turnbaugh PJ, Ridaura VK, Faith JJ, Rey FE, Knight R, Gordon JI. The effect of diet on the human gut
microbiome: a metagenomic analysis in humanized gnotobiotic mice. Sci Transl Med. 2009;1(6):6ra14.
doi:10.1126/scitranslmed.3000322.
WHO. Soil-transmitted helminth infections - WHO. 2016;(3):2-5.
Despommier DD, Griffin DO, Gwadz RW, et al. Parasitic Diseases Sixth Edition Chevalier of the Nation,
Republic of Mali.; 1003.
Incidence I, Collaborators P. Global , regional , and national incidence , prevalence , and YLDs for 301 acute
and chronic diseases and injuries for 188 countries , 1990-2013: a systematic analysis for the Global
Burden of Disease Study 2013. 2013:1990-2013. https://eprints.qut.edu.au/89421/7/89421a.pdf.
Suriptiastuti. Infeksi soil-transmitted helminth: ascariasis, trichiuriasis dan cacing tambang. Universal Med.
2006;25(2):84-93.
13. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral PP dan PL. Pedoman Pengendalian Kecacingan.
2012:1-63.
Kesetyaningsih TW, Riswari RA, Pitaka RT. Distribusi Prevalensi Infestasi Parasit Usus pada Balita Penderita
Gizi Buruk di Kasihan, Bantul, Yogyakarta Berdasarkan Faktor Risiko. Mutiara Med. 2010;10(2):135-141.
Journal Z. Prevalence of soil-transmitted helminths (sth) in primary school children in subdistrict of Malinau
Kota , District of Malinau , East Kalimantan Province, Prevalensi soil transmitted helminth ( sth ) pada anak
sekolah dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabu. 2014;5(1):43-48.
Hardiyanti LT, Umniyati SR. Higiene buruk dan infeksi parasit usus pada anak sekolah dasar di tepi sungai
Batanghari.
Johan Ade Wicaksono C, Suswaty S, Heru Apriantoro N, Sasongko A. Journal of Vocational Health Studies
www.e-journal.unair.ac.id/index.php/JVHS Journal of Vocational Health Studies. Elseveir. 2018;01:97-101.
doi:10.20473/jvhs.
Medika E, No VOL, Luh N, et al. Hubungan Perilaku Higienitas Diri Dan Sanitasi Sekolah dengan Infeksi Soil
Transmitted Helminths pada Siswa Kelas III-IV Sekolah Dasar Negeri No. 5 Delod Peken Tabanan Tahun
2014 Program Studi Pendidikan Dokter , Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran U. 2017;6(5):5-8.
Losses F, To DUE, Case H, et al. Kerugian finansial akibat kecacingan… (Indriyati L; dkk). Penel Gizi Makan.
2014;37(2):155-160.
Moncayo AL, Lovato R, Cooper PJ. . BMJ Open. 2018;8(4):1-9. doi:10.1136/bmjopen-2017-021319.
Campbell SJ, Nery S V., D’Este CA, et al. Investigations into the association between soil-transmitted
helminth infections, haemoglobin and child development indices in Manufahi District, Timor-Leste. Parasites
and Vectors. 2017;10(1):1-15. doi:10.1186/s13071-017-2084-x.
Simarmata N, Sembiring T, Ali M. Nutritional status of soil-transmitted helminthiasis-infected and
uninfected children. Paediatr Indones. 2016;55(3):136. doi:10.14238/pi55.3.2015.136-41.
Ali IKM, Clark CG, Petri WA. Molecular epidemiology of amebiasis. Infect Genet Evol. 2008;8(5):698-707.
doi:10.1016/j.meegid.2008.05.004.
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
34
2020
Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI
Jl. HR Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9
Jakarta Selatan
pusdatin.kemkes.go.id pusdatin kemenkes Pusdatin KemKes
pusdatinkemkes pusdatinkemenkes

More Related Content

Similar to buletin-Situasi-Stunting-di-Indonesia_opt-1.pdf

Warta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136.pdf
Warta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136.pdfWarta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136.pdf
Warta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136.pdf
rasya_wirayudha
 
372038775-Analisis-SWOT-Stunting.docx
372038775-Analisis-SWOT-Stunting.docx372038775-Analisis-SWOT-Stunting.docx
372038775-Analisis-SWOT-Stunting.docx
MakbulSiregar
 
iidi_cegah_stunting untuk anak anak diindonesia
iidi_cegah_stunting untuk anak anak diindonesiaiidi_cegah_stunting untuk anak anak diindonesia
iidi_cegah_stunting untuk anak anak diindonesia
zurninurman
 
pptstuntingdes2022-230116154802-1b3c3ab9.pptx
pptstuntingdes2022-230116154802-1b3c3ab9.pptxpptstuntingdes2022-230116154802-1b3c3ab9.pptx
pptstuntingdes2022-230116154802-1b3c3ab9.pptx
agriSagala1
 
Materi Dinas Kesehatan Prov. Sulteng Ibu Isti.pptx
Materi Dinas Kesehatan Prov. Sulteng Ibu Isti.pptxMateri Dinas Kesehatan Prov. Sulteng Ibu Isti.pptx
Materi Dinas Kesehatan Prov. Sulteng Ibu Isti.pptx
HarrySetiawan45
 
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN STUNTING..pptx
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN STUNTING..pptxPENCEGAHAN DAN PENANGANAN STUNTING..pptx
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN STUNTING..pptx
RidaNengsih
 

Similar to buletin-Situasi-Stunting-di-Indonesia_opt-1.pdf (20)

Buku Ringkasan Stunting.pdf
Buku Ringkasan Stunting.pdfBuku Ringkasan Stunting.pdf
Buku Ringkasan Stunting.pdf
 
Buku Ringkasan Stunting TNP2K.pdf
Buku Ringkasan Stunting TNP2K.pdfBuku Ringkasan Stunting TNP2K.pdf
Buku Ringkasan Stunting TNP2K.pdf
 
Warta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136(1).pdf
Warta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136(1).pdfWarta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136(1).pdf
Warta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136(1).pdf
 
stunting.pptx
stunting.pptxstunting.pptx
stunting.pptx
 
Warta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136.pdf
Warta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136.pdfWarta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136.pdf
Warta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136.pdf
 
372038775-Analisis-SWOT-Stunting.docx
372038775-Analisis-SWOT-Stunting.docx372038775-Analisis-SWOT-Stunting.docx
372038775-Analisis-SWOT-Stunting.docx
 
progker stunting 080.pptx
progker stunting 080.pptxprogker stunting 080.pptx
progker stunting 080.pptx
 
Stranas-Percepatan-Pencegahan-Stunting_Periode-2018-2024.pdf
Stranas-Percepatan-Pencegahan-Stunting_Periode-2018-2024.pdfStranas-Percepatan-Pencegahan-Stunting_Periode-2018-2024.pdf
Stranas-Percepatan-Pencegahan-Stunting_Periode-2018-2024.pdf
 
Paper pak patra
Paper pak patraPaper pak patra
Paper pak patra
 
iidi_cegah_stunting untuk anak anak diindonesia
iidi_cegah_stunting untuk anak anak diindonesiaiidi_cegah_stunting untuk anak anak diindonesia
iidi_cegah_stunting untuk anak anak diindonesia
 
Modul Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK R) BKKBN Program Prioritas Nasion...
Modul Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK R) BKKBN Program Prioritas Nasion...Modul Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK R) BKKBN Program Prioritas Nasion...
Modul Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK R) BKKBN Program Prioritas Nasion...
 
pptstuntingdes2022-230116154802-1b3c3ab9.pptx
pptstuntingdes2022-230116154802-1b3c3ab9.pptxpptstuntingdes2022-230116154802-1b3c3ab9.pptx
pptstuntingdes2022-230116154802-1b3c3ab9.pptx
 
Materi Dinas Kesehatan Prov. Sulteng Ibu Isti.pptx
Materi Dinas Kesehatan Prov. Sulteng Ibu Isti.pptxMateri Dinas Kesehatan Prov. Sulteng Ibu Isti.pptx
Materi Dinas Kesehatan Prov. Sulteng Ibu Isti.pptx
 
Profil kesehatan-indonesia-2013
Profil kesehatan-indonesia-2013Profil kesehatan-indonesia-2013
Profil kesehatan-indonesia-2013
 
Triple Burden of Malnutrition.pdf
Triple Burden of Malnutrition.pdfTriple Burden of Malnutrition.pdf
Triple Burden of Malnutrition.pdf
 
BUKU-REFERENSI-STUDY-GUIDE-STUNTING_2018.pdf
BUKU-REFERENSI-STUDY-GUIDE-STUNTING_2018.pdfBUKU-REFERENSI-STUDY-GUIDE-STUNTING_2018.pdf
BUKU-REFERENSI-STUDY-GUIDE-STUNTING_2018.pdf
 
Materi dasar rev-15 feb-2013
Materi dasar rev-15 feb-2013Materi dasar rev-15 feb-2013
Materi dasar rev-15 feb-2013
 
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN STUNTING..pptx
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN STUNTING..pptxPENCEGAHAN DAN PENANGANAN STUNTING..pptx
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN STUNTING..pptx
 
STUNTING.pdf
STUNTING.pdfSTUNTING.pdf
STUNTING.pdf
 
I Made Yudhistira D, S.Psi, M.Psi (Direktur Bina Penggerakan Lini Lapangan) M...
I Made Yudhistira D, S.Psi, M.Psi (Direktur Bina Penggerakan Lini Lapangan) M...I Made Yudhistira D, S.Psi, M.Psi (Direktur Bina Penggerakan Lini Lapangan) M...
I Made Yudhistira D, S.Psi, M.Psi (Direktur Bina Penggerakan Lini Lapangan) M...
 

Recently uploaded

evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administratorevaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
Di Prihantony
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
MuhammadNorman9
 
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
citraislamiah02
 
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdfRUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
NezaPurna
 
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
iman333159
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
AmandaJesica
 

Recently uploaded (14)

UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
 
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
 
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptxSOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
 
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administratorevaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
 
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
 
Manajemen Kontrak pada Aplikasi SPANpptx
Manajemen Kontrak pada Aplikasi SPANpptxManajemen Kontrak pada Aplikasi SPANpptx
Manajemen Kontrak pada Aplikasi SPANpptx
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
 
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
 
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdfRUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
 
Agenda III - Organisasi Digital - updated.pdf
Agenda III - Organisasi Digital - updated.pdfAgenda III - Organisasi Digital - updated.pdf
Agenda III - Organisasi Digital - updated.pdf
 
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
 
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
 

buletin-Situasi-Stunting-di-Indonesia_opt-1.pdf

  • 1. Situasi Stunting di Indonesia Penulis : Khairani, SKM, MKM Topik Terkait Pemantauan Pertumbuhan Untuk Pencegahan Stunting Penulis : Andri Mursyita, SKM, MKM Hubungan Antara Infeksi Parasit Usus dengan Pendek Penulis : Dr. Syarief Darmawan, S.St, M.Kes Topik Utama Semester II, 2020 ISSN 2088 - 270X
  • 2. Daftar Isi Situasi Stunting di Indonesia Penulis : Khairani, MKM, SKM Pemantauan Pertumbuhan Untuk Pencegahan Stunting Penulis : Andri Mursyita, SKM, MKM Hubungan Antara Infeksi Parasit Usus dengan Pendek Penulis : Dr. Syarief Darmawan, S.St, M.Kes 01 15 26
  • 3. Salam Redaksi Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya atas tersusunnya Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan edisi semester II tahun 2020. Kami selalu berusaha untuk memberikan informasi yang bermanfaat, menarik dan membuka wawasan terkait dengan permasalahan Kesehatan di sekitar kita. Kali ini tim redaksi Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan mengangkat sebuah tema “Situasi Stunting di Indonesia”. Stunting yang terjadi di Indonesia saat ini masih menjadi Beban Gizi Ganda atau Double Burden yang perlu segera diselesaikan oleh pemerintah dan lintas sektor terkait. Kondisi stunting dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan dan kesehatan anak dari bayi bahkan sampai dewasa, sehingga dapat mempengaruhi generasi sumber daya manusia dikemudian hari. Buletin ini juga membahas tema yang berkaitan dengan situasi stunting di Indonesia yaitu Pemantauan Pertumbuhan untuk Pencegahan Stunting serta Hubungan Antara Infeksi Parasit Usus dengan Pendek. Pada kesempatan ini kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut berkontribusi dalam penyusunan buletin ini. Semoga apa yang telah kami susun ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan memberikan kontribusi khususnya dalam upaya penanggulangan stunting di Indonesia. Selamat membaca.......! Redaksi
  • 4. Tim Redaksi Pusat Data dan Informasi Jl. H.R. Rasuna Said Blok x-5, Kav 4-9 Jakarta 12950 Pelindung Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI drg. Oscar Primadi, MPH Pengarah Kepala Pusat Data dan Informasi dr. Anas Ma’ruf, MKM Redaktur Kepala Bidang Pengelolaan Data dan Informasi Boga Hardhana, S.Si, MM Redaktur Kasubbid Diseminasi Informasi Winne Widiantini, SKM, MKM Penyunting JFT Statistisi Ahli Muda Khairani, SKM, MKM Desainer Grafis JFT Pranata Komputer Ahli Muda Dian Mulya Sari, S.Ds Kesekretariatan Staf Pusat Data dan Informasi Prillia Syafira, SKM
  • 5. Sekapur Sirih Kepala Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI dr. Anas Ma’ruf, MKM Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Saat ini Indonesia masih bekerja keras untuk mengatasi masalah kekurangan gizi, salah satunya adalah stunting atau tubuh pendek. Stunting merupakan kondisi anak yang memiliki tinggi badan kurang jika dibandingkan dengan usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir. Akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah anak berusia dua tahun. Anak dengan kondisi stunting akan berisiko memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal dan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Dampak stunting tidak hanya dialami oleh anak tetapi dapat berpengaruh di masa yang akan datang hingga dewasa, hal ini dapat berisiko menurunnya tingkat produktivitas. Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas masyarakat Indonesia. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan. Upaya pemerintah untuk penanggulangan stunting diantaranya yaitu strategi nasional percepatan pencegahan stunting. Upaya percepatan penurunan stunting perlu ditunjang dengan upaya intervensi yang bersifat spesifik dan sensitif agar tercapainya target angka stunting sebesar 14% di tahun 2024. Pada tahun 2020 ditetapkan terdapat 260 kabupaten/kota yang menjadi lokasi prioritas stunting. Upaya yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga ini diharapkan dapat menurunkan angka stunting di Indonesia. Buletin ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan kepada masyarakat di Indonesia tentang situasi, kondisi, faktor risiko, penyebab, pencegahan, dan dampak stunting. Semoga informasi yang kami sajikan dapat bermanfaat dan kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan ini. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jakarta, 30 Desember 2020
  • 6. Penulis Khairani, SKM, MKM Jabatan Fungsional Statistisi Ahli Muda di Pusat Data dan Informasi. Menamatkan Program Sarjana dan Pasca Sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Biostatistik dan Kependudukan di Universitas Indonesia. Situasi Stunting di Indonesia Topik Utama Stunting adalah suatu kondisi dimana anak mengalami gangguan pertumbuhan, sehingga tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya, sebagai akibat dari masalah gizi kronis yaitu kekurangan asupan gizi dalam waktu yang lama. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang standar antropometri penilaian status gizi anak, stunting atau pendek merupakan status gizi yang didasarkan pada indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan zscore kurang dari -2 SD (standar deviasi). Stunting bukan hanya masalah gangguan pertumbuhan fisik saja, namun juga mengakibatkan anak menjadi mudah sakit, selain itu juga terjadi gangguan perkembangan otak dan kecerdasan, sehingga stunting merupakan ancaman besar terhadap kualitas sumber daya manusia di Indonesia. 01 Gambar 1. Proporsi Kasus Stunting di Dunia Sumber: https://twitter.com/CIFFchild/status/689126684981891073 Sekitar 151 juta anak di dunia mengalami stunting tiga perempat dari populasi anak dengan stunting berada di Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan LINGKUP PERMASALAHAN 55% 39% ASIA AFRIKA 55% populasi anak stunting terdapat di Asia 39% populasi anak stunting terdapat di Afrika dibawah 5 tahun
  • 7. Fokus dari seluruh target tersebut antara lain gizi masyarakat, sistem kesehatan nasional, akses kesehatan dan reproduksi, Keluarga Berencana (KB), serta sanitasi dan air bersih. 02 Gambar 2. Prevalensi Stunting di Berbagai Benua Tahun 2019 Kondisi di Indonesia berdasarkan data Studi Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) 2019 masih tergolong tinggi, dimana prevalensi stunting sebesar 27,67%. Jika dibandingkan dengan informasi pada peta di atas, maka prevalensi stunting di Indonesia masih lebih tinggi dari prevalensi di Asia Tenggara sebesar 24,7%. Gambar 3. Perbandingan Prevalensi Stunting di Asia dan Afrika Tahun 2019 Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020 Pada tahun 2019 lebih dari setengah anak balita yang stunting berada di Asia dan dua dari lima anak yang stunting berada di Afrika. AFRIKA ASIA 40% 54% 27% 69% 24% 45% Pada tahun 2019, lebih dari dua pertiga dari anak usia di bawah 5 tahun yang wasting berada di Asia dan lebih dari seperempatnya berada di Afrika. pada tahun 2019, hampir setengah dari anak usia di bawah 5 tahun yang obesitas tinggal di Asia dan lebih dari seperempatnya tinggal di Afrika Stunting Wasting Obesitas Tujuh sub-regional memiliki prevalensi stunting yang tinggi atau sangat tinggi Persentase balita stunting, berdasarkan WHO, tahun 2019 GLOBAL 21.3% Oceania ** Amerika Utara*** Afrika Utara Karibia Amerika Selatan Amerika Tengah Afrika Barat Afrika Selatan Afrika Tengah Afrika Timur Asia Tenggara Asia Tengah Asia Barat Asia Timur Asia Selatan 2.6 8.1 12.6 7.3 29.0 31.5 27.7 17.6 34.5 12.7 9.9 31.7 4.5 24.7 38.4 >30% (sangat tinggi) 20-<30 (tinggi) 10-20% (medium) 2.5-<10% (rendah) <2.5% (sangat rendah) tidak ada data Pembangunan sektor kesehatan untuk Sustainable Development Goals (SDGs) sangat tergantung kepada peran aktif seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah pusat dan daerah, parlemen, dunia usaha, media massa, lembaga sosial kemasyarakatan, organisasi profesi dan akademisi, mitra pembangunan serta Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Catatan * Asia dan Asia Timur kecuali Jepang; **Oceania tidak termasuk Australia dan Selandia Baru; ***Perkiraan angka stunting sub-regional Amerika Utara berdasarkan data Amerika Serikat. Tidak ada angka estimasi tersedia untuk regional atau sub regional kategori berkembang di Eropa, Autralia dan Selandia Baru disebabkan cakupan populasi tidak memenuhi syarat. menggambarkan regional/sub regional dimana perubahan terjadi secara signifikan Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020
  • 8. Gambar 4. Perbandingan Prevalensi Stunting di Berbagai Benua Tahun 2000 dan 2019 Gambar 5. Proporsi Stunting pada Balita di Asia Tahun 2019 Sumber: Afrika adalah satu-satunya benua dimana prevalensi stunting terus meningkat Trend stunting pada balita dalam angka (juta), berdasarkan regional WHO, tahun 2000 dan 2019 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Angka t(juta) Afrika Selatan Afrika Utara Afrika Tengah Afrika Barat Afrika Timur 1.92.0 5.05.1 7.0 9.5 14.8 17.8 21.1 23.1 1.7 0.8 5.3 3.4 18.4 4.1 21.0 13.9 90.2 55.9 Asia Tengah Asia Barat Asia Timur** Asia Tenggara Asia Selatan Karibia Amerika Tengah Amerika Selatan Oceania** Amerika Utara*** 0.6 0.3 3.9 2.0 5.0 2.4 0.5 0.6 0.70.6 2000 2019 49.7 juta 57.5 juta 136.6 juta 78.2 juta 9.5 juta 4.7 juta Afrika Asia* Amerika Latin dan Karibia Catatan * Asia dan Asia Timur kecuali Jepang; **Oceania tidak termasuk Australia dan Selandia Baru; ***Perkiraan angka stunting sub-regional Amerika Utara berdasarkan data Amerika Serikat. Tidak ada angka estimasi tersedia untuk regional atau sub regional kategori berkembang di Eropa, Autralia dan Selandia Baru disebabkan cakupan populasi tidak memenuhi syarat. menggambarkan regional/sub regional dimana perubahan terjadi secara signifikan 2 dari 5 anak stunting di dunia terdapat di Asia Tenggara angka (juta) stunting balita, berdasarkan sub regional Amerika Serikat, 2019 Amerika Latin dan Caribbean 4.7 juta Afrika 57.5 juta Asia* 78.2 juta Oceania ** 0.6 juta Amerika Utara*** Afrika Utara Amerika Amerika Selatan Amerika Tengah Afrika Barat Afrika Selatan Afrika Tengah Afrika Timur Asia Tenggara Asia Tengah Asia Barat Asia Timur GLOBAL 144.0 juta 55.9 4.1 3.4 13.9 23.1 5.1 17.8 9.5 2.0 2.0 2.4 0.3 0.6 0.8 ASIA SELATAN 03 Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020 Catatan * Asia dan Asia Timur kecuali Jepang; **Oceania tidak termasuk Australia dan Selandia Baru; ***Perkiraan angka stunting sub-regional Amerika Utara berdasarkan data Amerika Serikat. Tidak ada angka estimasi tersedia untuk regional atau sub regional kategori berkembang di Eropa, Autralia dan Selandia Baru disebabkan cakupan populasi tidak memenuhi syarat. menggambarkan regional/sub regional dimana perubahan terjadi secara signifikan Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020
  • 9. Indonesia merupakan salah satu negara dengan double burden atau masalah gizi ganda, yang ditandai dengan tingginya prevalensi stunting dan anemia pada ibu hamil. Berdasarkan data stunting JME, UNICEF World Bank tahun 2020, prevalensi stunting Indonesia berada pada posisi ke 115 dari 151 negara di dunia. Sebagai dampak dari pandemi COVID-19, tanpa adanya tindakan yang cukup dan tepat waktu, jumlah anak kekurangan gizi akut (wasting) diprediksi akan meningkat sebesar 15% (7 juta anak) di seluruh dunia pada setahun pertama pandemi ini. Proporsi Stunting di Indonesia Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 angka prevalensi stunting di Indonesia yaitu 36,8%, tahun 2010 yaitu 35,6%, dan pada tahun 2013 prevalensinya meningkat menjadi 37,2%, terdiri dari 18% sangat pendek dan 19,2% pendek. Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 30,8%. Berdasarkan batasan WHO Indonesia berada pada kategori masalah stunting yang tinggi. Balita ataupun Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan (TN2PK, 2017). Tabel 1. Estimasi Prevalensi Stunting Secara Global Stunting Wasting and Severe Wasting Overweight 2000 2019 % stunted (sedang dan berat) 32.4 [30.9-34.0] foot note % stunted (sedang dan berat) 21.3 [19.7-22.8] foot note 2019 2019 % wasted (sedang dan berat) foot note % wasted (berat) 2000 2019 % overweight (sedang dan berat) foot note % overweight (sedang dan berat) Wilayah Amerika Serikat Global Regional belum berkembang Afrika Afrika Timur Afrika Tengah Afrika Utara Afrika Selatan Afrika Barat Asia Asia Tengah Asia Timur Asia Selatan Asia Tenggara Asia Barat Amerika Latin dan Karibia Karibia Amerika Tengah Amreika Selatan Oceania Regional Maju Australia dan Selandia Baru Eropa Amerika Utara 35.7 [34.0-37.4] 37.9 [35.6-40.2] 45.8 [41.2-50.5] 39.7 [34.1-45.6] 24.2 [18.1-31.6] 32.8 [28.7-37.2] 36.0 [33.1-39.1] 37.8 [35.5-40.2] 28.2 [21.5-36.0] 19.2 [17.8-20.6] 49.7 [45.6-53.9] 38.5 [32.7-44.7] 23.0 [16.0-31.8] 16.8 [13.3-20.2] 15.3 [7.5-28.7] 23.7 [16.6-32.8] 13.8 [10.4-18.0] 37.0 [20.2-57.6] - 0.8 - 3.0 23.1 [21.4-24.8] 29.1 [26.8-31.4] 34.5 [30.7-38.5] 31.5 [26.4-37.0] 17.6 [11.6-25.7] 29.0 [25.5-32.8] 27.7 [23.8-32.0] 21.8 [19.3-24.3] 9.9 [7.9-12.3] 4.5 [4.1-4.9] 31.7 [4.1-4.9] 24.7 [18.7-31.9] 12.7 [6.2-24.0] 9.0 [6.1-11.8] 8.1 [3.5-17.8] 12.6 [8.0-19.3] 7.3 [4.3-11.9] 38.4 [21.9-58.1] - - - 2.6 6.9 [5.7-8.2] 7.6 [6.2-8.9] 6.4 [5.4-7.5] 5.3 [3.8-7.4] 6.7 [5.1-8.7] 7.2 [3.6-13.9] 3.3 [2.2-4.8] 7.5 [6.5-8.6] 9.1 [6.9-11.3] 2.4 [1.6-3.6] 1.7 [1.6-1.8] 14.3 [10.4-19.3] 8.2 [5.9-11.4] 3.7 [1.5-8.7] 1.3 [0.8-1.7] 2.9 [2.1-4.0] 0.9 [0.7-1.0] 1.3 [0.8-2.3] 9.5 [5.9-15.0 - - - 0.4] 2.1 [1.6-2.6] 2.3 [1.8-2.9] 1.8 [1.4-2.1] 1.1 [0.8-1.5] 2.2 [1.7-2.9] 3.1 [1.6-6.2] 0.9 [0.6-1.2] 1.8 [1.5-2.2] 2.9 [2.1-3.8] 0.6 [0.2-1.8] 0.4 [0.4-0.4] 4.4 [3.1-6.2] 3.6 [1.7-7.6] 1.1 [0.2-0.4] 0.3 [0.2-0.4] 0.9 [0.8-1.1] 0.2 [0.2-0.3] 0.2 [0.1-0.5] 3.6 [2.8-4.5] - - - 0.0 4.9 [4.3-5.5] 4.5 [4.0-5.0] 5.0 [4.1-5.9] 4.8 [3.7-6.2] 4.3 [2.9-6.4] 8.4 [4.8-14.4] 10.2 [7.1-14.4] 3.0 [2.3-4.0] 4.0 [3.3-15.2] 9.6 [5.9-15.2] 6.4 [5.8-7.1] 2.4 [1.5-4.1] 3.2 [2.5-4.0] 6.7 [4.9-9.2] 6.6 [5.5-7.7] 5.1 [3.9-6.5] 5.9 [4.7-7.3] 7.1 [5.7-8.9] 4.7 [3.3-6.5] - 8.7 [0.0-22.4] - 6.7 [6.4-6.9] 5.6 [4.9-6.4] 5.0 [4.3-5.7] 4.7 [3.5-6.0] 3.7 [2.9-4.6] 5.1 [3.3-7.6] 11.3 [5.6-21.5] 12.7 [8.6-18.3] 1.9 [1.4-2.5] 4.8 [3.8-5.8] 6.2 [3.3-11.3] 6.3 [5.5-7.2] 2.5 [1.5-4.4] 7.5 [4.3-12.6] 8.4 [4.6-15.0] 7.5 [6.7-8.4] 7.0 [3.6-13.2] 6.9 [5.9-8.2] 7.9 [6.9-9.1] 9.4 [6.1-14.4] - 20.7 [4.8-36.5] - 8.9 [8.6-9.2] 1 2 2 3 4 4 foot note foot note 04 Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020
  • 10. Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020 Gambar 5. Arah Kebijakan RPJMN Bidang Kesehatan Tahun 2020-2024 Gambar 6. Target Percepatan Penurunan Stunting RPJMN Kesehatan Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020 ARAH KEBIJAKAN RPJMN BIDANG KESEHATAN 2020-2024 Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta dengan penekanan pada penguatan pelayanan kesehatan dasar (Primary health care) dan peningkatan upaya promotif dan preventif didukung oleh STRATEGI RPJMN 2020-2024 Peningkatan kesehatan ibu, anak, KB, dan kesehatan reproduksi INOVASI DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI Percepatan perbaikan gizi masyarakat Peningkatan pengendalian penyakit Penguatan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) Peningkatan pelayanan kesehatan dan pengawasan obat dan makanan Skenario 1 Tahun 2019 27,7% Skenario 2 SKENARIO PERJALANAN PENDEMI COVID-19 Menurunkan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita Tahun 2024 14% 2020 2021 2022 2023 2024 14% 14% 2020 2021 2022 2023 2024 COVID-19 Pandemi COVID-19 Perlu INOVASI Berfikir dan Bertindak TIDAK BIASA APA? BAGAIMANA? 05
  • 11. Secara global, diperkirakan bahwa kasus wasting dan stunting masih meningkat diakibatkan adanya pandemi COVID-19. Pandemi menyebabkan banyak keluarga terdampak secara ekonomi, banyaknya kasus PHK menyebabkan perubahan akses terhadap makanan dan juga gangguan terhadap akses ke pelayanan kesehatan. Tanpa adanya tindakan yang cukup dan tepat waktu, jumlah anak wasting diprediksi akan meningkat sebanyak 15% atau sekitar 7 juta anak di seluruh dunia pada setahun pertama pandemi COVID-19. Penurunan 19. Gross Domestic Product (GDP) global setiap satu persen akan berakibat pada kenaikan jumlah anak stunting 0,7 juta di seluruh dunia (Unicef dan SUN Factsheet, 2020). Jumlah penderita stunting di Indonesia menurut hasil Riskesdas 2018 terus menurun. Tetapi langkah pencegahan stunting sangat perlu dilakukan, antara lain : 1. Memenuhi kebutuhan gizi sejak hamil 06 Tindakan yang relatif ampuh dilakukan untuk mencegah stunting pada anak adalah selalu memenuhi gizi sejak masa kehamilan. Lembaga kesehatan Millenium Challenge Account Indonesia menyarankan agar ibu yang sedang mengandung selalu mengonsumsi makanan sehat dan bergizi maupun suplemen atas anjuran dokter. Selain itu, perempuan yang sedang menjalani proses kehamilan juga sebaiknya rutin memeriksakan kesehatannya ke dokter atau bidan. 2. Beri ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan makanan pendamping atau MPASI. Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang dipilih bisa memenuhi gizi mikro dan makro yang sebelumnya selalu berasal dari ASI untuk mencegah stunting. WHO pun merekomendasikan fortifikasi atau penambahan nutrisi ke dalam makanan. Namun sebaiknya seorang ibu berhati-hati saat akan menentukan produk tambahan tersebut. Veronika Scherbaum, ahli nutrisi dari Universitas Hohenheim, Jerman, menyatakan ASI ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro dan makro. Oleh karena itu, ibu disarankan untuk tetap memberikan ASI Eksklusif selama enam bulan kepada sang buah hati. Protein whey dan kolostrum yang terdapat pada susu ibu pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi. 3. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI sehat 4. Terus memantau tumbuh kembang anak Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka, terutama dari tinggi dan berat badan anak. Bawa si Kecil secara berkala ke Posyandu maupun klinik khusus anak. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi ibu untuk mengetahui gejala awal gangguan dan penanganannya. 5. Selalu jaga kebersihan lingkungan Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan penyakit, terutama kalau lingkungan sekitar mereka kotor. Faktor ini pula yang secara tak langsung meningkatkan peluang stunting. Studi yang dilakukan di Harvard Chan School menyebutkan diare adalah faktor ketiga yang menyebabkan gangguan kesehatan tersebut. Sementara salah satu pemicu diare datang dari paparan kotoran yang masuk ke dalam tubuh manusia.
  • 12. Gambar di atas menyajikan 5 pilar upaya percepatan penurunan stunting , yang perlu ditunjang dengan upaya intervensi yang bersifat spesifik dan sensitif demi tercapainya target angka stunting sebesar 14% di tahun 2024. 5 Pilar Penurunan Stunting ini dimulai pada 260 kab/kota yang menjadi lokus stunting pada tahun 2020, untuk kemudian bertambah menjadi 514 kabupaten/kota di tahun 2024. Gambar 7. Adaptasi Integrasi Intervensi Anemia dan Stunting Pada Masa Pandemi COVID-19 Gambar 8. Upaya Penanggulangan Stunting Terintegrasi Sumber : Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020 Sumber : Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting, 2018-2024 5 PILAR 1. Komitmen dan visi kepemimpinan 2. Kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku 3. Konvergensi program, pusat, daerah, desa 4. Ketahanan pangan dan gizi 5. Pemantauan dan Evaluasi 1. Promosi konseling menyusui dan Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA) 2. Suplementasi gizi (TTD, Kapsul vit A, makanan tambahan balita dan bumil 3. Pemantauan tumbuh kembang balita 4. Tatalaksana gizi buruk 5. Imunisasi 1. Air bersih dan sanitasi 2. Bantuan pangan non tunai 3. Jaminan kesehatan nasional 4. Pendidikan anak usia dini 5. Program keluarga harapan 6. Bina keluarga Balita 7. Kawasan rumah pangan lestari 8. Fortifikasi pangan INTERVENSI Target stunting 14% Tahun 2024 260 kab/kota di 2020 Lokus 514 kab/kota di 2024 Spesifik Sensitif 1. Gizi Seimbang 2. Pemberian makanan kaya gizi --> PMT Lokal/Formula khusus 3. Diversifikasi Pangan 4. Peningkatan pengetahuan gizi, pertumbuhan & perkembangan -->bayi, balita, anak sekolah, dan remaja 5. Peningkatan pengetahuan pola asuh anak 6. Suplemen gizi 7. Fortifikasi gizi 8. Air Bersih 9. Sanitasi 10. Higiene Pre-natal Ibu malnutrisi Remaja putri malnutrisi 1. Gizi Seimbang 2. ASI EKSLUSIF 3. Pemberian makanan kaya gizi --> PMT Lokal/Formula khusus 4. Diversifikasi Pangan 5. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan 6. Stimulasi Mental 7. Imunisasi 8. Suplemen gizi 9. Fortifikasi gizi 10. Air Bersih 11. Sanitasi 12. Higiene Post-natal < 2 tahun _ Wasting Bayi berat badan rendah Stunting 07
  • 13. Pendek Sangat Pendek 18,0 18,8 2017 17,1 18,5 2010 19,2 18,0 2013 11,5 9,3 2018 Situasi Stunting di Indonesia Gambar di atas menerangkan beberapa penyebab terjadinya stunting, yang terdiri dari penyebab langsung dan tidak langsung. Ternyata faktor intake makanan, diare pada balita, serta imunisasi lengkap sebagai penyebab langsung dipengaruhi oleh penyebab tidak langsung seperti keluarga tidak memiliki sanitasi layak, kondisi rawan pangan pada penduduk, dan balita tidak dipantau pertumbuhannya secara rutin. Permasalahan multidimensi yang menjadi penyebab stunting memerlukan kerjasama dan upaya dari lintas Kementerian/Lintas Sektor untuk bersinergi dalam upaya percepatan penurunan stunting. Gambar 9. Diagram Penyebab Terjadi Masalah Stunting Sumber : Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020 KONDISI BALITA STUNTING DI INDONESIA Gambar 10. Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2007-2018 Sumber: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Balitbangkes Kemenkes RI Penyebab Langsung Anak 6-23 bulan makan tidak beragam 53,4% Diare Balita (Riskesdas 2018) 11% Belum mendapat Imunisasi Lengkap 42,1% STUNTING Balita 27,67% Penduduk Rawan Pangan (Riskesdas 2018) 7 Juta (FSVA, 2018) 45,4% Balita tidak dipantau pertambahannya secara rutin (Riskesdas 2018) 22,39% KK belum diakses terhadap sanitasi layak (Riskesdas 2018) Penduduk >15 tahun rerata mendapatkan pendidikan kurang dari 9 tahun 53,4% Penduduk Miskin 26 Juta (SUSENAS, 2018) (BPS, 2018) Penyebab Tidak Langsung Akar Masalah Permasalahan multidimensional, bukan sebatas kurang makan 08
  • 14. Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Upaya keberhasilan program pemerintah ditunjukkan melalui penurunan prevalensi balita pendek pada tahun 2018 menjadi 30,8%. Gambar 11. Proporsi Stunting pada Balita Menurut Provinsi Tahun 2019 Sumber : Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI, SSGBI 2019 Gambar di atas menyajikan proporsi stunting pada balita Indonesia berdasarkan hasil SSGBI 2019 yaitu sebesar 27,67%. Masih terdapat 18 Provinsi (52,94%) yang memiliki prevalensi stunting lebih tinggi dari angka nasional. Nusa Tenggara Timur Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Gorontalo Aceh Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Maluku Sumatera Utara Papua Maluku Utara Sumatera Selatan Kalimantan Timur Jawa Tengah Sumatera Barat Jawa Timur Bengkulu Lampung Kalimantan Utara Jawa Barat Papua Barat Banten Riau Sulawesi Utara DI Yogyakarta Jambi DKI Jakarta Kep. Bangka Belitung Kep. Riau Bali 43,82 40,38 37,85 34,89 34,18 32,3 31,75 31,45 31,44 31,26 30,59 30,38 30,11 29,35 29,07 28,98 28,09 27,68 27,47 26,86 26,86 26,25 26,25 26,21 24,58 24,11 23,95 21,18 21,04 21,03 19,96 19,93 16,82 14,42 0 10 20 30 40 50 INDONESIA : 27,67 Situasi Beberapa Indikator Penting Faktor Risiko Terjadinya Stunting di Indonesia 1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 09 2. Panjang Badan Lahir Pendek BBLR berdasarkan Riskesdas 2013 sebesar 10,2% kemudian menurun menjadi sebesar 6,2% pada tahun 2018, dan hal ini meningkatkan risiko stunting pasca lahir. Panjang Badan Lahir Pendek (PBLP) mengalami kenaikan sebesar 2,5% dari Riskesdas 2013 (20,2%) ke Riskesdas 2018 (22,6%), dan hal ini juga dapat menyebabkan risiko stunting pasca lahir. Selain itu pada hasil Riskesdas 2013 diketahui 4,3% bayi memiliki berat lahir rendah dan panjang badan lahir pendek kemudian menurun sedikit menjadi 4,0% pada hasil Riskesdas 2018.
  • 15. 3. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Gambar 12. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Pada Bayi Tahun 2018-2019 Sumber: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI 4. Cakupan Pemberian Vitamin A INDONESIA Bali Nusa Tenggara Barat Jawa Timur Sumatera Selatan Jambi DI Yogyakarta Jawa Tengah Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Kep. Riau Sulawesi Selatan Bengkulu Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kep. Bangka Belitung Sulawesi Tenggara Kalimantan Tengah Sumatera Utara Kalimantan Selatan Gorontalo Papua Barat Kalimantan Barat Maluku Utara Sulawesi Barat Maluku Sumatera Barat Nusa Tenggara Timur Riau Papua Kalimantan Utara Aceh 93,70 104,20 103,80 68,75 100,00 100,00 97,37 88,24 100,00 100,00 100,00 100,00 87,50 100,00 96,30 100,00 86,36 80,00 92,31 60,00 90,00 85,71 70,59 71,43 60,61 69,23 66,67 76,92 35,71 30,00 33,33 54,55 47,37 4,55 41,67 10,34 60,00 17,39 103,30 102,90 102,80 102,70 102,60 99,30 99,00 98,00 97,70 96,90 95,50 95,50 93,20 92,80 92,60 91,50 88,40 88,10 86,20 86,10 84,50 83,40 82,50 80,50 79,50 77,00 76,20 74,90 73,30 71,90 71,20 50,90 2019 2018 10 Cakupan Imunisasi dasar lengkap berdasarkan hasil Riskesdas 2013 sebesar 59,2% menjadi 57,9% Pada Riskesdas 2018. Cakupan imunisasi yang menurun sebesar 1,3% dapat menyebabkan balita rentan terhadap penyakit infeksi dan dapat menyebabkan terjadinya stunting. Pada hasil Riskesdas 2013 sebanyak 75,5% anak umur 6-59 bulan menerima vitamin A, sedangkan pada Riskesdas 2018 pemberian vitamin A sesuai standar menurun menjadi 53,5%. Hal ini disebabkan kriteria pemberian vitamin A pada Riskesdas 2018 harus memenuhi 2 kali dalam setahun. Risiko yang terjadi jika terdapat kondisi kekurangan vitamin A pada balita adalah turunnya imunitas tubuh yang kemudian menyebabkan rentan terhadap infeksi dan berakibat pada kejadian stunting.
  • 16. Gambar 13. Cakupan Pemberian Kapsul Vitamin A Pada Balita Tahun 2018 - 2019 Sumber: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI Gambar di atas menginformasikan pemberian vitamin A pada balita di Indonesia, dimana data Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat menunjukkan cakupan tahun 2019 mengalami penurunan sekitar 8%, dari 86,18% pada tahun 2018 menjadi 78,68% pada tahun 2019. INDONESIA DI Yogyakarta jawa Tengah Bali Nusa Tenggara Barat Aceh Lampung Sulawesi Utara Nusa Tenggara Timur Jambi Bengkulu DKI Jakarta Sulawesi Selatan Gorontalo Sumatera Utara Selawesi Tengah Sumatera Barat Kep. Bangka Belitung Banten Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Riau Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kep. Riau Maluku Kalimantan Timur Jawa Timur Kalimantan Utara Jawa Barat Papua Maluku Utara Papua Barat 76,68 100,00 99,45 86,18 99,86 99,18 96,31 94,56 88,92 98,48 87,12 92,22 92,12 87,62 91,42 90,53 90,97 88,34 85,91 88,86 79,45 86,95 86,31 81,66 83,61 86,6 84,75 69,55 78,57 77,79 74,44 92,19 69,7 71,69 85,45 99,33 97,90 96,17 94,12 93,43 93,13 93,07 92,15 92,12 91,80 91,49 91,33 91,03 87,36 87,27 86,57 86,51 85,56 83,56 83,48 82,24 82,01 81,23 79,16 76,92 73,77 70,92 60,23 53,50 31,97 2019 2018 11
  • 17. 5. Pemberian ASI eksklusif Gambar 14. Cakupan Bayi mendapatkan ASI Eksklusif Tahun 2018 dan 2019 Sumber: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI Berdasarkan gambar di atas, cakupan ASI eksklusif di Indonesia tahun 2019 sebesar 67,74% atau menurun 1,0% jika dibandingkan dengan cakupan ASI eksklusif tahun 2018 sebesar 68,74%. ASI eksklusif merupakan salah satu upaya penting untuk mencegah terjadinya stunting. INDONESIA Nusa Tenggara Barat Kalimantan Timur Jawa Timur DI Yogyakarta Nusa Tenggara Timur Sulawesi Barat Sumatera Barat Riau Bengkulu Bali Sulawesi Selatan DKI Jakarta Jawa Tengah Lampung Jambi Kalimantan Selatan Sulawesi Tenggara Kalimantan Utara Kalimantan Barat Jawa Barat Maluku Utara Kep. Bangka Belitung Kep. Riau Sumatera Selatan Kalimantan Tengah Aceh Sulawesi Tengah Banten Sulawesi Utara Sumatera Utara Gorontalo Maluku Papua Papua Barat 67,74 86,26 78,53 78,27 77,50 77,02 76,50 75,92 73,44 72,16 71,71 70,82 70,22 69,46 69,33 69,10 68,02 66,81 64,25 63,61 63,53 60,06 60,00 59,75 57,79 57,35 55,24 54,69 53,96 50,90 50,35 49,29 2019 2018 43,35 41,42 41,12 41,42 7. Anemia pada ibu hamil 6. Pemberian MP-ASI 12 Cakupan pemberian MP-ASI pada hasil Riskesdas 2018 masih rendah, yaitu sebesar 46,6%. Dapat diartikan bahwa separuh bayi tidak mendapatkan MP-ASI minimum yang dianjurkan, dan dapat memicu kejadian stunting. Pertanyaan pemberian MP-ASI pada Riskesdas 2018 bertujuan untuk memperoleh data atau informasi tentang jenis makanan pendamping ASI yang pertama kali diberikan kepada bayi. Jenis makanan pendamping ASI yang pertama kali diberikan biasanya satu macam tetapi tidak menutup kemungkinan kombinasi/gabungan dari 2 macam jenis makanan/minuman seperti biskuit yang dicampur dengan susu formula. Pada Riskesdas 2018 diketahui 48,8% ibu hamil mengalami anemia, meningkat jika dibandingkan hasil Riskesdas 2013 dimana proporsi wanita hamil mengalami anemia sebesar 37,1%.
  • 18. 8. Diare pada balita Sumber : Direktorat Gizi Masyarakat, 2020 Pelaksana Kemenkes, BKKBN, Kemendikbud, Kemensos, KemenPU&PR, Kemendagri, Kementan, Kemenperin, Kemenag, KKP, KemenPP&PA, Kemenkominfo, BPOM, KemendesPDTT, Kementerian PPN/Bappenas, KemenkoPMK, BPS, Kemendag, Kemensetneg, BATAN dan Pemda Baseline 2018: 30,8% 2020 24,1% 2021 21,1% 2023 16% 2022 18,4% Stunting Balita (persen) 2024 14% Baseline 2018: 10,2% 2020 8,1% 2021 7,8% 2023 7,3% 2022 7,5% 2024 7% Wasting Balita (persen) Anemia Ibu Hamil 48,9% 2024: 20% Ibu Hamil KEK 17,3% 2024: 10% Balita gizi kurang 10,2% 2024: 7% Obesitas dewasa 21,8% 2024: tidak terjadi kenaikan konsekuensi terhadap perkembangan janin Berisiko terhadap berat badan bayi lahir rendah gagal tumbuh dan cenderung pendek dibanding usianya Berisiko obesitas dan PTM saat dewasa Gambar 16. Tantangan Penurunan Stunting dan Wasting BASIC RISK DRIVERS UNDERLYING RISK DRIVERS IMMEDIATE RISK DRIVERS KONTEKS YANG TIDAK PRIORITAS BERKURANGNYA PENGHASILAN DAN KETERBATASAN SUMBER DAYA PRAKTIK PEMBERIAN MAKAN YANG TIDAK BERGIZI & KERAWANAN PANGAN TERBATASNYA PELAYANAN DAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH TANGGA TIDAK SEHAT ASUPAN MAKANAN YANG BURUK INSIDENSI PENYAKIT LEBIH TINGGI DENGAN DURASI SAKIT LEBIH LAMA RISIKO TRANSFER ANTARGENERASI YANG LEBIH TINGGI (TERGANGGUNYA KESEHATAN IBU) STUNTING WASTING BERAT BADAN KURANG USIA KEHAMILAN TERLALU MUDA DEFISIENSI MIKRONUTRIEN IBU DAN ANAK TERGANGGUNYA KESEHATAN IBU DAN ANAK Pengalihan kebijakan kepada perawatan kesehatan darurat Pengurangan pengeluaran sektor sosial atau pengalihan untuk penanganan COVID Meningkatnya ketimpangan status sosial ekonomi Meningkatnya kemiskinan dan berkurangnya daya beli Limited/interruped social safety nets Terganggu/terhentinya Pendidikan Rantai pasokan makanan terbatas atau terputus, menyebabkan kerawanan pangan Putus sekolah dan terganggunya program konseling nutrisi berkurangnya pencarian terhadap pelayanan kesehatan Akses terbatas ke kontrasepsi modern dan keluarga berencana- mendorong kehamilan berisiko tinggi Mengurangi cakupan pelayanan kesehatan antenatal Terbatasnya pelayanan dan persediaan untuk persalinan ibu dan anak secara teratur, misalnya imunisasi Akses Terbatas / kedekatan dengan layanan yang tersedia (misalnya: air bersih, sanitasi yang aman) Gambar 15. Faktor Risiko pada Ibu dan Anak dalam Konteks COVID-19 Terjadinya Kejadian Malnutrisi Sumber : https://academic.oup.com/ajcn/article-abstract/doi/10.1093/ajcn/nqaa171/5860091 13 Insidens diare pada balita berdasarkan diagnosis dan gejala pada hasil Riskesdas 2013 sebesar 6,7%, kemudian meningkat pada Riskesdas 2018 sebesar 12,3%. Kasus diare pada balita dapat juga memicu terjadinya stunting.
  • 19. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2018. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia, Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan, Badan Pusat Statistik ; 2019. Laporan Pelaksanaan Integrasi SUSENAS Maret 2019 dan SSGBI Tahun 2019, Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2019. Laporan Nasional Riskesdas Tahun 2018, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Unicef,WHO Geneva, etc. 2020. Levels And Trends In Child Malnutrition, UNICEF / WHO / World Bank Group Joint Child Malnutrition Estimates, Key findings of the 2020 edition, Washington DC: UNICEF, WHO Geneva and the Development Data Group of the World Bank. World Health Organization, 2019. Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile Indicators, Interpretation Guide 2nd Edition, Switzerland: World Health Organization. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2019. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018, Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2020. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. 2014. Riskesdas 2013 dalam Angka, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Yulis DCN, M.Kes, dr. Rita Ratna. 24 Oktober 2020. Peran Stake Holder Untuk Penanganan Masalah Gizi pada Anak di Masa Pandemi COVID-19, 24 Oktober 2020, Depok: FKM Universitas Indonesia. Izwardy, Dody. 5 Agustus 2020. Inovasi Program Perbaikan Gizi, 5 Agustus 2020, Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017. 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting), Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Pencegahan Stunting Pada Anak, 2019, [Diakses November 2020] Dari : https://promkes.kemkes.go.id/pencegahan-stunting https://twitter.com/CIFFchild/status/689126684981891073, diakses 20 November 2020 Daftar Pustaka 14
  • 20. Penulis Andri Mursita, SKM, M.Epid Staf Subdit Surveilans Gizi di Direktorat Gizi Masyarakat. Merupakan Lulusan Program Sarjana Kesehatan Masyarakat dan Pasca Sarjana Epidemiologi di Universitas Indonesia. Pemantauan Pertumbuhan untuk Pencegahan Stunting Topik Terkait Indonesia merupakan salah satu negara dengan permasalahan gizi balita yaitu stunting (pendek) dan wasting (gizi kurang) yang cukup tinggi. Di antara negara ASEAN, stunting di Indonesia (30,8%) masih lebih tinggi jika dibandingkan negara tetangga seperti Thailand (10,5%) dan Malaysia (20,7%). Pada Tahun 2019, diperkirakan ada sekitar 6,6 juta balita stunting atau 3 dari 10 anak di Indonesia mengalami stunting. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh dan kembang di awal masa kehidupan yang disebabkan adanya gangguan kronis, rendahnya asupan gizi, penyakit infeksi, dan pola asuh yang tidak memadai sejak masa kehamilan, bahkan adanya gangguan gizi dan kesehatan pada masa pra-kehamilan (Frongillo, 1999). Anak stunting diidentifikasi dengan membandingkan panjang atau tinggi badan terhadap standar yang disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin. Stunting memiliki banyak patologi perubahan yang ditandai dengan peningkatan retardasi pertumbuhan linier, kesakitan dan kematian, mengurangi kapasitas fisik, perkembangan saraf serta kerugian ekonomi. Stunting merupakan siklus antar generasi (gambar 17). Wanita yang mengalami stunting cenderung melahirkan anak stunting yang berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas ekonomi hingga meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan di masyarakat yang terjadi secara terus menerus (Prendergast & Humphrey, 2014). 15
  • 21. Gambar 17. Sindrom Stunting, 2014 Dalam upaya penanggulangan stunting di Indonesia, pemerintah baik pusat maupun daerah bersama swasta dan masyarakat melaksanakan program percepatan penurunan stunting dengan pendekatan multisektoral yang terintegrasi dalam memberikan intervensi spesifik dan sensitif pada kabupaten/kota lokus yang telah ditetapkan secara bertahap. Intervensi spesifik adalah kegiatan mengatasi penyebab langsung terjadinya stunting yang dilakukan oleh sektor kesehatan, sedangkan intervensi sensitif adalah kegiatan untuk mencegah dan mengurangi masalah gizi secara tidak langsung seperti penyediaan air minum dan sanitasi yang dilakukan oleh sektor non kesehatan. Intervensi spesifik meliputi: 1) promosi dan konseling PMBA termasuk konseling ASI Esklusif; 2) Pemantauan dan promosi pertumbuhan dan perkembangan; 3) Suplementasi gizi mikro meliputi Tablet Tambah Darah bagi ibu hamil dan remaja putri, Vitamin A bagi ibu nifas dan balita; 4) Suplementasi zat gizi makro (makanan tambahan bagi ibu hamil dan balita); 5) Tatalaksana Gizi buruk; 6) Pemeriksaan kehamilan dan imunisasi; dan 7) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). - Zscore TB/U <-2SD - Lebih sedikit tahun bersekolah - Buruknya prestasi di sekolah Usia Sekolah Stunted Overweight Obesitas Sentral Hipertensi Diabetes CVD Dewasa Pendek Stamina Fisik Rendah IQ Rendah Kurangnya pendapatan dan miskin Dewasa Intervensi pemberian makanan sangat diperlukan Pra Konsepsi - Tidak cukup asupan makanan - Adanya infeksi intrauterine (janin) - Infeksi yang sistemik dan atau adanya radang - Embryonic Ectodrm Development (EED) - Polusi udara Masa kehamilan - BBLR - Usia kelahiran terlalu muda - Kelahiran premature - Lingkar kepala kecil - Hiperinsulinemia Neonatal - Pengenalan MPASI <6 bulan - Kurang baiknya praktek pola pemberian MPASI - Kurangnya praktek cuci tangan berakibatkan diare - Kejadian infeksi berulang - Pajanan terhadap mycotoxin, logam arsen, bahan bakar biomass - Kurangnya stimulasi bayi perawatan - Depresi pada ibu Konsespsi ZscoreTB/U <-2SD - Meningkatkan morbiditas dan mortalitas terhadap kejadian infeksi - Terhambatnya kemampuan motoric Usia 2 tahun - Overweight - Peningkatan BB/U relative terhadap TB/U Usia Sekolah Asupan gizi cukup namun kalori berlebihan PUBERTAS - Ketidakcukupan asupan zat gizi dan energi - Kurangnya praktek cuci tangan berakibat diare - Kejadian infeksi berulang - Pajanan terhadap mycotoxin - Kecilnya kesempatan perbaikan perkembangan dan petumbuhan anak 16 Selain stunting, kekurangan gizi lainnya pada balita adalah wasting. Berdasarkan waktu terjadinya, stunting merupakan kekurangan gizi yang berlangsung lama dan berulang sedangkan wasting terjadi dalam waktu yang singkat. Stunting ditandai dengan hambatan pertumbuhan tinggi badan yang dinilai menggunakan indeks tinggi
  • 22. badan menurut umur dan merupakan indikator jangka panjang yang cukup kuat dalam menilai kematian dan produktifitas sedangkan wasting ditandai dengan menurunnya berat badan menurut umur atau berat badan menurut tinggi badan atau Lingkar Lengan Atas (LILA) dan merupakan indikator jangka pendek yang cukup baik dalam menilai kematian (gambar 18). Gambar 18. Bentuk Kekurangan Gizi pada Balita Menurut Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), kekurangan gizi berkontribusi pada hampir setengah dari kematian balita di seluruh dunia. Identifikasi gangguan pertumbuhan dan intervensi sejak dini dapat mencegah terjadinya masalah gizi pada anak dan juga masalah kesehatan dan gizi pada remaja, orang dewasa, dan lansia. Dengan demikian segala upaya perbaikan gizi pada usia dini merupakan investasi jangka panjang untuk kesehatan dan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat umum. STUNTING KEKURANGAN GIZI Hambatan Pertumbuhan Tinggi Badan menurut Umur TB/U Indikator Jangka Panjang Kematian dan Produktifitas WASTING Turunya Berat Badan menurut Umur atau Berat Badan menurut Tinggi Badan atau LILA BB/TB atau LILA Indikator Jangka Pendek Kematian 17 Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), dan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ), sebagaimana tertuang dalam surat komitmen bersama 6 Menteri mengenai Optimalisasi Pemantauan Pertumbuhan dan Perkembangan Balita serta Edukasi kepada Masyarakat untuk Percepatan Pencegahan Stunting. Pemantauan pertumbuhan merupakan salah satu kegiatan program perbaikan gizi sebagai upaya untuk mencapai derajat kesehatan balita yang optimal. WHO mendefinisikan pemantauan pertumbuhan sebagai intervensi gizi yang mengukur berat badan anak dan memetakan hasil pengukuran berat badan tersebut ke dalam kurva pertumbuhan, serta menggunakan informasi tersebut untuk memberikan konseling kepada para orang tua/pengasuh agar mereka dapat mengambil tindakan yang tepat untuk memperbaiki pertumbuhan anak. Pemantauan pertumbuhan adalah bagian dari kegiatan rutin pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pada pelayanan gizi dan kesehatan di puskesmas. Namun, untuk memberdayakan dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar, maka kegiatan pemantauan pertumbuhan dilakukan di posyandu sebagai bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). Pemantauan pertumbuhan di posyandu dilakukan oleh kader dengan didampingi tenaga kesehatan. Untuk memperluas cakupan, pemantauan pertumbuhan setiap bulan dapat dilakukan juga di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
  • 23. Kementerian Kesehatan telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak untuk menggantikan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 tahun 2020, disebutkan bahwa Standar Antropometri Anak wajib digunakan sebagai acuan bagi tenaga kesehatan, pengelola program, dan para pemangku kepentingan terkait untuk penilaian status gizi anak dan tren pertumbuhan anak. Salah satu perwujudan dari penilaian status gizi anak dan tren pertumbuhan anak adalah pemantauan pertumbuhan. Prinsip pemantauan pertumbuhan balita adalah semua anak dipantau secara teratur pertumbuhannya sehingga deteksi dini timbulnya masalah gizi dapat segera di intervensi. Dalam setahun, sebaiknya minimal anak ditimbang sebanyak 8 kali dan diukur tinggi badannya sebanyak 2 kali di posyandu (SPM, 2019). Dalam konteks wilayah, kegiatan pemantauan pertumbuhan diharapkan dapat menjangkau seluruh sasaran balita agar pelaksanaan program penanggulangan dan pencegahan masalah gizi khususnya stunting dapat berjalan secara optimal. Pemantauan pertumbuhan terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan, yakni: (1) Penimbangan setiap bulan, pengisian buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)/Kartu Menuju Sehat (KMS), dan penentuan status pertumbuhan menurut grafik pertumbuhan anak berdasarkan indikator berat badan menurut umur; (2) mencatat dan melaporkan hasil pemantauan pertumbuhan; (3) memberikan konseling dan menindaklanjuti setiap kasus gangguan pertumbuhan dengan dengan rujukan; dan (4) menindaklanjuti dalam bentuk kebijakan dan program di tingkat masyarakat, serta meningkatkan motivasi untuk memberdayakan keluarga. Gambar 19. Alur pemantauan pertumbuhan di Posyandu PENGISIAN KMS PENIMBANGAN BALITA PELAYANAN OLEH PETUGAS PENDAFTARAN PENYULUHAN 18
  • 24. Penilaian pertumbuhan dilakukan dengan antropometri karena dinilai lebih mudah, tidak mahal, dan tidak membahayakan. Antropometri adalah suatu metode yang digunakan untuk menilai ukuran, proporsi, dan komposisi tubuh manusia. Antropometri untuk pengukuran berat badan yang umum digunakan di posyandu adalah dacin. Dacin memiliki ketelitian 100 g dan kapasitas maksimum 25 kg serta cukup kuat. Namun saat ini, pengukuran berat badan di posyandu ada yang sudah menggunakan timbangan injak. Prinsip penggunaan alat adalah sesuai dengan rekomendasi dan tentunya harus konsisten. Standar pemantauan pertumbuhan anak adalah persyaratan yang harus diikuti untuk menjamin kualitas pelayanan gizi pemantauan pertumbuhan anak. Informasi yang diperoleh dari pengukuran tersebut digunakan untuk memberikan konseling kepada orang tua/pengasuh agar mereka dapat mengambil tindakan yang tepat untuk memperbaiki pertumbuhan anak. Pemantauan pertumbuhan anak juga bertujuan untuk memastikan bahwa setiap anak tumbuh mengikuti jalur pertumbuhan anak-anak sehat. Dengan demikian, kegiatan ini juga dapat difungsikan sebagai langkah deteksi dini gangguan pertumbuhan pada anak. Anak yang terdeteksi mengalami gangguan pertumbuhan dapat segera ditangani agar dapat kembali ke jalur pertumbuhan anak sehat. Gambar 20. KMS dan Buku KIA Buku KIA KMS anak perempuan 19 Dalam mengoptimalkan kegiatan pemantauan pertumbuhan, digunakan buku KIA atau KMS untuk mencatat hasil kegiatan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) merupakan buku yang berisi lembar informasi dan catatan kesehatan serta catatan khusus adanya kelainan ibu selama hamil, bersalin sampai nifas serta anak (janin, bayi baru lahir, bayi dan anak sampai usia 6 tahun). Ibu harus membawa buku KIA setiap kali melakukan pemantauan pertumbuhan di posyandu atau berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan, misalnya puskesmas. Salah satu isi dari Buku KIA adalah acuan kurva pertumbuhan anak yang disebut sebagai KMS berdasarkan indeks antropometri berat badan menurut umur (BB/U) dan dibedakan berdasarkan jenis kelamin. KMS untuk anak laki-laki berwarna biru, sedangkan KMS untuk anak perempuan berwarna pink. Kurva pertumbuhan berat badan menurut umur dibedakan menurut jenis kelamin karena anak laki-laki mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda dibandingkan dengan anak perempuan. Halaman depan KMS berisi kurva pertumbuhan berat badan menurut umur dari usia 0-2 tahun, sedangkan halaman belakang KMS berisi kurva pertumbuhan berat badan menurut umur anak dari usia 2-5 tahun (gambar 20).
  • 25. Penilaian Pertumbuhan Anak adalah menilai pertambahan berat badan anak dibandingkan dengan standar kenaikan berat badan. Pertumbuhan bersifat simultan, yakni terjadi pada waktu yang bersamaan, tetapi kecepatannya bisa berbeda-beda. Jika pertumbuhan berat badan dapat dipertahankan normal, maka panjang/tinggi badan dan lingkar kepala juga akan normal. Namun, saat pertumbuhan berat badan mengalami gangguan (growth faltering), yaitu tidak sesuai dengan yang seharusnya, maka pada saat yang bersamaan pertumbuhan panjang/tinggi badan dan lingkar kepala juga mengalami gangguan. Pertumbuhan anak dievaluasi menggunakan grafik pertumbuhan berat badan dan kenaikan berat badan berdasarkan Kenaikan Berat Badan Minimal (KBM). Kader menghubungkan garis pertumbuhan antara bulan ini dan bulan lalu. Apabila anak tidak ditimbang bulan lalu, maka garis pertumbuhan tidak dapat dihubungkan. Masalah yang dialami anak seperti kurang nafsu makan atau sakit, maka kejadian tersebut dicatat dalam grafik pertumbuhan. Untuk mengetahui ada tidaknya perubahan, maka pengukuran antropometri harus dilakukan secara teratur. Pengukuran yang dilakukan satu kali hanya dapat menunjukkan ukuran pada saat itu sehingga tidak dapat memberikan informasi mengenai perubahan yang terjadi, misalnya peningkatan, tetap, atau penurunan. Dengan demikian, pengukuran antropometri juga berfungsi sebagai alat deteksi dini gangguan pertumbuhan pada anak, misalnya risiko gagal tumbuh, risiko stunting, atau risiko kegemukan. Ketika gangguan pertumbuhan terdeteksi, maka dapat dilakukan tata laksana lanjutan dengan segera dalam bentuk konfirmasi penilaian status gizi dan tindak lanjut, baik berupa konseling maupun rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan demikian, gangguan pertumbuhan dapat diatasi secara dini. Kader melakukan kunjungan rumah (sweeping) ke rumah tangga balita yang tidak hadir di posyandu untuk menimbang sekaligus mengedukasi ibu balita tentang pentingnya melakukan pemantauan pertumbuhan setiap bulan. Jika anak memiliki risiko gangguan pertumbuhan seperti grafik memotong garis pertumbuhan dibawahnya atau pertumbuhan mendatar atau menurun, maka kader mencatat dan melaporkan kejadian gangguan pertumbuhan kepada tenaga kesehatan, serta merujuk ke fasyankes atau puskesmas untuk ditindaklanjuti. Selain itu, kader juga tetap memberikan konseling kepada ibu/pengasuh dan menganjurkan untuk kembali ke posyandu pada bulan berikutnya (gambar 21). KMS anak laki-laki Grafik Pertumbuhan Anak 20
  • 26. Gambar 21. Alur deteksi dini Pesan umum yang disampaikan agar ibu/pengasuh dapat menerapkan Prinsip Gizi Seimbang kepada anak, diantaranya adalah: 1) mengonsumsi aneka ragam pangan dengan jumlah dan jenis sesuai dengan umur anak, 2) membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat, 3) melakukan aktivitas fisik, termasuk bermain dan kegiatan yang dapat menstimulasi anak, 4) memantau berat badan secara teratur untuk mempertahankan berat badan normal, 5) menyampaikan kepada ibu untuk kembali ke Posyandu di bulan berikutnya. Di fasyankes atau puskesmas, tenaga kesehatan akan melakukan konfirmasi dengan pengukuran ulang. Selain menilai pertumbuhan tenaga kesehatan juga melakukan penilaian status gizi anak melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan. Jika anak mengalami masalah gizi baik stunting atau gizi kurang maka tenaga kesehatan akan mengidentifikasi penyebab masalah gizi tersebut agar dapat memberikan intervensi secara tepat dan komprehensif. Anak yang medapat intervensi harus dilakukan pendampingan dengan melibatkan peran kader dan masyarakat. Setiap bulan Februari dan Agustus, pemantauan pertumbuhan dilakukan terintegrasi dengan pemberian kapsul vitamin A, anak usia 6- 11 bulan mendapatkan vitamin A berwarna biru (kandungan vitamin A sebesar 100,000 IU) sedangkan anak 12 – 59 bulan mendapat mendapatkan vitamin A berwarna merah (kandungan vitamin A sebesar 200,000 IU). - Penimbangan teratur - Plot di KMS - Interpretasi grafik pertumbuhan Pertumbuhan Normal Ada indikasi gangguan pertumbuhan (berat badan tidak naik) Edukasi dan mendorong pemanfaatan pelayanan kesehatan Konseling PMBA dan promosi pemantauan pertumbuhan Dirujuk ke puskesmas atau yankes terdekat untuk dikonfirmasi Identifikasi masalah gizi konseling PMBA PEMANTAUAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN pendampingan Intervensi Tidak intervensi 21
  • 27. Pada masa pandemi COVID-19 kegiatan pemantauan pertumbuhan diupakan tetap dilakukan dengan merujuk pada keputusan pemerintah daerah mengenai hari buka posyandu. Pelayanan dilakukan melalui modifikasi dengan pendekatan protokol kesehatan. (gambar 22) Gambar 22. Modifikasi Kegiatan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan di Posyandu Seluruh kegiatan pemantauan pertumbuhan oleh tenaga kesehatan direkam kedalam Sistem Informasi Gizi (SIGIZI) Terpadu sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan yang berbasis data individu by name by address. Pencatatan dan pelaporan dapat dilakukan secara elektronik yang memungkinkan untuk melakukan input data lebih komprehensif, membantu proses komunikasi dan pengiriman data ke unit lainnya secara cepat sehingga dapat memberikan analisis kinerja program yang lebih tepat. Proses pencatatan dan pelaporan secara elektronik ini pada dasarnya mengikuti prinsip-prinsip dasar yang sama dengan proses pencatatan dan pelaporan secara manual. Pencatatan dan pelaporan yang baik akan bermanfaat bagi kegiatan monitoring yang efektif. Sistem ini dapat diakses melalui alamat sigiziterpadu.gizi.kemkes.go.id Sebelum hari Posyandu Menyusun jadwal Cek kesehatan petugas Pembagian tugas Penyiapan undangan Penyiapan area Posyandu Setelah hari Posyandu Melengkapi pencatatan Kunjungan rumah balita berisiko Edukasi melalui daring atau kelompok terbatas Hari Posyandu Kehadiran sesuai jadwal Posyandu 1 Cek suhu dan cuci tangan pakai sabun 2 Meja Pendaftaran & menyerahkan kain timbang bersih 3 Menunggu giliran dengan menjaga jarak 1-2 m 4 Penimbangan pengukuran pantau perkembangan Pencatatan hasil di buku KIA 6 8 7 5 Ploting, konseling, janji temu bagi balita berisiko Pelayanan kesehatan (Vit A Feb & Agustus) Pencatatan melalui ePPGBM 22
  • 28. Gambar 23. Dashboard Sistem Informasi Gizi Terpadu 23
  • 29. Gambar 24. Grafik pada Sistem Informasi Gizi Terpadu 24
  • 30. Frongillo, E. A. (1999). Symposium: Causes and Etiology of Stunting. Introduction. The Journal of Nutrition, 129(2S Suppl), 529S-530S. https://doi.org/10.1093/jn/129.2.529S JME UNIICEF World Bank, 2020. Kementerian Kesehatan, 2020. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak Kementerian Kesehatan, 2019. Riskesdas 2018 Kementerian Kesehatan, 2020. Laporan SSGBI 2019 Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H. (2014). The stunting syndrome in developing countries. Paediatrics and International Child Health, 34(4), 250–265. https://doi.org/10.1179/2046905514Y.0000000158 WHO Multicentre Growth Reference Study Group. (2006). Assessment of differences in linear growth among populations in the WHO Multicentre Growth Reference Study. Acta Pædiatrica, (Suppl 450), 56–65. https://doi.org/10.1080/08035320500495514 Daftar Pustaka 25
  • 31. Penulis Dr. Syarief Darmawan, S.ST, M.Kes Dosen di jurusan Poltekkes Kemenkes Jakarta II sejak tahun 2003. Menamatkan Program Doktoral di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam Program Doktor Ilmu Biomedik pada tahun 2019 dengan judul desertasi : Peran Inflamasi usus pada Anak Usia di Bawah 2 Tahun terhadap Kejadian Pendek. Hubungan Antara Infeksi Parasit Usus dengan Pendek Topik Terkait Infeksi parasit usus dapat mengganggu tumbuh kembang anak dan menurunkan produktivitas anak karena cacing usus menghisap zat gizi host sehingga anak kekurangan zat gizi, anemia, berat badan menurun, dan pertumbuhannya terhambat1 . Ada hubungan yang signifikan antara intensitas infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) tunggal atau campuran terhadap status gizi pendek.2 Infeksi parasit usus dapat disebabkan oleh cacing, virus, bakteri dan protozoa. Infeksi bakteri disebabkan oleh bakteri shigella, sedangkan infeksi protozoa dikenal sebagai disentri amuba karena kontaminasi melalui oral dari kista E. histolytica yang merupakan mikroorganisme an-aerob bersel tunggal dan bersifat pathogen sehingga menyebabkan disentri pada anak yang usianya di atas lima tahun tetapi jarang ditemukan pada balita.3 Infeksi cacing usus terutama cacing yang ditularkan melalui tanah STH dapat menyebabkan gangguan gizi dan merupakan infeksi kronis yang paling banyak menginfeksi anak balita dan anak usia sekolah dasar (SD). Prevalensi parasit usus pada anak SD di Bekasi pada tahun 2012 sebesar 64,6% dengan rincian B. hominis 43,1%, E. coli 3,1%, G. lamblia 3,1%, H. nana 2,3%. Infeksi campur B. hominis dan E. coli 3,1%, B. hominis dan G. lamblia 8,5%, B. hominis dan T. trichiura 0,8%, dan infeksi campur B. hominis, E. coli, T. trichiura dan H. nana 0,8%.1 I. Latar Belakang 26
  • 32. Kompilasi dari 101 penelitian yang dilakukan mulai tahun 1970-2013 di Malaysia terhadap infeksi parasit usus mendapatkan hasil 342 anak yang diteliti 24,6% positif terhadap infeksi parasit usus dengan rincian 32,3% anak-anak pedesaan, 20,6% tuna wisma perkotaan dan 5,4% anak-anak dari rumah susun positif terhadap satu atau lebih parasit. Parasit yang paling umum ditemui adalah Trichuris trichiura (20,2%) diikuti oleh Ascaris lumbricoides (10,5%) dan cacing tambang (6,7%). Tidak ada kasus cacing tambang yang dilaporkan pada anak-anak perkotaan sedangkan 12,2% anak-anak pedesaan positif. Parasit protozoa yang paling umum dideteksi adalah Entamoeba coli (3,2%) diikuti oleh Giardia intestinalis (1,8%), Entamoeba histolytica (1,8%) dan Blastocystis hominis (1,2%). Hampir seperlima (18,4%) anak-anak memiliki infeksi tunggal diikuti oleh dua kali lipat (12,0%) dan infeksi tiga kali lipat (1,2%). Anak-anak penduduk asli (44,3%) memiliki tingkat infeksi tertinggi diikuti oleh orang India (20,2%), Melayu (14,0%) dan Cina (11,9%).4 Makro parasit seperti cacing adalah kelompok parasit yang mampu memperpanjang infeksi dengan peningkatan sel imunoregulasi, penghambatan respons Sel Limphosit T-helper 1 (Th1) atau Th2, reseptor pengenalan pola target dan mengurangi jumlah sel kekebalan melalui induksi apoptosis. Apoptosis yang dipicu kecacingan melemahkan imunitas host sehingga membuka jalan untuk menghasilkan lingkungan mudah terinfeksi dan infeksi kronis.5 Diare akut yang disebabkan oleh infeksi parasitik dapat didiagnosa meIalui pemeriksaan spesimen feses. Protozoa usus dapat ditemukan di feses, baik dalam bentuk motil (trofozoit) ataupun bentuk kista.6 Peran usus yang sehat dalam mencapai pertumbuhan fisik yang sehat kadang-kadang kurang mendapatkan perhatian. Usus merupakan sebuah komponen utama dari penyerapan zat gizi dalam tubuh, bertindak sebagai antarmuka antara asupan gizi dan pertumbuhan, dan elemen penting dari sistem kekebalan tubuh. Sebuah usus yang bebas dari peradangan persisten mungkin menjadi elemen penting untuk mencapai pertumbuhan fisik yang sehat.7 Populasi mikroba dalam usus berpengaruh dalam mengoptimalkan penyerapan dan pemanfaatan gizi bagi tubuh.8 Status gizi pendek merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara gizi yang tidak optimal, kesehatan usus yang buruk, penyakit infeksi, fungsi imunitas tubuh menurun, keturunan (genetika) dan hormonal. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirasa perlu untuk menelusuri literatur mengenai hubungan antara infeksi parasit usus dengan status gizi pendek. Spesies utama yang menginfeksi saluran cerna manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). World II. Infeksi Cacing Saluran Cerna Manusia A. Spesies Cacing 27
  • 33. Health Organization (WHO) menggolongkan cacing ini sebagai infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah/Soil-Transmitted Helminths (STH). Cacing ini ditransmisikan oleh telur yang ada dalam kotoran manusia kemudian mencemari tanah di daerah dengan sanitasi buruk. Kecacingan termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat karena cacing mengganggu kemampuan individu untuk menyerap zat gizi, dan bagi anak-anak dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan fisik. Proses penularan terjadi secara tidak langsung antar individu, tetapi harus ditransmisikan melalui tanah yang terkontaminasi kotoran manusia, karena telur cacing membutuhkan waktu 3 minggu untuk matang di tanah sebelum menjadi infeksi dan cacing ini juga tidak berkembang biak di host manusia.9 Cacing gelang dan tambang hidup di usus halus manusia, sedangkan cacing cambuk hidup di usus besar. Ketiga cacing dapat hidup mulai dari 1 sampai 7 tahun. Cacing gelang dapat mencapai panjang 150-400 mm, cacing cambuk memiliki panjang 30-50 mm dan 7-13 mm panjang dari cacing tambang. Cacing betina dari ketiga cacing dapat menghasilkan telur lebih dari 1000 telur per hari.10 Prevalensi trichuriasis adalah sekitar 477 juta di seluruh dunia, dengan jumlah infeksi terbesar di Asia, Afrika Sub-Sahara, dan daerah tropis Amerika.11 Iklim merupakan variabel utama dari penyebaran infeksi ini. Kondisi yang lembab dan suhu yang panas sangat diperlukan bagi perkembangan larva dalam tanah. Jika kelembaban rendah telur A. lumbricoides dan T. trichiura tidak akan berkembang dengan baik dan larva cacing tambang akan cepat mati. Telur A. lumbricoides memerlukan temperatur yang berkisar antara 20o -25o C, T. trichiura sekitar 30o C dan N. americanus memerlukan temperatur optimum antara 28o -32o C.t T. trichiura tidak memiliki inang reservoir. Beban penyakit akibat trichuris lebih tinggi pada kelompok anak-anak daripada orang dewasa. Anak-anak yang terinfeksi berat dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat serta mengalami penurunan kapasitas intelektual dan kognitif. Hasil pemeriksaan tinja pada anak Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah mendapatkan hasil bahwa kecacingan dan infeksi saluran pencernaan lain pada tahun 2002 – 2009 di 398 SD/MI yang tersebar di 33 Propinsi memiliki rata-rata prevalensi cacingan adalah 31,8%.13 Prevalensi infeksi cacing usus pada balita gizi buruk di kecamatan Kasihan, Bantul Propinsi DI Yogyakarta didapatkan Ascaris lumbricoides (52,17%), cacing tambang (13,04%) dan Enterobius vermicularis (8,69%). Kondisi demografi yang didapatkan pada keluarga balita gizi buruk tersebut adalah 84% berstatus sosial ekonomi rendah, 96% orang tua berpendidikan rendah dan sedang, 40% mempunyai sarana sanitasi memadai dan 64% terinfeksi penyakit kronis.14 Penelitian di kota Malinau, Kalimantan Timur didapatkan hasil infeksi cacing golongan STH terjadi pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, dan pada golongan umur 6 tahun keatas. B. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) 28
  • 34. Penelitian pada anak sekolah dasar di tepi sungai Batanghari didapatkan perilaku tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan ataupun setelah buang air besar, berenang di sungai dan mandi kurang dari 2 kali sehari berisiko terinfeksi parasit usus.16 Prevalensi parasit usus pada anak di kampung Pasar Keputran Utara Surabaya didapatkan sebesar 36% dengan komposisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Kondisi sosial seperti padat penduduk, lingkungan dan sanitasi yang buruk serta aktifitas dan intensitas kontak anak dengan alam terbuka menjadi penyebab tingginya infeksi cacing usus.17 Terdapat hubungan yang signifikan antara higenitas diri dengan infeksi STH (P=0,012), dengan faktor yang mempengaruhi adalah aktifitas mencuci tangan (P=0,001) dan kontak dengan tanah (P=0,003).18 Penelitian terhadap 1126 anak sekolah dasar terpilih di Kabupaten Nunukan Kalimantan Selatan pada tahun 2010 didapatkan hasil persentase penderita ascariasis 10,3%, trichuriasis 8,97% dan penderita hookworm 2,93%. Ascaris lumbricoides mengambil karbohidrat dari tubuh anak-anak yang terinfeksi sebanyak 0,14 gram/ekor/hari dan protein 0,035 gram/ekor/hari. Trichuris trichiura menghisap darah sebanyak 0,005 cc/ekor/hari dan cacing Hookworm menghisap darah sebanyak 0,2 cc/ekor/hari. Konversi dalam rupiah, karbohidrat diasumsikan seharga beras Rp. 7.199,49/kg, protein seharga daging sapi Rp. 62.894,25/kg dan darah seharga Rp. 250.000/kantong isi 250 cc (Rp.1000/cc). Berdasarkan perhitungan maka didapatkan kerugian nutrisi dan finansial yang dialami oleh Kabupaten Nunukan selama tahun 2010 adalah kerugian karbohidrat sebesar 2.068,9 kg/tahun senilai Rp. 14.895.075,- kerugian protein sebesar 517,23 kg/tahun senilai Rp. Rp 32.530.588,-, kerugian darah sebesar 1.220.241,17 cc /tahun senilai Rp.1.220.241.100,- maka total kerugian financial akibat kecacingan adalah sebesar Rp.1.276.666.763,-.19 STH yang hidup dalam usus individu yang terinfeksi dapat menghasilkan ribuan telur setiap hari dan dapat dikeluarkan dari individu tersebut melalui feses. Saat kondisi lingkungan sesuai dengan kebutuhan telur, maka telur akan berkembang menjadi tahap infektif. Manusia dapat terinfeksi melalui proses memakan makanan yang terkontaminasi telur STH (Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura) atau larva (Ancylostoma duodenale). Kontaminasi oral dapat melalui : sayuran yang tidak dicuci, dikupas dan dimasak secara baik, tangan, peralatan atau melalui penetrasi kulit oleh larva cacing tambang dari tanah yang terkontaminasi Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Tidak ada penularan langsung orang ke orang atau infeksi dari tinja segar karena telur yang dikeluarkan melalui tinja membutuhkan sekitar 3 minggu di tanah sebelum menjadi infeksi. Cacing yang ditularkan melalui tanah merusak status gizi orang yang mereka terinfeksi dalam berbagai cara9 : a) Cacing memakan jaringan inang, termasuk darah, yang menyebabkan hilangnya zat besi dan protein, b) Cacing tambang juga menyebabkan kehilangan darah usus kronis yang dapat menyebabkan anemia, c) Cacing meningkatkan malabsorpsi zat gizi. Selain itu, cacing gelang mungkin bersaing untuk mendapatkan vitamin A di usus, C. Daur Kehidupan Cacing yang Menginfeksi Saluran Cerna Manusia D. Hubungan Infeksi Cacing yang Menginfeksi Saluran Cerna terhadap Status Gizi Pendek 29
  • 35. d) Beberapa cacing yang ditularkan melalui tanah juga menyebabkan hilangnya nafsu makan dan, karenanya, mengurangi asupan nutrisi dan kebugaran fisik. Secara khusus, T.trichiura dapat menyebabkan diare dan disentri. Penelitian di Ekuador mengenai STH dan status gizi didapatkan hasil bahwa 257 (27,9%) anak-anak terinfeksi dengan setidaknya satu parasit STH. Prevalensi Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides dan cacing tambang masing-masing adalah 19,3%, 18,5% dan 5,0%. Malnutrisi terjadi pada 14,2% anak-anak dan paling sering adalah anak pendek (12,3%). Dibandingkan dengan daerah lain, anak sekolah di wilayah Amazon memiliki prevalensi STH tertinggi (58,9%) di mana proporsi infeksi yang lebih besar adalah intensitas sedang/berat (45,6%) dan memiliki prevalensi kekurangan gizi tertinggi (20,4%). Analisis statistik didapatkan hasil hubungan positif yang bermakna antara infeksi sedang sampai berat dengan A. lumbricoides dan malnutrisi (disesuaikan OR 1,85, 95% CI 1,04-3,31, p=0,037)20. Penelitian mengenai hubungan antara infeksi STH, hemoglobin dan indeks perkembangan anak di Distrik Manufahi, Timor Leste mendapatkan hasil bahwa tidak ada intensitas infeksi N.americanus yang dikaitkan dengan pendek, namun infeksi Ascaris intensitas tinggi dikaitkan dengan risiko relatif lebih tinggi untuk pendek. Hasil lainnya adalah infeksi Ancylostoma dikaitkan dengan pendek21 . Penelitian di kota Medan mendapatkan hasil bahwa dari 140 anak yang terinfeksi STH, 8,6% terinfeksi dengan Ascaris lumbricoides, 17,1% dengan Trichuris trichiura dan 74,3% dengan infeksi campuran (Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura). Penelitian ini juga menemukan bahwa anak yang terinfeksi STH lebih banyak secara signifikan dengan kurang gizi (kurus) daripada kelompok yang tidak terinfeksi22 . Spesies yang tergolong protozoa intestinal dan terutama yang dapat menimbulkan infeksi saluran pencernaan pada manusia yaitu, dari kelas Rhizopoda adalah Entamoeba histolytica, kelas Mastigophora adalah Giardia lamblia dan kelas Sporozoa adalah Blastocystis hominis. Jenis protozoa yang sering menjadi penyebab diare adalah Entamoeba histolytica. Terdapat juga jenis protozoa intestinal lain seperti, Entamoeba coli, Endolimax nana dari kelas Rhizopoda, Balantidium coli dari kelas Ciliata, dan Isospora belli, Cryptosporidium parvum serta Cyclospora cayetanesis dari kelas Sporozoa. Amebiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Entamoeba histolytica. Amebiasis dapat mengenai siapa saja, meskipun lebih umum pada orang yang hidup di daerah tropis dengan sanitasi yang buruk. Dalam daur hidupnya Entamoeba histolytica mempunyai 3 stadium yaitu bentuk histolitika, minuta dan kista. Bentuk histolitika dan minuta adalah bentuk trofozoit. Perbedaan antara kedua bentuk trofozoit tersebut adalah bentuk histolitika bersifat patogen dan mempunyai ukuran yang lebih besar dari bentuk minuta. Bentuk histolitika dapat hidup di jaringan hati, paru, usus besar, kulit, otak, dan vagina. III. Infeksi Protozoa Saluran Cerna Manusia A. Spesies Protozoa 30
  • 36. Giardia intestinalis (Giardia duodenalis, Giardia lamblia) adalah parasit dapat menyerang manusia dan hewan peliharaan seperti anjing serta kucing. Tanda dan gejala umum infeksi Giardia adalah diare, perut bergas, ketidaknyamanan perut, mual, dan muntah. Giardia lamblia mempunyai dua bentuk yaitu trofozoit dan kista. Meskipun trofozoit ditemukan di dalam tinja tetapi trofozoit tidak dapat hidup di luar tubuh manusia. Kista adalah bentuk infeksius G.lamblia yang resisten terhadap berbagai macam gangguan di luar pejamu dan dapat bertahan hidup selama sebulan di air atau tanah. Blastocystis hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di sampel feses manusia, baik pada pasien yang simtomatik maupun pasien yang sehat. B. hominis mempunyai 4 bentuk, yaitu vakuolar, granular, ameboid dan bentuk kista. Vakuolar adalah bentuk yang paling sering ditemukan dalam tinja maupun biakan. Di tengah ada struktur yang mirip vakuol yang tampak transparan dan refraktil dengan mikroskop phase contrast. Vakuol ini dilapisi permukaan yang mudah dilihat dengan tinta India. Bentuk granular berasal dari stadium vakuolar, fungsinya dalam dalam daur hidup B. hominis masih belum diketahui. Ameboid mempunyai bentuk yang tidak beraturan dan banyak ditemukan di dalam tinja maupun biakan namun aktivitas ameboid sukar dilihat. Sedangkan kista B. hominis berbentuk polimorfik, tetapi kebanyakan tampak oval atau sirkular, dengan atau tanpa lapisan membrane di sebelah luarnya. Fungsi kista masih belum jelas. E.histolytica ditemukan hampir di seluruh dunia, tetapi prevalensi tertinggi didapatkan di negara-negara berkembang terutama di daerah endemik seperti Durban, Ibadan dan Kampala di Afrika mencapai 50%. Angka mortalitas diperkirakan 75.000 pertahun. Infeksi E.histolytica dapat melalui makanan dan air serta melalui kontak manusia ke manusia. Entamoeba histolytica, agen penyebab amebiasis manusia, tetap menjadi penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas di negara-negara berkembang dan bertanggung jawab atas 100.000 kematian di seluruh dunia setiap tahun23 . Entamoeba dispar, secara morfologis tidak dapat dibedakan dengan E. histolytica. Demikian pula Entamoeba moshkovskii secara morfologis identik dengan E. histolytica dan E. dispar. Satu-satunya spesies yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah E. histolytica. Studi terbaru menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari semua infeksi E. histolytica berkembang menjadi gejala klinis pada inang dan terdapat perbedaan tingkat populasi antara strain E. histolytica yang diisolasi dari individu tanpa gejala dan individu yang bergejala. Faktor-faktor yang mendasari hasil klinis dari infeksi E. histolytica sebagian besar belum diketahui. Giardiasis terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi lebih tinggi dengan kondisi sanitasi buruk. Giardiasis dapat mengenai semua golongan umur, tetapi pada daerah endemis infeksi lebih sering terjadi pada bayi. Giardiasis adalah penyakit protozoa patogen yang paling sering dilaporkan di Amerika Serikat. Manusia adalah reservoir utama parasit, tetapi berbagai hewan membawa Giardia spp. mirip dengan yang menginfeksi manusia. Pada awalnya, genus dianggap mengandung banyak spesies khusus inang, tetapi saat ini diyakini bahwa hanya dua spesies yang berbeda secara morfologis yang menginfeksi hewan. Salah satunya, G. duodenalis (termasuk B. Epidemiologi Infeksi Protozoa 31
  • 37. G. lamblia) secara alami menginfeksi manusia, berang-berang, coyote, sapi, kucing, dan anjing. Tidak ada bukti yang terdokumentasi penularan dari anjing ke manusia. Infeksi menyebar langsung dari orang ke orang melalui kontaminasi tinja-oral dengan kista atau secara tidak langsung melalui penularan dalam air dan kadang-kadang makanan. Banyak wabah di seluruh masyarakat berasal dari sumber air yang terkontaminasi feses. Penularan juga terjadi di antara homoseksual pria yang melakukan praktik seksual oral-anal. Blastocystis spp telah diamati di seluruh dunia. Organisme ini berada di usus besar dan sekum anak-anak dan orang dewasa. Mode transmisi tidak sepenuhnya dipahami; penularan fecal-oral telah dipostulasikan. Beberapa penulis berpendapat bahwa air yang terkontaminasi juga dapat menjadi sumber infeksi. Blastocystis spp juga telah ditemukan pada hewan termasuk babi, monyet, tikus, dan unggas. Tampaknya ada kekhususan host yang buruk; penularan terjadi dari manusia ke manusia dan antara manusia dan hewan. Infeksi Blastocystis lebih umum di antara individu dengan paparan pekerjaan terhadap hewan, mendukung potensi penularan zoonosis. Prevalensi Blastocystis spp bervariasi antara negara dan antara masyarakat. Secara umum, perkiraan prevalensi Blastocystis spp lebih tinggi di negara berkembang daripada negara maju (masing-masing 30 hingga 50 persen berbanding 5 hingga 10 persen). Ini mungkin terkait dengan kebersihan yang buruk, paparan hewan, dan konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi. Dalam satu penelitian dari Senegal, 100 persen dari 93 sampel tinja positif untuk Blastocystis spp. Dalam sebuah studi dari Kanada, 8 persen sampel tinja yang diserahkan ke laboratorium rujukan positif untuk Blastocystis spp; ketika Blastocystis adalah satu-satunya organisme yang diidentifikasi, 76 persen dari subyek terus memendam parasit dua bulan setelah deteksi awal. Siklus hidup dari seluruh ameba usus hampir sama. Bentuk yang infektif adalah kista. Setelah tertelan, kista akan mengalami eksistasi di ileum bagian bawah menjadi trofozoit kembali. Trofozoit kemudian memperbanyak diri dengan cara belah pasang. Trofozoit kerap mengalami enkistasi (merubah diri menjadi bentuk kista). Kista akan dikeluarkan bersama tinja. Bentuk trofozoit dan kista dapat dijumpai di dalam tinja, namun trofozoit biasanya dijumpai pada tinja yang cair. E. histolytica bersifat invasif, sehingga trofozoit dapat menembus dinding usus dan kemudian beredar di dalam sirkulasi darah (hematogen). Trofozoit dapat menempel pada mukosa usus halus dengan bantuan sucking disc, sehingga mengganggu penyerapan makanan. Kelainan di saluran cerna dapat menyebabkan defisiensi zat gizi, terutama vitamin, asam folat, protein dan gammaglobulin. Sindrom malabsorbsi dan steatorrhea dapat timbul dan merupakan penanda infeksi berat. Hubungan infeksi protozoa dengan status gizi terjadi tidak langsung, tetapi melalui mekanis kerusakan saluran cerna dalam bentuk malabsorbsi. C. Daur Kehidupan Protozoa yang Menginfeksi Saluran Cerna Manusia D. Hubungan Infeksi Protozoa yang Menginfeksi Saluran Cerna terhadap Gizi Pendek 32
  • 38. Penelitian mengenai hubungan antara infeksi STH, hemoglobin dan indeks perkembangan anak di Distrik Manufahi, Timor Leste menemukan bahwa anak yang terinfeksi STH lebih banyak secara signifikan dengan kurang gizi (kurus) daripada kelompok yang tidak terinfeksi. Infeksi protozoa pada saluran cerna menyebabkan defisiensi zat gizi, karena protozoa menyebabkan kerusakan saluran cerna dalam bentuk malabsorbsi. Efek dari malabsorbsi pada balita adalah terhambatnya proses pertumbuhan yang bisa menyebabkan terjadinya stunting. Kerugian lain yang timbul akibat infeksi protozoa dan cacing adalah kerugian secara ekonomi. Hasil penelitian pada 1.126 anak di Kabupaten Nunukan tahun 2010 menyebutkan bahwa total kerugian finansial akibat kecacingan pada tahun 2010 sebesar 1.276.666.763 rupiah. Hasil penelitian pada anak sekolah dasar di tepi sungai Batanghari adalah bahwa terdapat beberapa perilaku yang menyebabkan anak-anak berisiko terinfeksi parasit atau pun cacing usus. Perilaku tersebut antara lain tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan atau setelah buang air besar, berenang di sungai dan mandi kurang dari dua kali sehari. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu kondisi sosial seperti lingkungan rumah padat penduduk, lingkungan dan sanitasi buruk serta intensitas anak dengan alam terbuka. Kesimpulan Fransisca RO, Iriani AD, Mutiksa FA, Izati S, Utami RK. Hubungan Infeksi Parasit Usus dengan Pengetahuan Perilaku Hidup Bersih Sehat pada Anak SD Bekasi , 2012 (The prevalance of intestinal parasitic infection among primary school children in Bekasi in 2012 and its association with knowledge level about clean . Jurnal Kesehatan Indonesia. 2012;3(1):2-6. Nababan D. Mother and Child Nutrition; (A Review of Stunting Studies). Int J Sci Basic Appl Res ISSN 2307-4531. 2015;4531:13-20. Andayasari L. Kajian epidemiologi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan Yang Disebabkan Oleh Amuba Di Indonesia. Media Litbang Kesehatan. 2011;21:1-9. Sinniah B, Hassan AKR, Sabaridah I, Soe MM, Ibrahim Z, Ali O. Prevalence of intestinal parasitic infections among communities living in different habitats and its comparison with one hundred and one studies conducted over the past 42 years (1970 to 2013) in Malaysia. Trop Biomed. 2014;31(2):190-206. Zakeri A. Helminth-induced apoptosis: a silent strategy for immunosuppression. Parasitology. 2017:1-14. doi:10.1017/S0031182017000841. WHO. Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium Kesehatan ( Manual of Basic Techniques for A Health Laboratory ), Alih Bahasa, Chairlan, Estu Lestari, Editor Bahasa Indonesia, Albertus Agung Mahode.; 2011. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/42295/4/9241545305_ind.pdf. Piwoz E, Sundberg S, Rooke J. Promoting Healthy Growth : What Are the Priorities for Research and Action? 1 , 2. Adv Nutr An Int Rev J. 2012;(3):234-241. doi:10.3945/an.111.001164.234 Daftar Pustaka 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 33
  • 39. Turnbaugh PJ, Ridaura VK, Faith JJ, Rey FE, Knight R, Gordon JI. The effect of diet on the human gut microbiome: a metagenomic analysis in humanized gnotobiotic mice. Sci Transl Med. 2009;1(6):6ra14. doi:10.1126/scitranslmed.3000322. WHO. Soil-transmitted helminth infections - WHO. 2016;(3):2-5. Despommier DD, Griffin DO, Gwadz RW, et al. Parasitic Diseases Sixth Edition Chevalier of the Nation, Republic of Mali.; 1003. Incidence I, Collaborators P. Global , regional , and national incidence , prevalence , and YLDs for 301 acute and chronic diseases and injuries for 188 countries , 1990-2013: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2013. 2013:1990-2013. https://eprints.qut.edu.au/89421/7/89421a.pdf. Suriptiastuti. Infeksi soil-transmitted helminth: ascariasis, trichiuriasis dan cacing tambang. Universal Med. 2006;25(2):84-93. 13. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral PP dan PL. Pedoman Pengendalian Kecacingan. 2012:1-63. Kesetyaningsih TW, Riswari RA, Pitaka RT. Distribusi Prevalensi Infestasi Parasit Usus pada Balita Penderita Gizi Buruk di Kasihan, Bantul, Yogyakarta Berdasarkan Faktor Risiko. Mutiara Med. 2010;10(2):135-141. Journal Z. Prevalence of soil-transmitted helminths (sth) in primary school children in subdistrict of Malinau Kota , District of Malinau , East Kalimantan Province, Prevalensi soil transmitted helminth ( sth ) pada anak sekolah dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabu. 2014;5(1):43-48. Hardiyanti LT, Umniyati SR. Higiene buruk dan infeksi parasit usus pada anak sekolah dasar di tepi sungai Batanghari. Johan Ade Wicaksono C, Suswaty S, Heru Apriantoro N, Sasongko A. Journal of Vocational Health Studies www.e-journal.unair.ac.id/index.php/JVHS Journal of Vocational Health Studies. Elseveir. 2018;01:97-101. doi:10.20473/jvhs. Medika E, No VOL, Luh N, et al. Hubungan Perilaku Higienitas Diri Dan Sanitasi Sekolah dengan Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Siswa Kelas III-IV Sekolah Dasar Negeri No. 5 Delod Peken Tabanan Tahun 2014 Program Studi Pendidikan Dokter , Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran U. 2017;6(5):5-8. Losses F, To DUE, Case H, et al. Kerugian finansial akibat kecacingan… (Indriyati L; dkk). Penel Gizi Makan. 2014;37(2):155-160. Moncayo AL, Lovato R, Cooper PJ. . BMJ Open. 2018;8(4):1-9. doi:10.1136/bmjopen-2017-021319. Campbell SJ, Nery S V., D’Este CA, et al. Investigations into the association between soil-transmitted helminth infections, haemoglobin and child development indices in Manufahi District, Timor-Leste. Parasites and Vectors. 2017;10(1):1-15. doi:10.1186/s13071-017-2084-x. Simarmata N, Sembiring T, Ali M. Nutritional status of soil-transmitted helminthiasis-infected and uninfected children. Paediatr Indones. 2016;55(3):136. doi:10.14238/pi55.3.2015.136-41. Ali IKM, Clark CG, Petri WA. Molecular epidemiology of amebiasis. Infect Genet Evol. 2008;8(5):698-707. doi:10.1016/j.meegid.2008.05.004. 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 34
  • 40. 2020 Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI Jl. HR Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9 Jakarta Selatan pusdatin.kemkes.go.id pusdatin kemenkes Pusdatin KemKes pusdatinkemkes pusdatinkemenkes