SlideShare a Scribd company logo
1 of 5
Download to read offline
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : 3/Bhisama /Sabba Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang
PENGAMALAN CATUR WARNA
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Hyang Widhi Wasa
Pesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
Menimbang :
1. Bahwa Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat memiliki kewenangan untuk
mengeluarkan Bhisama sesuai dengan Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia yang
ditetapkan dalam Maha sabha VIII tahun 2001 di Denpasar, Bali.
2. Bahwa Catur Vama adalah ajaran tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat
berdasarkan "guna" (bakat) dan "Karma" (kerja) yang sesuai dengan pilihan hidupnya.
3. Bahwa di dalam sejarah perkembangan agama Hindu telah terjadi penyimpangan pengertian
ajaran tentang Catur Varna menjadi Kasta atau Wangsa yang berdasarkan atas kelahiran
(keturunan/keluarga) seseorang.
4. Bahwa untuk meluruskan pemahaman dan pengamalan Catur Warna yang menyimpang selama
ini, maka dipandang perlu menetapkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna tersebut
Mengingat :
1. Ketetapan Mahasabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia Tahun 2001 Nomor:
1/Tap.M.Sabha/VIII/ 2001 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Parisada
Hindu Dharma Indonesia.
2. Ketetapan Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia Nomor:
II/TAP/M.Sabha/VIII/2001 tentang Program Kerja Parisada Hindu Dharma Indonesia
Memperhatikan :
Usul-usul Sabha Walaka dan hasil pembahasan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia
Pusat pada Pesamuhan Agung Tanggal 26-27 Oktober 2002.
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
TENTANG PENGAMALAN CATUR VARNA SESUAI DENGAN KITAB SUCI VEDA DAN
SUSASTRA HINDU LAINNYA
Pertama : Catur Varna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban
masyarakat atas "guna" dan "Kama" dan tidak terkait dengan Kasta atau Wangsa.
Kedua :Bhisama tentang Pengamalan Catur Vama ini sebagai pedoman yang
sepatutnya dipatuhl oleh seluruh umat Hindu.
Ketiga :Menugaskan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
untuk memasyarakatkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna ini, beserta
penjelasannya dalam lampiran Bhisama ini kepada scluruh umat Hindu di Indonesia.
Keempat : Apabila ada kekeliruan dalam Bhisama ini akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Kelima : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Bhisama ini disampaikan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk
dilaksanakan.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
Dharma Adhyaksa Wakil Dharma Adhyaksa
Ida Pdd Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka
Lampiran
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : 03/Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang Pengamalan Catur Vama
PENGAMALAN CATUR VARNA
A. Latar Belakang
Sudah merupakan pengertian umum babwa ajaran Catur Varna yang bersumber pada wahyu
Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda
(Hindu) lainnya adalah ajaran yang sangat mulia. Namun dalam penerapannya terjadi
penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali)
yang jauh berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan ajaran Catur Varna yang sangat
suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya.
Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak
citra Agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di
dunia.
Perjuangan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Catur Varna itu sudah banyak dilakukan oleh
sebagian umat Hindu. Perjuangan itu dilakukan baik oleh para cendekiawan maupun lewat
berbagai organisasi/lembaga keumatan Hindu. Meskipun sangat alot namun perjuangan untuk
mengembalikan kebenaran ajaran Catur Varna itu sudah menampakkan hasilnya. Seperti dalain
bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum semakin nampak adanya kesetaraan. Justru
dalam bidang keagamaan dan sosial budaya seperti pergaulan dalam kemasyarakatan membeda-
bedakan Wangsa atau Soroh itu masih sangat kuat. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari sangat
tampak adanya penggunaan sistem Wangsa yang salah itu, dipakai oleh umat Hindu. Demikian
pula dalam bidang keagamaan dan adat istiadat membeda-bedakan Wangsa itu masih sangat kuat.
Hal itu menjadi sumber konflik yang tiada putus-putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu
di Indonesia (khususnya di Bali). Wacana dari berbagai kalangan umat Hindu semakin keras untuk
kembali ke ajaran Catur Varna, oleh karena itu dalam Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma
Indonesia bulan September 2001 di Denpasar telah mengusulkan adanya penetapan Bhisama
Tentang Catur Warna ini. Usulan itu didahului oleh berbagai seminar dan diskusi-diskusi.
Seminar dan diskusi itu diadakan oleh Parisada maupun oleh Orinas dan lembaga-lembaga umat
Hindu.
Hampir setiap seminar dan diskusi ada usulan untuk kembali kepada sistem Catur Varna dengan
melepaskan dominasi sistem Wangsa. Tujuan ditetapkannya Bhisama Catur Varna untuk
mengembalikan secara bertahap agar proses perubahan meninggalkan sistem Wangsa yang salah
itu menuju pada sistem Catur Varna lebih cepat jalannya. Sistem Wangsa agar dipergunakan
hanya untuk Pitra Puja dan untuk berbakti kepada leluhur dalam menumbuhkan rasa persaudaraan
di intern wangsa itu sendiri. Sistem Wangsa hendaknya diarahkan untuk mengamalkan ajaran
Hindu yang benar dalam kontek kesetaraan antar sesama manusia. Sistem Wangsa itu tidak
dijadikan dasar dalam sistem pergaulan/adat-istiadat sehari-hari. Seperti sistem penghormatan
dalam pergaulan sosial/adat-istiadat.
Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan
(Vasudeva kutum bakam). Demikian juga pandita dalam swadharmanya memimpin upacara tidak
memandang dari asal usul Wangsa seseorang. Seorang setelah melaksanakan upacara Diksa
menjadi pandita sudah lepas dari ikatan Wangsanya.
B. Pengertian dan Fungsi Ajaran Catur Varna Menurut Kitab Suci Veda
Tujuan hidup menurut ajaran Agama Hindu sebagaimana dinyatakan dalam kitab Brahma
Purana 228.45. Dharma artha kama moksanam sarira sadanam, artinya: badan (Sarira) Sthula,
Suksama dan Antakarana Sarira) hanya dapat dijadikan sarana untuk mencapai Dharma, Artha,
Kama dan Moksa. Inilah yang disebut Catur Purusha Artha atau empat tujuan hidup. Untuk
mencapai empat tujuan hidup manusia itu harus dicapai secara bertahap. Dalam Agastya Parwa
dinyatakan bahwa empat tujuan hidup itu dicapai secara bertahap menurut Catur Asrama. Tahap
hidup Brahmacari diprioritaskan rnencapai Dharma, tahap hidup Grhastha diprioritaskan
mencapai Artha dan Kama, sedangkan dalam tahap hidup Vanaprastha dan Sannyasa Asrama
tujuan hidup diprioritaskan mencapai Moksa.
Untuk mewujudkan empat tujuan hidup dalam empat tahapan hidup (Catur Asrama) itu
dibutuhkan empat jenis profesi yang disebut Catur Varna. Dalam kitab suci Yajurveda XXX.5
dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan empat profesi atas dasar bakat dan
kemampuan seseorang. Brahmana Varna diciptakan untuk mengembangkan pengetahuan suci,
Ksatriya untuk melindungi ciptaan-NYA, Vaisya untuk kemakmuran dan Sudra untuk pekerjaan
jasmaniah. Dalam mantra Yajurveda XXX.11 dinyatakan Brahmana Varna diciptakan dari
kepala Brahman, Ksatriya dari lengan Brahman, Vaisya dari perut-Nya dan Sudra dari kaki-Nya
Brahman. Jadi semua Varna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna ini
memiliki kemuliaan yang setara. Hal ini dinyatakan dalam mantra Yajurveda XVIII.48 untuk
memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra sama-
sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna itu akan mulia kalau
sudah mentaati swadharma-nya masing-masing.
Dalam Bhagavadgita IV.13 dan XVIII.41 dengan sangat jelas dan tegas bahwa untuk
menentukan Varna seseorang didasarkan pada Guna dan Karmanya. Guna artinya minat dan bakat
sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadinya yang menentukan "Varna" seseorang
adalah profesinya bukan berdasarkan keturunannya. Sedangkan Karma artinya perbuatan dan
pekerjaan. Seorang yang berbakat dan punya keakhlian (profesi) di bidang kerohanian dan
pendidikan serta bekerja juga di bidang kerohanaian dan pendidikan itulah yang dapat disebut ber
"varna" Brahmana. Demikian juga orang yang dapat disebut ber "varna" Ksatriya adalah orang
yang berbakat dan punya keakhlian di bidang kepemimpinan dan pertahanan. Orang yang
berbakat di bidang ekonomi dan bekerja juga dalam bidang ekonomi ialah yang dapat disebut
Vaisya. Sedangkan orang yang hanya mampu bekeda hanya dengan menggunakan tenaga
jasmaninya saja karena tidak memiliki kecerdasan disebut Sudra.
Menurut Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55 hanya mereka yang tergolong
Brahmana, Ksatriya dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi Dvijati (pandita). Sudra tidak
diperkenankan menjadi Dvijati karena mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan
mengandalkan tenaga jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan. Dvijati harus memiliki
kemampuan rohani dan daya nalar yang tinggi, oleh karenanya Swadharma seorang Dvijati adalah
sebagai Adi Guru Loka atau Gurunya masyarakat. Namun untuk mendapatkan tuntunan kitab suci
Veda semua Varna berhak dan boleh mempelajarinya termasuk Sudra Varna. Hal ini ditegaskan
dengan jelas dan tegas dalam mantra Yajurveda ke XXV.2.
Varna seseorang tidak dilihat dari sudut keturunannya, misalnya kebrahmanaan seseorang bukan
dilihat dari sudut ayah dan ibunya, meskipun ayah dan ibunya seorang pandita atau rsi yang
tergolong ber "Varna" Brahmana, belum tentu keturunannya menjadi seorang Brahmana, seperti
halnya Rahwana, kakeknya, ayah dan ibunya, adalah rsi yang terpandang, namun Rahwana
bersifat raksasa. Prahlada di dalam kitab Bhagavata Purana disebut sebagal anak dari raksasa
bemama Hiranya Kasipu, namun Prahlada adalah seorang Brahmana sangat taat beragama
meskipun ia masih anak- anak. Varna seseorang tidak ditentukan oleh keturunannya ini dijelaskan
dengan tegas dalam kitab Mahabharata XII. CCCXII,108 bahwa ke "Dvijati"an seseorang tidak
ditentukan oleh ke "wangsa"annya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur
dan pekerjaanya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.
C. Menegakkan sistem Catur Varna.
Untuk mengembalikan sistem Catur Varna dalam masyarakat Hindu di Indonesia haruslah
ditempuh langkah-langklah sbb:
1. Umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk menghilangkan adat-istiadat keagamaan
Hindu yang bertentangan dengan ajaran Catur Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu pada
umumnya. Hal ini dilakukan melalui berbagai "metode pembinaan umat Hindu" yang telah
ditetapkan dalam Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 di Denpasar
yang terdiri dari : Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma Sadhana, Dharma
Yatra dan Dharma Santi.
2. Dalam kehidupan beragama Hindu umat diajak untuk tidak membeda-bedakan pandita dari segi
asal kewangsaannya. Seorang pandita dapat "muput" (memimpin) upacara yang dilaksanakan
oleh umat tanpa memandang asal-usul keturunannya. Umat Hindu dididik dengan baik untuk
tidak membeda-bedakan harkat dan martabat para pandita Hindu dari sudut asal "Wangsa"nya.
3. Dalam persembahyangan bersama saat "Nyiratang Tirtha" (memercikkan air suci) umat diajak
untuk membiasakan menerima "Siratan Tirtha" (percikkan air suci) dari Pamangku atau
Pinandita. Ada sementara umat menolak dipercikkan Tirtha oleh Pamangku pura bersangkutan.
Hal itu umumnya karena menganggap Pemangku itu Wangsanya lebih rendah dari umat yang
menolak dipercikan Tirtha itu. Sikap seperti itu jelas menggunakan sistem Wangsa yang
melecehkan swadharma seorang Pemangku.
4. Sistem penghormatan tamu Upacara Yajna atau Atithi Yajna dalam suatu Upacara Yajna
janganlah didasarkan pada sistem Wangsa, artinya jangan tamu dalam upacara yajna dari
Wangsa tertentu saja mendapatkan penghormatan adat, bahkan kadang-kadang ada pejabat
resmi yang patut mendapatkan pengerhonnatan yang sewajarnya, didudukkan ditempatkan
yang kurang wajar dalam tata penghormatan itu.
5. Umat Hindu hendaknya diajak untuk melaksanakan upacara yajna pawiwahan yang benar,
seperti kalau ada pria yang mengawini wanita yang berbeda wangsa pada saat upacara "Matur
Piuning" di tempat pemujaan keluarga pihak wanita, seyogyanya kedua mempelai
bersembahyang bersama.
6. Pandita seyogyanya tidak menolak untuk "Muput" upacara "Pawiwahan" (perkawinan) karena
mempelal berbeda wangsa.
7. Dalam hal Upacara Manusa Yadnya "Mepandes" (Potong Gigi), orang tua sepatutnya tidak
membeda-bedakan putra-putrinya yang disebabkan oleh perkawinan berbeda wangsa.
8. Tidak seyogyanya seseorang yang akan di-Dwijati / di-Abiseka kawin lagi hanya karena
istrinya yang pertama dari wangsa yang berbeda.
9. Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus dihapuskan.
10. Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan hapusnya tradisi Asumundung dan
Karang hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951.
11. Pemakaian bahasa dalam etika moral pergaulan antar wangsa, sepatutnya saling harga-
menghargai agar jangan menimbulkan kesan pelecehan terhadap wangsa lainnya.
Demikian Bhisama ini ditetapkan untuk memberikan tuntunan kepada umat Hindu demi tegaknya
supremasi nilai-nilai agama Hindu di atas adat-istiadat. Dengan demikian adat-istladatpun akan
tetap terpelihara dengan dasar kebenaran ajaran agama. Hendaknya umat Hindu tetap memelihara
adat yang menjadi media penyebaran kebenaran Veda yang disebut Satya Dharma.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
Dharma Adhyaksa Wakil Dharma Adhyaksa
Ida Pdd Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa Ida Pandita Mpu Java Dangka Suta Reka

More Related Content

What's hot

upacara dalam agama buddha
upacara dalam agama buddhaupacara dalam agama buddha
upacara dalam agama buddhaRuby Santamoko
 
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka ok
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka okSuplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka ok
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka okIstna Zakia Iriana
 
Suplemen kb 1 modul pdab sejarah agama buddha ok
Suplemen kb 1 modul pdab sejarah agama buddha okSuplemen kb 1 modul pdab sejarah agama buddha ok
Suplemen kb 1 modul pdab sejarah agama buddha okIstna Zakia Iriana
 
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka ok
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka okSuplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka ok
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka okIstna Zakia Iriana
 
kebatinan jawa
kebatinan jawakebatinan jawa
kebatinan jawabamzyuli
 
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA BUDDHA
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA BUDDHAPENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA BUDDHA
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA BUDDHAEmilia Wati
 
Tarekat naqsabandiyah
Tarekat naqsabandiyahTarekat naqsabandiyah
Tarekat naqsabandiyahhendra yana
 
Agama Hindu dan Sejaah Perkembanganya
Agama Hindu dan Sejaah Perkembanganya Agama Hindu dan Sejaah Perkembanganya
Agama Hindu dan Sejaah Perkembanganya IAIN Salatiga
 

What's hot (17)

Tata susila 4 ppt kb 3 ok
Tata susila 4 ppt kb 3 okTata susila 4 ppt kb 3 ok
Tata susila 4 ppt kb 3 ok
 
Buddha avatara
Buddha avataraBuddha avatara
Buddha avatara
 
05. pendidikan agama buddha (a)
05. pendidikan agama buddha (a)05. pendidikan agama buddha (a)
05. pendidikan agama buddha (a)
 
upacara dalam agama buddha
upacara dalam agama buddhaupacara dalam agama buddha
upacara dalam agama buddha
 
Tata Susila 4 ppt kb 2 ok
Tata Susila 4 ppt kb 2 okTata Susila 4 ppt kb 2 ok
Tata Susila 4 ppt kb 2 ok
 
04. pendidikan agama hindu (b)
04. pendidikan agama hindu (b)04. pendidikan agama hindu (b)
04. pendidikan agama hindu (b)
 
Agama majapahit
Agama majapahitAgama majapahit
Agama majapahit
 
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka ok
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka okSuplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka ok
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka ok
 
Suplemen kb 1 modul pdab sejarah agama buddha ok
Suplemen kb 1 modul pdab sejarah agama buddha okSuplemen kb 1 modul pdab sejarah agama buddha ok
Suplemen kb 1 modul pdab sejarah agama buddha ok
 
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka ok
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka okSuplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka ok
Suplemen kb 2 modul pdab kitab suci tipitaka ok
 
kebatinan jawa
kebatinan jawakebatinan jawa
kebatinan jawa
 
Lembar CDI - 23
Lembar CDI - 23Lembar CDI - 23
Lembar CDI - 23
 
Agama 4 tarekat
Agama 4 tarekatAgama 4 tarekat
Agama 4 tarekat
 
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA BUDDHA
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA BUDDHAPENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA BUDDHA
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA BUDDHA
 
Tarekat naqsabandiyah
Tarekat naqsabandiyahTarekat naqsabandiyah
Tarekat naqsabandiyah
 
Sk kd agama budha smp-smplb
Sk kd agama budha smp-smplbSk kd agama budha smp-smplb
Sk kd agama budha smp-smplb
 
Agama Hindu dan Sejaah Perkembanganya
Agama Hindu dan Sejaah Perkembanganya Agama Hindu dan Sejaah Perkembanganya
Agama Hindu dan Sejaah Perkembanganya
 

Similar to Bhisama catur warna

181103143-LAHIR-DAN-BERKEMBANGNYA-HINDU-BUDDHA-DI-INDONESIA-ppt.ppt
181103143-LAHIR-DAN-BERKEMBANGNYA-HINDU-BUDDHA-DI-INDONESIA-ppt.ppt181103143-LAHIR-DAN-BERKEMBANGNYA-HINDU-BUDDHA-DI-INDONESIA-ppt.ppt
181103143-LAHIR-DAN-BERKEMBANGNYA-HINDU-BUDDHA-DI-INDONESIA-ppt.pptarsyakeyla09
 
HINDU DHARMA.pptx
HINDU DHARMA.pptxHINDU DHARMA.pptx
HINDU DHARMA.pptxibnunawaji1
 
Konsep Agama Budha
Konsep Agama BudhaKonsep Agama Budha
Konsep Agama Budhapjj_kemenkes
 
45 tahun masa pembabaran dhamma sang buddha
45 tahun masa pembabaran dhamma sang buddha 45 tahun masa pembabaran dhamma sang buddha
45 tahun masa pembabaran dhamma sang buddha STAB dharma widya
 
Perkembangan hindu budha di asia dan indonesia
Perkembangan hindu budha di asia dan indonesiaPerkembangan hindu budha di asia dan indonesia
Perkembangan hindu budha di asia dan indonesiahannafatiha
 
Bab 4 Tamadun India
Bab 4 Tamadun IndiaBab 4 Tamadun India
Bab 4 Tamadun Indianinawariz
 
Bab 4 Tamadun India
Bab 4 Tamadun IndiaBab 4 Tamadun India
Bab 4 Tamadun Indiawan arizwnb
 
Konsep Agama Budha
Konsep Agama BudhaKonsep Agama Budha
Konsep Agama Budhapjj_kemenkes
 
1. Final MA_Ni Made Adnyani_PAH_SMA_E_10.1.pdf
1. Final MA_Ni Made Adnyani_PAH_SMA_E_10.1.pdf1. Final MA_Ni Made Adnyani_PAH_SMA_E_10.1.pdf
1. Final MA_Ni Made Adnyani_PAH_SMA_E_10.1.pdfHery Abdi
 
Konsep Agama Hindu
Konsep Agama HinduKonsep Agama Hindu
Konsep Agama Hindupjj_kemenkes
 
Bhn bintal ad dharma yatra.pptx
Bhn bintal ad dharma yatra.pptxBhn bintal ad dharma yatra.pptx
Bhn bintal ad dharma yatra.pptxRuby Santamoko
 
Konsep Agama Kristen Hindu
Konsep Agama Kristen HinduKonsep Agama Kristen Hindu
Konsep Agama Kristen Hindupjj_kemenkes
 
Agama Kristen Hindu
Agama Kristen HinduAgama Kristen Hindu
Agama Kristen Hindupjj_kemenkes
 
Etika dan Moral Agama Hindu
Etika dan Moral Agama HinduEtika dan Moral Agama Hindu
Etika dan Moral Agama HinduThomas Mon
 

Similar to Bhisama catur warna (20)

Varna asrama-dharma
Varna asrama-dharmaVarna asrama-dharma
Varna asrama-dharma
 
Makalah kerajaan hindu budha di indonesia
Makalah kerajaan hindu budha di indonesiaMakalah kerajaan hindu budha di indonesia
Makalah kerajaan hindu budha di indonesia
 
Makalah kerajaan hindu budha di indonesia
Makalah kerajaan hindu budha di indonesiaMakalah kerajaan hindu budha di indonesia
Makalah kerajaan hindu budha di indonesia
 
181103143-LAHIR-DAN-BERKEMBANGNYA-HINDU-BUDDHA-DI-INDONESIA-ppt.ppt
181103143-LAHIR-DAN-BERKEMBANGNYA-HINDU-BUDDHA-DI-INDONESIA-ppt.ppt181103143-LAHIR-DAN-BERKEMBANGNYA-HINDU-BUDDHA-DI-INDONESIA-ppt.ppt
181103143-LAHIR-DAN-BERKEMBANGNYA-HINDU-BUDDHA-DI-INDONESIA-ppt.ppt
 
Lahirnya agama hindu buddha
Lahirnya agama hindu buddhaLahirnya agama hindu buddha
Lahirnya agama hindu buddha
 
HINDU DHARMA.pptx
HINDU DHARMA.pptxHINDU DHARMA.pptx
HINDU DHARMA.pptx
 
Agama Budha
Agama BudhaAgama Budha
Agama Budha
 
Konsep Agama Budha
Konsep Agama BudhaKonsep Agama Budha
Konsep Agama Budha
 
45 tahun masa pembabaran dhamma sang buddha
45 tahun masa pembabaran dhamma sang buddha 45 tahun masa pembabaran dhamma sang buddha
45 tahun masa pembabaran dhamma sang buddha
 
Perkembangan hindu budha di asia dan indonesia
Perkembangan hindu budha di asia dan indonesiaPerkembangan hindu budha di asia dan indonesia
Perkembangan hindu budha di asia dan indonesia
 
Bab 4 Tamadun India
Bab 4 Tamadun IndiaBab 4 Tamadun India
Bab 4 Tamadun India
 
Bab 4 Tamadun India
Bab 4 Tamadun IndiaBab 4 Tamadun India
Bab 4 Tamadun India
 
Konsep Agama Budha
Konsep Agama BudhaKonsep Agama Budha
Konsep Agama Budha
 
1. Final MA_Ni Made Adnyani_PAH_SMA_E_10.1.pdf
1. Final MA_Ni Made Adnyani_PAH_SMA_E_10.1.pdf1. Final MA_Ni Made Adnyani_PAH_SMA_E_10.1.pdf
1. Final MA_Ni Made Adnyani_PAH_SMA_E_10.1.pdf
 
Konsep Agama Hindu
Konsep Agama HinduKonsep Agama Hindu
Konsep Agama Hindu
 
Bhn bintal ad dharma yatra.pptx
Bhn bintal ad dharma yatra.pptxBhn bintal ad dharma yatra.pptx
Bhn bintal ad dharma yatra.pptx
 
Buddhism
BuddhismBuddhism
Buddhism
 
Konsep Agama Kristen Hindu
Konsep Agama Kristen HinduKonsep Agama Kristen Hindu
Konsep Agama Kristen Hindu
 
Agama Kristen Hindu
Agama Kristen HinduAgama Kristen Hindu
Agama Kristen Hindu
 
Etika dan Moral Agama Hindu
Etika dan Moral Agama HinduEtika dan Moral Agama Hindu
Etika dan Moral Agama Hindu
 

More from agungkris4

HUt hermes uiiiiiiwawww
HUt hermes uiiiiiiwawwwHUt hermes uiiiiiiwawww
HUt hermes uiiiiiiwawwwagungkris4
 
PPT KELOMPOK 5.pptx
PPT KELOMPOK 5.pptxPPT KELOMPOK 5.pptx
PPT KELOMPOK 5.pptxagungkris4
 
PPT World TB Day.pptx
PPT World TB Day.pptxPPT World TB Day.pptx
PPT World TB Day.pptxagungkris4
 
PPT pekan asii
PPT pekan asiiPPT pekan asii
PPT pekan asiiagungkris4
 
POA LKMM HIYAA
POA LKMM HIYAAPOA LKMM HIYAA
POA LKMM HIYAAagungkris4
 
Desy fajarwati lesmana e02213007
Desy fajarwati lesmana e02213007Desy fajarwati lesmana e02213007
Desy fajarwati lesmana e02213007agungkris4
 

More from agungkris4 (9)

HUt hermes uiiiiiiwawww
HUt hermes uiiiiiiwawwwHUt hermes uiiiiiiwawww
HUt hermes uiiiiiiwawww
 
PPT KELOMPOK 5.pptx
PPT KELOMPOK 5.pptxPPT KELOMPOK 5.pptx
PPT KELOMPOK 5.pptx
 
PPT World TB Day.pptx
PPT World TB Day.pptxPPT World TB Day.pptx
PPT World TB Day.pptx
 
PPT pekan asii
PPT pekan asiiPPT pekan asii
PPT pekan asii
 
POA LKMM HIYAA
POA LKMM HIYAAPOA LKMM HIYAA
POA LKMM HIYAA
 
Pengaruh 3
Pengaruh 3Pengaruh 3
Pengaruh 3
 
Pengaruh 2
Pengaruh 2Pengaruh 2
Pengaruh 2
 
Pengaruh 1
Pengaruh 1Pengaruh 1
Pengaruh 1
 
Desy fajarwati lesmana e02213007
Desy fajarwati lesmana e02213007Desy fajarwati lesmana e02213007
Desy fajarwati lesmana e02213007
 

Bhisama catur warna

  • 1. BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT Nomor : 3/Bhisama /Sabba Pandita Parisada Pusat/X/2002 Tentang PENGAMALAN CATUR WARNA Atas Asung Kertha Wara Nugraha Hyang Widhi Wasa Pesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Menimbang : 1. Bahwa Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Bhisama sesuai dengan Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia yang ditetapkan dalam Maha sabha VIII tahun 2001 di Denpasar, Bali. 2. Bahwa Catur Vama adalah ajaran tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat berdasarkan "guna" (bakat) dan "Karma" (kerja) yang sesuai dengan pilihan hidupnya. 3. Bahwa di dalam sejarah perkembangan agama Hindu telah terjadi penyimpangan pengertian ajaran tentang Catur Varna menjadi Kasta atau Wangsa yang berdasarkan atas kelahiran (keturunan/keluarga) seseorang. 4. Bahwa untuk meluruskan pemahaman dan pengamalan Catur Warna yang menyimpang selama ini, maka dipandang perlu menetapkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna tersebut Mengingat : 1. Ketetapan Mahasabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia Tahun 2001 Nomor: 1/Tap.M.Sabha/VIII/ 2001 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Parisada Hindu Dharma Indonesia. 2. Ketetapan Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia Nomor: II/TAP/M.Sabha/VIII/2001 tentang Program Kerja Parisada Hindu Dharma Indonesia Memperhatikan : Usul-usul Sabha Walaka dan hasil pembahasan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat pada Pesamuhan Agung Tanggal 26-27 Oktober 2002. MEMUTUSKAN Menetapkan : BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT TENTANG PENGAMALAN CATUR VARNA SESUAI DENGAN KITAB SUCI VEDA DAN SUSASTRA HINDU LAINNYA Pertama : Catur Varna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas "guna" dan "Kama" dan tidak terkait dengan Kasta atau Wangsa. Kedua :Bhisama tentang Pengamalan Catur Vama ini sebagai pedoman yang sepatutnya dipatuhl oleh seluruh umat Hindu.
  • 2. Ketiga :Menugaskan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk memasyarakatkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna ini, beserta penjelasannya dalam lampiran Bhisama ini kepada scluruh umat Hindu di Indonesia. Keempat : Apabila ada kekeliruan dalam Bhisama ini akan diperbaiki sebagaimana mestinya. Kelima : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Bhisama ini disampaikan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk dilaksanakan. Ditetapkan di : Mataram, NTB Pada Tanggal : 29 Oktober 2002 Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Dharma Adhyaksa Wakil Dharma Adhyaksa Ida Pdd Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka
  • 3. Lampiran BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT Nomor : 03/Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002 Tentang Pengamalan Catur Vama PENGAMALAN CATUR VARNA A. Latar Belakang Sudah merupakan pengertian umum babwa ajaran Catur Varna yang bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda (Hindu) lainnya adalah ajaran yang sangat mulia. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali) yang jauh berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan ajaran Catur Varna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak citra Agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia. Perjuangan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Catur Varna itu sudah banyak dilakukan oleh sebagian umat Hindu. Perjuangan itu dilakukan baik oleh para cendekiawan maupun lewat berbagai organisasi/lembaga keumatan Hindu. Meskipun sangat alot namun perjuangan untuk mengembalikan kebenaran ajaran Catur Varna itu sudah menampakkan hasilnya. Seperti dalain bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum semakin nampak adanya kesetaraan. Justru dalam bidang keagamaan dan sosial budaya seperti pergaulan dalam kemasyarakatan membeda- bedakan Wangsa atau Soroh itu masih sangat kuat. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari sangat tampak adanya penggunaan sistem Wangsa yang salah itu, dipakai oleh umat Hindu. Demikian pula dalam bidang keagamaan dan adat istiadat membeda-bedakan Wangsa itu masih sangat kuat. Hal itu menjadi sumber konflik yang tiada putus-putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia (khususnya di Bali). Wacana dari berbagai kalangan umat Hindu semakin keras untuk kembali ke ajaran Catur Varna, oleh karena itu dalam Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia bulan September 2001 di Denpasar telah mengusulkan adanya penetapan Bhisama Tentang Catur Warna ini. Usulan itu didahului oleh berbagai seminar dan diskusi-diskusi. Seminar dan diskusi itu diadakan oleh Parisada maupun oleh Orinas dan lembaga-lembaga umat Hindu. Hampir setiap seminar dan diskusi ada usulan untuk kembali kepada sistem Catur Varna dengan melepaskan dominasi sistem Wangsa. Tujuan ditetapkannya Bhisama Catur Varna untuk mengembalikan secara bertahap agar proses perubahan meninggalkan sistem Wangsa yang salah itu menuju pada sistem Catur Varna lebih cepat jalannya. Sistem Wangsa agar dipergunakan hanya untuk Pitra Puja dan untuk berbakti kepada leluhur dalam menumbuhkan rasa persaudaraan di intern wangsa itu sendiri. Sistem Wangsa hendaknya diarahkan untuk mengamalkan ajaran Hindu yang benar dalam kontek kesetaraan antar sesama manusia. Sistem Wangsa itu tidak dijadikan dasar dalam sistem pergaulan/adat-istiadat sehari-hari. Seperti sistem penghormatan dalam pergaulan sosial/adat-istiadat. Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan (Vasudeva kutum bakam). Demikian juga pandita dalam swadharmanya memimpin upacara tidak memandang dari asal usul Wangsa seseorang. Seorang setelah melaksanakan upacara Diksa menjadi pandita sudah lepas dari ikatan Wangsanya. B. Pengertian dan Fungsi Ajaran Catur Varna Menurut Kitab Suci Veda Tujuan hidup menurut ajaran Agama Hindu sebagaimana dinyatakan dalam kitab Brahma Purana 228.45. Dharma artha kama moksanam sarira sadanam, artinya: badan (Sarira) Sthula, Suksama dan Antakarana Sarira) hanya dapat dijadikan sarana untuk mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Inilah yang disebut Catur Purusha Artha atau empat tujuan hidup. Untuk mencapai empat tujuan hidup manusia itu harus dicapai secara bertahap. Dalam Agastya Parwa
  • 4. dinyatakan bahwa empat tujuan hidup itu dicapai secara bertahap menurut Catur Asrama. Tahap hidup Brahmacari diprioritaskan rnencapai Dharma, tahap hidup Grhastha diprioritaskan mencapai Artha dan Kama, sedangkan dalam tahap hidup Vanaprastha dan Sannyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan mencapai Moksa. Untuk mewujudkan empat tujuan hidup dalam empat tahapan hidup (Catur Asrama) itu dibutuhkan empat jenis profesi yang disebut Catur Varna. Dalam kitab suci Yajurveda XXX.5 dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan empat profesi atas dasar bakat dan kemampuan seseorang. Brahmana Varna diciptakan untuk mengembangkan pengetahuan suci, Ksatriya untuk melindungi ciptaan-NYA, Vaisya untuk kemakmuran dan Sudra untuk pekerjaan jasmaniah. Dalam mantra Yajurveda XXX.11 dinyatakan Brahmana Varna diciptakan dari kepala Brahman, Ksatriya dari lengan Brahman, Vaisya dari perut-Nya dan Sudra dari kaki-Nya Brahman. Jadi semua Varna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna ini memiliki kemuliaan yang setara. Hal ini dinyatakan dalam mantra Yajurveda XVIII.48 untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra sama- sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna itu akan mulia kalau sudah mentaati swadharma-nya masing-masing. Dalam Bhagavadgita IV.13 dan XVIII.41 dengan sangat jelas dan tegas bahwa untuk menentukan Varna seseorang didasarkan pada Guna dan Karmanya. Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadinya yang menentukan "Varna" seseorang adalah profesinya bukan berdasarkan keturunannya. Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan. Seorang yang berbakat dan punya keakhlian (profesi) di bidang kerohanian dan pendidikan serta bekerja juga di bidang kerohanaian dan pendidikan itulah yang dapat disebut ber "varna" Brahmana. Demikian juga orang yang dapat disebut ber "varna" Ksatriya adalah orang yang berbakat dan punya keakhlian di bidang kepemimpinan dan pertahanan. Orang yang berbakat di bidang ekonomi dan bekerja juga dalam bidang ekonomi ialah yang dapat disebut Vaisya. Sedangkan orang yang hanya mampu bekeda hanya dengan menggunakan tenaga jasmaninya saja karena tidak memiliki kecerdasan disebut Sudra. Menurut Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55 hanya mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi Dvijati (pandita). Sudra tidak diperkenankan menjadi Dvijati karena mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan. Dvijati harus memiliki kemampuan rohani dan daya nalar yang tinggi, oleh karenanya Swadharma seorang Dvijati adalah sebagai Adi Guru Loka atau Gurunya masyarakat. Namun untuk mendapatkan tuntunan kitab suci Veda semua Varna berhak dan boleh mempelajarinya termasuk Sudra Varna. Hal ini ditegaskan dengan jelas dan tegas dalam mantra Yajurveda ke XXV.2. Varna seseorang tidak dilihat dari sudut keturunannya, misalnya kebrahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya, meskipun ayah dan ibunya seorang pandita atau rsi yang tergolong ber "Varna" Brahmana, belum tentu keturunannya menjadi seorang Brahmana, seperti halnya Rahwana, kakeknya, ayah dan ibunya, adalah rsi yang terpandang, namun Rahwana bersifat raksasa. Prahlada di dalam kitab Bhagavata Purana disebut sebagal anak dari raksasa bemama Hiranya Kasipu, namun Prahlada adalah seorang Brahmana sangat taat beragama meskipun ia masih anak- anak. Varna seseorang tidak ditentukan oleh keturunannya ini dijelaskan dengan tegas dalam kitab Mahabharata XII. CCCXII,108 bahwa ke "Dvijati"an seseorang tidak ditentukan oleh ke "wangsa"annya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan pekerjaanya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat. C. Menegakkan sistem Catur Varna. Untuk mengembalikan sistem Catur Varna dalam masyarakat Hindu di Indonesia haruslah ditempuh langkah-langklah sbb: 1. Umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk menghilangkan adat-istiadat keagamaan Hindu yang bertentangan dengan ajaran Catur Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu pada umumnya. Hal ini dilakukan melalui berbagai "metode pembinaan umat Hindu" yang telah ditetapkan dalam Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 di Denpasar yang terdiri dari : Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma Sadhana, Dharma Yatra dan Dharma Santi.
  • 5. 2. Dalam kehidupan beragama Hindu umat diajak untuk tidak membeda-bedakan pandita dari segi asal kewangsaannya. Seorang pandita dapat "muput" (memimpin) upacara yang dilaksanakan oleh umat tanpa memandang asal-usul keturunannya. Umat Hindu dididik dengan baik untuk tidak membeda-bedakan harkat dan martabat para pandita Hindu dari sudut asal "Wangsa"nya. 3. Dalam persembahyangan bersama saat "Nyiratang Tirtha" (memercikkan air suci) umat diajak untuk membiasakan menerima "Siratan Tirtha" (percikkan air suci) dari Pamangku atau Pinandita. Ada sementara umat menolak dipercikkan Tirtha oleh Pamangku pura bersangkutan. Hal itu umumnya karena menganggap Pemangku itu Wangsanya lebih rendah dari umat yang menolak dipercikan Tirtha itu. Sikap seperti itu jelas menggunakan sistem Wangsa yang melecehkan swadharma seorang Pemangku. 4. Sistem penghormatan tamu Upacara Yajna atau Atithi Yajna dalam suatu Upacara Yajna janganlah didasarkan pada sistem Wangsa, artinya jangan tamu dalam upacara yajna dari Wangsa tertentu saja mendapatkan penghormatan adat, bahkan kadang-kadang ada pejabat resmi yang patut mendapatkan pengerhonnatan yang sewajarnya, didudukkan ditempatkan yang kurang wajar dalam tata penghormatan itu. 5. Umat Hindu hendaknya diajak untuk melaksanakan upacara yajna pawiwahan yang benar, seperti kalau ada pria yang mengawini wanita yang berbeda wangsa pada saat upacara "Matur Piuning" di tempat pemujaan keluarga pihak wanita, seyogyanya kedua mempelai bersembahyang bersama. 6. Pandita seyogyanya tidak menolak untuk "Muput" upacara "Pawiwahan" (perkawinan) karena mempelal berbeda wangsa. 7. Dalam hal Upacara Manusa Yadnya "Mepandes" (Potong Gigi), orang tua sepatutnya tidak membeda-bedakan putra-putrinya yang disebabkan oleh perkawinan berbeda wangsa. 8. Tidak seyogyanya seseorang yang akan di-Dwijati / di-Abiseka kawin lagi hanya karena istrinya yang pertama dari wangsa yang berbeda. 9. Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus dihapuskan. 10. Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan hapusnya tradisi Asumundung dan Karang hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951. 11. Pemakaian bahasa dalam etika moral pergaulan antar wangsa, sepatutnya saling harga- menghargai agar jangan menimbulkan kesan pelecehan terhadap wangsa lainnya. Demikian Bhisama ini ditetapkan untuk memberikan tuntunan kepada umat Hindu demi tegaknya supremasi nilai-nilai agama Hindu di atas adat-istiadat. Dengan demikian adat-istladatpun akan tetap terpelihara dengan dasar kebenaran ajaran agama. Hendaknya umat Hindu tetap memelihara adat yang menjadi media penyebaran kebenaran Veda yang disebut Satya Dharma. Ditetapkan di : Mataram, NTB Pada Tanggal : 29 Oktober 2002 Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Dharma Adhyaksa Wakil Dharma Adhyaksa Ida Pdd Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa Ida Pandita Mpu Java Dangka Suta Reka