Tugas Struktur Beton Bertulang Lanjut (Universitas 17 Agustus 1945 Semarang -...
Trial Sizing oleh Surash Arya
1. Berat Pondasi Engine Harus 1,5 Hingga 4 Kali Berat
Engine?
Posted on July 1, 2012 by budisuanda
Baru-baru ini ada permasalahan dalam melaksanakan proyek EPC yang menarik
perhatian saya. Tentunyasayang untuk tidak dituliskan dalam blogini. Judul di atas
adalah inti masalahnya, walaupun memang tak sesimple itu. Etika profesi sebagai
Insinyur pun harus dipertaruhkan ketika akhirnya muncul tantangan untuk
menjamin kemampuan pondasi hingga 25 tahun.
Engine pembangkit yang satu ini memang luar biasa. Berat sendiri hingga 380 ton
per unitnya. Didatangkan dari benua Eropa dimana mesin ini dibuat. Bukan pada
masalah pembuatan engine yang akan dibahas, melainkan pondasi yang menjadi
dudukan engine selama masa pakai engine itu sendiri.
Engine Pembangkit Listrik 16 MW
Masalah ini sebenarnya sederhana, namun menjadi rumit karena masalah sepele.
Awalnya manufacture memberikan design standart untuk pondasi engine adalah
suatu block pondasi berukuran tapak 5m x 18m dengan tinggi 1,2m. Dikarenakan
culture VE yang begitu melekat, akhirnya dicoba suatu dimensi yang diharapkan
lebih baik performancenya dengan menggunakan pondasi tiang pancang dengan
pengikat sloof tinggi yang dikombinasikan dengan pelatbeton pada bagian atasnya.
Tiang pancangmenjadidiperlukan lantaran kondisi tanah dasar / permukaan yang
kurang menguntungkan.VE tersebut juga dilandasi dengan kenyataan bahwaengine
duduk di atas base frame pada dua sisinya. Sehinggaidealisasi beban menjadi beban
garis pada kedua sisi memanjang pondasi. Kenyataan ini membawa pemikiran
bahwa beban akan cenderung meneruskan beban ke bawah secara memanjang
pondasi. Bagian tengah pondasi tentu saja diperkirakan tidak memikul beban sesuai
2. dengan kondisi beban yang ada. Pertimbangan lain adalah lokasi pondasi berada
pada daerah gempa zona 3. Sehingga diperlukan suatu design pile cap yang tidak
berat namun kuat mengingat gaya lateral gempa yang cukup besar di samping
pertimbangan resonansi antara engine dan pondasi.
Akhirnya diusulkan pondasi dengan 12 tiang pancang (masing-masing 6 tiap lajur)
dengan dimensi pondasi berupa sloof tinggi berukuran 60×120 secara memanjang
dan diikat oleh sloof melintang berukuran 40×80 di tiap titik pondasi dan pelat
beton tebal 50cm. Design ini sangat memperhatikan beban aksialengine dan gempa
dimana beban pile cap menjadi jauh lebih kecil dari yang dikeluarkan oleh pabrik.
Sebagai catatan bahwa pabrik jelas belum mempertimbangkan aspek gempa dan
pabrik tentu saja hanya mempertimbangkan aspek dinamis dan yang pasti
konservatif. Design tersebut dianalisis dan dicek terhadap kapasitas dukung tanah,
tiang pancang,gaya gempa sesuai zona gempa, dan tentu saja kemungkinan terjadi
resonansi disamping aspek fatique beton, defeksi statik, serta defleksi akibat
dinamis seperti rocking. Hasilnya design tersebut cukup aman untuk mendukung
beban yang ada.
Masalah kemudian muncul karena konsultan yang menginginkan pondasi engine
harus memiliki berat 2 kali berat engine atau memiliki berat 760 ton. Berat pondasi
yang jika menggunakan jenis pondasi block akan memiliki tinggi pile cap sekitar 3,0
m. Apa yang menjadi landasan konsultan? Dia mengacu pada buku Surash Arya
yang mengatakan initialdesign untuk deep pile engine foundation adalah 1,5-4 kali
berat engine. Jika tidak memenuhi kaidah itu, maka design rejected!
Wow….terfikirkankah akan efek gempa yang sangat besar?risiko defleksi dan yang
lainnya? Menurut saya ini menjadi sikap yang cukup berbahaya karena pemahaman
yang tidak menyeluruh dan tidak filosofis. Mari kita lihat tulisan dari Surash Arya
yang dimaksud.
4. Ini adalah kasus nyata yang menurut saya cukup menyentuh etika profesi Insinyur
Teknik Sipil. Memang perhitungan dinamis tidaklah sederhana bahkan bisa
tergolong paling rumit diantara perhitungan yang lain seperti statik murni atau
dengan kombinasi gempa. Konsultan harusnya menyadari bahwa initial design
untuk trial dimension bukanlah hal yang kaku menurut Surash Arya. Hal yang
paling penting untuk pondasi engine adalah bahwa tidak terjadi resonansi sebagai
akibat naturalfrequency pondasi yang dekatdengan frequency engine. Dalam hal ini
batas resonansi adalah rasio frekuensi sebesar <0,8 (high tuned) dan >1,2 (low
tuned). Kondisi batas dapatdilihatpadagrafik di bawah. Di samping itu, konsultan
haruslah melihat analisis dan parameter check secara teknik sipil yang menjadi inti
bahwa design telah memenuhi persyaratan yang umumnya meliputi statik, gempa,
displacement, fatique, dll.
5. Surash Arya hanya mengatakan initial design yang tidak menjadi penentu design.
Disebutkan pula bahwa jika design tidak sesuai maka harus melakukan trial
dimension ulang. Lalu perlu dilihat bahwa gaya dinamis yang dikeluarkan oleh
pabrik engine untuk proyek ini sangatlah kecil karena teknologi vibration isolator
dengan menggunakan spring mounted dan flexible coupling antara engine dan
generator yang sudah semakin maju sedemikian hingga beban dinamis menjadi
sangat kecil. Haruskah kemajuan teknologi ini diabaikandalamanalisis teknik sipil?
Menjadi aneh kemudian jika konsultan berargumen bahwa design harus
mengasumsi bahwa spring mounted mengalami fatique atau failure. Padahal
“service life”nya yang panjang dan tidak serta merta mengalami failure secara
seketika dan dapat diganti dengan mudah jika terjadi fatique. (spring mounted
6. diproduksi oleh perusahaan bidang vibration isolator : vibratek akustikprodukter,
Sweden)
Jika pola pikir yang demikian, tentu kita tak bisa menikmati kemajuan teknologi
yang memungkinkan kita bisa bepergian dengan pesawat terbang, saling
berkomunikasi jarak jauh dengan media canggih, membangun gedung pencakar
langit, dan lain sebagainya.
Memahami ilmu jelas tidak bisa kaku, parsial, ataupun dangkal. Ilmu harus
dipahami secara filosofis untuk memahami alam semesta ini. Kita haruslah berdiri
tegak pada ilmu, bukan pada motif lain.
Tim proyek lalu mencoba untuk mendalami literatur lain mengenai trial sizing atas
pondasi engine. Berdasarkan journal “Foundation for Vibration Engine” yang ditulis
oleh Prof. Shamsher Prakash dan Prof. Vijay K. Puri tahun 2006, disebutkan bahwa
trial dimension dapat menggunakan design standart yang dikeluarkan oleh pabrik,
namun tetap harus dianalisis berbagai parameter pentingnya.
“Foundation for Vibration Engine” by Prakash &Vijay, 2006, hal. 8
7. “Foundation for Vibration Engine” by Prakash &Vijay, 2006, hal. 9
Berdasarkan literatur di atas, lalu dibuat suatu design berdasarkan standart pabrik
berupa block foundation berukuran tapak 5m x 18m dengan tinggi 1,2m dengan
jumlah titik tiang pancang menjadi 17 titik (spun pile dia. 40 cm) dimana gaya
dinamis mengacu pada output yang dikeluarkan oleh pabrik (sangat kecil). Pada
design ini, semua paramater dianalisis dan hasilnya ada bahwa design sangat aman
dimana single pile capacity adalah 70 ton.
Pada akhirnya, posting ini dengan cukupmeyakinkanmengatakan bahwa ketentuan
pada initial / trial dimension yang disebutkan oleh surash arya hanyalah suatu
pendekatan empirik pada masa lalu (disebutkan pula oleh Surash Arya) dimana
manufarturer / pabrik belum mengeluarkan design standart ataupun karena
keterbatasan data dan teknologi mesin pada masa lalu karena buku tersebut
diterbitkan pada tahun 1979. Pertimbangan utama haruslah pada hasil analisis
teknik sipil yang lebih mendalam dengan parameter check yang lebih kompleks
demi tercapainya suatu design yang lebih baik. Perlu pulamempertimbangkan aspek
gempa yang justru lebih kritis karena Indonesia terletak pada wilayahyang memiliki
risiko gempa tinggi. Pedoman design pile cap yang harus memiliki berat 2-4 kali
berat engine tidak bisa menjadi pedoman, bahkan cukup berbahaya karena
mengabaikan variabel lain seperti kondisi tanah dan zona gempa.
Tulisan ini dibuat sama sekali tidak untuk memojokkan seseorang ataupun institusi
tertentu. Tulisan ini justru ingin memberikan penjelasan singkat mengenai lesson
learn atas suatu kasus demi kemajuan dunia teknik sipil di Indonesia. Semogadunia
teknik sipil kita menjadi cepat lebih maju..
8. Mengambil Gaya Joint Reaction akibat Gempa Dinamik
untuk Desain Pondasi
Pada setiap tahap desain bangunan, desain struktur pondasi idealnya dilakukan pada tahap terakhir
setelah desain “struktur atas” selesai dilakukan. Namun ironisnya, pada tahap konstruksi di
lapangan, konstruksi pondasi adalah kegiatan yang lebih awal dilakukan sebelum proses erection
struktur atas dapat dilakukan. Ini menyebabkan proses engineering pasti akan selalu bermasalah
jika kenyataan ini tidak diantisipasi sejak awal. Saya kira ini adalah tantangan yang selalu terjadi
terutama pada setiap proyek EPC (Engineering, Procurement, & Construction). Sering terjadi, untuk
mengejar schedule, desain struktur bawah lebih didahulukan daripada desain struktur atas.
Loh? Kok bisa? Data beban pondasinya bagaimana?
Hal ini bisa saja dilakukan jika beban yang dikenakan untuk desain pondasi adalah beban asumsi
yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis (berdasarkan data dari proyek-proyek terdahulu
yang memiliki banyak kemiripan ataupun berasal dari data beban “kasar” yang telah dikalikan
dengan safety factor yang besar). Sehingga dibutuhkan keberanian, pengalaman yang cukup, dan
sense of engineering yang cukup baik untuk melakukan hal ini. Untuk itu sebenarnya dibutuhkan
senior engineer yang sudah berpengalaman untuk mengawal desain struktur atas maupun struktur
bawah jika metode ini ingin dilakukan.
Walaupun beban yang dikenakan masih berupa asumsi, namun tentu saja kita juga perlu
memahami perilaku struktur atas untuk “membaca” reaksi yang tepat untuk dikenakan pada
perhitungan pondasi. Jika salah memasukkan gaya reaksi, ada dua kemungkinan yang dapat
terjadi; pondasi menjadi tidak aman atau pondasi akan menjadi semakin boros.
Memahami perilaku struktur atas untuk membaca reaksi yang tepat dikenakan pada pondasi
itu bagaimana, mas?
Untuk mendesain pondasi, kita membutuhkan reaksi join tumpuan struktur atas yang dihasilkan oleh
Sap2000. Untuk beban bolak-balik seperti beban gempa, reaksi beban yang dihasilkan melalui
analisis dinamik dengan metode reponse spectrum selalu memiliki dua nilai, yaitu beban MAX
(maksimum) dan beban MIN (minimum). Beban max dan min ini sangat berhubungan dengan arah
bekerjanya gaya dan dapat kita analisa dimana terjadinya kondisi max/min ini melalui perilaku
strukturnya.
Namun, yang perlu kita perhatikan adalah jika kita menampilkan gaya reaksi tumpuan (untuk beban
gempa dinamik) secara visual di Sap2000 (melalui menu “show joint reaction force”), Sap2000
ternyata hanya menampilkan gaya reaksi maksimum saja. Jadi seolah-olah, reaksi maksimum pada
tiap joint ini terjadi secara bersamaan dan seolah-olah tidak terjadi gaya angkat (gaya reaksi min)
pada pondasi. Jelas tampilan visual ini sebenarnya cukup menyesatkan jika kita tidak
memahaminya. Karena secara refleks kita akan berpikir: reaksi max di suatu joint tumpuan akan
selalu berpasangan dengan reaksi max di joint tumpuan lainnya. Untuk struktur portal dua kolom
yang dikenakan gaya lateral pada joint kolom bagian atas, yang terjadi sebenarnya adalah
9. sebaliknya. Jika di joint tumpuan kolom a yang terjadi adalah reaksi max, maka reaksi yang terjadi di
tumpuan joint b seharusnya adalah reaksi min. Jadi, reaksi max berpasangan dengan reaksi min,
bukan sebaliknya. Penjelasannya adalah seperti ketika kita mendorong sebuah meja yang tinggi
dengan kuat hingga meja hampir terguling, maka pada bagian kaki meja yang terangkat akan terjadi
reaksi min, dan pada kaki meja yang tidak terangkat akan terjadi reaksi max.
Ya kalo gitu langsung saja pakai beban max dan min tersebut untuk desain pondasi tho mas?
Eits, tunggu dulu.. Jika yang kita desain adalah pondasi terpisah (masing-masing pondasi memikul
gaya dari satu kolom struktur), desain pondasi dapat dilakukan tanpa harus ribet memikirkan mana
tumpuan yang seharusnya mengalami gaya reaksi max dan mana yang seharusnya mengalami
gaya reaksi min. Kedua reaksi max dan min langsung saja kita perhitungkan untuk mendesain
struktur pondasi secara terpisah. Akan berbeda cerita jika yang kita desain adalah berupa pondasi
gabungan (dimana pondasi memikul gaya gabungan dari beberapa kolom). Kondisi max min ini
perlu kita perhatikan baik-baik agar tidak terjadi kesalahan dalam menginput data beban pada
perhitungan desain pondasi. Jika yang kita desain adalah pondasi dangkal seperti pondasi telapak,
kesalahan dalam menginput beban ini akan mengakibatkan tegangan tanah yang tidak valid. Jika
yang terjadi adalah “overload”, di satu sisi (sisi engineering) pastinya kita akan bersyukur (karena
hasil desain pondasi akan memiliki nilai safety factor yang besar). Tapi jika sebaliknya, maka doa
kepada Tuhan biasanya dipanjatkan.. he2..
Seperti biasa, saya akan memberikan contoh kasus agar dapat lebih mudah dipahami. Kita coba
buat struktur portal 2D sederhana seperti di bawah:
Agar Sap2000 menghasilkan reaksi max/min pada tumpuan, maka perlu kita berikan gaya gempa
secara otomatis menggunakan metode response spectrum (walaupun sebenarnya untuk bangunan
rendah dan sederhana semacam ini cukup digunakan analisa gempa statik). Masukkan aja nilai
parameter apa adanya untuk input gempa karena kita hanya akan mengecek hasil reaksinya.
Setelah di-run, maka hasil reaksi gaya tumpuan untuk beban gempanya saja secara visual (Klik
Display –> Show Forces/stresses –> Joints) adalah sebagai berikut:
10. Gambar di atas adalah hasil gaya reaksi tumpuan hanya akibat beban gempa (EXR) saja. Jika
beban mati struktur sendiri dimasukkan (COMB1= SW + EXR), maka hasilnya adalah sbb:
Terlihat, nilai gaya aksial (F3) reaksi tumpuan di masing-masing kolom (baik hanya karena beban
gempa maupun beban COMB 1) nilainya sama. Jadi, untuk reaksi beban gempa dinamik, Sap2000
hanya menampilkan reaksi maksimum saja untuk reaksi visual-nya, sedangkan untuk reaksi
minimumnya tidak ditampilkan. Untuk mengetahui reaksi max dan min-nya secara lengkap, kita
perlu mengekspor datanya ke dalam excel. Caranya mudah. Pilih/select kedua tumpuan, lalu klik
Display –> Show Tables, maka akan keluar jendela seperti berikut:
11. Pilih “Joint Output Reaction” pada “Analysis Result”. Dan pastikan pada “Analysis Cases (Results)”
beban mati sendiri, beban gempa, dan beban kombinasi COMB1 sudah terpilih. Setelah itu klik “Ok”,
maka akan keluar jendela berikut:
12. Setelah itu klik File –> Export Current Table –> To Excel, maka akan langsung didapatkan data-data
di atas tersaji dalam bentuk excel seperti berikut (pastikan program excel sudah terinstal dalam
komputer) :
Lalu bagaimana mengecek bahwa nilai max memang berpasangan dengan nilai min?
13. Secara logika pun sebenarnya kita sudah bisa memastikan bahwa nilai max dan min memang
sudah seharusnya terjadi secara bersamaan (dengan analogi meja yang didorong hingga hampir
terguling). Namun secara analisis matematis, hal ini pun sebenarnya dapat kita buktikan juga.
Pertama, kita perlu mencari tahu total gaya vertikal. Untuk kasus ini, total gaya vertikal adalah berat
sendiri struktur. Melalui data di atas, nilai berat sendiri struktur dapat kita ketahui melalui nilai SW
(Self Weight) yang secara otomatis dihitung oleh Sap2000. Jika nilai SW joint 1 dan 3 dijumlahkan,
maka berat sendiri struktur secara total adalah sebesar 1.805 kN + 1.805 kN = 3.61 kN. Nilai ini
menjadi acuan untuk pengecekan karena seberapapun besarnya gaya lateral, hasil penjumlahan
reaksi tumpuannya haruslah sama dengan beban mati sendiri struktur ini. Kenapa? Karena prinsip
hukum kesetimbangan gaya berlaku dimana penjumlahan dari gaya vertikal haruslah sama dengan
0 (Σ V = 0). Pada kasus ini, gaya gempa adalah gaya lateral (bukan gaya vertikal), maka besar gaya
gempa tidak akan merubah total reaksi beban vertikal.
(Pemahaman ini juga dapat kita aplikasikan untuk mengecek tegangan tanah pada pondasi dangkal
ataupun gaya tekan dan tarik pada pondasi tiang pancang akibat beban momen. Jika rumus yang
kita gunakan benar, maka total dari gaya reaksinya pasti akan sama dengan total jumlah dari gaya
vertikal.)
Langkah selanjutnya, kita ambil kondisi joint 1 mengalami beban max, sedangkan joint 3 mengalami
beban min. Jika ditotal, maka hasilnya adalah sebagai berikut:
Hasilnya: Sinkron! Terbukti, reaksi beban max dapat dibuktikan secara matematis berpasangan
dengan beban min, bukan sebaliknya. Untuk pondasi dimana struktur atas dikenakan gaya lateral
yang memiliki arah gaya yang bermacam-macam (seperti dari gaya tarik mesin), tentu penentuan
lokasi dimana terjadinya beban max dan min pada suatu tumpuan kolom akan menjadi lebih
ribet/rumit. Untuk mempermudah, breakdown hasil gaya reaksi per beban, jangan hanya melihat
hasil gaya reaksi tumpuan dari beban kombinasinya saja. Sekian. CMIIW..