SlideShare a Scribd company logo
AKU BANGGA MENJADI GURU 
TITIN SUPRIATIN
Aku Bangga Menjadi Guru 
Titin Supriatin 
Editor 
Baihaqi Nu’man 
Desain Sampul 
AanKhan.com 
Tata Letak 
Arkhanuddin 
Penerbit: Lentera Ilmu Cendekia 
Cetakan Pertama: Januari, 2012 
PENERBIT LENTERA ILMU CENDEKIA 
Jln. Kramat Raya No. 7-9 Senen Jakarta Pusat 
Telp. 021-315 6126 Fax. 021-315 6126 
e-mail : ilmulentera@gmail.com 
ISBN : 978-602-8969-52-9 
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta 1987, Pasal 44 
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi ijin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 
2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
U 
Ucapan Terima Kasih 
Dengan segenap rasa, kuhadiahkan karya sederhana ini untuk: 
Mimih Arisah, Almarhum Abah Sutomo, Emih Sukaesih Sumasasmita, kakak dan adikku, terima kasih atas curahan doa, cinta dan kasih sayang yang telah menghantarkanku menjadi seperti sekarang ini. 
Suami dan ayah anak-anakku, terima kasih telah mendampingi dan menemaniku melewati hari-hari. Dengan segala ketegasan dan perhatianmu yang membuatku semakin dewasa dan berani bermimpi besar. 
Anak-anakku sayang: Teteh Fida, A Azzam, A Miqdad dan De Zara. Terima kasih telah mewarnai hari-hari ibu lewat keributan dan kelucuan yang kalian berikan 
kalianlah motivasi dan inspirasi terbesar ibu. 
Dan untukmu, wahai para pejuang pendidikan, Tetaplah berkarya, mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Sungguh, Aku Bangga Menjadi Guru!
4 
Aku Bangga Menjadi Guru 
“Rasulullah SAW adalah guru, maka jangan pernah berhenti menjadi guru kapan dan di mana kamu ada. Melalui kreativitas guru mari songsong karya-karya siswa sebagai sebuah ajang prestisius dalam kancah pendidikan. Jagalah anak didikmu, niscaya Allah akan menjagamu.” 
(Bunda Khobzah, -Manager Pendidikan LPIT Thariq Bin Ziyad) 
Neng Titin Supriatin yang saya kenal. Dari namanya, eta mah Sunda. Namun, nama Titin saya pahami sebagai bahasa Jawa dari kata “titen”, yang memiliki arti orang yang sangat teliti atau yang suka “niteni” (memperhatikan) sesuatu (walaupun sepele) dan kemudian diramu dalam rangkaian kata (tulisan) yang inspiratif. Tulisan-tulisan dalam buku “Aku Bangga Menjadi Guru” banyak bersumber dari hal-hal atau pengalaman yang “sepele” (baca:sederhana) yang kemudian dengan kepiawaian kepenulisannya menjadi sebuah karya yang enak dan perlu dibaca karena selalu menimbulkan inspirasi bagi para pembacanya. 
(Drs. Hadhy Slamet Riyanto, Ak.MM. -Kepala Divisi Akuntansi PT. Indonesia Power, Manajer Umum LPIT Thariq Bin Ziyad) 
Membaca buku ini menjadi keharusan bagi anak-anak kita, agar tertarik menjadi guru bangsa. Guru-guru yang mempunyai kompetensi, idealisme, yang bangga akan profesinya sangat dibutuhkan oleh bangsa ini untuk kejayaan di masa yang akan datang. 
(H. Moh. Ikhlas Sunandar, SE. -Wiraswasta)
5 
Aku Bangga Menjadi Guru 
Sepatutnya kita mencium tangan guru-guru kita karena berkat jasanya kita bisa seperti ini. Saya Sangat appreciate terhadap Bu Titin yang telah mendedikasikan dirinya dalam dunia pendidikan. Materi bukan segala-galanya dalam hidup, maka menjadi seorang guru adalah satu panggilan mulia untuk berkarya. 
(H. Maman Rukmana, -Dirut. PT. Karsa insan Prakarsa Mandiri / Alumni STIP/ Guru) 
Sangat apresiatif atas rencana sahabat saya yang ingin menerbitkan tulisannya menjadi buku, semoga hal ini menjadi inspirasi dan motivasi khususnya bagi saya pribadi, sebagai redaktur /saat itu masih sekretaris redaksi Tabloid Inta’jiah. Semoga langkah Bu Titin ini menjadi motor penggerak untuk terbentuknya “Komunitas minat dan bakat budaya baca, tulis dan cerita” yang diwacanakan di kalangan guru. Inilah salah satu karya dari guru menulis. Teruslah berkarya wahai para guru. 
(Dimyat, S.Ag. -Ketua PGSI kota Bekasi) 
Kadang-kadang hal-hal kecil membuat kita terinspirasi, entah itu lewat anak-anak atau kejadian kecil. Adalah suatu usaha yang patut diacungi jempol (tangan, bukan kaki) untuk mengungkapkan kepada khalayak ramai sebagai pengingat dan pembelajaran menuju kebaikan. Terima kasih Bu Titin, sudah memberikan sebuah inspirasi dan pencerahan lewat tulisan- tulisannya. 
(H. Didin Wahidin, ST. Operating & Maintenance Exchange PT. Telkom)
6 Aku Bangga Menjadi Guru 
14 tahun bersama berjuang di Thariq Bin Ziyad membuat saya begitu kental mengenal penulis. Seorang guru yang sederhana, gigih, dan bersahaja. Tantangan-tantangan dan kegalauan- kegalauan yang dihadapi senantiasa direspon positif hingga terinspirasi menjadi ‘karya-karya’ yang kreatif dan imajinatif. Pun keterampilan paedagogiknya diambil di UT Strata 4, namun jiwa sebagai pendidiknya sudah terpatri sebelum gelar S.P, S.Pd itu diambilnya, karena ia mendidik dengan hati dan cinta yang melahirkan kunci kegiatan belajar mengajar di muridnya yaitu senang dan suka belajar. Tak elak, anak-anak dekat dan dengar semua petuah dan nasihat yang sampaikan. Kesan ini masih teringat ketika di awal masuk menuju SD kelas 1, putri Bu Titin (Fida) masih harus belajar berkomunikasi lebih baik lagi, lebih konsentrasi, maka sang ibu (penulis) dengan sabar terus dan terus melatih dengan jiwa dan cintanya, dengan tangan dan teladannya hingga saat ini Fida tumbuh menjadi anak yang pintar, seimbang dalam intelektual, spiritual, dan emosional, belum lagi pengalaman-pengalaman sebagai pendidik di sekolah yang lebih kaya dan luar biasa. 
Dan hari ini, semua yang dirasa penulis itu ada dalam karya “Aku Bangga Menjadi Guru” semoga menjadi inspirasi bagi kita semua khususnya para praktisi pendidikan agar dengan membaca tulisan dan pengalaman yang tertuang dalam tulisan ini bisa memperkaya hati/jiwa dan pikir kita, amiin. Selamat Bu Titin, positive thinking make you better. 
(Siti Rohayati, S.Pd. Kepala Sekolah SDIT Thariq Bin Ziyad PHP)
Aku Bangga Menjadi Guru 7 
Seorang Guru adalah 
Seorang Inspirator Kehidupan 
Dalam tulisan ini saya akan bercerita tentang seorang murid Sekolah Dasar, kelas V. Meski sangat belia umurnya, tapi kedewasaannya leboh matang dari usianya. Dia menjadi pengasuh yang matang untuk adik-adiknya. Dia jadi pemelihara rumahnya. Dia jadi role model tak hanya bagi adiknya, tapi juga bagi teman-temannya. 
Bahkan ketika kedua orangtuanya berhaji, sang anak yang sedang kita bicarakan ini yang menjadi penjaga, pengasuh, adik dan rumahnya selama ditinggal. Dia seorang anak yang bertanggung jawab dan sangat penuh pengertian. 
Singkat cerita, beberapa saat kemudian anak yang sedang kita bicarakan ini sakit dan kondisi kesehatannya terus memburuk. Saya tak tahu pasti sakit apa yang diderita dan menyerangnya. Tapi yang saya tahu, karena kesehatannya terus memburuk anak ini akhirnya dilarikan ke rumah sakit. 
Beberapa waktu setelah di rumah sakit, kesehatannya tidak stabil, bahkan cenderung menurun. Saya ingin sedikit berbagi cerita tentang kisah selama anak kota ini berada di rumah sakit. Dia berinteraksi dengan sangat manis bersama para pasien yang lain, dengan orang-orang yang menjenguknya, juga dengan dokter dan perawatnya. Semua orang jatuh hati. 
Ketika dirawat dia terus menerus meminta orang-orang di sekelilingnya agar membaca Al-Qur’an untuknya. Dia
8 Aku Bangga Menjadi Guru 
merasa tenang, begitu katanya. 
Bahkan ketika kesehatannya memburuk, dan anak perempuan kita yang satu ini harus menjalani perawatan intensif di ICU, dia bertanya kepada para suster yang merawatnya. “Suster hapal surat? Tolong bacakan Al-Qur’an untuk saya.” 
Para dokter juga diminta dengan pertanyaan yang sama. Begitu juga orang-orang yang menjenguk dan membesuknya. 
Kepada semua orang yang datang, anak gadis kita ini berpesan dan selalu berkata agar jangan lupa membaca Al-Qur’an. Harapan orang-orang tercinta di sekelilingnya adalah kesehatan dan kembali seperti sedia kala. Tapi Allah berkehendak lain, anak gadis tercinta ini akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. 
Dia kembali kepada-Nya setelah meninggalkan banyak pesan kepada orang-orang tercinta di sekelilingnya agar tak putus untuk membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya. Anak gadis kita yang terkasih ini meninggalkan kita dengan cara yang terbaik, insya Allah, semoga rahmat Alah mengelilinginya selalu di sini, juga di sana. 
Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana cara mendidik dan membesar anak gadis sehingga seperti dia. Dan kedua orangtua anak gadis ini menceritakan, salah satu yang berperan membangun dan membesarkan anaknya menjadi seperti yang dikenal banyak orang, adalah ibu gurunya. 
Sang ibu guru sangat berpengaruh dalam kehidupannya. Tidak saja di sekolah, tapi juga di luar sekolah dan di rumah. Kepada orangtua di sekolah, anak gadis kita ini sering
Aku Bangga Menjadi Guru 9 
mengulang kembali kisah-kisah inspiratif yang ia dapatkan dari ibu gurunya pada kedua orangtua dan keluarganya. Kisah tentang surga dan neraka, kisah-kisah tentang sahabat nabi, kisah tentang pentingnya berjiwa suci, banyak sekali. 
Dan pembaca yang budiman, tahukah Anda siapa guru berbudi yang telah sangat berpengaruh dalam kisah hidup anak gadis kita ini? Namanya Ibu Guru Titin Supriatin. Ya, penulis buku ini, buku yang sekarang ada di tangan para pembaca. Dan saya berharap, Anda semua, para pembaca budiman, mendapatkan manfaat yang besar dari buku yang ditulis dengan tulus ikhlas oleh seorang guru yang berbudi tinggi ini. 
Saya berinteraksi dengan beliau melalui perjumpaan dalam acara-acara Teachers Working Group, sebuah organisasi tempat kami para guru belajar, menimba ilmu dan memotivasi diri. Menggali cara-cara baru dan menemukan bersama kegiatan-kegiatan yang menarik dan bermanfaat untuk anak murid kami. Dan salah satu program unggulan kami adalah bertema: Aku Bangga Menjadi Guru. 
Saya percaya, jika bertemu dan bersilaturahmi, ada banyak hal dan kekuatan besar yang bisa kita temukan dan digali. Termasuk cara untuk mendidik, menunjukkan jalan kebaikan dan kebenaran, membangun karakter dan akhlak mulia anak-anak didik kita. 
Buku ini dipersembahkan untuk para guru yang mulia, yang telah membaktikan hidupnya untuk menumbuhkan, merawat dan mengantarkan manusia. Buku ini adalah usaha besar dari penulisnya berbagi inspirasi agar guru menjadi lebih baik lagi. Karena kami percaya, guru yang baik adalah salah satu sumber dari kehidupan yang mulia. Great teachers,
10 Aku Bangga Menjadi Guru 
better life. Selamat membaca! 
Salam hormat saya untuk para guru yang telah memberikan hidupnya demi kehidupan yang lebih baik bagi manusia. Semoga Allah merahmati dan mencucurkan keberkahan dalam kehidupan para guru kita. 
Herry Nurdi 
President Teachers Working Group Indonesia
Aku Bangga Menjadi Guru 11 
Menu Buku Ini 
Seorang Guru adtalah Seorang Inspirator Kehidupan 7 
Prakata 12 
Kita adalah Sang Motivator! 16 
Virus “Alamat Palsu” 20 
Waktu dan Kreativitas 24 
Daster 28 
Orangtua Pintar vs Orangtua Hebat 41 
Siapa Bilang Nggak Mungkin? 44 
Tuhan, Aku Membutuhkan-Mu 48 
Bapak Ingin … 56 
Mang Daan 61 
Pemulung Itu... 65 
Belajar Kepedulian pada “IRFAN” 67 
Selamat Jalan Pak Karta 72 
Aku Pasti Bisa! 80 
Bu Titin, I Love You…! 84 
Mimpi itu Gratis... 90 
Tegar 95 
Ya Rasulullah, Aku Rindu Padamu… 100 
Aku Bangga Menjadi Guru 106 
Profil Penulis 113
12 Aku Bangga Menjadi Guru 
Prakata 
Bismillahirrahmanirrahiiim, 
Bermula dari sebuah keraguan dalam diri, sebagai seorang sarjana yang berlatar belakang bukan dari bidang kependidikan, muncullah sebuah pertanyaan, “Mampukah saya menjadi seorang guru yang baik bagi murid-murid saya?” Ditambah dengan pula rasa rendah diri yang kadang muncul saat berinteraksi dengan teman lama satu kampus dulu, sarjana pertanian kok jadi guru? 
Namun dorongan untuk berinteraksi dengan dunia anak sungguh menggoda saya. Karena dunia mereka begitu indah, polos, dan penuh keceriaan. Hingga akhirnya saya terus bertahan mengajar sampai detik ini. Dan nyatanya, saya telah begitu banyak belajar dari mereka, murid-murid kecil saya. Terima kasih, kalian telah begitu banyak menginpirasi saya. 
Beberapa kali saya pernah bertanya pada murid-murid saya, SD maupun SMP, siapa yang bercita-cita menjadi guru seperti saya. Hanya satu dua orang saja yang mengacungkan tangannya. Selebihnya rata-rata bercita-cita menjadi dokter, arsitek, pengusaha, insinyur, dan pekerjaan lain. Pokoknya yang penting bukan guru! Kadang saya malu dan tersenyum kecut mendengar jawaban mereka? 
Mengapa kalian tidak ingin menjadi guru Nak? Jawaban mereka, karena ribet, nggak keren, gajinya kecil, murid- muridnya nakal, dan sebagainya. Atau kalau boleh saya bantu jawaban yang tidak tersirat dari mereka adalah “guru itu pekerjaannya tidak enak, sering marah-marahin murid.”
Aku Bangga Menjadi Guru 13 
Jawaban mereka adalah fakta nyata yang terjadi pada anak-anak negeri ini. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya sosok idola yang bisa menginspirasi anak-anak untuk menjadi seorang seperti gurunya. Sungguh ironis bukan, andai tak ada lagi generasi penerus para guru sekarang ini. 
Buku ini berisi 18 judul yang merupakan kumpulan cataan inspiratif dan ditulis sebagai rangkaian ungkapan perasaan yang saya hadapi selama menjadi guru. Saya belajar mendalami dan memahami serta menjiwai karakter seorang guru idaman. Saya juga ingin berbagi bahwa dunia anak itu lucu, seru, dan menyenangkan. Saya juga ingin berbagi bahwa hal-hal sederhana dalam kehidupan juga dapat dijadikan sebuah pelajaran berharga hingga mampu menginspirasi dan memotivasi semangat untuk berkarya lebih baik baik lagi. 
Dalam buku ini tergambar juga sisi kelemahan saya sebagai manusia dan seorang guru. Tidak terlepas dari rasa marah, sedih, kecewa, dan prasangka. Saya hanya ingin berbagi, bahwa ada saat di mana ketika seseorang mengalami kejatuhan dalam karier dan hidupnya, bukan berarti tamatlah sebuah kehidupan. Tapi harus bangkit dan menunjukkan sebuah karya yang lebih baik lagi. Walau hal yang menyadarkan itu sesuatu yang sederhana sekali. 
Harapan yang ingin saya capai adalah mengajak pembaca (khususnya para guru) untuk meningkatkan kembali ruh dan motivasi mulia seorang guru dalam tugasnya mendidik generasi bangsa menjadi generasi terbaik. Mengajak para ayah dan bunda untuk memahami sisi manusiawi seorang guru dalam tugasnya mendidik putra dan
14 Aku Bangga Menjadi Guru 
putri mereka. Mengajak para pembaca pada umumnya untuk bisa berkontribusi positif dalam dunia pendidikan dalam bentuk apapun. Sehingga dunia anak dan pendidikan akan semakin mengalami kemajuan dan mampu menghasilkan generasi yang saleh dan cerdas. 
Dalam kesempatan ini, izinkan saya mengungkapkan rasa terima kasih kepada keluarga besar Thariq Bin Ziyad, teman-teman guru dan sahabat terbaik saya. Miss Inne, Pak Aan, dan tim penerbit, terima kasih atas bantuan, kerja sama, dukungan dan doa hingga buku ini dapat diterbitkan. Sungguh, satu hal tak terduga dalam rencana hidup saya adalah membuat sebuah buku. 
Ungkapan rasa terima kasih juga saya hadirkan untuk Mas Herry Nurdi bersama Korps TWG (Teacher Working Group) nya, yang sudah begitu banyak mengispirasi saya dalam membuat tulisan ini. Jargon yang selalu dikumandangkan saat seminar maupun workshop telah menyatu dengan ruh dan jiwa saya sebagai seorang pendidik. Teruslah berkarya membentuk karakter guru bangsa yang tangguh. 
Rasa syukur yang paling dalam saya persembahkan pada Allah SWT, Rabb semesta alam yang atas kehendak- Nya lah langkah-langkah ini dimudahkan. Terima kasih ya Allah atas doa dan mimpi yang Kau kabulkan. Semoga karya sederhana ini mampu menginspirasi dunia pendidikan di Indnesia 
Bekasi, Januari 2012 
Penulis.
BERBAGI 
Kita adalah Sang Motivator 
Mencegah Virus “Alamat Palsu” 
Waktu dan kreativitas 
Daster 
Orangtua Pintar Vs Orangtua Hebat 
Siapa Bilang Nggak Mungkin 
Tuhan, Aku membutuhkan-Mu 
B
16 Aku Bangga Menjadi Guru 
Kita adalah Sang Motivator! 
“Bu guru Ja’far nangis bu!” Seorang murid perempuanku mengadu. 
“Menangis? Memangnya kenapa Git, tumben Ja’far menangis. Coba kamu ajak dia menemui bu guru di sini.” Segera kukemasi beberapa buku yang baru selesai kunilai. Kureka beberapa kemungkinan yang menyebabkan Ja’far menangis. Kulukis sosok muridku yang berbadan paling kecil itu dalam benakku. Ja’far, berkelahikah? Ah, rasanya tak mungkin, Ja’far anak yang baik, tak punya musuh. Terjatuhkah waktu main benteng di halaman? Tapi tadi dia sempat berkata mau ke perpustakaan mencari buku yang tadi kubacakan di kelas. Ja’far gemar sekali membaca. Atau ada hal lain.” 
“Nih bu, Ja’farnya.” Gita datang menuntun muridku yang baru kelas satu itu. 
“Kenapa Far, ada apa nak? Tumben kamu menangis. Baru kali ini ibu melihatmu menangis. Jagoan kok nangis.” Aku merangkul pundaknya. Ja’far semakin menunduk. Bahunya berguncang semakin keras, menahan tangis. Aku semakin mengeratkan rangkulanku. Aku merasa ada sebuah peristiwa yang pasti sangat melukai perasaannya. 
“Kenapa sih? Coba cerita sama bu guru!” 
“Ja’far malu bu. “ Bisik Ja’far. Kepalanya mendongak ke arahku, kemudian melirik Gita yang masih ada di sampingnya. Oh… yap! Aku paham. 
“Ehm, Gita main di luar dulu ya nak. Biar bu guru menyelesaikan masalah ini hanya berdua dengan Ja’far.
17 
Berbagi 
Terima kasih kamu sudah menolong.” Aku meminta Gita keluar kelas. 
Meluncurlah cerita ihwal menangisnya Ja’far. Walau dengan sedikit terbata, akhirnya aku mengerti. Rupanya kaos kaki Ja’far robek, bolong besar malah. Dan itu yang membuat teman-teman menertawakannya. Sementara ayah Ja’far belum bisa membelikan yang baru, karena uangnya terpakai untuk membeli kebutuhan yang lain. Aku mahfum benar, tidak semua muridku berasal dari keluarga yang mampu. Walau sebetulnya sekolah tempatku mengajar diperuntukkan untuk kalangan menengah ke atas, tapi ada beberapa di antara mereka yang masuk karena mendapat keringanan biaya. Jadi, kaos kaki robek bisa menjadi sebuah bahan tertawaan untuk murid-muridku. 
“Ja’far, bu guru ingin berbagi cerita sama kamu, maukah kamu mendengarnya?” Sambil menunggu jawaban Ja’far, kucoba mengumpulkan potongan-potongan kisah hidup yang pernah kualami sewaktu kecil dahulu, ah ya… Ja’far mengangguk. Aku pun memulai ceritaku. 
“Saat ibu seusiamu, ibu pergi ke sekolah tak pernah memakai sepatu. Ibu hanya memakai sandal jepit. Seragam pun tidak. Padahal teman-teman yang lain memakainya. Awalnya ibu malu sekali. Hampir-hampir ibu minta berhenti bersekolah. Apalagi setiap ibu bertanya pada orangtua ibu kenapa aku nggak dibelikan seragam dan sepatu, mereka bilang belum punya uang. Rasanya sedih sekali tapi ibu sangat ingin bersekolah. Karena ibu ingin menjadi anak yang pintar. Akhirnya ibu bersama kakak laki-laki ibu punya ide berjualan es mambo sepulang sekolah. Kebetulan di belakang rumah ada lapangan bola yang sering dipakai untuk
18 Aku Bangga Menjadi Guru 
bertanding, jadi kami bisa berjualan di sana. Alhamdulillah jualan kami selalu laku. Uang keuntungan dari berjualan kami kumpulkan. Akhirnya ibu bisa membeli sepatu dan seragam sendiri, tanpa meminta pada orangtua. Ya, walaupun lama terkumpulnya tapi tidak apa-apa.“ 
“Ibu tidak malu di sekolah diejek teman-teman ibu?” Ja’far bertanya antusias. 
“Ehm… awalnya ibu malu juga kalau ketemu teman saat ibu berjualan es. Tapi lama-lama ibu tidak peduli, ibu mencari uang dengan halal kok, tidak mencuri, yang penting bisa terus bersekolah memakai seragam dan sepatu. Alhamdulillah, ibu selalu masuk tiga besar di sekolah dahulu.” 
Air mata Ja’far menyurut. Mata bulatnya menatapku penuh takjub. Entah apa yang ada dalam benaknya. Mungkin Ja’far membayangkan Bu Titin kecil yang sedang berkeliling lapangan menjajakan es sambil berteriak : “Es… es…,” atau membayangkan Bu Titin kecil yang sedang diejek teman- temannya karena ke sekolah tidak memakai seragam dan sepatu. Ah, entahlah. Yang jelas, Ja’far mulai tersenyum malu. Kemudian menyeka hidung dan pipinya yang basah. 
“Terima kasih ya Bu Titin. Kalau ibu bisa seperti itu, aku yakin aku juga bisa seperti itu. Boleh kan aku juga berjualan di sekolah?” 
“Oh, tentu saja boleh…!” 
Subhanallah. Tak sampai dalam hitungan menit, Ja’far sudah tertawa ceria bersama temannya yang lain. Melupakan kesedihan dan ejekan teman-temannya. Melupakan aku yang duduk termenung sendirian sambil tersenyum. Duhai Rabb Yang Maha Sempurna dalam penciptaan. Alangkah sederhananya pekerjaan “menyembuhkan” luka hati
Berbagi 19 
seorang anak kecil. Tak butuh energi yang banyak. Tak perlu teriakan amarah. Tak ada uang yang harus dikeluarkan. Yang diperlukan hanyalah telinga untuk mendengar dengan penuh kesabaran. Yang diperlukan hanyalah senyum tulus dan pengakuan. Yang diperlukan hanyalah kalimat-kalimat penuh motivasi dari lubuk hati kasih sayang. Karena kita adalah Sang Motivator. Motivator ulung bernama guru. Wallahua‘lam bish shawab. 
Bekasi, 10 Maret 2011
20 Aku Bangga Menjadi Guru 
Virus “Alamat Palsu” 
Ke mana ke mana di mana… 
Kuharus mencari ke mana... 
Kekasih tercinta tak tahu di mana 
Lama tak datang ke rumah… 
Tiga orang murid kecilku bergoyang sambil menyanyikan syair lagu tadi. Bernyanyi dan bergoyang tepat di depan meja guru yang aku duduki dengan lesu pada jam istirahat pertama itu. Maksud mereka sangat baik dan sungguh mengharukan, menghibur Bu Titin yang sedang lesu karena sariawan. Bahkan kalau boleh aku bagikan pada kalian apa yang diucapkan salah seorang di antara mereka yang berkata seperti ini, 
“Inilah dia persembahan lagu untuk guru kami tercinta…”. Lalu dengan gaya yang kocak mereka pun kompak menyanyikan lagu “ Alamat Palsu” nya Ayu Ting Ting itu. 
Loh… loh… Kok Bu Titin tahu dan hafal sih lagu itu? 
Lah ya jelas saja! Karena setiap hari selama sepekan semenjak lagu itu populer, hampir semua anak menyanyikan lagu itu di kelasku. Aku sampai, maaf, bosan mendengarnya. Bukan hanya karena ditilik dari segi syair, tapi lagu itu tidak ada puitis-puitisnya. Tapi dari sisi isi materi lagu pun, tidaklah pantas dinyanyikan oleh anak-anak usia SD. Tapi apa mau dikata? Aku hanya guru yang separuh waktu saja mendampingi mereka. Sedangkan sebagian besar waktu lainnya mereka lewatkan dan habiskan di rumah.
Berbagi 21 
Rasa penasaran mendorongku untuk bertanya pada murid-murid kecilku, lagu apa itu, siapa yang menyanyikan dan di mana mereka mendengarnya? Jawaban mereka tidak cukup membuatku puas. Untung beberapa guru sempat membahasnya di kantor. Bahkan ada salah seorang di antara mereka mengatakan bahwa lagu itu sudah di download hampir oleh 2 juta orang. Wow! Luar biasa. Akhirnya aku terdorong juga untuk ikut “ngintip” si alamat palsu ini di Youtube (karena aku dan keluargaku sudah sejak lama mencanangkan program no TV wacth). Oh ini rupanya virus bernama “Alamat Palsu” itu! Memang dasyat goyangan penarinya. Dahsyat suara penyanyinya. Dahsyat juga pengaruhnya pada jiwa dan perilaku sang penonton tayangan itu, yang sebagiannya adalah anak dan muridku. 
Sebetulnya fenomena seperti ini bukan sekali dua terjadi di sekolah tempatku mengajar. Berita hangat “tak pantas”, gosip, trend mode atau lagu yang seharusnya belum boleh dikonsumsi oleh anak-anak sudah seperti aliran air yang mengalir begitu saja. Di mana ada trend baru, maka anak- anak pun akan kena imbas informasinya, bahkan ikut-ikutan arus di dalamnya. Jangankan mereka yang masih polos dan belum sepenuhnya paham apa yang mereka tonton, guru pun ternyata tak ‘kebal’ terhadap virus dunia infotainment ini. Virus Ustad “Solmed” (yang aku pikir punya arti ustad yang hangat dan bersahabat, ternyata kependekan dari Soleh Memed, maklum kurang gaul, red) dan virus “Alhamdulillah, sesuatu banget” nya Syahrini, adalah dua virus teranyar lain yang aku tahu sedang mewabah saat ini. 
Apa yang harus dan bisa kita lakukan untuk membentengi diri dan anak kita dari dahsyatnya virus infotainment ini?
22 Aku Bangga Menjadi Guru 
Gencarnya dunia hiburan di media dan kebutuhan kita akan informasi adalah dua hal yang kadang dilematis dan beririsan kepentingan. Di satu sisi kita tak ingin ikut terbawa arus “orang kebanyakan”, tapi satu sisi yang lain anak-anak kita sudah “terpolusi” virus yang sepele namun membahayakan tersebut, hingga mau tak mau kita harus tahu seperti apa sih dan bagaimana kita harus meluruskannya. 
Ada beberapa kiat yang mungkin bisa dijadikan cara untuk mencegah “virus” macam “alamat palsu” nya Ayu Ting Ting itu. 
Pertama, dampingi mereka selalu. Ajak mereka bicara dan diskusi tentang apa yang mereka tiru dari apa yang mereka tonton. Mengapa mereka suka dan menirunya. Apa kebaikan dari hal tersebut dan apa keburukannya. Giring opini mereka bahwa itu belum cocok untuk mereka nyanyikan atau mereka tiru. 
Kedua, ajaklah mereka untuk mendengarkan cerita, kisah atau dongeng yang sarat dengan kandungan nilai positif. Gunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami. Lebih bagus lagi jika kita bisa menirukan gaya pendongeng profesional. Menggunakan suara dan mimik yang sesuai dengan tokoh. Pasti seru dan asik! Ini bisa dijadikan tandingan untuk tayangan-tayangan yang tidak sehat tadi. 
Ketiga, ajarkan mereka lagu anak-anak dan lagu-lagu yang Islami. Kalau mau jujur, aku sendiri tak mengikuti perkembangan lagu anak trend terkini. Karena lagu anak kalah jauh jumlahnya dari lagu remaja dan orang dewasa. Beruntungnya aku punya stok gudang lagu anak yang masih aku hafal sampai setua ini. Kalaupun sudah lupa, kita tinggal bertanya pada “Google” pasti berderet lagu anak-anak bisa
Berbagi 23 
kita pelajari. Apalagi lagu anak zaman dahulu itu syairnya bagus-bagus dan sesuai sekali dengan kebutuhan mereka. 
Keempat, adakalanya kita harus ‘lebay’. Lebay (berlebihan) mengkampanyekan sesuatu hal kebaikan, walaupun kebaikan itu kesannya ‘jadul’ banget. Contoh sederhana, anak-anak biasanya trend makan fast food (padahal nilai gizinya mendekati ‘zero’), kita bisa dengan hebohnya bertanya, “Uhm… siapa yang suka makan serabi? Atau kue cucur? Wah… bu guru senang banget loh kue serabi dan cucur. Enaaaak deh rasanya…. “ Apalagi gaya kampanye kita meyakinkan, pasti anak-anak akan penasaran untuk mengikuti kita. Bukankah kita adalah panutan mereka. Apa kata bu guru atau pak guru pasti akan mereka ikuti. 
Kelima, sempatkan selalu berkomunikasi dengan orangtua mereka. Buat sebuah jembatan komunikasi dengan mereka, agar visi dan misi antara guru dan orangtua tidak jauh berbeda, sehingga anak pun punya pegangan yang kuat dalam mengadopsi dan menindaklanjuti sebuah trend baru yang sedang berkembang. Insya Allah, jika sekolah (guru) dan orangtua mempunyai kesamaan visi dan misi, sebesar dan sehebat apa pun virus “globalisasi” akan bisa dibentengi penyebarannya oleh anak-anak kita. Alhamdulillah… sesuatu banget kan? Wallahua’lam bish shawab. 
Bekasi, 25 September 2011
24 Aku Bangga Menjadi Guru 
Waktu dan Kreativitas 
Bermula dari ketidaksengajaan. Sabtu siang itu, usai rapat pekanan di sekolah, aku hunting buku ke Gramedia Metropolitan Mall. Sebetulnya tidak ada niat untuk mencari buku-buku tertentu. Ya seketemunya saja deh, buku apa yang akan ‘berjodoh’ denganku hari itu. 
Sebuah buku bercover gadis berkepala plontos sedang bertangisan dengan ayahnya menarik minat beliku. Surat Kecil Untuk Tuhan, begitu judul yang tertulis. Sudah lama juga aku penasaran dengan buku itu. Buku yang sampai detik aku membelinya, sudah dicetak belasan kali dalam satu tahun. 
Tidak puas dengan cuma sebuah buku, mataku kemudian sibuk mencari mangsa berikutnya. Ingatanku melayang pada acara workshop tentang pembuatan media belajar menggunakan program macroflash yang aku ikuti beberapa hari yang lalu. Aku tertarik untuk lebih dalam mempelajarinya secara otodidak. Sayangnya aku tidak bisa mengikuti workshop kemarin dengan tuntas. Di samping waktunya yang singkat dan juga karena keterbatasan pengetahuanku tentang dunia software yang satu ini. Aku pikir, mungkin aku bisa mempelajarinya sendiri lewat buku. Rasa penasaran segera mendorong langkahku ke arah rak berlabel ‘komputer’, sambil mataku terus memilah dan mencari, mana buku yang aku butuhkan. 
Ahaaa, ini dia! Akhirnya aku menemukan sebuah buku tebal dengan judul sangat menggoda, yaitu “Macroflash 5.6”. Segera saja aku ambil buku itu dari rak-rak yang berjejer rapi.
Berbagi 25 
Tapi eit… tunggu dulu! Aku melihat ada sebuah judul yang lebih menarik lagi di sebelahnya, yaitu “Membuat Comic Strip Instan Untuk Hobi dan Profesional” Wah…! 
Dengan ‘lahap’ kubuka dan kubaca beberapa hal penting di dalamnya. Subhanallah… ini dia yang aku butuhkan: membuat komik untuk presentasi, cocok sekali dengan hobiku bercerita dan mendongeng pada anak- anak dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Pasti kegiatan belajar kami akan lebih asik dan menarik dengan bantuan sebuah media yang menunjang. 
Singkat cerita, penuh antusias aku baca buku seharga Rp. 36.900,- itu. Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk membaca lebih detail. Kupikir akan lebih baik jika langsung kupraktikkan saja apa yang ditutorkan si penulis dalam bukunya, lalu…Let’s see the next, apa yang terjadi? Jawaban singkatnya cuma dua kata saja: Subhanallah dan Astaghfirullah. 
Subhanallah nya, karena aku merasa gembira mendapatkan sebuah ilmu baru tentang pembuatan sebuah media belajar, yang jujur saja, masih belum banyak orang yang memanfaatkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Padahal jika mau, sudah demikian berkembangnya dunia informasi dan teknologi yang bisa kita manfaatkan untuk kemajuan kualitas pendidikan anak bangsa. Cara pembuatannya pun saat dipraktikan begitu mudah dan menyenangkan. Apalagi buat aku yang ngak ada basic keilmuan komputer. Hanya bermodal tekad, nekad, dan keinginan kuat untuk memberikan yang terbaik dalam dunia pendidikan anak. 
Astaghfirullah nya, aku jadi lupa diri dan waktu. Aku begitu asik dengan mainan baru itu. Aku bisa berjam-jam
26 Aku Bangga Menjadi Guru 
ber’khalwat’ dengan laptop kesayanganku. Meng’klak-klik’ mouse. Mengkhayal konsep cerita (kebetulan aku seorang penghayal ulung, jadi pas pisan dan ada penyalurannya). Browsing. Download gambar dan lagu. Pokoknya seru banget. Aku tidak peduli rasa penat letih setelah seharian direcoki murid-murid kecilku. Aku tidak merasakan capenya digelayuti dua balitaku kanan kiri yang berebut duduk di pangkuanku saat asik berkhayal di depan komputer. Karena kemudian, aku bisa mengakhiri kerjaku semalaman suntuk dengan kata alhamdulillah. Dada berdebar saking girangnya dan rasa puas saat bisa menghasilkan sebuah karya yang baru; komik bergambar sesuai dengan tema belajar yang akan aku sampaikan dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelasku. Sungguh menyenangkan! Terbayang ekspresi murid-murid kecilku saat aku bercerita dengan bantuan cerita bergambar yang kubuat sendiri. Dan saat itulah sebetulnya yang aku tunggu: binar bahagia yang terpancar dari wajah- wajah mereka. 
Dari pengalaman ini, ada sebuah hal yang ingin kujadikan catatan penting bagi diriku sendiri, yaitu tentang pentingnya ‘waktu’ dan ‘kreativitas’ bagi seorang pendidik dan pengajar sepertiku. Bagaimana kita harus bisa memanfaatkan waktu untuk terus berkarya dan berkreativitas positif. Rasanya waktu tak pernah cukup andai kita bisa mengisinya dengan hal-hal baru yang bermanfaat. Selalu ada tantangan dan rasa penasaran untuk terus membuat karya. Apalagi aku sadar betul, bahwa waktu tak pernah berhenti barang sejenak untuk rehat. Dia terus bergulir dan berlari. Menerjang detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun. Tugas kita adalah mengisinya dengan berbagai kreativitas yang produktif. Karya yang indah
Berbagi 27 
walau sederhana, bernilai positif dan terpenting bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita. 
Karena kehidupan adalah pemisalan sebuah kegiatan melukis di atas kertas. Kertas kehidupan kita mirip sejenis kertas tissue yang bergulung-gulung. Panjang dan bahkan kadang kita tak tahu di mana ujungnya. Begitu pula waktu dan kreatifitas dalam kehidupan. Kertas itu adalah waktu dan kreativitas adalah tintanya. Apa jadinya, andai Allah tiba- tiba menghentikan waktu kehidupan kita, sementara kertas kehidupan itu belum kita isi atau hanya sedikit yang sudah kita lukisi dengan kreatifitas kita? Jawaban apa yang akan kita beri pada hari di mana pertanyaan itu akan muncul : “Kau gunakan untuk apa waktumu selama hidup”. Wallahua’lam bish shawab. 
Bekasi, 20 Oktober 2011 
(Catatan kecil untuk diri : Apa pun dan siapa pun kamu, jadilah yang terbaik!)
28 Aku Bangga Menjadi Guru 
Daster 
“Fida… paket untuk kamu!” Seru Bunda Nurul dari balik pintu kamar 7-4. Fida mendongak, mengalihkan pandangan dari buku kimianya. Beberapa kepala dalam kamar ikut menoleh. 
“Wah, enak ya… Fida dapat kiriman lagi.” Komentar Fauzia. “Apaan isinya Fid, makanan ya…?” Mata bulatnya mengedip penasaran. 
“Paling pesananku, kamus bahasa Arab. Eh, tapi entahlah, sepertinya ada yang lain nih, dipegang kok empuk- empuk gitu…”. Fida meraba-raba paket yang terbungkus kertas coklat di tangannya. 
“Puding kali…”. Celetuk Rifa tanpa menoleh, sibuk dengan PR kimia-nya. 
“Puding? Yang bener aja Rif…. “ Nabila yang asyik baca novel sambil tiduran tersenyum geli. “Dalam paket begini mana mungkin ada puding, udah bonyok dari sananya, berapa sih nilai IPA kamu?” 
“Emang, lihat aja dari kemarin Rifa ngotak-ngatik PR kimia terus.” Selly ikut nimbrung. Rifa cuma bisa nyengir kuda. 
“Makanya neng, kalo Bunda Rina lagi nerangin tuh dengerin, jangan ngitung bulu mata melulu…” . Kata Nabila lagi. Ditutupnya buku tebal yang belum selesai dibacanya itu. 
“Ngitung bulu mata?” Selly bertanya bingung. 
“Tidur neng.” jawab Nabila. Mata bulatnya semakin
Berbagi 29 
membesar, gemas pada Selly yang dianggapnya agak lola. Saat itulah matanya tertaut pada sebuah benda dalam genggaman Fida yang kini sudah duduk bersila di lantai. “Ih… Fida, apaan tuh… lihat dong!” Nabila bergegas mendekati Fida. 
“Apaan Fid, kerudung ya…?” Nabila penasaran. Tangannya ikut memegang kain lembut yang baru saja dipegang Fida. Fida merobek kertas pembungkus paket lebih lebar. Rasa penasaran menggelitik hatinya. 
“Tahu nih, tapi warnanya lucu ya.” Fida menarik kain warna warni itu dibantu Nabila. Sehelai baju panjang terbuat dari kain batik. Coraknya lucu bernuansa cerah. Warnanya saling silang merah, biru, kuning, dan hijau. Sungguh indah. 
“Apaan sih.” Fauzia yang sedari awal sudah penasaran, kini mendekat, diikuti hampir seisi penghuni kamar. Tangannya mengambil alih kain dari pegangan Fida. Kemudian diangkatnya tinggi-tinggi. Meneliti sejenak. Pada detik berikutnya, tawanya langsung meledak. “Hahaha ya ampun Fid, ini kan daster!” 
Entah karena memang lucu atau karena solidaritas sesama teman sekamar, kini hampir seluruh gadis-gadis berusia 13-14 tahun itu mengikik geli. 
“Iya Fid, ini mah daster atuh. “ Aufa yang asli Subang menguatkan kata-kata Fauzia. Tangannya separuh menutup mulut menahan tawa. 
“Emangnya kenapa sih, daster kan baju perempuan, bagus lagi warnanya, kok kalian tertawa.?” Selly, seperti biasa, terbengong tak mengerti. Boro-boro tertawa, senyum aja nggak, yang ada hanya tatapan polos tanda tak ngeh. 
“Ya ampun Sell, nggak ngikut trend mode ya.“ Bitha
30 Aku Bangga Menjadi Guru 
menyela. Maklumlah, konon kabarnya mama Bitha punya beberapa outlet busana muslim yang tersebar di beberapa kota besar. Pastilah tahu mode-mode busana remaja yang lagi trend. “Daster itu kan!” Lanjut Bitha sambil sudut matanya melirik Fida yang hanya tersenyum kecut. “Maaf ya Fid, daster itu kan pakaiannya nenek-nenek atau nggak emak-emak.” 
Gerr… Tawa kembali memenuhi ruang. Hembusan angin pegunungan desa Tambak Mekar menerbangkan suara gelak itu ke setiap sudut lain asrama putri Boarding School SMPIT Assyifa. Menggiring berpasang kaki yang berlarian kemudian. Menuju sumber suara tawa berasal. 
“Hey… ada apaan sih? Girang betul nampaknya kalian nih.” Sesosok gadis berkacamata dan berjilbab hijau muda menjulurkan kepalanya di pintu. Beberapa detik berikutnya bermunculan pula kepala-kepala berjilbab aneka warna lainnya. 
“Eh, Arin. Sini deh. Masa Fida dapat kiriman daster dari ibunya. Hi…hi….” Bitha melambai ke arah Pintu. 
“Ha… daster? Ya ampun Fid, ibu kamu lucu banget sih. Daster mah biasanya dipakai ibu-ibu, malah nenekku hampir setiap hari pakai daster kalau di rumah.” Arin ikut terkekeh. 
“Tuh kan Fid, betul kata aku.” berkata Bitha sambil memamerkan daster itu pada teman-teman kamar sebelah yang kini sudah berdiri mengelilingi Fida. 
“Oh, begitu ya. Ya ampun! Ibu … ibu…” Fida mau tak mau ikut tertawa. Berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. 
“Eh, lihat deh, aku cobain ya.“ Bitha memakaikan daster itu ke tubuh mungilnya, sambil mematut-matut diri di depan cermin kamar.
Berbagi 31 
“Hik…hik… kamu mirip nenek aku Bith. Mirip banget deh. Duh, jadi kangen nenek nih…” Komentar Arin sambil tertawa lepas. Tawanya, juga tawa teman seisi kamar, menyisakan pedih dan kesal di hati Fida. Mengoarkan sejumlah rutukan dalam hati : Ngapain sih ibu ngirim daster? Daster kan tidak ada dalam daftar barang permintaanku. Padahal nama barang-barang yang diminta untuk dikirim hampir selalu diulang saat ibu telepon ke asrama setiap malam Sabtu. Malam yang selalu ditunggu Fida. Karena malam itu Fida bisa menumpahkan rasa rindu dan segala cerita seru, sedih maupun gembira pada ibu. Wanita mulia berhati lembut yang selalu sabar mendengarkan curhatnya. Curhat tentang segala kejadian di sekolah dan asrama, dari A sampai Z dengan detail. Ibu yang selalu membuat Fida rindu rumah. Rindu ceritanya, rindu kelucuannya saat menceritakan ulah murid-muridnya (ibu Fida kan seorang guru kelas 1 SD negri), rindu masakannya, rindu nasehat dan kata-kata bijaknya. Rindu … ah, semuanya! Tapi daster ini, telah menguapkan rindu itu menjadi buih kecewa dan malu! Malu yang teramat! 
Bayangin deh! Ditertawakan seisi kamar. Ditertawakan teman kamar-kamar lain. Belum lagi jadi bahan obrolan hot news penghuni asrama dalam rentang beberapa hari berikutnya. Dari kelas 7 sampai kelas 9. Apalagi kelas 8! Hhhh… Aroma perseteruan yang turun temurun antara kelas 7 dengan kelas 8, dari abad awal sejarah berdirinya asrama sampai kini, semakin memperparah suasana hati Fida. Fida jadi semakin tak nyaman saat berjalan di sepanjang koridor kamar kelas 8. Padahal bangunan asrama kelas 8 adalah jalan terdekat menuju perpustakaan. Mogok beberapa hari
32 Aku Bangga Menjadi Guru 
nggak ke perpus? Nggak tahan! Mendingan nggak makan deh dari pada nggak baca buku! Tapi bisik-bisik tentang daster membuat kupingnya menjadi panas. Terlebih kalau ada kakak kelas yang dengan sengaja bergosip ria saat Fida lewat depan kamar mereka. Menggosipkan apalagi kalau bukan tentang daster. Hhh, lagi-lagi daster. Aduh ibu, jadi ingin cepet-cepet curhat nih. Tak sabar rasanya menunggu malam Sabtu tiba. Malam jatah kamar 7-4 untuk bertelepon ria dengan keluarga. 
~~~ 
“Bunda, aku pinjem HP nya ya!” Fida menghampiri Bunda Nurul yang tengah duduk manis di kantor asrama. “Mau SMS ibu, boleh kan?” Pinta Fida dengan tatap penuh harap. 
“Baru juga hari Rabu Fid, ada perlu penting ya?” Bunda Nurul tersenyum lembut. Ditatapnya Fida penuh selidik. Fida mengangguk lesu. Aneh… tumben nih anak, biasanya ceria. “Ada apa sih, kok lesu gitu?” 
Fida duduk di kursi sebelah Bunda Nurul. Ada keinginan untuk curhat sama beliau. Bunda Nurul kan bunda pendamping kamar 7-4, siapa tahu bisa sedikit mengurangi rasa sedih itu. Tapi… malu ah! Nanti ditertawakan. Masalah sepele seperti ini saja. Loh… loh… udah tahu sepele kok aku pikirin. Tapi masalahnya, tema obrolan tentang daster itu masih belum reda juga. Bikin pusing. Pokoknya harus bilang sama ibu, kalau aku mau balikin tuh daster! 
“Ibu telpon aku ya nanti malam, kalau nggak bisa, kasih tahu kapan bisanya.” Begitu bunyi SMS yang tertera di layar HP. Fida menekan tombol send. Dan melesatlah pesan itu ke
Berbagi 33 
HP ibu, hanya dalam hitungan beberapa detik. 
“Assalamualaikum teh.” Terdengar suara lembut ibu dari HP Bunda Nurul. Raut lesu Fida berubah seketika. Ada rona cerah di sana. 
“Waalaikum salam. Ini ibu ya, kok cepet banget langsung telpon, ibu ada di mana? Kok nomornya lain?” Fida memberondong ibu dengan beberapa pertanyaan tanpa jeda. 
“Iya, ini ibu. Ibu masih di sekolah, kebetulan ibu lagi nggak punya pulsa, jadi pakai telpon sekolah. Ada apa teh. Oh iya, kiriman ibu sudah sampe belum?” 
“Sudah. Ibu yang masukin daster ya?” Fida separuh berbisik, takut terdengar Bunda Nurul yang kini tengah sibuk dengan komputer di hadapannya. 
“Iya… emang kenapa? Bagus kan? Habis, ibu lihat baju tidur kamu udah jelek-jelek. Malu kan dilihat sama teman- teman yang lain? Kebetulan ibu punya sedikit uang, harga daster kan jauh lebih murah.” 
“Ah ibu… justru itu masalahnya.” Fida memotong kalimat ibu, nada suaranya mulai tersendat menahan tangis. “Aku…aku jadi malu….” 
“Memangnya kenapa? Ada yang salah ya sama daster kiriman ibu itu?” 
“Bukan begitu.” Rengek Fida, “Teman-teman nertawain aku. Malahan hampir seluruh asrama ngomongin aku… .” Fida mulai terisak. Kalimatnya terdengar tak jelas di telinga ibu. 
“Sst… teh, tenang dong. Bicaranya jangan sambil nangis. Ibu nggak jelas nih. Emangnya kenapa dengan daster itu. Ibu pikir daster itu bagus buat kamu. Kan enak sore-sore pakai daster, santai dan lagi pula praktis dipakai untuk tidur
34 Aku Bangga Menjadi Guru 
atau untuk sekadar jalan di sekitar asrama.” Ibu coba untuk menenangkan. Tetapi gagal. Fida malah semakin tak dapat menahan tangisnya. 
“Emang bagus…tapi teman-teman bilang daster itu baju nenek-nenek. Aku malu bu. Aku malu….” Suara Fida terputus-putus di sela isaknya. 
“Cup teh… jangan nangis ah. Ya udah, kalo kamu malu nggak usah dipakai. Simpan aja ya. Sabar ya. Maafin ibu kalau begitu.” Hening mengambang di udara untuk beberapa saat. Ibu menghela napas panjang dan menghembuskannya pelan. Berharap bisa mengurangi sesak yang tiba-tiba saja sudah menggunung di dada. Sesak membayangkan teteh, panggilan sayang untuk sulungnya, mengalami beban yang cukup berat di sana. Ditertawakan dan diolok-olok teman- temannya? Hampir oleh seluruh teman-temannya, hanya karena sepotong pakaian bernama daster? Ah, anakku! 
“Ya udah ya teh. Simpan saja dasternya. Sabar ya, ibu nggak bisa lama-lama.” Belum sempat terucap salam. Ibu tak tahan. Ibu tak ingin Fida tahu, ada yang menetes di kedua sudut matanya. Dengan pelan disusutnya air mata itu dengan ujung jilbabnya. 
~~~ 
Angin pagi itu berhembus pelan dari celah jendela perpustakaan. Menyentuh lembut ujung jilbab Fida yang masih menekuni kumpulan cerpen pengarang kesayangannya. Namun konsentrasinya pecah tak beraturan. Wajah-wajah yang dirindukan, sudah 2 kali kunjungan ini tak tampak di hadapannya. Wajah ibu dan ketiga adiknya: Azzam, Miqdad dan si bungsu Zara. Hanya ayah yang berusaha untuk bisa
Berbagi 35 
datang pada kunjungan bulan kemarin. Itu pun naik angkutan umum. Lebih irit katanya. Sedangkan untuk kunjungan kali ini ayah hanya menitipkan sedikit uang tambahan jajan dan setoples kacang bawang buatan ibu, pada teman pengajian ayah. 
Sedih rasanya melihat teman-teman yang lain bercengkrama bersama keluarga masing-masing. Lebih baik bersembunyi di sini, di perpustakaan. Berselancar menjelajahi dunia lain. Dunia yang diciptakan oleh penulis-penulis buku terkenal. Mengurangi sedikit kesedihan yang berpendar di hati. Untungnya Fida tak pernah bosan untuk membaca dan untungnya pula perpustakaan selalu buka di hari Sabtu dan Minggu. 
“Sedang apa ya ayah, ibu dan adik-adikku di sana.” Bisik Fida dalam hati, matanya menerawang jauh, melintas kaca jendela dan pilar-pilar tinggi yang berjejer di sepanjang lorong perpustakaan. “Hmmm, pagi-pagi begini biasanya mereka beres-beres rumah. Ayah ngepel, ibu masak makanan yang enak, Azzam dan Miqdad pasti sedang berantem dan ibu akan teriak-teriak melerai. Ade Zara paling ngikutin terus di sisi ibu.” Fida tersenyum sendiri. Bayangan ayah, ibu, dan adik-adiknya menari-nari di pelupuk mata. Duh rindunya. Pipi Fida membasah. Air mata sudah berguliran di sana. 
“Fida, kenapa?” Seseorang menyentuh bahunya, “Kamu nangis ya?” 
“O… eh, Arin…” Tergeragap Fida menjawab. Dilihatnya Arin sudah berdiri di sisinya. “Nggak Rin. “ Dusta Fida, buru- buru disekanya air mata itu dengan kedua tangannya. 
“Jangan bohong, kenapa sih? Karena nggak dijenguk sama orangtua kamu ya?” Tebak Arin. Ditariknya kursi di
36 Aku Bangga Menjadi Guru 
sebelah Fida, kemudian duduk di sana. “Aku juga nggak dijenguk kok.” 
“Oh ya? Emang kenapa?” Fida sedikit terhibur dengan kehadiran Arin. Rasa kecewanya pada Arin yang menertawakan daster kiriman ibu sudah jauh-jauh hari dilupakan. 
“Orangtuaku baru bisa jenguk aku pekan depan.” 
“Enak doong. Nah aku? Entah kapan mereka datang lagi ke sini. Kunjungan terakhir hampir dua bulan lagi, sekalian penjemputan libur kenaikan kelas. Padahal aku tuh udah kangen sama mereka. Terutama sama ibu. Apalagi terakhir ibu telpon, kami ngobrol nggak tuntas.” 
“Eh, kalau kamu mau, ikut aja pulang ke Bekasi bareng aku.” 
Bola mata Fida membesar. Ada harapan berpendar di sana. Saat itu juga hatinya bersorak girang. “Ah yang bener? Emang boleh ya? Kapan kamu pulang? Sama siapa?” 
“Iya, beneran. Pekan depan bapak mau jemput aku. Tanteku nikah. Jadi aku boleh minta izin pulang kan?” 
“Terus aku gimana, kalo ditanya Bunda Etin kenapa aku pulang, alasannya apa dong?” Fida mulai ragu kembali. 
“Bilang aja kangen berat, sudah dua kunjungan nggak ditengok. Lagian kamu belum pernah ambil jatah pesiar kan? Pasti Bunda Etin ngizinin deh.” Arin meyakinkan Fida. 
“Eh, iya juga ya. Asyik. Alhamdulillah. Benar ya Rin, pekan depan aku ikut kamu. Nanti aku mau bikin kejutan buat ayah ibuku. Aku turun di tol timur aja ya, habis itu naik angkot ke rumah. Siiip deh!” 
Fida bersorak girang. Kegembiraannya melegakan hati Arin. Arin diam-diam ikut sedih melihat Fida menderita.
Berbagi 37 
Apalagi sejak kejadian dua pekan lalu, saat Fida mendapat kiriman daster itu. Arin tahu bagaimana perasaan Fida. Arin juga menyesal sudah ikut menertawakan Fida, teman dekatnya waktu di sekolah dasar dahulu. 
~~~ 
“Ya… aku sudah siap Rin!” Teriak Fida dari balik pintu lemarinya. Tangannya menyambar bungkusan plastik berisi daster yang dikirim ibu dua minggu yang lalu. “Ups, hampir kelupaan, daster ini kan mau kukembalikan. Menuh-menuhin lemari aja. “ 
“Cepatan sedikit Fid. Bapak sudah selesai ngurus surat izinnya tuh. Punya kamu juga sudah diurusin.” Arin menggamit tangan Fida tak sabar. “Eh, bawa apaan tuh?” tunjuk Arin ke arah kantong plastik dalam genggaman Fida. 
“Hehehe…daster yang kemarin kamu ketawain. Mau aku bawa pulang aja.” Enteng Fida menjawab. Langkahnya ringan dan gesit. Ingin segera sampai di Bekasi. Kejutan yang menyenangkan buat semua. Pasti ayah dan ibu kaget melihatnya ada di depan pintu dengan tiba-tiba. Hmm… Fida melangkah pasti. Senyuman tak lepas mengembang di bibirnya. Senyum yang terus mengembang sampai tiba di pintu tol dan berpisah dengan Arin. 
“Terima kasih ya Rin. Terima kasih ya pak. Hati-hati di jalan. Assalamualaikum.” Fida menutup pintu mobil. Melambaikan tangan pada Arin dengan riang. Kemudian berjalan menuju halte di seberang. Sebuah angkot bernomor 19 berhenti di depannya. 
Fida segera saja melangkah masuk ke dalamnya. Hatinya bersenandung riang di antara penumpang yang sudah penuh
38 Aku Bangga Menjadi Guru 
sesak. Senandung merdu yang melagukan nyanyian rindu pada ayah dan ibu, juga adik-adiknya. 
Mata Fida menelusuri deretan ruko yang berdiri kokoh di tepi jalan. Jalan yang selalu dilewatinya jika hendak pergi ke sekolah dahulu. Di ujung ruko sana ada gang. Gang menuju rumah Fida. Fida akan turun di sana. Hatinya semakin riang. Matanya bergerak-gerak meneliti sepanjang ruko. Hmm… siapa tahu ibu atau adik-adik ada di salah satu toko itu. 
Ups, hey…tuh… benar kan? Itu, sosok perempuan berjilbab kaos merah marun tua, itu kan ibu. Di sebelahnya? Tak salah lagi! Gadis kecil berjilbab lucu itu kan de Zara? Tangan mungilnya tak lepas dari rok ibu. Ta…tapi, kenapa ibu membawa nampan besar di kepalanya ya? Dan… ibu meneriakkan sesuatu nampaknya. Terlihat dari gerak bibirnya dari kejauhan. Seolah sedang menjajakan sesuatu. 
Fida semakin penasaran. Mobil melaju pelan melewati kedua sosok yang teramat dikenalnya itu. Seketika Fida terpana. Ibu meneriakkan kata-kata ”Tempe… tempe … “ 
“Ibu… ibu berjualan tempe?” Desisnya pelan. Teramat pelan. Tak terdengar malah. “Sejak kapan? Kenapa? Bukankah ibu sudah punya gaji dari hasil mengajar? Apakah usaha ayah sedang ada masalah, sampe ibu harus berjualan keliling seperti itu? Ya Allah.” Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala Fida. Membuatnya ingin segera tiba di rumah untuk mendapatkan jawaban. 
“Tempe… tempe…” Suara ibu terdengar semakin jelas. Fida semakin terpaku. Ibu… penampilan ibu sangat jauh berbeda kini. Butiran keringat menempel di kening dan sela- sela jilbabnya. Ibu kelihatan kurusan sekarang. Pantas saja kunjungan mereka ke asrama terputus. Pantas saja obrolan
Berbagi 39 
di telepon tak bisa selama dulu. Pantas saja ibu hanya bisa membelikannya sepotong daster ketimbang baju tidur lucu seperti punya teman-temannya yang lain. Ah, ibu… jerit Fida dalam hati. Tak sadar tangannya mendekap ransel berisi daster pemberian ibu yang akan dikembalikannya. Maafkan teteh bu! 
~~~ 
Senja di kaki bukit Desa Tambak Mekar. Desiran anginnya yang sejuk mengiringi langkah Fida yang berjalan dengan anggun. Tubuh bongsornya berbalut daster bernuansa cerah, berpadu jilbab senada, menambah kecantikan yang terpancar dari wajah riangnya. Tak peduli beberapa teman yang melihatnya berjalan di lorong asrama terkikik geli. Tak peduli suara-suara sumbang kakak kelas yang meledeknya. Fida tetap melangkah riang. Menuju papan tempat majalah dinding terpasang. Selembar kertas terselip di tangannya. Ditempelnya kertas itu di sana. Dibacanya sekali lagi puisi hasil tulisan tangannya itu. Tulisan yang terukir indah dari lubuk hatinya yang paling dalam. Seulas senyum mengembang di bibirnya.
40 Aku Bangga Menjadi Guru 
Dasterku 
Tak peduli tampilanku seperti bibi-bibi 
Tak peduli gayaku serupa ibu-ibu atau emak-emak 
Tak peduli orang menyandingkanku bak nenek-nenek 
Tak peduli aku pada semua itu 
Peduliku hanya untuk butiran keringat ibu 
Peduliku hanya pada tetesan air mata ibu 
Peduliku hanya untuk pengorbanan ayah 
Peduliku hanya pada harapan dan doa mereka 
Lalu, 
Mengapa aku harus gulana dan ragu 
Mengenakanmu, bukankah ada tanda untukku 
Tanda cinta, kerelaan dan pengorbanan ibu 
Yang tersirat indah dalam wujudmu : dasterku… 
Bekasi, 10 April 2010 
(Untuk sulungku : sabar dan syukur adalah senjata utama dalam hidupmu, nak!)
Berbagi 41 
Orangtua Pintar 
vs 
Orangtua Hebat 
“Sekarang aku tahu. Ternyata ada orangtua pintar dan orangtua hebat di zaman sekarang ini.” Begitu kalimat yang diucapkan anakku Azzam pada suatu malam. Telingaku sejenak berdiri tegak. Aku tertarik mendengarnya. Wah, siap- siap aku dikritik nih, bisikku was-was. 
“Oh ya? Apa tuh ciri-cirinya? Coba jelaskan dong pada ibu.” Aku semakin penasaran. Aku masuk kategori mana nih dalam pandangan si kritikus ini? 
“Ciri orangtua pintar lebih banyak memberikan perhatian pada anaknya dengan cara memenuhi segala kebutuhan materinya saja. Uang, barang-barang, dan kemewahan. Pokoknya, apa yang diminta anak, pasti akan dipenuhi. Kalo orangtua hebat cirinya, lebih banyak membimbing dan mengarahkan kehidupan anaknya sesuai kebutuhan.” 
“Kalau begitu, ibu dan ayah masuk golongan yang mana?” Kejarku makin antusias. “Orangtua hebat.” Jawab anakku tanpa ekspresi, menandakan dia memang serius dan tak berniat untuk menyanjung atau ada keinginan di balik jawabannya itu. 
Alhamdulillah, bisikku dalam hati sambil bernapas lega. Aku jadi penasaran, siapa atau dari mana anakku tahu tentang orangtua pintar dan hebat ini? “Kamu tahu dari mana tentang orangtua pintar dan orangtua hebat ini?” 
“Dari Pak guru.”
42 Aku Bangga Menjadi Guru 
“Oh… begitu ya?” 
Subhanallah! Aku jadi terharu. Bukan karena anakku mengatakan kami orangtua hebat. Tapi lebih pada begitu besarnya peran guru dalam menyampaikan informasi positif dan membangun karakter anak didiknya. 
Aku jadi teringat bagaimana anak-anakku tumbuh dewasa setelah mendapat pendidikan, hatta mereka masih duduk di bangku TK. Terkadang aku surprise mendapati hal- hal baru yang mampu dilakukan anak-anakku, karena aku merasa ada beberapa bagian yang tidak kuajarkan pada mereka. Seperti bisa cebok sendiri, memakai sepatu atau baju sendiri, membaca doa harian, menulis dan membaca, dan banyak hal lain lagi yang membuat aku selalu harus mengucap subhanallah dan alhamdulillah. 
Seperti yang kudapati pula di sebuah sore saat pulang dari tempat bekerja. Terdengar ramai dari sebuah TPA, suara anak-anak membaca doa untuk orangtua, “Rabbighfirli waliwalidayya, warhamhuma, kamaa robbayaani shoghiroo. Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtuaku, sayangilah mereka, sebagaimana mereka mengasihi dan menyayangiku di waktu kecil.” 
Mendengar alunan doa itu, ada air mata haru yang menetes di pipiku. Aku membayangkan wajah tulus para guru yang sedang mengajar dengan penuh semangat. Tak peduli anak didiknya ribut atau berperilaku menjengkelkan. Dengan sabar mereka menghadapinya. Semakin banyak masalah yang dihadapi, semakin semangat mereka menaklukannya. 
Terima kasih guru anak-anakku, telah kau ajarkan begitu banyak hal baru pada anak-anak kami. Telah kau ajarkan do’a yang begitu indah untuk kami para ayah dan ibu.
Berbagi 43 
Dari keikhlasan bapak dan ibu guru pulalah anak-anak bisa membaca do’a itu dengan lancar. Kami tahu, doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi kami hingga tiba di yaumil hisab nanti. Semoga pahala dan keberkahan senantiasa terus mengalir atas amal yang bapak dan ibu guru lakukan pada putra dan putri kami. Amin ya rabbal alamin.
44 Aku Bangga Menjadi Guru 
Siapa Bilang Nggak Mungkin? 
Kalimat itu yang pertama terucap, saat rangkaian ibadah haji yang aku jalani usai. Kalimat yang terucap dengan penuh kebahagiaan dan kesyukuran atas terwujudnya mimpi yang sedari dahulu tertanam di hati, yaitu mimpi untuk pergi ke Baitullah di negeri para nabi. Bagaimana tidak bersyukur dan bahagia? Karena mendapati kenyataan, bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pergi ke sana ternyata cukup besar untuk ukuranku yang cuma seorang guru SD ini. Apalagi guru SD swasta di pinggiran kota Jakarta, gajinya kalau dihitung, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder saja. 35 juta! Bayangkan! Dari mana aku bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Kalaupun bisa dikalkulasikan, paling-paling kemungkinannya adalah harus menabung dalam jangka waktu yang cukup lama. Padahal trend ONH dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan. Maka semakin lengkaplah pembenaran sebuah statemen yang mengatakan bahwa rukun Islam yang kelima itu kan PERGI HAJI JIKA MAMPU. Ah, jika mampu ini kok. Kalau nggak mampu? Ya sudahlah! 
“Guru SD, bisa naik haji? Ah, mana mungkin?” “Dapat warisan kali, atau dapat tunjangan sertifikasi?” “Barangkali ada yang ngehajiin.” Yang lebih santun mungkin “Subhanallah (dalam hati berbisik, masa iya sih)” adalah kalimat tak terucap yang aku tangkap dari sorot wajah teman-teman dan yang mereka ucapkan saat mendengar berita tentang akan pergi hajinya aku waktu itu. Dengan segala rasa hormat dan
Berbagi 45 
keyakinan, aku jawab: Siapa bilang nggak mungkin? Aku telah membuktikannya! Pergi haji dengan uang yang aku kumpulkan rupiah demi rupiah. Uang gajiku sendiri. Gaji seorang guru SD! Maka dalam kesempatan ini, aku ingin berbagi kiat dan pengalaman bagaimana akhirnya bisa menunaikan rukun Islam yang kelima itu. 
Pertama sekali yang harus ditanamkan adalah niat yang ikhlas. Kerinduan yang terus menerus. Tekad yang kuat bahwasannya ibadah haji ini adalah salah satu rukun Islam yang jika kita belum memenuhinya, maka belum sempurna ke-Islaman kita. Mohon maaf apabila pandangan ini keliru, tapi begitulah pandangan aku pribadi. Pandangan seperti itu pula lah yang memacu tekad agar aku harus bisa melaksanakan perintah Allah ini dengan segera, karena kita tak tahu, apakah besok Allah masih memberikan kita waktu untuk hidup. Aku ingin menghadap Allah, dalam keadaan sempurna rukun Islamku. 
Setelah menanamkan keyakinan itu, mulailah untuk melakukan aksi. Aksi pertama adalah menabung. Masih ingat lagu zaman kita kecil dahulu? Bang bing bung yok, kita nabung. Tang ting tung yok, jangan dihitung. Tahu tahu nanti kita dapat untung. Berapa pun uang yang kita punya, setelah setoran awal tabungan tentunya, kita bisa menyisihkannya untuk pergi haji. Jangan pernah dihitung atau dipikirkan. Biarkan saja mengalir apa adanya. Bolehlah sesekali dihitung dan diterawang, duh kok lama banget ya nggak ngumpul- ngumpul uangnya. Tapi itu bisa jadi menambah semangat kita untuk terus menabung dan berusaha. 
Putuskan mengumpulkan biaya untuk naik haji sebagai prioritas utama. Jadi, kebutuhan-kebutuhan lain yang
46 Aku Bangga Menjadi Guru 
sekiranya tidak penting-penting amat tundalah terlebih dahulu. Semisal ingin beli mobil, pasang AC, beli baju baru, HP baru, dan lain-lain. Fokuskan untuk satu tujuan itu: Naik haji! Terkadang memang sedih ketika dihadapkan pada pilihan sulit antara memenuhi kebutuhan sesuai keinginan hati yang memang penting juga, atau menabung agar cepat terkumpul biaya untuk pergi ibadah haji. Maka, hiburlah hati dengan kalimat : “Ya Allah, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk memenuhi kewajibanku atas syariat-Mu. Kurelakan menepikan hasrat dan inginku yang lain demi mendapat cinta dan ridho-Mu. Maka mudahkanlah ya Rabb.” 
Terakhir adalah perbanyak doa dan rendahkan hati. Karena banyak cerita yang membuktikan bahwa pergi ke tanah suci memang benar-benar panggilan dan undangan dari Allah. Banyak orang kaya dan mampu pergi, tapi hatinya belum tergerak untuk ke sana. Ada orang yang sudah siap berangkat, tak jadi pergi karena satu dua alasan atau peristiwa yang membuatnya batal pergi. Tapi bukanlah pula dijadikan alasan belum pergi haji karena belum dapat panggilan dari Allah. Bukankah sudah jelas dikatakan dalam Al-Qur’an surah Ali Imran : 97 “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.“ Wahyu Allah itulah adanya sebuah bukti, bahwa Allah sebetulnya telah memberi perintah dan memanggil kita untuk segera memenuhinya. Selagi kita bisa untuk penuhi panggilan-Nya, maka segeralah penuhi panggilan itu dengan berlari! 
Tunggu apa lagi? Just do it! Segera lakukan langkah awal untuk membuktikan kesungguhan bahwa kita benar- benar ingin menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Karena
Berbagi 47 
aku yakin, setiap kita pasti sangat ingin pergi haji. Mulailah menabung. Buktikan bahwa jika kita bersungguh-sungguh, maka tak ada lagi kalimat mana mungkin? Man jadda wa jadda! Keajaiban itu akan datang tanpa diduga. Allah berikan kemudahan pada kita dalam proses awal maupun akhir perjalanan ibadah haji kita. Di sana pun banyak kebahagiaan dan kedamaian yang kita temui. Kita dapat berdiri tepat di hadapan kiblat shalat kita : Ka’bah. Serasa tak ada hijab antara kita dengan Sang Pencipta. Kita bisa rasakan kehadiran Rasulullah, karena di sanalah jejak-jejak kehidupan beliau pernah ada. Kita bisa melipatgandakan pahala sampai ratusan ribu pahala ibadah di sana. Kita bisa bertemu, mengenal dan merasakan indahnya persaudaraan Islam dengan umat muslim dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Tak pandang warna kulit dan bahasa. Subhanallah, sungguh pergi haji adalah hadiah terindah yang Allah berikan di sepanjang usia kehidupanku. Wallahua’lam bish shawwab. 
Bekasi, 28 Januari 2011 
(Jazakillah pada keluarga besar Thariq Bin Ziyad atas do’a dan dukungannya)
48 Aku Bangga Menjadi Guru 
Tuhan, Aku Membutuhkan-Mu 
Hari ini tepat satu bulan aku mengajar di kelas satu yang baru di tahun ajaran yang baru pula. Tahun kedelapan di mana aku kembali dipercaya menjadi wali kelas satu. Beban yang tidak bisa dianggap ringan. Karena seperti biasa, kelelahan pasti akan menjadi makananku sehari-hari di semester awal. Di hari pertama saja aku dibuat tak berdaya oleh ulah lima orang murid kecilku. Ada yang merengek terus minta ditungguin ibunya, ada yang jalan-jalan ke sana ke mari selama pelajaran berlangsung, mengganggu teman. Ada yang hobinya cuat-ciat ngajak berantem temannya. Ada yang maunya main bola saja di luar kelas. Ada yang ngoceh terus selama aku berbicara di depan kelas. Aku bicara satu kalimat, dia yang melanjutkan berkalimat-kalimat. Seru dan melelahkan! Hingga tiba di rumah, belum juga jam dinding menunjuk ke angka 7 malam, aku sudah terkapar tak berdaya di kamarku. 
Namun tidak seperti biasanya, aku tak bisa tidur dengan segera malam ini, padahal badan rasanya sudah penat tak karuan. Bermacam masalah kembali bermunculan satu persatu tadi siang di sekolah. Tes formatif pertama untuk murid-muridku sungguh melelahkan. Aku harus membacakan soal satu per satu dengan volume suara paling maksimal yang aku miliki. Belum lagi harus berkeliling dari satu bangku ke bangku yang lain untuk memastikan kalau muridku sudah mengerti dan menuliskan jawaban mereka dengan baik. Belum sampai soal kelima, aku mendengar
Berbagi 49 
suara tangisan di bangku barisan ketiga. Segera kuhampiri muridku yang sesenggukan itu, 
“Kamu kenapa, nak? Kok tiba-tiba menangis?” 
“Huhuhu… aku tidak bisa Bu Titin. Bagaimana menulis jawabannya, huhuhu….” 
“Oh, begini nak… kamu cukup menyilang huruf A, B atau C saja…” Jawabku sambil agak termangu. Ya Allah, ternyata masih ada saja yang luput dari pengawasan. Teman- teman yang lain sudah nomor 5, anak ini nomor 1 saja belum dijawab. Aduh bagaimana ini? 
“Bu! Bu! Air minumku tumpah nih, hiks…hiks… hiks…” Belum kelar masalah satu, di baris paling belakang ada kejadian lain lagi. Gelas Tupperware milik muridku yang lain sudah tergeletak di lantai, isinya berkeliaran memenuhi permukaan lantai, basah mendekati banjir! Belum lagi banjir oleh air mata dan suara tangisnya. Aku makin panik. 
Untungnya aku masih bisa menyelesaikan semua itu dengan baik. Namun baru saja aku bernapas lega dan menyandarkan tubuh di kursi ruang guru, sebuah SMS masuk ke telepon genggamku. Isinya sungguh membuatku terpaku, 
“Bu Titin, hari ini Racca tidak bisa masuk, kurang sehat. Katanya kemarin dipukulin sama Dimas. Apa betul Bu? Mohon penjelasannya.” 
Hua…. ingin rasanya aku menangis. Racca dipukul sama Dimas? Kapan ya? Kok aku sampai tidak “ngeh” begini? Mendadak kepalaku pening. Belum lima menit aku berpikir. Ada SMS berikutnya yang masuk, lebih “menyengat “ lagi kalimatnya. 
“Saya sangat menyesalkan kejadian ini. Apalagi ibu
50 Aku Bangga Menjadi Guru 
sebagai wali kelas tidak memberitahukan kejadian ini. Bukan apa-apa bu, saya khawatir terjadi apa-apa pada putra semata wayang saya. Kalau betul Racca sakit karena dipukul Dimas, ibu harus bertanggung jawab!” 
Gubrakkk! Ingin rasanya aku terbang dulu ke awan. Menghilang sejenak untuk menyembunyikan air mata yang tiba-tiba saja sudah berdesakan ingin tumpah. Aku bingung harus menjawab apa ? Kalau aku katakan aku tidak tahu kejadian ini, sungguh tidak bertanggungjawabnya aku! Tapi memang itu yang sebenarnya. Setahuku tidak terjadi apa- apa kemarin di kelasku. Dimas memang suka berantem, tapi tidak sampai seperti itu aku rasa. Racca juga memang sama bandelnya, suka meledek dan iseng. Kemampuan akademik pun masih jauh tertinggal dibanding teman-temannya. Ya Allah bagaimana ini?! 
Segera aku panggil Dimas yang kebetulan sedang bermain bola di halaman sekolah. Kugenggam tangannya erat. Kupeluk pundaknya hangat. Kuajak Dimas duduk di bawah rindangnya pohon mangga dan cempaka yang berjejer rapi di tepi sepanjang lapangan basket. 
“Anakku, boleh Bu Titin bertanya tentang kejadian kemarin. Apa betul Dimas memukul Racca? “ Tanyaku lembut. Dimas menatapku takut-takut. Lalu menjawab dengan suara terbata. 
“I…iya Bu. Habisnya dia duluan ngatain aku oon. Aku kan nggak mau dikatain itu.” 
“Oh, begitu ya? Uhm… memang bagaimana ceritanya Racca sampai berkata seperti itu pada Dimas?” 
“Begini bu ceritanya!” 
Dimas pun menceritakan kronologis kejadiannya.
Berbagi 51 
Peristiwa itu terjadi pada jam istirahat. Padahal awalnya mereka berdua bermain bersama, bercanda lalu main kata-kataan, akhirnya sampailah pada peristiwa itu. Dimas emosi dan tak terima dikatakan oon alias bloon oleh Racca. Dipukulah Racca. Racca balas memukul. Dimas balas lagi dengan lebih emosi, memukul berkali-kali. Ah, anak-anak ada saja ulah mereka yang membuat guru dan orangtua jadi bingung! Terutama aku, wali kelas mereka, yang seharusnya tahu apa yang terjadi pada murid-muridku. Tapi guru juga kan hanya manusia biasa? Butuh waktu untuk istirahat dan mengumpulkan tenaga, tidak bisa selamanya mendampingi anak-anak. 
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Masya Allah! Mataku belum bisa terpejam dengan nyaman juga. Lintasan-lintasan peristiwa tadi siang terus mengganggu dan mengusikku. Baru kali ini dalam sejarah aku menjadi wali kelas 1 mendapat teguran cukup keras dari orangtua murid. Tidakkah mereka tahu, betapa aku banting tulang dan mengerahkan segenap tenaga dan cara untuk mengajar dan mendidik anak-anak mereka? Anak mereka pipis atau pup di celana, siapa yang mengurusi? Anak mereka menangis dan merasa tak nyaman di sekolah, siapa yang berusaha untuk membujuk dan memeluknya? Anak mereka tidak mau makan bekal makan siangnya, siapa yang memotivasi bahkan bisa sampai menyuapinya? Kadang bahkan ada yang tidak bawa alat tulis, tidak bawa uang jajan, pasti kami tak tinggal diam. Tapi, sudahlah! Tak ada gunanya aku berkeluh kesah, aku butuh menyelesaikan hal ini secepat mungkin. Aku butuh tempat curhat sekarang juga! 
Segera aku bangun dari tempat tidurku. Menuju kamar
52 Aku Bangga Menjadi Guru 
mandi dan berwudhu. Menggelar sajadah dan memulai shalat malamku. Tuhan, aku ingin bertemu dengan-Mu malam ini, seperti malam-malam yang lainnya. Aku ingin bercerita tentang segalanya pada-Mu. Aku ingin berbagi resah dan gundah yang sungguh tak sanggup aku memikulnya sendiri. Aku teramat lelah ya Rabb. Tolonglah aku. Biarkan aku bisikkan pada bumi tempat keningku beradu dan bibirku mendesahkan tangis. Biarkan jiwa lemahku bersandar pada kokohnya kasih sayang-Mu. Aku hanya makhluk-Mu yang lemah dan tiada daya. Maka kupasrahkan kelemahan diri ini keharibaan-Mu, wahai Zat yang Maha Rahim. Tolong bantu aku untuk kuat dan tabah menghadapi semuanya. Tolong bantu aku agar bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik. Bantu aku juga agar bisa mendidik dan mengajak murid-muridku untuk menjadi anak yang shaleh, menjadi anak yang patuh dan mudah diarahkan. Dimas, Racca, Ghiffari, Hamzah, Baskoro, semuanya. Bantu aku juga agar bisa berkomunikasi dengan baik pada orangtua mereka, karena mereka adalah mitraku dalam mendidik dan mengajari putra dan putri mereka. 
Dalam untaian doa dan linangan air mata itu, kubayangkan wajah murid-murid kecilku, kubisikkan nama- nama mereka dengan khusyu’. Kulukis tawa dan keceriaan mereka di antara harapanku. Ya Allah mereka adalah amanah untukku. Maka berilah aku kemudahan dan kekuatan untuk bisa menjalankan amanah itu sebaik-baiknya. Sungguh, tak ada daya dan kekuatan diri yang lemah ini, selain kekuatan yang Kau pinjamkan untukku. Ya Rabb, seandainya aku boleh meminta, tolonglah aku. Jangan pernah tinggalkan aku. Aku akan selalu membutuhkan-Mu. Selalu membutuhkan-Mu dalam tiap detak jantung dan helaan napasku!
Berbagi 53 
Bekasi, 23 Oktober 2011 
(Catatan kecil untukmu : Jadikan Allah sebagai muara dari segalanya. Bukankah sudah kau buktikan keajaiban itu Ada, karena Dia ada!!!)
54 Aku Bangga Menjadi Guru
INSPIRASI 
Bapak Ingin… 
Mang Daan 
Pemulung Itu 
Belajar Kepedulian Pada Irfan 
Selamat Jalan Pak Karta 
I
56 Aku Bangga Menjadi Guru 
Bapak Ingin … 
Jam dinding di kantorku menunjukkan pukul 16.00. Saatnya aku mengakhiri kerja hari itu. Segera kukemas tasku dan bergegas menuju pintu gerbang sekolah untuk pulang. Dari jauh aku melihat titik kecil benda bergerak mendekat ke arahku. Perlahan titik itu membesar dan menunjukkan wujud yang makin jelas. Apalagi sesekali terdengar suara yang teramat aku kenal dari benda bergerak itu, “Pu… Sa.. puuu “. 
Sebuah ide mendadak muncul di kepalaku. Tukang sapu keliling itu mengingatkanku. Alat-alat kebersihan di rumah sudah tidak layak lagi untuk dipakai dan tentu saja layak untuk membeli yang baru. Segera kudekati penjual sapu yang sedang meneriakkan dagangannya dengan suara yang lantang : “Puuuu…. Sa puuuu…” 
Penjual sapu itu ternyata sudah sangat sepuh. Namun badannya masih terlihat kekar dan kuat. Kulitnya legam terbakar sinar matahari. Sorot matanya tajam namun ramah. Terseok-seok langkahnya menarik gerobak yang sarat dengan barang-barang dagangan. Sapu, pengki, sapu lidi, ember, bakul, dan lain-lain. Sebersit iba menyentuh hatiku. Ya Allah, aku nggak bisa membayangkan betapa berat bapak ini membawa gerobaknya berkeliling kampung menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah. Beratnya beban yang dibawa mungkin tak akan terasa jika hari itu hasil jualan yang didapat banyak. Tapi bagaimana kalau tak ada yang membeli satu barang pun?
57 
Inspirasi 
Lintasan rasa empati membuatku tak berpikir dua kali. Transaksi jual beli pun terjadi. Aku membeli beberapa barang yang kuperlukan. Juga membeli barang-barang yang sebetulnya tidak terlalu aku perlukan. Rasa iba tadi yang mendorongku untuk melakukannya. Kemudian aku membayar barang-barang yang kubeli. 
“Ini pak uangnya, jadi berapa semuanya?” Aku menyerahkan selembar uang limapuluh ribuan. 
“Waduh neng, punten… nggak ada kembaliannya. Semuanya jadi tiga puluh lima ribu. Bapak baru kaluar pisan.” Jawab si bapak dengan logat sunda yang kental. 
“Oh, begitu ya pak. Uhm… kumaha atuh, saya nggak punya uang pas lagi.” Aku merasa tak enak juga untuk membatalkan, padahal aku sudah memegang beberapa benda di tanganku. 
“Ia Neng, Bapak baru kaluar. Tadi pagi habis nganter anak sekolah ke pesantren di luar kota. Jadi baru balik tadi siang. Reureuh sakedap (istirahat sebentar, red.) terus baru bapak jualan lagi. Jadi belum dapat uang, nih lihat… “ Si bapak menjelaskan panjang lebar. Terakhir dia membuka laci uangnya yang terletak menyatu di ujung gerobak. Cuma ada beberapa lembar ribuan dan beberapa keping recehan. Rasa iba menyentuhku kembali. 
“Uhm… baik bapak. Nggak apa-apa. Kebetulan rumah saya dekat dari sini. Kalau begitu kita ke rumah saya saja dulu. Mudah-mudahan ada uang pas di rumah.” Akhirnya aku mengajak si bapak ke rumah yang hanya berjarak satu blok dari sekolah tempatku mengajar. 
Si bapak pun mengikutiku dari belakang. Menyeret gerobaknya dengan penuh semangat. Sementara pikiranku
58 Aku Bangga Menjadi Guru 
me-review ulang percakapan tadi. Si bapak baru berjualan sesore ini, apa ada yang masih mau beli? Padahal baru keliling dua blok saja, pasti matahari sudah tenggelam di ujung barat sana. Berapa uang yang bisa didapatnya hari ini? Dan tadi, dia mengatakan keterlambatannya karena harus mengantarkan anaknya masuk pesantren. Subhanallah. 
“Bapak maaf, putra bapak di sekolahkan di pesantren mana? Bukankah di Bekasi banyak sekolah juga, gratis lagi pak.” Aku bertanya penasaran. 
“Eta neng, pesantren di Subang. Bapak kan memang kawit (asal) na mah dari Subang. Di sini cuma numpang cari nafkah. Ah, siapa bilang gratis neng? Tatangga bapak sekolah di negeri juga ada saja bayarannya. Lagi pula bapak ingin anak bapak nggak cuma pintar, tapi juga bisa ngaji. Ibadahnya rajin, otaknya juga cerdas. Biar kalau sudah dewasa nanti bisa jadi ustad. Jadi orang yang berguna untuk masyarakat. Nggak seperti bapak yang cuma keliling bawa gerobak, capek. Bapak teh ingin pisan neng, biar lah bapak cari uang ke sana ke sini buat biaya anak-anak sekolah. Biar mereka sekolah yang tinggi. Da kerasa sama bapak, orang bodoh teh nasibnya ya seperti bapak ini.” Jelas si bapak di antara napasnya yang tersengal menarik gerobak yang berat. Penjelasannya yang panjang dan lebar membuatku terpaku dalam keharuan. 
Subhanallah. Lewat sosok tua nya yang sederhana. Lewat semangatnya yang tak lekang di sengat terik sinar matahari dan terpaan debu jalanan. Lewat tatap mata yang optimis memandang kehidupan masa depan. Lewat langkah gagah menerjang badai kehidupan. Lewat perkataan bijaknya yang mengandung harapan akan pencerahan negeri ini. Aku bisa belajar satu hal : mimpi (harapan).
Inspirasi 59 
Tentang mimpi, siapa pun tidak melarang untuk bermimpi. Tidak akan ada seorang pun yang protes seindah apa kita ingin bermimpi. Mimpi itu gratis kok! Maka bermimpilah! Lukiskan impian indah tentang hari ini dan esok. Karena kehidupan tidak hanya berhenti sampai hari ini. Masih jauh dan panjang perjalanan hidup kita ke depan. Dengan adanya mimpi, kita punya harapan. Kita punya cita-cita dan tujuan yang jelas. Kita juga jadi lebih terarah menjalankan hidup. Untuk apa hidup dan ke mana kita bermuara pada akhirnya. 
Aku masih tertegun berdiri di pintu gerbang rumahku. Bapak penjual sapu itu kembali menarik gerobak dagangannya. Meneruskan perjalanan pencarian nafkahnya hari itu yang belum tuntas. Suaranya yang lantang terdengar semakin sayup menjauh dariku. Dan akhirnya tenggelam di ujung jalan sana. Namun ada satu kalimat ucapannya yang sampai detik aku menuliskan kisah ini masih terngiang : “Bapak ingin anak bapak menjadi orang yang pintar dan berguna untuk masyarakat neng.” 
Sebuah kalimat harapan dari seorang ayah pada anaknya. Harapan yang aku yakini juga dimiliki oleh para ayah di seluruh pelosok penjuru dunia. Harapan yang membuat para ayah bertahan untuk terus berusaha dan bekerja keras mencari nafkah. Menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anaknya sampai mereka mampu untuk mandiri dan berkarya. 
Aku menghela napas panjang. Kalimat “Bapak ingin…” seolah ditujukan untukku. Aku jadi teringat wajah para murid kecilku. Bertanya dalam benak, apakah mereka tahu dan mengerti apa yang diharapkan ayah dan ibu mereka? Apakah
60 Aku Bangga Menjadi Guru 
mereka ikut merasakan betapa ayah dan ibu mereka bekerja keras untuk kenyamanan hidup anak-anaknya? Apakah mereka. Ah, tak penting untuk mencari tahu apakah mereka yang lainnya, apalagi untuk menjawab pertanyaan itu. Yang harus aku tekadkan dan catat dalam hati adalah : Jadilah motivator bagi murid-muridku, agar mereka terpacu untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal. Menjadi manusia yang punya manfaat bagi orang-orang di sekitar. Membantu mewujudkan harapan dan cita-cita mereka. Juga harapan ayah dan ibu mereka. Mendidik dan mengajar putra dan putri yang mereka amanahkan padaku. Semoga, aku bisa penuhi harapan itu! Bismillah. 
“Bapak, aku ingin dan sangat ingin, memenuhi harapanmu!” 
Bekasi, 22 Oktober 2011 
(Untuk para ayah yang dengan ikhlas berkorban demi putra/putrinya.)
Inspirasi 61 
Mang Daan 
(Kenangan Sosok di Masa Kanakku) 
Seorang teman di jejaring social facebook tak sengaja telah menginspirasiku untuk menuliskan tentang sosok sederhana yang ingin kutuliskan di sini. Tokoh yang satu ini tak seterkenal menteri pendidikan, tak sehebat Pak B.J Habiebie, tak setampan Dude Herlino atau segagah Dede Yusuf. Bahkan sebaliknya, sosok ini teramat sangat sederhana di mataku, juga di mata orang-orang kebanyakan desaku pada waktu itu. 
Penampilannya biasa-biasa saja. Bahkan boleh dibilang kumuh dan kusut. Seragam kesehariannya adalah sebagai berikut : Kemeja lusuh, kadang ada tambalan di beberapa tempat. Beralas kaki sandal butut, terkadang malah sepatu yang ujungnya sudah sedikit menganga. Mengepit tas kulit imitasi tanpa tali penggantung yang juga sama bututnya. Tas kulit itu berisi perkakas pekerjaannya sehari-hari, yaitu kertas gambar, pensil (yang sering diselipkannya di sela-sela kuping saat bekerja), benang jahit atau senar, jarum besar dan lem sepatu. Pekerjaan beliau memang multi talenta, kadang menjahit dan mengesol sepatu, kadang membuatkan gambar untuk anak-anak bahkan kadang pekerjaan makelar pun dilakoninya. Namun di kalangan kami, para anak-anak dan remaja, beliau lebih dikenal sebagai tukang gambar dan sol sepatu. Kalau kami ada PR menggambar, pasti yang kami tunggu di depan rumah adalah beliau. 
Mang (om, paman, red) Daan, begitu kami memanggil
62 Aku Bangga Menjadi Guru 
beliau. Kami selalu merindukan kehadirannya. Kalau kami tak punya PR menggambar, Mang Daan kami minta untuk bercerita tentang apa saja. Mang Daan akan dengan senang hati menceritakan pengalamannya bertemu dengan orang- orang. Mang Daan juga akan menceritakan bahwa si Anu minta digambarkan ini, si Anu pesan gambar itu. Atau Beliau akan bercerita tentang hal-hal yang ditemuinya di jalan. Ada cerita horor, cerita sedih, atau cerita lucu. Kami akan selalu senang mendengarnya. Apalagi cerita-cerita lucunya. Karena Mang Daan akan mengakhiri ceritanya dengan tawa khas beliau dan kata : kagugu nya (lucu ya, red). 
Mang Daan lebih mirip seorang tokoh legendaris bagi masyarakat di kampungku. Dari zaman ayah-ibuku, kakakku hingga zamanku, Mang Daan selalu setia pada pekerjaannya. Mengesol sepatu dan menjadi tukang gambar untuk anak-anak. Menggambar kuda, kambing, bebek atau apa saja yang diminta anak-anak. Tak ada yang berubah dari penampilannya. Terakhir, saat aku duduk di bangku SMA, hanya sebuah kacamata bekas, yang kadang copot sebelah lensanya, menambah asesoris penampilannya. Maklumlah, usia tak bisa dibohongi dan tak bisa menghalangi semakin melemahnya fungsi anggota tubuh. Langkah kaki Mang Daan pun tidak segagah dulu lagi. Mang Daan terkadang kulihat mengayuh PIT (sepeda, red) ontelnya dengan kayuhan yang lemah. 
Ada sebuah kebiasaan Mang Daan yang sungguh membuatku terkesan dan terharu. Mang Daan bukanlah orang yang pintar dan ahli. Beliau hanyalah sosok yang teramat sederhana, bahkan mungkin menduduki kasta rendah di masyarakatku. Namun Beliau mempunyai kepedulian yang
Inspirasi 63 
besar terhadap orang-orang di sekitarnya. Terutama anak- anak usia sekolah. Jika ada yang meminta jasanya untuk menggambar atau mengesol sepatu, Mang Daan tidak pernah memasang tarip berapa rupiah jasanya harus dibayar. Bahkan sering beliau memberikan jasa sol sepatu dan gambar gratis pada anak-anak yang tidak punya uang untuk membayarnya. Beliau selalu tersenyum dan tertawa menerima apa pun yang kami berikan. Beliau pasti akan bertanya, “Boga duit deh?” (punya uang tah?) Kalau ada yang menggelengkan kepala tanda tak punya uang, beliau berkata, “Geus teu naon-naon… nu penting maneh bisa sakola, teu dicarekan ku guru…” (Sudah, tidak apa-apa. Yang penting kamu bisa bersekolah dan tidak dimarahi guru). Subhanallah. 
Hampir lebih dari sepuluh tahun, sosok sederhana itu telah pergi menghadap Sang Khalik. Namun namanya masih kami kenang dengan lekat di memori kehidupan kami. Mungkin ada di antara kami yang pernah beliau tolong telah menjadi orang besar dan sukses. Sangat mungkin. Aku hanya bisa berharap, ketulusan dan kepedulian Mang Daan bisa dijadikan sebuah contoh teladan yang mulia bagi kita semua. Walau hanya sekedar menjahitkan sepatu yang rusak atau menggambarkan binatang, namun jika dilakukan dengan hati yang tulus dan gembira, tetap itu adalah dulang sumber pahala yang besar dan membuahkan surga bagi sang pelakunya. 
Mang Daan adalah salah satu tokoh pahlawan pendidikan bagiku. Kepeduliannya yang besar pada anak- anak, menurutku patut mendapatkan dua acungan jempol. Dari seorang Mang Daan lah anak-anak pada zamanku secara tidak langsung telah belajar menggambar dengan sederhana,
64 Aku Bangga Menjadi Guru 
dari seorang Mang Daan lah anak-anak bisa belajar ketulusan dalam memberi. Dari seorang Mang Daan lah anak-anak bisa pandai bercerita dan tertawa lepas. Dari seorang Mang Daan lah anak-anak bercermin bagaimana menjalani pahit getirnya hidup. Aku yakin, sedikit banyaknya Mang Daan telah memberikan inspirasi hidup buat kami. Pelajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang akan kami bawa sampai nanti. 
Ada sebuah catatan penting yang ingin aku garis bawahi. Bahwa ternyata ketika kita ingin memberi, jangan menunggu kita kaya terlebih dahulu. Karena memberi tidaklah identik dengan memberi dalam bentuk materi. Banyak hal yang bisa kita bagikan untuk orang lain. Keramahan kita, kepedulian kita, senyum, sapa, kasih sayang, adalah kekayaan moral yang bisa dibagi tanpa harus menunggu waktu dan kesempatan. Wallahu ‘alam bish shawab. 
Bekasi, 2 November 2011 
(Untuk mereka yang pernah ada dalam kehidupan masa kanakku. Terimakasih karena telah mengispirasi dan berbagi. )
Inspirasi 65 
Pemulung Itu... 
Pagi itu seperti biasa, aku berjalan menyusuri lorong kecil menuju sekolah tempatku mengajar. Lorong kecil itu berada tepat di samping halaman sekolah. Halaman sekolah dengan jalan hanya dibatasi dinding tembok yang tinggi. Bersembulan rerimbunan daun mangga, cempaka dan beringin dari balik temboknya yang kokoh itu. Alunan murotal dari kaset yang dilantunkan terdengar jelas menyelusup telingaku. Sejuk dan indah didengar. Sesekali aku ikuti bacaannya dengan tartil. 
Kulihat di ujung lorong jalan, dari arah yang berlawanan, seorang pemulung tengah mengais sampah dari bak penampungan besar yang dibangun di depan sekolahku. Dia terlihat sibuk dan khusyu’ mencari dan memilah barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan. Kemudian memasukkan rongsokan-rongsokan itu ke dalam karung yang sedari tadi menggantung di bahunya. Setelah tak ada barang yang bisa diambilnya lagi, pemulung itu berjalan mendekat arahku. Ah, just PEMULUNG... bisikku, sambil meneruskan bacaan. Tapi eit... tunggu dulu! Aku menangkap sesuatu yang menarik. Bibir pemulung itu bergerak komat-kamit seperti yang aku lakukan. Oh, rupanya dari bibir pemulung itu keluar juga ayat-ayat yang dibaca dari kaset murottal. Subhanallah. Aku tertegun dalam kagum yang luar biasa! Sekali lagi, subhanallah. 
Ada malu yang mengguncang hati dan kesadaranku. Ya Rabb, ampuni si lemah ini. Dari kusam dan kotornya
66 Aku Bangga Menjadi Guru 
penampilan sang pemulung tadi, ternyata keluar ayat-ayat indah dari bibirnya. Dia ikut menghapal dan murojaah Al- Qur’an! Sesuatu yang hampir tak kutemui di zaman kekinian. Jangankan seorang pemulung, mereka-mereka yang lebih terhormat dan punya kedudukan terpandang di masyarakat pun tidak. Ah! Tak pantas rasanya aku berkomentar. Just for myself! Look at yourself, dear. Tak malukah kau pada sang pemulung itu? dia menghapal Al-Qur’an! dan kau?! Ayo, bangkitkan kembali semangat menghapalmu! Bergerak lewati batas juz 30! 
Dalam jeda waktu yang cukup lama aku masih tertegun dalam haruku. Pemulung itu telah memberiku sebuah pelajaran yang indah: Senantiasa mengingat Allah SWT dalam setiap detik dan hela napas. 
Bekasi, 10 Maret 2011 
(Untukmu yang pernah berikrar di depan ka’bah bahwa kau akan menjaga dan memambah hapalan Qur’anmu.)
Inspirasi 67 
Belajar Kepedulian pada “Irfan” 
Ramadhan bulan penuh keberkahan. Sayang sekali Ramadhan telah berlalu terkejar Syawal. Kepergiannya menyisakan kesedihan di hati kita. Karena pada bulan Ramadhan lah kita saling berlomba meraih keberkahan dan ridha-Nya. Berpuasa (so pasti!), shalat tarawih, tadarus Qur’an, menyediakan makanan berbuka untuk orang-orang, dan yang paling booming adalah menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Subhanallah. Semoga keberkahan mengalir pada siapa saja yang telah berhasil mengisi hari-hari di bulan itu. 
Bicara tentang kepedulian pada fakir miskin dan anak yatim, tiba-tiba aku teringat peristiwa beberapa bulan yang telah lewat. Peristiwa itu terjadi pada suatu hari di sebuah pagi yang cerah. Seperti biasa aku menyiapkan murid- murid berbaris di depan kelas saat bel masuk kelas usai berdentang. Kali ini aku agak kecewa, karena tidak seperti biasanya, murid-murid kecilku masih asik duduk-duduk di kursi mereka. Ada yang bergerombol, ada juga yang duduk menyendiri. Beberapa anak saja yang sudah berdiri di depan kelas. Yang lebih membuatku “dongkol” adalah mereka tidak hanya asik duduk, tapi masing-masing mulut mereka mengulum sebatang permen kojek dengan nyamannya. Tak memperdulikan teriakanku untuk cepat keluar dan berbaris di depan kelas. Akhirnya aku bimbing tangan mereka satu per satu untuk ke luar kelas. Bayangkan! Dua puluhan anak yang harus aku gandeng! Hah… Benar-benar sebuah ujian untuk kesabaranku.
68 Aku Bangga Menjadi Guru 
“Ini kan gara-gara Irfan bu!“ Seorang murid yang sudah berdiri di depan kelas sedari tadi berbisik di telingaku. Matanya mencuri pandang pada Irfan yang dengan santainya mulai ikut berbaris. 
“Memangnya kenapa dengan Irfan?” Aku mulai terpropokasi. Kupandangi Irfan penuh selidik. Sosok kecil berbadan kekar itu senyum-senyum tanpa merasa berdosa. Di bahunya tersanding sebuah tas kecil yang dipasang melintang melintasi bahu dan badannya. Mirip inang-inang tukang kredit yang suka berkeliaran di pasar-pasar. 
“Irfan jualan permen bu. Lihat saja, teman-teman hampir semuanya makan permen.” 
Ups…! Betul juga! Memalukan! Ini sudah keterlaluan. Pagi-pagi seharusnya murid-muridku berbaris rapih untuk kemudian membaca ikrar, citra sekolah dan berdoa bersama. Bagaimana bisa khusyu’ melakukan semua itu, kalau mulut mereka tersumpal permen kojek? Permen kojek yang dijual Irfan! Hah… darahku sudah mulai naik ke kepala. Kemarahan sudah ada di ujung lidah. Tapi, sabar bu guru! Sebuah bisikan batin mengingatkanku. Oh, baiklah… aku akan bersabar, tapi lihat nanti di dalam kelas! 
Setelah anak-anak masuk kelas aku menasehati murid- muridku bahwa tidak baik makan permen pagi-pagi. Selain merusak gigi, merusak kekhusuan baris dan persiapan belajar. Kukatakan pada mereka, aku tidak melarang mereka makan atau minum, tapi ada saat-saat tertentu hal itu tak boleh dilakukan. 
“Iya nih bu. Gara-gara Irfan sih pake jualan permen segala.” Hampir separuh muridku berteriak menyalahkan Irfan. Tangan mereka menunjuk Irfan berbarengan. Irfan
Inspirasi 69 
merengut malu. Tapi senyum masih terpasang dengan manis di wajahnya. Aku jadi tak tega. Tapi aku tetap harus mengingatkannya. 
“Irfan, betul kata teman-temanmu, ibu juga tidak melarang siapa pun berjualan. Tapi ada waktu juga untuk berjualan dan barang apa yang boleh dijual. Jadi ibu mohon kalian memahami ini. Irfan, ibu nanti mau bicara sama kamu!” Kataku di depan anak-anak. Suaraku yang tegas rupanya membuat Irfan gentar juga. Tanpa diminta dia bangun dari kursinya dan menghampiriku. Kemudian tas selempangnya diberikan padaku dengan takut-takut. 
“Nih Bu Titin, aku kasihkan deh uang jualanku.” Aku jadi trenyuh. Tapi eit… awas, jangan-jangan ini taktik Irfan untuk menggagalkan “punishmen” yang akan aku beri untuknya. 
Saat bel istirahat berbunyi, Irfan kupanggil. Kemudian aku menasehatinya kembali panjang pendek, dengan gaya bahasa yang bisa dimengerti oleh anak usia kelas 1. Irfan menatapku penuh perhatian. Setelah kuanggap Irfan mengerti apa yang aku katakan, aku tersenyum dan menyuruhnya pergi. 
“Nah… sekarang kamu boleh istirahat dan boleh jualan lagi. Dan ingat, tolong jangan diulangi lagi apa yang terjadi pada pagi hari ini.” 
“Baik bu, terima kasih. Tapi ehmm…, tolong hitungkan uang hasil jualanku dong bu.” Irfan membuka tasnya kemudian mengeluarkan berlembar-lembar uang ribuan dari dalamnya. Subhanallah, banyak juga uang yang dia dapat! 
“Banyak sekali uangnya Fan…Betul ini hasil jualanmu semua?” Kataku setengah tak yakin. 
“Betul bu, nanti sore uang ini aku berikan pada mamaku
70 Aku Bangga Menjadi Guru 
untuk kusumbangkan pada korban bencana alam.” 
Ups! Menyumbang korban bencana alam?! Masya Allah. Sejenak aku tertegun dalam rasa kaget bercampur kagum yang luar biasa. Subhanallah. Kekaguman itu mengalir deras ke pembuluh nadi dan otakku. Air mata pun tiba-tiba menetes tanpa kuminta. Dengan haru kupeluk Irfan segera. 
“Betul uang ini untuk korban bencana alam anakku?” Tanyaku dalam kalimat yang terbata. 
“Iya! Kata mamaku, kemarin malam rumah warga kampung sebelah perumahan elit di kawasan tempat mamaku bekerja tanahnya longsor akibat hujan deras. Jadi aku ingin membantu mereka. Kasihan kan bu, rumah mereka hancur.” 
Oh, Irfan anakku… murid kecilku yang kadang selalu ada saja ulahnya. Ternyata kali ini aku keliru besar! Maafkan bu guru ya nak! Tanpa menunggu waktu segera kukirimkan sort message kepada mamanya. Kutulis beberapa kalimat di layar telepon genggamku. 
Terima kasih ibu, sudah mempercayakan pendidikan putra ibu di sekolah kami. Ananda Irfan yang saleh, telah membuat saya bangga dan meneteskan air mata haru pagi ini. Ananda berjualan permen dan memberikan uang hasil jualannya untuk korban bencana alam. Sebuah pelajaran kepedulian yang sederhana tapi luar biasa! Yang bahkan tidak sempat terpikir oleh saya, ibu gurunya. 
Sekali lagi kupeluk Irfan dan kucium pipinya, kubisikkan sebaris kalimat ini, “Subhanallah. Terima kasih nak, kamu murid ibu yang baik. Kamu telah berikan ibu sebuah pelajaran untuk selalu peduli pada sesama!”
Inspirasi 71 
Bekasi, September 2011 
(Untuk murid kecilku Irfan)
72 Aku Bangga Menjadi Guru 
Selamat Jalan Pak Karta 
Pagi yang sejuk. Burung-burung kenari yang biasa bertengger di ranting-ranting pohon mangga berkicau riang. Matahari pun tersenyum mengiringi langkah kaki-kaki kecil berseragam merah putih yang mulai memasuki halaman. 
“Assalamualaikum, Ricky. Wah gagah sekali pagi ini.” Sapa seorang bapak tua berseragam putih biru, dengan senyum khasnya yang menyejukkan. 
“Ah, Pak Karta bisa aja. Bapak lebih gagah. Sayangnya gigi bapak sudah ompong. He..he…he.” Balas Ricky dengan candanya yang membuat Pak Karta, satpam sekolah kami, ikut tertawa. 
“Teeeet…..teeeeet….teeeeeeet…” Bel sekolah berbunyi. Anak-anak yang baru turun dari mobil jemputan mempercepat langkahnya. Yang masih berada di dalam mobil berteriak panik. 
“Aduh, cepetan dong, pintunya keburu ditutup nih. Lihat, Pak Karta sudah mau nutup pintu gerbang!” 
“Sabar Hani! Pak Karta nggak akan sejahat itu. Pak Karta kan baik.” 
“Iya…dulu aja, waktu aku baru kelas satu, aku kan suka nangis tuh karena takut ditinggal mamaku, eh, Pak Karta nemenin aku di luar kelas. Baik deh. Aku diceritain dongeng, lama-lama aku jadi betah di sekolah, nggak nangis lagi.” 
Hani jadi tenang. Mata bulatnya memperhatikan Pak Karta dari balik jendela mobil. Kakek tua itu memang baik. Walaupun beliau satpam, tapi jarang marahin anak-anak kalo
Inspirasi 73 
mereka bandel. Bahkan menganggap anak-anak seperti cucunya sendiri. Hani ingat, bagaimana paniknya Pak Karta waktu ada kakak kelas yang terjatuh dari pohon mangga. Pak Karta langsung menggendongnya ke klinik. Padahal anak yang jatuh itu nakal banget sama Pak Karta. Suka ngeledekin Pak Karta, kalau dinasehati malah melawan. 
“Assalamualaikum Hani! Wah, tumben nih terlambat.” Suara Pak Karta yang berat tapi lembut itu membuat hati Hani semakin tenang. 
“Waalaikum salam Pak Karta. Maaf Hani terlambat. Tadi macet sekali.” 
“Oh, begitu…ya sudah, ayo cepat masuk kelas. Lihat tuh Bu Lily sudah menunggu.” 
“Iya pak. Terima kasih…” 
Begitulah. Rutinitas pagi di sekolah kami. Anak-anak memasuki gerbang sekolah dengan riang. Disambut senyum dan sapa ramah bapak dan ibu guru. Walaupun ada di antara anak-anak yang masih kelihatan mengantuk, tapi itu pasti tidak akan berlangsung lama. Karena kemudian, mereka akan menjadi anak-anak ceria dan tak kenal lelah untuk terus bergerak dan belajar berbagai ilmu. 
~~~ 
Pagi kembali tiba. Masih sejuk dan cerah seperti kemarin. Burung-burung kenari pun sudah memulai konsernya dari semenjak matahari bangun dari tidurnya. Mereka meloncat riang dari satu ranting pohon ke ranting yang lainnya. Beberapa orang anak berseragam hijau putih mulai memasuki pintu gerbang dengan riang seperti kemarin. 
“Assalamualaikum anak-anak.” Sapaan kali ini berbeda
74 Aku Bangga Menjadi Guru 
dari kemarin. Suaranya begitu lembut. Karena itu suara ibu kepala sekolah. 
“Waalaikum salam.” jawab mereka dengan semangat. 
“Pak Karta kemana bu, kok tidak kelihatan. Biasanya Pak Karta sudah menunggu kami.” Ricky bertanya penuh rasa heran. Pandangannya menyapu sudut-sudut halaman sekolah yang luas. “Pak Karta kenapa ya bu?” 
“Oh, iya… sepertinya hari ini beliau tidak masuk nak. Ibu kurang tahu kenapa sebabnya. Mungkin sakit.” 
“Oh…” 
Pak Karta tidak masuk hari ini. Tidak ada yang membuka dan menutup pintu gerbang sekolah kalau ada tamu. Tidak ada yang meniupkan pluitnya kalau ada yang berkelahi atau memanjat pohon mangga. Tidak ada yang mengingatkan anak-anak untuk segera berwudhu untuk shalat dzuhur atau ashar. Tidak ada juga yang mengantarkan makanan dari orang tua untuk murid ke kelas-kelas. Bahkan tidak ada yang mengingatkan anak-anak untuk memakai sepatu bila main bola di halaman. 
“Asyik. Pak Karta tidak masuk. Kita bisa main bola sepuasnya.” Sorak Fathur girang. Fathur paling tidak suka kalau disuruh Pak Karta push up gara-gara tidak bersepatu kalau main bola. 
“Yang bener?!” Dino bertanya girang. Badannya yang tambun langsung bergoyang riang, saat Fathur menjawab dengan semangat. 
“Sueeer! Pokoknya hari ini aku traktir kalian es bon-bon yang di depan itu. Mumpung Pak Karta gak ada. Kita bisa bebas keluar masuk pintu gerbang.” 
Begitulah suasana hari itu. Sekolah sedikit kacau. Tapi
Inspirasi 75 
semuanya masih berjalan lancar. Insya Allah besok akan normal kembali, seandainya Pak Karta sudah masuk. 
~~~ 
Pukul 10. Aku tergesa-gesa memasuki pintu gerbang sekolah. Kudorong pintu gerbang dengan ujung roda motorku. Brak! Sedikit keras. Ups! 
“Bu guru!” Teriak murid-muridku dari dalam kelas. Suara mereka seperti sebuah koor alto. Keras dan riuh. Aduh kenapa sih. Pasti mengganggu kelas yang lain. Terburu-buru aku menuju pos satpam untuk absen. Tak ada Pak Karta di sana. Mataku terpaku pada sebuah pengumuman yang menempel di jendela kaca. Dengan rasa penasaran aku membacanya. Innalilahi wa innailaihi roji’un. Telah berpulang ke rahmatullah Bapak Karta, satpam SDIT Thariq Bin Ziyad. Pada hari ini Pukul 8.00. Astaghfirullah. Ya Allah! Dadaku berdegup kencang. Wajah Pak Karta langsung melintas di benakku. Ya Allah, laki-laki tua yang mengingatkanku pada almarhum ‘abah’ itu akhirnya dipanggil oleh Sang Pencipta. 
“Bu guru, Pak Karta kan meninggal.” Sebuah suara dari sampingku. Aku menoleh refleks. Kudapati sosok mungil Ela menatapku sendu. “Ela sedih deh. Baru kemaren Ela kasih kue ulang tahun. Pak Karta senang banget. Kok hari ini sudah pergi.” Bola mata Ela berkaca-kaca. Kemudian mulai terdengar isaknya. 
Kupeluk tubuh kecilnya penuh haru. Tak terasa pipiku pun ikut basah. Deras. Ela memelukku erat. Seperti seorang anak dan cucu yang kehilangan ayah dan kakeknya. 
“Bu guru, Pak Karta meninggal bu. Pak Karta meninggal.” Sekejap berikutnya anak-anak yang lain ikut merubungiku.
76 Aku Bangga Menjadi Guru 
Melihat aku menangis mereka ikut menangis. Kali ini koor alto berubah menjadi sebuah koor ‘requiem’nya mozart yang sendu. Innalillahi wa inna illaihi roji’un. Semoga Allah menerima Pak Karta di sisi-Nya. Dengan segala kedamaian kubur bagi orang-orang yang saleh. 
~~~ 
Pagi kembali berganti. Sudah sepekan ini kulihat anak- anak setia menanti kedatangan Pak Karta di pintu gerbang sekolah. Walaupun mereka tahu Pak Karta tak akan pernah kembali. Tapi kerinduan untuk bertemu membuat mereka masih berharap sosok tua bersepeda ‘Umar Bakri’ itu akan muncul di pintu gerbang. Hani, Fathur, Ricki, Ela, Dino, dan anak-anak yang lain tak hentinya membicarakan kepergian Pak Karta. Demikian juga bapak-ibu guru dan orangtua murid. 
“Hani, kok belum masuk kelas. Bel kan sudah dari tadi berbunyi.” Tegurku pada Hani yang masih mematung di pintu gerbang. 
“Ehm… anu bu, Hani…Hani kangen sama Pak Karta.” Suara Hani terbata. Matanya berkaca-kaca. Aku merengkuh bahunya lembut. 
“Ibu juga kangen. Tapi mau bagaimana lagi. Kita hanya bisa berdoa semoga Pak Karta di sana bahagia. Yuk masuk, Pak Karta pasti akan senang jika anak-anak belajar dengan rajin dan tertib.” 
Burung-burung kenari masih berkicau di antara ranting pohon mangga. Matahari pun masih bersinar ceria. Seperti kemarin. Menemani kami belajar dengan tenang.
Berbagi 77 
Walau ada yang terasa hilang di sini. Namun kami akan tetap menyimpannya dalam kenangan yang indah. Sosokmu yang bersahaja dan ramah. Wajahmu yang memancarkan kesalehan dan ketabahan. Semangat juangmu dalam menghadapi kehidupan, akan kami jadikan teladan. Selamat jalan Pak Karta. Biarkan kami merindukanmu dan merasakan kehadiranmu di sini, di pintu gerbang sekolah kita. 
(Untuk Pak Karta (alm) : Terima kasih telah menjadi bagian dari kami.)
78 Aku Bangga Menjadi Guru
MOTIVASI 
Aku Pasti Bisa 
I Love U, Bu Titin 
Mimpi 
Tegar 
Ya Rasulullah, Aku Rindu Pada-mu 
Aku Bangga Jadi Guru 
M
80 Aku Bangga Menjadi Guru 
Aku Pasti Bisa! 
Hari itu adalah hari yang melelahkan bagi Bu Tita, seorang guru kelas 1 sebuah sekolah dasar swasta. Padahal hari itu Bu Tita, sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Jadwal dan rencana kegiatan harian, panduan guru, bahkan alat peraga dan LKS penunjang kegiatan belajar mengajar sudah tersedia komplit. Tapi saat masuk kelas, segala rencana yang sudah terprogram dalam kepala buyar sudah. Apa pasalnya? 
Berawal dari tangisan Zaidan, yang pagi itu datang ke sekolah terlambat. Kelas yang semula tertib, berubah menjadi seramai pasar. Apalagi saat raungan Zaidan membahana kelas, karena tak ingin ditinggal pergi ibunya. Tangan gempalnya memegangi rok ibunya dengan erat. Sementara sang ibu berkeras melepas pegangannya. Bu Tita berusaha memegang badan bongsor Zaidan agar bisa lepas dari ibunya. Akhirnya, Zaidan bisa dipegang dan dikendalikan, setelah memakan waktu 10 menit, dengan segala bujuk rayu dan kata-kata motivasi. Namun baru saja Bu Tita mendudukkan Zaidan di kursinya, terdengar teriakan anak-anak lainnya, “Bu guru, Farel berantem sama Naufal… Farelnya nangis bu…” Hhh… napas lega Bu Tita pun mengambang di udara. Berganti dengan tumbuhnya ‘tanduk’ di kepala. Belum lagi di jam berikutnya, air minum Linda yang tumpah membasahi meja dan lantai. Dava yang BAB di celana. Faza yang tidak mau makan. Semakin menambah ‘tanduk-tanduk’ lain bertumbuhan di kepala. Bahkan ‘ekor’!
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru

More Related Content

What's hot

PEMBUATAN MODUL PROYEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA.pdf
PEMBUATAN MODUL PROYEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA.pdfPEMBUATAN MODUL PROYEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA.pdf
PEMBUATAN MODUL PROYEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA.pdf
LANA983443
 
AKSI NYATA Berbagi Pemahaman Merdeka Belajar .pptx
AKSI NYATA Berbagi Pemahaman Merdeka  Belajar .pptxAKSI NYATA Berbagi Pemahaman Merdeka  Belajar .pptx
AKSI NYATA Berbagi Pemahaman Merdeka Belajar .pptx
LiesAryantiNurSholek
 
PPT TEKNIK BERKEMAH.ppt
PPT TEKNIK BERKEMAH.pptPPT TEKNIK BERKEMAH.ppt
PPT TEKNIK BERKEMAH.ppt
AbdulMunirOfficial
 
Motivasi menjadi pelajar berakhlak dan berprestasi di zaman digital
Motivasi menjadi pelajar berakhlak dan berprestasi di zaman digital Motivasi menjadi pelajar berakhlak dan berprestasi di zaman digital
Motivasi menjadi pelajar berakhlak dan berprestasi di zaman digital
Namin AB Ibnu Solihin
 
LKPD 1.pdf
LKPD 1.pdfLKPD 1.pdf
LKPD 1.pdf
ChipDomino
 
Meneladani perjuangan rasulullah bab 5
Meneladani perjuangan rasulullah bab 5Meneladani perjuangan rasulullah bab 5
Meneladani perjuangan rasulullah bab 5
Amalina Berliana
 
PPT Haji dan Umrah
PPT Haji dan UmrahPPT Haji dan Umrah
PPT Haji dan Umrah
Vienna_Maulee
 
3.3.a.5.2. Ruang Kolaborasi (Unggah Hasil) - Pengelolaan Program yang Berdamp...
3.3.a.5.2. Ruang Kolaborasi (Unggah Hasil) - Pengelolaan Program yang Berdamp...3.3.a.5.2. Ruang Kolaborasi (Unggah Hasil) - Pengelolaan Program yang Berdamp...
3.3.a.5.2. Ruang Kolaborasi (Unggah Hasil) - Pengelolaan Program yang Berdamp...
NasrunFaukiTamamal
 
Silabus BK kelas 7,8,9
Silabus BK kelas 7,8,9Silabus BK kelas 7,8,9
Silabus BK kelas 7,8,9
DidiKurniyadi2
 
Manajemen masjid (2)
Manajemen masjid (2)Manajemen masjid (2)
Manajemen masjid (2)
Mushoddik Indisav
 
202521144 makalah-shalat-jumat-2-glmbang
202521144 makalah-shalat-jumat-2-glmbang202521144 makalah-shalat-jumat-2-glmbang
202521144 makalah-shalat-jumat-2-glmbangSunrise James
 
Ppt keteladanan rasulullah part 2
Ppt keteladanan rasulullah part 2Ppt keteladanan rasulullah part 2
Ppt keteladanan rasulullah part 2
wiki_tuwi23
 
Kisah singkat dakwah nabi muhammad saw
Kisah singkat dakwah nabi muhammad sawKisah singkat dakwah nabi muhammad saw
Kisah singkat dakwah nabi muhammad saw
Septian Muna Barakati
 
Panduan pengelolaan sit (sukro muhab)
Panduan pengelolaan sit (sukro muhab)Panduan pengelolaan sit (sukro muhab)
Panduan pengelolaan sit (sukro muhab)
Abdul Hakim
 
Doa perpisahan Sekolah
Doa perpisahan SekolahDoa perpisahan Sekolah
Doa perpisahan Sekolah
Arwan Amin
 
Rpp kurtilas pai kelas i semester 1 materi kasih sayang
Rpp kurtilas  pai kelas i semester 1 materi kasih sayangRpp kurtilas  pai kelas i semester 1 materi kasih sayang
Rpp kurtilas pai kelas i semester 1 materi kasih sayang
Rachmah Safitri
 
01 LKPD Dengan Ilmu Pengetahuan Semua Jadi Lebih Mudah.pdf
01 LKPD Dengan Ilmu Pengetahuan Semua Jadi Lebih Mudah.pdf01 LKPD Dengan Ilmu Pengetahuan Semua Jadi Lebih Mudah.pdf
01 LKPD Dengan Ilmu Pengetahuan Semua Jadi Lebih Mudah.pdf
Muhammad Iqbal
 
Pernyataan-Kesanggupan-PP-A7_v2.docx
Pernyataan-Kesanggupan-PP-A7_v2.docxPernyataan-Kesanggupan-PP-A7_v2.docx
Pernyataan-Kesanggupan-PP-A7_v2.docx
yacub Sitorus
 

What's hot (20)

PEMBUATAN MODUL PROYEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA.pdf
PEMBUATAN MODUL PROYEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA.pdfPEMBUATAN MODUL PROYEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA.pdf
PEMBUATAN MODUL PROYEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA.pdf
 
AKSI NYATA Berbagi Pemahaman Merdeka Belajar .pptx
AKSI NYATA Berbagi Pemahaman Merdeka  Belajar .pptxAKSI NYATA Berbagi Pemahaman Merdeka  Belajar .pptx
AKSI NYATA Berbagi Pemahaman Merdeka Belajar .pptx
 
PPT TEKNIK BERKEMAH.ppt
PPT TEKNIK BERKEMAH.pptPPT TEKNIK BERKEMAH.ppt
PPT TEKNIK BERKEMAH.ppt
 
Motivasi menjadi pelajar berakhlak dan berprestasi di zaman digital
Motivasi menjadi pelajar berakhlak dan berprestasi di zaman digital Motivasi menjadi pelajar berakhlak dan berprestasi di zaman digital
Motivasi menjadi pelajar berakhlak dan berprestasi di zaman digital
 
LKPD 1.pdf
LKPD 1.pdfLKPD 1.pdf
LKPD 1.pdf
 
Meneladani perjuangan rasulullah bab 5
Meneladani perjuangan rasulullah bab 5Meneladani perjuangan rasulullah bab 5
Meneladani perjuangan rasulullah bab 5
 
PPT Haji dan Umrah
PPT Haji dan UmrahPPT Haji dan Umrah
PPT Haji dan Umrah
 
Nuzul al qur’an ppt
Nuzul al qur’an pptNuzul al qur’an ppt
Nuzul al qur’an ppt
 
3.3.a.5.2. Ruang Kolaborasi (Unggah Hasil) - Pengelolaan Program yang Berdamp...
3.3.a.5.2. Ruang Kolaborasi (Unggah Hasil) - Pengelolaan Program yang Berdamp...3.3.a.5.2. Ruang Kolaborasi (Unggah Hasil) - Pengelolaan Program yang Berdamp...
3.3.a.5.2. Ruang Kolaborasi (Unggah Hasil) - Pengelolaan Program yang Berdamp...
 
Silabus BK kelas 7,8,9
Silabus BK kelas 7,8,9Silabus BK kelas 7,8,9
Silabus BK kelas 7,8,9
 
Manajemen masjid (2)
Manajemen masjid (2)Manajemen masjid (2)
Manajemen masjid (2)
 
202521144 makalah-shalat-jumat-2-glmbang
202521144 makalah-shalat-jumat-2-glmbang202521144 makalah-shalat-jumat-2-glmbang
202521144 makalah-shalat-jumat-2-glmbang
 
Ppt keteladanan rasulullah part 2
Ppt keteladanan rasulullah part 2Ppt keteladanan rasulullah part 2
Ppt keteladanan rasulullah part 2
 
Kisah singkat dakwah nabi muhammad saw
Kisah singkat dakwah nabi muhammad sawKisah singkat dakwah nabi muhammad saw
Kisah singkat dakwah nabi muhammad saw
 
Panduan pengelolaan sit (sukro muhab)
Panduan pengelolaan sit (sukro muhab)Panduan pengelolaan sit (sukro muhab)
Panduan pengelolaan sit (sukro muhab)
 
Materi pai sd puasa
Materi pai sd puasaMateri pai sd puasa
Materi pai sd puasa
 
Doa perpisahan Sekolah
Doa perpisahan SekolahDoa perpisahan Sekolah
Doa perpisahan Sekolah
 
Rpp kurtilas pai kelas i semester 1 materi kasih sayang
Rpp kurtilas  pai kelas i semester 1 materi kasih sayangRpp kurtilas  pai kelas i semester 1 materi kasih sayang
Rpp kurtilas pai kelas i semester 1 materi kasih sayang
 
01 LKPD Dengan Ilmu Pengetahuan Semua Jadi Lebih Mudah.pdf
01 LKPD Dengan Ilmu Pengetahuan Semua Jadi Lebih Mudah.pdf01 LKPD Dengan Ilmu Pengetahuan Semua Jadi Lebih Mudah.pdf
01 LKPD Dengan Ilmu Pengetahuan Semua Jadi Lebih Mudah.pdf
 
Pernyataan-Kesanggupan-PP-A7_v2.docx
Pernyataan-Kesanggupan-PP-A7_v2.docxPernyataan-Kesanggupan-PP-A7_v2.docx
Pernyataan-Kesanggupan-PP-A7_v2.docx
 

Viewers also liked

Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3Aldon Samosir
 
Sudut pandang
Sudut pandangSudut pandang
Hafiz alquran
Hafiz alquranHafiz alquran
Hafiz alquran
Helmon Chan
 
D) penghargaan kosong
D) penghargaan kosongD) penghargaan kosong
D) penghargaan kosong
slcheh61
 
Pengalaman Berharga Untuk Menjadi Warga Dunia
Pengalaman Berharga Untuk Menjadi Warga DuniaPengalaman Berharga Untuk Menjadi Warga Dunia
Pengalaman Berharga Untuk Menjadi Warga Dunia
Guru Online
 
PENJELASAN INDIGO, CRISTAL, REIN BOW, MAJESTIC GOLD, CAKRA , AURA DAN MEDITAS...
PENJELASAN INDIGO, CRISTAL, REIN BOW, MAJESTIC GOLD, CAKRA , AURA DAN MEDITAS...PENJELASAN INDIGO, CRISTAL, REIN BOW, MAJESTIC GOLD, CAKRA , AURA DAN MEDITAS...
PENJELASAN INDIGO, CRISTAL, REIN BOW, MAJESTIC GOLD, CAKRA , AURA DAN MEDITAS...Indigo Indonesia School (IIS)
 
Bahasa indonesia (power point)
Bahasa indonesia (power point)Bahasa indonesia (power point)
Bahasa indonesia (power point)Linda Lusiana
 
Power point pribadi guru
Power point pribadi guruPower point pribadi guru
Power point pribadi guru
Nur Wajdii
 
Buku program ma2013
Buku program ma2013Buku program ma2013
Buku program ma2013Azmi Muda
 
Ucapan ketua pengawas
Ucapan ketua pengawasUcapan ketua pengawas
Ucapan ketua pengawas
Tompok Manggis
 
Koleksi pantun pengacara majlis
Koleksi pantun pengacara majlisKoleksi pantun pengacara majlis
Koleksi pantun pengacara majlisFairus Mohd Long
 
Teks ucapan pengacara majlis
Teks ucapan pengacara majlisTeks ucapan pengacara majlis
Teks ucapan pengacara majlisHazrin Imam Kardi
 

Viewers also liked (20)

Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3
 
Apresiasi puisi
Apresiasi puisiApresiasi puisi
Apresiasi puisi
 
Sudut pandang
Sudut pandangSudut pandang
Sudut pandang
 
Hasil sensus pertanian kabupaten muna
Hasil sensus pertanian kabupaten munaHasil sensus pertanian kabupaten muna
Hasil sensus pertanian kabupaten muna
 
Materi prosa
Materi prosaMateri prosa
Materi prosa
 
Hafiz alquran
Hafiz alquranHafiz alquran
Hafiz alquran
 
D) penghargaan kosong
D) penghargaan kosongD) penghargaan kosong
D) penghargaan kosong
 
Pengalaman Berharga Untuk Menjadi Warga Dunia
Pengalaman Berharga Untuk Menjadi Warga DuniaPengalaman Berharga Untuk Menjadi Warga Dunia
Pengalaman Berharga Untuk Menjadi Warga Dunia
 
PENJELASAN INDIGO, CRISTAL, REIN BOW, MAJESTIC GOLD, CAKRA , AURA DAN MEDITAS...
PENJELASAN INDIGO, CRISTAL, REIN BOW, MAJESTIC GOLD, CAKRA , AURA DAN MEDITAS...PENJELASAN INDIGO, CRISTAL, REIN BOW, MAJESTIC GOLD, CAKRA , AURA DAN MEDITAS...
PENJELASAN INDIGO, CRISTAL, REIN BOW, MAJESTIC GOLD, CAKRA , AURA DAN MEDITAS...
 
Bahasa indonesia (power point)
Bahasa indonesia (power point)Bahasa indonesia (power point)
Bahasa indonesia (power point)
 
Buku program bola jaring uthm
Buku program bola jaring uthmBuku program bola jaring uthm
Buku program bola jaring uthm
 
Power point pribadi guru
Power point pribadi guruPower point pribadi guru
Power point pribadi guru
 
Buku program ma2013
Buku program ma2013Buku program ma2013
Buku program ma2013
 
Ucapan ketua pengawas
Ucapan ketua pengawasUcapan ketua pengawas
Ucapan ketua pengawas
 
Ucapan wakil pelajar
Ucapan wakil pelajarUcapan wakil pelajar
Ucapan wakil pelajar
 
Koleksi pantun majlis
Koleksi pantun majlisKoleksi pantun majlis
Koleksi pantun majlis
 
Penghargaan f.b.blg..
Penghargaan f.b.blg..Penghargaan f.b.blg..
Penghargaan f.b.blg..
 
Koleksi pantun pengacara majlis
Koleksi pantun pengacara majlisKoleksi pantun pengacara majlis
Koleksi pantun pengacara majlis
 
Teks ucapan pengacara majlis
Teks ucapan pengacara majlisTeks ucapan pengacara majlis
Teks ucapan pengacara majlis
 
Kumpulan puisi
Kumpulan puisiKumpulan puisi
Kumpulan puisi
 

Similar to Aku bangga menjadi guru

Surat Kabar Guru Belajar Edisi 1 Tahun 1
Surat Kabar Guru Belajar Edisi 1 Tahun 1Surat Kabar Guru Belajar Edisi 1 Tahun 1
Surat Kabar Guru Belajar Edisi 1 Tahun 1
Kampus Cikal
 
YPIT Mutiara Newsletter Edisi Agustus 2016 Week 1
YPIT Mutiara Newsletter Edisi Agustus 2016 Week 1YPIT Mutiara Newsletter Edisi Agustus 2016 Week 1
YPIT Mutiara Newsletter Edisi Agustus 2016 Week 1
LAZNas Chevron
 
Buku Cerdas Mengajar
Buku Cerdas MengajarBuku Cerdas Mengajar
Buku Cerdas Mengajar
Cerdas Mengajar
 
Seminar hardiknas 2016 di kota Bireuen – Banda Aceh Oleh Marjohan, M.Pd (Guru...
Seminar hardiknas 2016 di kota Bireuen – Banda Aceh Oleh Marjohan, M.Pd (Guru...Seminar hardiknas 2016 di kota Bireuen – Banda Aceh Oleh Marjohan, M.Pd (Guru...
Seminar hardiknas 2016 di kota Bireuen – Banda Aceh Oleh Marjohan, M.Pd (Guru...
Guru SMAN 3 Batusangkar, Sumatra Barat
 
Pendidikan yang mencerahkan
Pendidikan yang mencerahkanPendidikan yang mencerahkan
Pendidikan yang mencerahkan
Tawakkal Thu Alallah
 
Pendidikan yang mencerahkan
Pendidikan yang mencerahkanPendidikan yang mencerahkan
Pendidikan yang mencerahkan
Tawakkal Thu Alallah
 
Buku KCPKLB.pdf
Buku KCPKLB.pdfBuku KCPKLB.pdf
Buku KCPKLB.pdf
BozanChannel
 
Inspirasi Unitri 2014
Inspirasi Unitri 2014Inspirasi Unitri 2014
Inspirasi Unitri 2014
Egas Xavier
 
Tarby magazine salafiyah kajen
Tarby magazine  salafiyah kajenTarby magazine  salafiyah kajen
Tarby magazine salafiyah kajen
Roziq Bahtiar
 
DRK_Elaborasi Pemahaman_Modul 1.3 CGP A5.pdf
DRK_Elaborasi Pemahaman_Modul 1.3 CGP A5.pdfDRK_Elaborasi Pemahaman_Modul 1.3 CGP A5.pdf
DRK_Elaborasi Pemahaman_Modul 1.3 CGP A5.pdf
MochSofiAsrifin
 
Tulisan ibu berprestasi
Tulisan ibu berprestasiTulisan ibu berprestasi
Tulisan ibu berprestasi
Ian Pj
 
Pidato siswa prestasi
Pidato siswa prestasiPidato siswa prestasi
Pidato siswa prestasi
Irma Kebahagiaant
 
Ebook-kuliah itu enggak penting
Ebook-kuliah itu enggak pentingEbook-kuliah itu enggak penting
Ebook-kuliah itu enggak penting
Gidionchester
 
Kenapa seorang ibu harus terdidik?
Kenapa seorang ibu harus terdidik?Kenapa seorang ibu harus terdidik?
Kenapa seorang ibu harus terdidik?
Beruga' Alam Institute
 
ALBUM KENANGAN KELAS 9_XXIII_1011
ALBUM KENANGAN KELAS 9_XXIII_1011ALBUM KENANGAN KELAS 9_XXIII_1011
ALBUM KENANGAN KELAS 9_XXIII_1011
MTs DARUSSALAM
 
Testimoni prof. tuhpawana
Testimoni prof. tuhpawanaTestimoni prof. tuhpawana
Testimoni prof. tuhpawana
Muhammadiyah University of Sukabumi
 
Mengapa Lebih Baik Jadi PB Ketimbang Kuliah
Mengapa Lebih Baik Jadi PB Ketimbang KuliahMengapa Lebih Baik Jadi PB Ketimbang Kuliah
Mengapa Lebih Baik Jadi PB Ketimbang Kuliah
https://wartawatikeuangan.blogspot.com/
 

Similar to Aku bangga menjadi guru (20)

Surat Kabar Guru Belajar Edisi 1 Tahun 1
Surat Kabar Guru Belajar Edisi 1 Tahun 1Surat Kabar Guru Belajar Edisi 1 Tahun 1
Surat Kabar Guru Belajar Edisi 1 Tahun 1
 
Dari icuzzz
Dari icuzzzDari icuzzz
Dari icuzzz
 
YPIT Mutiara Newsletter Edisi Agustus 2016 Week 1
YPIT Mutiara Newsletter Edisi Agustus 2016 Week 1YPIT Mutiara Newsletter Edisi Agustus 2016 Week 1
YPIT Mutiara Newsletter Edisi Agustus 2016 Week 1
 
Buku Cerdas Mengajar
Buku Cerdas MengajarBuku Cerdas Mengajar
Buku Cerdas Mengajar
 
Seminar hardiknas 2016 di kota Bireuen – Banda Aceh Oleh Marjohan, M.Pd (Guru...
Seminar hardiknas 2016 di kota Bireuen – Banda Aceh Oleh Marjohan, M.Pd (Guru...Seminar hardiknas 2016 di kota Bireuen – Banda Aceh Oleh Marjohan, M.Pd (Guru...
Seminar hardiknas 2016 di kota Bireuen – Banda Aceh Oleh Marjohan, M.Pd (Guru...
 
Essai Diri Ovi.docx
Essai Diri Ovi.docxEssai Diri Ovi.docx
Essai Diri Ovi.docx
 
Pendidikan yang mencerahkan
Pendidikan yang mencerahkanPendidikan yang mencerahkan
Pendidikan yang mencerahkan
 
Pendidikan yang mencerahkan
Pendidikan yang mencerahkanPendidikan yang mencerahkan
Pendidikan yang mencerahkan
 
Buku KCPKLB.pdf
Buku KCPKLB.pdfBuku KCPKLB.pdf
Buku KCPKLB.pdf
 
Inspirasi Unitri 2014
Inspirasi Unitri 2014Inspirasi Unitri 2014
Inspirasi Unitri 2014
 
Tarby magazine salafiyah kajen
Tarby magazine  salafiyah kajenTarby magazine  salafiyah kajen
Tarby magazine salafiyah kajen
 
DRK_Elaborasi Pemahaman_Modul 1.3 CGP A5.pdf
DRK_Elaborasi Pemahaman_Modul 1.3 CGP A5.pdfDRK_Elaborasi Pemahaman_Modul 1.3 CGP A5.pdf
DRK_Elaborasi Pemahaman_Modul 1.3 CGP A5.pdf
 
Tulisan ibu berprestasi
Tulisan ibu berprestasiTulisan ibu berprestasi
Tulisan ibu berprestasi
 
Pidato siswa prestasi
Pidato siswa prestasiPidato siswa prestasi
Pidato siswa prestasi
 
Ebook-kuliah itu enggak penting
Ebook-kuliah itu enggak pentingEbook-kuliah itu enggak penting
Ebook-kuliah itu enggak penting
 
Kenapa seorang ibu harus terdidik?
Kenapa seorang ibu harus terdidik?Kenapa seorang ibu harus terdidik?
Kenapa seorang ibu harus terdidik?
 
ALBUM KENANGAN KELAS 9_XXIII_1011
ALBUM KENANGAN KELAS 9_XXIII_1011ALBUM KENANGAN KELAS 9_XXIII_1011
ALBUM KENANGAN KELAS 9_XXIII_1011
 
Berhijab dalam hati
Berhijab dalam hatiBerhijab dalam hati
Berhijab dalam hati
 
Testimoni prof. tuhpawana
Testimoni prof. tuhpawanaTestimoni prof. tuhpawana
Testimoni prof. tuhpawana
 
Mengapa Lebih Baik Jadi PB Ketimbang Kuliah
Mengapa Lebih Baik Jadi PB Ketimbang KuliahMengapa Lebih Baik Jadi PB Ketimbang Kuliah
Mengapa Lebih Baik Jadi PB Ketimbang Kuliah
 

Aku bangga menjadi guru

  • 1. AKU BANGGA MENJADI GURU TITIN SUPRIATIN
  • 2. Aku Bangga Menjadi Guru Titin Supriatin Editor Baihaqi Nu’man Desain Sampul AanKhan.com Tata Letak Arkhanuddin Penerbit: Lentera Ilmu Cendekia Cetakan Pertama: Januari, 2012 PENERBIT LENTERA ILMU CENDEKIA Jln. Kramat Raya No. 7-9 Senen Jakarta Pusat Telp. 021-315 6126 Fax. 021-315 6126 e-mail : ilmulentera@gmail.com ISBN : 978-602-8969-52-9 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta 1987, Pasal 44 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi ijin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
  • 3. U Ucapan Terima Kasih Dengan segenap rasa, kuhadiahkan karya sederhana ini untuk: Mimih Arisah, Almarhum Abah Sutomo, Emih Sukaesih Sumasasmita, kakak dan adikku, terima kasih atas curahan doa, cinta dan kasih sayang yang telah menghantarkanku menjadi seperti sekarang ini. Suami dan ayah anak-anakku, terima kasih telah mendampingi dan menemaniku melewati hari-hari. Dengan segala ketegasan dan perhatianmu yang membuatku semakin dewasa dan berani bermimpi besar. Anak-anakku sayang: Teteh Fida, A Azzam, A Miqdad dan De Zara. Terima kasih telah mewarnai hari-hari ibu lewat keributan dan kelucuan yang kalian berikan kalianlah motivasi dan inspirasi terbesar ibu. Dan untukmu, wahai para pejuang pendidikan, Tetaplah berkarya, mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Sungguh, Aku Bangga Menjadi Guru!
  • 4. 4 Aku Bangga Menjadi Guru “Rasulullah SAW adalah guru, maka jangan pernah berhenti menjadi guru kapan dan di mana kamu ada. Melalui kreativitas guru mari songsong karya-karya siswa sebagai sebuah ajang prestisius dalam kancah pendidikan. Jagalah anak didikmu, niscaya Allah akan menjagamu.” (Bunda Khobzah, -Manager Pendidikan LPIT Thariq Bin Ziyad) Neng Titin Supriatin yang saya kenal. Dari namanya, eta mah Sunda. Namun, nama Titin saya pahami sebagai bahasa Jawa dari kata “titen”, yang memiliki arti orang yang sangat teliti atau yang suka “niteni” (memperhatikan) sesuatu (walaupun sepele) dan kemudian diramu dalam rangkaian kata (tulisan) yang inspiratif. Tulisan-tulisan dalam buku “Aku Bangga Menjadi Guru” banyak bersumber dari hal-hal atau pengalaman yang “sepele” (baca:sederhana) yang kemudian dengan kepiawaian kepenulisannya menjadi sebuah karya yang enak dan perlu dibaca karena selalu menimbulkan inspirasi bagi para pembacanya. (Drs. Hadhy Slamet Riyanto, Ak.MM. -Kepala Divisi Akuntansi PT. Indonesia Power, Manajer Umum LPIT Thariq Bin Ziyad) Membaca buku ini menjadi keharusan bagi anak-anak kita, agar tertarik menjadi guru bangsa. Guru-guru yang mempunyai kompetensi, idealisme, yang bangga akan profesinya sangat dibutuhkan oleh bangsa ini untuk kejayaan di masa yang akan datang. (H. Moh. Ikhlas Sunandar, SE. -Wiraswasta)
  • 5. 5 Aku Bangga Menjadi Guru Sepatutnya kita mencium tangan guru-guru kita karena berkat jasanya kita bisa seperti ini. Saya Sangat appreciate terhadap Bu Titin yang telah mendedikasikan dirinya dalam dunia pendidikan. Materi bukan segala-galanya dalam hidup, maka menjadi seorang guru adalah satu panggilan mulia untuk berkarya. (H. Maman Rukmana, -Dirut. PT. Karsa insan Prakarsa Mandiri / Alumni STIP/ Guru) Sangat apresiatif atas rencana sahabat saya yang ingin menerbitkan tulisannya menjadi buku, semoga hal ini menjadi inspirasi dan motivasi khususnya bagi saya pribadi, sebagai redaktur /saat itu masih sekretaris redaksi Tabloid Inta’jiah. Semoga langkah Bu Titin ini menjadi motor penggerak untuk terbentuknya “Komunitas minat dan bakat budaya baca, tulis dan cerita” yang diwacanakan di kalangan guru. Inilah salah satu karya dari guru menulis. Teruslah berkarya wahai para guru. (Dimyat, S.Ag. -Ketua PGSI kota Bekasi) Kadang-kadang hal-hal kecil membuat kita terinspirasi, entah itu lewat anak-anak atau kejadian kecil. Adalah suatu usaha yang patut diacungi jempol (tangan, bukan kaki) untuk mengungkapkan kepada khalayak ramai sebagai pengingat dan pembelajaran menuju kebaikan. Terima kasih Bu Titin, sudah memberikan sebuah inspirasi dan pencerahan lewat tulisan- tulisannya. (H. Didin Wahidin, ST. Operating & Maintenance Exchange PT. Telkom)
  • 6. 6 Aku Bangga Menjadi Guru 14 tahun bersama berjuang di Thariq Bin Ziyad membuat saya begitu kental mengenal penulis. Seorang guru yang sederhana, gigih, dan bersahaja. Tantangan-tantangan dan kegalauan- kegalauan yang dihadapi senantiasa direspon positif hingga terinspirasi menjadi ‘karya-karya’ yang kreatif dan imajinatif. Pun keterampilan paedagogiknya diambil di UT Strata 4, namun jiwa sebagai pendidiknya sudah terpatri sebelum gelar S.P, S.Pd itu diambilnya, karena ia mendidik dengan hati dan cinta yang melahirkan kunci kegiatan belajar mengajar di muridnya yaitu senang dan suka belajar. Tak elak, anak-anak dekat dan dengar semua petuah dan nasihat yang sampaikan. Kesan ini masih teringat ketika di awal masuk menuju SD kelas 1, putri Bu Titin (Fida) masih harus belajar berkomunikasi lebih baik lagi, lebih konsentrasi, maka sang ibu (penulis) dengan sabar terus dan terus melatih dengan jiwa dan cintanya, dengan tangan dan teladannya hingga saat ini Fida tumbuh menjadi anak yang pintar, seimbang dalam intelektual, spiritual, dan emosional, belum lagi pengalaman-pengalaman sebagai pendidik di sekolah yang lebih kaya dan luar biasa. Dan hari ini, semua yang dirasa penulis itu ada dalam karya “Aku Bangga Menjadi Guru” semoga menjadi inspirasi bagi kita semua khususnya para praktisi pendidikan agar dengan membaca tulisan dan pengalaman yang tertuang dalam tulisan ini bisa memperkaya hati/jiwa dan pikir kita, amiin. Selamat Bu Titin, positive thinking make you better. (Siti Rohayati, S.Pd. Kepala Sekolah SDIT Thariq Bin Ziyad PHP)
  • 7. Aku Bangga Menjadi Guru 7 Seorang Guru adalah Seorang Inspirator Kehidupan Dalam tulisan ini saya akan bercerita tentang seorang murid Sekolah Dasar, kelas V. Meski sangat belia umurnya, tapi kedewasaannya leboh matang dari usianya. Dia menjadi pengasuh yang matang untuk adik-adiknya. Dia jadi pemelihara rumahnya. Dia jadi role model tak hanya bagi adiknya, tapi juga bagi teman-temannya. Bahkan ketika kedua orangtuanya berhaji, sang anak yang sedang kita bicarakan ini yang menjadi penjaga, pengasuh, adik dan rumahnya selama ditinggal. Dia seorang anak yang bertanggung jawab dan sangat penuh pengertian. Singkat cerita, beberapa saat kemudian anak yang sedang kita bicarakan ini sakit dan kondisi kesehatannya terus memburuk. Saya tak tahu pasti sakit apa yang diderita dan menyerangnya. Tapi yang saya tahu, karena kesehatannya terus memburuk anak ini akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Beberapa waktu setelah di rumah sakit, kesehatannya tidak stabil, bahkan cenderung menurun. Saya ingin sedikit berbagi cerita tentang kisah selama anak kota ini berada di rumah sakit. Dia berinteraksi dengan sangat manis bersama para pasien yang lain, dengan orang-orang yang menjenguknya, juga dengan dokter dan perawatnya. Semua orang jatuh hati. Ketika dirawat dia terus menerus meminta orang-orang di sekelilingnya agar membaca Al-Qur’an untuknya. Dia
  • 8. 8 Aku Bangga Menjadi Guru merasa tenang, begitu katanya. Bahkan ketika kesehatannya memburuk, dan anak perempuan kita yang satu ini harus menjalani perawatan intensif di ICU, dia bertanya kepada para suster yang merawatnya. “Suster hapal surat? Tolong bacakan Al-Qur’an untuk saya.” Para dokter juga diminta dengan pertanyaan yang sama. Begitu juga orang-orang yang menjenguk dan membesuknya. Kepada semua orang yang datang, anak gadis kita ini berpesan dan selalu berkata agar jangan lupa membaca Al-Qur’an. Harapan orang-orang tercinta di sekelilingnya adalah kesehatan dan kembali seperti sedia kala. Tapi Allah berkehendak lain, anak gadis tercinta ini akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Dia kembali kepada-Nya setelah meninggalkan banyak pesan kepada orang-orang tercinta di sekelilingnya agar tak putus untuk membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya. Anak gadis kita yang terkasih ini meninggalkan kita dengan cara yang terbaik, insya Allah, semoga rahmat Alah mengelilinginya selalu di sini, juga di sana. Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana cara mendidik dan membesar anak gadis sehingga seperti dia. Dan kedua orangtua anak gadis ini menceritakan, salah satu yang berperan membangun dan membesarkan anaknya menjadi seperti yang dikenal banyak orang, adalah ibu gurunya. Sang ibu guru sangat berpengaruh dalam kehidupannya. Tidak saja di sekolah, tapi juga di luar sekolah dan di rumah. Kepada orangtua di sekolah, anak gadis kita ini sering
  • 9. Aku Bangga Menjadi Guru 9 mengulang kembali kisah-kisah inspiratif yang ia dapatkan dari ibu gurunya pada kedua orangtua dan keluarganya. Kisah tentang surga dan neraka, kisah-kisah tentang sahabat nabi, kisah tentang pentingnya berjiwa suci, banyak sekali. Dan pembaca yang budiman, tahukah Anda siapa guru berbudi yang telah sangat berpengaruh dalam kisah hidup anak gadis kita ini? Namanya Ibu Guru Titin Supriatin. Ya, penulis buku ini, buku yang sekarang ada di tangan para pembaca. Dan saya berharap, Anda semua, para pembaca budiman, mendapatkan manfaat yang besar dari buku yang ditulis dengan tulus ikhlas oleh seorang guru yang berbudi tinggi ini. Saya berinteraksi dengan beliau melalui perjumpaan dalam acara-acara Teachers Working Group, sebuah organisasi tempat kami para guru belajar, menimba ilmu dan memotivasi diri. Menggali cara-cara baru dan menemukan bersama kegiatan-kegiatan yang menarik dan bermanfaat untuk anak murid kami. Dan salah satu program unggulan kami adalah bertema: Aku Bangga Menjadi Guru. Saya percaya, jika bertemu dan bersilaturahmi, ada banyak hal dan kekuatan besar yang bisa kita temukan dan digali. Termasuk cara untuk mendidik, menunjukkan jalan kebaikan dan kebenaran, membangun karakter dan akhlak mulia anak-anak didik kita. Buku ini dipersembahkan untuk para guru yang mulia, yang telah membaktikan hidupnya untuk menumbuhkan, merawat dan mengantarkan manusia. Buku ini adalah usaha besar dari penulisnya berbagi inspirasi agar guru menjadi lebih baik lagi. Karena kami percaya, guru yang baik adalah salah satu sumber dari kehidupan yang mulia. Great teachers,
  • 10. 10 Aku Bangga Menjadi Guru better life. Selamat membaca! Salam hormat saya untuk para guru yang telah memberikan hidupnya demi kehidupan yang lebih baik bagi manusia. Semoga Allah merahmati dan mencucurkan keberkahan dalam kehidupan para guru kita. Herry Nurdi President Teachers Working Group Indonesia
  • 11. Aku Bangga Menjadi Guru 11 Menu Buku Ini Seorang Guru adtalah Seorang Inspirator Kehidupan 7 Prakata 12 Kita adalah Sang Motivator! 16 Virus “Alamat Palsu” 20 Waktu dan Kreativitas 24 Daster 28 Orangtua Pintar vs Orangtua Hebat 41 Siapa Bilang Nggak Mungkin? 44 Tuhan, Aku Membutuhkan-Mu 48 Bapak Ingin … 56 Mang Daan 61 Pemulung Itu... 65 Belajar Kepedulian pada “IRFAN” 67 Selamat Jalan Pak Karta 72 Aku Pasti Bisa! 80 Bu Titin, I Love You…! 84 Mimpi itu Gratis... 90 Tegar 95 Ya Rasulullah, Aku Rindu Padamu… 100 Aku Bangga Menjadi Guru 106 Profil Penulis 113
  • 12. 12 Aku Bangga Menjadi Guru Prakata Bismillahirrahmanirrahiiim, Bermula dari sebuah keraguan dalam diri, sebagai seorang sarjana yang berlatar belakang bukan dari bidang kependidikan, muncullah sebuah pertanyaan, “Mampukah saya menjadi seorang guru yang baik bagi murid-murid saya?” Ditambah dengan pula rasa rendah diri yang kadang muncul saat berinteraksi dengan teman lama satu kampus dulu, sarjana pertanian kok jadi guru? Namun dorongan untuk berinteraksi dengan dunia anak sungguh menggoda saya. Karena dunia mereka begitu indah, polos, dan penuh keceriaan. Hingga akhirnya saya terus bertahan mengajar sampai detik ini. Dan nyatanya, saya telah begitu banyak belajar dari mereka, murid-murid kecil saya. Terima kasih, kalian telah begitu banyak menginpirasi saya. Beberapa kali saya pernah bertanya pada murid-murid saya, SD maupun SMP, siapa yang bercita-cita menjadi guru seperti saya. Hanya satu dua orang saja yang mengacungkan tangannya. Selebihnya rata-rata bercita-cita menjadi dokter, arsitek, pengusaha, insinyur, dan pekerjaan lain. Pokoknya yang penting bukan guru! Kadang saya malu dan tersenyum kecut mendengar jawaban mereka? Mengapa kalian tidak ingin menjadi guru Nak? Jawaban mereka, karena ribet, nggak keren, gajinya kecil, murid- muridnya nakal, dan sebagainya. Atau kalau boleh saya bantu jawaban yang tidak tersirat dari mereka adalah “guru itu pekerjaannya tidak enak, sering marah-marahin murid.”
  • 13. Aku Bangga Menjadi Guru 13 Jawaban mereka adalah fakta nyata yang terjadi pada anak-anak negeri ini. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya sosok idola yang bisa menginspirasi anak-anak untuk menjadi seorang seperti gurunya. Sungguh ironis bukan, andai tak ada lagi generasi penerus para guru sekarang ini. Buku ini berisi 18 judul yang merupakan kumpulan cataan inspiratif dan ditulis sebagai rangkaian ungkapan perasaan yang saya hadapi selama menjadi guru. Saya belajar mendalami dan memahami serta menjiwai karakter seorang guru idaman. Saya juga ingin berbagi bahwa dunia anak itu lucu, seru, dan menyenangkan. Saya juga ingin berbagi bahwa hal-hal sederhana dalam kehidupan juga dapat dijadikan sebuah pelajaran berharga hingga mampu menginspirasi dan memotivasi semangat untuk berkarya lebih baik baik lagi. Dalam buku ini tergambar juga sisi kelemahan saya sebagai manusia dan seorang guru. Tidak terlepas dari rasa marah, sedih, kecewa, dan prasangka. Saya hanya ingin berbagi, bahwa ada saat di mana ketika seseorang mengalami kejatuhan dalam karier dan hidupnya, bukan berarti tamatlah sebuah kehidupan. Tapi harus bangkit dan menunjukkan sebuah karya yang lebih baik lagi. Walau hal yang menyadarkan itu sesuatu yang sederhana sekali. Harapan yang ingin saya capai adalah mengajak pembaca (khususnya para guru) untuk meningkatkan kembali ruh dan motivasi mulia seorang guru dalam tugasnya mendidik generasi bangsa menjadi generasi terbaik. Mengajak para ayah dan bunda untuk memahami sisi manusiawi seorang guru dalam tugasnya mendidik putra dan
  • 14. 14 Aku Bangga Menjadi Guru putri mereka. Mengajak para pembaca pada umumnya untuk bisa berkontribusi positif dalam dunia pendidikan dalam bentuk apapun. Sehingga dunia anak dan pendidikan akan semakin mengalami kemajuan dan mampu menghasilkan generasi yang saleh dan cerdas. Dalam kesempatan ini, izinkan saya mengungkapkan rasa terima kasih kepada keluarga besar Thariq Bin Ziyad, teman-teman guru dan sahabat terbaik saya. Miss Inne, Pak Aan, dan tim penerbit, terima kasih atas bantuan, kerja sama, dukungan dan doa hingga buku ini dapat diterbitkan. Sungguh, satu hal tak terduga dalam rencana hidup saya adalah membuat sebuah buku. Ungkapan rasa terima kasih juga saya hadirkan untuk Mas Herry Nurdi bersama Korps TWG (Teacher Working Group) nya, yang sudah begitu banyak mengispirasi saya dalam membuat tulisan ini. Jargon yang selalu dikumandangkan saat seminar maupun workshop telah menyatu dengan ruh dan jiwa saya sebagai seorang pendidik. Teruslah berkarya membentuk karakter guru bangsa yang tangguh. Rasa syukur yang paling dalam saya persembahkan pada Allah SWT, Rabb semesta alam yang atas kehendak- Nya lah langkah-langkah ini dimudahkan. Terima kasih ya Allah atas doa dan mimpi yang Kau kabulkan. Semoga karya sederhana ini mampu menginspirasi dunia pendidikan di Indnesia Bekasi, Januari 2012 Penulis.
  • 15. BERBAGI Kita adalah Sang Motivator Mencegah Virus “Alamat Palsu” Waktu dan kreativitas Daster Orangtua Pintar Vs Orangtua Hebat Siapa Bilang Nggak Mungkin Tuhan, Aku membutuhkan-Mu B
  • 16. 16 Aku Bangga Menjadi Guru Kita adalah Sang Motivator! “Bu guru Ja’far nangis bu!” Seorang murid perempuanku mengadu. “Menangis? Memangnya kenapa Git, tumben Ja’far menangis. Coba kamu ajak dia menemui bu guru di sini.” Segera kukemasi beberapa buku yang baru selesai kunilai. Kureka beberapa kemungkinan yang menyebabkan Ja’far menangis. Kulukis sosok muridku yang berbadan paling kecil itu dalam benakku. Ja’far, berkelahikah? Ah, rasanya tak mungkin, Ja’far anak yang baik, tak punya musuh. Terjatuhkah waktu main benteng di halaman? Tapi tadi dia sempat berkata mau ke perpustakaan mencari buku yang tadi kubacakan di kelas. Ja’far gemar sekali membaca. Atau ada hal lain.” “Nih bu, Ja’farnya.” Gita datang menuntun muridku yang baru kelas satu itu. “Kenapa Far, ada apa nak? Tumben kamu menangis. Baru kali ini ibu melihatmu menangis. Jagoan kok nangis.” Aku merangkul pundaknya. Ja’far semakin menunduk. Bahunya berguncang semakin keras, menahan tangis. Aku semakin mengeratkan rangkulanku. Aku merasa ada sebuah peristiwa yang pasti sangat melukai perasaannya. “Kenapa sih? Coba cerita sama bu guru!” “Ja’far malu bu. “ Bisik Ja’far. Kepalanya mendongak ke arahku, kemudian melirik Gita yang masih ada di sampingnya. Oh… yap! Aku paham. “Ehm, Gita main di luar dulu ya nak. Biar bu guru menyelesaikan masalah ini hanya berdua dengan Ja’far.
  • 17. 17 Berbagi Terima kasih kamu sudah menolong.” Aku meminta Gita keluar kelas. Meluncurlah cerita ihwal menangisnya Ja’far. Walau dengan sedikit terbata, akhirnya aku mengerti. Rupanya kaos kaki Ja’far robek, bolong besar malah. Dan itu yang membuat teman-teman menertawakannya. Sementara ayah Ja’far belum bisa membelikan yang baru, karena uangnya terpakai untuk membeli kebutuhan yang lain. Aku mahfum benar, tidak semua muridku berasal dari keluarga yang mampu. Walau sebetulnya sekolah tempatku mengajar diperuntukkan untuk kalangan menengah ke atas, tapi ada beberapa di antara mereka yang masuk karena mendapat keringanan biaya. Jadi, kaos kaki robek bisa menjadi sebuah bahan tertawaan untuk murid-muridku. “Ja’far, bu guru ingin berbagi cerita sama kamu, maukah kamu mendengarnya?” Sambil menunggu jawaban Ja’far, kucoba mengumpulkan potongan-potongan kisah hidup yang pernah kualami sewaktu kecil dahulu, ah ya… Ja’far mengangguk. Aku pun memulai ceritaku. “Saat ibu seusiamu, ibu pergi ke sekolah tak pernah memakai sepatu. Ibu hanya memakai sandal jepit. Seragam pun tidak. Padahal teman-teman yang lain memakainya. Awalnya ibu malu sekali. Hampir-hampir ibu minta berhenti bersekolah. Apalagi setiap ibu bertanya pada orangtua ibu kenapa aku nggak dibelikan seragam dan sepatu, mereka bilang belum punya uang. Rasanya sedih sekali tapi ibu sangat ingin bersekolah. Karena ibu ingin menjadi anak yang pintar. Akhirnya ibu bersama kakak laki-laki ibu punya ide berjualan es mambo sepulang sekolah. Kebetulan di belakang rumah ada lapangan bola yang sering dipakai untuk
  • 18. 18 Aku Bangga Menjadi Guru bertanding, jadi kami bisa berjualan di sana. Alhamdulillah jualan kami selalu laku. Uang keuntungan dari berjualan kami kumpulkan. Akhirnya ibu bisa membeli sepatu dan seragam sendiri, tanpa meminta pada orangtua. Ya, walaupun lama terkumpulnya tapi tidak apa-apa.“ “Ibu tidak malu di sekolah diejek teman-teman ibu?” Ja’far bertanya antusias. “Ehm… awalnya ibu malu juga kalau ketemu teman saat ibu berjualan es. Tapi lama-lama ibu tidak peduli, ibu mencari uang dengan halal kok, tidak mencuri, yang penting bisa terus bersekolah memakai seragam dan sepatu. Alhamdulillah, ibu selalu masuk tiga besar di sekolah dahulu.” Air mata Ja’far menyurut. Mata bulatnya menatapku penuh takjub. Entah apa yang ada dalam benaknya. Mungkin Ja’far membayangkan Bu Titin kecil yang sedang berkeliling lapangan menjajakan es sambil berteriak : “Es… es…,” atau membayangkan Bu Titin kecil yang sedang diejek teman- temannya karena ke sekolah tidak memakai seragam dan sepatu. Ah, entahlah. Yang jelas, Ja’far mulai tersenyum malu. Kemudian menyeka hidung dan pipinya yang basah. “Terima kasih ya Bu Titin. Kalau ibu bisa seperti itu, aku yakin aku juga bisa seperti itu. Boleh kan aku juga berjualan di sekolah?” “Oh, tentu saja boleh…!” Subhanallah. Tak sampai dalam hitungan menit, Ja’far sudah tertawa ceria bersama temannya yang lain. Melupakan kesedihan dan ejekan teman-temannya. Melupakan aku yang duduk termenung sendirian sambil tersenyum. Duhai Rabb Yang Maha Sempurna dalam penciptaan. Alangkah sederhananya pekerjaan “menyembuhkan” luka hati
  • 19. Berbagi 19 seorang anak kecil. Tak butuh energi yang banyak. Tak perlu teriakan amarah. Tak ada uang yang harus dikeluarkan. Yang diperlukan hanyalah telinga untuk mendengar dengan penuh kesabaran. Yang diperlukan hanyalah senyum tulus dan pengakuan. Yang diperlukan hanyalah kalimat-kalimat penuh motivasi dari lubuk hati kasih sayang. Karena kita adalah Sang Motivator. Motivator ulung bernama guru. Wallahua‘lam bish shawab. Bekasi, 10 Maret 2011
  • 20. 20 Aku Bangga Menjadi Guru Virus “Alamat Palsu” Ke mana ke mana di mana… Kuharus mencari ke mana... Kekasih tercinta tak tahu di mana Lama tak datang ke rumah… Tiga orang murid kecilku bergoyang sambil menyanyikan syair lagu tadi. Bernyanyi dan bergoyang tepat di depan meja guru yang aku duduki dengan lesu pada jam istirahat pertama itu. Maksud mereka sangat baik dan sungguh mengharukan, menghibur Bu Titin yang sedang lesu karena sariawan. Bahkan kalau boleh aku bagikan pada kalian apa yang diucapkan salah seorang di antara mereka yang berkata seperti ini, “Inilah dia persembahan lagu untuk guru kami tercinta…”. Lalu dengan gaya yang kocak mereka pun kompak menyanyikan lagu “ Alamat Palsu” nya Ayu Ting Ting itu. Loh… loh… Kok Bu Titin tahu dan hafal sih lagu itu? Lah ya jelas saja! Karena setiap hari selama sepekan semenjak lagu itu populer, hampir semua anak menyanyikan lagu itu di kelasku. Aku sampai, maaf, bosan mendengarnya. Bukan hanya karena ditilik dari segi syair, tapi lagu itu tidak ada puitis-puitisnya. Tapi dari sisi isi materi lagu pun, tidaklah pantas dinyanyikan oleh anak-anak usia SD. Tapi apa mau dikata? Aku hanya guru yang separuh waktu saja mendampingi mereka. Sedangkan sebagian besar waktu lainnya mereka lewatkan dan habiskan di rumah.
  • 21. Berbagi 21 Rasa penasaran mendorongku untuk bertanya pada murid-murid kecilku, lagu apa itu, siapa yang menyanyikan dan di mana mereka mendengarnya? Jawaban mereka tidak cukup membuatku puas. Untung beberapa guru sempat membahasnya di kantor. Bahkan ada salah seorang di antara mereka mengatakan bahwa lagu itu sudah di download hampir oleh 2 juta orang. Wow! Luar biasa. Akhirnya aku terdorong juga untuk ikut “ngintip” si alamat palsu ini di Youtube (karena aku dan keluargaku sudah sejak lama mencanangkan program no TV wacth). Oh ini rupanya virus bernama “Alamat Palsu” itu! Memang dasyat goyangan penarinya. Dahsyat suara penyanyinya. Dahsyat juga pengaruhnya pada jiwa dan perilaku sang penonton tayangan itu, yang sebagiannya adalah anak dan muridku. Sebetulnya fenomena seperti ini bukan sekali dua terjadi di sekolah tempatku mengajar. Berita hangat “tak pantas”, gosip, trend mode atau lagu yang seharusnya belum boleh dikonsumsi oleh anak-anak sudah seperti aliran air yang mengalir begitu saja. Di mana ada trend baru, maka anak- anak pun akan kena imbas informasinya, bahkan ikut-ikutan arus di dalamnya. Jangankan mereka yang masih polos dan belum sepenuhnya paham apa yang mereka tonton, guru pun ternyata tak ‘kebal’ terhadap virus dunia infotainment ini. Virus Ustad “Solmed” (yang aku pikir punya arti ustad yang hangat dan bersahabat, ternyata kependekan dari Soleh Memed, maklum kurang gaul, red) dan virus “Alhamdulillah, sesuatu banget” nya Syahrini, adalah dua virus teranyar lain yang aku tahu sedang mewabah saat ini. Apa yang harus dan bisa kita lakukan untuk membentengi diri dan anak kita dari dahsyatnya virus infotainment ini?
  • 22. 22 Aku Bangga Menjadi Guru Gencarnya dunia hiburan di media dan kebutuhan kita akan informasi adalah dua hal yang kadang dilematis dan beririsan kepentingan. Di satu sisi kita tak ingin ikut terbawa arus “orang kebanyakan”, tapi satu sisi yang lain anak-anak kita sudah “terpolusi” virus yang sepele namun membahayakan tersebut, hingga mau tak mau kita harus tahu seperti apa sih dan bagaimana kita harus meluruskannya. Ada beberapa kiat yang mungkin bisa dijadikan cara untuk mencegah “virus” macam “alamat palsu” nya Ayu Ting Ting itu. Pertama, dampingi mereka selalu. Ajak mereka bicara dan diskusi tentang apa yang mereka tiru dari apa yang mereka tonton. Mengapa mereka suka dan menirunya. Apa kebaikan dari hal tersebut dan apa keburukannya. Giring opini mereka bahwa itu belum cocok untuk mereka nyanyikan atau mereka tiru. Kedua, ajaklah mereka untuk mendengarkan cerita, kisah atau dongeng yang sarat dengan kandungan nilai positif. Gunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami. Lebih bagus lagi jika kita bisa menirukan gaya pendongeng profesional. Menggunakan suara dan mimik yang sesuai dengan tokoh. Pasti seru dan asik! Ini bisa dijadikan tandingan untuk tayangan-tayangan yang tidak sehat tadi. Ketiga, ajarkan mereka lagu anak-anak dan lagu-lagu yang Islami. Kalau mau jujur, aku sendiri tak mengikuti perkembangan lagu anak trend terkini. Karena lagu anak kalah jauh jumlahnya dari lagu remaja dan orang dewasa. Beruntungnya aku punya stok gudang lagu anak yang masih aku hafal sampai setua ini. Kalaupun sudah lupa, kita tinggal bertanya pada “Google” pasti berderet lagu anak-anak bisa
  • 23. Berbagi 23 kita pelajari. Apalagi lagu anak zaman dahulu itu syairnya bagus-bagus dan sesuai sekali dengan kebutuhan mereka. Keempat, adakalanya kita harus ‘lebay’. Lebay (berlebihan) mengkampanyekan sesuatu hal kebaikan, walaupun kebaikan itu kesannya ‘jadul’ banget. Contoh sederhana, anak-anak biasanya trend makan fast food (padahal nilai gizinya mendekati ‘zero’), kita bisa dengan hebohnya bertanya, “Uhm… siapa yang suka makan serabi? Atau kue cucur? Wah… bu guru senang banget loh kue serabi dan cucur. Enaaaak deh rasanya…. “ Apalagi gaya kampanye kita meyakinkan, pasti anak-anak akan penasaran untuk mengikuti kita. Bukankah kita adalah panutan mereka. Apa kata bu guru atau pak guru pasti akan mereka ikuti. Kelima, sempatkan selalu berkomunikasi dengan orangtua mereka. Buat sebuah jembatan komunikasi dengan mereka, agar visi dan misi antara guru dan orangtua tidak jauh berbeda, sehingga anak pun punya pegangan yang kuat dalam mengadopsi dan menindaklanjuti sebuah trend baru yang sedang berkembang. Insya Allah, jika sekolah (guru) dan orangtua mempunyai kesamaan visi dan misi, sebesar dan sehebat apa pun virus “globalisasi” akan bisa dibentengi penyebarannya oleh anak-anak kita. Alhamdulillah… sesuatu banget kan? Wallahua’lam bish shawab. Bekasi, 25 September 2011
  • 24. 24 Aku Bangga Menjadi Guru Waktu dan Kreativitas Bermula dari ketidaksengajaan. Sabtu siang itu, usai rapat pekanan di sekolah, aku hunting buku ke Gramedia Metropolitan Mall. Sebetulnya tidak ada niat untuk mencari buku-buku tertentu. Ya seketemunya saja deh, buku apa yang akan ‘berjodoh’ denganku hari itu. Sebuah buku bercover gadis berkepala plontos sedang bertangisan dengan ayahnya menarik minat beliku. Surat Kecil Untuk Tuhan, begitu judul yang tertulis. Sudah lama juga aku penasaran dengan buku itu. Buku yang sampai detik aku membelinya, sudah dicetak belasan kali dalam satu tahun. Tidak puas dengan cuma sebuah buku, mataku kemudian sibuk mencari mangsa berikutnya. Ingatanku melayang pada acara workshop tentang pembuatan media belajar menggunakan program macroflash yang aku ikuti beberapa hari yang lalu. Aku tertarik untuk lebih dalam mempelajarinya secara otodidak. Sayangnya aku tidak bisa mengikuti workshop kemarin dengan tuntas. Di samping waktunya yang singkat dan juga karena keterbatasan pengetahuanku tentang dunia software yang satu ini. Aku pikir, mungkin aku bisa mempelajarinya sendiri lewat buku. Rasa penasaran segera mendorong langkahku ke arah rak berlabel ‘komputer’, sambil mataku terus memilah dan mencari, mana buku yang aku butuhkan. Ahaaa, ini dia! Akhirnya aku menemukan sebuah buku tebal dengan judul sangat menggoda, yaitu “Macroflash 5.6”. Segera saja aku ambil buku itu dari rak-rak yang berjejer rapi.
  • 25. Berbagi 25 Tapi eit… tunggu dulu! Aku melihat ada sebuah judul yang lebih menarik lagi di sebelahnya, yaitu “Membuat Comic Strip Instan Untuk Hobi dan Profesional” Wah…! Dengan ‘lahap’ kubuka dan kubaca beberapa hal penting di dalamnya. Subhanallah… ini dia yang aku butuhkan: membuat komik untuk presentasi, cocok sekali dengan hobiku bercerita dan mendongeng pada anak- anak dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Pasti kegiatan belajar kami akan lebih asik dan menarik dengan bantuan sebuah media yang menunjang. Singkat cerita, penuh antusias aku baca buku seharga Rp. 36.900,- itu. Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk membaca lebih detail. Kupikir akan lebih baik jika langsung kupraktikkan saja apa yang ditutorkan si penulis dalam bukunya, lalu…Let’s see the next, apa yang terjadi? Jawaban singkatnya cuma dua kata saja: Subhanallah dan Astaghfirullah. Subhanallah nya, karena aku merasa gembira mendapatkan sebuah ilmu baru tentang pembuatan sebuah media belajar, yang jujur saja, masih belum banyak orang yang memanfaatkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Padahal jika mau, sudah demikian berkembangnya dunia informasi dan teknologi yang bisa kita manfaatkan untuk kemajuan kualitas pendidikan anak bangsa. Cara pembuatannya pun saat dipraktikan begitu mudah dan menyenangkan. Apalagi buat aku yang ngak ada basic keilmuan komputer. Hanya bermodal tekad, nekad, dan keinginan kuat untuk memberikan yang terbaik dalam dunia pendidikan anak. Astaghfirullah nya, aku jadi lupa diri dan waktu. Aku begitu asik dengan mainan baru itu. Aku bisa berjam-jam
  • 26. 26 Aku Bangga Menjadi Guru ber’khalwat’ dengan laptop kesayanganku. Meng’klak-klik’ mouse. Mengkhayal konsep cerita (kebetulan aku seorang penghayal ulung, jadi pas pisan dan ada penyalurannya). Browsing. Download gambar dan lagu. Pokoknya seru banget. Aku tidak peduli rasa penat letih setelah seharian direcoki murid-murid kecilku. Aku tidak merasakan capenya digelayuti dua balitaku kanan kiri yang berebut duduk di pangkuanku saat asik berkhayal di depan komputer. Karena kemudian, aku bisa mengakhiri kerjaku semalaman suntuk dengan kata alhamdulillah. Dada berdebar saking girangnya dan rasa puas saat bisa menghasilkan sebuah karya yang baru; komik bergambar sesuai dengan tema belajar yang akan aku sampaikan dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelasku. Sungguh menyenangkan! Terbayang ekspresi murid-murid kecilku saat aku bercerita dengan bantuan cerita bergambar yang kubuat sendiri. Dan saat itulah sebetulnya yang aku tunggu: binar bahagia yang terpancar dari wajah- wajah mereka. Dari pengalaman ini, ada sebuah hal yang ingin kujadikan catatan penting bagi diriku sendiri, yaitu tentang pentingnya ‘waktu’ dan ‘kreativitas’ bagi seorang pendidik dan pengajar sepertiku. Bagaimana kita harus bisa memanfaatkan waktu untuk terus berkarya dan berkreativitas positif. Rasanya waktu tak pernah cukup andai kita bisa mengisinya dengan hal-hal baru yang bermanfaat. Selalu ada tantangan dan rasa penasaran untuk terus membuat karya. Apalagi aku sadar betul, bahwa waktu tak pernah berhenti barang sejenak untuk rehat. Dia terus bergulir dan berlari. Menerjang detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun. Tugas kita adalah mengisinya dengan berbagai kreativitas yang produktif. Karya yang indah
  • 27. Berbagi 27 walau sederhana, bernilai positif dan terpenting bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita. Karena kehidupan adalah pemisalan sebuah kegiatan melukis di atas kertas. Kertas kehidupan kita mirip sejenis kertas tissue yang bergulung-gulung. Panjang dan bahkan kadang kita tak tahu di mana ujungnya. Begitu pula waktu dan kreatifitas dalam kehidupan. Kertas itu adalah waktu dan kreativitas adalah tintanya. Apa jadinya, andai Allah tiba- tiba menghentikan waktu kehidupan kita, sementara kertas kehidupan itu belum kita isi atau hanya sedikit yang sudah kita lukisi dengan kreatifitas kita? Jawaban apa yang akan kita beri pada hari di mana pertanyaan itu akan muncul : “Kau gunakan untuk apa waktumu selama hidup”. Wallahua’lam bish shawab. Bekasi, 20 Oktober 2011 (Catatan kecil untuk diri : Apa pun dan siapa pun kamu, jadilah yang terbaik!)
  • 28. 28 Aku Bangga Menjadi Guru Daster “Fida… paket untuk kamu!” Seru Bunda Nurul dari balik pintu kamar 7-4. Fida mendongak, mengalihkan pandangan dari buku kimianya. Beberapa kepala dalam kamar ikut menoleh. “Wah, enak ya… Fida dapat kiriman lagi.” Komentar Fauzia. “Apaan isinya Fid, makanan ya…?” Mata bulatnya mengedip penasaran. “Paling pesananku, kamus bahasa Arab. Eh, tapi entahlah, sepertinya ada yang lain nih, dipegang kok empuk- empuk gitu…”. Fida meraba-raba paket yang terbungkus kertas coklat di tangannya. “Puding kali…”. Celetuk Rifa tanpa menoleh, sibuk dengan PR kimia-nya. “Puding? Yang bener aja Rif…. “ Nabila yang asyik baca novel sambil tiduran tersenyum geli. “Dalam paket begini mana mungkin ada puding, udah bonyok dari sananya, berapa sih nilai IPA kamu?” “Emang, lihat aja dari kemarin Rifa ngotak-ngatik PR kimia terus.” Selly ikut nimbrung. Rifa cuma bisa nyengir kuda. “Makanya neng, kalo Bunda Rina lagi nerangin tuh dengerin, jangan ngitung bulu mata melulu…” . Kata Nabila lagi. Ditutupnya buku tebal yang belum selesai dibacanya itu. “Ngitung bulu mata?” Selly bertanya bingung. “Tidur neng.” jawab Nabila. Mata bulatnya semakin
  • 29. Berbagi 29 membesar, gemas pada Selly yang dianggapnya agak lola. Saat itulah matanya tertaut pada sebuah benda dalam genggaman Fida yang kini sudah duduk bersila di lantai. “Ih… Fida, apaan tuh… lihat dong!” Nabila bergegas mendekati Fida. “Apaan Fid, kerudung ya…?” Nabila penasaran. Tangannya ikut memegang kain lembut yang baru saja dipegang Fida. Fida merobek kertas pembungkus paket lebih lebar. Rasa penasaran menggelitik hatinya. “Tahu nih, tapi warnanya lucu ya.” Fida menarik kain warna warni itu dibantu Nabila. Sehelai baju panjang terbuat dari kain batik. Coraknya lucu bernuansa cerah. Warnanya saling silang merah, biru, kuning, dan hijau. Sungguh indah. “Apaan sih.” Fauzia yang sedari awal sudah penasaran, kini mendekat, diikuti hampir seisi penghuni kamar. Tangannya mengambil alih kain dari pegangan Fida. Kemudian diangkatnya tinggi-tinggi. Meneliti sejenak. Pada detik berikutnya, tawanya langsung meledak. “Hahaha ya ampun Fid, ini kan daster!” Entah karena memang lucu atau karena solidaritas sesama teman sekamar, kini hampir seluruh gadis-gadis berusia 13-14 tahun itu mengikik geli. “Iya Fid, ini mah daster atuh. “ Aufa yang asli Subang menguatkan kata-kata Fauzia. Tangannya separuh menutup mulut menahan tawa. “Emangnya kenapa sih, daster kan baju perempuan, bagus lagi warnanya, kok kalian tertawa.?” Selly, seperti biasa, terbengong tak mengerti. Boro-boro tertawa, senyum aja nggak, yang ada hanya tatapan polos tanda tak ngeh. “Ya ampun Sell, nggak ngikut trend mode ya.“ Bitha
  • 30. 30 Aku Bangga Menjadi Guru menyela. Maklumlah, konon kabarnya mama Bitha punya beberapa outlet busana muslim yang tersebar di beberapa kota besar. Pastilah tahu mode-mode busana remaja yang lagi trend. “Daster itu kan!” Lanjut Bitha sambil sudut matanya melirik Fida yang hanya tersenyum kecut. “Maaf ya Fid, daster itu kan pakaiannya nenek-nenek atau nggak emak-emak.” Gerr… Tawa kembali memenuhi ruang. Hembusan angin pegunungan desa Tambak Mekar menerbangkan suara gelak itu ke setiap sudut lain asrama putri Boarding School SMPIT Assyifa. Menggiring berpasang kaki yang berlarian kemudian. Menuju sumber suara tawa berasal. “Hey… ada apaan sih? Girang betul nampaknya kalian nih.” Sesosok gadis berkacamata dan berjilbab hijau muda menjulurkan kepalanya di pintu. Beberapa detik berikutnya bermunculan pula kepala-kepala berjilbab aneka warna lainnya. “Eh, Arin. Sini deh. Masa Fida dapat kiriman daster dari ibunya. Hi…hi….” Bitha melambai ke arah Pintu. “Ha… daster? Ya ampun Fid, ibu kamu lucu banget sih. Daster mah biasanya dipakai ibu-ibu, malah nenekku hampir setiap hari pakai daster kalau di rumah.” Arin ikut terkekeh. “Tuh kan Fid, betul kata aku.” berkata Bitha sambil memamerkan daster itu pada teman-teman kamar sebelah yang kini sudah berdiri mengelilingi Fida. “Oh, begitu ya. Ya ampun! Ibu … ibu…” Fida mau tak mau ikut tertawa. Berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. “Eh, lihat deh, aku cobain ya.“ Bitha memakaikan daster itu ke tubuh mungilnya, sambil mematut-matut diri di depan cermin kamar.
  • 31. Berbagi 31 “Hik…hik… kamu mirip nenek aku Bith. Mirip banget deh. Duh, jadi kangen nenek nih…” Komentar Arin sambil tertawa lepas. Tawanya, juga tawa teman seisi kamar, menyisakan pedih dan kesal di hati Fida. Mengoarkan sejumlah rutukan dalam hati : Ngapain sih ibu ngirim daster? Daster kan tidak ada dalam daftar barang permintaanku. Padahal nama barang-barang yang diminta untuk dikirim hampir selalu diulang saat ibu telepon ke asrama setiap malam Sabtu. Malam yang selalu ditunggu Fida. Karena malam itu Fida bisa menumpahkan rasa rindu dan segala cerita seru, sedih maupun gembira pada ibu. Wanita mulia berhati lembut yang selalu sabar mendengarkan curhatnya. Curhat tentang segala kejadian di sekolah dan asrama, dari A sampai Z dengan detail. Ibu yang selalu membuat Fida rindu rumah. Rindu ceritanya, rindu kelucuannya saat menceritakan ulah murid-muridnya (ibu Fida kan seorang guru kelas 1 SD negri), rindu masakannya, rindu nasehat dan kata-kata bijaknya. Rindu … ah, semuanya! Tapi daster ini, telah menguapkan rindu itu menjadi buih kecewa dan malu! Malu yang teramat! Bayangin deh! Ditertawakan seisi kamar. Ditertawakan teman kamar-kamar lain. Belum lagi jadi bahan obrolan hot news penghuni asrama dalam rentang beberapa hari berikutnya. Dari kelas 7 sampai kelas 9. Apalagi kelas 8! Hhhh… Aroma perseteruan yang turun temurun antara kelas 7 dengan kelas 8, dari abad awal sejarah berdirinya asrama sampai kini, semakin memperparah suasana hati Fida. Fida jadi semakin tak nyaman saat berjalan di sepanjang koridor kamar kelas 8. Padahal bangunan asrama kelas 8 adalah jalan terdekat menuju perpustakaan. Mogok beberapa hari
  • 32. 32 Aku Bangga Menjadi Guru nggak ke perpus? Nggak tahan! Mendingan nggak makan deh dari pada nggak baca buku! Tapi bisik-bisik tentang daster membuat kupingnya menjadi panas. Terlebih kalau ada kakak kelas yang dengan sengaja bergosip ria saat Fida lewat depan kamar mereka. Menggosipkan apalagi kalau bukan tentang daster. Hhh, lagi-lagi daster. Aduh ibu, jadi ingin cepet-cepet curhat nih. Tak sabar rasanya menunggu malam Sabtu tiba. Malam jatah kamar 7-4 untuk bertelepon ria dengan keluarga. ~~~ “Bunda, aku pinjem HP nya ya!” Fida menghampiri Bunda Nurul yang tengah duduk manis di kantor asrama. “Mau SMS ibu, boleh kan?” Pinta Fida dengan tatap penuh harap. “Baru juga hari Rabu Fid, ada perlu penting ya?” Bunda Nurul tersenyum lembut. Ditatapnya Fida penuh selidik. Fida mengangguk lesu. Aneh… tumben nih anak, biasanya ceria. “Ada apa sih, kok lesu gitu?” Fida duduk di kursi sebelah Bunda Nurul. Ada keinginan untuk curhat sama beliau. Bunda Nurul kan bunda pendamping kamar 7-4, siapa tahu bisa sedikit mengurangi rasa sedih itu. Tapi… malu ah! Nanti ditertawakan. Masalah sepele seperti ini saja. Loh… loh… udah tahu sepele kok aku pikirin. Tapi masalahnya, tema obrolan tentang daster itu masih belum reda juga. Bikin pusing. Pokoknya harus bilang sama ibu, kalau aku mau balikin tuh daster! “Ibu telpon aku ya nanti malam, kalau nggak bisa, kasih tahu kapan bisanya.” Begitu bunyi SMS yang tertera di layar HP. Fida menekan tombol send. Dan melesatlah pesan itu ke
  • 33. Berbagi 33 HP ibu, hanya dalam hitungan beberapa detik. “Assalamualaikum teh.” Terdengar suara lembut ibu dari HP Bunda Nurul. Raut lesu Fida berubah seketika. Ada rona cerah di sana. “Waalaikum salam. Ini ibu ya, kok cepet banget langsung telpon, ibu ada di mana? Kok nomornya lain?” Fida memberondong ibu dengan beberapa pertanyaan tanpa jeda. “Iya, ini ibu. Ibu masih di sekolah, kebetulan ibu lagi nggak punya pulsa, jadi pakai telpon sekolah. Ada apa teh. Oh iya, kiriman ibu sudah sampe belum?” “Sudah. Ibu yang masukin daster ya?” Fida separuh berbisik, takut terdengar Bunda Nurul yang kini tengah sibuk dengan komputer di hadapannya. “Iya… emang kenapa? Bagus kan? Habis, ibu lihat baju tidur kamu udah jelek-jelek. Malu kan dilihat sama teman- teman yang lain? Kebetulan ibu punya sedikit uang, harga daster kan jauh lebih murah.” “Ah ibu… justru itu masalahnya.” Fida memotong kalimat ibu, nada suaranya mulai tersendat menahan tangis. “Aku…aku jadi malu….” “Memangnya kenapa? Ada yang salah ya sama daster kiriman ibu itu?” “Bukan begitu.” Rengek Fida, “Teman-teman nertawain aku. Malahan hampir seluruh asrama ngomongin aku… .” Fida mulai terisak. Kalimatnya terdengar tak jelas di telinga ibu. “Sst… teh, tenang dong. Bicaranya jangan sambil nangis. Ibu nggak jelas nih. Emangnya kenapa dengan daster itu. Ibu pikir daster itu bagus buat kamu. Kan enak sore-sore pakai daster, santai dan lagi pula praktis dipakai untuk tidur
  • 34. 34 Aku Bangga Menjadi Guru atau untuk sekadar jalan di sekitar asrama.” Ibu coba untuk menenangkan. Tetapi gagal. Fida malah semakin tak dapat menahan tangisnya. “Emang bagus…tapi teman-teman bilang daster itu baju nenek-nenek. Aku malu bu. Aku malu….” Suara Fida terputus-putus di sela isaknya. “Cup teh… jangan nangis ah. Ya udah, kalo kamu malu nggak usah dipakai. Simpan aja ya. Sabar ya. Maafin ibu kalau begitu.” Hening mengambang di udara untuk beberapa saat. Ibu menghela napas panjang dan menghembuskannya pelan. Berharap bisa mengurangi sesak yang tiba-tiba saja sudah menggunung di dada. Sesak membayangkan teteh, panggilan sayang untuk sulungnya, mengalami beban yang cukup berat di sana. Ditertawakan dan diolok-olok teman- temannya? Hampir oleh seluruh teman-temannya, hanya karena sepotong pakaian bernama daster? Ah, anakku! “Ya udah ya teh. Simpan saja dasternya. Sabar ya, ibu nggak bisa lama-lama.” Belum sempat terucap salam. Ibu tak tahan. Ibu tak ingin Fida tahu, ada yang menetes di kedua sudut matanya. Dengan pelan disusutnya air mata itu dengan ujung jilbabnya. ~~~ Angin pagi itu berhembus pelan dari celah jendela perpustakaan. Menyentuh lembut ujung jilbab Fida yang masih menekuni kumpulan cerpen pengarang kesayangannya. Namun konsentrasinya pecah tak beraturan. Wajah-wajah yang dirindukan, sudah 2 kali kunjungan ini tak tampak di hadapannya. Wajah ibu dan ketiga adiknya: Azzam, Miqdad dan si bungsu Zara. Hanya ayah yang berusaha untuk bisa
  • 35. Berbagi 35 datang pada kunjungan bulan kemarin. Itu pun naik angkutan umum. Lebih irit katanya. Sedangkan untuk kunjungan kali ini ayah hanya menitipkan sedikit uang tambahan jajan dan setoples kacang bawang buatan ibu, pada teman pengajian ayah. Sedih rasanya melihat teman-teman yang lain bercengkrama bersama keluarga masing-masing. Lebih baik bersembunyi di sini, di perpustakaan. Berselancar menjelajahi dunia lain. Dunia yang diciptakan oleh penulis-penulis buku terkenal. Mengurangi sedikit kesedihan yang berpendar di hati. Untungnya Fida tak pernah bosan untuk membaca dan untungnya pula perpustakaan selalu buka di hari Sabtu dan Minggu. “Sedang apa ya ayah, ibu dan adik-adikku di sana.” Bisik Fida dalam hati, matanya menerawang jauh, melintas kaca jendela dan pilar-pilar tinggi yang berjejer di sepanjang lorong perpustakaan. “Hmmm, pagi-pagi begini biasanya mereka beres-beres rumah. Ayah ngepel, ibu masak makanan yang enak, Azzam dan Miqdad pasti sedang berantem dan ibu akan teriak-teriak melerai. Ade Zara paling ngikutin terus di sisi ibu.” Fida tersenyum sendiri. Bayangan ayah, ibu, dan adik-adiknya menari-nari di pelupuk mata. Duh rindunya. Pipi Fida membasah. Air mata sudah berguliran di sana. “Fida, kenapa?” Seseorang menyentuh bahunya, “Kamu nangis ya?” “O… eh, Arin…” Tergeragap Fida menjawab. Dilihatnya Arin sudah berdiri di sisinya. “Nggak Rin. “ Dusta Fida, buru- buru disekanya air mata itu dengan kedua tangannya. “Jangan bohong, kenapa sih? Karena nggak dijenguk sama orangtua kamu ya?” Tebak Arin. Ditariknya kursi di
  • 36. 36 Aku Bangga Menjadi Guru sebelah Fida, kemudian duduk di sana. “Aku juga nggak dijenguk kok.” “Oh ya? Emang kenapa?” Fida sedikit terhibur dengan kehadiran Arin. Rasa kecewanya pada Arin yang menertawakan daster kiriman ibu sudah jauh-jauh hari dilupakan. “Orangtuaku baru bisa jenguk aku pekan depan.” “Enak doong. Nah aku? Entah kapan mereka datang lagi ke sini. Kunjungan terakhir hampir dua bulan lagi, sekalian penjemputan libur kenaikan kelas. Padahal aku tuh udah kangen sama mereka. Terutama sama ibu. Apalagi terakhir ibu telpon, kami ngobrol nggak tuntas.” “Eh, kalau kamu mau, ikut aja pulang ke Bekasi bareng aku.” Bola mata Fida membesar. Ada harapan berpendar di sana. Saat itu juga hatinya bersorak girang. “Ah yang bener? Emang boleh ya? Kapan kamu pulang? Sama siapa?” “Iya, beneran. Pekan depan bapak mau jemput aku. Tanteku nikah. Jadi aku boleh minta izin pulang kan?” “Terus aku gimana, kalo ditanya Bunda Etin kenapa aku pulang, alasannya apa dong?” Fida mulai ragu kembali. “Bilang aja kangen berat, sudah dua kunjungan nggak ditengok. Lagian kamu belum pernah ambil jatah pesiar kan? Pasti Bunda Etin ngizinin deh.” Arin meyakinkan Fida. “Eh, iya juga ya. Asyik. Alhamdulillah. Benar ya Rin, pekan depan aku ikut kamu. Nanti aku mau bikin kejutan buat ayah ibuku. Aku turun di tol timur aja ya, habis itu naik angkot ke rumah. Siiip deh!” Fida bersorak girang. Kegembiraannya melegakan hati Arin. Arin diam-diam ikut sedih melihat Fida menderita.
  • 37. Berbagi 37 Apalagi sejak kejadian dua pekan lalu, saat Fida mendapat kiriman daster itu. Arin tahu bagaimana perasaan Fida. Arin juga menyesal sudah ikut menertawakan Fida, teman dekatnya waktu di sekolah dasar dahulu. ~~~ “Ya… aku sudah siap Rin!” Teriak Fida dari balik pintu lemarinya. Tangannya menyambar bungkusan plastik berisi daster yang dikirim ibu dua minggu yang lalu. “Ups, hampir kelupaan, daster ini kan mau kukembalikan. Menuh-menuhin lemari aja. “ “Cepatan sedikit Fid. Bapak sudah selesai ngurus surat izinnya tuh. Punya kamu juga sudah diurusin.” Arin menggamit tangan Fida tak sabar. “Eh, bawa apaan tuh?” tunjuk Arin ke arah kantong plastik dalam genggaman Fida. “Hehehe…daster yang kemarin kamu ketawain. Mau aku bawa pulang aja.” Enteng Fida menjawab. Langkahnya ringan dan gesit. Ingin segera sampai di Bekasi. Kejutan yang menyenangkan buat semua. Pasti ayah dan ibu kaget melihatnya ada di depan pintu dengan tiba-tiba. Hmm… Fida melangkah pasti. Senyuman tak lepas mengembang di bibirnya. Senyum yang terus mengembang sampai tiba di pintu tol dan berpisah dengan Arin. “Terima kasih ya Rin. Terima kasih ya pak. Hati-hati di jalan. Assalamualaikum.” Fida menutup pintu mobil. Melambaikan tangan pada Arin dengan riang. Kemudian berjalan menuju halte di seberang. Sebuah angkot bernomor 19 berhenti di depannya. Fida segera saja melangkah masuk ke dalamnya. Hatinya bersenandung riang di antara penumpang yang sudah penuh
  • 38. 38 Aku Bangga Menjadi Guru sesak. Senandung merdu yang melagukan nyanyian rindu pada ayah dan ibu, juga adik-adiknya. Mata Fida menelusuri deretan ruko yang berdiri kokoh di tepi jalan. Jalan yang selalu dilewatinya jika hendak pergi ke sekolah dahulu. Di ujung ruko sana ada gang. Gang menuju rumah Fida. Fida akan turun di sana. Hatinya semakin riang. Matanya bergerak-gerak meneliti sepanjang ruko. Hmm… siapa tahu ibu atau adik-adik ada di salah satu toko itu. Ups, hey…tuh… benar kan? Itu, sosok perempuan berjilbab kaos merah marun tua, itu kan ibu. Di sebelahnya? Tak salah lagi! Gadis kecil berjilbab lucu itu kan de Zara? Tangan mungilnya tak lepas dari rok ibu. Ta…tapi, kenapa ibu membawa nampan besar di kepalanya ya? Dan… ibu meneriakkan sesuatu nampaknya. Terlihat dari gerak bibirnya dari kejauhan. Seolah sedang menjajakan sesuatu. Fida semakin penasaran. Mobil melaju pelan melewati kedua sosok yang teramat dikenalnya itu. Seketika Fida terpana. Ibu meneriakkan kata-kata ”Tempe… tempe … “ “Ibu… ibu berjualan tempe?” Desisnya pelan. Teramat pelan. Tak terdengar malah. “Sejak kapan? Kenapa? Bukankah ibu sudah punya gaji dari hasil mengajar? Apakah usaha ayah sedang ada masalah, sampe ibu harus berjualan keliling seperti itu? Ya Allah.” Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala Fida. Membuatnya ingin segera tiba di rumah untuk mendapatkan jawaban. “Tempe… tempe…” Suara ibu terdengar semakin jelas. Fida semakin terpaku. Ibu… penampilan ibu sangat jauh berbeda kini. Butiran keringat menempel di kening dan sela- sela jilbabnya. Ibu kelihatan kurusan sekarang. Pantas saja kunjungan mereka ke asrama terputus. Pantas saja obrolan
  • 39. Berbagi 39 di telepon tak bisa selama dulu. Pantas saja ibu hanya bisa membelikannya sepotong daster ketimbang baju tidur lucu seperti punya teman-temannya yang lain. Ah, ibu… jerit Fida dalam hati. Tak sadar tangannya mendekap ransel berisi daster pemberian ibu yang akan dikembalikannya. Maafkan teteh bu! ~~~ Senja di kaki bukit Desa Tambak Mekar. Desiran anginnya yang sejuk mengiringi langkah Fida yang berjalan dengan anggun. Tubuh bongsornya berbalut daster bernuansa cerah, berpadu jilbab senada, menambah kecantikan yang terpancar dari wajah riangnya. Tak peduli beberapa teman yang melihatnya berjalan di lorong asrama terkikik geli. Tak peduli suara-suara sumbang kakak kelas yang meledeknya. Fida tetap melangkah riang. Menuju papan tempat majalah dinding terpasang. Selembar kertas terselip di tangannya. Ditempelnya kertas itu di sana. Dibacanya sekali lagi puisi hasil tulisan tangannya itu. Tulisan yang terukir indah dari lubuk hatinya yang paling dalam. Seulas senyum mengembang di bibirnya.
  • 40. 40 Aku Bangga Menjadi Guru Dasterku Tak peduli tampilanku seperti bibi-bibi Tak peduli gayaku serupa ibu-ibu atau emak-emak Tak peduli orang menyandingkanku bak nenek-nenek Tak peduli aku pada semua itu Peduliku hanya untuk butiran keringat ibu Peduliku hanya pada tetesan air mata ibu Peduliku hanya untuk pengorbanan ayah Peduliku hanya pada harapan dan doa mereka Lalu, Mengapa aku harus gulana dan ragu Mengenakanmu, bukankah ada tanda untukku Tanda cinta, kerelaan dan pengorbanan ibu Yang tersirat indah dalam wujudmu : dasterku… Bekasi, 10 April 2010 (Untuk sulungku : sabar dan syukur adalah senjata utama dalam hidupmu, nak!)
  • 41. Berbagi 41 Orangtua Pintar vs Orangtua Hebat “Sekarang aku tahu. Ternyata ada orangtua pintar dan orangtua hebat di zaman sekarang ini.” Begitu kalimat yang diucapkan anakku Azzam pada suatu malam. Telingaku sejenak berdiri tegak. Aku tertarik mendengarnya. Wah, siap- siap aku dikritik nih, bisikku was-was. “Oh ya? Apa tuh ciri-cirinya? Coba jelaskan dong pada ibu.” Aku semakin penasaran. Aku masuk kategori mana nih dalam pandangan si kritikus ini? “Ciri orangtua pintar lebih banyak memberikan perhatian pada anaknya dengan cara memenuhi segala kebutuhan materinya saja. Uang, barang-barang, dan kemewahan. Pokoknya, apa yang diminta anak, pasti akan dipenuhi. Kalo orangtua hebat cirinya, lebih banyak membimbing dan mengarahkan kehidupan anaknya sesuai kebutuhan.” “Kalau begitu, ibu dan ayah masuk golongan yang mana?” Kejarku makin antusias. “Orangtua hebat.” Jawab anakku tanpa ekspresi, menandakan dia memang serius dan tak berniat untuk menyanjung atau ada keinginan di balik jawabannya itu. Alhamdulillah, bisikku dalam hati sambil bernapas lega. Aku jadi penasaran, siapa atau dari mana anakku tahu tentang orangtua pintar dan hebat ini? “Kamu tahu dari mana tentang orangtua pintar dan orangtua hebat ini?” “Dari Pak guru.”
  • 42. 42 Aku Bangga Menjadi Guru “Oh… begitu ya?” Subhanallah! Aku jadi terharu. Bukan karena anakku mengatakan kami orangtua hebat. Tapi lebih pada begitu besarnya peran guru dalam menyampaikan informasi positif dan membangun karakter anak didiknya. Aku jadi teringat bagaimana anak-anakku tumbuh dewasa setelah mendapat pendidikan, hatta mereka masih duduk di bangku TK. Terkadang aku surprise mendapati hal- hal baru yang mampu dilakukan anak-anakku, karena aku merasa ada beberapa bagian yang tidak kuajarkan pada mereka. Seperti bisa cebok sendiri, memakai sepatu atau baju sendiri, membaca doa harian, menulis dan membaca, dan banyak hal lain lagi yang membuat aku selalu harus mengucap subhanallah dan alhamdulillah. Seperti yang kudapati pula di sebuah sore saat pulang dari tempat bekerja. Terdengar ramai dari sebuah TPA, suara anak-anak membaca doa untuk orangtua, “Rabbighfirli waliwalidayya, warhamhuma, kamaa robbayaani shoghiroo. Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtuaku, sayangilah mereka, sebagaimana mereka mengasihi dan menyayangiku di waktu kecil.” Mendengar alunan doa itu, ada air mata haru yang menetes di pipiku. Aku membayangkan wajah tulus para guru yang sedang mengajar dengan penuh semangat. Tak peduli anak didiknya ribut atau berperilaku menjengkelkan. Dengan sabar mereka menghadapinya. Semakin banyak masalah yang dihadapi, semakin semangat mereka menaklukannya. Terima kasih guru anak-anakku, telah kau ajarkan begitu banyak hal baru pada anak-anak kami. Telah kau ajarkan do’a yang begitu indah untuk kami para ayah dan ibu.
  • 43. Berbagi 43 Dari keikhlasan bapak dan ibu guru pulalah anak-anak bisa membaca do’a itu dengan lancar. Kami tahu, doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi kami hingga tiba di yaumil hisab nanti. Semoga pahala dan keberkahan senantiasa terus mengalir atas amal yang bapak dan ibu guru lakukan pada putra dan putri kami. Amin ya rabbal alamin.
  • 44. 44 Aku Bangga Menjadi Guru Siapa Bilang Nggak Mungkin? Kalimat itu yang pertama terucap, saat rangkaian ibadah haji yang aku jalani usai. Kalimat yang terucap dengan penuh kebahagiaan dan kesyukuran atas terwujudnya mimpi yang sedari dahulu tertanam di hati, yaitu mimpi untuk pergi ke Baitullah di negeri para nabi. Bagaimana tidak bersyukur dan bahagia? Karena mendapati kenyataan, bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pergi ke sana ternyata cukup besar untuk ukuranku yang cuma seorang guru SD ini. Apalagi guru SD swasta di pinggiran kota Jakarta, gajinya kalau dihitung, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder saja. 35 juta! Bayangkan! Dari mana aku bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Kalaupun bisa dikalkulasikan, paling-paling kemungkinannya adalah harus menabung dalam jangka waktu yang cukup lama. Padahal trend ONH dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan. Maka semakin lengkaplah pembenaran sebuah statemen yang mengatakan bahwa rukun Islam yang kelima itu kan PERGI HAJI JIKA MAMPU. Ah, jika mampu ini kok. Kalau nggak mampu? Ya sudahlah! “Guru SD, bisa naik haji? Ah, mana mungkin?” “Dapat warisan kali, atau dapat tunjangan sertifikasi?” “Barangkali ada yang ngehajiin.” Yang lebih santun mungkin “Subhanallah (dalam hati berbisik, masa iya sih)” adalah kalimat tak terucap yang aku tangkap dari sorot wajah teman-teman dan yang mereka ucapkan saat mendengar berita tentang akan pergi hajinya aku waktu itu. Dengan segala rasa hormat dan
  • 45. Berbagi 45 keyakinan, aku jawab: Siapa bilang nggak mungkin? Aku telah membuktikannya! Pergi haji dengan uang yang aku kumpulkan rupiah demi rupiah. Uang gajiku sendiri. Gaji seorang guru SD! Maka dalam kesempatan ini, aku ingin berbagi kiat dan pengalaman bagaimana akhirnya bisa menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Pertama sekali yang harus ditanamkan adalah niat yang ikhlas. Kerinduan yang terus menerus. Tekad yang kuat bahwasannya ibadah haji ini adalah salah satu rukun Islam yang jika kita belum memenuhinya, maka belum sempurna ke-Islaman kita. Mohon maaf apabila pandangan ini keliru, tapi begitulah pandangan aku pribadi. Pandangan seperti itu pula lah yang memacu tekad agar aku harus bisa melaksanakan perintah Allah ini dengan segera, karena kita tak tahu, apakah besok Allah masih memberikan kita waktu untuk hidup. Aku ingin menghadap Allah, dalam keadaan sempurna rukun Islamku. Setelah menanamkan keyakinan itu, mulailah untuk melakukan aksi. Aksi pertama adalah menabung. Masih ingat lagu zaman kita kecil dahulu? Bang bing bung yok, kita nabung. Tang ting tung yok, jangan dihitung. Tahu tahu nanti kita dapat untung. Berapa pun uang yang kita punya, setelah setoran awal tabungan tentunya, kita bisa menyisihkannya untuk pergi haji. Jangan pernah dihitung atau dipikirkan. Biarkan saja mengalir apa adanya. Bolehlah sesekali dihitung dan diterawang, duh kok lama banget ya nggak ngumpul- ngumpul uangnya. Tapi itu bisa jadi menambah semangat kita untuk terus menabung dan berusaha. Putuskan mengumpulkan biaya untuk naik haji sebagai prioritas utama. Jadi, kebutuhan-kebutuhan lain yang
  • 46. 46 Aku Bangga Menjadi Guru sekiranya tidak penting-penting amat tundalah terlebih dahulu. Semisal ingin beli mobil, pasang AC, beli baju baru, HP baru, dan lain-lain. Fokuskan untuk satu tujuan itu: Naik haji! Terkadang memang sedih ketika dihadapkan pada pilihan sulit antara memenuhi kebutuhan sesuai keinginan hati yang memang penting juga, atau menabung agar cepat terkumpul biaya untuk pergi ibadah haji. Maka, hiburlah hati dengan kalimat : “Ya Allah, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk memenuhi kewajibanku atas syariat-Mu. Kurelakan menepikan hasrat dan inginku yang lain demi mendapat cinta dan ridho-Mu. Maka mudahkanlah ya Rabb.” Terakhir adalah perbanyak doa dan rendahkan hati. Karena banyak cerita yang membuktikan bahwa pergi ke tanah suci memang benar-benar panggilan dan undangan dari Allah. Banyak orang kaya dan mampu pergi, tapi hatinya belum tergerak untuk ke sana. Ada orang yang sudah siap berangkat, tak jadi pergi karena satu dua alasan atau peristiwa yang membuatnya batal pergi. Tapi bukanlah pula dijadikan alasan belum pergi haji karena belum dapat panggilan dari Allah. Bukankah sudah jelas dikatakan dalam Al-Qur’an surah Ali Imran : 97 “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.“ Wahyu Allah itulah adanya sebuah bukti, bahwa Allah sebetulnya telah memberi perintah dan memanggil kita untuk segera memenuhinya. Selagi kita bisa untuk penuhi panggilan-Nya, maka segeralah penuhi panggilan itu dengan berlari! Tunggu apa lagi? Just do it! Segera lakukan langkah awal untuk membuktikan kesungguhan bahwa kita benar- benar ingin menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Karena
  • 47. Berbagi 47 aku yakin, setiap kita pasti sangat ingin pergi haji. Mulailah menabung. Buktikan bahwa jika kita bersungguh-sungguh, maka tak ada lagi kalimat mana mungkin? Man jadda wa jadda! Keajaiban itu akan datang tanpa diduga. Allah berikan kemudahan pada kita dalam proses awal maupun akhir perjalanan ibadah haji kita. Di sana pun banyak kebahagiaan dan kedamaian yang kita temui. Kita dapat berdiri tepat di hadapan kiblat shalat kita : Ka’bah. Serasa tak ada hijab antara kita dengan Sang Pencipta. Kita bisa rasakan kehadiran Rasulullah, karena di sanalah jejak-jejak kehidupan beliau pernah ada. Kita bisa melipatgandakan pahala sampai ratusan ribu pahala ibadah di sana. Kita bisa bertemu, mengenal dan merasakan indahnya persaudaraan Islam dengan umat muslim dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Tak pandang warna kulit dan bahasa. Subhanallah, sungguh pergi haji adalah hadiah terindah yang Allah berikan di sepanjang usia kehidupanku. Wallahua’lam bish shawwab. Bekasi, 28 Januari 2011 (Jazakillah pada keluarga besar Thariq Bin Ziyad atas do’a dan dukungannya)
  • 48. 48 Aku Bangga Menjadi Guru Tuhan, Aku Membutuhkan-Mu Hari ini tepat satu bulan aku mengajar di kelas satu yang baru di tahun ajaran yang baru pula. Tahun kedelapan di mana aku kembali dipercaya menjadi wali kelas satu. Beban yang tidak bisa dianggap ringan. Karena seperti biasa, kelelahan pasti akan menjadi makananku sehari-hari di semester awal. Di hari pertama saja aku dibuat tak berdaya oleh ulah lima orang murid kecilku. Ada yang merengek terus minta ditungguin ibunya, ada yang jalan-jalan ke sana ke mari selama pelajaran berlangsung, mengganggu teman. Ada yang hobinya cuat-ciat ngajak berantem temannya. Ada yang maunya main bola saja di luar kelas. Ada yang ngoceh terus selama aku berbicara di depan kelas. Aku bicara satu kalimat, dia yang melanjutkan berkalimat-kalimat. Seru dan melelahkan! Hingga tiba di rumah, belum juga jam dinding menunjuk ke angka 7 malam, aku sudah terkapar tak berdaya di kamarku. Namun tidak seperti biasanya, aku tak bisa tidur dengan segera malam ini, padahal badan rasanya sudah penat tak karuan. Bermacam masalah kembali bermunculan satu persatu tadi siang di sekolah. Tes formatif pertama untuk murid-muridku sungguh melelahkan. Aku harus membacakan soal satu per satu dengan volume suara paling maksimal yang aku miliki. Belum lagi harus berkeliling dari satu bangku ke bangku yang lain untuk memastikan kalau muridku sudah mengerti dan menuliskan jawaban mereka dengan baik. Belum sampai soal kelima, aku mendengar
  • 49. Berbagi 49 suara tangisan di bangku barisan ketiga. Segera kuhampiri muridku yang sesenggukan itu, “Kamu kenapa, nak? Kok tiba-tiba menangis?” “Huhuhu… aku tidak bisa Bu Titin. Bagaimana menulis jawabannya, huhuhu….” “Oh, begini nak… kamu cukup menyilang huruf A, B atau C saja…” Jawabku sambil agak termangu. Ya Allah, ternyata masih ada saja yang luput dari pengawasan. Teman- teman yang lain sudah nomor 5, anak ini nomor 1 saja belum dijawab. Aduh bagaimana ini? “Bu! Bu! Air minumku tumpah nih, hiks…hiks… hiks…” Belum kelar masalah satu, di baris paling belakang ada kejadian lain lagi. Gelas Tupperware milik muridku yang lain sudah tergeletak di lantai, isinya berkeliaran memenuhi permukaan lantai, basah mendekati banjir! Belum lagi banjir oleh air mata dan suara tangisnya. Aku makin panik. Untungnya aku masih bisa menyelesaikan semua itu dengan baik. Namun baru saja aku bernapas lega dan menyandarkan tubuh di kursi ruang guru, sebuah SMS masuk ke telepon genggamku. Isinya sungguh membuatku terpaku, “Bu Titin, hari ini Racca tidak bisa masuk, kurang sehat. Katanya kemarin dipukulin sama Dimas. Apa betul Bu? Mohon penjelasannya.” Hua…. ingin rasanya aku menangis. Racca dipukul sama Dimas? Kapan ya? Kok aku sampai tidak “ngeh” begini? Mendadak kepalaku pening. Belum lima menit aku berpikir. Ada SMS berikutnya yang masuk, lebih “menyengat “ lagi kalimatnya. “Saya sangat menyesalkan kejadian ini. Apalagi ibu
  • 50. 50 Aku Bangga Menjadi Guru sebagai wali kelas tidak memberitahukan kejadian ini. Bukan apa-apa bu, saya khawatir terjadi apa-apa pada putra semata wayang saya. Kalau betul Racca sakit karena dipukul Dimas, ibu harus bertanggung jawab!” Gubrakkk! Ingin rasanya aku terbang dulu ke awan. Menghilang sejenak untuk menyembunyikan air mata yang tiba-tiba saja sudah berdesakan ingin tumpah. Aku bingung harus menjawab apa ? Kalau aku katakan aku tidak tahu kejadian ini, sungguh tidak bertanggungjawabnya aku! Tapi memang itu yang sebenarnya. Setahuku tidak terjadi apa- apa kemarin di kelasku. Dimas memang suka berantem, tapi tidak sampai seperti itu aku rasa. Racca juga memang sama bandelnya, suka meledek dan iseng. Kemampuan akademik pun masih jauh tertinggal dibanding teman-temannya. Ya Allah bagaimana ini?! Segera aku panggil Dimas yang kebetulan sedang bermain bola di halaman sekolah. Kugenggam tangannya erat. Kupeluk pundaknya hangat. Kuajak Dimas duduk di bawah rindangnya pohon mangga dan cempaka yang berjejer rapi di tepi sepanjang lapangan basket. “Anakku, boleh Bu Titin bertanya tentang kejadian kemarin. Apa betul Dimas memukul Racca? “ Tanyaku lembut. Dimas menatapku takut-takut. Lalu menjawab dengan suara terbata. “I…iya Bu. Habisnya dia duluan ngatain aku oon. Aku kan nggak mau dikatain itu.” “Oh, begitu ya? Uhm… memang bagaimana ceritanya Racca sampai berkata seperti itu pada Dimas?” “Begini bu ceritanya!” Dimas pun menceritakan kronologis kejadiannya.
  • 51. Berbagi 51 Peristiwa itu terjadi pada jam istirahat. Padahal awalnya mereka berdua bermain bersama, bercanda lalu main kata-kataan, akhirnya sampailah pada peristiwa itu. Dimas emosi dan tak terima dikatakan oon alias bloon oleh Racca. Dipukulah Racca. Racca balas memukul. Dimas balas lagi dengan lebih emosi, memukul berkali-kali. Ah, anak-anak ada saja ulah mereka yang membuat guru dan orangtua jadi bingung! Terutama aku, wali kelas mereka, yang seharusnya tahu apa yang terjadi pada murid-muridku. Tapi guru juga kan hanya manusia biasa? Butuh waktu untuk istirahat dan mengumpulkan tenaga, tidak bisa selamanya mendampingi anak-anak. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Masya Allah! Mataku belum bisa terpejam dengan nyaman juga. Lintasan-lintasan peristiwa tadi siang terus mengganggu dan mengusikku. Baru kali ini dalam sejarah aku menjadi wali kelas 1 mendapat teguran cukup keras dari orangtua murid. Tidakkah mereka tahu, betapa aku banting tulang dan mengerahkan segenap tenaga dan cara untuk mengajar dan mendidik anak-anak mereka? Anak mereka pipis atau pup di celana, siapa yang mengurusi? Anak mereka menangis dan merasa tak nyaman di sekolah, siapa yang berusaha untuk membujuk dan memeluknya? Anak mereka tidak mau makan bekal makan siangnya, siapa yang memotivasi bahkan bisa sampai menyuapinya? Kadang bahkan ada yang tidak bawa alat tulis, tidak bawa uang jajan, pasti kami tak tinggal diam. Tapi, sudahlah! Tak ada gunanya aku berkeluh kesah, aku butuh menyelesaikan hal ini secepat mungkin. Aku butuh tempat curhat sekarang juga! Segera aku bangun dari tempat tidurku. Menuju kamar
  • 52. 52 Aku Bangga Menjadi Guru mandi dan berwudhu. Menggelar sajadah dan memulai shalat malamku. Tuhan, aku ingin bertemu dengan-Mu malam ini, seperti malam-malam yang lainnya. Aku ingin bercerita tentang segalanya pada-Mu. Aku ingin berbagi resah dan gundah yang sungguh tak sanggup aku memikulnya sendiri. Aku teramat lelah ya Rabb. Tolonglah aku. Biarkan aku bisikkan pada bumi tempat keningku beradu dan bibirku mendesahkan tangis. Biarkan jiwa lemahku bersandar pada kokohnya kasih sayang-Mu. Aku hanya makhluk-Mu yang lemah dan tiada daya. Maka kupasrahkan kelemahan diri ini keharibaan-Mu, wahai Zat yang Maha Rahim. Tolong bantu aku untuk kuat dan tabah menghadapi semuanya. Tolong bantu aku agar bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik. Bantu aku juga agar bisa mendidik dan mengajak murid-muridku untuk menjadi anak yang shaleh, menjadi anak yang patuh dan mudah diarahkan. Dimas, Racca, Ghiffari, Hamzah, Baskoro, semuanya. Bantu aku juga agar bisa berkomunikasi dengan baik pada orangtua mereka, karena mereka adalah mitraku dalam mendidik dan mengajari putra dan putri mereka. Dalam untaian doa dan linangan air mata itu, kubayangkan wajah murid-murid kecilku, kubisikkan nama- nama mereka dengan khusyu’. Kulukis tawa dan keceriaan mereka di antara harapanku. Ya Allah mereka adalah amanah untukku. Maka berilah aku kemudahan dan kekuatan untuk bisa menjalankan amanah itu sebaik-baiknya. Sungguh, tak ada daya dan kekuatan diri yang lemah ini, selain kekuatan yang Kau pinjamkan untukku. Ya Rabb, seandainya aku boleh meminta, tolonglah aku. Jangan pernah tinggalkan aku. Aku akan selalu membutuhkan-Mu. Selalu membutuhkan-Mu dalam tiap detak jantung dan helaan napasku!
  • 53. Berbagi 53 Bekasi, 23 Oktober 2011 (Catatan kecil untukmu : Jadikan Allah sebagai muara dari segalanya. Bukankah sudah kau buktikan keajaiban itu Ada, karena Dia ada!!!)
  • 54. 54 Aku Bangga Menjadi Guru
  • 55. INSPIRASI Bapak Ingin… Mang Daan Pemulung Itu Belajar Kepedulian Pada Irfan Selamat Jalan Pak Karta I
  • 56. 56 Aku Bangga Menjadi Guru Bapak Ingin … Jam dinding di kantorku menunjukkan pukul 16.00. Saatnya aku mengakhiri kerja hari itu. Segera kukemas tasku dan bergegas menuju pintu gerbang sekolah untuk pulang. Dari jauh aku melihat titik kecil benda bergerak mendekat ke arahku. Perlahan titik itu membesar dan menunjukkan wujud yang makin jelas. Apalagi sesekali terdengar suara yang teramat aku kenal dari benda bergerak itu, “Pu… Sa.. puuu “. Sebuah ide mendadak muncul di kepalaku. Tukang sapu keliling itu mengingatkanku. Alat-alat kebersihan di rumah sudah tidak layak lagi untuk dipakai dan tentu saja layak untuk membeli yang baru. Segera kudekati penjual sapu yang sedang meneriakkan dagangannya dengan suara yang lantang : “Puuuu…. Sa puuuu…” Penjual sapu itu ternyata sudah sangat sepuh. Namun badannya masih terlihat kekar dan kuat. Kulitnya legam terbakar sinar matahari. Sorot matanya tajam namun ramah. Terseok-seok langkahnya menarik gerobak yang sarat dengan barang-barang dagangan. Sapu, pengki, sapu lidi, ember, bakul, dan lain-lain. Sebersit iba menyentuh hatiku. Ya Allah, aku nggak bisa membayangkan betapa berat bapak ini membawa gerobaknya berkeliling kampung menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah. Beratnya beban yang dibawa mungkin tak akan terasa jika hari itu hasil jualan yang didapat banyak. Tapi bagaimana kalau tak ada yang membeli satu barang pun?
  • 57. 57 Inspirasi Lintasan rasa empati membuatku tak berpikir dua kali. Transaksi jual beli pun terjadi. Aku membeli beberapa barang yang kuperlukan. Juga membeli barang-barang yang sebetulnya tidak terlalu aku perlukan. Rasa iba tadi yang mendorongku untuk melakukannya. Kemudian aku membayar barang-barang yang kubeli. “Ini pak uangnya, jadi berapa semuanya?” Aku menyerahkan selembar uang limapuluh ribuan. “Waduh neng, punten… nggak ada kembaliannya. Semuanya jadi tiga puluh lima ribu. Bapak baru kaluar pisan.” Jawab si bapak dengan logat sunda yang kental. “Oh, begitu ya pak. Uhm… kumaha atuh, saya nggak punya uang pas lagi.” Aku merasa tak enak juga untuk membatalkan, padahal aku sudah memegang beberapa benda di tanganku. “Ia Neng, Bapak baru kaluar. Tadi pagi habis nganter anak sekolah ke pesantren di luar kota. Jadi baru balik tadi siang. Reureuh sakedap (istirahat sebentar, red.) terus baru bapak jualan lagi. Jadi belum dapat uang, nih lihat… “ Si bapak menjelaskan panjang lebar. Terakhir dia membuka laci uangnya yang terletak menyatu di ujung gerobak. Cuma ada beberapa lembar ribuan dan beberapa keping recehan. Rasa iba menyentuhku kembali. “Uhm… baik bapak. Nggak apa-apa. Kebetulan rumah saya dekat dari sini. Kalau begitu kita ke rumah saya saja dulu. Mudah-mudahan ada uang pas di rumah.” Akhirnya aku mengajak si bapak ke rumah yang hanya berjarak satu blok dari sekolah tempatku mengajar. Si bapak pun mengikutiku dari belakang. Menyeret gerobaknya dengan penuh semangat. Sementara pikiranku
  • 58. 58 Aku Bangga Menjadi Guru me-review ulang percakapan tadi. Si bapak baru berjualan sesore ini, apa ada yang masih mau beli? Padahal baru keliling dua blok saja, pasti matahari sudah tenggelam di ujung barat sana. Berapa uang yang bisa didapatnya hari ini? Dan tadi, dia mengatakan keterlambatannya karena harus mengantarkan anaknya masuk pesantren. Subhanallah. “Bapak maaf, putra bapak di sekolahkan di pesantren mana? Bukankah di Bekasi banyak sekolah juga, gratis lagi pak.” Aku bertanya penasaran. “Eta neng, pesantren di Subang. Bapak kan memang kawit (asal) na mah dari Subang. Di sini cuma numpang cari nafkah. Ah, siapa bilang gratis neng? Tatangga bapak sekolah di negeri juga ada saja bayarannya. Lagi pula bapak ingin anak bapak nggak cuma pintar, tapi juga bisa ngaji. Ibadahnya rajin, otaknya juga cerdas. Biar kalau sudah dewasa nanti bisa jadi ustad. Jadi orang yang berguna untuk masyarakat. Nggak seperti bapak yang cuma keliling bawa gerobak, capek. Bapak teh ingin pisan neng, biar lah bapak cari uang ke sana ke sini buat biaya anak-anak sekolah. Biar mereka sekolah yang tinggi. Da kerasa sama bapak, orang bodoh teh nasibnya ya seperti bapak ini.” Jelas si bapak di antara napasnya yang tersengal menarik gerobak yang berat. Penjelasannya yang panjang dan lebar membuatku terpaku dalam keharuan. Subhanallah. Lewat sosok tua nya yang sederhana. Lewat semangatnya yang tak lekang di sengat terik sinar matahari dan terpaan debu jalanan. Lewat tatap mata yang optimis memandang kehidupan masa depan. Lewat langkah gagah menerjang badai kehidupan. Lewat perkataan bijaknya yang mengandung harapan akan pencerahan negeri ini. Aku bisa belajar satu hal : mimpi (harapan).
  • 59. Inspirasi 59 Tentang mimpi, siapa pun tidak melarang untuk bermimpi. Tidak akan ada seorang pun yang protes seindah apa kita ingin bermimpi. Mimpi itu gratis kok! Maka bermimpilah! Lukiskan impian indah tentang hari ini dan esok. Karena kehidupan tidak hanya berhenti sampai hari ini. Masih jauh dan panjang perjalanan hidup kita ke depan. Dengan adanya mimpi, kita punya harapan. Kita punya cita-cita dan tujuan yang jelas. Kita juga jadi lebih terarah menjalankan hidup. Untuk apa hidup dan ke mana kita bermuara pada akhirnya. Aku masih tertegun berdiri di pintu gerbang rumahku. Bapak penjual sapu itu kembali menarik gerobak dagangannya. Meneruskan perjalanan pencarian nafkahnya hari itu yang belum tuntas. Suaranya yang lantang terdengar semakin sayup menjauh dariku. Dan akhirnya tenggelam di ujung jalan sana. Namun ada satu kalimat ucapannya yang sampai detik aku menuliskan kisah ini masih terngiang : “Bapak ingin anak bapak menjadi orang yang pintar dan berguna untuk masyarakat neng.” Sebuah kalimat harapan dari seorang ayah pada anaknya. Harapan yang aku yakini juga dimiliki oleh para ayah di seluruh pelosok penjuru dunia. Harapan yang membuat para ayah bertahan untuk terus berusaha dan bekerja keras mencari nafkah. Menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anaknya sampai mereka mampu untuk mandiri dan berkarya. Aku menghela napas panjang. Kalimat “Bapak ingin…” seolah ditujukan untukku. Aku jadi teringat wajah para murid kecilku. Bertanya dalam benak, apakah mereka tahu dan mengerti apa yang diharapkan ayah dan ibu mereka? Apakah
  • 60. 60 Aku Bangga Menjadi Guru mereka ikut merasakan betapa ayah dan ibu mereka bekerja keras untuk kenyamanan hidup anak-anaknya? Apakah mereka. Ah, tak penting untuk mencari tahu apakah mereka yang lainnya, apalagi untuk menjawab pertanyaan itu. Yang harus aku tekadkan dan catat dalam hati adalah : Jadilah motivator bagi murid-muridku, agar mereka terpacu untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal. Menjadi manusia yang punya manfaat bagi orang-orang di sekitar. Membantu mewujudkan harapan dan cita-cita mereka. Juga harapan ayah dan ibu mereka. Mendidik dan mengajar putra dan putri yang mereka amanahkan padaku. Semoga, aku bisa penuhi harapan itu! Bismillah. “Bapak, aku ingin dan sangat ingin, memenuhi harapanmu!” Bekasi, 22 Oktober 2011 (Untuk para ayah yang dengan ikhlas berkorban demi putra/putrinya.)
  • 61. Inspirasi 61 Mang Daan (Kenangan Sosok di Masa Kanakku) Seorang teman di jejaring social facebook tak sengaja telah menginspirasiku untuk menuliskan tentang sosok sederhana yang ingin kutuliskan di sini. Tokoh yang satu ini tak seterkenal menteri pendidikan, tak sehebat Pak B.J Habiebie, tak setampan Dude Herlino atau segagah Dede Yusuf. Bahkan sebaliknya, sosok ini teramat sangat sederhana di mataku, juga di mata orang-orang kebanyakan desaku pada waktu itu. Penampilannya biasa-biasa saja. Bahkan boleh dibilang kumuh dan kusut. Seragam kesehariannya adalah sebagai berikut : Kemeja lusuh, kadang ada tambalan di beberapa tempat. Beralas kaki sandal butut, terkadang malah sepatu yang ujungnya sudah sedikit menganga. Mengepit tas kulit imitasi tanpa tali penggantung yang juga sama bututnya. Tas kulit itu berisi perkakas pekerjaannya sehari-hari, yaitu kertas gambar, pensil (yang sering diselipkannya di sela-sela kuping saat bekerja), benang jahit atau senar, jarum besar dan lem sepatu. Pekerjaan beliau memang multi talenta, kadang menjahit dan mengesol sepatu, kadang membuatkan gambar untuk anak-anak bahkan kadang pekerjaan makelar pun dilakoninya. Namun di kalangan kami, para anak-anak dan remaja, beliau lebih dikenal sebagai tukang gambar dan sol sepatu. Kalau kami ada PR menggambar, pasti yang kami tunggu di depan rumah adalah beliau. Mang (om, paman, red) Daan, begitu kami memanggil
  • 62. 62 Aku Bangga Menjadi Guru beliau. Kami selalu merindukan kehadirannya. Kalau kami tak punya PR menggambar, Mang Daan kami minta untuk bercerita tentang apa saja. Mang Daan akan dengan senang hati menceritakan pengalamannya bertemu dengan orang- orang. Mang Daan juga akan menceritakan bahwa si Anu minta digambarkan ini, si Anu pesan gambar itu. Atau Beliau akan bercerita tentang hal-hal yang ditemuinya di jalan. Ada cerita horor, cerita sedih, atau cerita lucu. Kami akan selalu senang mendengarnya. Apalagi cerita-cerita lucunya. Karena Mang Daan akan mengakhiri ceritanya dengan tawa khas beliau dan kata : kagugu nya (lucu ya, red). Mang Daan lebih mirip seorang tokoh legendaris bagi masyarakat di kampungku. Dari zaman ayah-ibuku, kakakku hingga zamanku, Mang Daan selalu setia pada pekerjaannya. Mengesol sepatu dan menjadi tukang gambar untuk anak-anak. Menggambar kuda, kambing, bebek atau apa saja yang diminta anak-anak. Tak ada yang berubah dari penampilannya. Terakhir, saat aku duduk di bangku SMA, hanya sebuah kacamata bekas, yang kadang copot sebelah lensanya, menambah asesoris penampilannya. Maklumlah, usia tak bisa dibohongi dan tak bisa menghalangi semakin melemahnya fungsi anggota tubuh. Langkah kaki Mang Daan pun tidak segagah dulu lagi. Mang Daan terkadang kulihat mengayuh PIT (sepeda, red) ontelnya dengan kayuhan yang lemah. Ada sebuah kebiasaan Mang Daan yang sungguh membuatku terkesan dan terharu. Mang Daan bukanlah orang yang pintar dan ahli. Beliau hanyalah sosok yang teramat sederhana, bahkan mungkin menduduki kasta rendah di masyarakatku. Namun Beliau mempunyai kepedulian yang
  • 63. Inspirasi 63 besar terhadap orang-orang di sekitarnya. Terutama anak- anak usia sekolah. Jika ada yang meminta jasanya untuk menggambar atau mengesol sepatu, Mang Daan tidak pernah memasang tarip berapa rupiah jasanya harus dibayar. Bahkan sering beliau memberikan jasa sol sepatu dan gambar gratis pada anak-anak yang tidak punya uang untuk membayarnya. Beliau selalu tersenyum dan tertawa menerima apa pun yang kami berikan. Beliau pasti akan bertanya, “Boga duit deh?” (punya uang tah?) Kalau ada yang menggelengkan kepala tanda tak punya uang, beliau berkata, “Geus teu naon-naon… nu penting maneh bisa sakola, teu dicarekan ku guru…” (Sudah, tidak apa-apa. Yang penting kamu bisa bersekolah dan tidak dimarahi guru). Subhanallah. Hampir lebih dari sepuluh tahun, sosok sederhana itu telah pergi menghadap Sang Khalik. Namun namanya masih kami kenang dengan lekat di memori kehidupan kami. Mungkin ada di antara kami yang pernah beliau tolong telah menjadi orang besar dan sukses. Sangat mungkin. Aku hanya bisa berharap, ketulusan dan kepedulian Mang Daan bisa dijadikan sebuah contoh teladan yang mulia bagi kita semua. Walau hanya sekedar menjahitkan sepatu yang rusak atau menggambarkan binatang, namun jika dilakukan dengan hati yang tulus dan gembira, tetap itu adalah dulang sumber pahala yang besar dan membuahkan surga bagi sang pelakunya. Mang Daan adalah salah satu tokoh pahlawan pendidikan bagiku. Kepeduliannya yang besar pada anak- anak, menurutku patut mendapatkan dua acungan jempol. Dari seorang Mang Daan lah anak-anak pada zamanku secara tidak langsung telah belajar menggambar dengan sederhana,
  • 64. 64 Aku Bangga Menjadi Guru dari seorang Mang Daan lah anak-anak bisa belajar ketulusan dalam memberi. Dari seorang Mang Daan lah anak-anak bisa pandai bercerita dan tertawa lepas. Dari seorang Mang Daan lah anak-anak bercermin bagaimana menjalani pahit getirnya hidup. Aku yakin, sedikit banyaknya Mang Daan telah memberikan inspirasi hidup buat kami. Pelajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang akan kami bawa sampai nanti. Ada sebuah catatan penting yang ingin aku garis bawahi. Bahwa ternyata ketika kita ingin memberi, jangan menunggu kita kaya terlebih dahulu. Karena memberi tidaklah identik dengan memberi dalam bentuk materi. Banyak hal yang bisa kita bagikan untuk orang lain. Keramahan kita, kepedulian kita, senyum, sapa, kasih sayang, adalah kekayaan moral yang bisa dibagi tanpa harus menunggu waktu dan kesempatan. Wallahu ‘alam bish shawab. Bekasi, 2 November 2011 (Untuk mereka yang pernah ada dalam kehidupan masa kanakku. Terimakasih karena telah mengispirasi dan berbagi. )
  • 65. Inspirasi 65 Pemulung Itu... Pagi itu seperti biasa, aku berjalan menyusuri lorong kecil menuju sekolah tempatku mengajar. Lorong kecil itu berada tepat di samping halaman sekolah. Halaman sekolah dengan jalan hanya dibatasi dinding tembok yang tinggi. Bersembulan rerimbunan daun mangga, cempaka dan beringin dari balik temboknya yang kokoh itu. Alunan murotal dari kaset yang dilantunkan terdengar jelas menyelusup telingaku. Sejuk dan indah didengar. Sesekali aku ikuti bacaannya dengan tartil. Kulihat di ujung lorong jalan, dari arah yang berlawanan, seorang pemulung tengah mengais sampah dari bak penampungan besar yang dibangun di depan sekolahku. Dia terlihat sibuk dan khusyu’ mencari dan memilah barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan. Kemudian memasukkan rongsokan-rongsokan itu ke dalam karung yang sedari tadi menggantung di bahunya. Setelah tak ada barang yang bisa diambilnya lagi, pemulung itu berjalan mendekat arahku. Ah, just PEMULUNG... bisikku, sambil meneruskan bacaan. Tapi eit... tunggu dulu! Aku menangkap sesuatu yang menarik. Bibir pemulung itu bergerak komat-kamit seperti yang aku lakukan. Oh, rupanya dari bibir pemulung itu keluar juga ayat-ayat yang dibaca dari kaset murottal. Subhanallah. Aku tertegun dalam kagum yang luar biasa! Sekali lagi, subhanallah. Ada malu yang mengguncang hati dan kesadaranku. Ya Rabb, ampuni si lemah ini. Dari kusam dan kotornya
  • 66. 66 Aku Bangga Menjadi Guru penampilan sang pemulung tadi, ternyata keluar ayat-ayat indah dari bibirnya. Dia ikut menghapal dan murojaah Al- Qur’an! Sesuatu yang hampir tak kutemui di zaman kekinian. Jangankan seorang pemulung, mereka-mereka yang lebih terhormat dan punya kedudukan terpandang di masyarakat pun tidak. Ah! Tak pantas rasanya aku berkomentar. Just for myself! Look at yourself, dear. Tak malukah kau pada sang pemulung itu? dia menghapal Al-Qur’an! dan kau?! Ayo, bangkitkan kembali semangat menghapalmu! Bergerak lewati batas juz 30! Dalam jeda waktu yang cukup lama aku masih tertegun dalam haruku. Pemulung itu telah memberiku sebuah pelajaran yang indah: Senantiasa mengingat Allah SWT dalam setiap detik dan hela napas. Bekasi, 10 Maret 2011 (Untukmu yang pernah berikrar di depan ka’bah bahwa kau akan menjaga dan memambah hapalan Qur’anmu.)
  • 67. Inspirasi 67 Belajar Kepedulian pada “Irfan” Ramadhan bulan penuh keberkahan. Sayang sekali Ramadhan telah berlalu terkejar Syawal. Kepergiannya menyisakan kesedihan di hati kita. Karena pada bulan Ramadhan lah kita saling berlomba meraih keberkahan dan ridha-Nya. Berpuasa (so pasti!), shalat tarawih, tadarus Qur’an, menyediakan makanan berbuka untuk orang-orang, dan yang paling booming adalah menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Subhanallah. Semoga keberkahan mengalir pada siapa saja yang telah berhasil mengisi hari-hari di bulan itu. Bicara tentang kepedulian pada fakir miskin dan anak yatim, tiba-tiba aku teringat peristiwa beberapa bulan yang telah lewat. Peristiwa itu terjadi pada suatu hari di sebuah pagi yang cerah. Seperti biasa aku menyiapkan murid- murid berbaris di depan kelas saat bel masuk kelas usai berdentang. Kali ini aku agak kecewa, karena tidak seperti biasanya, murid-murid kecilku masih asik duduk-duduk di kursi mereka. Ada yang bergerombol, ada juga yang duduk menyendiri. Beberapa anak saja yang sudah berdiri di depan kelas. Yang lebih membuatku “dongkol” adalah mereka tidak hanya asik duduk, tapi masing-masing mulut mereka mengulum sebatang permen kojek dengan nyamannya. Tak memperdulikan teriakanku untuk cepat keluar dan berbaris di depan kelas. Akhirnya aku bimbing tangan mereka satu per satu untuk ke luar kelas. Bayangkan! Dua puluhan anak yang harus aku gandeng! Hah… Benar-benar sebuah ujian untuk kesabaranku.
  • 68. 68 Aku Bangga Menjadi Guru “Ini kan gara-gara Irfan bu!“ Seorang murid yang sudah berdiri di depan kelas sedari tadi berbisik di telingaku. Matanya mencuri pandang pada Irfan yang dengan santainya mulai ikut berbaris. “Memangnya kenapa dengan Irfan?” Aku mulai terpropokasi. Kupandangi Irfan penuh selidik. Sosok kecil berbadan kekar itu senyum-senyum tanpa merasa berdosa. Di bahunya tersanding sebuah tas kecil yang dipasang melintang melintasi bahu dan badannya. Mirip inang-inang tukang kredit yang suka berkeliaran di pasar-pasar. “Irfan jualan permen bu. Lihat saja, teman-teman hampir semuanya makan permen.” Ups…! Betul juga! Memalukan! Ini sudah keterlaluan. Pagi-pagi seharusnya murid-muridku berbaris rapih untuk kemudian membaca ikrar, citra sekolah dan berdoa bersama. Bagaimana bisa khusyu’ melakukan semua itu, kalau mulut mereka tersumpal permen kojek? Permen kojek yang dijual Irfan! Hah… darahku sudah mulai naik ke kepala. Kemarahan sudah ada di ujung lidah. Tapi, sabar bu guru! Sebuah bisikan batin mengingatkanku. Oh, baiklah… aku akan bersabar, tapi lihat nanti di dalam kelas! Setelah anak-anak masuk kelas aku menasehati murid- muridku bahwa tidak baik makan permen pagi-pagi. Selain merusak gigi, merusak kekhusuan baris dan persiapan belajar. Kukatakan pada mereka, aku tidak melarang mereka makan atau minum, tapi ada saat-saat tertentu hal itu tak boleh dilakukan. “Iya nih bu. Gara-gara Irfan sih pake jualan permen segala.” Hampir separuh muridku berteriak menyalahkan Irfan. Tangan mereka menunjuk Irfan berbarengan. Irfan
  • 69. Inspirasi 69 merengut malu. Tapi senyum masih terpasang dengan manis di wajahnya. Aku jadi tak tega. Tapi aku tetap harus mengingatkannya. “Irfan, betul kata teman-temanmu, ibu juga tidak melarang siapa pun berjualan. Tapi ada waktu juga untuk berjualan dan barang apa yang boleh dijual. Jadi ibu mohon kalian memahami ini. Irfan, ibu nanti mau bicara sama kamu!” Kataku di depan anak-anak. Suaraku yang tegas rupanya membuat Irfan gentar juga. Tanpa diminta dia bangun dari kursinya dan menghampiriku. Kemudian tas selempangnya diberikan padaku dengan takut-takut. “Nih Bu Titin, aku kasihkan deh uang jualanku.” Aku jadi trenyuh. Tapi eit… awas, jangan-jangan ini taktik Irfan untuk menggagalkan “punishmen” yang akan aku beri untuknya. Saat bel istirahat berbunyi, Irfan kupanggil. Kemudian aku menasehatinya kembali panjang pendek, dengan gaya bahasa yang bisa dimengerti oleh anak usia kelas 1. Irfan menatapku penuh perhatian. Setelah kuanggap Irfan mengerti apa yang aku katakan, aku tersenyum dan menyuruhnya pergi. “Nah… sekarang kamu boleh istirahat dan boleh jualan lagi. Dan ingat, tolong jangan diulangi lagi apa yang terjadi pada pagi hari ini.” “Baik bu, terima kasih. Tapi ehmm…, tolong hitungkan uang hasil jualanku dong bu.” Irfan membuka tasnya kemudian mengeluarkan berlembar-lembar uang ribuan dari dalamnya. Subhanallah, banyak juga uang yang dia dapat! “Banyak sekali uangnya Fan…Betul ini hasil jualanmu semua?” Kataku setengah tak yakin. “Betul bu, nanti sore uang ini aku berikan pada mamaku
  • 70. 70 Aku Bangga Menjadi Guru untuk kusumbangkan pada korban bencana alam.” Ups! Menyumbang korban bencana alam?! Masya Allah. Sejenak aku tertegun dalam rasa kaget bercampur kagum yang luar biasa. Subhanallah. Kekaguman itu mengalir deras ke pembuluh nadi dan otakku. Air mata pun tiba-tiba menetes tanpa kuminta. Dengan haru kupeluk Irfan segera. “Betul uang ini untuk korban bencana alam anakku?” Tanyaku dalam kalimat yang terbata. “Iya! Kata mamaku, kemarin malam rumah warga kampung sebelah perumahan elit di kawasan tempat mamaku bekerja tanahnya longsor akibat hujan deras. Jadi aku ingin membantu mereka. Kasihan kan bu, rumah mereka hancur.” Oh, Irfan anakku… murid kecilku yang kadang selalu ada saja ulahnya. Ternyata kali ini aku keliru besar! Maafkan bu guru ya nak! Tanpa menunggu waktu segera kukirimkan sort message kepada mamanya. Kutulis beberapa kalimat di layar telepon genggamku. Terima kasih ibu, sudah mempercayakan pendidikan putra ibu di sekolah kami. Ananda Irfan yang saleh, telah membuat saya bangga dan meneteskan air mata haru pagi ini. Ananda berjualan permen dan memberikan uang hasil jualannya untuk korban bencana alam. Sebuah pelajaran kepedulian yang sederhana tapi luar biasa! Yang bahkan tidak sempat terpikir oleh saya, ibu gurunya. Sekali lagi kupeluk Irfan dan kucium pipinya, kubisikkan sebaris kalimat ini, “Subhanallah. Terima kasih nak, kamu murid ibu yang baik. Kamu telah berikan ibu sebuah pelajaran untuk selalu peduli pada sesama!”
  • 71. Inspirasi 71 Bekasi, September 2011 (Untuk murid kecilku Irfan)
  • 72. 72 Aku Bangga Menjadi Guru Selamat Jalan Pak Karta Pagi yang sejuk. Burung-burung kenari yang biasa bertengger di ranting-ranting pohon mangga berkicau riang. Matahari pun tersenyum mengiringi langkah kaki-kaki kecil berseragam merah putih yang mulai memasuki halaman. “Assalamualaikum, Ricky. Wah gagah sekali pagi ini.” Sapa seorang bapak tua berseragam putih biru, dengan senyum khasnya yang menyejukkan. “Ah, Pak Karta bisa aja. Bapak lebih gagah. Sayangnya gigi bapak sudah ompong. He..he…he.” Balas Ricky dengan candanya yang membuat Pak Karta, satpam sekolah kami, ikut tertawa. “Teeeet…..teeeeet….teeeeeeet…” Bel sekolah berbunyi. Anak-anak yang baru turun dari mobil jemputan mempercepat langkahnya. Yang masih berada di dalam mobil berteriak panik. “Aduh, cepetan dong, pintunya keburu ditutup nih. Lihat, Pak Karta sudah mau nutup pintu gerbang!” “Sabar Hani! Pak Karta nggak akan sejahat itu. Pak Karta kan baik.” “Iya…dulu aja, waktu aku baru kelas satu, aku kan suka nangis tuh karena takut ditinggal mamaku, eh, Pak Karta nemenin aku di luar kelas. Baik deh. Aku diceritain dongeng, lama-lama aku jadi betah di sekolah, nggak nangis lagi.” Hani jadi tenang. Mata bulatnya memperhatikan Pak Karta dari balik jendela mobil. Kakek tua itu memang baik. Walaupun beliau satpam, tapi jarang marahin anak-anak kalo
  • 73. Inspirasi 73 mereka bandel. Bahkan menganggap anak-anak seperti cucunya sendiri. Hani ingat, bagaimana paniknya Pak Karta waktu ada kakak kelas yang terjatuh dari pohon mangga. Pak Karta langsung menggendongnya ke klinik. Padahal anak yang jatuh itu nakal banget sama Pak Karta. Suka ngeledekin Pak Karta, kalau dinasehati malah melawan. “Assalamualaikum Hani! Wah, tumben nih terlambat.” Suara Pak Karta yang berat tapi lembut itu membuat hati Hani semakin tenang. “Waalaikum salam Pak Karta. Maaf Hani terlambat. Tadi macet sekali.” “Oh, begitu…ya sudah, ayo cepat masuk kelas. Lihat tuh Bu Lily sudah menunggu.” “Iya pak. Terima kasih…” Begitulah. Rutinitas pagi di sekolah kami. Anak-anak memasuki gerbang sekolah dengan riang. Disambut senyum dan sapa ramah bapak dan ibu guru. Walaupun ada di antara anak-anak yang masih kelihatan mengantuk, tapi itu pasti tidak akan berlangsung lama. Karena kemudian, mereka akan menjadi anak-anak ceria dan tak kenal lelah untuk terus bergerak dan belajar berbagai ilmu. ~~~ Pagi kembali tiba. Masih sejuk dan cerah seperti kemarin. Burung-burung kenari pun sudah memulai konsernya dari semenjak matahari bangun dari tidurnya. Mereka meloncat riang dari satu ranting pohon ke ranting yang lainnya. Beberapa orang anak berseragam hijau putih mulai memasuki pintu gerbang dengan riang seperti kemarin. “Assalamualaikum anak-anak.” Sapaan kali ini berbeda
  • 74. 74 Aku Bangga Menjadi Guru dari kemarin. Suaranya begitu lembut. Karena itu suara ibu kepala sekolah. “Waalaikum salam.” jawab mereka dengan semangat. “Pak Karta kemana bu, kok tidak kelihatan. Biasanya Pak Karta sudah menunggu kami.” Ricky bertanya penuh rasa heran. Pandangannya menyapu sudut-sudut halaman sekolah yang luas. “Pak Karta kenapa ya bu?” “Oh, iya… sepertinya hari ini beliau tidak masuk nak. Ibu kurang tahu kenapa sebabnya. Mungkin sakit.” “Oh…” Pak Karta tidak masuk hari ini. Tidak ada yang membuka dan menutup pintu gerbang sekolah kalau ada tamu. Tidak ada yang meniupkan pluitnya kalau ada yang berkelahi atau memanjat pohon mangga. Tidak ada yang mengingatkan anak-anak untuk segera berwudhu untuk shalat dzuhur atau ashar. Tidak ada juga yang mengantarkan makanan dari orang tua untuk murid ke kelas-kelas. Bahkan tidak ada yang mengingatkan anak-anak untuk memakai sepatu bila main bola di halaman. “Asyik. Pak Karta tidak masuk. Kita bisa main bola sepuasnya.” Sorak Fathur girang. Fathur paling tidak suka kalau disuruh Pak Karta push up gara-gara tidak bersepatu kalau main bola. “Yang bener?!” Dino bertanya girang. Badannya yang tambun langsung bergoyang riang, saat Fathur menjawab dengan semangat. “Sueeer! Pokoknya hari ini aku traktir kalian es bon-bon yang di depan itu. Mumpung Pak Karta gak ada. Kita bisa bebas keluar masuk pintu gerbang.” Begitulah suasana hari itu. Sekolah sedikit kacau. Tapi
  • 75. Inspirasi 75 semuanya masih berjalan lancar. Insya Allah besok akan normal kembali, seandainya Pak Karta sudah masuk. ~~~ Pukul 10. Aku tergesa-gesa memasuki pintu gerbang sekolah. Kudorong pintu gerbang dengan ujung roda motorku. Brak! Sedikit keras. Ups! “Bu guru!” Teriak murid-muridku dari dalam kelas. Suara mereka seperti sebuah koor alto. Keras dan riuh. Aduh kenapa sih. Pasti mengganggu kelas yang lain. Terburu-buru aku menuju pos satpam untuk absen. Tak ada Pak Karta di sana. Mataku terpaku pada sebuah pengumuman yang menempel di jendela kaca. Dengan rasa penasaran aku membacanya. Innalilahi wa innailaihi roji’un. Telah berpulang ke rahmatullah Bapak Karta, satpam SDIT Thariq Bin Ziyad. Pada hari ini Pukul 8.00. Astaghfirullah. Ya Allah! Dadaku berdegup kencang. Wajah Pak Karta langsung melintas di benakku. Ya Allah, laki-laki tua yang mengingatkanku pada almarhum ‘abah’ itu akhirnya dipanggil oleh Sang Pencipta. “Bu guru, Pak Karta kan meninggal.” Sebuah suara dari sampingku. Aku menoleh refleks. Kudapati sosok mungil Ela menatapku sendu. “Ela sedih deh. Baru kemaren Ela kasih kue ulang tahun. Pak Karta senang banget. Kok hari ini sudah pergi.” Bola mata Ela berkaca-kaca. Kemudian mulai terdengar isaknya. Kupeluk tubuh kecilnya penuh haru. Tak terasa pipiku pun ikut basah. Deras. Ela memelukku erat. Seperti seorang anak dan cucu yang kehilangan ayah dan kakeknya. “Bu guru, Pak Karta meninggal bu. Pak Karta meninggal.” Sekejap berikutnya anak-anak yang lain ikut merubungiku.
  • 76. 76 Aku Bangga Menjadi Guru Melihat aku menangis mereka ikut menangis. Kali ini koor alto berubah menjadi sebuah koor ‘requiem’nya mozart yang sendu. Innalillahi wa inna illaihi roji’un. Semoga Allah menerima Pak Karta di sisi-Nya. Dengan segala kedamaian kubur bagi orang-orang yang saleh. ~~~ Pagi kembali berganti. Sudah sepekan ini kulihat anak- anak setia menanti kedatangan Pak Karta di pintu gerbang sekolah. Walaupun mereka tahu Pak Karta tak akan pernah kembali. Tapi kerinduan untuk bertemu membuat mereka masih berharap sosok tua bersepeda ‘Umar Bakri’ itu akan muncul di pintu gerbang. Hani, Fathur, Ricki, Ela, Dino, dan anak-anak yang lain tak hentinya membicarakan kepergian Pak Karta. Demikian juga bapak-ibu guru dan orangtua murid. “Hani, kok belum masuk kelas. Bel kan sudah dari tadi berbunyi.” Tegurku pada Hani yang masih mematung di pintu gerbang. “Ehm… anu bu, Hani…Hani kangen sama Pak Karta.” Suara Hani terbata. Matanya berkaca-kaca. Aku merengkuh bahunya lembut. “Ibu juga kangen. Tapi mau bagaimana lagi. Kita hanya bisa berdoa semoga Pak Karta di sana bahagia. Yuk masuk, Pak Karta pasti akan senang jika anak-anak belajar dengan rajin dan tertib.” Burung-burung kenari masih berkicau di antara ranting pohon mangga. Matahari pun masih bersinar ceria. Seperti kemarin. Menemani kami belajar dengan tenang.
  • 77. Berbagi 77 Walau ada yang terasa hilang di sini. Namun kami akan tetap menyimpannya dalam kenangan yang indah. Sosokmu yang bersahaja dan ramah. Wajahmu yang memancarkan kesalehan dan ketabahan. Semangat juangmu dalam menghadapi kehidupan, akan kami jadikan teladan. Selamat jalan Pak Karta. Biarkan kami merindukanmu dan merasakan kehadiranmu di sini, di pintu gerbang sekolah kita. (Untuk Pak Karta (alm) : Terima kasih telah menjadi bagian dari kami.)
  • 78. 78 Aku Bangga Menjadi Guru
  • 79. MOTIVASI Aku Pasti Bisa I Love U, Bu Titin Mimpi Tegar Ya Rasulullah, Aku Rindu Pada-mu Aku Bangga Jadi Guru M
  • 80. 80 Aku Bangga Menjadi Guru Aku Pasti Bisa! Hari itu adalah hari yang melelahkan bagi Bu Tita, seorang guru kelas 1 sebuah sekolah dasar swasta. Padahal hari itu Bu Tita, sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Jadwal dan rencana kegiatan harian, panduan guru, bahkan alat peraga dan LKS penunjang kegiatan belajar mengajar sudah tersedia komplit. Tapi saat masuk kelas, segala rencana yang sudah terprogram dalam kepala buyar sudah. Apa pasalnya? Berawal dari tangisan Zaidan, yang pagi itu datang ke sekolah terlambat. Kelas yang semula tertib, berubah menjadi seramai pasar. Apalagi saat raungan Zaidan membahana kelas, karena tak ingin ditinggal pergi ibunya. Tangan gempalnya memegangi rok ibunya dengan erat. Sementara sang ibu berkeras melepas pegangannya. Bu Tita berusaha memegang badan bongsor Zaidan agar bisa lepas dari ibunya. Akhirnya, Zaidan bisa dipegang dan dikendalikan, setelah memakan waktu 10 menit, dengan segala bujuk rayu dan kata-kata motivasi. Namun baru saja Bu Tita mendudukkan Zaidan di kursinya, terdengar teriakan anak-anak lainnya, “Bu guru, Farel berantem sama Naufal… Farelnya nangis bu…” Hhh… napas lega Bu Tita pun mengambang di udara. Berganti dengan tumbuhnya ‘tanduk’ di kepala. Belum lagi di jam berikutnya, air minum Linda yang tumpah membasahi meja dan lantai. Dava yang BAB di celana. Faza yang tidak mau makan. Semakin menambah ‘tanduk-tanduk’ lain bertumbuhan di kepala. Bahkan ‘ekor’!