1. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS
NIKEL(II) DENGAN LIGAN ETILENDIAMINTETRAASETAT
(EDTA)
Nur Chamimmah Lailis I dan Irmina Kris Murwani*
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
*Email: irmina@chem.its.ac.id
Abstrak :
Pada penelitian ini dilakukan sintesis senyawa kompleks Ni-EDTA melalui reaksi larutan
Ni2+ dan H4EDTA. pH optimum sintesis Ni-EDTA diperoleh pada pH 10. Penentuan rumus senyawa
kompleks dilakukan dengan metode variasi kontinu sehingga diperoleh perbandingan logam Ni dan
EDTA adalah 1 : 1. Padatan kompleks Ni-EDTA berwarna biru, mempunyai serapan panjang
gelombang maksimum sebesar 584 nm dan serapan khas vibrasi logam-ligan dengan spektroskopi
infra merah pada bilangan gelombang 347 cm-1.
Kata kunci : Senyawa kompleks, Nikel (II) EDTA, sintesis, karakterisasi
1. Pendahuluan
Senyawa koordinasi adalah salah satu senyawa yang memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia. Senyawa ini terbentuk karena adanya ikatan antara ligan yang berperan
sebagai donor pasangan elektron (basa lewis) dengan ion pusat (logam) yang berperan sebagai
akseptor pasangan elektron (asam lewis).
Kajian dan penelitian tentang sintesis senyawa koordinasi juga semakin beragam. Salah
satunya adalah penelitian tentang senyawa kompleks sebagai katalis. Dari beberapa penelitian
telah dilaporkan bahwa senyawa kompleks nikel telah terbukti dapat digunakan pada proses
katalitik dalam beberapa reaksi organik seperti reaksi karbonilasi etanol menjadi asam propionat
yang menggunakan katalis senyawa kompleks [Ni(isoquinoline)4]Cl2 (Ubale, 1997) dan reaksi
hidrogenasi yang mengkonversi glukosa menjadi sorbitol dengan katalis senyawa kompleks
[Ni(EDTA)3(NO3)2] berpendukung silika (SiO2) (Schimpf, 2007). Senyawa kompleks yang bisa
dijadikan sebagai katalis harus memiliki sifat yang stabil. Salah satu senyawa kompleks yang
sangat stabil adalah senyawa kompleks yang membentuk khelat. Salah satu senyawa kompleks
yang memiliki tingkat kestabilan cukup tinggi adalah senyawa kompleks Nikel(II)-EDTA yang
memiliki Kstab = 18.62 (Underwood, 2002). Pada penelitian ini disintesis dan dikarakterisasi
senyawa kompleks nikel(II)-EDTA yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai katalis.
2. Metodologi
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia yang
memiliki kemurnian pro analisis (p.a) meliputi nikel(II) triklorida heksahidrat NiCl2.6H2O, H4EDTA
(Titriplex II), NH4OH dan akuades. Selanjutnya akan dilakukan karakterisasi dengan UV-VIS, FTIR,
dan XRD.
Tahapan dalam sintesis senyawa kompleks Ni-EDTA adalah penentuan panjang
gelombang maksimum, pengaruh pH pada pembentukan senyawa kompleks dan penentuan rumus
senyawa kompleks dengan metode variasi kontinu. Sintesis senyawa kompleks dilakukan dengan
2. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
mereaksikan larutan H4EDTA (titriplex II) dan NiCl. Larutan campuran tersebut dipanaskan sampai
tepat jenuh kemudian didiamkan selama beberapa hari hingga terbentuk padatan kristal. Kristal
yang terbentuk disaring dan diletakkan pada cawan porselen lalu di oven 90° hingga cukup kering.
3. Hasil dan Pembahasan
Penentuan Panjang Gelombang Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2-
Hasil reaksi NiCl2 dan EDTA diukur dengan spektrofotometer UV-VIS pada panjang
gelombang 400-780 nm. Dari hasil analisis diperoleh bahwa panjang gelombang maksimum
senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- adalah 584 nm. Jika dibandingkan dengan panjang gelombang
maksimum NiCl2 yaitu sebesar 658 nm, maka terjadi pergeseran ke arah panjang gelombang yang
lebih pendek seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pergeseran ini dipengaruhi oleh ligan EDTA
yang merupakan ligan dengan medan kuat (Sukardjo, 1992). Senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2-
memiliki warna biru, sehingga senyawa kompleks tersebut menyerap panjang gelombang pada
daerah kuning (580-595) nm (Underwood, 2002).
Gambar 1. Panjang Gelombang Maksimum Senyawa NiCl2 ( )
dan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2- ( )
Pengaruh pH Pada Pembentukan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2-
Pembentukan senyawa kompleks sangat dipengaruhi oleh pH. Pengamatan pengaruh pH
pada pembentukan kompleks terlihat pada Gambar 2. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa
senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- mulai terbentuk pada pH 5 sedangkan pH optimum terdapat pada
pH 10, karena pada pH tersebut absorbansi senyawa kompleks menunjukkan nilai paling besar.
Hal ini menunjukkan bahwa akibat perubahan pH larutan, konsentrasi senyawa kompleks yang
terbentuk juga mengalami perubahan.
3. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Gambar 2. Pengaruh pH Pada Pembentukan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2-
Penentuan Rumus Senyawa Kompleks dengan Metode Variasi Kontinu
Rumus senyawa kompleks nikel-EDTA ditentukan melalui metode variasi kontinu. Hasil
menunjukkan bahwa perbandingan mol antara Ni2+ dan ligan EDTA adalah 1 : 1. Hasil penentuan
rumus senyawa kompleks dapat diamati pada Gambar 3. Pada gambar tersebut titik potong
terdapat pada perbandingan fraksi mol EDTA 0,5. Hasil perbandingan ini menunjukkan bahwa satu
mol ligan EDTA dapat berikatan dengan satu mol nikel(II) sehingga dihasilkan perbandingan mol
nikel(II) : EDTA adalah 1 : 1 dan membentuk senyawa koordinasi [Ni(EDTA)]2- (Bhat, dkk. 1965).
Gambar 3. Penentuan Stoikiometri Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2-
4. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Berdasarkan hasil penentuan rumus stoikiometri tersebut maka dapat diperkirakan bahwa
senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- mempunyai struktur oktahedral seperti yang dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2-
Karakterisasi Senyawa Kompleks dengan Spektrofotometer Inframerah
Karakterisasi senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- dilakukan pada bilangan gelombang 300-4000
cm-1. Pada karakterisasi ini dibandingkan spektra antara senyawa kompleks yang terbentuk
[Ni(EDTA)]2- dan ligan EDTA seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Spektra inframerah EDTA ( ) dan [Ni(EDTA)]2- ( )
5. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Spektra EDTA (Gambar 5) diperoleh dengan menganalisis padatan H4EDTA (titriplex II).
Pada gambar diatas terlihat bahwa terdapat serapan O-H pada daerah 3400 cm-1 tidak terlalu tajam
karena EDTA yang dianalisis bukan garam EDTA yang memiliki air hidrat. Sedangkan serapan N-H
terlihat sangat tajam pada daerah 3100 cm-1. Gugus fungsi C=O terlihat pada 1697 cm-1 sedangkan
vibrasi COO- yang berasal dari ester pada 1396 cm-1 sedangkan frekuensi vibrasi C-C untuk alkana
muncul pada serapan 1200-800 cm-1.
Pada spektra [Ni(EDTA)]2- diatas, dapat dilihat bahwa terdapat serapan melebar O-H muncul
pada daerah 3410 cm-1 yang mengindikasikan bahwa senyawa koordinasi [Ni(EDTA)]2-
mengandung air kristal. Sedangkan serapan N-H muncul pada daerah 3200 cm-1. Serapan C=O
muncul pada 1600 cm-1 sedangkan vibrasi C-O yang berasal dari ester pada 1396 cm-1. Vibrasi C-O
yang berasal dari ester menunjukkan serapan yang sangat tajam dibandingkan dengan serapan
pada ligan bebasnya, hal ini karena vibrasi dari C-O pada senyawa ini terikat pada logam Ni
sehingga intensitasnya meningkat. Frekuensi vibrasi C-C untuk alkana muncul pada serapan 1200-
800 cm-1. Serapan vibrasi ikatan antara logam Ni dengan ligan terlihat pada bilangan gelombang
300-600 cm-1, vibrasi ikatan Ni-N terlihat pada bilangan gelombang 347 nm. Hal ini sesuai dengan
literatur yang menyebutkan bahwa vibrasi ikatan logam dengan gugus N dari ligan akan muncul
pada bilangan gelombang 300-390 cm-1. Sedangkan vibrasi Ni-O dari ligan EDTA muncul pada
bilangan gelombang 470 cm-1. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa vibrasi
logam dengan gugus O dari ligan akan muncul pada bilangan gelombang 600-400 cm-1 (Nakamoto,
1978).
Identifikasi Senyawa Kompleks dengan Difraktometer Sinar-X
Padatan senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- hasil sintesis dianalisis XRD untuk mengetahui
komponen penyusunnya. Difraktogram hasil analisis disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Difraktogram Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2-
6. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
4. Kesimpulan
Senyawa kompleks nikel(II)-EDTA telah berhasil disintesis dengan perbandingan mol ligan
dan atom pusat = 1:1. pH maksimum pembentukan senyawa kompleks adalah pH 10. Berdasarkan
hasil penentuan rumus molekul senyawa kompleks dan analisis FTIR yang membuktikan adanya
vibrasi logam nikel ke ligan EDTA, maka [Ni(EDTA)]2- diperkirakan mempunyai struktur oktahedral.
Daftar Pustaka
Bhat, R.T., Radhamma, D. & Shankar, J., (1965), “ Studies on EDTA Complexes : Mixed
Complexes of Copper (II), Nickel (II) and Cobalt (II) Versenates with Pyridine, Hydrazine,
Hydroxylamine, Ethylenediamine and Propylenediamine “, Journal Inorganic Nuclear
Chemistry, Vol. 27, hal. 2641-2651.
Nakamoto K., 1978, Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compound, Third
Edition., John Wiley and Sons Inc, New York.
Schimpf, S., Louis, C & Claus, P., (2007), “ Ni/SiO2 catalysts prepared with ethylenediamine nickel
precursors : Influence of the pretreatment on the catalytic properties in glucose
hydrogenation “, Applied Catalysis A: General , Vol. 318, hal. 45–53.
Sukardjo., 1992, Kimia Koordinasi, Edisi Ketiga, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Ubale, R.S., Kelkar, A.A. & Chaudari, R.V. (1997), “Carbonylation of ethanol using Ni-isoquinoline
complex catalyst: Activity and selectivity studies”, Journal of Molecular Catalysis A :
Chemical, Vol.118, hal. 9-19.
Underwood, A. L. & Day, R.A, (2002), Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
7. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
ESTERIFIKASI ASAM LEMAK BEBAS DARI
LIMBAH MINYAK SAWIT MENTAH DENGAN METANOL DAN
KATALIS KAOLINIT TERIMPREGNASI AlCl3
Harlia, Thamrin Usman, Nelly Wahyuni, Winda Rahmalia
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Tanjungpura
Jl. A Yani Pontianak, 78124
Email: rahmalia_mipa@yahoo.com
Abstrak
Telah dilakukan sintesis metil ester dengan metode esterifikasi terhadap asam lemak bebas
limbah minyak sawit mentah menggunakan katalis kaolinit terimpregnasi AlCl3. Variabel yang dikaji
pada proses esterifikasi adalah waktu reaksi dan konsentrasi katalis AlCl3. Hasil penelitian
menunjukkan waktu reaksi dan konsentrasi katalis optimum masing-masing 1 jam dan 4 % dengan
persentase konversi produk mencapai 79,86 %. Metil ester yang dihasilkan telah dianalisa sifat
fisika yang meliputi indeks bias 1,454, kerapatan 0,880 g/mL (250C) dan viskositas 6,975 cSt
(250C).
Kata kunci: kaolinit, AlCl3, esterifikasi, metil ester, limbah minyak sawit mentah
8. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
PENGGUNAAN ISATIN SEBAGAI
INHIBITOR KOROSI BAJA SS 304 DALAM LARUTAN
ASAM *
Harmami dan Adrian Gunawan
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Phone : 08883077956, e-mail: harmami@chem.its.ac.id
Abstrak
Penggunaan isatin sebagai inhibitor korosi baja SS 304 dalam media asam dipelajari
dengan menggunakan metode pengurangan massa, polarisasi potensiodinamik, serta analisis
Scanning Electron Microscopy (SEM). Dari data pengurangan massa maupun data polarisasi
menunjukkan nilai efisiensi inhibisi ( % EI ) sebanding dengan konsentrasi inhibitor yang
ditambahkan dan berbanding terbalik dengan kenaikan temperatur. Data konstanta Tafel
menunjukkan bahwa Isatin dapat bertindak sebagai inhibitor katodik dan anodik (tipe inhibitor
campuran). Analisa SEM menunjukkan perbedaan tekstur permukaan spesimen yang direndam
pada media asam tanpa dan dengan penambahan Isatin 12.5 mM, dimana tanpa penambahan
inhibitor, tekstur permukaan lebih banyak berlubang dan kasar. Proses adsorpsi inhibitor pada
permukaan logam diduga diawali dengan adsorpsi fisika dan kemudian dilanjutkan dengan adsorpsi
kimia. Adsorpsi kimia dimungkinkan karena luas pelingkupan permukaan logam meningkat seiring
dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor.
Kata kunci: Inhibitor, Isatin , baja tahan karat 304, dan efisiensi inhibisi..
1. Pendahuluan
Stainless Steel (SS) 304 merupakan baja nirkarat yang paling banyak diproduksi
dibandingkan baja nirkarat yang lainnya dan banyak digunakan baik untuk peralatan rumah tangga
maupun untuk keperluan industri karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan tipe 316
maupun tipe yang lain. Baja tipe 304 disebut sebagai baja tahan tahan karat karena dapat
membentuk lapisan oksida logam pasif pada permukaannya. Namun demikian dalam lingkungan
asam yang korosif , lapisan tahan karat tersebut tidak dapat terbentuk dan logam akan mengalami
korosi. Dalam penggunaannya, baja 304 sering mengalami proses cuci asam, sehingga dalam
proses tersebut, baja 304 pasti akan mengalami korosi.
Berbagai upaya telah banyak dilakukan untuk mencegah atau setidaknya mengurangi laju
korosi dalam suatu proses cuci asam, antara lain dengan penggunaan inhibitor, yakni suatu zat
yang ditambahkan dalam jumlah kecil dalam larutan cuci asam untuk menghambat laju korosi
(Thretwey, 1991).
Inhibitor korosi dapat berasal dari bahan anorganik (kromat, dikromat, oksalat, dll) atau
organik (berbagai jenis minyak dan ekstrak bahan alam). Inhibitor dari bahan anorganik saat ini
sudah mulai ditinggalkan karena sifatnya yang tidak ramah lingkungan dan bisa menjadi katalis
korosi apabila konsentrasinya tidak tepat (Surya, 2004)
Inhibitor korosi dari bahan organik lebih dipilih karena memiliki afinitas yang cukup tinggi
pada logam, nilai effisiensi yang tinggi, serta ramah lingkungan. Effektivitas senyawa organik
9. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
sebagai inhibitor sangat dipengaruhi oleh keberadaan heteroatom (O, N, P, dan S), gugus polar,
ikatan π, serta pasangan elektron bebas yang menjadi sarana bagi inhibitor untuk melakukan
chemisorpsi / berikatan dengan logam secara koordinasi (Spinelli dkk, 2009).
Isatin (1) adalah senyawa turunan indole dengan 2 gugus karbonil di nomor 2 dan 3. Gugus
karbonil yang berada di nomor 3 (karbonil golongan keton) sangat reaktif. Sedangkan karbonil pada
nomor 2 memiliki sifat seperti amida.
Gambar 1. Struktur Isatin (1)
Penggunaan Isatin sebagai inhibitor laju korosi baja 304 dikaji dalam larutan asam
khususnya larutan 1M HCL dan dikaji pula pengaruh temperatur.larutan tersebut terhadap efisiensi
inhibisinya.
2. Metodologi
Alat dan Bahan
Alat
Botol timbang, neraca analitis, gelas beker, alumunium foil, plastik, kertas gosok, labu ukur, buret,
erlenmeyer. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah termostat, potensiostat, dan
Scanning Electron Microscopy (SEM).
Bahan
Isatin, Asam Klorida Pekat (37%), SS 304, Aquabidest, Aseton, Natrium Hidroksida, dan Asam
Oksalat
Prosedur Kerja
Pembuatan Spesimen Baja SS 304
Baja SS 304 dipotong dengan dimensi 3 x 3 x 0.1 cm3 yang digunakan dalam pengukuran
dengan menggunakan metode pengurangan berat dan analisis dengan SEM, sedangkan untuk
pengukuran dengan metode polarisasi, baja yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter
1,4 cm, tebal 0.1 cm. Baja terlebih dahulu digosok dengan kertas gosok grade 500 dan 1000
berturut-turut, kemudian dicuci dengan aquadest dilanjutkan dengan aseton, dan dibilas lagi
dengan aquades serta dikeringkan.
Pembuatan Media Korosi
Media korosi yang digunakan adalah larutan HCl 1M tanpa inhibitor, larutan HCl 1M
dengan penambahan inhibitor (isatin) dengan variasi konsentrasi 2.5 mM – 12.5 mM
10. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Metode Pengurangan Massa
Spesimen ditimbang dengan neraca analitis kemudian direndam dalam larutan 1M HCL
tanpa dan dengan penambahan inhibitor masing-masing selama 3 jam pada variasi temperatur
larutan, 35oC, 40 oC, 45 oC, 50 oC, 55 oC. Masing-masing perlakuan dilakukan pengukuran tiga kali
ulangan.
Effisiensi inhibisi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
%IE=
Wo-Wi
Wo
×100 %
Dimana Wo pengurangan massa spesimen pada media korosi tanpa inhibitor, dan Wi
adalah pengurangan massa spesimen pada media korosi dengan inhibitor.
Metode Polarisasi Potensiodinamik
Metode ini dilakukan untuk mengetahui nilai berbagai parameter korosi (arus korosi,
potensial korosi, konstanta Tafel katodik dan anodik). Instrumen yang digunakan adalah
Potensiostat type PGS 201 T dengan sel 3 elektroda. Elektroda acuan adalah tipe calomel (SCE),
elektroda bantu berupa platina dan elektroda kerja adalah spesimen baja berbentuk silinder.
Elektroda kerja, elektroda bantu, dan elektroda pembanding di rangkai menjadi suatu sel dengan
larutan elektrolit berupa media korosi tanpa inhibitor atau media korosi dengan inhibitor.
Sel kemudian dihubungkan dengan potensiostat dan komputer untuk membaca data yang
diperoleh. Metode polarisasi dilakukan pada suhu kamar. Efisiensi inhibisi (IE) dihitung
menggunakan Persamaaan :
%IE=
Io-Ii
Io
×100 %
dimana Io merupakan densitas arus korosi pada media
korosi tanpa inhibitor dan Ii pada media korosi dengan inhibitor.
Analisa SEM
Spesimen hasil metode pengurangan berat, dianalisa permukaannya dengan
menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dengan perbesaran 10.000 kali. Spesimen
yang digunakan adalah hasil rendaman pada media korosi tanpa inhibitor dan media korosi dengan
inhibitor yang memiliki nilai %IE maksimum yaitu dengan penambahan Isatin 12.5 mM
Penentuan nilai Energi Aktivasi (Ea)
Nilai pengurangan berat pada media korosi tanpa dan dengan inhibitor pada berbagai
temperatur dialurkan sebagai fungsi 1000/T. Nilai Ea diketahui dari slope.
3. Hasil dan Diskusi
Metode Pengurangan Massa
Pengurangan massa merupakan metode selain elektrokimia yang dapat digunakan untuk
menentukan laju korosi dan effisiensi inhibisi. Metode ini sederhana dan praktis dilakukan, akan
tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk perendaman (Spinelli dkk, 2009). Pengurangan
massa tersebut terjadi karena logam terdestruksi dan larut menjadi keadaan teroksidasinya yang
diakibatkan oleh adanya reaksi kimia antara logam dengan lingkungannya.
Metode ini dilakukan pada temperatur yang bervariasi, yakni mulai dari temperatur Kamar,
35°C, 40°C, 45°C, 50°C, dan 55 OC. Untuk temperatur kamar tidak membutuhkan instrumen
11. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
tambahan. Sedangkan untuk temperatur lain digunakan instrumen berupa termostat yang dapat
menjaga temperatur dengan konstan. Grafik yang menyatakan hubungan antara konsentrasi isatin
dengan efisiensi inhibitor (%EI), dapat dilihat pada gambar 2.
Metode pengurangan massa menunjukkan effisiensi maksimum yang berhasil dicapai
adalah sebesar 73.90% pada isatin 12.5 mM di suhu kamar, sedangkan nilai minimum sebesar
42.0% pada isatin 2.5 mM dan suhu 55°C. Metode ini menunjukkan fakta bahwa saat konsentrasi
isatin meningkat (pada temperatur yang sama) maka jumlah massa yang berkurang akan semakin
kecil (laju korosi berkurang) sehingga effisiensi inhibisinya (%EI) akan meningkat. Hal tersebut
karena semakin luas permukaan spesimen yang dilingkupi oleh inhibitor akibat dari peristiwa
adsorpsi inhibitor di permukaan baja dan juga semakin berkurangnya serangan ion H+ dan Cl- pada
baja akibat bereaksi dengan isatin.
Penelitian lain yang dilakukan Quraishi dkk pada 2008 menunjukkan pola sama dengan
yang terjadi pada penelitian ini. Penelitian tersebut menggunakan inhibitor N-(Piperidinomethyl)-3-
[(pyridylidene)amino]isatin (PPI) (sebuah turunan isatin) untuk menginhibisi korosi dari baja lunak
pada media HCl, ternyata memiliki nilai %EI yang semakin besar saat konsentrasi PPI meningkat.
Nilai %EI maksimum yang dicapai adalah 94%, yaitu pada saat konsentrasi isatin 300 ppm. Saat
PPI yang ditambahkan melebihi 300 ppm, tidak terjadi perubahan yang signifikan dari nila%EI.
Efektivitas dari PPI ditentukan oleh keberadaan ikatan rengkap dan elektron bebas yang terdapat
dalam PPI.
Peningkatan temperatur dari media ternyata meningkatkan jumlah pengurangan massa
yang mengakibatkan nilai %EI turun. Hal ini dikarenakan peningkatan difusi ion – ion dalam media
dan meningkatkan jumlah oksigen terlarut, sehingga reaksi parsial elektrokimia akan semakin cepat
dan proses pelarutan logam juga meningkat. Pada media korosi dengan inhibitor yang
mengandung inhibitor, kenaikan temperatur akan mengakibatkan proses desorpsi dari inhibitor jika
adsorpsinya merupakan fisisorpsi (Harmami dkk, 2006). Grafik yang menunjukkan hubungan
antara temperatur dengan %EI pada berbagai konsentrasi isatin dapat dilihat pada gambar 3
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
0 2,5 5 7,5 10 12,5
% Effisiensi Inhibisi
Konsentrasi Isatin (mM)
Kamar
35°C
40°C
45°C
50°C
55°C
Gambar 2. Grafik Hubungan Antara Konsentrasi Isatin dengan %EI pada Berbagai Temperatur Media
12. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
80,00
75,00
70,00
65,00
60,00
55,00
50,00
45,00
40,00
30 35 40 45 50 55
% Effisiensi Inhibisi
Temperatur (°C)
2.5
5
7.5
10
12.5
Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Temperatur Media dengan Nilai %EI pada Berbagai
Konsentrasi Isatin
Hal yang berbeda terjadi saat PPI digunakan sebagai inhibitor korosi pada berbagai variasi
temperatur. PPI akan menghasilkan nilai %EI yang meningkat pada saat temperatur media
meningkat. Perbedaan ini diakibatkan oleh adanya perbedaan jenis adsorpsi yang terjadi pada PPI
dan isatin. Fisisorpsi terjadi pada molekul isatin sedangkan PPI mengalami kemisorpsi yang
didahului oleh fisisorpsi. Pada peristiwa kemisorpsi dibutuhkan energi yang cukup tinggi yakni untuk
membentuk ikatan antara adsorbat dan adsorben, sehingga pada saat temperaturnya meningkat
maka pembentukan ikatan akan lebih mudah dan cepat terjadi. Luas permukaan yang terlingkupi
nantinya juga akan bertambah saat temperatur naik dan mengakibatkan semakin tingginya nilai
%EI pada penggunaan PPI.
Perbedaaan jenis adsorpsi dan nilai %EI pada isatin dan PPI dikarenakan perbedaan
struktur diantara kedua inhibitor tersebut. PPI adalah turunan isatin dengan molekul yang lebih
besar dibandingkan isatin sehingga luas pelingkupannya pada logam akan lebih besar dibanding
isatin pada konsentrasi sama, sehingga nilai %EI PPI akan lebih besar dibandingkan isatin.
Perbandingan struktur PPI dan isatin, ditampilkan pada gambar 4. PPI memiliki lebih
banyak heteroatom (4 atom N dan 1 atom O), molekul isatin memiliki 2 atom O dan 1 atom N,
sehingga memungkinkan PPI lebih mudah melakukan ikatan koordinasi (kemisorpsi) dengan logam
melalui PEB yang ada di heteroatom tersebut. Isatin sendiri dengan jumlah PEB yang lebih sedikit
akan lebih sulit melakukan kemisorpsi dengan logam, sehingga hanya terjadi fisisorpsi.
Keberadaan heteroatom pada PPI tersebut juga akan mengakibatkan lebih banyaknya ion
H+ yang tertangkap oleh PPI dibandingkan pada isatin. Karena dua hal yang disebutkan tersebut
maka nilai %EImax pada PPI yang mencapai 94% menjadi lebih tinggi dibandingkan %EImax pada
isatin yang hanya mencapai 73.90%.
(a) (b)
Gambar 4. Perbandingan Struktur antara (a) PPI dan (b) Isatin
13. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Perhitungan Energi Aktivasi (Ea)
Perhitungan nilai energi aktivasi (Ea) menggunakan data dari metode pengurangan massa.
Nilai logaritma natural (ln) jumlah pengurangan massa (Δw) pada larutan dengan konsentrasi isatin
yang sama dialirkan pada fungsi 1000/T. Gambar 5 menampilkan hasil pengaluran data tersebut.
-2,5
-3
-3,5
-4
-4,5
-5
3 3,1 3,2 3,3 3,4
1000/T (K-1 )
0 mM
2.5 mM
5 mM
7.5 mM
10 mM
12.5 mM
Gambar 5. Grafik Hubungan antara ln ΔW vs 1000/T
ln Δw
Berdasar persamaan Arhennius nilai slope yang diperoleh dari persamaan garis tersebut
adalah nilai dari –Ea/R. Nilai Ea diperoleh dengan mengalikan nilai slope dengan konstanta gas
ideal (R) sebesar 8.314 J/mol. Grafik yang menyatakan hubungan antara energi aktivasi (Ea) dan
konsentrasi inhibitor yang digunakan dapat dilihat pada gambar 6.
Energi Aktivasi (Kj/mol) Konsentrasi Isatin (mM)
R² = 0,9344
14
12
10
8
6
4
2
0
0 2,5 5 7,5 10 12,5
Gambar 6. Grafik Hubungan Energi Aktivasi (Ea) dan Konsentrasi Isatin
Nilai Ea maksimum diperoleh sebesar 12.22 kJ/mol dan Ea minimum sebesar 6.79 kJ/mol.
Terjadi sedikit penurunan nilai Ea pada saat konsentrasi isatin mencapai 12.5 mM, nilai Ea
seharusnya lebih besar dari 12.22 kJ/mol tetapi faktanya hanya mencapai 12.14 kJ/mol. Hal
tersebut dimungkinkan karena pengaruh kelarutan isatin pada 12.5 mM yang tidak sempurna meski
14. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
telah dilakukan pengadukan dan pemanasan selama 15 menit, akan tetapi hal tersebut tidak terlalu
berpengaruh pada kinerja isatin sebagai inhibitor korosi.
Berdasar data dapat diketahui bahwa energi aktivasi dalam media korosi dengan inhibitor
lebih besar dibanding dalam media korosi tanpa inhibitor, dan nilai energi aktivasi cenderung naik
saat konsentrasi isatin meningkat. Energi aktivasi yang semakin besar juga identik dengan nilai
%EI yang semakin besar. Hal ini dikarenakan secara termodinamik, nilai Ea yang besar akan
mengakibatkan korosi lebih lambat dan sulit terjadi, sehingga laju korosi dalam media yang sudah
ditambahkan inhibitor akan mengalami penurunan dan nilai %EI akan meningkat.
Pada penelitian lain juga ditemukan inhibisi korosi yang menghasilkan nilai Ea meningkat
pada saat inhibitor ditambahkan, seperti yang dilaporkan oleh Xianghong dkk pada 2009 saat
menggunakan 6-benzylaminopurine sebagai inhibitor korosi. Nilai Ea pada media tanpa inhibitor
mencapai 51.86 kJ/mol, sedangkan nilai Ea pada media dengan inhibitor masksimum (300 mg/L)
mencapai 120.25 kJ/mol. Peningkatan energi aktivasi ini terjadi karena energi yang dibutuhkan oleh
H+ untuk mengkorosi baja meningkat karena terganggu oleh hadirnya inhibitor dan mengakibatkan
laju korosi menurun.
Pada penelitian Spinelli dkk pada 2009 yang menggunakan asam kaffeat sebagai inhibitor
korosi pada baja lunak dalam asam sulfat, ditemukan fenomena nilai Ea pada media tanpa inhibitor
yang lebih besar dibanding pada media dengan inhibitor, dimana hal tersebut dihubungkan dengan
terjadinya peristiwa kemisorpsi dari asam kaffeat pada permukaan baja. Nilai Ea yang sama pada
media tanpa dan dengan inhibitor juga dapat terjadi, oleh karena itu tipe inhibitor korosi
diklasifikasikan menjadi 3 golongan :
i. %EI turun dengan naiknya temperatur, maka Ea dengan inhibitor > Ea tanpa inhibitor.
Menandakan adanya fisisorpsi dari inhibitor pada permukaan logam, dan kerja katodik dari
inhibitor.
ii. %EI naik dengan naiknya temperatur, maka Ea dengan inhibitor < Ea tanpa inhibitor.
Menandakan adanya kemisorpsi dari inhibitor pada permukaan logam
iii. %EI tidak berubah saat temperatur berubah, maka Ea dengan inhibitor = Ea tanpa inhibitor
(Xianghong dkk, 2009)
Isatin pada penelitian ini termasuk golongan (i), sehingga dapat dikatakan bahwa Isatin
merupakan inhibitor yang teradsorp secara fisika pada permukaan logam.
Metode Polarisasi Potensiodinamik
Nilai arus korosi (Icorr) dan potensial korosi (Ecorr) pada proses korosi baja SS 304 dalam
media korosi dapat diketahui dengan menggunakan metode polarisasasi potensiodinamik.
Instrumen untuk metode ini adalah potensiostat PGZ 201 T dengan sistem 3 elektroda yang
terdapat di PTAPB – BATAN Jogjakarta.
Baja SS 304 dengan ketebalan 1 cm dipotong berbentuk silinder dengan diameter 1.4 cm,
spesimen terlebih dahulu digosok dengan kertas gosok, untuk membersihkan kerak, kotoran dan
lapisan oksida yang terdapat di permukaan baja, kemudian dicuci dengan aquabidest, aseton, dan
dibilas dengan aquabidest. Spesimen kemudian dikeringkan.
Spesimen di uji polarisasi potensiodinamik dengan sistem 3 elektroda, spesimen sebagai
elektroda kerja (WE), platina sebagai elektroda bantu (AE), dan SCE sebagai elektroda reference
(RE), sedangkan untuk elektrolit digunakan larutan HCl tanpa inhibitor dan dengan inhibitor. Media
korosi pada metode ini diencerkan 10 kali dari media korosi pada metode pengurangan massa. Hal
tersebut dilakukan karena keterbatasan instrumen potensiostat tersebut. Metode Polarisasi
potensiodinamik dijalankan dengan scan rate 20 mV/s pada range -2500 mV sampai 1000 mV.
Icorr maksimum diperoleh pada media korosi tanpa inhibitor dengan nilai sebesar 101.9 μA,
sedangkan nilai minimum diperoleh pada saat konsentrasi Isatin 1.25 mM sebesar 46.99 μA. Dapat
disimpulkan bahwa inhibisinya akan cenderung meningkat pada saat konsentrasi Isatin semakin
15. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
meningkat sampai konsentrasi 12.5 mM, dengan nilai % EI minimum sebesar 26.4 % dan
maksimum sebesar 53.88 %
Hasil dari polarisasi ditampilkan dalam gambar 7, 8, dan 9 sebagai berikut :
Gambar 7. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1 M (1) dan HCl 0.1 M dengan Isatin 0.25 mM (2)
Gambar 8. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1M dengan Isatin 0.5mM (3) dan HCl 0.1 M dengan
Isatin 0.75mM (4)
Gambar 9. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1 M dengan Isatin 1.0 mM (5) dan HCl 0.1 M
dengan Isatin 1.25 mM (6)
16. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Nilai berbagai parameter korosi (Icorr, Ecorr, βa, βc, dan % EI) pada berbagai kondisi yang
dihasilkan dari metode ini disampaikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Nilai Berbagai Parameter Korosi Baja SS 304
pada Media HCl 0.1 M dengan Hadirnya Isatin pada T kamar
[Inhibitor] Ecorr icorr βa -βc % EI
0 mM -862.2 101.9 563.7 273.8 -
0.25 mM -904.8 74.58 591.4 240.7 26.8106
0.5 mM -904.5 74.29 563.3 197.6 26.48675
0.75 mM -783.6 61.16 291.1 172 39.98037
1mM -853.1 57.53 338.9 173.8 43.54269
1.25 mM -836.9 46.99 226.3 136.3 53.88616
Hubungan antara % icorr dengan konsentrasi Isatin dapat dilihat pada gambar 10.
R² = 0,9023
150
100
50
0
0 0,25 0,5 0,75 1 1,25
Densitas Arus Korosi
Konsentrasi Isatin (mM)
Gambar 10 Grafik Hubungan icorr dengan Konsentrasi Isatin.
Nilai potensial korosi (Ecorr) yang naik turun dimungkinkan oleh adanya proses adsorpsi
Isatin di permukaan baja SS 304 saat polarisasi tidak stabil. Akan tetapi inhibisi korosi tetap
berlangsung, hal itu terbukti dari nilai Icorr yang terus menurun saat ditambahkan Isatin.
Nilai konstanta tafel anodik pada tabel 1 diatas menunjukkan perubahan yang tak teratur,
hal ini menunjukkan bahwa adsorpsi Isatin di permukaan spesimen lemah dan mudah lepas yang
merupakan ciri dari adsorpsi secara fisika. Fisisorpsi ini terjadi akibat adanya interaksi elektrostatik
antara inhibitor dengan permukaan logam. Sedangkan nilai konstanta tafel katodik, menunjukkan
nilai penurunan yang teratur dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor, hal tersebut menunjukkan
bahwa isatin bekerja cukup baik di sisi katodik, yaitu dengan mengurangi laju reduksi ion H+
menjadi H2
Pada penelitian Isatin yang lain, oleh Quartarone dkk (2003), terdapat peristiwa kemisorpsi
antara isatin dengan Cu yang di buktikan oleh spektrofotometri uv-vis. Nilai βc pada penelitian
Quartarone ini menunjukkan bahwa Isatin juga bekerja dengan baik pada sisi katoda dengan
menghambat laju reduksi H+ menjadi H2. Hal diatas menunjukkan bahwa Isatin adalah tipe inhibitor
campuran.
17. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Mekanisme Inhibisi Korosi
Inhibitor korosi dapat bekerja menghambat korosi dengan berbagai jalan dan persitiwa
adsorpsi inhibitor pada permukaan logam merupakan satu mekanisme untuk inhibitor korosi type
anodik. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa inhibitor organik disukai sebagai
inhibitor, karena perilakunya yang memiliki afinitas tinggi pada logam dan ramah lingkungan.
Afinitas senyawa organik sangat dipengaruhi oleh keberadaan heteroatom (N, O, P, S), PEB, dan
ikatan rangkap (Spinelli dkk, 2009).
Jenis adsorpsi yang terjadi, apakah fisisorpsi, kemisorpsi, ataupun kemisorpsi yang
didahului fisisorpsi sangat tergantung pada struktur inhibitor itu sendiri, jenis logam dan keadaan
media (pH, Temperatur, dan jumlah inhibitor). Molekul isatin dapat teradsorp secara kimia pada
permukaan logam yang ditunjukkan dengan pembentukan kompleks Cu-Isatin dalam media H2SO4
0.5 M yang dibuktikan dengan spektrofotometri uv-vis. Isatin berperan sebagai basa lewis yang
mendonorkan PEB, sedangkan logam sebagai asam lewis akan menangkap PEB tersebut,
sehingga terbentuk senyawa kompleks. Senyawa kompleks tersebut akan menutup sebagian
permukaan logam dan menghambat pelarutan dari logam. Proses kemisorpsi seperti ini
membutuhkan energi yang cukup tinggi dan waktu kontak yang lama. Pola kemisorpsi yang terjadi
dapat diuji dengan cara fitting terhadap berbagai persamaan isothermal adsorpsi (Quartarone dkk,
2003)
Fisisorpsi terjadi apabila hanya ada interaksi dipol-dipol antara inhibitor dan logam,
adsorpsi model ini lemah dan mudah lepas. Fisisorpsi akan terjadi apabila struktur inhibitor tidak
memungkinkan untuk mendonorkan pasangan elektron bebas (PEB) nya pada logam. Fisisorpsi
inhibitor di permukaan logam ditemukan pula pada penelitian Harmami dkk (2003) yang
menggunakan 4-metil imidazole untuk inhibitor korosi baja 316L. Fisisorpsinya diketahui dari nilai
energi bebas Gibbs (ΔG) yang rendah, dan nilai energi aktivasi korosi saat ditambahkan inhibitor
korosi menjadi lebih besar. “Fitting” membuktikan bahwa inhibitor tersebut mengikuti pola
Freundlich. Proses fisisorpsi tersebut bisa diikuti dengan kemisorpsi, hal itu dapat dilihat dengan
meningkatnya fraksi pelingkupan permukaan logam seiring dengan peningkatan konsentrasi
inhibitornya.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa isatin pada awalnya teradsorp secara fisika pada
permukaan logam, hal ini diketahui dari nilai βa yang berubah tidak beraturan. Nilai βa tersebut
menunjukkan kalau adsorpsi isatin di permukaan logam lemah dan mudah lepas, sama seperti ciri
dari fisisorpsi. Nilai energi aktivasi pada media korosi dengan inhibitor yang lebih besar
dibandingkan pada media korosi tanpa inhibitor juga menunjukkan adanya fisisorpsi seperti pada
penelitian Behpour dkk pada tahun 2009.
Ditinjau berdasarkan struktur, isatin memang kurang mampu untuk mendonorkan PEB
pada logam, hal ini terkait dengan terbatasnya PEB yang dimiliki dan adanya delokalisasi elektron
pada isatin yang melibatkan PEB dari atom N dan O sehingga mempersulit donor PEB oleh isatin
pada logam.
Keberadaan fisisorpsi sebenarnya kurang menguntungkan untuk proses inhibisi korosi,
karena ikatan antara inhibitor dan logam yang lemah dan mudah lepas yang memungkinkan
peristiwa korosi masih bisa terjadi, akan tetapi pada penelitian ini diketahui bahwa isatin juga
berperan pada sisi katodik dengan menghambat laju reduksi dari H+ melalui pembentukan senyawa
isatin yang terprotonasi (H-Isatin)+ yang kemudian dapat membentuk garam klorida Isatin (H-isatin)+
Cl—. Sulitnya H+ dan Cl- untuk bereaksi dengan logam pada hadrinya isatin akan
mengakibatkan nilai Ea meningkat, hal ini terbukti pada penelitian ini, dimana nilai Ea pada media
korosi dengan inhibitor lebih besar dibanding Ea pada media korosi tanpa inhibitor.
18. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy)
Spesimen SS 304 hasil pengurangan massa pada media korosi tanpa inhibitor (HCl 1M
tanpa Isatin) dan media korosi dengan inhibitor yang menghasilkan nilai effisiensi maksimum (HCl
1M + Isatin 12.5 mM) dianalisa dengan menggunakan SEM pada perbesaran 5.000 kali. Tujuan
dari analisa ini adalah untuk mengetahui kerusakan akibat korosi yang terjadi pada permukaan baja
setelah direndam dalam media korosi. Hasil dari analisa SEM pada 2 spesimen tersebut
ditampilkan pada gambar 11 a dan b.
Dari hasil analisa SEM tersebut menunjukkan bahwa pada permukaan baja yang direndam
dalam media HCl 1M tanpa isatin mengalami kerusakan yang lebih dibandingkan baja yang
direndam dalam HCl dan Isatin 12.5 mM. Terlihat lebih banyak cacat di permukaan akibat serangan
H+ dan Cl- pada gambar a dibanding gambar b. Cacat logam tersebut terjadi karena adanya bagian
logam yang teroksidasi dan larut akibat peristiwa korosi. Pada gambar b yang menunjukkan cacat
yang lebih sedikit dibandingkan gambar a menunjukkan bahwa korosi telah terhambat oleh
kehadiran isatin. Hal tersebut menunjukkan bahwa isatin bertindak sebagai inhibitor korosi.
(a) (b)
Gambar 11. Hasil SEM spesimen SS 304 pada larutan HCl 1M tanpa
Isatin (a) dan dengan Isatin 12.5 mM (b) (perbesaran 5000x)
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa isatin dapat
digunakan sebagai inhibitor korosi untuk baja SS 304 dalam larutan HCl.. Dari data hasil
pengukuran dengan menggunakan metode pengurangan dan polarisasi potensiodinamik
menunjukkan bahwa nilai efisiensi inhibisi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi
isatin dengan nilai efisiensi sebesar 73.90% pada konsentrasi isatin 12,5 mM. Efisiensi inhibisi
tersebut akan turun seiring dengan peningkatan temperatur media. Nilai energi aktivasi yang
meningkat menunjukkan terjadinya inhibisi korosi, serta data parameter korosi menunjukkan bahwa
isatin adalah tipe inhbitor campuran, yang bekerja pada sisi anodik dan katodik. Proses adorpsi
inhibitor pada permukaan logam diawali dengan adsorpsi fisika dan dilanjutkan dengan adsorpsi
kimia.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :
1. Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) di Babarsari Yogyakarta yang telah memberikan
ijin untuk menggunakan alat potensiostat.
2. LPPM ITS yang telah mengijinkan untuk penggunaan SEM
19. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Daftar Pustaka
Behpour, M, S.M. Ghoreishi, N. Soltani, M. Salavati-Niasari (2009), “The inhibitive effect of some
bis-N,S-bidentate Schiff bases on corrosion behaviour of 304 stainless steel in
hydrochloric acid solution” Corrosion Science 51 : 1073 – 1082
Da Silva, Joaquim F. M, Simon J. Garden and Angelo C. Pinto (2001) “The Chemistry of Isatins: a
Review from 1975 to 1999” J. Braz. Chem. Soc., Vol. 12, No. 3 : 273-324,
Harmami, Hendro Juwono, Agus W., Yusuf P., M.Yusuf dan Nurhayati* (2003), “study of 4-methyl
imidazole as corrosion inhibitor of 316L austenitic steel in acidic media” Majalah IPTEK 17
: 35 – 39
Hasnan, Ahmad, S., (2006),”Mengenal Baja”, (http://www.oke.or.id/)
Honeycombe, R.W.K., (1995),“Steels Microstructure and Properties”, Second Edition, Edward
Arnold, London
Indocor, (1999), Pelatihan Ahli Korosi Muda, Indocor, Bandung
Jones, D.A (1996),”Principles and preventation of corrosion”, Second Edition, Prentice Hall, Inc.,
United States of America
Migahed, M.A, dkk (2005), “Effectiveness of some non ionic surfactants as corrosion inhibitors for
carbon steel pipelines in oil fields” Electrochimica acta 50 : 4683 – 4689.
Mulyono, (2006), “Kamus Kimia”, Bumi Aksara, Jakarta
Oxtoby, David W, (2001), “ Kimia Modern, Edisi Keempat Jilid 1”, Erlangga, Jakarta
Quartarone, G, T. Bellomi, A. Zingales (2003), “Inhibition of Copper Corrosion by Isatin in Aerated
0.5 M H2SO4” Corrosion Science 45 : 715 – 733
Quraishi, M.A, Ishtiaque A, Ashish K S, Sudhish K S, B. Lal, Vakil Singhb (2008), “N-
(Piperidinomethyl) -3 [(pyridylidene)amino] isatin: A new and effective acid corrosion
inhibitor for mild steel” Materials Chemistry and Physics 112 : 1035 - 1039
Spinelli, A , FS. De Souza (2009), ”Caffeic acid as a green corrosion inhibitor for mild steel”
Corrosion Science 51 : 642 – 649
Surya, Indra, D., (2004),“Kimia Dari Inhibitor Korosi”, UNSUD, Sumatra Utara
Thretwey, Kenneth R dan John Camberlein, (1991), “Korosi untuk Mahasiswa Sains dan
Rekayasa” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Xianghong Li, Shuduan Deng, Hui Fu, Guannan Muc (2009), “Inhibition effect of 6-benzyl
aminopurine on the corrosion of cold rolled steel in H2SO4 solution” Corrosion Science 51
: 620 – 634
20. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
VALIDASI METODE PENGUKURAN LOGAM DALAM
LIMBAH ELEKTROPLATING DENGAN METODE AAS
(ATOMIC ABSORPTION SPECTROPHOTOMETER)
Yatim Lailun Ni’mah, Irmina Kris Murwani dan Ita Ulfin
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Abstrak
Telah dilakukan validasi metode F-AAS (Flame – Atomic Absorption Spectrophotometric)
untuk penentuan kandungan logam Mn, Cu, Zn, dan Fe dalam limbah elektroplating. Parameter
validasi meliputi sensitivitas, accuracy (kecermatan), precission, linieritas LOD, LOQ. Hasil Validasi
metode AAS untuk penentuan logam Cu, Zn, Fe, dan Mn diperoleh uji linearitas memberikan nilai
R2 masing-masing adalah 0,999; 0,996; 0,999 dan 0,999. Nilai presisi untuk logam tersebut
berturut-turut adalah , 0,1594; 0,020267; 0,0228 dan 0,044 dan sensitivitasnya berturut-turut
0,1379; 0,217; 0,9624 dan 0,4993. Sedangkan nilai LOD nya adalah 5,48x10-3 ; 4,08x10-3; 0,067
dan 0,0168 dan nilai LOQ nya adalah 0,0183; 0,0136; 0,2235 dan 0,0559. Konsentrasi logam Fe,
Mn, Cu dan Zn dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563
dan 1,033 ppm.
1. Pendahuluan
Di laboratorium Lingkungan ITS yang terdapat di Research Center memiliki beberapa
peralatan / instrument yang dapat digunakan untuk menentukan pengukuran kualitas dan kuantitas
parameter untuk lingkungan. Diantara instrument yang ada yaitu Spektrofotometer Serapan Atom
(Atomic Absorption Spectrophotometer). Instrument tersebut dapat digunakan untuk pengukuran
analisa beberapa logam. Sebelum di lakukan untuk pengukuran sampel, maka sebelumnya
instrument tersebut perlu di lakukan validasi metode agar data hasil pengukuran yang diperoleh
memiliki nilai yang ukurat. Jika pada pengukuran diperoleh data dengan penyimpangan yang terlalu
besar, maka kesalahan pengukuran tidak dapat diterima, jadi hasil analisis tersebut tidak valid.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai validasi metode penentuan beberapa
konsentrasi logam yang sering diukur dengan instrumen tersebut. Pengukuran konsentrasi logam
dengan AAS perlu divalidasi agar data yang diperoleh lebih presisi dan akurat. Pada penelitian ini
dilakukan optimasi dalam pengukuran logam menggunakan AAS dengan beberapa parameter
validasi yaitu sensitivitas, accuracy (kecermatan), precission, linieritas dan rentang, LOD dan LOQ.
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu,
berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi
persyaratan untuk penggunaannya.
Kecermatan (Accuracy) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis
dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali
(recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analisis sangat tergantung pada sebaran
galat sistematik di dalam keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai
kecermatan yang tingi hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi galat sistematik tersebut
seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang
baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur.
Kriteria kecermatan sangat tergantung kepada konsentrasi analit dalam matriks sampel dan
pada keseksamaan metode (RSD). Vander Wielen, dkk menyatakan bahwa selisih kadar pada
21. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
berbagai penentuan (Xd) harus 5% atau kurang pada setiap konsentrasi analit pada mana prosedur
dilakukan.
Keseksamaan (Precision) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara
hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan
secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen.
Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien
variasi). Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan
(reproducibility). Keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis
yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Keterulangan dinilai melalui
pelaksanaan penetapan terpisah lengkap terhadap sampel – sampel identik yang terpisah dari
batch yang sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal. Ketertiruan
adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pad kondisi yang berbeda. Biasanya analiosis
dilakkan pada laboratorium – laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut
dana analis ayang berbeda pula. Analisis dilakukan terhadap sampel – sampel yang diduga identik
yang dicuplik dari batch yang sama.
Keseksamaan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
a. Hasil analisis adalah X1, X2, X3,…..Xn, maka simpangan bakunya adalah :
Σ -
( ( X X
)2
1
-
=
n
SD
b. Simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (KV) adalah :
RSD = SD/X
x100%
SD
X
KV =
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara
langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap
konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi
analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas
yang dapat diterima.
Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r pada analisis
regresi linier Y = a + bX. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau -1
bergantunga pada arah garis. Sedangakan nilai a menunjukkan kepekaan analisis terutama
instrumen yang digunakan.
Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih
memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas deteksi merupakan parameter
uji batas. Batas kuntitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas
terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama.
Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu
menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen batas
tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada
analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blanko beberapa kali lalu
dihitung simpangan baku respon blanko dan formula dibawah ini dapat digunakan untuk
perhitungan,
Q =
k . S
b SI
22. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Q = LOD (batas deteksi) atau LOQ (batas kuantitasi)
k = 3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuantitasi
Sb = simpangan baku respon analitik dari blanko
SI = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b
pada persamaan garis y = a + bx)
Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari
kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = a + bx,
sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x).
Batas deteksi (LOD)
Karena k = 3 atau 10, simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka :
LOD =
3Sy / x
SI
Batas kuantitasi (LOQ)
LOQ =
10Sy / x
SI
Metode AAS memiliki prinsip kerja pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap
cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada
panjang gelombang ini memiliki cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik dari atom–atom
logam.
Metode AAS sering digunakan untuk analisis logam karena ketelitiannya sampai tingkat
yang sangat kecil, tidak memerlukan pemisahan pendahuluan. Kemungkinan untuk menentukan
konsentrasi semua unsur sampai pada ppm. Sebelum pengukuran tidak selalu memisahkan unsur
yang ditentukan karena kemungkinan penentuan satu unsur dengan kehadiran unsur lain.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi penentuan logam (Tembaga, Seng , Besi
dan Mangan) dari sampel limbah elektroplating dengan Spektofotometer Serapan Atom.
2. Metode Penelitian
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah Satu unit alat Spektrofotometer Serapan Atom, Mikropipet,
pipet volume, pipet tetes, gelas ukur, beker gelas, neraca analitik, dan labu ukur. Sedangkan bahan
yang digunakan adalah padatan Seng (II) nitrat Zn(NO3)2.9H2O, padatan tembaga (II) nitrat trihidrat
Cu(NO3)2.3H2O, HCl, Larutan standar Cu, Zn, Fe dam Mn digunakan sebagai larutan standar
kalibrasi, kertas saring whatman, HNO3 65%, NaOH, aquades, aqua DM dan sampel limbah
industri elektroplating.
Prosedur Kerja
Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Fe, Cu, Mn dan Zn
Larutan induk Fe, Cu dan Mn 1000 ppm masing-masing dipipet sebanyak 10 ml kemudian
dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1%
hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan tembaga dengan konsentrasi 100 ppm. Larutan ini
kemudian dipipet sebanyak 0; 1; 5; 10; dan 20 mL kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml
dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh
larutan tembaga dengan konsentrasi 0; 1; 5; 10; dan 20 ppm. Larutan Fe dianalisa dengan AAS
pada λ 249,3 nm, dengan tipe nyala AA (udara-asetilen), sensitivitas 0,045 ppm, range kerja 2,5 –
10 ppm dan batas deteksi 0,006 ppm. Larutan Mn dianalisa dengan AAS pada λ 279,5 nm, dengan
tipe nyala AA (udara-asetilen), sensitivitas 0,021 ppm, range kerja 1 – 4 ppm dan batas deteksi
23. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
0,002 ppm, lalu masing – masing dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan harga absorbansi (A)
terhadap konsentrasi larutan(C).
Sedangkan pembuatan kurva kalibrasi Zn dilakukan dengan cara : larutan induk seng 1000
ppm dipipet sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan
menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan Seng dengan
konsentrasi 100 ppm. Larutan ini kemudian dipipet sebanyak 0; 1; 2; 3; dan 4 mL kemudian
dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1%
hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan Seng dengan konsentrasi 0; 1; 2; 3 dan 4 ppm.
Selanjutnya dianalisa dengan SSA pada λ 357,9 nm, dengan tipe nyala AA (udara-asetilen), lalu
dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan harga absorbansi (A) terhadap konsentrasi larutan(C).
Pengukuran konsentrasi Fe, dan Mn dalam sampel limbah industri
Sampel berupa air limbah di ambil 1 mL kemudian ditambah HNO3 1 % 3 tetes,
dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL kemudian diencerkan sampai tanda batas. Sampel diukur
kadar Cu, Fe dan Mn dengan menggunakan SSA.
3. Hasil dan Pembahasan
Persiapan instrumen diawali dengan pemeriksaan lampu yang terpasang pada alat AAS
dan dicatat pada nomor berapa lampu tembaga, besi mangan dan seng terpasang. Sebelum alat
AAS digunakan untuk mengukur sampel, semua kondisi harus dicek dalam keadaan benar,
misalnya gas dan udara sudah mengalir, cooling water pada burner sudah nyala, air pada drill pot
tidak boleh kosong, penampung buangan sudah terpasang, panjang gelombang sudah sesuai
untuk logam yang diukur, dll.
Analisa yang dilakukan yaitu pembuatan kurva kalibrasi dari logam tembaga, besi, mangan
dan seng serta uji linieritas untuk masing-masing logam tersebut serta uji yang lain (presisi, akurasi,
selektivitas, LOD dan LOQ).
Hasil yang sudah didapatkan dari penelitian ini yaitu berupa data hasil uji linieritas, uji
presisi, selektifitas, LOD dan LOQ untuk logam mangan, seng, besi dan tembaga.
Kurva kalibrasi dibuat dengan mengukur absorbansi dari larutan standar yang telah
diketahui konsentrasinya dengan menggunakan AAS pada λ maksimum tertentu untuk masing-masing
logam. Kemudian dengan mengalurkan nilai absorbansi terhadap konsentrasi dari larutan
standart dan berdasarkan hukum Lambert Beer akan diperoleh suatu persamaan garis lurus
melalui regresi linier. Persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi ini yang digunakan untuk
menghitung konsentrasi logam dalam cuplikan.
Uji Linieritas
Pembuatan Kurva kalibrasi Logam Tembaga, Besi dan Mangan
Kurva kalibrasi logam tembaga (Cu) dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar
logam tembaga dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20 ppm yang diukur dengan AAS pada l 324,7 nm.
Dari data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan
standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi
liniernya. Kurva kalibrasi logam tembaga ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.
24. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
y = 0,0309x + 0,0021
R² = 0,9999
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0 5 10 15 20 25
Absorbansi
Konsentrasi Tembaga (ppm)
Gambar 1. Kurva kalibrasi larutan standar tembaga
Kurva kalibrasi logam besi dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam besi
dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20 ppm yang diukur dengan AAS pada l 248,3 nm. Dari data yang
diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar
tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya.
Kurva kalibrasi logam besi ditunjukkan pada Gambar 2.
y = 0,0044x + 0,0002
R² = 0,9999
0,1
0,08
0,06
0,04
0,02
0
0 5 10 15 20 25
Konsentrasi Besi (ppm)
Gambar 2. Kurva kalibrasi larutan standar besi
Absorbansi
Kurva kalibrasi logam mangan dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam
mangan dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20, ppm yang diukur dengan SSA pada l 279,5 nm. Dari
data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan
standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi
liniernya. Kurva kalibrasi logam mangan ditunjukkan pada Gambar 3.
25. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
y = 0,0089x - 0,0007
R² = 0,9996
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0 5 10 15 20 25
Gambar 3. Kurva kalibrasi larutan standar mangan
Keabsahan kurva kalibrasi diatas dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi
(R2) atau uji kelinieran yang menyatakan ukuran kesempurnaan hubungan antara konsentrasi
larutan standar dengan absorbansinya.
Korelasi dikatakan sempurna jika nilai R2 mendekati +1. sedangkan nilai nol menyatakan
tidak ada korelasi antara dua variabel yang diamati. Berdasarkan Gambar 1, 2 dan 3 didapatkan
nilai R2 untuk Logam Cu, Fe dan Mn adalah 0.999. Harga R2 yang diperoleh mendekati +1, maka
dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik-titik pada kurva kalibrasi
mendekati garis lerengnya.
Pembuatan Kurva kalibrasi Logam Seng
Kurva kalibrasi logam seng dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam
seng dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4, ppm yang diukur dengan SSA pada l 213,9 nm. Dari data
yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar
tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya.
Kurva kalibrasi logam mangsengan ditunjukkan pada Gambar 4.
0,08
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
Gambar 4. Kurva kalibrasi larutan standar seng
Absorbansi
Konsentrasi Mangan (ppm)
y = 0,0184x + 0,0018
R² = 0,996
0
0 1 2 3 4 5
Absorbansi
Konsentrasi Seng (ppm)
26. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Keabsahan kurva kalibrasi diatas dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi
(R2) atau uji kelinieran yang menyatakan ukuran kesempurnaan hubungan antara konsentrasi
larutan standar dengan absorbansinya. Korelasi dikatakan sempurna jika nilai R2 mendekati +1.
Sedangkan nilai nolmenyatakan tidak ada korelasi antara dua variabel yang diamati. Berdasarkan
Gambar 4. didapatkan nilai R2 = 0.996. Harga R2 yang diperoleh mendekati +1, maka dapat
disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik-titik pada kurva kalibrasi mendekati
garis lerengnya.
Uji Presisi Alat AAS
Uji presisi ini mengacu kepada kesepakatan di dalam satu kelompok hasil eksperimen.
Kesepakatan ini tidak berdampak apa pun terhadap hubungannya dengan nilai yang sebenarnya.
Uji presisi ini meliputi SD (standar deviasi), RSD dan CV, dimana masing-masing uji tersebut
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Σ -
( ( X X
)2
1
-
=
n
SD
x100%
SD
X
RSD =
CV = RSD x 100%
Uji presisi ini diambil dari salah satu data uji linieritas yang tepat berada pada garis linier,
sehingga untuk tiap-tiap logam berbeda-beda konsentrasi yang digunakan. Untuk logam Zn, titik
yang tepat berada pada garis linier adalah pada konsentrasi 1 ppm. Sedangkan untuk logam Mn,
Fe dan Cu, titik yang berada pada garis linier adalah pada konsentrasi 5 ppm. Data untuk masing –
masing logam ada pada Tabel 1 - 4
Tabel 1. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Mn
No Konsentrasi
Absorbansi
1 2 3 4 5 6 Rata-rata
1 Blanko 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0002 0.0001 0.000117
2 1 0.0088 0.0088 0.0088 0.0088 0.0087 0.0088 0.008783
3 5 0.0442 0.044 0.044 0.0441 0.044 0.0437 0.044
4 10 0.0849 0.0851 0.0852 0.085 0.0849 0.0846 0.08495
5 20 0.1767 0.1757 0.1763 0.1766 0.1761 0.177 0.1764
Tabel 2. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Cu
No Konsentrasi
Absorbansi
1 2 3 4 5 6 Rata-rata
1 Blanko 0.0001 0.0001 0.0002 0.0001 0.0002 0.0002 0.00015
2 1 0.0307 0.0306 0.0307 0.0307 0.0306 0.0306 0.03065
3 5 0.16 0.1596 0.1596 0.1594 0.1585 0.1593 0.1594
4 10 0.3171 0.3178 0.3154 0.3152 0.3156 0.3157 0.316133
5 20 0.6161 0.6165 0.6138 0.6147 0.6163 0.6148 0.615367
27. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Tabel 3. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Fe
No Konsentrasi
Absorbansi
1 2 3 4 5 6 Rata-rata
1 Blanko 0.0002 0.0002 0.0004 0.0004 0.0002 0.0003 0.000283
2 1 0.0043 0.0044 0.0042 0.0044 0.0044 0.0043 0.004333
3 5 0.023 0.0228 0.0228 0.0228 0.0229 0.023 0.022883
4 10 0.0442 0.0442 0.0441 0.0441 0.0442 0.0441 0.04415
5 20 0.0874 0.0873 0.0873 0.0875 0.0871 0.0871 0.087283
Tabel 4. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Zn
No Konsentrasi
Absorbansi
1 2 3 4 5 6 Rata-rata
1 Blanko 0.0003 0.0004 0.0004 0.0003 0.0004 0.0006 0.0004
2 1 0.0202 0.0202 0.0202 0.0204 0.0203 0.0203 0.020267
3 2 0.0411 0.041 0.041 0.041 0.0411 0.0412 0.041067
4 3 0.0588 0.0591 0.0588 0.0587 0.0587 0.0588 0.058817
5 4 0.0734 0.0735 0.0735 0.0733 0.0732 0.0735 0.0734
Data pada Tabel 1 – 4 adalah berbagai konsentrasi standar logam Mn, Cu, Fe dan Zn yang
diukur sebanyak enam kali. Konsentrasi yang digunakan untuk menghitung uji presisi alat adalah
pada data dicetak tebal. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai SD untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn
berturut – turut adalah 0,0112; 9,1 x10-3; 0.0224; dan 3.01 x 10-3. Nilai RSD untuk logam Mn, Cu,
Fe dan Zn berturut – turut adalah 2,03 x10-3 ; 1,73 x 10-3; 0.00392 2.82 x 10-3. Sedangkan Nilai CV
untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn berturut – turut adalah 0,203 % ; 0,173 % 0,392 % dan 0,282 %.
Nilai CV (%) untuk presisi single operator dan rekomendasi range untuk metode AAS
langsung dan ekstraksi logam, std method 21st ed AWWA, APHA 3111B) adalah 2,9. CV (%) baik
bila memenuhi syarat yaitu CV (%) percobaan ≤ CV (%) metode standart. Semua data diatas
(logam Mn, Fe, Cu dan Zn) menunjukkan nilai CV (%) ≤ 2,9.s
Uji Sensitivitas Alat AAS
Kepekaan (S) adalah konsentrasi analit yang memberikan nilai absorbansi = 0,0044
ekivalent dengan 1 % T (transmitansi). Kepekaan dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut :
S = 0,0044 (C1/A1)
Dimana:
C1 : Konsentrasi analit dalam larutan kalibrasi
A1 : Absorbansi rata-rata larutan kalibrasi C1
Data untuk perhitungan uji sensitivitas untuk tiap logam terdapat pada Tabel 4.5 – 4.8.
Dari hasil perhitungan nilai sensitivitas untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn berturut – turut adalah
0,4993 ; 0,1379 ; 0,9624 dan 0,217.
Uji sensitivitas alat memenuhi syarat bila sensitivitas percobaan ≤ 1,25 sensitivitas alat.
28. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Limit Deteksi.
Larutan blanko yang digunakan adalah larutan blanko yang yang telah dispike menjadi
larutan yang mengandung konsentrasi logam sebesar 0,001mg/L. Data untuk tiap logam terdapat
pada Tabel 4.5 -4.8 yang ada tulisan blanko.
Limit deteksi ada 2, yaitu LOD (batas deteksi) dan LOQ (batas kuantitasi). LOD dan LOQ dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
LOD =
3Sy / x
SI
dan LOQ =
10Sy / x
SI
Dimana :
Sy/x = simpangan baku respon analitik dari blanko
SI = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b
pada persamaan garis y = a + bx)
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai LOD dan LOQ untuk logam Mn, Fe, Cu dan Zn berturut
– turut adalah 0,0168 dan 0,0559 mg/L ; 0,067 dan 0,2235 mg/L; 5,48 x 10-3 dan 0,0183 mg/L;
4,08 x 10-3 dan 0,0136 mg/L.
Hasil uji presisi, sensitivitas, batas deteksi dan batas kuantitasi, secara ringkas disajikan dalam
Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Rangkuman Data Uji Validasi Metode AAS Untuk
Semua Logam Uji
Mn Fe Cu Zn
RSD 2.03 x 10-3 0.00392 1.73 x 10-3 2.82 x 10-3
CV 0.203 0.3919 0.173 0.282
S 0.4993 0.9624 0.1379 0.217
LOD 0.0168 0.067 5.48 x 10-3 4.08 x 10-3
LOQ 0.0559 0.2235 0.0183 0.0136
Hasil pengukuran kadar logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam limbah
Elektroplating
Nilai absorbansi yang didapat dari pengukuran dengan AAS untuk keempat logam (Fe, Mn,
Cu dan Zn) yang di ukur dimasukkan kedalam persamaan regresi linier sehingga didapatkan
konsentrasi logam tersebut dalam limbah elektroplating. Nilai konsentrasi logam Fe, Mn, Cu dan Zn
dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563 dan 1,033 ppm.
4.Kesimpulan
Hasil Validasi metode AAS untuk penentuan logam Cu, Zn, Fe, dan Mn diperoleh uji
linearitas memberikan nilai R2 masing-masing adalah 0,999; 0,996; 0,999 dan 0,999. Nilai presisi
untuk logam tersebut berturut-turut adalah , 0,1594; 0,020267; 0,0228 dan 0,044 dan
sensitivitasnya berturut-turut 0,1379; 0,217; 0,9624 dan 0,4993. Sedangkan nilai LOD nya adalah
5,48x10-3 ; 4,08x10-3; 0,067 dan 0,0168 dan nilai LOQ nya adalah 0,0183; 0,0136; 0,2235 dan
0,0559. Konsentrasi logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut
adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563 dan 1,033 ppm.
29. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Ucapan Terimakasih
Dengan tersusunnya makalah ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
pemberi dana dari Program Penelitian Produktif Tahun Anggaran 2010, Jurusan Kimia FMIPA dan
Laboratorium Research Center ITS.
Daftar Pustaka
ASTM E 66386 (Reapproved 1991), Standard Practice For Flame AtomicAbsorption Analysis,
1991.
ASTM E 181296,Optimation of Flame Atomic Absorption Spectrometric Equipment, 1996.
ASTM E1024 and E1330, 1992
Harmita, (2004), “Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya”, Majalah Ilmu
Kefarmasian, Vol. 1, No. 3, hal. 117-135.
Khopkar, S. M., (1984), “Konsep Dasar Kimia Analitik”, Analytical Chemistry Laboratories,
Department of Chemistry, Indian Institute of Technology, Bombay.
Samin, (2006), “Jaminan Mutu Metode FAAS dan UVVIS untuk Penentuan Unsur – Unsur
dalam Air Tangki Reaktor” Sminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006, Pusat
Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, BATAN Yogyakarta.
Ebdon L., (1982), “An Introduction to Atomic Absorption Spectroscopy”, Heyden and Son,
London
Underwood A. L., (1994), “Analisis kimia Kuantitatif “, Erlangga, Jakarta
Vogel, (1990), “Analisis Anorganik Kualitatif Mikro dan Semimikro”, Bagian 1, Edisi kelima,
PT Kalman media pustaka, Jakarta
30. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
STUDI KOMPARATIF KURVA BREAK THROUGH
PEMISAHAN ION Cu2+ DAN Ni2+ DARI LARUTAN DENGAN
PELET KOMPOSIT CANGKANG KUPANG – KHITOSAN
TERIKATSILANG DALAM UP FLOW FIXED BED
COLUMN**
Eko Santoso*, Hendro Juwono, Diah Dwi Jayanti, dan Rulina Rachmawati
Laboratorium Kimia Fisika dan Polimer, Kimia FMIPA
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Abstrak
Ion Cu2+ dan Ni2+ secara independen telah dipisahkan dari larutan pada pH optimum
dengan pelet komposit cangkang kupang – khitosan terikatsilang dalam up flow fixed bed
column. Pelet komposit dibuat dengan variasi komposisi, masing-masing mengandung 93,75%,
95,24%, dan 96,15%(w/w) cangkang kupang. Proses ikatsilang khitosan dilakukan
menggunakan gluteraldehid sebagai agen pengikatsilang. Proses pemisahan ion logam
dilakukan dengan mengalirkan larutan yang mengadung ion logam ke dalam kolom yang berisi
pelet kompsit dengan ukuran bed tertentu (fixed bed column) dengan variasi laju 1,5 mL/menit,
2,0 mL/menit, dan 2,5 mL/menit. Hasil menunjukkan bahwa pada seluruh variasi laju alir, ion
Ni2* lebih cepat mengalami break through dibandingkan ion Cu2+. Waktu break through kedua
logam semakin menurun dengan meningkatnya laju alir larutan dan dengan meningkatnya
kadar cangkang kupang dalam pelet komposit. Fakta ini menunjukkan bahwa agen aktif
pemisahan ion logam dalam komposit didominasi oleh khitosan. Secara kinetik, ion Cu2+
bersifat lebih reaktif terikat pada pelet komposit dibandingkan dengan ion Ni2+ dan reaktifitas
kedua logam terikat pada pelet komposit menurun dengan menigkatnya laju alir larutan ke
dalam kolom.
Kata kunci : komposit, cangkang kupang, khitosan, ion Cu2+, ion Ni2+, dan break through.
1. Pendahuluan
Air limbah dari perindustrian dan pertambangan merupakan sumber utama polutan logam
berat. Logam berat dapat membahayakaan bagi kesehatan manusia jika konsentrasinya melebihi
batas ambang yang diijinkan. Meskipun konsentrasinya belum melebihi batas ambang, keberadaan
logam berat tetap memiliki potensi yang berbahaya untuk jangka waktu yang panjang karena logam
berat telah diketahui bersifat akumulatif dalam sistem biologis. Oleh karena itu, saat ini lembaga-lembaga
pemerintahan juga memberikan perhatian yang serius dan membuat aturan yang ketat
terhadap pengolahan air limbah industri sebelum dibuang ke perairan terbuka [Quek et al., 1998].
Berbagai macam teknologi pemisahan logam-logam berat dan beracun dari air limbah telah
dikembangkan, seperti metoda pengendapan kimia, oksidasi-reduksi, filtrasi mekanik, penukar ion,
pemisahan membrane, dan adsorpsi dengan karbon. Namun, berbagai teknologi tersebut
mempunyai beberapa kendala, yakni disamping biayanya mahal seringkali juga membutuhkan
perlakuan-perlakuan khusus. Oleh karena itu, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari
metoda atau teknologi alternatif untuk memisahkan logam-logam berat dan beracun dari air limbah
yang lebih baik dengan biaya yang lebih ekonomis.
Salah satu usaha untuk mengatasi persoalan polutan logam berat dalam air limbah yang
sekarang banyak diteliti adalah mencari biosorben alami yang melimpah dan murah [Babel and
Kurniawan, 2003]. Teknik adsorpsi mempunyai keunggulan dibandingkan teknik pengendapan
karena teknik adsorpsi mampu memisahkan logam berat dalam air limbah meskipun konsentrasi
logam berat dalam air limbah sangat rendah hingga kurang dari 1,00 ppm. Sedangkan teknik
31. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
pengendapan membutuhkan konsentrasi logam berat yang cukup tinggi dan senantiasa masih
menyisakan logam berat dengan konsentrasi tertentu yang tidak mungkin dihilangkan dengan
teknik pengendapan [Schmul et al, 2001]. Biosorben yang melimpah dan murah dapat menjadikan
proses pengolahan air limbah menjadi murah karena setelah proses adsorpsi tak perlu dilakukan
regenerasi sebagaimana penggunaan karbon aktif dan resin sintetik yang mahal, mengingat proses
regenerasi juga membutuhkan biaya [Ozcan and Ozcan, 2005].
Kupang beras atau kupang putih (Tellina sp) merupakan binatang moluska dari jenis kerang-kerang
bercangkang ganda (bivalve) yang sudah tidak asing bagi masyarakat. Bagi masyarakat
Jawa Timur, khususnya daerah Surabaya, Sidoarjo dan sekitarnya, binatang ini sudah tidak asing
lagi karena daging binatang ini biasa dimasak dan dimakan bersama lontong, yang terkenal dengan
nama "Lontong Kupang". Ketika daging binatang ini dimasak maka cangkang atau kulit luar
binatang biasanya hanya dibuang sebagai limbah. Meskipun tidak ada data kuantitatif yang tertulis,
jumlah limbah cangkang kupang yang dihasilkan pasti sangat besar karena "Lontong Kupang"
adalah makanan yang setiap hari dijual di warung makanan. Dalam situs pemprov jatim
diungkapkan bahwa Sidoarjo mampu memproduksi kupang 10 ton per hari [d-infokom-jatim, 2007].
Mengingat jumlah kupang yang dihasilkan per hari sangat besar tentu jumlah limbah cangkang
kupang yang dihasilkan juga sangat besar. Namun demikian, pemanfaatan limbah cangkang
kupang beras ini belum tampak kecuali hanya untuk pengeras jalan yang berlumpur di daerah
perkampungan bekas persawahan.
Pada tahun 2008, peneliti dan dibantu seorang mahasiswa telah melakukan kajian
pendahuluan tentang pemanfaatan serbuk cangkang kupang sebagai bisorben bagi logam
tembaga dalam air limbah dan hasilnya menunjukkan bahwa serbuk cangkang kupang cukup layak
sebagai bisorben bagi logam tembaga karena kapsitas adsorpsi lebih tinggi dibandingkan beberapa
biosorben lain seperti serbuk gergaji (sawdusk), tongkol jagung, abu terbang (fly ash), clipnotilolite
zeolite, dan charbazite zeolite. Namun kapasitas adsorpsi serbuk cangkang kupang terhadap
logam tembaga masih lebih rendah dibandingkan dengan karbon aktif dan khitosan. [Santoso,
2008]. Pada tahun 2009, peneliti telah melanjutkan penelitiannya dimana serbuk cangkang kupang
dibuat komposit bisorben dengan menggunakan khitosan terikatsilang sebagai polimer pengikat
serbuk cangkang kupang dan digunakan sebagai biosorben untuk menghilangkan ion logam dalam
larutan dengan metoda “batch”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya khitosan yang
berfungsi sebagai pengikat serbuk cangkang kupang dalam komposit dapat meningkatkan
kapasitas adsorpsi (kemampuan mengikat) logam berat yang lebih baik dibandingkan serbuk
cangkang kupang murni [Santoso, dkk., 2009].
Pada penelitian ini , telah dikaji secara komparatif adsorpsi ion logam Cu2+ dan ion Ni2+ oleh
pelet komposit serbuk cangkang kupang – khitosan terikatsilang dengan metoda “up flow fixed bed
column”.
2. Metodologi
Preparasi adsorben dilakukan dengan melarutkan 1,0 gram khitosan dengan larutan asam
asetat 2% sebanyak 100 ml dan diaduk sampai larut sambil dipananskan. Khitosan yang sudah
larut diangkat dari hotplate dan dibiarkan di ruangan terbuka hingga temperaturnya turun sama
dengan suhu kamar. Kemudian, larutan khitosan diambil sebanyak 20 ml, dituangkan ke dalam
beker gelas dan di tambahkan erbuk cangkang kupang sebanyak 3,0 gram. Campuran serbuk
cangkang kupang dan larutan khitosan diaduk menggunakan stirer magnetik, kemudian diambil
dengan pipet tetes dan diteteskan ke dalam larutan NaOH 2N. Pelet komposit serbuk cangkang
kupang khitosan yang terbentuk dipisahkan dari larutan NaOH 2N dengan kertas saring, kemudian
direndam dalam larutan glurtaraldehid 0,2 % selama 24 jam sehingga terbentuk pelet komposit
serbuk cangkang kupang – khitosan terikatsilang. Kemudian, pelet komposit yang telah
terikatsilang dipisahkan dari larutan gluteraldehid 2% dengan kertas saring, dicuci dengan akuades
hingga pH netral dan dikeringkan dengan oven. Pelet ini disebut pelet biosorben A (PB-A).
Perlakuan ini diulangi dengan penambahan serbuk kupang sebanyak 4 gram untuk memperoleh
pelet biosorben B (PB-B) dan dengan penambahan serbuk cangkang kupang sebanyak 5 gram
untuk memperoleh pelet biosorben C (PB-C).
32. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Larutan mengandung ion logam 100 ppm dialirkan secara kontimu kedalam kolom yang
berisi pelet sejumlah tertentu biosorben dengan laju alir bervariasi, yaitu 1,5 mL/menit, 2,0
mL/menit, dan 2,5 mL/menit. pH larutan ion logam yang akan dialiirkan ke dalam kolom diatur pada
nilai tertentu yang menghasilkan adosprsi maksimum [Santoso, dkk., 2009]. 20 mL pertama dari
cairan efluen yang keluar dari kolom, dianggap waktu proses pengolahan ke nol (t=0), diukur kadar
logamnya dengan spektroskopi serapan atom (SSA) dan diukur nilai pHnya.. 20 mL kedua dari
efluen dukur kadar logam dan pHnya pada 15 jam berikutnya, dianggap t=15 dari proses
pengolahan. Pengukuran kadar logam dan pH dari efluen selanjutnya dilakukan setiap 15 jam.
Seluruh proses ini dilakukan pada suhu kamar.
3. Hasil dan Pembahasan
Kadar logam dalam efluen yang diukur pada waktu tertentu di sebut Ct dan kadar logam
dalam larutan awal 100 ppm disebut Co. Perbandingan antara Ct/Co diplot versus waktu proses t
menghasilkan sebuah kurva yang disebut sebagai kurva “break through” atau kurva “penerobosan”.
Kurva “break through” dari proses pemisahan ion logam Cu2+ dan ion Ni2+ pada berbagai laju alir
dan komposisi ditunjukkan pada Gambar 1 sampai Gambar 3 untuk pemisahan menggunakan
bisorsen PB-A dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit secara berurutan, pada Gambar 4
sampai Gambar 6 untuk pemisahan menggunakan biosorben PB-B dengan laju alir1,5; 2,0; dan 2,5
mL/menit secara berurutan, dan pada Gambar 7 sampai Gambar 9 untuk pemisahan menggunakan
biosorben PB-C dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit secara berurutan.
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
Gambar 1 Gambar 2
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
Gambar 3 Gambar 4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
0 100 200 300 400
Ct/Co
t (jam)
Cu
Ni
0
0 100 200 300 400
Ct/Co
t (jam)
Cu
Ni
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
0 100 200 300 400
Ct/Co
t (jam)
Cu
Ni
0
0 100 200 300 400
Ct/Co
t (jam)
Cu
Ni
33. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Cu
Ni
0 100 200 300
t (jam)
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Cu
Ni
0 100 200 300
Ct/Co
t (jam)
Gambar 5 Gambar 6
Cu
Ni
0 100 200 300
t (jam)
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Cu
0 50 100 150 200
Ct/Co
t (jam)
Gambar 7 Gambar 8
Cu
Ni
0 50 100 150 200
t (jam)
Gambar 9
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Ct/Co
Pada Gambar 1 sampai Gambar 9 tampak bahwa pola kurva “break through” proses
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Ct/Co
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Ct/Co
pemisahan ion logam Cu2+ berbeda dengan dengan ion logam Ni2+. Pada seluruh variasi laju alir
dan komposisi pelet biosorben, tampak bahwa pada laju alir dan komposisi tertentu dari pelet
biosorben maka nilai waktu “break through” (tB) dan waktu “exhausted” (tE) dari ion logam Cu2+ lebih
besar dari ion logam Ni2+. Hal ini menunjukkan bahwa ion logam Cu2+ lebih sulit menerobos
halangan kolom biosorben dan membutuhkan waktu lebih lama untuk menjenuhkan kolom
dibandingkan dengan ion logam Ni2+. Artinjya, interaksi antara gugus aktif (gugus amina) dari
khitosan dalam biosorben dengan ion logam Cu2+ adalah lebih kuat dibandingkan dengan ion
logam Ni2+. Fakta ini dapat dikaitkan dengan ukuran ion dimana ukuran jari-jari ion Ni2+ adalah 0,69
angstrom dan jari-jari ion Cu2+ adalah 0,73 angstrom [Lide, 1989]. Jadi, ukuran ion Ni2+ adalah lebih
kecil dibandingkangkan dengan ukuran ion Cu2+. Boleh jadi, ion logam Cu2+ mempunyai ukuran
diameter yang tepat dengan rongga yang disediakan oleh ligan pengikatnya, jika usulan ikatan
antara ion logam dengan gugus aktif dalam khitosan ditunjukkan pada Gambar 10 [Schmuhl, 2001;
Kalyani et al, 2005; Verbych et al, 2005]. Ukuran rongga yang disediakan oleh ligan untuk ion
logam adalah sudah tertentu dan bersifat kaku karena terletak di dalam biosorben padat yang
bersifat kaku. Oleh karena itu, jika ukuran ion Ni2+ terlalu kecil untuk menempati rongga tersebut
34. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
maka ikatan menjadi agak longgar dan lemah, sehingga ion Ni2+ mudah lepas dan menerobos
rongga tersebut bersama aliran larutan melewati kolom. Pada laju alir 2,0 mL/menit dan 2,5
mL/menit, ion Ni2+ pada waktu nol menit sudah terdeteksi dalam efluen. Artinya, pada tetesan
efluen yang pertama sudah mampu menerobos halangan kolom biosorben. Jadi pada laju alir 2,0
dan 2,5 mL/menit, waktu “break through” ion Ni2+ adalah nol. Nilai waktu “break through” (tB) hanya
terdeteksi (lebih besar dari nol) pada laju alir 1,5 mL/menit dan kemungkinan akan lebih besar lagi
ketika laju alir diturunkan kurang dari 1,5 mL/menit. Untuk ion logam Cu2+, pada semua variasi laju
alir dan komposisi biosorben masih mempunyai waktu “break through” yang tertentu.
Gambar 10
Perubahan pH efuen selama proses pemisahan ion logam Cu2+ oleh kolom bisosorben
dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit ditunjukkan pada Gambar 11 sampai dengan Gambar
13 secara berurutan dan untuk pemisahan ion logam Ni2+ dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5
mL/menit ditunjukkan pada Gambar 14 sampai Gambar 16 secara berurutan.
10
8
6
4
2
Gambar 11 Gambar 12
PB-A
PB-B
PB-C
10
8
6
4
2
PB-A
PB-B
PB-C
Gambar 13 Gambar 14
12
10
8
6
4
2
0
0 100 200 300 400
pH-efluen
t (jam)
PB-A
PB-B
PB-C
0
0 100 200 300 400
pH-efluen
t (jam)
PB-A
PB-B
PB-C
12
10
8
6
4
2
0
0 50 100 150 200 250 300
pH-efluen
t (jam)
0
0 50 100 150 200 250 300 350
pH-efluen
t (jam)
35. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
PB-A
PB-B
PB-C
0 50 100 150 200 250 300
t (jam)
10
8
6
4
2
0
PB-A
PB-B
PB-C
0 50 100 150 200 250
pH-efluen
t (jam)
Gambar 15 Gambar 16
10
8
6
4
2
0
pH-efluen
pH awal dari larutan yang mengandung ion Cu2+ dan ion Ni2+ masing-masing sebelum masuk kolom
biosorben adalan diatur 4 karena pada pH 4 kemampuan biosorben mengikat kedua ion logam
mencapai nilai maksimum [Santoso, dkk., 2009]. Dari Gambar 11 sampai 16 tampak bahwa pH
efluen yang dihasilkan dari proses pemisahan ion logam Cu2+ berkisar pada pH 6 dan pH efluen
hasil pemisahan ion logam Ni2+ berkisar pada pH 7. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses
pemisahan kedua ion logam telah terjadi reaksi kimiawi yang mengubah nilai pH dari pH 4 (pH awal
larutan ion logam sebelum masuk kolom biosorben) menjadi 6 atau 7 (pH efluen yang keluar dari
kolom biosorben). Reaksi tersebut kemungkinan adalah ada 2 macam, yaitu reaksi antara gugus
aktif dalam khitosan dengan ion logam yang merupakan reaksi pertukaran ion dan menghasilkan
ion H+ dan reaksi antara ion H+ dengan CaCO3 dalam cangkang kupang menghasilkan H2O dan
gas CO2 yang menghasilkan pH netral. Reaksi tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
Khitosan (s) + M2+ (aq) Khitosan-M (s) + 2H+ (aq)
2H+ (aq) + CaCO3 (s) Ca2+ (aq) + H2O (l) + CO2 (g)
Efluen dengan pH netral adalah adalah salah satu persyaratan agar efluen hasil pengolahan limbah
cair dapat dibuang ke perairan bebas atau untuk dimanfaatkan kembali [Ahuja, 2009].
Hasil pengolahan data kurva “break through” pada Gambar 1 sampai Gambar 9 dengan
model kinetika Thomas [Planas, 2002] menghasilkan nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada
ion logam Cu2+ dan ion Ni2+, yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai kapasitas adsorpsi (Q0) pelet biosorben pada ion logam dengan pendekatan
model kinetika Thomas.
Jenis Biosorben Laju
(mL/mnt)
Q0-ion Ni2+
(mg/g)
Qo-ion Cu2*
(mg/g)
PB-A (93,75%-serbuk cangkang
kupang)
1,5 390,30 642,92
2,0 177,27 649,96
2,5 162,28 689,66
PB-B (95,24%-serbuk cangkang
kupang)
1,5 337,96 451,30
2,0 144.93 584,08
2,5 135.49 624,57
PB-C (96,15%-serbuk cangkang
kupang)
1,5 247,86 325,74
2,0 127.73 352,92
2,5 118.58 443,95
Pada semua variasi komposisi dan laju alir, pelet biosorben mempunyai nilai kapasitas
adsorpsi pada ion Cu2+ lebih besar dibandingkan pada ion Ni2+. Hal ini menunjukkan bahwa
reaksitifitas ion Cu2+ pada pelet biosorben adalah lebih besar dibandingkan ion Ni2+. Kenaikan
kadar serbuk cangkang kupang menurunkan nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada kedua
jenis ion logam.
36. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
4. Kesimpulan
Gugus aktif dalam khitosan mempunyai peranan penting dalam menetukan nilai kapasitas
adsorpsi pelet biosorben pada kedua jenis ion logam karena semakin besar kadar khitosan dalam
pelet biosorben semakin besar nilai kapasitas dan waktu “break through”. Waktu “break throug” dan
nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada ion Cu2+ adalah lebih besar dibandingkan pada ion
Ni2+. Dengan demikian reaktifitas ion Cu2+ adalah lebih besar dibandingkan ion Ni2+.
Ucapan Terimakasih
Peneliti mengucapkan banyak terimakasih pada semua pihak atas terselesaikannya
penelitisn ini, khususnya Program Hibah PHKI yang telah memberikan dana.
Daftar Pustaka
Babel, S. and Kurniawan, T.A., 2003, “Low-cost adsorbent for heavy metals uptake from
contaminated water : a review”, J. Hazardous Mat., B97, 219-2433.
Kalyani et al, 2005, “Removal of copper and nickel from aqeous solutions using chitosan coated on
perlite as biosorbent”, Separation Science and Technology, 40, pp. 1483–1495.
Lide, D.R., ed., 1989, “CRC Handbook of Chemistry and Physics, 89th Edition (Internet Version
2009), CRC Press/Taylor and Francis, Boca Raton, FL.
Ozcan, A. and Ozcan, A.S., 2005, “Adsorption of Acid Red 57 from aqueous solutions onto
surfactant – modified spiolite”, J. Hazardous Mat., B125, pp. 252-259.
Planas, M.R., 2002, “Development of technique based on natural polymers for the recovery
precious metals”, Tesi Doctoral, Departament d’Enginyeria Quimica, Universitat
Politecnica de Catalunya.
Quek, SY., Wase, DAJ., and Forster, CF., 1998, “The use of sago waste for the sorption of lead and
copper”, Water SA, Vol. 24, No. 3, pp. 251-256.
Santoso, E., 2008, “Studi pemanfaatan cangkang kupang beras (Tellina sp) sebagai biosorben
logam tembaga dalam air limbah sintetik dengan sistem adsorpsi dinamik pada kolom
katil tetap (fixed bed colomn), Laporan Penelitian Produktif, Institut Tekonologi Sepuluh
Nopember, Surabaya.
Santoso, E, dan Isti’anah, S., 2009, “Studi pemanfaatan cangkang kupang beras (Tellina sp)
sebagai biosorben untuk mengolah air limbah yang mengandung ion tembaga (II)”, Jurnal
Purifikasi, Vol. 10, No.1, hal. 39-48.
Santoso, E., Juwono, H., Habibi, M., Dwi PW, V., Asih. E., Saputra, F.W., 2009, “Pemanfaatan
limbah cangkang kupang untuk pembuatan komposit cangkang kupang – khitosan
terikatsilang sebagai biosorben murah bagi logam berat dari air limbah”, Laporan
Penelitian Hibah PHKI Tema B, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Schmuhl, R., Krieg, H.M., and Keizer, K., 2001, “Adsorption of Cu(II) and Cr(VI) ions by Chitosan :
Kinetics and Equilibrium Studies”, Water SA, Vol. 27, No. 1, pp. 79–86.
Verbych, S., Bryk, M., and Chornokur, G., 2005, “Removal of Copper(II) from Aqueous Solutions by
Chitosan Adsorption”, Separation Science and Technology, 40, pp. 1749–1759.
37. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
SINTESIS KATALIS Sn BERPENDUKUNG ZEOLIT NaY
DARI SEKAM PADI UNTUK REAKSI DENITRIFIKASI
DENGAN HASIL AMMONIUM
Netty Kartika Sari dan Irmina Kris Murwani*
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
*Email: irmina@chem.its.ac.id
Abstrak
Pada penelitian ini dicoba untuk mengurangi konsentrasi nitrat dengan cara denitrifikasi
NOx dengan bantuan katalis Sn berpendukung zeolit NaY dari sekam padi. Penelitian ini diawali
dengan sintesis zeolit NaY. Kemudian dilakukan loading logam Sn pada zeolit NaY. Katalis yang
dihasilkan adalah zeolit NaY dan katalis logam tunggal Sn berpendukung NaY. Katalis yang
diperoleh dikarakterisasi dengan menggunakan XRD dan FTIR untuk mengetahui strukturnya.
Katalis tersebut diuji katalitik melalui reaksi denitrifikasi dengan cara mereaksikan nitrat dengan
katalis dibawah kondisi aliran gas hidrogen. Produk berupa amonium dianalisis dengan
spektroskopi UV-Vis.
Kata Kunci : Denitrifikasi, katalis Sn, zeolit NaY
1. Pendahuluan
Konsentrasi nitrat di dalam tanah, khususnya di dalam air tanah dan air permukaan, selama
beberapa tahun ini semakin bertambah di seluruh dunia. Senyawa ini menyebabkan eutrofikasi laut
dan sungai. Konsentrasi nitrat pada air minum sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia
karena dapat menimbulkan methemoglobinemia atau sindrom bayi biru yaitu penyakit yang
menyerang darah anak-anak karena kapasitas pembawa oksigen pada darah diinterferensi oleh
nitrat (EPA, 1995). Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa senyawa N-nitroso berpotensi
karsinogenik, yang dihasilkan reaksi nitrat dengan amina atau amida (Canter, 1997).
Pada penelitian ini dicoba untuk mengurangi konsentrasi nitrat dengan cara denitrifikasi
NOx dengan bantuan katalis Sn berpendukung zeolit NaY dari sekam padi. Logam Sn berperan
sebagai logam promotor diharapkan dapat meningkatkan selektivitas katalis dalam reduksi.
2. Metodologi
Preparasi SiO2
Pada penelitian ini akan diperoleh SiO2 dari sekam padi melalui beberapa tahap. Mula-mula
sekam padi dioven pada suhu 600oC selama 4 jam. Dari proses pengovenan akan dihasilkan
abu berwarna putih. Selanjutnya abu dicuci dengan HCl 1M secara berulangkali dan dibilas
dengan akuades lalu disaring menggunakan corong buchner. Setelah didapatkan residu dan filtrat,
residu kemudian dikeringkan.
Preparasi, Aktivasi dan Karakterisasi Zeolit NaY
Katalis zeolit NaY dibuat dari bahan dasar SiO2, natrium aluminat, natrium hidroksida dan
akuades. Mula-mula natrium hidroksida dicampur dengan akuades membentuk larutan NaOH.
Selanjutnya larutan NaOH tersebut dibagi menjadi dua bagian. Larutan NaOH pertama
ditambahkan natrium aluminat membentuk campuran A, sedangkan larutan NaOH kedua
ditambahkan SiO2 membentuk campuran B. Masing-masing campuran diaduk 2 jam, kemudian
kedua campuran digabungkan dengan tetap diaduk membentuk campuran A-B. Campuran
38. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
A-B dimasukan ke dalam 38tirrer dan dioven pada suhu 100°C selama 6 jam, kemudian
disaring hingga didapatkan residu dan filtrat. Selanjutnya residu dicuci dengan akuades hingga
netral dan dioven pada temperatur 100oC selama 24 jam. NaY yang terbentuk kemudian
dikarakterisasi strukturnya menggunakan difraktometer sinar-X dan FT-IR.
Preparasi Katalis Sn Berpendukung NaY
Katalis Sn berpendukung diperoleh dengan metoda presipitasi. Awalnya padatan
pendukung dimasukkan dalam larutan SnCl2×2H2O (Sn=1,25%). Kemudian ditambahkan larutan
NH4OH 1N hingga terbentuk endapan. Selanjutnya endapan disaring dan dicuci dengan akuades.
Kemudian padatan dikeringkan dan dikalsinasi pada suhu 450°C selama 4 jam. Aktivasi katalis
melalui kalsinasi 450oC dengan dialiri gas H2 selama 2 jam (Prϋsse dan Vorlop, 2001).
Uji Katalisis pada Reaksi Denitrifikasi
Hasil preparasi katalis diuji sifat katalisisnya dengan cara melihat aktivitasnya dalam
reaksi denitrifikasi. Katalis dimasukkan dalam 38tirrer labu leher tiga dan dijenuhkan dengan H2
selama 1 jam. Kalium nitrat dimasukkan dalam labu leher tiga dan distirer selama 15 menit
pada suhu ruang sambil dialiri H2 dengan laju alir 60 mL/menit. Produk yang berupa gas
dianalisis menggunakan Kromatografi Gas dengan detektor TCD dan produk yang berupa
larutan dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis.
Gambar 1. Eksperimen set up, skema penggambaran reaktor untuk reaksi denitrifikasi. (1). Gas
inlet, (2) Pemanas, (3) Gas keluar, (4) Termometer, (5) Labu leher tiga, (6)
Magnetik stirrer
3. Hasil dan Pembahasan
Karakterisasi Logam Sn Berpendukung NaY Dengan Menggunakan XRD
Gambar 2. Difraktogram Zeolit NaY (merah) dan Sn/NaY (biru)
39. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Difraktogram Sn/NaY terlihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2. Terlihat difraktogram yang
mirip antara Sn/NaY dan zeolit NaY. Terdapat sedikit perbedaan jika difraktogram Sn/NaY
dibandingkan dengan zeolit NaY, terdapat puncak – puncak baru yang merupakan puncak-puncak
khas Sn yaitu pada daerah 2θ = 44,91 dan 55,34 (tanda ) sesuai dengan database PDF 86-
2265. Puncak-puncak khas zeolit NaY juga masih jelas terlihat dalam difraktogram Sn/NaY, yaitu
berada pada daerah 2θ = 6,10, 12, 15, 23, 26 dan 31°. Adanya puncak-punc ak khas dari bahan-bahan
awal penyusun padatan Sn/NaY menunjukkan bahwa proses presipitasi menurunkan
kristalinitas pendukung karena adanya logam Sn yang terdispersi pada permukaan pendukung,
namun struktur utama tetap ada (Huang dkk., 2008).
Jika membandingkan pola difraksi Sn/NaY dengan Sn murni, terlihat adanya puncak-puncak
karakteristik dari logam Sn, namun intensitas puncak khas logam Sn pada difraktogram
Sn/NaY terlihat jauh lebih rendah dari pada difraktogram Sn murni. Sehingga beberapa puncak
khas Sn pada 2θ = 30,64; 32,02; 43,88 tidak tampak pada difraktogram Sn/NaY. Hal ini
kemungkinan disebabkan loading Sn yang kecil (1,25% berat Sn dari total berat katalis). Fenomena
ini dapat pula dikarenakan proses penambahan basa yang terlalu cepat, sebab proses
pengendapan yang terlalu cepat dapat menghasilkan padatan yang amorf (Perego dan Villa, 1997).
Karakterisasi Logam Sn Berpendukung NaY Dengan Menggunakan FT-IR
Pada spektra FT-IR Sn/NaY tetap didominasi ikatan-ikatan dari pendukung, yaitu pada
daerah 3400 cm-1 menunjukkan daerah vibrasi ulur O-H. Sedangkan vibrasi tekuk H-O-H muncul
pada 1650 cm-1 (Nakamoto, 1978; Cordoba dkk., 1996; Figueiredo dkk., 2006; Wang dkk., 2003).
Puncak serapan pada daerah 1139 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur T-O dimana T adalah Si
atau Al (Wang dkk. 2003 dan Thammavong, 2003) dan puncak pada daerah 950 cm-1 adalah
puncak vibrasi dari T-O- (Cordoba dkk., 1996 dan Wang dkk., 2003 ). Puncak pada daerah 506 dan
432 cm-1 merupakan vibrasi tekuk O-T-O (Nakamoto, 1976 dan Wang dkk., 2003). Adapun Rios
dkk. (2007) juga menambahkan bahwa puncak pada daerah 699 cm-1 dan 610 cm-1 merupakan
vibrasi ulur TO4. Sedangkan ikatan Sn-O tidak nampak, hal ini dikarenakan loading Sn yang terlalu
kecil. Jika dilihat dari intensitas spektra FT-IR pada Gambar 3. ternyata intensitas Sn/NaY lebih
rendah dibandingkan dengan zeolit NaY, hal ini dikarenakan adanya logam Sn yang terdispersi
merata pada permukaan pendukung (Kalevaru dkk., 2009).
O-
H-O-H
T-T-
O-
Gambar 3. Spektra FTIR Zeolit NaY dan Sn/NaY
40. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Uji Katalisis
Katalis Sn/NaY diuji kemampuan katalisisnya pada reaksi denitrifikasi dengan produk
katalisisnya adalah ammonium. Pembentukan ammonium pada reaksi denitrifikasi sesuai dengan
yang dilaporkan Cholier-Brym (2002). Konsentrasi ammonium diukur dengan metoda UV-Vis pada
panjang gelombang 460 nm menggunakan reagen Nessler. Konsentrasi yang didapatkan adalah
1,33 ppm. Hasil ammonium yang sedikit menurut penelitian Chen dkk. (2003) adalah dikarenakan
ammonium (NH4
+) merupakan produk samping dari reaksi denitrifikasi.
NO3
- + H2 → NO2
- + H2O (reaksi 1)
NO2
- → NO → NH4
+ (reaksi 2)
Adapun tahap-tahap reaksi reduksi yang terjadi dalam (reaksi 2) adalah :
2NO2
- + H2 → 2NO + 2OH- (reaksi 2a)
+ + H2O (reaksi 2b)
NO + 3H2 → NH4
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa katalis
Sn/NaY dapat mendenitrifikasi nitrat dan menghasilkan produk berupa ammonium dengan
konsentrasi 1,33 ppm.
Daftar Pustaka
Canter, L.W. (1997), “Nitrates in Groundwater”, CRC Press, Boca Raton, Florida.
Chen, Ying-Xue, Zhang, Y. dan Guang-Hao, C. (2003), “Approriate Conditions or Maximizing
Catalytic Reduction Efficiency of Nitrate into Nitrogen Gas in Groundwater”, Water
Research, Vol. 37, hal. 2489-2495.
Chollier-Brym, M.J., Gavagnin, R., Strukul, G., Marella, M., Tomaselli, M. dan Ruiz, P. (2002) New
insight in the Solid State Characteristics, in the Possible Intermediates and on the
Reactivity of Pd–Cu and Pd–Sn Catalysts Used in Denitratation of Drinking Water,
Catalysis Today, Vol. 75, hal. 49-55.
Cordoba, G., Arroyo, R., Fierro, J. L. G. dan Viniegra, M. (1996), “Study of Xerogel–Glass
Transition of CuO/SiO2”, Journal of Solid State Chemistry, Vol. 123, hal. 93 – 99.
EPA. (1995), “National Primary Drinking Water Regulations Office of Groungwater and Drinking
Water”, Washington D.C, United States.
Figueiredo, H., Neves, I. C., Quintelas, C., Tavares, T., Taralunga, M., Mijoin, J. dan Magnoux, P.
(2006), “Oxidation Catalysts Prepared from Biosorbents Supported on Zeolite”, Applied
Catalysis B : Environmental, Vol. 66, hal. 274 – 280.
Huang, S., Zhang, C. dan He, H. (2008), “Complete Oxidation of o-xylene over Pd/Al2O3 Catalyst at
Low Temperature”, Catalysis Today, Vol 139, Hal. 15-23.
Kalevaru, V. N., Raju, B. D., Rao, V. V. dan Martin, A. (2009), “ Preparation, Characterization and
Catalytic Evaluation of MgF2 Supported V2O5 Catalyst for Ammoximation of 3-picoline”,
Applied Catalysis A: GeneraI, Vol. 352, hal. 223-233.
Nakamoto, K., (1978), Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compounds, 5th
Edition, John Wiley Sons, USA.
Perego, C. dan Villa P. (1997). “Catalyst Preparation Methods”. Catalysis Today, Vol. 34, hal. 281-
305.
Prϋsse, U. dan Vorlop, D. (2001), ”Supported Bimetalic Palladium Catalysts for Water-Phase Nitrate
Reduction“, Journal of Molecular Catalysis, Vol. 173, hal. 313-328.
41. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Rios, C., Williams, C. dan Maple, M. J. (2007), “Synthesis oz Zeolites and Zeotypes by
Hidrothermal Transformation of Kaolinite and Metakaolinite”, BISTUA, Vol. 5, No. 1, hal. 15-
26.
Thammavong, S. (2003), “Studies of Synthesis, Kinetics and Particle Size of Zeolite X from
Narathiwat Kaolin”, Thesis Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the
Degree of Master of Science in Chemistry Suranaree University of Technology.
Wang, Z., Liu, Q., Yu, J., Wu, T. dan Wang, G. (2003), “Surface Structure and Catalytic Behavior of
Silica-Supported Copper Catalysts Prepared by Impregnation and Sol-Gel Methods”,
Applied Catalysis A: General, Vol. 239, hal. 87 – 94.
42. ISBN 978-602-98130-0-5
SEMINAR NASIONAL KIMIA
Surabaya, 23 Nopember 2010
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
KOMPLEKS BESI (II) DENGAN LIGAN 2-FENIL-ETIL AMIN
Fahimah Martak
Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Corresponding author Phone : 081572535690
e-mail: fahimahm@chem.its.ac.id
Abstrak
Kompleks besi(II) dengan ligan 2-fenil etil amin telah disintesis dan dikarakterisasi dengan
menggunakan FTIR, Elemental analisis, SSA, difraksi sinar-X powder dan magnetometer.
Kompleks ini memiliki formula [FeII(2-fenil-etil-amin)3]Cl5. Puncak pada 451,34 cm-1 terjadi karena
vibrasi ulur Fe dengan N amin pada ligan 2-fenil-etil amin. Berdasarkan pola difraksi sinar-X,
kompleks polimer [Fe4
II(2-fenil-etil-amin)3]Cl5 memiliki kelompok ruang P6(3). Data suseptibilitas
magnetik terhadap temperatur menunjukkan bahwa kompleks memiliki interaksi feromagnetik, ini
dibuktikan dengan adanya meningkatnya magnetisasi pada medan rendah dan cenderung saturasi
pada medan lebih tinggi dengan nilai 5 mB pada 50 kOe. Kompleks [FeII(2-fenil-etil-amin)3]Cl5
memberikan interaksi feromagnetik pada temperatur rendah yaitu 32 K.
Kata kunci: kompleks besi(II), kompleks polimer, interaksi feromagnetik dan fenil-etil amin.
1. Pendahuluan
Sejak penemuan magnet molekul tunggal sepuluh tahun yang lalu, sintesis dan
karakterisasi fisik senyawa magnetik berdasarkan molekular menjadi salah satu bidang paling aktif
diteliti. Senyawa magnetik berdasarkan molekular dapat diperoleh dari interaksi ion-ion logam
transisi deret pertama dengan konfigurasi elektron d1-d9. Interaksi magnetik berdasarkan molekular
juga dihasilkan dari interaksi antar ligan, seperti ditunjukkan pada kompleks binuklir dengan ligan
etilen diamin dengan ligan oksalat.
Senyawa kompleks dapat menunjukkan sifat feromagnet. Sifat feromagnet ini timbul dari
akibat interaksi antar elektron tidak berpasangan pada ion-ion logam. Interaksi feromagnet pada
senyawa kompleks umumnya ditunjukkan pada temperatur rendah (Garcia, et al., 2002). Oleh
karena itu yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah upaya apa yang harus dilakukan
untuk meningkatkan temperatur terjadinya interaksi feromagnetik.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah merancang kompleks polimer yang dapat terjadi
interaksi coulomb dan ikatan hidrogen sehingga menaikkan temperatur Curie Weiss (TCW)
senyawa. TCW adalah temperatur dimana mulai terjadi perubahan sifat bahan dari paramagnetik
menjadi feromagnetik. Temperatur Curie Weiss pada bahan merupakan indikasi bahwa senyawa
memiliki interaksi feromagnetik. Interaksi feromagnetik dapat diidentifikasi melalui pengukuran nilai
suseptibilitas magnetik dengan variasi temperatur. Nilai suseptibilitas magnetik senyawa
feromagnetik meningkat tajam dibawah temperatur Curie. Interaksi ini dapat dihasilkan dengan
pemilihan ligan yang tepat. Studi yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan
menggunakan ligan oksalat (Martak, 2010). Namun, senyawa kompleks polimer yang dihasilkan
menunjukkan interaksi feromagnetik pada temperatur dibawah 15 K. Oleh sebab itu pada
penelitian ini dikembangkan dengan menggunakan ligan fenil etil amin. Gugus amin pada ligan
tersebut dapat diubah menjadi ammonium, diharapkan atom hidrogen yang terikat pada ammonium
dapat berikatan hidrogen pada ligan yang terkoordinasi pada ion logam sehingga interaksi inter dan