SlideShare a Scribd company logo
1 of 174
Download to read offline
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS 
NIKEL(II) DENGAN LIGAN ETILENDIAMINTETRAASETAT 
(EDTA) 
Nur Chamimmah Lailis I dan Irmina Kris Murwani* 
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 
*Email: irmina@chem.its.ac.id 
Abstrak : 
Pada penelitian ini dilakukan sintesis senyawa kompleks Ni-EDTA melalui reaksi larutan 
Ni2+ dan H4EDTA. pH optimum sintesis Ni-EDTA diperoleh pada pH 10. Penentuan rumus senyawa 
kompleks dilakukan dengan metode variasi kontinu sehingga diperoleh perbandingan logam Ni dan 
EDTA adalah 1 : 1. Padatan kompleks Ni-EDTA berwarna biru, mempunyai serapan panjang 
gelombang maksimum sebesar 584 nm dan serapan khas vibrasi logam-ligan dengan spektroskopi 
infra merah pada bilangan gelombang 347 cm-1. 
Kata kunci : Senyawa kompleks, Nikel (II) EDTA, sintesis, karakterisasi 
1. Pendahuluan 
Senyawa koordinasi adalah salah satu senyawa yang memegang peranan penting dalam 
kehidupan manusia. Senyawa ini terbentuk karena adanya ikatan antara ligan yang berperan 
sebagai donor pasangan elektron (basa lewis) dengan ion pusat (logam) yang berperan sebagai 
akseptor pasangan elektron (asam lewis). 
Kajian dan penelitian tentang sintesis senyawa koordinasi juga semakin beragam. Salah 
satunya adalah penelitian tentang senyawa kompleks sebagai katalis. Dari beberapa penelitian 
telah dilaporkan bahwa senyawa kompleks nikel telah terbukti dapat digunakan pada proses 
katalitik dalam beberapa reaksi organik seperti reaksi karbonilasi etanol menjadi asam propionat 
yang menggunakan katalis senyawa kompleks [Ni(isoquinoline)4]Cl2 (Ubale, 1997) dan reaksi 
hidrogenasi yang mengkonversi glukosa menjadi sorbitol dengan katalis senyawa kompleks 
[Ni(EDTA)3(NO3)2] berpendukung silika (SiO2) (Schimpf, 2007). Senyawa kompleks yang bisa 
dijadikan sebagai katalis harus memiliki sifat yang stabil. Salah satu senyawa kompleks yang 
sangat stabil adalah senyawa kompleks yang membentuk khelat. Salah satu senyawa kompleks 
yang memiliki tingkat kestabilan cukup tinggi adalah senyawa kompleks Nikel(II)-EDTA yang 
memiliki Kstab = 18.62 (Underwood, 2002). Pada penelitian ini disintesis dan dikarakterisasi 
senyawa kompleks nikel(II)-EDTA yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai katalis. 
2. Metodologi 
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia yang 
memiliki kemurnian pro analisis (p.a) meliputi nikel(II) triklorida heksahidrat NiCl2.6H2O, H4EDTA 
(Titriplex II), NH4OH dan akuades. Selanjutnya akan dilakukan karakterisasi dengan UV-VIS, FTIR, 
dan XRD. 
Tahapan dalam sintesis senyawa kompleks Ni-EDTA adalah penentuan panjang 
gelombang maksimum, pengaruh pH pada pembentukan senyawa kompleks dan penentuan rumus 
senyawa kompleks dengan metode variasi kontinu. Sintesis senyawa kompleks dilakukan dengan
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
mereaksikan larutan H4EDTA (titriplex II) dan NiCl. Larutan campuran tersebut dipanaskan sampai 
tepat jenuh kemudian didiamkan selama beberapa hari hingga terbentuk padatan kristal. Kristal 
yang terbentuk disaring dan diletakkan pada cawan porselen lalu di oven 90° hingga cukup kering. 
3. Hasil dan Pembahasan 
Penentuan Panjang Gelombang Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2- 
Hasil reaksi NiCl2 dan EDTA diukur dengan spektrofotometer UV-VIS pada panjang 
gelombang 400-780 nm. Dari hasil analisis diperoleh bahwa panjang gelombang maksimum 
senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- adalah 584 nm. Jika dibandingkan dengan panjang gelombang 
maksimum NiCl2 yaitu sebesar 658 nm, maka terjadi pergeseran ke arah panjang gelombang yang 
lebih pendek seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pergeseran ini dipengaruhi oleh ligan EDTA 
yang merupakan ligan dengan medan kuat (Sukardjo, 1992). Senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- 
memiliki warna biru, sehingga senyawa kompleks tersebut menyerap panjang gelombang pada 
daerah kuning (580-595) nm (Underwood, 2002). 
Gambar 1. Panjang Gelombang Maksimum Senyawa NiCl2 ( ) 
dan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2- ( ) 
Pengaruh pH Pada Pembentukan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2- 
Pembentukan senyawa kompleks sangat dipengaruhi oleh pH. Pengamatan pengaruh pH 
pada pembentukan kompleks terlihat pada Gambar 2. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa 
senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- mulai terbentuk pada pH 5 sedangkan pH optimum terdapat pada 
pH 10, karena pada pH tersebut absorbansi senyawa kompleks menunjukkan nilai paling besar. 
Hal ini menunjukkan bahwa akibat perubahan pH larutan, konsentrasi senyawa kompleks yang 
terbentuk juga mengalami perubahan.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Gambar 2. Pengaruh pH Pada Pembentukan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2- 
Penentuan Rumus Senyawa Kompleks dengan Metode Variasi Kontinu 
Rumus senyawa kompleks nikel-EDTA ditentukan melalui metode variasi kontinu. Hasil 
menunjukkan bahwa perbandingan mol antara Ni2+ dan ligan EDTA adalah 1 : 1. Hasil penentuan 
rumus senyawa kompleks dapat diamati pada Gambar 3. Pada gambar tersebut titik potong 
terdapat pada perbandingan fraksi mol EDTA 0,5. Hasil perbandingan ini menunjukkan bahwa satu 
mol ligan EDTA dapat berikatan dengan satu mol nikel(II) sehingga dihasilkan perbandingan mol 
nikel(II) : EDTA adalah 1 : 1 dan membentuk senyawa koordinasi [Ni(EDTA)]2- (Bhat, dkk. 1965). 
Gambar 3. Penentuan Stoikiometri Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2-
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Berdasarkan hasil penentuan rumus stoikiometri tersebut maka dapat diperkirakan bahwa 
senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- mempunyai struktur oktahedral seperti yang dapat dilihat pada 
Gambar 4. 
Gambar 4. Struktur Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2- 
Karakterisasi Senyawa Kompleks dengan Spektrofotometer Inframerah 
Karakterisasi senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- dilakukan pada bilangan gelombang 300-4000 
cm-1. Pada karakterisasi ini dibandingkan spektra antara senyawa kompleks yang terbentuk 
[Ni(EDTA)]2- dan ligan EDTA seperti yang terlihat pada Gambar 5. 
Gambar 5. Spektra inframerah EDTA ( ) dan [Ni(EDTA)]2- ( )
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Spektra EDTA (Gambar 5) diperoleh dengan menganalisis padatan H4EDTA (titriplex II). 
Pada gambar diatas terlihat bahwa terdapat serapan O-H pada daerah 3400 cm-1 tidak terlalu tajam 
karena EDTA yang dianalisis bukan garam EDTA yang memiliki air hidrat. Sedangkan serapan N-H 
terlihat sangat tajam pada daerah 3100 cm-1. Gugus fungsi C=O terlihat pada 1697 cm-1 sedangkan 
vibrasi COO- yang berasal dari ester pada 1396 cm-1 sedangkan frekuensi vibrasi C-C untuk alkana 
muncul pada serapan 1200-800 cm-1. 
Pada spektra [Ni(EDTA)]2- diatas, dapat dilihat bahwa terdapat serapan melebar O-H muncul 
pada daerah 3410 cm-1 yang mengindikasikan bahwa senyawa koordinasi [Ni(EDTA)]2- 
mengandung air kristal. Sedangkan serapan N-H muncul pada daerah 3200 cm-1. Serapan C=O 
muncul pada 1600 cm-1 sedangkan vibrasi C-O yang berasal dari ester pada 1396 cm-1. Vibrasi C-O 
yang berasal dari ester menunjukkan serapan yang sangat tajam dibandingkan dengan serapan 
pada ligan bebasnya, hal ini karena vibrasi dari C-O pada senyawa ini terikat pada logam Ni 
sehingga intensitasnya meningkat. Frekuensi vibrasi C-C untuk alkana muncul pada serapan 1200- 
800 cm-1. Serapan vibrasi ikatan antara logam Ni dengan ligan terlihat pada bilangan gelombang 
300-600 cm-1, vibrasi ikatan Ni-N terlihat pada bilangan gelombang 347 nm. Hal ini sesuai dengan 
literatur yang menyebutkan bahwa vibrasi ikatan logam dengan gugus N dari ligan akan muncul 
pada bilangan gelombang 300-390 cm-1. Sedangkan vibrasi Ni-O dari ligan EDTA muncul pada 
bilangan gelombang 470 cm-1. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa vibrasi 
logam dengan gugus O dari ligan akan muncul pada bilangan gelombang 600-400 cm-1 (Nakamoto, 
1978). 
Identifikasi Senyawa Kompleks dengan Difraktometer Sinar-X 
Padatan senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- hasil sintesis dianalisis XRD untuk mengetahui 
komponen penyusunnya. Difraktogram hasil analisis disajikan pada Gambar 6. 
Gambar 6. Difraktogram Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2-
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
4. Kesimpulan 
Senyawa kompleks nikel(II)-EDTA telah berhasil disintesis dengan perbandingan mol ligan 
dan atom pusat = 1:1. pH maksimum pembentukan senyawa kompleks adalah pH 10. Berdasarkan 
hasil penentuan rumus molekul senyawa kompleks dan analisis FTIR yang membuktikan adanya 
vibrasi logam nikel ke ligan EDTA, maka [Ni(EDTA)]2- diperkirakan mempunyai struktur oktahedral. 
Daftar Pustaka 
Bhat, R.T., Radhamma, D. & Shankar, J., (1965), “ Studies on EDTA Complexes : Mixed 
Complexes of Copper (II), Nickel (II) and Cobalt (II) Versenates with Pyridine, Hydrazine, 
Hydroxylamine, Ethylenediamine and Propylenediamine “, Journal Inorganic Nuclear 
Chemistry, Vol. 27, hal. 2641-2651. 
Nakamoto K., 1978, Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compound, Third 
Edition., John Wiley and Sons Inc, New York. 
Schimpf, S., Louis, C & Claus, P., (2007), “ Ni/SiO2 catalysts prepared with ethylenediamine nickel 
precursors : Influence of the pretreatment on the catalytic properties in glucose 
hydrogenation “, Applied Catalysis A: General , Vol. 318, hal. 45–53. 
Sukardjo., 1992, Kimia Koordinasi, Edisi Ketiga, PT. Rineka Cipta, Jakarta. 
Ubale, R.S., Kelkar, A.A. & Chaudari, R.V. (1997), “Carbonylation of ethanol using Ni-isoquinoline 
complex catalyst: Activity and selectivity studies”, Journal of Molecular Catalysis A : 
Chemical, Vol.118, hal. 9-19. 
Underwood, A. L. & Day, R.A, (2002), Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, 
Jakarta.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
ESTERIFIKASI ASAM LEMAK BEBAS DARI 
LIMBAH MINYAK SAWIT MENTAH DENGAN METANOL DAN 
KATALIS KAOLINIT TERIMPREGNASI AlCl3 
Harlia, Thamrin Usman, Nelly Wahyuni, Winda Rahmalia 
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Tanjungpura 
Jl. A Yani Pontianak, 78124 
Email: rahmalia_mipa@yahoo.com 
Abstrak 
Telah dilakukan sintesis metil ester dengan metode esterifikasi terhadap asam lemak bebas 
limbah minyak sawit mentah menggunakan katalis kaolinit terimpregnasi AlCl3. Variabel yang dikaji 
pada proses esterifikasi adalah waktu reaksi dan konsentrasi katalis AlCl3. Hasil penelitian 
menunjukkan waktu reaksi dan konsentrasi katalis optimum masing-masing 1 jam dan 4 % dengan 
persentase konversi produk mencapai 79,86 %. Metil ester yang dihasilkan telah dianalisa sifat 
fisika yang meliputi indeks bias 1,454, kerapatan 0,880 g/mL (250C) dan viskositas 6,975 cSt 
(250C). 
Kata kunci: kaolinit, AlCl3, esterifikasi, metil ester, limbah minyak sawit mentah
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
PENGGUNAAN ISATIN SEBAGAI 
INHIBITOR KOROSI BAJA SS 304 DALAM LARUTAN 
ASAM * 
Harmami dan Adrian Gunawan 
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 
Phone : 08883077956, e-mail: harmami@chem.its.ac.id 
Abstrak 
Penggunaan isatin sebagai inhibitor korosi baja SS 304 dalam media asam dipelajari 
dengan menggunakan metode pengurangan massa, polarisasi potensiodinamik, serta analisis 
Scanning Electron Microscopy (SEM). Dari data pengurangan massa maupun data polarisasi 
menunjukkan nilai efisiensi inhibisi ( % EI ) sebanding dengan konsentrasi inhibitor yang 
ditambahkan dan berbanding terbalik dengan kenaikan temperatur. Data konstanta Tafel 
menunjukkan bahwa Isatin dapat bertindak sebagai inhibitor katodik dan anodik (tipe inhibitor 
campuran). Analisa SEM menunjukkan perbedaan tekstur permukaan spesimen yang direndam 
pada media asam tanpa dan dengan penambahan Isatin 12.5 mM, dimana tanpa penambahan 
inhibitor, tekstur permukaan lebih banyak berlubang dan kasar. Proses adsorpsi inhibitor pada 
permukaan logam diduga diawali dengan adsorpsi fisika dan kemudian dilanjutkan dengan adsorpsi 
kimia. Adsorpsi kimia dimungkinkan karena luas pelingkupan permukaan logam meningkat seiring 
dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor. 
Kata kunci: Inhibitor, Isatin , baja tahan karat 304, dan efisiensi inhibisi.. 
1. Pendahuluan 
Stainless Steel (SS) 304 merupakan baja nirkarat yang paling banyak diproduksi 
dibandingkan baja nirkarat yang lainnya dan banyak digunakan baik untuk peralatan rumah tangga 
maupun untuk keperluan industri karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan tipe 316 
maupun tipe yang lain. Baja tipe 304 disebut sebagai baja tahan tahan karat karena dapat 
membentuk lapisan oksida logam pasif pada permukaannya. Namun demikian dalam lingkungan 
asam yang korosif , lapisan tahan karat tersebut tidak dapat terbentuk dan logam akan mengalami 
korosi. Dalam penggunaannya, baja 304 sering mengalami proses cuci asam, sehingga dalam 
proses tersebut, baja 304 pasti akan mengalami korosi. 
Berbagai upaya telah banyak dilakukan untuk mencegah atau setidaknya mengurangi laju 
korosi dalam suatu proses cuci asam, antara lain dengan penggunaan inhibitor, yakni suatu zat 
yang ditambahkan dalam jumlah kecil dalam larutan cuci asam untuk menghambat laju korosi 
(Thretwey, 1991). 
Inhibitor korosi dapat berasal dari bahan anorganik (kromat, dikromat, oksalat, dll) atau 
organik (berbagai jenis minyak dan ekstrak bahan alam). Inhibitor dari bahan anorganik saat ini 
sudah mulai ditinggalkan karena sifatnya yang tidak ramah lingkungan dan bisa menjadi katalis 
korosi apabila konsentrasinya tidak tepat (Surya, 2004) 
Inhibitor korosi dari bahan organik lebih dipilih karena memiliki afinitas yang cukup tinggi 
pada logam, nilai effisiensi yang tinggi, serta ramah lingkungan. Effektivitas senyawa organik
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
sebagai inhibitor sangat dipengaruhi oleh keberadaan heteroatom (O, N, P, dan S), gugus polar, 
ikatan π, serta pasangan elektron bebas yang menjadi sarana bagi inhibitor untuk melakukan 
chemisorpsi / berikatan dengan logam secara koordinasi (Spinelli dkk, 2009). 
Isatin (1) adalah senyawa turunan indole dengan 2 gugus karbonil di nomor 2 dan 3. Gugus 
karbonil yang berada di nomor 3 (karbonil golongan keton) sangat reaktif. Sedangkan karbonil pada 
nomor 2 memiliki sifat seperti amida. 
Gambar 1. Struktur Isatin (1) 
Penggunaan Isatin sebagai inhibitor laju korosi baja 304 dikaji dalam larutan asam 
khususnya larutan 1M HCL dan dikaji pula pengaruh temperatur.larutan tersebut terhadap efisiensi 
inhibisinya. 
2. Metodologi 
Alat dan Bahan 
Alat 
Botol timbang, neraca analitis, gelas beker, alumunium foil, plastik, kertas gosok, labu ukur, buret, 
erlenmeyer. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah termostat, potensiostat, dan 
Scanning Electron Microscopy (SEM). 
Bahan 
Isatin, Asam Klorida Pekat (37%), SS 304, Aquabidest, Aseton, Natrium Hidroksida, dan Asam 
Oksalat 
Prosedur Kerja 
Pembuatan Spesimen Baja SS 304 
Baja SS 304 dipotong dengan dimensi 3 x 3 x 0.1 cm3 yang digunakan dalam pengukuran 
dengan menggunakan metode pengurangan berat dan analisis dengan SEM, sedangkan untuk 
pengukuran dengan metode polarisasi, baja yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 
1,4 cm, tebal 0.1 cm. Baja terlebih dahulu digosok dengan kertas gosok grade 500 dan 1000 
berturut-turut, kemudian dicuci dengan aquadest dilanjutkan dengan aseton, dan dibilas lagi 
dengan aquades serta dikeringkan. 
Pembuatan Media Korosi 
Media korosi yang digunakan adalah larutan HCl 1M tanpa inhibitor, larutan HCl 1M 
dengan penambahan inhibitor (isatin) dengan variasi konsentrasi 2.5 mM – 12.5 mM
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Metode Pengurangan Massa 
Spesimen ditimbang dengan neraca analitis kemudian direndam dalam larutan 1M HCL 
tanpa dan dengan penambahan inhibitor masing-masing selama 3 jam pada variasi temperatur 
larutan, 35oC, 40 oC, 45 oC, 50 oC, 55 oC. Masing-masing perlakuan dilakukan pengukuran tiga kali 
ulangan. 
Effisiensi inhibisi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : 
%IE= 
Wo-Wi 
Wo 
×100 % 
Dimana Wo pengurangan massa spesimen pada media korosi tanpa inhibitor, dan Wi 
adalah pengurangan massa spesimen pada media korosi dengan inhibitor. 
Metode Polarisasi Potensiodinamik 
Metode ini dilakukan untuk mengetahui nilai berbagai parameter korosi (arus korosi, 
potensial korosi, konstanta Tafel katodik dan anodik). Instrumen yang digunakan adalah 
Potensiostat type PGS 201 T dengan sel 3 elektroda. Elektroda acuan adalah tipe calomel (SCE), 
elektroda bantu berupa platina dan elektroda kerja adalah spesimen baja berbentuk silinder. 
Elektroda kerja, elektroda bantu, dan elektroda pembanding di rangkai menjadi suatu sel dengan 
larutan elektrolit berupa media korosi tanpa inhibitor atau media korosi dengan inhibitor. 
Sel kemudian dihubungkan dengan potensiostat dan komputer untuk membaca data yang 
diperoleh. Metode polarisasi dilakukan pada suhu kamar. Efisiensi inhibisi (IE) dihitung 
menggunakan Persamaaan : 
%IE= 
Io-Ii 
Io 
×100 % 
dimana Io merupakan densitas arus korosi pada media 
korosi tanpa inhibitor dan Ii pada media korosi dengan inhibitor. 
Analisa SEM 
Spesimen hasil metode pengurangan berat, dianalisa permukaannya dengan 
menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dengan perbesaran 10.000 kali. Spesimen 
yang digunakan adalah hasil rendaman pada media korosi tanpa inhibitor dan media korosi dengan 
inhibitor yang memiliki nilai %IE maksimum yaitu dengan penambahan Isatin 12.5 mM 
Penentuan nilai Energi Aktivasi (Ea) 
Nilai pengurangan berat pada media korosi tanpa dan dengan inhibitor pada berbagai 
temperatur dialurkan sebagai fungsi 1000/T. Nilai Ea diketahui dari slope. 
3. Hasil dan Diskusi 
Metode Pengurangan Massa 
Pengurangan massa merupakan metode selain elektrokimia yang dapat digunakan untuk 
menentukan laju korosi dan effisiensi inhibisi. Metode ini sederhana dan praktis dilakukan, akan 
tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk perendaman (Spinelli dkk, 2009). Pengurangan 
massa tersebut terjadi karena logam terdestruksi dan larut menjadi keadaan teroksidasinya yang 
diakibatkan oleh adanya reaksi kimia antara logam dengan lingkungannya. 
Metode ini dilakukan pada temperatur yang bervariasi, yakni mulai dari temperatur Kamar, 
35°C, 40°C, 45°C, 50°C, dan 55 OC. Untuk temperatur kamar tidak membutuhkan instrumen
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
tambahan. Sedangkan untuk temperatur lain digunakan instrumen berupa termostat yang dapat 
menjaga temperatur dengan konstan. Grafik yang menyatakan hubungan antara konsentrasi isatin 
dengan efisiensi inhibitor (%EI), dapat dilihat pada gambar 2. 
Metode pengurangan massa menunjukkan effisiensi maksimum yang berhasil dicapai 
adalah sebesar 73.90% pada isatin 12.5 mM di suhu kamar, sedangkan nilai minimum sebesar 
42.0% pada isatin 2.5 mM dan suhu 55°C. Metode ini menunjukkan fakta bahwa saat konsentrasi 
isatin meningkat (pada temperatur yang sama) maka jumlah massa yang berkurang akan semakin 
kecil (laju korosi berkurang) sehingga effisiensi inhibisinya (%EI) akan meningkat. Hal tersebut 
karena semakin luas permukaan spesimen yang dilingkupi oleh inhibitor akibat dari peristiwa 
adsorpsi inhibitor di permukaan baja dan juga semakin berkurangnya serangan ion H+ dan Cl- pada 
baja akibat bereaksi dengan isatin. 
Penelitian lain yang dilakukan Quraishi dkk pada 2008 menunjukkan pola sama dengan 
yang terjadi pada penelitian ini. Penelitian tersebut menggunakan inhibitor N-(Piperidinomethyl)-3- 
[(pyridylidene)amino]isatin (PPI) (sebuah turunan isatin) untuk menginhibisi korosi dari baja lunak 
pada media HCl, ternyata memiliki nilai %EI yang semakin besar saat konsentrasi PPI meningkat. 
Nilai %EI maksimum yang dicapai adalah 94%, yaitu pada saat konsentrasi isatin 300 ppm. Saat 
PPI yang ditambahkan melebihi 300 ppm, tidak terjadi perubahan yang signifikan dari nila%EI. 
Efektivitas dari PPI ditentukan oleh keberadaan ikatan rengkap dan elektron bebas yang terdapat 
dalam PPI. 
Peningkatan temperatur dari media ternyata meningkatkan jumlah pengurangan massa 
yang mengakibatkan nilai %EI turun. Hal ini dikarenakan peningkatan difusi ion – ion dalam media 
dan meningkatkan jumlah oksigen terlarut, sehingga reaksi parsial elektrokimia akan semakin cepat 
dan proses pelarutan logam juga meningkat. Pada media korosi dengan inhibitor yang 
mengandung inhibitor, kenaikan temperatur akan mengakibatkan proses desorpsi dari inhibitor jika 
adsorpsinya merupakan fisisorpsi (Harmami dkk, 2006). Grafik yang menunjukkan hubungan 
antara temperatur dengan %EI pada berbagai konsentrasi isatin dapat dilihat pada gambar 3 
80,00 
70,00 
60,00 
50,00 
40,00 
0 2,5 5 7,5 10 12,5 
% Effisiensi Inhibisi 
Konsentrasi Isatin (mM) 
Kamar 
35°C 
40°C 
45°C 
50°C 
55°C 
Gambar 2. Grafik Hubungan Antara Konsentrasi Isatin dengan %EI pada Berbagai Temperatur Media
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
80,00 
75,00 
70,00 
65,00 
60,00 
55,00 
50,00 
45,00 
40,00 
30 35 40 45 50 55 
% Effisiensi Inhibisi 
Temperatur (°C) 
2.5 
5 
7.5 
10 
12.5 
Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Temperatur Media dengan Nilai %EI pada Berbagai 
Konsentrasi Isatin 
Hal yang berbeda terjadi saat PPI digunakan sebagai inhibitor korosi pada berbagai variasi 
temperatur. PPI akan menghasilkan nilai %EI yang meningkat pada saat temperatur media 
meningkat. Perbedaan ini diakibatkan oleh adanya perbedaan jenis adsorpsi yang terjadi pada PPI 
dan isatin. Fisisorpsi terjadi pada molekul isatin sedangkan PPI mengalami kemisorpsi yang 
didahului oleh fisisorpsi. Pada peristiwa kemisorpsi dibutuhkan energi yang cukup tinggi yakni untuk 
membentuk ikatan antara adsorbat dan adsorben, sehingga pada saat temperaturnya meningkat 
maka pembentukan ikatan akan lebih mudah dan cepat terjadi. Luas permukaan yang terlingkupi 
nantinya juga akan bertambah saat temperatur naik dan mengakibatkan semakin tingginya nilai 
%EI pada penggunaan PPI. 
Perbedaaan jenis adsorpsi dan nilai %EI pada isatin dan PPI dikarenakan perbedaan 
struktur diantara kedua inhibitor tersebut. PPI adalah turunan isatin dengan molekul yang lebih 
besar dibandingkan isatin sehingga luas pelingkupannya pada logam akan lebih besar dibanding 
isatin pada konsentrasi sama, sehingga nilai %EI PPI akan lebih besar dibandingkan isatin. 
Perbandingan struktur PPI dan isatin, ditampilkan pada gambar 4. PPI memiliki lebih 
banyak heteroatom (4 atom N dan 1 atom O), molekul isatin memiliki 2 atom O dan 1 atom N, 
sehingga memungkinkan PPI lebih mudah melakukan ikatan koordinasi (kemisorpsi) dengan logam 
melalui PEB yang ada di heteroatom tersebut. Isatin sendiri dengan jumlah PEB yang lebih sedikit 
akan lebih sulit melakukan kemisorpsi dengan logam, sehingga hanya terjadi fisisorpsi. 
Keberadaan heteroatom pada PPI tersebut juga akan mengakibatkan lebih banyaknya ion 
H+ yang tertangkap oleh PPI dibandingkan pada isatin. Karena dua hal yang disebutkan tersebut 
maka nilai %EImax pada PPI yang mencapai 94% menjadi lebih tinggi dibandingkan %EImax pada 
isatin yang hanya mencapai 73.90%. 
(a) (b) 
Gambar 4. Perbandingan Struktur antara (a) PPI dan (b) Isatin
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Perhitungan Energi Aktivasi (Ea) 
Perhitungan nilai energi aktivasi (Ea) menggunakan data dari metode pengurangan massa. 
Nilai logaritma natural (ln) jumlah pengurangan massa (Δw) pada larutan dengan konsentrasi isatin 
yang sama dialirkan pada fungsi 1000/T. Gambar 5 menampilkan hasil pengaluran data tersebut. 
-2,5 
-3 
-3,5 
-4 
-4,5 
-5 
3 3,1 3,2 3,3 3,4 
1000/T (K-1 ) 
0 mM 
2.5 mM 
5 mM 
7.5 mM 
10 mM 
12.5 mM 
Gambar 5. Grafik Hubungan antara ln ΔW vs 1000/T 
ln Δw 
Berdasar persamaan Arhennius nilai slope yang diperoleh dari persamaan garis tersebut 
adalah nilai dari –Ea/R. Nilai Ea diperoleh dengan mengalikan nilai slope dengan konstanta gas 
ideal (R) sebesar 8.314 J/mol. Grafik yang menyatakan hubungan antara energi aktivasi (Ea) dan 
konsentrasi inhibitor yang digunakan dapat dilihat pada gambar 6. 
Energi Aktivasi (Kj/mol) Konsentrasi Isatin (mM) 
R² = 0,9344 
14 
12 
10 
8 
6 
4 
2 
0 
0 2,5 5 7,5 10 12,5 
Gambar 6. Grafik Hubungan Energi Aktivasi (Ea) dan Konsentrasi Isatin 
Nilai Ea maksimum diperoleh sebesar 12.22 kJ/mol dan Ea minimum sebesar 6.79 kJ/mol. 
Terjadi sedikit penurunan nilai Ea pada saat konsentrasi isatin mencapai 12.5 mM, nilai Ea 
seharusnya lebih besar dari 12.22 kJ/mol tetapi faktanya hanya mencapai 12.14 kJ/mol. Hal 
tersebut dimungkinkan karena pengaruh kelarutan isatin pada 12.5 mM yang tidak sempurna meski
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
telah dilakukan pengadukan dan pemanasan selama 15 menit, akan tetapi hal tersebut tidak terlalu 
berpengaruh pada kinerja isatin sebagai inhibitor korosi. 
Berdasar data dapat diketahui bahwa energi aktivasi dalam media korosi dengan inhibitor 
lebih besar dibanding dalam media korosi tanpa inhibitor, dan nilai energi aktivasi cenderung naik 
saat konsentrasi isatin meningkat. Energi aktivasi yang semakin besar juga identik dengan nilai 
%EI yang semakin besar. Hal ini dikarenakan secara termodinamik, nilai Ea yang besar akan 
mengakibatkan korosi lebih lambat dan sulit terjadi, sehingga laju korosi dalam media yang sudah 
ditambahkan inhibitor akan mengalami penurunan dan nilai %EI akan meningkat. 
Pada penelitian lain juga ditemukan inhibisi korosi yang menghasilkan nilai Ea meningkat 
pada saat inhibitor ditambahkan, seperti yang dilaporkan oleh Xianghong dkk pada 2009 saat 
menggunakan 6-benzylaminopurine sebagai inhibitor korosi. Nilai Ea pada media tanpa inhibitor 
mencapai 51.86 kJ/mol, sedangkan nilai Ea pada media dengan inhibitor masksimum (300 mg/L) 
mencapai 120.25 kJ/mol. Peningkatan energi aktivasi ini terjadi karena energi yang dibutuhkan oleh 
H+ untuk mengkorosi baja meningkat karena terganggu oleh hadirnya inhibitor dan mengakibatkan 
laju korosi menurun. 
Pada penelitian Spinelli dkk pada 2009 yang menggunakan asam kaffeat sebagai inhibitor 
korosi pada baja lunak dalam asam sulfat, ditemukan fenomena nilai Ea pada media tanpa inhibitor 
yang lebih besar dibanding pada media dengan inhibitor, dimana hal tersebut dihubungkan dengan 
terjadinya peristiwa kemisorpsi dari asam kaffeat pada permukaan baja. Nilai Ea yang sama pada 
media tanpa dan dengan inhibitor juga dapat terjadi, oleh karena itu tipe inhibitor korosi 
diklasifikasikan menjadi 3 golongan : 
i. %EI turun dengan naiknya temperatur, maka Ea dengan inhibitor > Ea tanpa inhibitor. 
Menandakan adanya fisisorpsi dari inhibitor pada permukaan logam, dan kerja katodik dari 
inhibitor. 
ii. %EI naik dengan naiknya temperatur, maka Ea dengan inhibitor < Ea tanpa inhibitor. 
Menandakan adanya kemisorpsi dari inhibitor pada permukaan logam 
iii. %EI tidak berubah saat temperatur berubah, maka Ea dengan inhibitor = Ea tanpa inhibitor 
(Xianghong dkk, 2009) 
Isatin pada penelitian ini termasuk golongan (i), sehingga dapat dikatakan bahwa Isatin 
merupakan inhibitor yang teradsorp secara fisika pada permukaan logam. 
Metode Polarisasi Potensiodinamik 
Nilai arus korosi (Icorr) dan potensial korosi (Ecorr) pada proses korosi baja SS 304 dalam 
media korosi dapat diketahui dengan menggunakan metode polarisasasi potensiodinamik. 
Instrumen untuk metode ini adalah potensiostat PGZ 201 T dengan sistem 3 elektroda yang 
terdapat di PTAPB – BATAN Jogjakarta. 
Baja SS 304 dengan ketebalan 1 cm dipotong berbentuk silinder dengan diameter 1.4 cm, 
spesimen terlebih dahulu digosok dengan kertas gosok, untuk membersihkan kerak, kotoran dan 
lapisan oksida yang terdapat di permukaan baja, kemudian dicuci dengan aquabidest, aseton, dan 
dibilas dengan aquabidest. Spesimen kemudian dikeringkan. 
Spesimen di uji polarisasi potensiodinamik dengan sistem 3 elektroda, spesimen sebagai 
elektroda kerja (WE), platina sebagai elektroda bantu (AE), dan SCE sebagai elektroda reference 
(RE), sedangkan untuk elektrolit digunakan larutan HCl tanpa inhibitor dan dengan inhibitor. Media 
korosi pada metode ini diencerkan 10 kali dari media korosi pada metode pengurangan massa. Hal 
tersebut dilakukan karena keterbatasan instrumen potensiostat tersebut. Metode Polarisasi 
potensiodinamik dijalankan dengan scan rate 20 mV/s pada range -2500 mV sampai 1000 mV. 
Icorr maksimum diperoleh pada media korosi tanpa inhibitor dengan nilai sebesar 101.9 μA, 
sedangkan nilai minimum diperoleh pada saat konsentrasi Isatin 1.25 mM sebesar 46.99 μA. Dapat 
disimpulkan bahwa inhibisinya akan cenderung meningkat pada saat konsentrasi Isatin semakin
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
meningkat sampai konsentrasi 12.5 mM, dengan nilai % EI minimum sebesar 26.4 % dan 
maksimum sebesar 53.88 % 
Hasil dari polarisasi ditampilkan dalam gambar 7, 8, dan 9 sebagai berikut : 
Gambar 7. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1 M (1) dan HCl 0.1 M dengan Isatin 0.25 mM (2) 
Gambar 8. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1M dengan Isatin 0.5mM (3) dan HCl 0.1 M dengan 
Isatin 0.75mM (4) 
Gambar 9. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1 M dengan Isatin 1.0 mM (5) dan HCl 0.1 M 
dengan Isatin 1.25 mM (6)
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Nilai berbagai parameter korosi (Icorr, Ecorr, βa, βc, dan % EI) pada berbagai kondisi yang 
dihasilkan dari metode ini disampaikan dalam tabel 1. 
Tabel 1. Nilai Berbagai Parameter Korosi Baja SS 304 
pada Media HCl 0.1 M dengan Hadirnya Isatin pada T kamar 
[Inhibitor] Ecorr icorr βa -βc % EI 
0 mM -862.2 101.9 563.7 273.8 - 
0.25 mM -904.8 74.58 591.4 240.7 26.8106 
0.5 mM -904.5 74.29 563.3 197.6 26.48675 
0.75 mM -783.6 61.16 291.1 172 39.98037 
1mM -853.1 57.53 338.9 173.8 43.54269 
1.25 mM -836.9 46.99 226.3 136.3 53.88616 
Hubungan antara % icorr dengan konsentrasi Isatin dapat dilihat pada gambar 10. 
R² = 0,9023 
150 
100 
50 
0 
0 0,25 0,5 0,75 1 1,25 
Densitas Arus Korosi 
Konsentrasi Isatin (mM) 
Gambar 10 Grafik Hubungan icorr dengan Konsentrasi Isatin. 
Nilai potensial korosi (Ecorr) yang naik turun dimungkinkan oleh adanya proses adsorpsi 
Isatin di permukaan baja SS 304 saat polarisasi tidak stabil. Akan tetapi inhibisi korosi tetap 
berlangsung, hal itu terbukti dari nilai Icorr yang terus menurun saat ditambahkan Isatin. 
Nilai konstanta tafel anodik pada tabel 1 diatas menunjukkan perubahan yang tak teratur, 
hal ini menunjukkan bahwa adsorpsi Isatin di permukaan spesimen lemah dan mudah lepas yang 
merupakan ciri dari adsorpsi secara fisika. Fisisorpsi ini terjadi akibat adanya interaksi elektrostatik 
antara inhibitor dengan permukaan logam. Sedangkan nilai konstanta tafel katodik, menunjukkan 
nilai penurunan yang teratur dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor, hal tersebut menunjukkan 
bahwa isatin bekerja cukup baik di sisi katodik, yaitu dengan mengurangi laju reduksi ion H+ 
menjadi H2 
Pada penelitian Isatin yang lain, oleh Quartarone dkk (2003), terdapat peristiwa kemisorpsi 
antara isatin dengan Cu yang di buktikan oleh spektrofotometri uv-vis. Nilai βc pada penelitian 
Quartarone ini menunjukkan bahwa Isatin juga bekerja dengan baik pada sisi katoda dengan 
menghambat laju reduksi H+ menjadi H2. Hal diatas menunjukkan bahwa Isatin adalah tipe inhibitor 
campuran.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Mekanisme Inhibisi Korosi 
Inhibitor korosi dapat bekerja menghambat korosi dengan berbagai jalan dan persitiwa 
adsorpsi inhibitor pada permukaan logam merupakan satu mekanisme untuk inhibitor korosi type 
anodik. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa inhibitor organik disukai sebagai 
inhibitor, karena perilakunya yang memiliki afinitas tinggi pada logam dan ramah lingkungan. 
Afinitas senyawa organik sangat dipengaruhi oleh keberadaan heteroatom (N, O, P, S), PEB, dan 
ikatan rangkap (Spinelli dkk, 2009). 
Jenis adsorpsi yang terjadi, apakah fisisorpsi, kemisorpsi, ataupun kemisorpsi yang 
didahului fisisorpsi sangat tergantung pada struktur inhibitor itu sendiri, jenis logam dan keadaan 
media (pH, Temperatur, dan jumlah inhibitor). Molekul isatin dapat teradsorp secara kimia pada 
permukaan logam yang ditunjukkan dengan pembentukan kompleks Cu-Isatin dalam media H2SO4 
0.5 M yang dibuktikan dengan spektrofotometri uv-vis. Isatin berperan sebagai basa lewis yang 
mendonorkan PEB, sedangkan logam sebagai asam lewis akan menangkap PEB tersebut, 
sehingga terbentuk senyawa kompleks. Senyawa kompleks tersebut akan menutup sebagian 
permukaan logam dan menghambat pelarutan dari logam. Proses kemisorpsi seperti ini 
membutuhkan energi yang cukup tinggi dan waktu kontak yang lama. Pola kemisorpsi yang terjadi 
dapat diuji dengan cara fitting terhadap berbagai persamaan isothermal adsorpsi (Quartarone dkk, 
2003) 
Fisisorpsi terjadi apabila hanya ada interaksi dipol-dipol antara inhibitor dan logam, 
adsorpsi model ini lemah dan mudah lepas. Fisisorpsi akan terjadi apabila struktur inhibitor tidak 
memungkinkan untuk mendonorkan pasangan elektron bebas (PEB) nya pada logam. Fisisorpsi 
inhibitor di permukaan logam ditemukan pula pada penelitian Harmami dkk (2003) yang 
menggunakan 4-metil imidazole untuk inhibitor korosi baja 316L. Fisisorpsinya diketahui dari nilai 
energi bebas Gibbs (ΔG) yang rendah, dan nilai energi aktivasi korosi saat ditambahkan inhibitor 
korosi menjadi lebih besar. “Fitting” membuktikan bahwa inhibitor tersebut mengikuti pola 
Freundlich. Proses fisisorpsi tersebut bisa diikuti dengan kemisorpsi, hal itu dapat dilihat dengan 
meningkatnya fraksi pelingkupan permukaan logam seiring dengan peningkatan konsentrasi 
inhibitornya. 
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa isatin pada awalnya teradsorp secara fisika pada 
permukaan logam, hal ini diketahui dari nilai βa yang berubah tidak beraturan. Nilai βa tersebut 
menunjukkan kalau adsorpsi isatin di permukaan logam lemah dan mudah lepas, sama seperti ciri 
dari fisisorpsi. Nilai energi aktivasi pada media korosi dengan inhibitor yang lebih besar 
dibandingkan pada media korosi tanpa inhibitor juga menunjukkan adanya fisisorpsi seperti pada 
penelitian Behpour dkk pada tahun 2009. 
Ditinjau berdasarkan struktur, isatin memang kurang mampu untuk mendonorkan PEB 
pada logam, hal ini terkait dengan terbatasnya PEB yang dimiliki dan adanya delokalisasi elektron 
pada isatin yang melibatkan PEB dari atom N dan O sehingga mempersulit donor PEB oleh isatin 
pada logam. 
Keberadaan fisisorpsi sebenarnya kurang menguntungkan untuk proses inhibisi korosi, 
karena ikatan antara inhibitor dan logam yang lemah dan mudah lepas yang memungkinkan 
peristiwa korosi masih bisa terjadi, akan tetapi pada penelitian ini diketahui bahwa isatin juga 
berperan pada sisi katodik dengan menghambat laju reduksi dari H+ melalui pembentukan senyawa 
isatin yang terprotonasi (H-Isatin)+ yang kemudian dapat membentuk garam klorida Isatin (H-isatin)+ 
Cl—. Sulitnya H+ dan Cl- untuk bereaksi dengan logam pada hadrinya isatin akan 
mengakibatkan nilai Ea meningkat, hal ini terbukti pada penelitian ini, dimana nilai Ea pada media 
korosi dengan inhibitor lebih besar dibanding Ea pada media korosi tanpa inhibitor.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) 
Spesimen SS 304 hasil pengurangan massa pada media korosi tanpa inhibitor (HCl 1M 
tanpa Isatin) dan media korosi dengan inhibitor yang menghasilkan nilai effisiensi maksimum (HCl 
1M + Isatin 12.5 mM) dianalisa dengan menggunakan SEM pada perbesaran 5.000 kali. Tujuan 
dari analisa ini adalah untuk mengetahui kerusakan akibat korosi yang terjadi pada permukaan baja 
setelah direndam dalam media korosi. Hasil dari analisa SEM pada 2 spesimen tersebut 
ditampilkan pada gambar 11 a dan b. 
Dari hasil analisa SEM tersebut menunjukkan bahwa pada permukaan baja yang direndam 
dalam media HCl 1M tanpa isatin mengalami kerusakan yang lebih dibandingkan baja yang 
direndam dalam HCl dan Isatin 12.5 mM. Terlihat lebih banyak cacat di permukaan akibat serangan 
H+ dan Cl- pada gambar a dibanding gambar b. Cacat logam tersebut terjadi karena adanya bagian 
logam yang teroksidasi dan larut akibat peristiwa korosi. Pada gambar b yang menunjukkan cacat 
yang lebih sedikit dibandingkan gambar a menunjukkan bahwa korosi telah terhambat oleh 
kehadiran isatin. Hal tersebut menunjukkan bahwa isatin bertindak sebagai inhibitor korosi. 
(a) (b) 
Gambar 11. Hasil SEM spesimen SS 304 pada larutan HCl 1M tanpa 
Isatin (a) dan dengan Isatin 12.5 mM (b) (perbesaran 5000x) 
4. Kesimpulan 
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa isatin dapat 
digunakan sebagai inhibitor korosi untuk baja SS 304 dalam larutan HCl.. Dari data hasil 
pengukuran dengan menggunakan metode pengurangan dan polarisasi potensiodinamik 
menunjukkan bahwa nilai efisiensi inhibisi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi 
isatin dengan nilai efisiensi sebesar 73.90% pada konsentrasi isatin 12,5 mM. Efisiensi inhibisi 
tersebut akan turun seiring dengan peningkatan temperatur media. Nilai energi aktivasi yang 
meningkat menunjukkan terjadinya inhibisi korosi, serta data parameter korosi menunjukkan bahwa 
isatin adalah tipe inhbitor campuran, yang bekerja pada sisi anodik dan katodik. Proses adorpsi 
inhibitor pada permukaan logam diawali dengan adsorpsi fisika dan dilanjutkan dengan adsorpsi 
kimia. 
Ucapan Terima Kasih 
Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada : 
1. Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) di Babarsari Yogyakarta yang telah memberikan 
ijin untuk menggunakan alat potensiostat. 
2. LPPM ITS yang telah mengijinkan untuk penggunaan SEM
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Daftar Pustaka 
Behpour, M, S.M. Ghoreishi, N. Soltani, M. Salavati-Niasari (2009), “The inhibitive effect of some 
bis-N,S-bidentate Schiff bases on corrosion behaviour of 304 stainless steel in 
hydrochloric acid solution” Corrosion Science 51 : 1073 – 1082 
Da Silva, Joaquim F. M, Simon J. Garden and Angelo C. Pinto (2001) “The Chemistry of Isatins: a 
Review from 1975 to 1999” J. Braz. Chem. Soc., Vol. 12, No. 3 : 273-324, 
Harmami, Hendro Juwono, Agus W., Yusuf P., M.Yusuf dan Nurhayati* (2003), “study of 4-methyl 
imidazole as corrosion inhibitor of 316L austenitic steel in acidic media” Majalah IPTEK 17 
: 35 – 39 
Hasnan, Ahmad, S., (2006),”Mengenal Baja”, (http://www.oke.or.id/) 
Honeycombe, R.W.K., (1995),“Steels Microstructure and Properties”, Second Edition, Edward 
Arnold, London 
Indocor, (1999), Pelatihan Ahli Korosi Muda, Indocor, Bandung 
Jones, D.A (1996),”Principles and preventation of corrosion”, Second Edition, Prentice Hall, Inc., 
United States of America 
Migahed, M.A, dkk (2005), “Effectiveness of some non ionic surfactants as corrosion inhibitors for 
carbon steel pipelines in oil fields” Electrochimica acta 50 : 4683 – 4689. 
Mulyono, (2006), “Kamus Kimia”, Bumi Aksara, Jakarta 
Oxtoby, David W, (2001), “ Kimia Modern, Edisi Keempat Jilid 1”, Erlangga, Jakarta 
Quartarone, G, T. Bellomi, A. Zingales (2003), “Inhibition of Copper Corrosion by Isatin in Aerated 
0.5 M H2SO4” Corrosion Science 45 : 715 – 733 
Quraishi, M.A, Ishtiaque A, Ashish K S, Sudhish K S, B. Lal, Vakil Singhb (2008), “N- 
(Piperidinomethyl) -3 [(pyridylidene)amino] isatin: A new and effective acid corrosion 
inhibitor for mild steel” Materials Chemistry and Physics 112 : 1035 - 1039 
Spinelli, A , FS. De Souza (2009), ”Caffeic acid as a green corrosion inhibitor for mild steel” 
Corrosion Science 51 : 642 – 649 
Surya, Indra, D., (2004),“Kimia Dari Inhibitor Korosi”, UNSUD, Sumatra Utara 
Thretwey, Kenneth R dan John Camberlein, (1991), “Korosi untuk Mahasiswa Sains dan 
Rekayasa” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 
Xianghong Li, Shuduan Deng, Hui Fu, Guannan Muc (2009), “Inhibition effect of 6-benzyl 
aminopurine on the corrosion of cold rolled steel in H2SO4 solution” Corrosion Science 51 
: 620 – 634
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
VALIDASI METODE PENGUKURAN LOGAM DALAM 
LIMBAH ELEKTROPLATING DENGAN METODE AAS 
(ATOMIC ABSORPTION SPECTROPHOTOMETER) 
Yatim Lailun Ni’mah, Irmina Kris Murwani dan Ita Ulfin 
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 
Abstrak 
Telah dilakukan validasi metode F-AAS (Flame – Atomic Absorption Spectrophotometric) 
untuk penentuan kandungan logam Mn, Cu, Zn, dan Fe dalam limbah elektroplating. Parameter 
validasi meliputi sensitivitas, accuracy (kecermatan), precission, linieritas LOD, LOQ. Hasil Validasi 
metode AAS untuk penentuan logam Cu, Zn, Fe, dan Mn diperoleh uji linearitas memberikan nilai 
R2 masing-masing adalah 0,999; 0,996; 0,999 dan 0,999. Nilai presisi untuk logam tersebut 
berturut-turut adalah , 0,1594; 0,020267; 0,0228 dan 0,044 dan sensitivitasnya berturut-turut 
0,1379; 0,217; 0,9624 dan 0,4993. Sedangkan nilai LOD nya adalah 5,48x10-3 ; 4,08x10-3; 0,067 
dan 0,0168 dan nilai LOQ nya adalah 0,0183; 0,0136; 0,2235 dan 0,0559. Konsentrasi logam Fe, 
Mn, Cu dan Zn dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563 
dan 1,033 ppm. 
1. Pendahuluan 
Di laboratorium Lingkungan ITS yang terdapat di Research Center memiliki beberapa 
peralatan / instrument yang dapat digunakan untuk menentukan pengukuran kualitas dan kuantitas 
parameter untuk lingkungan. Diantara instrument yang ada yaitu Spektrofotometer Serapan Atom 
(Atomic Absorption Spectrophotometer). Instrument tersebut dapat digunakan untuk pengukuran 
analisa beberapa logam. Sebelum di lakukan untuk pengukuran sampel, maka sebelumnya 
instrument tersebut perlu di lakukan validasi metode agar data hasil pengukuran yang diperoleh 
memiliki nilai yang ukurat. Jika pada pengukuran diperoleh data dengan penyimpangan yang terlalu 
besar, maka kesalahan pengukuran tidak dapat diterima, jadi hasil analisis tersebut tidak valid. 
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai validasi metode penentuan beberapa 
konsentrasi logam yang sering diukur dengan instrumen tersebut. Pengukuran konsentrasi logam 
dengan AAS perlu divalidasi agar data yang diperoleh lebih presisi dan akurat. Pada penelitian ini 
dilakukan optimasi dalam pengukuran logam menggunakan AAS dengan beberapa parameter 
validasi yaitu sensitivitas, accuracy (kecermatan), precission, linieritas dan rentang, LOD dan LOQ. 
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, 
berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi 
persyaratan untuk penggunaannya. 
Kecermatan (Accuracy) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis 
dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali 
(recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analisis sangat tergantung pada sebaran 
galat sistematik di dalam keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai 
kecermatan yang tingi hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi galat sistematik tersebut 
seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang 
baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur. 
Kriteria kecermatan sangat tergantung kepada konsentrasi analit dalam matriks sampel dan 
pada keseksamaan metode (RSD). Vander Wielen, dkk menyatakan bahwa selisih kadar pada
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
berbagai penentuan (Xd) harus 5% atau kurang pada setiap konsentrasi analit pada mana prosedur 
dilakukan. 
Keseksamaan (Precision) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara 
hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan 
secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. 
Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien 
variasi). Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan 
(reproducibility). Keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis 
yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Keterulangan dinilai melalui 
pelaksanaan penetapan terpisah lengkap terhadap sampel – sampel identik yang terpisah dari 
batch yang sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal. Ketertiruan 
adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pad kondisi yang berbeda. Biasanya analiosis 
dilakkan pada laboratorium – laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut 
dana analis ayang berbeda pula. Analisis dilakukan terhadap sampel – sampel yang diduga identik 
yang dicuplik dari batch yang sama. 
Keseksamaan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : 
a. Hasil analisis adalah X1, X2, X3,…..Xn, maka simpangan bakunya adalah : 
Σ - 
( ( X X 
)2 
1 
- 
= 
n 
SD 
b. Simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (KV) adalah : 
RSD = SD/X 
x100% 
SD 
X 
KV = 
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara 
langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap 
konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi 
analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas 
yang dapat diterima. 
Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r pada analisis 
regresi linier Y = a + bX. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau -1 
bergantunga pada arah garis. Sedangakan nilai a menunjukkan kepekaan analisis terutama 
instrumen yang digunakan. 
Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih 
memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas deteksi merupakan parameter 
uji batas. Batas kuntitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas 
terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. 
Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu 
menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen batas 
tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada 
analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blanko beberapa kali lalu 
dihitung simpangan baku respon blanko dan formula dibawah ini dapat digunakan untuk 
perhitungan, 
Q = 
k . S 
b SI
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Q = LOD (batas deteksi) atau LOQ (batas kuantitasi) 
k = 3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuantitasi 
Sb = simpangan baku respon analitik dari blanko 
SI = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b 
pada persamaan garis y = a + bx) 
Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari 
kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = a + bx, 
sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x). 
Batas deteksi (LOD) 
Karena k = 3 atau 10, simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka : 
LOD = 
3Sy / x 
SI 
Batas kuantitasi (LOQ) 
LOQ = 
10Sy / x 
SI 
Metode AAS memiliki prinsip kerja pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap 
cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada 
panjang gelombang ini memiliki cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik dari atom–atom 
logam. 
Metode AAS sering digunakan untuk analisis logam karena ketelitiannya sampai tingkat 
yang sangat kecil, tidak memerlukan pemisahan pendahuluan. Kemungkinan untuk menentukan 
konsentrasi semua unsur sampai pada ppm. Sebelum pengukuran tidak selalu memisahkan unsur 
yang ditentukan karena kemungkinan penentuan satu unsur dengan kehadiran unsur lain. 
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi penentuan logam (Tembaga, Seng , Besi 
dan Mangan) dari sampel limbah elektroplating dengan Spektofotometer Serapan Atom. 
2. Metode Penelitian 
Alat dan Bahan 
Alat yang digunakan adalah Satu unit alat Spektrofotometer Serapan Atom, Mikropipet, 
pipet volume, pipet tetes, gelas ukur, beker gelas, neraca analitik, dan labu ukur. Sedangkan bahan 
yang digunakan adalah padatan Seng (II) nitrat Zn(NO3)2.9H2O, padatan tembaga (II) nitrat trihidrat 
Cu(NO3)2.3H2O, HCl, Larutan standar Cu, Zn, Fe dam Mn digunakan sebagai larutan standar 
kalibrasi, kertas saring whatman, HNO3 65%, NaOH, aquades, aqua DM dan sampel limbah 
industri elektroplating. 
Prosedur Kerja 
Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Fe, Cu, Mn dan Zn 
Larutan induk Fe, Cu dan Mn 1000 ppm masing-masing dipipet sebanyak 10 ml kemudian 
dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% 
hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan tembaga dengan konsentrasi 100 ppm. Larutan ini 
kemudian dipipet sebanyak 0; 1; 5; 10; dan 20 mL kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml 
dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh 
larutan tembaga dengan konsentrasi 0; 1; 5; 10; dan 20 ppm. Larutan Fe dianalisa dengan AAS 
pada λ 249,3 nm, dengan tipe nyala AA (udara-asetilen), sensitivitas 0,045 ppm, range kerja 2,5 – 
10 ppm dan batas deteksi 0,006 ppm. Larutan Mn dianalisa dengan AAS pada λ 279,5 nm, dengan 
tipe nyala AA (udara-asetilen), sensitivitas 0,021 ppm, range kerja 1 – 4 ppm dan batas deteksi
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
0,002 ppm, lalu masing – masing dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan harga absorbansi (A) 
terhadap konsentrasi larutan(C). 
Sedangkan pembuatan kurva kalibrasi Zn dilakukan dengan cara : larutan induk seng 1000 
ppm dipipet sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan 
menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan Seng dengan 
konsentrasi 100 ppm. Larutan ini kemudian dipipet sebanyak 0; 1; 2; 3; dan 4 mL kemudian 
dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% 
hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan Seng dengan konsentrasi 0; 1; 2; 3 dan 4 ppm. 
Selanjutnya dianalisa dengan SSA pada λ 357,9 nm, dengan tipe nyala AA (udara-asetilen), lalu 
dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan harga absorbansi (A) terhadap konsentrasi larutan(C). 
Pengukuran konsentrasi Fe, dan Mn dalam sampel limbah industri 
Sampel berupa air limbah di ambil 1 mL kemudian ditambah HNO3 1 % 3 tetes, 
dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL kemudian diencerkan sampai tanda batas. Sampel diukur 
kadar Cu, Fe dan Mn dengan menggunakan SSA. 
3. Hasil dan Pembahasan 
Persiapan instrumen diawali dengan pemeriksaan lampu yang terpasang pada alat AAS 
dan dicatat pada nomor berapa lampu tembaga, besi mangan dan seng terpasang. Sebelum alat 
AAS digunakan untuk mengukur sampel, semua kondisi harus dicek dalam keadaan benar, 
misalnya gas dan udara sudah mengalir, cooling water pada burner sudah nyala, air pada drill pot 
tidak boleh kosong, penampung buangan sudah terpasang, panjang gelombang sudah sesuai 
untuk logam yang diukur, dll. 
Analisa yang dilakukan yaitu pembuatan kurva kalibrasi dari logam tembaga, besi, mangan 
dan seng serta uji linieritas untuk masing-masing logam tersebut serta uji yang lain (presisi, akurasi, 
selektivitas, LOD dan LOQ). 
Hasil yang sudah didapatkan dari penelitian ini yaitu berupa data hasil uji linieritas, uji 
presisi, selektifitas, LOD dan LOQ untuk logam mangan, seng, besi dan tembaga. 
Kurva kalibrasi dibuat dengan mengukur absorbansi dari larutan standar yang telah 
diketahui konsentrasinya dengan menggunakan AAS pada λ maksimum tertentu untuk masing-masing 
logam. Kemudian dengan mengalurkan nilai absorbansi terhadap konsentrasi dari larutan 
standart dan berdasarkan hukum Lambert Beer akan diperoleh suatu persamaan garis lurus 
melalui regresi linier. Persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi ini yang digunakan untuk 
menghitung konsentrasi logam dalam cuplikan. 
Uji Linieritas 
Pembuatan Kurva kalibrasi Logam Tembaga, Besi dan Mangan 
Kurva kalibrasi logam tembaga (Cu) dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar 
logam tembaga dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20 ppm yang diukur dengan AAS pada l 324,7 nm. 
Dari data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan 
standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi 
liniernya. Kurva kalibrasi logam tembaga ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
y = 0,0309x + 0,0021 
R² = 0,9999 
0,7 
0,6 
0,5 
0,4 
0,3 
0,2 
0,1 
0 
0 5 10 15 20 25 
Absorbansi 
Konsentrasi Tembaga (ppm) 
Gambar 1. Kurva kalibrasi larutan standar tembaga 
Kurva kalibrasi logam besi dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam besi 
dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20 ppm yang diukur dengan AAS pada l 248,3 nm. Dari data yang 
diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar 
tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya. 
Kurva kalibrasi logam besi ditunjukkan pada Gambar 2. 
y = 0,0044x + 0,0002 
R² = 0,9999 
0,1 
0,08 
0,06 
0,04 
0,02 
0 
0 5 10 15 20 25 
Konsentrasi Besi (ppm) 
Gambar 2. Kurva kalibrasi larutan standar besi 
Absorbansi 
Kurva kalibrasi logam mangan dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam 
mangan dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20, ppm yang diukur dengan SSA pada l 279,5 nm. Dari 
data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan 
standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi 
liniernya. Kurva kalibrasi logam mangan ditunjukkan pada Gambar 3.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
y = 0,0089x - 0,0007 
R² = 0,9996 
0,2 
0,15 
0,1 
0,05 
0 
0 5 10 15 20 25 
Gambar 3. Kurva kalibrasi larutan standar mangan 
Keabsahan kurva kalibrasi diatas dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi 
(R2) atau uji kelinieran yang menyatakan ukuran kesempurnaan hubungan antara konsentrasi 
larutan standar dengan absorbansinya. 
Korelasi dikatakan sempurna jika nilai R2 mendekati +1. sedangkan nilai nol menyatakan 
tidak ada korelasi antara dua variabel yang diamati. Berdasarkan Gambar 1, 2 dan 3 didapatkan 
nilai R2 untuk Logam Cu, Fe dan Mn adalah 0.999. Harga R2 yang diperoleh mendekati +1, maka 
dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik-titik pada kurva kalibrasi 
mendekati garis lerengnya. 
Pembuatan Kurva kalibrasi Logam Seng 
Kurva kalibrasi logam seng dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam 
seng dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4, ppm yang diukur dengan SSA pada l 213,9 nm. Dari data 
yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar 
tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya. 
Kurva kalibrasi logam mangsengan ditunjukkan pada Gambar 4. 
0,08 
0,07 
0,06 
0,05 
0,04 
0,03 
0,02 
0,01 
Gambar 4. Kurva kalibrasi larutan standar seng 
Absorbansi 
Konsentrasi Mangan (ppm) 
y = 0,0184x + 0,0018 
R² = 0,996 
0 
0 1 2 3 4 5 
Absorbansi 
Konsentrasi Seng (ppm)
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Keabsahan kurva kalibrasi diatas dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi 
(R2) atau uji kelinieran yang menyatakan ukuran kesempurnaan hubungan antara konsentrasi 
larutan standar dengan absorbansinya. Korelasi dikatakan sempurna jika nilai R2 mendekati +1. 
Sedangkan nilai nolmenyatakan tidak ada korelasi antara dua variabel yang diamati. Berdasarkan 
Gambar 4. didapatkan nilai R2 = 0.996. Harga R2 yang diperoleh mendekati +1, maka dapat 
disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik-titik pada kurva kalibrasi mendekati 
garis lerengnya. 
Uji Presisi Alat AAS 
Uji presisi ini mengacu kepada kesepakatan di dalam satu kelompok hasil eksperimen. 
Kesepakatan ini tidak berdampak apa pun terhadap hubungannya dengan nilai yang sebenarnya. 
Uji presisi ini meliputi SD (standar deviasi), RSD dan CV, dimana masing-masing uji tersebut 
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : 
Σ - 
( ( X X 
)2 
1 
- 
= 
n 
SD 
x100% 
SD 
X 
RSD = 
CV = RSD x 100% 
Uji presisi ini diambil dari salah satu data uji linieritas yang tepat berada pada garis linier, 
sehingga untuk tiap-tiap logam berbeda-beda konsentrasi yang digunakan. Untuk logam Zn, titik 
yang tepat berada pada garis linier adalah pada konsentrasi 1 ppm. Sedangkan untuk logam Mn, 
Fe dan Cu, titik yang berada pada garis linier adalah pada konsentrasi 5 ppm. Data untuk masing – 
masing logam ada pada Tabel 1 - 4 
Tabel 1. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Mn 
No Konsentrasi 
Absorbansi 
1 2 3 4 5 6 Rata-rata 
1 Blanko 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0002 0.0001 0.000117 
2 1 0.0088 0.0088 0.0088 0.0088 0.0087 0.0088 0.008783 
3 5 0.0442 0.044 0.044 0.0441 0.044 0.0437 0.044 
4 10 0.0849 0.0851 0.0852 0.085 0.0849 0.0846 0.08495 
5 20 0.1767 0.1757 0.1763 0.1766 0.1761 0.177 0.1764 
Tabel 2. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Cu 
No Konsentrasi 
Absorbansi 
1 2 3 4 5 6 Rata-rata 
1 Blanko 0.0001 0.0001 0.0002 0.0001 0.0002 0.0002 0.00015 
2 1 0.0307 0.0306 0.0307 0.0307 0.0306 0.0306 0.03065 
3 5 0.16 0.1596 0.1596 0.1594 0.1585 0.1593 0.1594 
4 10 0.3171 0.3178 0.3154 0.3152 0.3156 0.3157 0.316133 
5 20 0.6161 0.6165 0.6138 0.6147 0.6163 0.6148 0.615367
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Tabel 3. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Fe 
No Konsentrasi 
Absorbansi 
1 2 3 4 5 6 Rata-rata 
1 Blanko 0.0002 0.0002 0.0004 0.0004 0.0002 0.0003 0.000283 
2 1 0.0043 0.0044 0.0042 0.0044 0.0044 0.0043 0.004333 
3 5 0.023 0.0228 0.0228 0.0228 0.0229 0.023 0.022883 
4 10 0.0442 0.0442 0.0441 0.0441 0.0442 0.0441 0.04415 
5 20 0.0874 0.0873 0.0873 0.0875 0.0871 0.0871 0.087283 
Tabel 4. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Zn 
No Konsentrasi 
Absorbansi 
1 2 3 4 5 6 Rata-rata 
1 Blanko 0.0003 0.0004 0.0004 0.0003 0.0004 0.0006 0.0004 
2 1 0.0202 0.0202 0.0202 0.0204 0.0203 0.0203 0.020267 
3 2 0.0411 0.041 0.041 0.041 0.0411 0.0412 0.041067 
4 3 0.0588 0.0591 0.0588 0.0587 0.0587 0.0588 0.058817 
5 4 0.0734 0.0735 0.0735 0.0733 0.0732 0.0735 0.0734 
Data pada Tabel 1 – 4 adalah berbagai konsentrasi standar logam Mn, Cu, Fe dan Zn yang 
diukur sebanyak enam kali. Konsentrasi yang digunakan untuk menghitung uji presisi alat adalah 
pada data dicetak tebal. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai SD untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn 
berturut – turut adalah 0,0112; 9,1 x10-3; 0.0224; dan 3.01 x 10-3. Nilai RSD untuk logam Mn, Cu, 
Fe dan Zn berturut – turut adalah 2,03 x10-3 ; 1,73 x 10-3; 0.00392 2.82 x 10-3. Sedangkan Nilai CV 
untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn berturut – turut adalah 0,203 % ; 0,173 % 0,392 % dan 0,282 %. 
Nilai CV (%) untuk presisi single operator dan rekomendasi range untuk metode AAS 
langsung dan ekstraksi logam, std method 21st ed AWWA, APHA 3111B) adalah 2,9. CV (%) baik 
bila memenuhi syarat yaitu CV (%) percobaan ≤ CV (%) metode standart. Semua data diatas 
(logam Mn, Fe, Cu dan Zn) menunjukkan nilai CV (%) ≤ 2,9.s 
Uji Sensitivitas Alat AAS 
Kepekaan (S) adalah konsentrasi analit yang memberikan nilai absorbansi = 0,0044 
ekivalent dengan 1 % T (transmitansi). Kepekaan dapat dihitung dengan persamaan sebagai 
berikut : 
S = 0,0044 (C1/A1) 
Dimana: 
C1 : Konsentrasi analit dalam larutan kalibrasi 
A1 : Absorbansi rata-rata larutan kalibrasi C1 
Data untuk perhitungan uji sensitivitas untuk tiap logam terdapat pada Tabel 4.5 – 4.8. 
Dari hasil perhitungan nilai sensitivitas untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn berturut – turut adalah 
0,4993 ; 0,1379 ; 0,9624 dan 0,217. 
Uji sensitivitas alat memenuhi syarat bila sensitivitas percobaan ≤ 1,25 sensitivitas alat.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Limit Deteksi. 
Larutan blanko yang digunakan adalah larutan blanko yang yang telah dispike menjadi 
larutan yang mengandung konsentrasi logam sebesar 0,001mg/L. Data untuk tiap logam terdapat 
pada Tabel 4.5 -4.8 yang ada tulisan blanko. 
Limit deteksi ada 2, yaitu LOD (batas deteksi) dan LOQ (batas kuantitasi). LOD dan LOQ dapat 
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : 
LOD = 
3Sy / x 
SI 
dan LOQ = 
10Sy / x 
SI 
Dimana : 
Sy/x = simpangan baku respon analitik dari blanko 
SI = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b 
pada persamaan garis y = a + bx) 
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai LOD dan LOQ untuk logam Mn, Fe, Cu dan Zn berturut 
– turut adalah 0,0168 dan 0,0559 mg/L ; 0,067 dan 0,2235 mg/L; 5,48 x 10-3 dan 0,0183 mg/L; 
4,08 x 10-3 dan 0,0136 mg/L. 
Hasil uji presisi, sensitivitas, batas deteksi dan batas kuantitasi, secara ringkas disajikan dalam 
Tabel 4.9. 
Tabel 4.9. Rangkuman Data Uji Validasi Metode AAS Untuk 
Semua Logam Uji 
Mn Fe Cu Zn 
RSD 2.03 x 10-3 0.00392 1.73 x 10-3 2.82 x 10-3 
CV 0.203 0.3919 0.173 0.282 
S 0.4993 0.9624 0.1379 0.217 
LOD 0.0168 0.067 5.48 x 10-3 4.08 x 10-3 
LOQ 0.0559 0.2235 0.0183 0.0136 
Hasil pengukuran kadar logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam limbah 
Elektroplating 
Nilai absorbansi yang didapat dari pengukuran dengan AAS untuk keempat logam (Fe, Mn, 
Cu dan Zn) yang di ukur dimasukkan kedalam persamaan regresi linier sehingga didapatkan 
konsentrasi logam tersebut dalam limbah elektroplating. Nilai konsentrasi logam Fe, Mn, Cu dan Zn 
dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563 dan 1,033 ppm. 
4.Kesimpulan 
Hasil Validasi metode AAS untuk penentuan logam Cu, Zn, Fe, dan Mn diperoleh uji 
linearitas memberikan nilai R2 masing-masing adalah 0,999; 0,996; 0,999 dan 0,999. Nilai presisi 
untuk logam tersebut berturut-turut adalah , 0,1594; 0,020267; 0,0228 dan 0,044 dan 
sensitivitasnya berturut-turut 0,1379; 0,217; 0,9624 dan 0,4993. Sedangkan nilai LOD nya adalah 
5,48x10-3 ; 4,08x10-3; 0,067 dan 0,0168 dan nilai LOQ nya adalah 0,0183; 0,0136; 0,2235 dan 
0,0559. Konsentrasi logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut 
adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563 dan 1,033 ppm.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Ucapan Terimakasih 
Dengan tersusunnya makalah ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada 
pemberi dana dari Program Penelitian Produktif Tahun Anggaran 2010, Jurusan Kimia FMIPA dan 
Laboratorium Research Center ITS. 
Daftar Pustaka 
ASTM E 66386 (Reapproved 1991), Standard Practice For Flame AtomicAbsorption Analysis, 
1991. 
ASTM E 181296,Optimation of Flame Atomic Absorption Spectrometric Equipment, 1996. 
ASTM E1024 and E1330, 1992 
Harmita, (2004), “Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya”, Majalah Ilmu 
Kefarmasian, Vol. 1, No. 3, hal. 117-135. 
Khopkar, S. M., (1984), “Konsep Dasar Kimia Analitik”, Analytical Chemistry Laboratories, 
Department of Chemistry, Indian Institute of Technology, Bombay. 
Samin, (2006), “Jaminan Mutu Metode FAAS dan UVVIS untuk Penentuan Unsur – Unsur 
dalam Air Tangki Reaktor” Sminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006, Pusat 
Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, BATAN Yogyakarta. 
Ebdon L., (1982), “An Introduction to Atomic Absorption Spectroscopy”, Heyden and Son, 
London 
Underwood A. L., (1994), “Analisis kimia Kuantitatif “, Erlangga, Jakarta 
Vogel, (1990), “Analisis Anorganik Kualitatif Mikro dan Semimikro”, Bagian 1, Edisi kelima, 
PT Kalman media pustaka, Jakarta
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
STUDI KOMPARATIF KURVA BREAK THROUGH 
PEMISAHAN ION Cu2+ DAN Ni2+ DARI LARUTAN DENGAN 
PELET KOMPOSIT CANGKANG KUPANG – KHITOSAN 
TERIKATSILANG DALAM UP FLOW FIXED BED 
COLUMN** 
Eko Santoso*, Hendro Juwono, Diah Dwi Jayanti, dan Rulina Rachmawati 
Laboratorium Kimia Fisika dan Polimer, Kimia FMIPA 
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 
Abstrak 
Ion Cu2+ dan Ni2+ secara independen telah dipisahkan dari larutan pada pH optimum 
dengan pelet komposit cangkang kupang – khitosan terikatsilang dalam up flow fixed bed 
column. Pelet komposit dibuat dengan variasi komposisi, masing-masing mengandung 93,75%, 
95,24%, dan 96,15%(w/w) cangkang kupang. Proses ikatsilang khitosan dilakukan 
menggunakan gluteraldehid sebagai agen pengikatsilang. Proses pemisahan ion logam 
dilakukan dengan mengalirkan larutan yang mengadung ion logam ke dalam kolom yang berisi 
pelet kompsit dengan ukuran bed tertentu (fixed bed column) dengan variasi laju 1,5 mL/menit, 
2,0 mL/menit, dan 2,5 mL/menit. Hasil menunjukkan bahwa pada seluruh variasi laju alir, ion 
Ni2* lebih cepat mengalami break through dibandingkan ion Cu2+. Waktu break through kedua 
logam semakin menurun dengan meningkatnya laju alir larutan dan dengan meningkatnya 
kadar cangkang kupang dalam pelet komposit. Fakta ini menunjukkan bahwa agen aktif 
pemisahan ion logam dalam komposit didominasi oleh khitosan. Secara kinetik, ion Cu2+ 
bersifat lebih reaktif terikat pada pelet komposit dibandingkan dengan ion Ni2+ dan reaktifitas 
kedua logam terikat pada pelet komposit menurun dengan menigkatnya laju alir larutan ke 
dalam kolom. 
Kata kunci : komposit, cangkang kupang, khitosan, ion Cu2+, ion Ni2+, dan break through. 
1. Pendahuluan 
Air limbah dari perindustrian dan pertambangan merupakan sumber utama polutan logam 
berat. Logam berat dapat membahayakaan bagi kesehatan manusia jika konsentrasinya melebihi 
batas ambang yang diijinkan. Meskipun konsentrasinya belum melebihi batas ambang, keberadaan 
logam berat tetap memiliki potensi yang berbahaya untuk jangka waktu yang panjang karena logam 
berat telah diketahui bersifat akumulatif dalam sistem biologis. Oleh karena itu, saat ini lembaga-lembaga 
pemerintahan juga memberikan perhatian yang serius dan membuat aturan yang ketat 
terhadap pengolahan air limbah industri sebelum dibuang ke perairan terbuka [Quek et al., 1998]. 
Berbagai macam teknologi pemisahan logam-logam berat dan beracun dari air limbah telah 
dikembangkan, seperti metoda pengendapan kimia, oksidasi-reduksi, filtrasi mekanik, penukar ion, 
pemisahan membrane, dan adsorpsi dengan karbon. Namun, berbagai teknologi tersebut 
mempunyai beberapa kendala, yakni disamping biayanya mahal seringkali juga membutuhkan 
perlakuan-perlakuan khusus. Oleh karena itu, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari 
metoda atau teknologi alternatif untuk memisahkan logam-logam berat dan beracun dari air limbah 
yang lebih baik dengan biaya yang lebih ekonomis. 
Salah satu usaha untuk mengatasi persoalan polutan logam berat dalam air limbah yang 
sekarang banyak diteliti adalah mencari biosorben alami yang melimpah dan murah [Babel and 
Kurniawan, 2003]. Teknik adsorpsi mempunyai keunggulan dibandingkan teknik pengendapan 
karena teknik adsorpsi mampu memisahkan logam berat dalam air limbah meskipun konsentrasi 
logam berat dalam air limbah sangat rendah hingga kurang dari 1,00 ppm. Sedangkan teknik
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
pengendapan membutuhkan konsentrasi logam berat yang cukup tinggi dan senantiasa masih 
menyisakan logam berat dengan konsentrasi tertentu yang tidak mungkin dihilangkan dengan 
teknik pengendapan [Schmul et al, 2001]. Biosorben yang melimpah dan murah dapat menjadikan 
proses pengolahan air limbah menjadi murah karena setelah proses adsorpsi tak perlu dilakukan 
regenerasi sebagaimana penggunaan karbon aktif dan resin sintetik yang mahal, mengingat proses 
regenerasi juga membutuhkan biaya [Ozcan and Ozcan, 2005]. 
Kupang beras atau kupang putih (Tellina sp) merupakan binatang moluska dari jenis kerang-kerang 
bercangkang ganda (bivalve) yang sudah tidak asing bagi masyarakat. Bagi masyarakat 
Jawa Timur, khususnya daerah Surabaya, Sidoarjo dan sekitarnya, binatang ini sudah tidak asing 
lagi karena daging binatang ini biasa dimasak dan dimakan bersama lontong, yang terkenal dengan 
nama "Lontong Kupang". Ketika daging binatang ini dimasak maka cangkang atau kulit luar 
binatang biasanya hanya dibuang sebagai limbah. Meskipun tidak ada data kuantitatif yang tertulis, 
jumlah limbah cangkang kupang yang dihasilkan pasti sangat besar karena "Lontong Kupang" 
adalah makanan yang setiap hari dijual di warung makanan. Dalam situs pemprov jatim 
diungkapkan bahwa Sidoarjo mampu memproduksi kupang 10 ton per hari [d-infokom-jatim, 2007]. 
Mengingat jumlah kupang yang dihasilkan per hari sangat besar tentu jumlah limbah cangkang 
kupang yang dihasilkan juga sangat besar. Namun demikian, pemanfaatan limbah cangkang 
kupang beras ini belum tampak kecuali hanya untuk pengeras jalan yang berlumpur di daerah 
perkampungan bekas persawahan. 
Pada tahun 2008, peneliti dan dibantu seorang mahasiswa telah melakukan kajian 
pendahuluan tentang pemanfaatan serbuk cangkang kupang sebagai bisorben bagi logam 
tembaga dalam air limbah dan hasilnya menunjukkan bahwa serbuk cangkang kupang cukup layak 
sebagai bisorben bagi logam tembaga karena kapsitas adsorpsi lebih tinggi dibandingkan beberapa 
biosorben lain seperti serbuk gergaji (sawdusk), tongkol jagung, abu terbang (fly ash), clipnotilolite 
zeolite, dan charbazite zeolite. Namun kapasitas adsorpsi serbuk cangkang kupang terhadap 
logam tembaga masih lebih rendah dibandingkan dengan karbon aktif dan khitosan. [Santoso, 
2008]. Pada tahun 2009, peneliti telah melanjutkan penelitiannya dimana serbuk cangkang kupang 
dibuat komposit bisorben dengan menggunakan khitosan terikatsilang sebagai polimer pengikat 
serbuk cangkang kupang dan digunakan sebagai biosorben untuk menghilangkan ion logam dalam 
larutan dengan metoda “batch”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya khitosan yang 
berfungsi sebagai pengikat serbuk cangkang kupang dalam komposit dapat meningkatkan 
kapasitas adsorpsi (kemampuan mengikat) logam berat yang lebih baik dibandingkan serbuk 
cangkang kupang murni [Santoso, dkk., 2009]. 
Pada penelitian ini , telah dikaji secara komparatif adsorpsi ion logam Cu2+ dan ion Ni2+ oleh 
pelet komposit serbuk cangkang kupang – khitosan terikatsilang dengan metoda “up flow fixed bed 
column”. 
2. Metodologi 
Preparasi adsorben dilakukan dengan melarutkan 1,0 gram khitosan dengan larutan asam 
asetat 2% sebanyak 100 ml dan diaduk sampai larut sambil dipananskan. Khitosan yang sudah 
larut diangkat dari hotplate dan dibiarkan di ruangan terbuka hingga temperaturnya turun sama 
dengan suhu kamar. Kemudian, larutan khitosan diambil sebanyak 20 ml, dituangkan ke dalam 
beker gelas dan di tambahkan erbuk cangkang kupang sebanyak 3,0 gram. Campuran serbuk 
cangkang kupang dan larutan khitosan diaduk menggunakan stirer magnetik, kemudian diambil 
dengan pipet tetes dan diteteskan ke dalam larutan NaOH 2N. Pelet komposit serbuk cangkang 
kupang khitosan yang terbentuk dipisahkan dari larutan NaOH 2N dengan kertas saring, kemudian 
direndam dalam larutan glurtaraldehid 0,2 % selama 24 jam sehingga terbentuk pelet komposit 
serbuk cangkang kupang – khitosan terikatsilang. Kemudian, pelet komposit yang telah 
terikatsilang dipisahkan dari larutan gluteraldehid 2% dengan kertas saring, dicuci dengan akuades 
hingga pH netral dan dikeringkan dengan oven. Pelet ini disebut pelet biosorben A (PB-A). 
Perlakuan ini diulangi dengan penambahan serbuk kupang sebanyak 4 gram untuk memperoleh 
pelet biosorben B (PB-B) dan dengan penambahan serbuk cangkang kupang sebanyak 5 gram 
untuk memperoleh pelet biosorben C (PB-C).
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Larutan mengandung ion logam 100 ppm dialirkan secara kontimu kedalam kolom yang 
berisi pelet sejumlah tertentu biosorben dengan laju alir bervariasi, yaitu 1,5 mL/menit, 2,0 
mL/menit, dan 2,5 mL/menit. pH larutan ion logam yang akan dialiirkan ke dalam kolom diatur pada 
nilai tertentu yang menghasilkan adosprsi maksimum [Santoso, dkk., 2009]. 20 mL pertama dari 
cairan efluen yang keluar dari kolom, dianggap waktu proses pengolahan ke nol (t=0), diukur kadar 
logamnya dengan spektroskopi serapan atom (SSA) dan diukur nilai pHnya.. 20 mL kedua dari 
efluen dukur kadar logam dan pHnya pada 15 jam berikutnya, dianggap t=15 dari proses 
pengolahan. Pengukuran kadar logam dan pH dari efluen selanjutnya dilakukan setiap 15 jam. 
Seluruh proses ini dilakukan pada suhu kamar. 
3. Hasil dan Pembahasan 
Kadar logam dalam efluen yang diukur pada waktu tertentu di sebut Ct dan kadar logam 
dalam larutan awal 100 ppm disebut Co. Perbandingan antara Ct/Co diplot versus waktu proses t 
menghasilkan sebuah kurva yang disebut sebagai kurva “break through” atau kurva “penerobosan”. 
Kurva “break through” dari proses pemisahan ion logam Cu2+ dan ion Ni2+ pada berbagai laju alir 
dan komposisi ditunjukkan pada Gambar 1 sampai Gambar 3 untuk pemisahan menggunakan 
bisorsen PB-A dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit secara berurutan, pada Gambar 4 
sampai Gambar 6 untuk pemisahan menggunakan biosorben PB-B dengan laju alir1,5; 2,0; dan 2,5 
mL/menit secara berurutan, dan pada Gambar 7 sampai Gambar 9 untuk pemisahan menggunakan 
biosorben PB-C dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit secara berurutan. 
1,2 
1 
0,8 
0,6 
0,4 
0,2 
Gambar 1 Gambar 2 
1,2 
1 
0,8 
0,6 
0,4 
0,2 
Gambar 3 Gambar 4 
1,2 
1 
0,8 
0,6 
0,4 
0,2 
0 
0 100 200 300 400 
Ct/Co 
t (jam) 
Cu 
Ni 
0 
0 100 200 300 400 
Ct/Co 
t (jam) 
Cu 
Ni 
1,2 
1 
0,8 
0,6 
0,4 
0,2 
0 
0 100 200 300 400 
Ct/Co 
t (jam) 
Cu 
Ni 
0 
0 100 200 300 400 
Ct/Co 
t (jam) 
Cu 
Ni
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Cu 
Ni 
0 100 200 300 
t (jam) 
1,2 
1 
0,8 
0,6 
0,4 
0,2 
0 
Cu 
Ni 
0 100 200 300 
Ct/Co 
t (jam) 
Gambar 5 Gambar 6 
Cu 
Ni 
0 100 200 300 
t (jam) 
1,2 
1 
0,8 
0,6 
0,4 
0,2 
0 
Cu 
0 50 100 150 200 
Ct/Co 
t (jam) 
Gambar 7 Gambar 8 
Cu 
Ni 
0 50 100 150 200 
t (jam) 
Gambar 9 
1,2 
1 
0,8 
0,6 
0,4 
0,2 
0 
Ct/Co 
Pada Gambar 1 sampai Gambar 9 tampak bahwa pola kurva “break through” proses 
1,2 
1 
0,8 
0,6 
0,4 
0,2 
0 
Ct/Co 
1,2 
1 
0,8 
0,6 
0,4 
0,2 
0 
Ct/Co 
pemisahan ion logam Cu2+ berbeda dengan dengan ion logam Ni2+. Pada seluruh variasi laju alir 
dan komposisi pelet biosorben, tampak bahwa pada laju alir dan komposisi tertentu dari pelet 
biosorben maka nilai waktu “break through” (tB) dan waktu “exhausted” (tE) dari ion logam Cu2+ lebih 
besar dari ion logam Ni2+. Hal ini menunjukkan bahwa ion logam Cu2+ lebih sulit menerobos 
halangan kolom biosorben dan membutuhkan waktu lebih lama untuk menjenuhkan kolom 
dibandingkan dengan ion logam Ni2+. Artinjya, interaksi antara gugus aktif (gugus amina) dari 
khitosan dalam biosorben dengan ion logam Cu2+ adalah lebih kuat dibandingkan dengan ion 
logam Ni2+. Fakta ini dapat dikaitkan dengan ukuran ion dimana ukuran jari-jari ion Ni2+ adalah 0,69 
angstrom dan jari-jari ion Cu2+ adalah 0,73 angstrom [Lide, 1989]. Jadi, ukuran ion Ni2+ adalah lebih 
kecil dibandingkangkan dengan ukuran ion Cu2+. Boleh jadi, ion logam Cu2+ mempunyai ukuran 
diameter yang tepat dengan rongga yang disediakan oleh ligan pengikatnya, jika usulan ikatan 
antara ion logam dengan gugus aktif dalam khitosan ditunjukkan pada Gambar 10 [Schmuhl, 2001; 
Kalyani et al, 2005; Verbych et al, 2005]. Ukuran rongga yang disediakan oleh ligan untuk ion 
logam adalah sudah tertentu dan bersifat kaku karena terletak di dalam biosorben padat yang 
bersifat kaku. Oleh karena itu, jika ukuran ion Ni2+ terlalu kecil untuk menempati rongga tersebut
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
maka ikatan menjadi agak longgar dan lemah, sehingga ion Ni2+ mudah lepas dan menerobos 
rongga tersebut bersama aliran larutan melewati kolom. Pada laju alir 2,0 mL/menit dan 2,5 
mL/menit, ion Ni2+ pada waktu nol menit sudah terdeteksi dalam efluen. Artinya, pada tetesan 
efluen yang pertama sudah mampu menerobos halangan kolom biosorben. Jadi pada laju alir 2,0 
dan 2,5 mL/menit, waktu “break through” ion Ni2+ adalah nol. Nilai waktu “break through” (tB) hanya 
terdeteksi (lebih besar dari nol) pada laju alir 1,5 mL/menit dan kemungkinan akan lebih besar lagi 
ketika laju alir diturunkan kurang dari 1,5 mL/menit. Untuk ion logam Cu2+, pada semua variasi laju 
alir dan komposisi biosorben masih mempunyai waktu “break through” yang tertentu. 
Gambar 10 
Perubahan pH efuen selama proses pemisahan ion logam Cu2+ oleh kolom bisosorben 
dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit ditunjukkan pada Gambar 11 sampai dengan Gambar 
13 secara berurutan dan untuk pemisahan ion logam Ni2+ dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 
mL/menit ditunjukkan pada Gambar 14 sampai Gambar 16 secara berurutan. 
10 
8 
6 
4 
2 
Gambar 11 Gambar 12 
PB-A 
PB-B 
PB-C 
10 
8 
6 
4 
2 
PB-A 
PB-B 
PB-C 
Gambar 13 Gambar 14 
12 
10 
8 
6 
4 
2 
0 
0 100 200 300 400 
pH-efluen 
t (jam) 
PB-A 
PB-B 
PB-C 
0 
0 100 200 300 400 
pH-efluen 
t (jam) 
PB-A 
PB-B 
PB-C 
12 
10 
8 
6 
4 
2 
0 
0 50 100 150 200 250 300 
pH-efluen 
t (jam) 
0 
0 50 100 150 200 250 300 350 
pH-efluen 
t (jam)
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
PB-A 
PB-B 
PB-C 
0 50 100 150 200 250 300 
t (jam) 
10 
8 
6 
4 
2 
0 
PB-A 
PB-B 
PB-C 
0 50 100 150 200 250 
pH-efluen 
t (jam) 
Gambar 15 Gambar 16 
10 
8 
6 
4 
2 
0 
pH-efluen 
pH awal dari larutan yang mengandung ion Cu2+ dan ion Ni2+ masing-masing sebelum masuk kolom 
biosorben adalan diatur 4 karena pada pH 4 kemampuan biosorben mengikat kedua ion logam 
mencapai nilai maksimum [Santoso, dkk., 2009]. Dari Gambar 11 sampai 16 tampak bahwa pH 
efluen yang dihasilkan dari proses pemisahan ion logam Cu2+ berkisar pada pH 6 dan pH efluen 
hasil pemisahan ion logam Ni2+ berkisar pada pH 7. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses 
pemisahan kedua ion logam telah terjadi reaksi kimiawi yang mengubah nilai pH dari pH 4 (pH awal 
larutan ion logam sebelum masuk kolom biosorben) menjadi 6 atau 7 (pH efluen yang keluar dari 
kolom biosorben). Reaksi tersebut kemungkinan adalah ada 2 macam, yaitu reaksi antara gugus 
aktif dalam khitosan dengan ion logam yang merupakan reaksi pertukaran ion dan menghasilkan 
ion H+ dan reaksi antara ion H+ dengan CaCO3 dalam cangkang kupang menghasilkan H2O dan 
gas CO2 yang menghasilkan pH netral. Reaksi tersebut dapat ditulis sebagai berikut : 
Khitosan (s) + M2+ (aq)  Khitosan-M (s) + 2H+ (aq) 
2H+ (aq) + CaCO3 (s)  Ca2+ (aq) + H2O (l) + CO2 (g) 
Efluen dengan pH netral adalah adalah salah satu persyaratan agar efluen hasil pengolahan limbah 
cair dapat dibuang ke perairan bebas atau untuk dimanfaatkan kembali [Ahuja, 2009]. 
Hasil pengolahan data kurva “break through” pada Gambar 1 sampai Gambar 9 dengan 
model kinetika Thomas [Planas, 2002] menghasilkan nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada 
ion logam Cu2+ dan ion Ni2+, yang ditunjukkan pada Tabel 1. 
Tabel 1. Nilai kapasitas adsorpsi (Q0) pelet biosorben pada ion logam dengan pendekatan 
model kinetika Thomas. 
Jenis Biosorben Laju 
(mL/mnt) 
Q0-ion Ni2+ 
(mg/g) 
Qo-ion Cu2* 
(mg/g) 
PB-A (93,75%-serbuk cangkang 
kupang) 
1,5 390,30 642,92 
2,0 177,27 649,96 
2,5 162,28 689,66 
PB-B (95,24%-serbuk cangkang 
kupang) 
1,5 337,96 451,30 
2,0 144.93 584,08 
2,5 135.49 624,57 
PB-C (96,15%-serbuk cangkang 
kupang) 
1,5 247,86 325,74 
2,0 127.73 352,92 
2,5 118.58 443,95 
Pada semua variasi komposisi dan laju alir, pelet biosorben mempunyai nilai kapasitas 
adsorpsi pada ion Cu2+ lebih besar dibandingkan pada ion Ni2+. Hal ini menunjukkan bahwa 
reaksitifitas ion Cu2+ pada pelet biosorben adalah lebih besar dibandingkan ion Ni2+. Kenaikan 
kadar serbuk cangkang kupang menurunkan nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada kedua 
jenis ion logam.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
4. Kesimpulan 
Gugus aktif dalam khitosan mempunyai peranan penting dalam menetukan nilai kapasitas 
adsorpsi pelet biosorben pada kedua jenis ion logam karena semakin besar kadar khitosan dalam 
pelet biosorben semakin besar nilai kapasitas dan waktu “break through”. Waktu “break throug” dan 
nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada ion Cu2+ adalah lebih besar dibandingkan pada ion 
Ni2+. Dengan demikian reaktifitas ion Cu2+ adalah lebih besar dibandingkan ion Ni2+. 
Ucapan Terimakasih 
Peneliti mengucapkan banyak terimakasih pada semua pihak atas terselesaikannya 
penelitisn ini, khususnya Program Hibah PHKI yang telah memberikan dana. 
Daftar Pustaka 
Babel, S. and Kurniawan, T.A., 2003, “Low-cost adsorbent for heavy metals uptake from 
contaminated water : a review”, J. Hazardous Mat., B97, 219-2433. 
Kalyani et al, 2005, “Removal of copper and nickel from aqeous solutions using chitosan coated on 
perlite as biosorbent”, Separation Science and Technology, 40, pp. 1483–1495. 
Lide, D.R., ed., 1989, “CRC Handbook of Chemistry and Physics, 89th Edition (Internet Version 
2009), CRC Press/Taylor and Francis, Boca Raton, FL. 
Ozcan, A. and Ozcan, A.S., 2005, “Adsorption of Acid Red 57 from aqueous solutions onto 
surfactant – modified spiolite”, J. Hazardous Mat., B125, pp. 252-259. 
Planas, M.R., 2002, “Development of technique based on natural polymers for the recovery 
precious metals”, Tesi Doctoral, Departament d’Enginyeria Quimica, Universitat 
Politecnica de Catalunya. 
Quek, SY., Wase, DAJ., and Forster, CF., 1998, “The use of sago waste for the sorption of lead and 
copper”, Water SA, Vol. 24, No. 3, pp. 251-256. 
Santoso, E., 2008, “Studi pemanfaatan cangkang kupang beras (Tellina sp) sebagai biosorben 
logam tembaga dalam air limbah sintetik dengan sistem adsorpsi dinamik pada kolom 
katil tetap (fixed bed colomn), Laporan Penelitian Produktif, Institut Tekonologi Sepuluh 
Nopember, Surabaya. 
Santoso, E, dan Isti’anah, S., 2009, “Studi pemanfaatan cangkang kupang beras (Tellina sp) 
sebagai biosorben untuk mengolah air limbah yang mengandung ion tembaga (II)”, Jurnal 
Purifikasi, Vol. 10, No.1, hal. 39-48. 
Santoso, E., Juwono, H., Habibi, M., Dwi PW, V., Asih. E., Saputra, F.W., 2009, “Pemanfaatan 
limbah cangkang kupang untuk pembuatan komposit cangkang kupang – khitosan 
terikatsilang sebagai biosorben murah bagi logam berat dari air limbah”, Laporan 
Penelitian Hibah PHKI Tema B, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. 
Schmuhl, R., Krieg, H.M., and Keizer, K., 2001, “Adsorption of Cu(II) and Cr(VI) ions by Chitosan : 
Kinetics and Equilibrium Studies”, Water SA, Vol. 27, No. 1, pp. 79–86. 
Verbych, S., Bryk, M., and Chornokur, G., 2005, “Removal of Copper(II) from Aqueous Solutions by 
Chitosan Adsorption”, Separation Science and Technology, 40, pp. 1749–1759.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
SINTESIS KATALIS Sn BERPENDUKUNG ZEOLIT NaY 
DARI SEKAM PADI UNTUK REAKSI DENITRIFIKASI 
DENGAN HASIL AMMONIUM 
Netty Kartika Sari dan Irmina Kris Murwani* 
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 
*Email: irmina@chem.its.ac.id 
Abstrak 
Pada penelitian ini dicoba untuk mengurangi konsentrasi nitrat dengan cara denitrifikasi 
NOx dengan bantuan katalis Sn berpendukung zeolit NaY dari sekam padi. Penelitian ini diawali 
dengan sintesis zeolit NaY. Kemudian dilakukan loading logam Sn pada zeolit NaY. Katalis yang 
dihasilkan adalah zeolit NaY dan katalis logam tunggal Sn berpendukung NaY. Katalis yang 
diperoleh dikarakterisasi dengan menggunakan XRD dan FTIR untuk mengetahui strukturnya. 
Katalis tersebut diuji katalitik melalui reaksi denitrifikasi dengan cara mereaksikan nitrat dengan 
katalis dibawah kondisi aliran gas hidrogen. Produk berupa amonium dianalisis dengan 
spektroskopi UV-Vis. 
Kata Kunci : Denitrifikasi, katalis Sn, zeolit NaY 
1. Pendahuluan 
Konsentrasi nitrat di dalam tanah, khususnya di dalam air tanah dan air permukaan, selama 
beberapa tahun ini semakin bertambah di seluruh dunia. Senyawa ini menyebabkan eutrofikasi laut 
dan sungai. Konsentrasi nitrat pada air minum sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia 
karena dapat menimbulkan methemoglobinemia atau sindrom bayi biru yaitu penyakit yang 
menyerang darah anak-anak karena kapasitas pembawa oksigen pada darah diinterferensi oleh 
nitrat (EPA, 1995). Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa senyawa N-nitroso berpotensi 
karsinogenik, yang dihasilkan reaksi nitrat dengan amina atau amida (Canter, 1997). 
Pada penelitian ini dicoba untuk mengurangi konsentrasi nitrat dengan cara denitrifikasi 
NOx dengan bantuan katalis Sn berpendukung zeolit NaY dari sekam padi. Logam Sn berperan 
sebagai logam promotor diharapkan dapat meningkatkan selektivitas katalis dalam reduksi. 
2. Metodologi 
Preparasi SiO2 
Pada penelitian ini akan diperoleh SiO2 dari sekam padi melalui beberapa tahap. Mula-mula 
sekam padi dioven pada suhu 600oC selama 4 jam. Dari proses pengovenan akan dihasilkan 
abu berwarna putih. Selanjutnya abu dicuci dengan HCl 1M secara berulangkali dan dibilas 
dengan akuades lalu disaring menggunakan corong buchner. Setelah didapatkan residu dan filtrat, 
residu kemudian dikeringkan. 
Preparasi, Aktivasi dan Karakterisasi Zeolit NaY 
Katalis zeolit NaY dibuat dari bahan dasar SiO2, natrium aluminat, natrium hidroksida dan 
akuades. Mula-mula natrium hidroksida dicampur dengan akuades membentuk larutan NaOH. 
Selanjutnya larutan NaOH tersebut dibagi menjadi dua bagian. Larutan NaOH pertama 
ditambahkan natrium aluminat membentuk campuran A, sedangkan larutan NaOH kedua 
ditambahkan SiO2 membentuk campuran B. Masing-masing campuran diaduk 2 jam, kemudian 
kedua campuran digabungkan dengan tetap diaduk membentuk campuran A-B. Campuran
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
A-B dimasukan ke dalam 38tirrer dan dioven pada suhu 100°C selama 6 jam, kemudian 
disaring hingga didapatkan residu dan filtrat. Selanjutnya residu dicuci dengan akuades hingga 
netral dan dioven pada temperatur 100oC selama 24 jam. NaY yang terbentuk kemudian 
dikarakterisasi strukturnya menggunakan difraktometer sinar-X dan FT-IR. 
Preparasi Katalis Sn Berpendukung NaY 
Katalis Sn berpendukung diperoleh dengan metoda presipitasi. Awalnya padatan 
pendukung dimasukkan dalam larutan SnCl2×2H2O (Sn=1,25%). Kemudian ditambahkan larutan 
NH4OH 1N hingga terbentuk endapan. Selanjutnya endapan disaring dan dicuci dengan akuades. 
Kemudian padatan dikeringkan dan dikalsinasi pada suhu 450°C selama 4 jam. Aktivasi katalis 
melalui kalsinasi 450oC dengan dialiri gas H2 selama 2 jam (Prϋsse dan Vorlop, 2001). 
Uji Katalisis pada Reaksi Denitrifikasi 
Hasil preparasi katalis diuji sifat katalisisnya dengan cara melihat aktivitasnya dalam 
reaksi denitrifikasi. Katalis dimasukkan dalam 38tirrer labu leher tiga dan dijenuhkan dengan H2 
selama 1 jam. Kalium nitrat dimasukkan dalam labu leher tiga dan distirer selama 15 menit 
pada suhu ruang sambil dialiri H2 dengan laju alir 60 mL/menit. Produk yang berupa gas 
dianalisis menggunakan Kromatografi Gas dengan detektor TCD dan produk yang berupa 
larutan dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis. 
Gambar 1. Eksperimen set up, skema penggambaran reaktor untuk reaksi denitrifikasi. (1). Gas 
inlet, (2) Pemanas, (3) Gas keluar, (4) Termometer, (5) Labu leher tiga, (6) 
Magnetik stirrer 
3. Hasil dan Pembahasan 
Karakterisasi Logam Sn Berpendukung NaY Dengan Menggunakan XRD 
Gambar 2. Difraktogram Zeolit NaY (merah) dan Sn/NaY (biru)
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Difraktogram Sn/NaY terlihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2. Terlihat difraktogram yang 
mirip antara Sn/NaY dan zeolit NaY. Terdapat sedikit perbedaan jika difraktogram Sn/NaY 
dibandingkan dengan zeolit NaY, terdapat puncak – puncak baru yang merupakan puncak-puncak 
khas Sn yaitu pada daerah 2θ = 44,91 dan 55,34 (tanda ) sesuai dengan database PDF 86- 
2265. Puncak-puncak khas zeolit NaY juga masih jelas terlihat dalam difraktogram Sn/NaY, yaitu 
berada pada daerah 2θ = 6,10, 12, 15, 23, 26 dan 31°. Adanya puncak-punc ak khas dari bahan-bahan 
awal penyusun padatan Sn/NaY menunjukkan bahwa proses presipitasi menurunkan 
kristalinitas pendukung karena adanya logam Sn yang terdispersi pada permukaan pendukung, 
namun struktur utama tetap ada (Huang dkk., 2008). 
Jika membandingkan pola difraksi Sn/NaY dengan Sn murni, terlihat adanya puncak-puncak 
karakteristik dari logam Sn, namun intensitas puncak khas logam Sn pada difraktogram 
Sn/NaY terlihat jauh lebih rendah dari pada difraktogram Sn murni. Sehingga beberapa puncak 
khas Sn pada 2θ = 30,64; 32,02; 43,88 tidak tampak pada difraktogram Sn/NaY. Hal ini 
kemungkinan disebabkan loading Sn yang kecil (1,25% berat Sn dari total berat katalis). Fenomena 
ini dapat pula dikarenakan proses penambahan basa yang terlalu cepat, sebab proses 
pengendapan yang terlalu cepat dapat menghasilkan padatan yang amorf (Perego dan Villa, 1997). 
Karakterisasi Logam Sn Berpendukung NaY Dengan Menggunakan FT-IR 
Pada spektra FT-IR Sn/NaY tetap didominasi ikatan-ikatan dari pendukung, yaitu pada 
daerah 3400 cm-1 menunjukkan daerah vibrasi ulur O-H. Sedangkan vibrasi tekuk H-O-H muncul 
pada 1650 cm-1 (Nakamoto, 1978; Cordoba dkk., 1996; Figueiredo dkk., 2006; Wang dkk., 2003). 
Puncak serapan pada daerah 1139 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur T-O dimana T adalah Si 
atau Al (Wang dkk. 2003 dan Thammavong, 2003) dan puncak pada daerah 950 cm-1 adalah 
puncak vibrasi dari T-O- (Cordoba dkk., 1996 dan Wang dkk., 2003 ). Puncak pada daerah 506 dan 
432 cm-1 merupakan vibrasi tekuk O-T-O (Nakamoto, 1976 dan Wang dkk., 2003). Adapun Rios 
dkk. (2007) juga menambahkan bahwa puncak pada daerah 699 cm-1 dan 610 cm-1 merupakan 
vibrasi ulur TO4. Sedangkan ikatan Sn-O tidak nampak, hal ini dikarenakan loading Sn yang terlalu 
kecil. Jika dilihat dari intensitas spektra FT-IR pada Gambar 3. ternyata intensitas Sn/NaY lebih 
rendah dibandingkan dengan zeolit NaY, hal ini dikarenakan adanya logam Sn yang terdispersi 
merata pada permukaan pendukung (Kalevaru dkk., 2009). 
O- 
H-O-H 
T-T- 
O- 
Gambar 3. Spektra FTIR Zeolit NaY dan Sn/NaY
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Uji Katalisis 
Katalis Sn/NaY diuji kemampuan katalisisnya pada reaksi denitrifikasi dengan produk 
katalisisnya adalah ammonium. Pembentukan ammonium pada reaksi denitrifikasi sesuai dengan 
yang dilaporkan Cholier-Brym (2002). Konsentrasi ammonium diukur dengan metoda UV-Vis pada 
panjang gelombang 460 nm menggunakan reagen Nessler. Konsentrasi yang didapatkan adalah 
1,33 ppm. Hasil ammonium yang sedikit menurut penelitian Chen dkk. (2003) adalah dikarenakan 
ammonium (NH4 
+) merupakan produk samping dari reaksi denitrifikasi. 
NO3 
- + H2 → NO2 
- + H2O (reaksi 1) 
NO2 
- → NO → NH4 
+ (reaksi 2) 
Adapun tahap-tahap reaksi reduksi yang terjadi dalam (reaksi 2) adalah : 
2NO2 
- + H2 → 2NO + 2OH- (reaksi 2a) 
+ + H2O (reaksi 2b) 
NO + 3H2 → NH4 
4. Kesimpulan 
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa katalis 
Sn/NaY dapat mendenitrifikasi nitrat dan menghasilkan produk berupa ammonium dengan 
konsentrasi 1,33 ppm. 
Daftar Pustaka 
Canter, L.W. (1997), “Nitrates in Groundwater”, CRC Press, Boca Raton, Florida. 
Chen, Ying-Xue, Zhang, Y. dan Guang-Hao, C. (2003), “Approriate Conditions or Maximizing 
Catalytic Reduction Efficiency of Nitrate into Nitrogen Gas in Groundwater”, Water 
Research, Vol. 37, hal. 2489-2495. 
Chollier-Brym, M.J., Gavagnin, R., Strukul, G., Marella, M., Tomaselli, M. dan Ruiz, P. (2002) New 
insight in the Solid State Characteristics, in the Possible Intermediates and on the 
Reactivity of Pd–Cu and Pd–Sn Catalysts Used in Denitratation of Drinking Water, 
Catalysis Today, Vol. 75, hal. 49-55. 
Cordoba, G., Arroyo, R., Fierro, J. L. G. dan Viniegra, M. (1996), “Study of Xerogel–Glass 
Transition of CuO/SiO2”, Journal of Solid State Chemistry, Vol. 123, hal. 93 – 99. 
EPA. (1995), “National Primary Drinking Water Regulations Office of Groungwater and Drinking 
Water”, Washington D.C, United States. 
Figueiredo, H., Neves, I. C., Quintelas, C., Tavares, T., Taralunga, M., Mijoin, J. dan Magnoux, P. 
(2006), “Oxidation Catalysts Prepared from Biosorbents Supported on Zeolite”, Applied 
Catalysis B : Environmental, Vol. 66, hal. 274 – 280. 
Huang, S., Zhang, C. dan He, H. (2008), “Complete Oxidation of o-xylene over Pd/Al2O3 Catalyst at 
Low Temperature”, Catalysis Today, Vol 139, Hal. 15-23. 
Kalevaru, V. N., Raju, B. D., Rao, V. V. dan Martin, A. (2009), “ Preparation, Characterization and 
Catalytic Evaluation of MgF2 Supported V2O5 Catalyst for Ammoximation of 3-picoline”, 
Applied Catalysis A: GeneraI, Vol. 352, hal. 223-233. 
Nakamoto, K., (1978), Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compounds, 5th 
Edition, John Wiley  Sons, USA. 
Perego, C. dan Villa P. (1997). “Catalyst Preparation Methods”. Catalysis Today, Vol. 34, hal. 281- 
305. 
Prϋsse, U. dan Vorlop, D. (2001), ”Supported Bimetalic Palladium Catalysts for Water-Phase Nitrate 
Reduction“, Journal of Molecular Catalysis, Vol. 173, hal. 313-328.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
Rios, C., Williams, C. dan Maple, M. J. (2007), “Synthesis oz Zeolites and Zeotypes by 
Hidrothermal Transformation of Kaolinite and Metakaolinite”, BISTUA, Vol. 5, No. 1, hal. 15- 
26. 
Thammavong, S. (2003), “Studies of Synthesis, Kinetics and Particle Size of Zeolite X from 
Narathiwat Kaolin”, Thesis Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the 
Degree of Master of Science in Chemistry Suranaree University of Technology. 
Wang, Z., Liu, Q., Yu, J., Wu, T. dan Wang, G. (2003), “Surface Structure and Catalytic Behavior of 
Silica-Supported Copper Catalysts Prepared by Impregnation and Sol-Gel Methods”, 
Applied Catalysis A: General, Vol. 239, hal. 87 – 94.
ISBN 978-602-98130-0-5 
SEMINAR NASIONAL KIMIA 
Surabaya, 23 Nopember 2010 
Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 
KOMPLEKS BESI (II) DENGAN LIGAN 2-FENIL-ETIL AMIN 
Fahimah Martak 
Jurusan Kimia 
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 
Corresponding author Phone : 081572535690 
e-mail: fahimahm@chem.its.ac.id 
Abstrak 
Kompleks besi(II) dengan ligan 2-fenil etil amin telah disintesis dan dikarakterisasi dengan 
menggunakan FTIR, Elemental analisis, SSA, difraksi sinar-X powder dan magnetometer. 
Kompleks ini memiliki formula [FeII(2-fenil-etil-amin)3]Cl5. Puncak pada 451,34 cm-1 terjadi karena 
vibrasi ulur Fe dengan N amin pada ligan 2-fenil-etil amin. Berdasarkan pola difraksi sinar-X, 
kompleks polimer [Fe4 
II(2-fenil-etil-amin)3]Cl5 memiliki kelompok ruang P6(3). Data suseptibilitas 
magnetik terhadap temperatur menunjukkan bahwa kompleks memiliki interaksi feromagnetik, ini 
dibuktikan dengan adanya meningkatnya magnetisasi pada medan rendah dan cenderung saturasi 
pada medan lebih tinggi dengan nilai 5 mB pada 50 kOe. Kompleks [FeII(2-fenil-etil-amin)3]Cl5 
memberikan interaksi feromagnetik pada temperatur rendah yaitu 32 K. 
Kata kunci: kompleks besi(II), kompleks polimer, interaksi feromagnetik dan fenil-etil amin. 
1. Pendahuluan 
Sejak penemuan magnet molekul tunggal sepuluh tahun yang lalu, sintesis dan 
karakterisasi fisik senyawa magnetik berdasarkan molekular menjadi salah satu bidang paling aktif 
diteliti. Senyawa magnetik berdasarkan molekular dapat diperoleh dari interaksi ion-ion logam 
transisi deret pertama dengan konfigurasi elektron d1-d9. Interaksi magnetik berdasarkan molekular 
juga dihasilkan dari interaksi antar ligan, seperti ditunjukkan pada kompleks binuklir dengan ligan 
etilen diamin dengan ligan oksalat. 
Senyawa kompleks dapat menunjukkan sifat feromagnet. Sifat feromagnet ini timbul dari 
akibat interaksi antar elektron tidak berpasangan pada ion-ion logam. Interaksi feromagnet pada 
senyawa kompleks umumnya ditunjukkan pada temperatur rendah (Garcia, et al., 2002). Oleh 
karena itu yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah upaya apa yang harus dilakukan 
untuk meningkatkan temperatur terjadinya interaksi feromagnetik. 
Salah satu upaya yang dilakukan adalah merancang kompleks polimer yang dapat terjadi 
interaksi coulomb dan ikatan hidrogen sehingga menaikkan temperatur Curie Weiss (TCW) 
senyawa. TCW adalah temperatur dimana mulai terjadi perubahan sifat bahan dari paramagnetik 
menjadi feromagnetik. Temperatur Curie Weiss pada bahan merupakan indikasi bahwa senyawa 
memiliki interaksi feromagnetik. Interaksi feromagnetik dapat diidentifikasi melalui pengukuran nilai 
suseptibilitas magnetik dengan variasi temperatur. Nilai suseptibilitas magnetik senyawa 
feromagnetik meningkat tajam dibawah temperatur Curie. Interaksi ini dapat dihasilkan dengan 
pemilihan ligan yang tepat. Studi yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan 
menggunakan ligan oksalat (Martak, 2010). Namun, senyawa kompleks polimer yang dihasilkan 
menunjukkan interaksi feromagnetik pada temperatur dibawah 15 K. Oleh sebab itu pada 
penelitian ini dikembangkan dengan menggunakan ligan fenil etil amin. Gugus amin pada ligan 
tersebut dapat diubah menjadi ammonium, diharapkan atom hidrogen yang terikat pada ammonium 
dapat berikatan hidrogen pada ligan yang terkoordinasi pada ion logam sehingga interaksi inter dan
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)
4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)

More Related Content

What's hot

Etil asetat
Etil asetatEtil asetat
Etil asetat
Takdir Anis
 
Analisis kation dan anion
Analisis kation dan anionAnalisis kation dan anion
Analisis kation dan anion
EKO SUPRIYADI
 
Mekanisme Reaksi Organik
Mekanisme Reaksi OrganikMekanisme Reaksi Organik
Mekanisme Reaksi Organik
elfisusanti
 
metode tekanan maksimum gelembung
metode tekanan maksimum gelembungmetode tekanan maksimum gelembung
metode tekanan maksimum gelembung
zaramalia33
 

What's hot (20)

Simetry
SimetrySimetry
Simetry
 
Etil asetat
Etil asetatEtil asetat
Etil asetat
 
Argentometri
ArgentometriArgentometri
Argentometri
 
Analisis kation dan anion
Analisis kation dan anionAnalisis kation dan anion
Analisis kation dan anion
 
6. mekanisme reaksi eliminasi
6. mekanisme reaksi eliminasi6. mekanisme reaksi eliminasi
6. mekanisme reaksi eliminasi
 
Sintesis aspirin2
Sintesis aspirin2Sintesis aspirin2
Sintesis aspirin2
 
Reaksi pembent kerangka karbon suyatno-unesa
Reaksi  pembent kerangka karbon  suyatno-unesaReaksi  pembent kerangka karbon  suyatno-unesa
Reaksi pembent kerangka karbon suyatno-unesa
 
Kd meeting 3 (stoikiometri)
Kd meeting 3 (stoikiometri)Kd meeting 3 (stoikiometri)
Kd meeting 3 (stoikiometri)
 
Kesetimbangan kimia
Kesetimbangan kimiaKesetimbangan kimia
Kesetimbangan kimia
 
Redoks Bromometri
Redoks BromometriRedoks Bromometri
Redoks Bromometri
 
Mekanisme Reaksi Organik
Mekanisme Reaksi OrganikMekanisme Reaksi Organik
Mekanisme Reaksi Organik
 
Struktur kristal ionik
Struktur  kristal ionik Struktur  kristal ionik
Struktur kristal ionik
 
Pik 2 bab 1_nitrasi
Pik 2 bab 1_nitrasiPik 2 bab 1_nitrasi
Pik 2 bab 1_nitrasi
 
Field crystal theory
Field crystal theoryField crystal theory
Field crystal theory
 
Laporan praktikum pemisahan kimia penentuan koefisien distribusi
Laporan praktikum pemisahan kimia penentuan koefisien distribusiLaporan praktikum pemisahan kimia penentuan koefisien distribusi
Laporan praktikum pemisahan kimia penentuan koefisien distribusi
 
laporan praktikum kelarutan sebagai fungsi suhu
laporan praktikum kelarutan sebagai fungsi suhulaporan praktikum kelarutan sebagai fungsi suhu
laporan praktikum kelarutan sebagai fungsi suhu
 
metode tekanan maksimum gelembung
metode tekanan maksimum gelembungmetode tekanan maksimum gelembung
metode tekanan maksimum gelembung
 
Teori Orbital Molekul dan Ligan Field Theory PPT
Teori Orbital Molekul dan Ligan Field Theory PPTTeori Orbital Molekul dan Ligan Field Theory PPT
Teori Orbital Molekul dan Ligan Field Theory PPT
 
Kestabilan ion kompleks
Kestabilan ion kompleksKestabilan ion kompleks
Kestabilan ion kompleks
 
Volume molal parsial
Volume molal parsialVolume molal parsial
Volume molal parsial
 

Similar to 4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA UJI PROTEIN
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA UJI PROTEINLAPORAN PRAKTIKUM KIMIA UJI PROTEIN
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA UJI PROTEIN
worodyah
 
laporan P2 wulan dwi utami-12231050
laporan P2 wulan dwi utami-12231050laporan P2 wulan dwi utami-12231050
laporan P2 wulan dwi utami-12231050
curutkecil
 
Laporan ekstraksi pelarut
Laporan ekstraksi pelarutLaporan ekstraksi pelarut
Laporan ekstraksi pelarut
Rizki Ramadhan
 
Laporan ekstraksi pelarut
Laporan ekstraksi pelarutLaporan ekstraksi pelarut
Laporan ekstraksi pelarut
Rizki Ramadhan
 
V. warna kelarutan dan kesetimbangan ion kompleks ni(ii)
V. warna kelarutan dan kesetimbangan ion kompleks ni(ii)V. warna kelarutan dan kesetimbangan ion kompleks ni(ii)
V. warna kelarutan dan kesetimbangan ion kompleks ni(ii)
Nurmalina Adhiyanti
 
Ppt cu dan nikel fix
Ppt cu dan nikel fixPpt cu dan nikel fix
Ppt cu dan nikel fix
Isponi Umayah
 

Similar to 4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh) (20)

Logam Cu(II) dengan Ligan 2-feniletilamin
Logam Cu(II) dengan Ligan 2-feniletilaminLogam Cu(II) dengan Ligan 2-feniletilamin
Logam Cu(II) dengan Ligan 2-feniletilamin
 
Analisis Jurnal : Senyawa kompleks
Analisis Jurnal : Senyawa kompleksAnalisis Jurnal : Senyawa kompleks
Analisis Jurnal : Senyawa kompleks
 
kakap
kakapkakap
kakap
 
Chapter i
Chapter iChapter i
Chapter i
 
Chapter i
Chapter iChapter i
Chapter i
 
Chapter i
Chapter iChapter i
Chapter i
 
Chapter i
Chapter iChapter i
Chapter i
 
KSFM 1.ppt
KSFM 1.pptKSFM 1.ppt
KSFM 1.ppt
 
bilkor
bilkorbilkor
bilkor
 
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA UJI PROTEIN
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA UJI PROTEINLAPORAN PRAKTIKUM KIMIA UJI PROTEIN
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA UJI PROTEIN
 
titrasi asidimetri
titrasi asidimetrititrasi asidimetri
titrasi asidimetri
 
laporan P2 wulan dwi utami-12231050
laporan P2 wulan dwi utami-12231050laporan P2 wulan dwi utami-12231050
laporan P2 wulan dwi utami-12231050
 
KIMIA ANALISIS DASAR
KIMIA ANALISIS DASARKIMIA ANALISIS DASAR
KIMIA ANALISIS DASAR
 
Laporan ekstraksi pelarut
Laporan ekstraksi pelarutLaporan ekstraksi pelarut
Laporan ekstraksi pelarut
 
Laporan ekstraksi pelarut
Laporan ekstraksi pelarutLaporan ekstraksi pelarut
Laporan ekstraksi pelarut
 
KOMPLEKSOMETRI
KOMPLEKSOMETRIKOMPLEKSOMETRI
KOMPLEKSOMETRI
 
Kimia inti dan radioaktif-radioaktif
Kimia inti dan radioaktif-radioaktifKimia inti dan radioaktif-radioaktif
Kimia inti dan radioaktif-radioaktif
 
V. warna kelarutan dan kesetimbangan ion kompleks ni(ii)
V. warna kelarutan dan kesetimbangan ion kompleks ni(ii)V. warna kelarutan dan kesetimbangan ion kompleks ni(ii)
V. warna kelarutan dan kesetimbangan ion kompleks ni(ii)
 
Ppt cu dan nikel fix
Ppt cu dan nikel fixPpt cu dan nikel fix
Ppt cu dan nikel fix
 
215139470 9-ppt-senyawa-koordinasi fix
215139470 9-ppt-senyawa-koordinasi fix215139470 9-ppt-senyawa-koordinasi fix
215139470 9-ppt-senyawa-koordinasi fix
 

4633 didik-prasetyoko-prosiding non hayati (nh)

  • 1. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS NIKEL(II) DENGAN LIGAN ETILENDIAMINTETRAASETAT (EDTA) Nur Chamimmah Lailis I dan Irmina Kris Murwani* Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya *Email: irmina@chem.its.ac.id Abstrak : Pada penelitian ini dilakukan sintesis senyawa kompleks Ni-EDTA melalui reaksi larutan Ni2+ dan H4EDTA. pH optimum sintesis Ni-EDTA diperoleh pada pH 10. Penentuan rumus senyawa kompleks dilakukan dengan metode variasi kontinu sehingga diperoleh perbandingan logam Ni dan EDTA adalah 1 : 1. Padatan kompleks Ni-EDTA berwarna biru, mempunyai serapan panjang gelombang maksimum sebesar 584 nm dan serapan khas vibrasi logam-ligan dengan spektroskopi infra merah pada bilangan gelombang 347 cm-1. Kata kunci : Senyawa kompleks, Nikel (II) EDTA, sintesis, karakterisasi 1. Pendahuluan Senyawa koordinasi adalah salah satu senyawa yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Senyawa ini terbentuk karena adanya ikatan antara ligan yang berperan sebagai donor pasangan elektron (basa lewis) dengan ion pusat (logam) yang berperan sebagai akseptor pasangan elektron (asam lewis). Kajian dan penelitian tentang sintesis senyawa koordinasi juga semakin beragam. Salah satunya adalah penelitian tentang senyawa kompleks sebagai katalis. Dari beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa senyawa kompleks nikel telah terbukti dapat digunakan pada proses katalitik dalam beberapa reaksi organik seperti reaksi karbonilasi etanol menjadi asam propionat yang menggunakan katalis senyawa kompleks [Ni(isoquinoline)4]Cl2 (Ubale, 1997) dan reaksi hidrogenasi yang mengkonversi glukosa menjadi sorbitol dengan katalis senyawa kompleks [Ni(EDTA)3(NO3)2] berpendukung silika (SiO2) (Schimpf, 2007). Senyawa kompleks yang bisa dijadikan sebagai katalis harus memiliki sifat yang stabil. Salah satu senyawa kompleks yang sangat stabil adalah senyawa kompleks yang membentuk khelat. Salah satu senyawa kompleks yang memiliki tingkat kestabilan cukup tinggi adalah senyawa kompleks Nikel(II)-EDTA yang memiliki Kstab = 18.62 (Underwood, 2002). Pada penelitian ini disintesis dan dikarakterisasi senyawa kompleks nikel(II)-EDTA yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai katalis. 2. Metodologi Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia yang memiliki kemurnian pro analisis (p.a) meliputi nikel(II) triklorida heksahidrat NiCl2.6H2O, H4EDTA (Titriplex II), NH4OH dan akuades. Selanjutnya akan dilakukan karakterisasi dengan UV-VIS, FTIR, dan XRD. Tahapan dalam sintesis senyawa kompleks Ni-EDTA adalah penentuan panjang gelombang maksimum, pengaruh pH pada pembentukan senyawa kompleks dan penentuan rumus senyawa kompleks dengan metode variasi kontinu. Sintesis senyawa kompleks dilakukan dengan
  • 2. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS mereaksikan larutan H4EDTA (titriplex II) dan NiCl. Larutan campuran tersebut dipanaskan sampai tepat jenuh kemudian didiamkan selama beberapa hari hingga terbentuk padatan kristal. Kristal yang terbentuk disaring dan diletakkan pada cawan porselen lalu di oven 90° hingga cukup kering. 3. Hasil dan Pembahasan Penentuan Panjang Gelombang Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2- Hasil reaksi NiCl2 dan EDTA diukur dengan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 400-780 nm. Dari hasil analisis diperoleh bahwa panjang gelombang maksimum senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- adalah 584 nm. Jika dibandingkan dengan panjang gelombang maksimum NiCl2 yaitu sebesar 658 nm, maka terjadi pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih pendek seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pergeseran ini dipengaruhi oleh ligan EDTA yang merupakan ligan dengan medan kuat (Sukardjo, 1992). Senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- memiliki warna biru, sehingga senyawa kompleks tersebut menyerap panjang gelombang pada daerah kuning (580-595) nm (Underwood, 2002). Gambar 1. Panjang Gelombang Maksimum Senyawa NiCl2 ( ) dan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2- ( ) Pengaruh pH Pada Pembentukan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2- Pembentukan senyawa kompleks sangat dipengaruhi oleh pH. Pengamatan pengaruh pH pada pembentukan kompleks terlihat pada Gambar 2. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- mulai terbentuk pada pH 5 sedangkan pH optimum terdapat pada pH 10, karena pada pH tersebut absorbansi senyawa kompleks menunjukkan nilai paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa akibat perubahan pH larutan, konsentrasi senyawa kompleks yang terbentuk juga mengalami perubahan.
  • 3. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Gambar 2. Pengaruh pH Pada Pembentukan Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2- Penentuan Rumus Senyawa Kompleks dengan Metode Variasi Kontinu Rumus senyawa kompleks nikel-EDTA ditentukan melalui metode variasi kontinu. Hasil menunjukkan bahwa perbandingan mol antara Ni2+ dan ligan EDTA adalah 1 : 1. Hasil penentuan rumus senyawa kompleks dapat diamati pada Gambar 3. Pada gambar tersebut titik potong terdapat pada perbandingan fraksi mol EDTA 0,5. Hasil perbandingan ini menunjukkan bahwa satu mol ligan EDTA dapat berikatan dengan satu mol nikel(II) sehingga dihasilkan perbandingan mol nikel(II) : EDTA adalah 1 : 1 dan membentuk senyawa koordinasi [Ni(EDTA)]2- (Bhat, dkk. 1965). Gambar 3. Penentuan Stoikiometri Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2-
  • 4. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Berdasarkan hasil penentuan rumus stoikiometri tersebut maka dapat diperkirakan bahwa senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- mempunyai struktur oktahedral seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Struktur Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2- Karakterisasi Senyawa Kompleks dengan Spektrofotometer Inframerah Karakterisasi senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- dilakukan pada bilangan gelombang 300-4000 cm-1. Pada karakterisasi ini dibandingkan spektra antara senyawa kompleks yang terbentuk [Ni(EDTA)]2- dan ligan EDTA seperti yang terlihat pada Gambar 5. Gambar 5. Spektra inframerah EDTA ( ) dan [Ni(EDTA)]2- ( )
  • 5. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Spektra EDTA (Gambar 5) diperoleh dengan menganalisis padatan H4EDTA (titriplex II). Pada gambar diatas terlihat bahwa terdapat serapan O-H pada daerah 3400 cm-1 tidak terlalu tajam karena EDTA yang dianalisis bukan garam EDTA yang memiliki air hidrat. Sedangkan serapan N-H terlihat sangat tajam pada daerah 3100 cm-1. Gugus fungsi C=O terlihat pada 1697 cm-1 sedangkan vibrasi COO- yang berasal dari ester pada 1396 cm-1 sedangkan frekuensi vibrasi C-C untuk alkana muncul pada serapan 1200-800 cm-1. Pada spektra [Ni(EDTA)]2- diatas, dapat dilihat bahwa terdapat serapan melebar O-H muncul pada daerah 3410 cm-1 yang mengindikasikan bahwa senyawa koordinasi [Ni(EDTA)]2- mengandung air kristal. Sedangkan serapan N-H muncul pada daerah 3200 cm-1. Serapan C=O muncul pada 1600 cm-1 sedangkan vibrasi C-O yang berasal dari ester pada 1396 cm-1. Vibrasi C-O yang berasal dari ester menunjukkan serapan yang sangat tajam dibandingkan dengan serapan pada ligan bebasnya, hal ini karena vibrasi dari C-O pada senyawa ini terikat pada logam Ni sehingga intensitasnya meningkat. Frekuensi vibrasi C-C untuk alkana muncul pada serapan 1200- 800 cm-1. Serapan vibrasi ikatan antara logam Ni dengan ligan terlihat pada bilangan gelombang 300-600 cm-1, vibrasi ikatan Ni-N terlihat pada bilangan gelombang 347 nm. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa vibrasi ikatan logam dengan gugus N dari ligan akan muncul pada bilangan gelombang 300-390 cm-1. Sedangkan vibrasi Ni-O dari ligan EDTA muncul pada bilangan gelombang 470 cm-1. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa vibrasi logam dengan gugus O dari ligan akan muncul pada bilangan gelombang 600-400 cm-1 (Nakamoto, 1978). Identifikasi Senyawa Kompleks dengan Difraktometer Sinar-X Padatan senyawa kompleks [Ni(EDTA)]2- hasil sintesis dianalisis XRD untuk mengetahui komponen penyusunnya. Difraktogram hasil analisis disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Difraktogram Senyawa Kompleks [Ni(EDTA)]2-
  • 6. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 4. Kesimpulan Senyawa kompleks nikel(II)-EDTA telah berhasil disintesis dengan perbandingan mol ligan dan atom pusat = 1:1. pH maksimum pembentukan senyawa kompleks adalah pH 10. Berdasarkan hasil penentuan rumus molekul senyawa kompleks dan analisis FTIR yang membuktikan adanya vibrasi logam nikel ke ligan EDTA, maka [Ni(EDTA)]2- diperkirakan mempunyai struktur oktahedral. Daftar Pustaka Bhat, R.T., Radhamma, D. & Shankar, J., (1965), “ Studies on EDTA Complexes : Mixed Complexes of Copper (II), Nickel (II) and Cobalt (II) Versenates with Pyridine, Hydrazine, Hydroxylamine, Ethylenediamine and Propylenediamine “, Journal Inorganic Nuclear Chemistry, Vol. 27, hal. 2641-2651. Nakamoto K., 1978, Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compound, Third Edition., John Wiley and Sons Inc, New York. Schimpf, S., Louis, C & Claus, P., (2007), “ Ni/SiO2 catalysts prepared with ethylenediamine nickel precursors : Influence of the pretreatment on the catalytic properties in glucose hydrogenation “, Applied Catalysis A: General , Vol. 318, hal. 45–53. Sukardjo., 1992, Kimia Koordinasi, Edisi Ketiga, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Ubale, R.S., Kelkar, A.A. & Chaudari, R.V. (1997), “Carbonylation of ethanol using Ni-isoquinoline complex catalyst: Activity and selectivity studies”, Journal of Molecular Catalysis A : Chemical, Vol.118, hal. 9-19. Underwood, A. L. & Day, R.A, (2002), Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta.
  • 7. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS ESTERIFIKASI ASAM LEMAK BEBAS DARI LIMBAH MINYAK SAWIT MENTAH DENGAN METANOL DAN KATALIS KAOLINIT TERIMPREGNASI AlCl3 Harlia, Thamrin Usman, Nelly Wahyuni, Winda Rahmalia Jurusan Kimia FMIPA Universitas Tanjungpura Jl. A Yani Pontianak, 78124 Email: rahmalia_mipa@yahoo.com Abstrak Telah dilakukan sintesis metil ester dengan metode esterifikasi terhadap asam lemak bebas limbah minyak sawit mentah menggunakan katalis kaolinit terimpregnasi AlCl3. Variabel yang dikaji pada proses esterifikasi adalah waktu reaksi dan konsentrasi katalis AlCl3. Hasil penelitian menunjukkan waktu reaksi dan konsentrasi katalis optimum masing-masing 1 jam dan 4 % dengan persentase konversi produk mencapai 79,86 %. Metil ester yang dihasilkan telah dianalisa sifat fisika yang meliputi indeks bias 1,454, kerapatan 0,880 g/mL (250C) dan viskositas 6,975 cSt (250C). Kata kunci: kaolinit, AlCl3, esterifikasi, metil ester, limbah minyak sawit mentah
  • 8. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS PENGGUNAAN ISATIN SEBAGAI INHIBITOR KOROSI BAJA SS 304 DALAM LARUTAN ASAM * Harmami dan Adrian Gunawan Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Phone : 08883077956, e-mail: harmami@chem.its.ac.id Abstrak Penggunaan isatin sebagai inhibitor korosi baja SS 304 dalam media asam dipelajari dengan menggunakan metode pengurangan massa, polarisasi potensiodinamik, serta analisis Scanning Electron Microscopy (SEM). Dari data pengurangan massa maupun data polarisasi menunjukkan nilai efisiensi inhibisi ( % EI ) sebanding dengan konsentrasi inhibitor yang ditambahkan dan berbanding terbalik dengan kenaikan temperatur. Data konstanta Tafel menunjukkan bahwa Isatin dapat bertindak sebagai inhibitor katodik dan anodik (tipe inhibitor campuran). Analisa SEM menunjukkan perbedaan tekstur permukaan spesimen yang direndam pada media asam tanpa dan dengan penambahan Isatin 12.5 mM, dimana tanpa penambahan inhibitor, tekstur permukaan lebih banyak berlubang dan kasar. Proses adsorpsi inhibitor pada permukaan logam diduga diawali dengan adsorpsi fisika dan kemudian dilanjutkan dengan adsorpsi kimia. Adsorpsi kimia dimungkinkan karena luas pelingkupan permukaan logam meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor. Kata kunci: Inhibitor, Isatin , baja tahan karat 304, dan efisiensi inhibisi.. 1. Pendahuluan Stainless Steel (SS) 304 merupakan baja nirkarat yang paling banyak diproduksi dibandingkan baja nirkarat yang lainnya dan banyak digunakan baik untuk peralatan rumah tangga maupun untuk keperluan industri karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan tipe 316 maupun tipe yang lain. Baja tipe 304 disebut sebagai baja tahan tahan karat karena dapat membentuk lapisan oksida logam pasif pada permukaannya. Namun demikian dalam lingkungan asam yang korosif , lapisan tahan karat tersebut tidak dapat terbentuk dan logam akan mengalami korosi. Dalam penggunaannya, baja 304 sering mengalami proses cuci asam, sehingga dalam proses tersebut, baja 304 pasti akan mengalami korosi. Berbagai upaya telah banyak dilakukan untuk mencegah atau setidaknya mengurangi laju korosi dalam suatu proses cuci asam, antara lain dengan penggunaan inhibitor, yakni suatu zat yang ditambahkan dalam jumlah kecil dalam larutan cuci asam untuk menghambat laju korosi (Thretwey, 1991). Inhibitor korosi dapat berasal dari bahan anorganik (kromat, dikromat, oksalat, dll) atau organik (berbagai jenis minyak dan ekstrak bahan alam). Inhibitor dari bahan anorganik saat ini sudah mulai ditinggalkan karena sifatnya yang tidak ramah lingkungan dan bisa menjadi katalis korosi apabila konsentrasinya tidak tepat (Surya, 2004) Inhibitor korosi dari bahan organik lebih dipilih karena memiliki afinitas yang cukup tinggi pada logam, nilai effisiensi yang tinggi, serta ramah lingkungan. Effektivitas senyawa organik
  • 9. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS sebagai inhibitor sangat dipengaruhi oleh keberadaan heteroatom (O, N, P, dan S), gugus polar, ikatan π, serta pasangan elektron bebas yang menjadi sarana bagi inhibitor untuk melakukan chemisorpsi / berikatan dengan logam secara koordinasi (Spinelli dkk, 2009). Isatin (1) adalah senyawa turunan indole dengan 2 gugus karbonil di nomor 2 dan 3. Gugus karbonil yang berada di nomor 3 (karbonil golongan keton) sangat reaktif. Sedangkan karbonil pada nomor 2 memiliki sifat seperti amida. Gambar 1. Struktur Isatin (1) Penggunaan Isatin sebagai inhibitor laju korosi baja 304 dikaji dalam larutan asam khususnya larutan 1M HCL dan dikaji pula pengaruh temperatur.larutan tersebut terhadap efisiensi inhibisinya. 2. Metodologi Alat dan Bahan Alat Botol timbang, neraca analitis, gelas beker, alumunium foil, plastik, kertas gosok, labu ukur, buret, erlenmeyer. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah termostat, potensiostat, dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Bahan Isatin, Asam Klorida Pekat (37%), SS 304, Aquabidest, Aseton, Natrium Hidroksida, dan Asam Oksalat Prosedur Kerja Pembuatan Spesimen Baja SS 304 Baja SS 304 dipotong dengan dimensi 3 x 3 x 0.1 cm3 yang digunakan dalam pengukuran dengan menggunakan metode pengurangan berat dan analisis dengan SEM, sedangkan untuk pengukuran dengan metode polarisasi, baja yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 1,4 cm, tebal 0.1 cm. Baja terlebih dahulu digosok dengan kertas gosok grade 500 dan 1000 berturut-turut, kemudian dicuci dengan aquadest dilanjutkan dengan aseton, dan dibilas lagi dengan aquades serta dikeringkan. Pembuatan Media Korosi Media korosi yang digunakan adalah larutan HCl 1M tanpa inhibitor, larutan HCl 1M dengan penambahan inhibitor (isatin) dengan variasi konsentrasi 2.5 mM – 12.5 mM
  • 10. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Metode Pengurangan Massa Spesimen ditimbang dengan neraca analitis kemudian direndam dalam larutan 1M HCL tanpa dan dengan penambahan inhibitor masing-masing selama 3 jam pada variasi temperatur larutan, 35oC, 40 oC, 45 oC, 50 oC, 55 oC. Masing-masing perlakuan dilakukan pengukuran tiga kali ulangan. Effisiensi inhibisi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : %IE= Wo-Wi Wo ×100 % Dimana Wo pengurangan massa spesimen pada media korosi tanpa inhibitor, dan Wi adalah pengurangan massa spesimen pada media korosi dengan inhibitor. Metode Polarisasi Potensiodinamik Metode ini dilakukan untuk mengetahui nilai berbagai parameter korosi (arus korosi, potensial korosi, konstanta Tafel katodik dan anodik). Instrumen yang digunakan adalah Potensiostat type PGS 201 T dengan sel 3 elektroda. Elektroda acuan adalah tipe calomel (SCE), elektroda bantu berupa platina dan elektroda kerja adalah spesimen baja berbentuk silinder. Elektroda kerja, elektroda bantu, dan elektroda pembanding di rangkai menjadi suatu sel dengan larutan elektrolit berupa media korosi tanpa inhibitor atau media korosi dengan inhibitor. Sel kemudian dihubungkan dengan potensiostat dan komputer untuk membaca data yang diperoleh. Metode polarisasi dilakukan pada suhu kamar. Efisiensi inhibisi (IE) dihitung menggunakan Persamaaan : %IE= Io-Ii Io ×100 % dimana Io merupakan densitas arus korosi pada media korosi tanpa inhibitor dan Ii pada media korosi dengan inhibitor. Analisa SEM Spesimen hasil metode pengurangan berat, dianalisa permukaannya dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dengan perbesaran 10.000 kali. Spesimen yang digunakan adalah hasil rendaman pada media korosi tanpa inhibitor dan media korosi dengan inhibitor yang memiliki nilai %IE maksimum yaitu dengan penambahan Isatin 12.5 mM Penentuan nilai Energi Aktivasi (Ea) Nilai pengurangan berat pada media korosi tanpa dan dengan inhibitor pada berbagai temperatur dialurkan sebagai fungsi 1000/T. Nilai Ea diketahui dari slope. 3. Hasil dan Diskusi Metode Pengurangan Massa Pengurangan massa merupakan metode selain elektrokimia yang dapat digunakan untuk menentukan laju korosi dan effisiensi inhibisi. Metode ini sederhana dan praktis dilakukan, akan tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk perendaman (Spinelli dkk, 2009). Pengurangan massa tersebut terjadi karena logam terdestruksi dan larut menjadi keadaan teroksidasinya yang diakibatkan oleh adanya reaksi kimia antara logam dengan lingkungannya. Metode ini dilakukan pada temperatur yang bervariasi, yakni mulai dari temperatur Kamar, 35°C, 40°C, 45°C, 50°C, dan 55 OC. Untuk temperatur kamar tidak membutuhkan instrumen
  • 11. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS tambahan. Sedangkan untuk temperatur lain digunakan instrumen berupa termostat yang dapat menjaga temperatur dengan konstan. Grafik yang menyatakan hubungan antara konsentrasi isatin dengan efisiensi inhibitor (%EI), dapat dilihat pada gambar 2. Metode pengurangan massa menunjukkan effisiensi maksimum yang berhasil dicapai adalah sebesar 73.90% pada isatin 12.5 mM di suhu kamar, sedangkan nilai minimum sebesar 42.0% pada isatin 2.5 mM dan suhu 55°C. Metode ini menunjukkan fakta bahwa saat konsentrasi isatin meningkat (pada temperatur yang sama) maka jumlah massa yang berkurang akan semakin kecil (laju korosi berkurang) sehingga effisiensi inhibisinya (%EI) akan meningkat. Hal tersebut karena semakin luas permukaan spesimen yang dilingkupi oleh inhibitor akibat dari peristiwa adsorpsi inhibitor di permukaan baja dan juga semakin berkurangnya serangan ion H+ dan Cl- pada baja akibat bereaksi dengan isatin. Penelitian lain yang dilakukan Quraishi dkk pada 2008 menunjukkan pola sama dengan yang terjadi pada penelitian ini. Penelitian tersebut menggunakan inhibitor N-(Piperidinomethyl)-3- [(pyridylidene)amino]isatin (PPI) (sebuah turunan isatin) untuk menginhibisi korosi dari baja lunak pada media HCl, ternyata memiliki nilai %EI yang semakin besar saat konsentrasi PPI meningkat. Nilai %EI maksimum yang dicapai adalah 94%, yaitu pada saat konsentrasi isatin 300 ppm. Saat PPI yang ditambahkan melebihi 300 ppm, tidak terjadi perubahan yang signifikan dari nila%EI. Efektivitas dari PPI ditentukan oleh keberadaan ikatan rengkap dan elektron bebas yang terdapat dalam PPI. Peningkatan temperatur dari media ternyata meningkatkan jumlah pengurangan massa yang mengakibatkan nilai %EI turun. Hal ini dikarenakan peningkatan difusi ion – ion dalam media dan meningkatkan jumlah oksigen terlarut, sehingga reaksi parsial elektrokimia akan semakin cepat dan proses pelarutan logam juga meningkat. Pada media korosi dengan inhibitor yang mengandung inhibitor, kenaikan temperatur akan mengakibatkan proses desorpsi dari inhibitor jika adsorpsinya merupakan fisisorpsi (Harmami dkk, 2006). Grafik yang menunjukkan hubungan antara temperatur dengan %EI pada berbagai konsentrasi isatin dapat dilihat pada gambar 3 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 0 2,5 5 7,5 10 12,5 % Effisiensi Inhibisi Konsentrasi Isatin (mM) Kamar 35°C 40°C 45°C 50°C 55°C Gambar 2. Grafik Hubungan Antara Konsentrasi Isatin dengan %EI pada Berbagai Temperatur Media
  • 12. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 80,00 75,00 70,00 65,00 60,00 55,00 50,00 45,00 40,00 30 35 40 45 50 55 % Effisiensi Inhibisi Temperatur (°C) 2.5 5 7.5 10 12.5 Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Temperatur Media dengan Nilai %EI pada Berbagai Konsentrasi Isatin Hal yang berbeda terjadi saat PPI digunakan sebagai inhibitor korosi pada berbagai variasi temperatur. PPI akan menghasilkan nilai %EI yang meningkat pada saat temperatur media meningkat. Perbedaan ini diakibatkan oleh adanya perbedaan jenis adsorpsi yang terjadi pada PPI dan isatin. Fisisorpsi terjadi pada molekul isatin sedangkan PPI mengalami kemisorpsi yang didahului oleh fisisorpsi. Pada peristiwa kemisorpsi dibutuhkan energi yang cukup tinggi yakni untuk membentuk ikatan antara adsorbat dan adsorben, sehingga pada saat temperaturnya meningkat maka pembentukan ikatan akan lebih mudah dan cepat terjadi. Luas permukaan yang terlingkupi nantinya juga akan bertambah saat temperatur naik dan mengakibatkan semakin tingginya nilai %EI pada penggunaan PPI. Perbedaaan jenis adsorpsi dan nilai %EI pada isatin dan PPI dikarenakan perbedaan struktur diantara kedua inhibitor tersebut. PPI adalah turunan isatin dengan molekul yang lebih besar dibandingkan isatin sehingga luas pelingkupannya pada logam akan lebih besar dibanding isatin pada konsentrasi sama, sehingga nilai %EI PPI akan lebih besar dibandingkan isatin. Perbandingan struktur PPI dan isatin, ditampilkan pada gambar 4. PPI memiliki lebih banyak heteroatom (4 atom N dan 1 atom O), molekul isatin memiliki 2 atom O dan 1 atom N, sehingga memungkinkan PPI lebih mudah melakukan ikatan koordinasi (kemisorpsi) dengan logam melalui PEB yang ada di heteroatom tersebut. Isatin sendiri dengan jumlah PEB yang lebih sedikit akan lebih sulit melakukan kemisorpsi dengan logam, sehingga hanya terjadi fisisorpsi. Keberadaan heteroatom pada PPI tersebut juga akan mengakibatkan lebih banyaknya ion H+ yang tertangkap oleh PPI dibandingkan pada isatin. Karena dua hal yang disebutkan tersebut maka nilai %EImax pada PPI yang mencapai 94% menjadi lebih tinggi dibandingkan %EImax pada isatin yang hanya mencapai 73.90%. (a) (b) Gambar 4. Perbandingan Struktur antara (a) PPI dan (b) Isatin
  • 13. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Perhitungan Energi Aktivasi (Ea) Perhitungan nilai energi aktivasi (Ea) menggunakan data dari metode pengurangan massa. Nilai logaritma natural (ln) jumlah pengurangan massa (Δw) pada larutan dengan konsentrasi isatin yang sama dialirkan pada fungsi 1000/T. Gambar 5 menampilkan hasil pengaluran data tersebut. -2,5 -3 -3,5 -4 -4,5 -5 3 3,1 3,2 3,3 3,4 1000/T (K-1 ) 0 mM 2.5 mM 5 mM 7.5 mM 10 mM 12.5 mM Gambar 5. Grafik Hubungan antara ln ΔW vs 1000/T ln Δw Berdasar persamaan Arhennius nilai slope yang diperoleh dari persamaan garis tersebut adalah nilai dari –Ea/R. Nilai Ea diperoleh dengan mengalikan nilai slope dengan konstanta gas ideal (R) sebesar 8.314 J/mol. Grafik yang menyatakan hubungan antara energi aktivasi (Ea) dan konsentrasi inhibitor yang digunakan dapat dilihat pada gambar 6. Energi Aktivasi (Kj/mol) Konsentrasi Isatin (mM) R² = 0,9344 14 12 10 8 6 4 2 0 0 2,5 5 7,5 10 12,5 Gambar 6. Grafik Hubungan Energi Aktivasi (Ea) dan Konsentrasi Isatin Nilai Ea maksimum diperoleh sebesar 12.22 kJ/mol dan Ea minimum sebesar 6.79 kJ/mol. Terjadi sedikit penurunan nilai Ea pada saat konsentrasi isatin mencapai 12.5 mM, nilai Ea seharusnya lebih besar dari 12.22 kJ/mol tetapi faktanya hanya mencapai 12.14 kJ/mol. Hal tersebut dimungkinkan karena pengaruh kelarutan isatin pada 12.5 mM yang tidak sempurna meski
  • 14. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS telah dilakukan pengadukan dan pemanasan selama 15 menit, akan tetapi hal tersebut tidak terlalu berpengaruh pada kinerja isatin sebagai inhibitor korosi. Berdasar data dapat diketahui bahwa energi aktivasi dalam media korosi dengan inhibitor lebih besar dibanding dalam media korosi tanpa inhibitor, dan nilai energi aktivasi cenderung naik saat konsentrasi isatin meningkat. Energi aktivasi yang semakin besar juga identik dengan nilai %EI yang semakin besar. Hal ini dikarenakan secara termodinamik, nilai Ea yang besar akan mengakibatkan korosi lebih lambat dan sulit terjadi, sehingga laju korosi dalam media yang sudah ditambahkan inhibitor akan mengalami penurunan dan nilai %EI akan meningkat. Pada penelitian lain juga ditemukan inhibisi korosi yang menghasilkan nilai Ea meningkat pada saat inhibitor ditambahkan, seperti yang dilaporkan oleh Xianghong dkk pada 2009 saat menggunakan 6-benzylaminopurine sebagai inhibitor korosi. Nilai Ea pada media tanpa inhibitor mencapai 51.86 kJ/mol, sedangkan nilai Ea pada media dengan inhibitor masksimum (300 mg/L) mencapai 120.25 kJ/mol. Peningkatan energi aktivasi ini terjadi karena energi yang dibutuhkan oleh H+ untuk mengkorosi baja meningkat karena terganggu oleh hadirnya inhibitor dan mengakibatkan laju korosi menurun. Pada penelitian Spinelli dkk pada 2009 yang menggunakan asam kaffeat sebagai inhibitor korosi pada baja lunak dalam asam sulfat, ditemukan fenomena nilai Ea pada media tanpa inhibitor yang lebih besar dibanding pada media dengan inhibitor, dimana hal tersebut dihubungkan dengan terjadinya peristiwa kemisorpsi dari asam kaffeat pada permukaan baja. Nilai Ea yang sama pada media tanpa dan dengan inhibitor juga dapat terjadi, oleh karena itu tipe inhibitor korosi diklasifikasikan menjadi 3 golongan : i. %EI turun dengan naiknya temperatur, maka Ea dengan inhibitor > Ea tanpa inhibitor. Menandakan adanya fisisorpsi dari inhibitor pada permukaan logam, dan kerja katodik dari inhibitor. ii. %EI naik dengan naiknya temperatur, maka Ea dengan inhibitor < Ea tanpa inhibitor. Menandakan adanya kemisorpsi dari inhibitor pada permukaan logam iii. %EI tidak berubah saat temperatur berubah, maka Ea dengan inhibitor = Ea tanpa inhibitor (Xianghong dkk, 2009) Isatin pada penelitian ini termasuk golongan (i), sehingga dapat dikatakan bahwa Isatin merupakan inhibitor yang teradsorp secara fisika pada permukaan logam. Metode Polarisasi Potensiodinamik Nilai arus korosi (Icorr) dan potensial korosi (Ecorr) pada proses korosi baja SS 304 dalam media korosi dapat diketahui dengan menggunakan metode polarisasasi potensiodinamik. Instrumen untuk metode ini adalah potensiostat PGZ 201 T dengan sistem 3 elektroda yang terdapat di PTAPB – BATAN Jogjakarta. Baja SS 304 dengan ketebalan 1 cm dipotong berbentuk silinder dengan diameter 1.4 cm, spesimen terlebih dahulu digosok dengan kertas gosok, untuk membersihkan kerak, kotoran dan lapisan oksida yang terdapat di permukaan baja, kemudian dicuci dengan aquabidest, aseton, dan dibilas dengan aquabidest. Spesimen kemudian dikeringkan. Spesimen di uji polarisasi potensiodinamik dengan sistem 3 elektroda, spesimen sebagai elektroda kerja (WE), platina sebagai elektroda bantu (AE), dan SCE sebagai elektroda reference (RE), sedangkan untuk elektrolit digunakan larutan HCl tanpa inhibitor dan dengan inhibitor. Media korosi pada metode ini diencerkan 10 kali dari media korosi pada metode pengurangan massa. Hal tersebut dilakukan karena keterbatasan instrumen potensiostat tersebut. Metode Polarisasi potensiodinamik dijalankan dengan scan rate 20 mV/s pada range -2500 mV sampai 1000 mV. Icorr maksimum diperoleh pada media korosi tanpa inhibitor dengan nilai sebesar 101.9 μA, sedangkan nilai minimum diperoleh pada saat konsentrasi Isatin 1.25 mM sebesar 46.99 μA. Dapat disimpulkan bahwa inhibisinya akan cenderung meningkat pada saat konsentrasi Isatin semakin
  • 15. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS meningkat sampai konsentrasi 12.5 mM, dengan nilai % EI minimum sebesar 26.4 % dan maksimum sebesar 53.88 % Hasil dari polarisasi ditampilkan dalam gambar 7, 8, dan 9 sebagai berikut : Gambar 7. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1 M (1) dan HCl 0.1 M dengan Isatin 0.25 mM (2) Gambar 8. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1M dengan Isatin 0.5mM (3) dan HCl 0.1 M dengan Isatin 0.75mM (4) Gambar 9. Kurva Polarisasi SS 304 pada HCl 0.1 M dengan Isatin 1.0 mM (5) dan HCl 0.1 M dengan Isatin 1.25 mM (6)
  • 16. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Nilai berbagai parameter korosi (Icorr, Ecorr, βa, βc, dan % EI) pada berbagai kondisi yang dihasilkan dari metode ini disampaikan dalam tabel 1. Tabel 1. Nilai Berbagai Parameter Korosi Baja SS 304 pada Media HCl 0.1 M dengan Hadirnya Isatin pada T kamar [Inhibitor] Ecorr icorr βa -βc % EI 0 mM -862.2 101.9 563.7 273.8 - 0.25 mM -904.8 74.58 591.4 240.7 26.8106 0.5 mM -904.5 74.29 563.3 197.6 26.48675 0.75 mM -783.6 61.16 291.1 172 39.98037 1mM -853.1 57.53 338.9 173.8 43.54269 1.25 mM -836.9 46.99 226.3 136.3 53.88616 Hubungan antara % icorr dengan konsentrasi Isatin dapat dilihat pada gambar 10. R² = 0,9023 150 100 50 0 0 0,25 0,5 0,75 1 1,25 Densitas Arus Korosi Konsentrasi Isatin (mM) Gambar 10 Grafik Hubungan icorr dengan Konsentrasi Isatin. Nilai potensial korosi (Ecorr) yang naik turun dimungkinkan oleh adanya proses adsorpsi Isatin di permukaan baja SS 304 saat polarisasi tidak stabil. Akan tetapi inhibisi korosi tetap berlangsung, hal itu terbukti dari nilai Icorr yang terus menurun saat ditambahkan Isatin. Nilai konstanta tafel anodik pada tabel 1 diatas menunjukkan perubahan yang tak teratur, hal ini menunjukkan bahwa adsorpsi Isatin di permukaan spesimen lemah dan mudah lepas yang merupakan ciri dari adsorpsi secara fisika. Fisisorpsi ini terjadi akibat adanya interaksi elektrostatik antara inhibitor dengan permukaan logam. Sedangkan nilai konstanta tafel katodik, menunjukkan nilai penurunan yang teratur dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor, hal tersebut menunjukkan bahwa isatin bekerja cukup baik di sisi katodik, yaitu dengan mengurangi laju reduksi ion H+ menjadi H2 Pada penelitian Isatin yang lain, oleh Quartarone dkk (2003), terdapat peristiwa kemisorpsi antara isatin dengan Cu yang di buktikan oleh spektrofotometri uv-vis. Nilai βc pada penelitian Quartarone ini menunjukkan bahwa Isatin juga bekerja dengan baik pada sisi katoda dengan menghambat laju reduksi H+ menjadi H2. Hal diatas menunjukkan bahwa Isatin adalah tipe inhibitor campuran.
  • 17. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Mekanisme Inhibisi Korosi Inhibitor korosi dapat bekerja menghambat korosi dengan berbagai jalan dan persitiwa adsorpsi inhibitor pada permukaan logam merupakan satu mekanisme untuk inhibitor korosi type anodik. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa inhibitor organik disukai sebagai inhibitor, karena perilakunya yang memiliki afinitas tinggi pada logam dan ramah lingkungan. Afinitas senyawa organik sangat dipengaruhi oleh keberadaan heteroatom (N, O, P, S), PEB, dan ikatan rangkap (Spinelli dkk, 2009). Jenis adsorpsi yang terjadi, apakah fisisorpsi, kemisorpsi, ataupun kemisorpsi yang didahului fisisorpsi sangat tergantung pada struktur inhibitor itu sendiri, jenis logam dan keadaan media (pH, Temperatur, dan jumlah inhibitor). Molekul isatin dapat teradsorp secara kimia pada permukaan logam yang ditunjukkan dengan pembentukan kompleks Cu-Isatin dalam media H2SO4 0.5 M yang dibuktikan dengan spektrofotometri uv-vis. Isatin berperan sebagai basa lewis yang mendonorkan PEB, sedangkan logam sebagai asam lewis akan menangkap PEB tersebut, sehingga terbentuk senyawa kompleks. Senyawa kompleks tersebut akan menutup sebagian permukaan logam dan menghambat pelarutan dari logam. Proses kemisorpsi seperti ini membutuhkan energi yang cukup tinggi dan waktu kontak yang lama. Pola kemisorpsi yang terjadi dapat diuji dengan cara fitting terhadap berbagai persamaan isothermal adsorpsi (Quartarone dkk, 2003) Fisisorpsi terjadi apabila hanya ada interaksi dipol-dipol antara inhibitor dan logam, adsorpsi model ini lemah dan mudah lepas. Fisisorpsi akan terjadi apabila struktur inhibitor tidak memungkinkan untuk mendonorkan pasangan elektron bebas (PEB) nya pada logam. Fisisorpsi inhibitor di permukaan logam ditemukan pula pada penelitian Harmami dkk (2003) yang menggunakan 4-metil imidazole untuk inhibitor korosi baja 316L. Fisisorpsinya diketahui dari nilai energi bebas Gibbs (ΔG) yang rendah, dan nilai energi aktivasi korosi saat ditambahkan inhibitor korosi menjadi lebih besar. “Fitting” membuktikan bahwa inhibitor tersebut mengikuti pola Freundlich. Proses fisisorpsi tersebut bisa diikuti dengan kemisorpsi, hal itu dapat dilihat dengan meningkatnya fraksi pelingkupan permukaan logam seiring dengan peningkatan konsentrasi inhibitornya. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa isatin pada awalnya teradsorp secara fisika pada permukaan logam, hal ini diketahui dari nilai βa yang berubah tidak beraturan. Nilai βa tersebut menunjukkan kalau adsorpsi isatin di permukaan logam lemah dan mudah lepas, sama seperti ciri dari fisisorpsi. Nilai energi aktivasi pada media korosi dengan inhibitor yang lebih besar dibandingkan pada media korosi tanpa inhibitor juga menunjukkan adanya fisisorpsi seperti pada penelitian Behpour dkk pada tahun 2009. Ditinjau berdasarkan struktur, isatin memang kurang mampu untuk mendonorkan PEB pada logam, hal ini terkait dengan terbatasnya PEB yang dimiliki dan adanya delokalisasi elektron pada isatin yang melibatkan PEB dari atom N dan O sehingga mempersulit donor PEB oleh isatin pada logam. Keberadaan fisisorpsi sebenarnya kurang menguntungkan untuk proses inhibisi korosi, karena ikatan antara inhibitor dan logam yang lemah dan mudah lepas yang memungkinkan peristiwa korosi masih bisa terjadi, akan tetapi pada penelitian ini diketahui bahwa isatin juga berperan pada sisi katodik dengan menghambat laju reduksi dari H+ melalui pembentukan senyawa isatin yang terprotonasi (H-Isatin)+ yang kemudian dapat membentuk garam klorida Isatin (H-isatin)+ Cl—. Sulitnya H+ dan Cl- untuk bereaksi dengan logam pada hadrinya isatin akan mengakibatkan nilai Ea meningkat, hal ini terbukti pada penelitian ini, dimana nilai Ea pada media korosi dengan inhibitor lebih besar dibanding Ea pada media korosi tanpa inhibitor.
  • 18. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) Spesimen SS 304 hasil pengurangan massa pada media korosi tanpa inhibitor (HCl 1M tanpa Isatin) dan media korosi dengan inhibitor yang menghasilkan nilai effisiensi maksimum (HCl 1M + Isatin 12.5 mM) dianalisa dengan menggunakan SEM pada perbesaran 5.000 kali. Tujuan dari analisa ini adalah untuk mengetahui kerusakan akibat korosi yang terjadi pada permukaan baja setelah direndam dalam media korosi. Hasil dari analisa SEM pada 2 spesimen tersebut ditampilkan pada gambar 11 a dan b. Dari hasil analisa SEM tersebut menunjukkan bahwa pada permukaan baja yang direndam dalam media HCl 1M tanpa isatin mengalami kerusakan yang lebih dibandingkan baja yang direndam dalam HCl dan Isatin 12.5 mM. Terlihat lebih banyak cacat di permukaan akibat serangan H+ dan Cl- pada gambar a dibanding gambar b. Cacat logam tersebut terjadi karena adanya bagian logam yang teroksidasi dan larut akibat peristiwa korosi. Pada gambar b yang menunjukkan cacat yang lebih sedikit dibandingkan gambar a menunjukkan bahwa korosi telah terhambat oleh kehadiran isatin. Hal tersebut menunjukkan bahwa isatin bertindak sebagai inhibitor korosi. (a) (b) Gambar 11. Hasil SEM spesimen SS 304 pada larutan HCl 1M tanpa Isatin (a) dan dengan Isatin 12.5 mM (b) (perbesaran 5000x) 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa isatin dapat digunakan sebagai inhibitor korosi untuk baja SS 304 dalam larutan HCl.. Dari data hasil pengukuran dengan menggunakan metode pengurangan dan polarisasi potensiodinamik menunjukkan bahwa nilai efisiensi inhibisi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi isatin dengan nilai efisiensi sebesar 73.90% pada konsentrasi isatin 12,5 mM. Efisiensi inhibisi tersebut akan turun seiring dengan peningkatan temperatur media. Nilai energi aktivasi yang meningkat menunjukkan terjadinya inhibisi korosi, serta data parameter korosi menunjukkan bahwa isatin adalah tipe inhbitor campuran, yang bekerja pada sisi anodik dan katodik. Proses adorpsi inhibitor pada permukaan logam diawali dengan adsorpsi fisika dan dilanjutkan dengan adsorpsi kimia. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada : 1. Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) di Babarsari Yogyakarta yang telah memberikan ijin untuk menggunakan alat potensiostat. 2. LPPM ITS yang telah mengijinkan untuk penggunaan SEM
  • 19. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Daftar Pustaka Behpour, M, S.M. Ghoreishi, N. Soltani, M. Salavati-Niasari (2009), “The inhibitive effect of some bis-N,S-bidentate Schiff bases on corrosion behaviour of 304 stainless steel in hydrochloric acid solution” Corrosion Science 51 : 1073 – 1082 Da Silva, Joaquim F. M, Simon J. Garden and Angelo C. Pinto (2001) “The Chemistry of Isatins: a Review from 1975 to 1999” J. Braz. Chem. Soc., Vol. 12, No. 3 : 273-324, Harmami, Hendro Juwono, Agus W., Yusuf P., M.Yusuf dan Nurhayati* (2003), “study of 4-methyl imidazole as corrosion inhibitor of 316L austenitic steel in acidic media” Majalah IPTEK 17 : 35 – 39 Hasnan, Ahmad, S., (2006),”Mengenal Baja”, (http://www.oke.or.id/) Honeycombe, R.W.K., (1995),“Steels Microstructure and Properties”, Second Edition, Edward Arnold, London Indocor, (1999), Pelatihan Ahli Korosi Muda, Indocor, Bandung Jones, D.A (1996),”Principles and preventation of corrosion”, Second Edition, Prentice Hall, Inc., United States of America Migahed, M.A, dkk (2005), “Effectiveness of some non ionic surfactants as corrosion inhibitors for carbon steel pipelines in oil fields” Electrochimica acta 50 : 4683 – 4689. Mulyono, (2006), “Kamus Kimia”, Bumi Aksara, Jakarta Oxtoby, David W, (2001), “ Kimia Modern, Edisi Keempat Jilid 1”, Erlangga, Jakarta Quartarone, G, T. Bellomi, A. Zingales (2003), “Inhibition of Copper Corrosion by Isatin in Aerated 0.5 M H2SO4” Corrosion Science 45 : 715 – 733 Quraishi, M.A, Ishtiaque A, Ashish K S, Sudhish K S, B. Lal, Vakil Singhb (2008), “N- (Piperidinomethyl) -3 [(pyridylidene)amino] isatin: A new and effective acid corrosion inhibitor for mild steel” Materials Chemistry and Physics 112 : 1035 - 1039 Spinelli, A , FS. De Souza (2009), ”Caffeic acid as a green corrosion inhibitor for mild steel” Corrosion Science 51 : 642 – 649 Surya, Indra, D., (2004),“Kimia Dari Inhibitor Korosi”, UNSUD, Sumatra Utara Thretwey, Kenneth R dan John Camberlein, (1991), “Korosi untuk Mahasiswa Sains dan Rekayasa” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Xianghong Li, Shuduan Deng, Hui Fu, Guannan Muc (2009), “Inhibition effect of 6-benzyl aminopurine on the corrosion of cold rolled steel in H2SO4 solution” Corrosion Science 51 : 620 – 634
  • 20. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS VALIDASI METODE PENGUKURAN LOGAM DALAM LIMBAH ELEKTROPLATING DENGAN METODE AAS (ATOMIC ABSORPTION SPECTROPHOTOMETER) Yatim Lailun Ni’mah, Irmina Kris Murwani dan Ita Ulfin Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Abstrak Telah dilakukan validasi metode F-AAS (Flame – Atomic Absorption Spectrophotometric) untuk penentuan kandungan logam Mn, Cu, Zn, dan Fe dalam limbah elektroplating. Parameter validasi meliputi sensitivitas, accuracy (kecermatan), precission, linieritas LOD, LOQ. Hasil Validasi metode AAS untuk penentuan logam Cu, Zn, Fe, dan Mn diperoleh uji linearitas memberikan nilai R2 masing-masing adalah 0,999; 0,996; 0,999 dan 0,999. Nilai presisi untuk logam tersebut berturut-turut adalah , 0,1594; 0,020267; 0,0228 dan 0,044 dan sensitivitasnya berturut-turut 0,1379; 0,217; 0,9624 dan 0,4993. Sedangkan nilai LOD nya adalah 5,48x10-3 ; 4,08x10-3; 0,067 dan 0,0168 dan nilai LOQ nya adalah 0,0183; 0,0136; 0,2235 dan 0,0559. Konsentrasi logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563 dan 1,033 ppm. 1. Pendahuluan Di laboratorium Lingkungan ITS yang terdapat di Research Center memiliki beberapa peralatan / instrument yang dapat digunakan untuk menentukan pengukuran kualitas dan kuantitas parameter untuk lingkungan. Diantara instrument yang ada yaitu Spektrofotometer Serapan Atom (Atomic Absorption Spectrophotometer). Instrument tersebut dapat digunakan untuk pengukuran analisa beberapa logam. Sebelum di lakukan untuk pengukuran sampel, maka sebelumnya instrument tersebut perlu di lakukan validasi metode agar data hasil pengukuran yang diperoleh memiliki nilai yang ukurat. Jika pada pengukuran diperoleh data dengan penyimpangan yang terlalu besar, maka kesalahan pengukuran tidak dapat diterima, jadi hasil analisis tersebut tidak valid. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai validasi metode penentuan beberapa konsentrasi logam yang sering diukur dengan instrumen tersebut. Pengukuran konsentrasi logam dengan AAS perlu divalidasi agar data yang diperoleh lebih presisi dan akurat. Pada penelitian ini dilakukan optimasi dalam pengukuran logam menggunakan AAS dengan beberapa parameter validasi yaitu sensitivitas, accuracy (kecermatan), precission, linieritas dan rentang, LOD dan LOQ. Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Kecermatan (Accuracy) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analisis sangat tergantung pada sebaran galat sistematik di dalam keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai kecermatan yang tingi hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi galat sistematik tersebut seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur. Kriteria kecermatan sangat tergantung kepada konsentrasi analit dalam matriks sampel dan pada keseksamaan metode (RSD). Vander Wielen, dkk menyatakan bahwa selisih kadar pada
  • 21. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS berbagai penentuan (Xd) harus 5% atau kurang pada setiap konsentrasi analit pada mana prosedur dilakukan. Keseksamaan (Precision) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility). Keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Keterulangan dinilai melalui pelaksanaan penetapan terpisah lengkap terhadap sampel – sampel identik yang terpisah dari batch yang sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal. Ketertiruan adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pad kondisi yang berbeda. Biasanya analiosis dilakkan pada laboratorium – laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut dana analis ayang berbeda pula. Analisis dilakukan terhadap sampel – sampel yang diduga identik yang dicuplik dari batch yang sama. Keseksamaan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : a. Hasil analisis adalah X1, X2, X3,…..Xn, maka simpangan bakunya adalah : Σ - ( ( X X )2 1 - = n SD b. Simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (KV) adalah : RSD = SD/X x100% SD X KV = Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima. Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r pada analisis regresi linier Y = a + bX. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau -1 bergantunga pada arah garis. Sedangakan nilai a menunjukkan kepekaan analisis terutama instrumen yang digunakan. Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuntitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blanko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blanko dan formula dibawah ini dapat digunakan untuk perhitungan, Q = k . S b SI
  • 22. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Q = LOD (batas deteksi) atau LOQ (batas kuantitasi) k = 3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuantitasi Sb = simpangan baku respon analitik dari blanko SI = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b pada persamaan garis y = a + bx) Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x). Batas deteksi (LOD) Karena k = 3 atau 10, simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka : LOD = 3Sy / x SI Batas kuantitasi (LOQ) LOQ = 10Sy / x SI Metode AAS memiliki prinsip kerja pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang ini memiliki cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik dari atom–atom logam. Metode AAS sering digunakan untuk analisis logam karena ketelitiannya sampai tingkat yang sangat kecil, tidak memerlukan pemisahan pendahuluan. Kemungkinan untuk menentukan konsentrasi semua unsur sampai pada ppm. Sebelum pengukuran tidak selalu memisahkan unsur yang ditentukan karena kemungkinan penentuan satu unsur dengan kehadiran unsur lain. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi penentuan logam (Tembaga, Seng , Besi dan Mangan) dari sampel limbah elektroplating dengan Spektofotometer Serapan Atom. 2. Metode Penelitian Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah Satu unit alat Spektrofotometer Serapan Atom, Mikropipet, pipet volume, pipet tetes, gelas ukur, beker gelas, neraca analitik, dan labu ukur. Sedangkan bahan yang digunakan adalah padatan Seng (II) nitrat Zn(NO3)2.9H2O, padatan tembaga (II) nitrat trihidrat Cu(NO3)2.3H2O, HCl, Larutan standar Cu, Zn, Fe dam Mn digunakan sebagai larutan standar kalibrasi, kertas saring whatman, HNO3 65%, NaOH, aquades, aqua DM dan sampel limbah industri elektroplating. Prosedur Kerja Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Fe, Cu, Mn dan Zn Larutan induk Fe, Cu dan Mn 1000 ppm masing-masing dipipet sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan tembaga dengan konsentrasi 100 ppm. Larutan ini kemudian dipipet sebanyak 0; 1; 5; 10; dan 20 mL kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan tembaga dengan konsentrasi 0; 1; 5; 10; dan 20 ppm. Larutan Fe dianalisa dengan AAS pada λ 249,3 nm, dengan tipe nyala AA (udara-asetilen), sensitivitas 0,045 ppm, range kerja 2,5 – 10 ppm dan batas deteksi 0,006 ppm. Larutan Mn dianalisa dengan AAS pada λ 279,5 nm, dengan tipe nyala AA (udara-asetilen), sensitivitas 0,021 ppm, range kerja 1 – 4 ppm dan batas deteksi
  • 23. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 0,002 ppm, lalu masing – masing dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan harga absorbansi (A) terhadap konsentrasi larutan(C). Sedangkan pembuatan kurva kalibrasi Zn dilakukan dengan cara : larutan induk seng 1000 ppm dipipet sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan Seng dengan konsentrasi 100 ppm. Larutan ini kemudian dipipet sebanyak 0; 1; 2; 3; dan 4 mL kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan menambahkan larutan HNO3 1% hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan Seng dengan konsentrasi 0; 1; 2; 3 dan 4 ppm. Selanjutnya dianalisa dengan SSA pada λ 357,9 nm, dengan tipe nyala AA (udara-asetilen), lalu dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan harga absorbansi (A) terhadap konsentrasi larutan(C). Pengukuran konsentrasi Fe, dan Mn dalam sampel limbah industri Sampel berupa air limbah di ambil 1 mL kemudian ditambah HNO3 1 % 3 tetes, dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL kemudian diencerkan sampai tanda batas. Sampel diukur kadar Cu, Fe dan Mn dengan menggunakan SSA. 3. Hasil dan Pembahasan Persiapan instrumen diawali dengan pemeriksaan lampu yang terpasang pada alat AAS dan dicatat pada nomor berapa lampu tembaga, besi mangan dan seng terpasang. Sebelum alat AAS digunakan untuk mengukur sampel, semua kondisi harus dicek dalam keadaan benar, misalnya gas dan udara sudah mengalir, cooling water pada burner sudah nyala, air pada drill pot tidak boleh kosong, penampung buangan sudah terpasang, panjang gelombang sudah sesuai untuk logam yang diukur, dll. Analisa yang dilakukan yaitu pembuatan kurva kalibrasi dari logam tembaga, besi, mangan dan seng serta uji linieritas untuk masing-masing logam tersebut serta uji yang lain (presisi, akurasi, selektivitas, LOD dan LOQ). Hasil yang sudah didapatkan dari penelitian ini yaitu berupa data hasil uji linieritas, uji presisi, selektifitas, LOD dan LOQ untuk logam mangan, seng, besi dan tembaga. Kurva kalibrasi dibuat dengan mengukur absorbansi dari larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya dengan menggunakan AAS pada λ maksimum tertentu untuk masing-masing logam. Kemudian dengan mengalurkan nilai absorbansi terhadap konsentrasi dari larutan standart dan berdasarkan hukum Lambert Beer akan diperoleh suatu persamaan garis lurus melalui regresi linier. Persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi ini yang digunakan untuk menghitung konsentrasi logam dalam cuplikan. Uji Linieritas Pembuatan Kurva kalibrasi Logam Tembaga, Besi dan Mangan Kurva kalibrasi logam tembaga (Cu) dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam tembaga dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20 ppm yang diukur dengan AAS pada l 324,7 nm. Dari data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya. Kurva kalibrasi logam tembaga ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.
  • 24. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS y = 0,0309x + 0,0021 R² = 0,9999 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0 5 10 15 20 25 Absorbansi Konsentrasi Tembaga (ppm) Gambar 1. Kurva kalibrasi larutan standar tembaga Kurva kalibrasi logam besi dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam besi dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20 ppm yang diukur dengan AAS pada l 248,3 nm. Dari data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya. Kurva kalibrasi logam besi ditunjukkan pada Gambar 2. y = 0,0044x + 0,0002 R² = 0,9999 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 0 5 10 15 20 25 Konsentrasi Besi (ppm) Gambar 2. Kurva kalibrasi larutan standar besi Absorbansi Kurva kalibrasi logam mangan dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam mangan dengan konsentrasi 0, 1, 5, 10, 20, ppm yang diukur dengan SSA pada l 279,5 nm. Dari data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya. Kurva kalibrasi logam mangan ditunjukkan pada Gambar 3.
  • 25. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS y = 0,0089x - 0,0007 R² = 0,9996 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0 5 10 15 20 25 Gambar 3. Kurva kalibrasi larutan standar mangan Keabsahan kurva kalibrasi diatas dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi (R2) atau uji kelinieran yang menyatakan ukuran kesempurnaan hubungan antara konsentrasi larutan standar dengan absorbansinya. Korelasi dikatakan sempurna jika nilai R2 mendekati +1. sedangkan nilai nol menyatakan tidak ada korelasi antara dua variabel yang diamati. Berdasarkan Gambar 1, 2 dan 3 didapatkan nilai R2 untuk Logam Cu, Fe dan Mn adalah 0.999. Harga R2 yang diperoleh mendekati +1, maka dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik-titik pada kurva kalibrasi mendekati garis lerengnya. Pembuatan Kurva kalibrasi Logam Seng Kurva kalibrasi logam seng dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar logam seng dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4, ppm yang diukur dengan SSA pada l 213,9 nm. Dari data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi dengan mengalurkan konsentrasi larutan standar tembaga (x) terhadap absorbansinya (y), dan dapat ditentukan persamaan garis regresi liniernya. Kurva kalibrasi logam mangsengan ditunjukkan pada Gambar 4. 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 Gambar 4. Kurva kalibrasi larutan standar seng Absorbansi Konsentrasi Mangan (ppm) y = 0,0184x + 0,0018 R² = 0,996 0 0 1 2 3 4 5 Absorbansi Konsentrasi Seng (ppm)
  • 26. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Keabsahan kurva kalibrasi diatas dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi (R2) atau uji kelinieran yang menyatakan ukuran kesempurnaan hubungan antara konsentrasi larutan standar dengan absorbansinya. Korelasi dikatakan sempurna jika nilai R2 mendekati +1. Sedangkan nilai nolmenyatakan tidak ada korelasi antara dua variabel yang diamati. Berdasarkan Gambar 4. didapatkan nilai R2 = 0.996. Harga R2 yang diperoleh mendekati +1, maka dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik-titik pada kurva kalibrasi mendekati garis lerengnya. Uji Presisi Alat AAS Uji presisi ini mengacu kepada kesepakatan di dalam satu kelompok hasil eksperimen. Kesepakatan ini tidak berdampak apa pun terhadap hubungannya dengan nilai yang sebenarnya. Uji presisi ini meliputi SD (standar deviasi), RSD dan CV, dimana masing-masing uji tersebut dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Σ - ( ( X X )2 1 - = n SD x100% SD X RSD = CV = RSD x 100% Uji presisi ini diambil dari salah satu data uji linieritas yang tepat berada pada garis linier, sehingga untuk tiap-tiap logam berbeda-beda konsentrasi yang digunakan. Untuk logam Zn, titik yang tepat berada pada garis linier adalah pada konsentrasi 1 ppm. Sedangkan untuk logam Mn, Fe dan Cu, titik yang berada pada garis linier adalah pada konsentrasi 5 ppm. Data untuk masing – masing logam ada pada Tabel 1 - 4 Tabel 1. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Mn No Konsentrasi Absorbansi 1 2 3 4 5 6 Rata-rata 1 Blanko 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0002 0.0001 0.000117 2 1 0.0088 0.0088 0.0088 0.0088 0.0087 0.0088 0.008783 3 5 0.0442 0.044 0.044 0.0441 0.044 0.0437 0.044 4 10 0.0849 0.0851 0.0852 0.085 0.0849 0.0846 0.08495 5 20 0.1767 0.1757 0.1763 0.1766 0.1761 0.177 0.1764 Tabel 2. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Cu No Konsentrasi Absorbansi 1 2 3 4 5 6 Rata-rata 1 Blanko 0.0001 0.0001 0.0002 0.0001 0.0002 0.0002 0.00015 2 1 0.0307 0.0306 0.0307 0.0307 0.0306 0.0306 0.03065 3 5 0.16 0.1596 0.1596 0.1594 0.1585 0.1593 0.1594 4 10 0.3171 0.3178 0.3154 0.3152 0.3156 0.3157 0.316133 5 20 0.6161 0.6165 0.6138 0.6147 0.6163 0.6148 0.615367
  • 27. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Tabel 3. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Fe No Konsentrasi Absorbansi 1 2 3 4 5 6 Rata-rata 1 Blanko 0.0002 0.0002 0.0004 0.0004 0.0002 0.0003 0.000283 2 1 0.0043 0.0044 0.0042 0.0044 0.0044 0.0043 0.004333 3 5 0.023 0.0228 0.0228 0.0228 0.0229 0.023 0.022883 4 10 0.0442 0.0442 0.0441 0.0441 0.0442 0.0441 0.04415 5 20 0.0874 0.0873 0.0873 0.0875 0.0871 0.0871 0.087283 Tabel 4. Data Konsentrasi dan Absorbansi untuk Logam Zn No Konsentrasi Absorbansi 1 2 3 4 5 6 Rata-rata 1 Blanko 0.0003 0.0004 0.0004 0.0003 0.0004 0.0006 0.0004 2 1 0.0202 0.0202 0.0202 0.0204 0.0203 0.0203 0.020267 3 2 0.0411 0.041 0.041 0.041 0.0411 0.0412 0.041067 4 3 0.0588 0.0591 0.0588 0.0587 0.0587 0.0588 0.058817 5 4 0.0734 0.0735 0.0735 0.0733 0.0732 0.0735 0.0734 Data pada Tabel 1 – 4 adalah berbagai konsentrasi standar logam Mn, Cu, Fe dan Zn yang diukur sebanyak enam kali. Konsentrasi yang digunakan untuk menghitung uji presisi alat adalah pada data dicetak tebal. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai SD untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn berturut – turut adalah 0,0112; 9,1 x10-3; 0.0224; dan 3.01 x 10-3. Nilai RSD untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn berturut – turut adalah 2,03 x10-3 ; 1,73 x 10-3; 0.00392 2.82 x 10-3. Sedangkan Nilai CV untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn berturut – turut adalah 0,203 % ; 0,173 % 0,392 % dan 0,282 %. Nilai CV (%) untuk presisi single operator dan rekomendasi range untuk metode AAS langsung dan ekstraksi logam, std method 21st ed AWWA, APHA 3111B) adalah 2,9. CV (%) baik bila memenuhi syarat yaitu CV (%) percobaan ≤ CV (%) metode standart. Semua data diatas (logam Mn, Fe, Cu dan Zn) menunjukkan nilai CV (%) ≤ 2,9.s Uji Sensitivitas Alat AAS Kepekaan (S) adalah konsentrasi analit yang memberikan nilai absorbansi = 0,0044 ekivalent dengan 1 % T (transmitansi). Kepekaan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : S = 0,0044 (C1/A1) Dimana: C1 : Konsentrasi analit dalam larutan kalibrasi A1 : Absorbansi rata-rata larutan kalibrasi C1 Data untuk perhitungan uji sensitivitas untuk tiap logam terdapat pada Tabel 4.5 – 4.8. Dari hasil perhitungan nilai sensitivitas untuk logam Mn, Cu, Fe dan Zn berturut – turut adalah 0,4993 ; 0,1379 ; 0,9624 dan 0,217. Uji sensitivitas alat memenuhi syarat bila sensitivitas percobaan ≤ 1,25 sensitivitas alat.
  • 28. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Limit Deteksi. Larutan blanko yang digunakan adalah larutan blanko yang yang telah dispike menjadi larutan yang mengandung konsentrasi logam sebesar 0,001mg/L. Data untuk tiap logam terdapat pada Tabel 4.5 -4.8 yang ada tulisan blanko. Limit deteksi ada 2, yaitu LOD (batas deteksi) dan LOQ (batas kuantitasi). LOD dan LOQ dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : LOD = 3Sy / x SI dan LOQ = 10Sy / x SI Dimana : Sy/x = simpangan baku respon analitik dari blanko SI = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b pada persamaan garis y = a + bx) Dari hasil perhitungan didapatkan nilai LOD dan LOQ untuk logam Mn, Fe, Cu dan Zn berturut – turut adalah 0,0168 dan 0,0559 mg/L ; 0,067 dan 0,2235 mg/L; 5,48 x 10-3 dan 0,0183 mg/L; 4,08 x 10-3 dan 0,0136 mg/L. Hasil uji presisi, sensitivitas, batas deteksi dan batas kuantitasi, secara ringkas disajikan dalam Tabel 4.9. Tabel 4.9. Rangkuman Data Uji Validasi Metode AAS Untuk Semua Logam Uji Mn Fe Cu Zn RSD 2.03 x 10-3 0.00392 1.73 x 10-3 2.82 x 10-3 CV 0.203 0.3919 0.173 0.282 S 0.4993 0.9624 0.1379 0.217 LOD 0.0168 0.067 5.48 x 10-3 4.08 x 10-3 LOQ 0.0559 0.2235 0.0183 0.0136 Hasil pengukuran kadar logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam limbah Elektroplating Nilai absorbansi yang didapat dari pengukuran dengan AAS untuk keempat logam (Fe, Mn, Cu dan Zn) yang di ukur dimasukkan kedalam persamaan regresi linier sehingga didapatkan konsentrasi logam tersebut dalam limbah elektroplating. Nilai konsentrasi logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563 dan 1,033 ppm. 4.Kesimpulan Hasil Validasi metode AAS untuk penentuan logam Cu, Zn, Fe, dan Mn diperoleh uji linearitas memberikan nilai R2 masing-masing adalah 0,999; 0,996; 0,999 dan 0,999. Nilai presisi untuk logam tersebut berturut-turut adalah , 0,1594; 0,020267; 0,0228 dan 0,044 dan sensitivitasnya berturut-turut 0,1379; 0,217; 0,9624 dan 0,4993. Sedangkan nilai LOD nya adalah 5,48x10-3 ; 4,08x10-3; 0,067 dan 0,0168 dan nilai LOQ nya adalah 0,0183; 0,0136; 0,2235 dan 0,0559. Konsentrasi logam Fe, Mn, Cu dan Zn dalam sampel limbah elektroplating berturut – turut adalah 4,22 ; 0,7275 ; 0,8563 dan 1,033 ppm.
  • 29. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Ucapan Terimakasih Dengan tersusunnya makalah ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pemberi dana dari Program Penelitian Produktif Tahun Anggaran 2010, Jurusan Kimia FMIPA dan Laboratorium Research Center ITS. Daftar Pustaka ASTM E 66386 (Reapproved 1991), Standard Practice For Flame AtomicAbsorption Analysis, 1991. ASTM E 181296,Optimation of Flame Atomic Absorption Spectrometric Equipment, 1996. ASTM E1024 and E1330, 1992 Harmita, (2004), “Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya”, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. 1, No. 3, hal. 117-135. Khopkar, S. M., (1984), “Konsep Dasar Kimia Analitik”, Analytical Chemistry Laboratories, Department of Chemistry, Indian Institute of Technology, Bombay. Samin, (2006), “Jaminan Mutu Metode FAAS dan UVVIS untuk Penentuan Unsur – Unsur dalam Air Tangki Reaktor” Sminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006, Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, BATAN Yogyakarta. Ebdon L., (1982), “An Introduction to Atomic Absorption Spectroscopy”, Heyden and Son, London Underwood A. L., (1994), “Analisis kimia Kuantitatif “, Erlangga, Jakarta Vogel, (1990), “Analisis Anorganik Kualitatif Mikro dan Semimikro”, Bagian 1, Edisi kelima, PT Kalman media pustaka, Jakarta
  • 30. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS STUDI KOMPARATIF KURVA BREAK THROUGH PEMISAHAN ION Cu2+ DAN Ni2+ DARI LARUTAN DENGAN PELET KOMPOSIT CANGKANG KUPANG – KHITOSAN TERIKATSILANG DALAM UP FLOW FIXED BED COLUMN** Eko Santoso*, Hendro Juwono, Diah Dwi Jayanti, dan Rulina Rachmawati Laboratorium Kimia Fisika dan Polimer, Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Abstrak Ion Cu2+ dan Ni2+ secara independen telah dipisahkan dari larutan pada pH optimum dengan pelet komposit cangkang kupang – khitosan terikatsilang dalam up flow fixed bed column. Pelet komposit dibuat dengan variasi komposisi, masing-masing mengandung 93,75%, 95,24%, dan 96,15%(w/w) cangkang kupang. Proses ikatsilang khitosan dilakukan menggunakan gluteraldehid sebagai agen pengikatsilang. Proses pemisahan ion logam dilakukan dengan mengalirkan larutan yang mengadung ion logam ke dalam kolom yang berisi pelet kompsit dengan ukuran bed tertentu (fixed bed column) dengan variasi laju 1,5 mL/menit, 2,0 mL/menit, dan 2,5 mL/menit. Hasil menunjukkan bahwa pada seluruh variasi laju alir, ion Ni2* lebih cepat mengalami break through dibandingkan ion Cu2+. Waktu break through kedua logam semakin menurun dengan meningkatnya laju alir larutan dan dengan meningkatnya kadar cangkang kupang dalam pelet komposit. Fakta ini menunjukkan bahwa agen aktif pemisahan ion logam dalam komposit didominasi oleh khitosan. Secara kinetik, ion Cu2+ bersifat lebih reaktif terikat pada pelet komposit dibandingkan dengan ion Ni2+ dan reaktifitas kedua logam terikat pada pelet komposit menurun dengan menigkatnya laju alir larutan ke dalam kolom. Kata kunci : komposit, cangkang kupang, khitosan, ion Cu2+, ion Ni2+, dan break through. 1. Pendahuluan Air limbah dari perindustrian dan pertambangan merupakan sumber utama polutan logam berat. Logam berat dapat membahayakaan bagi kesehatan manusia jika konsentrasinya melebihi batas ambang yang diijinkan. Meskipun konsentrasinya belum melebihi batas ambang, keberadaan logam berat tetap memiliki potensi yang berbahaya untuk jangka waktu yang panjang karena logam berat telah diketahui bersifat akumulatif dalam sistem biologis. Oleh karena itu, saat ini lembaga-lembaga pemerintahan juga memberikan perhatian yang serius dan membuat aturan yang ketat terhadap pengolahan air limbah industri sebelum dibuang ke perairan terbuka [Quek et al., 1998]. Berbagai macam teknologi pemisahan logam-logam berat dan beracun dari air limbah telah dikembangkan, seperti metoda pengendapan kimia, oksidasi-reduksi, filtrasi mekanik, penukar ion, pemisahan membrane, dan adsorpsi dengan karbon. Namun, berbagai teknologi tersebut mempunyai beberapa kendala, yakni disamping biayanya mahal seringkali juga membutuhkan perlakuan-perlakuan khusus. Oleh karena itu, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari metoda atau teknologi alternatif untuk memisahkan logam-logam berat dan beracun dari air limbah yang lebih baik dengan biaya yang lebih ekonomis. Salah satu usaha untuk mengatasi persoalan polutan logam berat dalam air limbah yang sekarang banyak diteliti adalah mencari biosorben alami yang melimpah dan murah [Babel and Kurniawan, 2003]. Teknik adsorpsi mempunyai keunggulan dibandingkan teknik pengendapan karena teknik adsorpsi mampu memisahkan logam berat dalam air limbah meskipun konsentrasi logam berat dalam air limbah sangat rendah hingga kurang dari 1,00 ppm. Sedangkan teknik
  • 31. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS pengendapan membutuhkan konsentrasi logam berat yang cukup tinggi dan senantiasa masih menyisakan logam berat dengan konsentrasi tertentu yang tidak mungkin dihilangkan dengan teknik pengendapan [Schmul et al, 2001]. Biosorben yang melimpah dan murah dapat menjadikan proses pengolahan air limbah menjadi murah karena setelah proses adsorpsi tak perlu dilakukan regenerasi sebagaimana penggunaan karbon aktif dan resin sintetik yang mahal, mengingat proses regenerasi juga membutuhkan biaya [Ozcan and Ozcan, 2005]. Kupang beras atau kupang putih (Tellina sp) merupakan binatang moluska dari jenis kerang-kerang bercangkang ganda (bivalve) yang sudah tidak asing bagi masyarakat. Bagi masyarakat Jawa Timur, khususnya daerah Surabaya, Sidoarjo dan sekitarnya, binatang ini sudah tidak asing lagi karena daging binatang ini biasa dimasak dan dimakan bersama lontong, yang terkenal dengan nama "Lontong Kupang". Ketika daging binatang ini dimasak maka cangkang atau kulit luar binatang biasanya hanya dibuang sebagai limbah. Meskipun tidak ada data kuantitatif yang tertulis, jumlah limbah cangkang kupang yang dihasilkan pasti sangat besar karena "Lontong Kupang" adalah makanan yang setiap hari dijual di warung makanan. Dalam situs pemprov jatim diungkapkan bahwa Sidoarjo mampu memproduksi kupang 10 ton per hari [d-infokom-jatim, 2007]. Mengingat jumlah kupang yang dihasilkan per hari sangat besar tentu jumlah limbah cangkang kupang yang dihasilkan juga sangat besar. Namun demikian, pemanfaatan limbah cangkang kupang beras ini belum tampak kecuali hanya untuk pengeras jalan yang berlumpur di daerah perkampungan bekas persawahan. Pada tahun 2008, peneliti dan dibantu seorang mahasiswa telah melakukan kajian pendahuluan tentang pemanfaatan serbuk cangkang kupang sebagai bisorben bagi logam tembaga dalam air limbah dan hasilnya menunjukkan bahwa serbuk cangkang kupang cukup layak sebagai bisorben bagi logam tembaga karena kapsitas adsorpsi lebih tinggi dibandingkan beberapa biosorben lain seperti serbuk gergaji (sawdusk), tongkol jagung, abu terbang (fly ash), clipnotilolite zeolite, dan charbazite zeolite. Namun kapasitas adsorpsi serbuk cangkang kupang terhadap logam tembaga masih lebih rendah dibandingkan dengan karbon aktif dan khitosan. [Santoso, 2008]. Pada tahun 2009, peneliti telah melanjutkan penelitiannya dimana serbuk cangkang kupang dibuat komposit bisorben dengan menggunakan khitosan terikatsilang sebagai polimer pengikat serbuk cangkang kupang dan digunakan sebagai biosorben untuk menghilangkan ion logam dalam larutan dengan metoda “batch”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya khitosan yang berfungsi sebagai pengikat serbuk cangkang kupang dalam komposit dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi (kemampuan mengikat) logam berat yang lebih baik dibandingkan serbuk cangkang kupang murni [Santoso, dkk., 2009]. Pada penelitian ini , telah dikaji secara komparatif adsorpsi ion logam Cu2+ dan ion Ni2+ oleh pelet komposit serbuk cangkang kupang – khitosan terikatsilang dengan metoda “up flow fixed bed column”. 2. Metodologi Preparasi adsorben dilakukan dengan melarutkan 1,0 gram khitosan dengan larutan asam asetat 2% sebanyak 100 ml dan diaduk sampai larut sambil dipananskan. Khitosan yang sudah larut diangkat dari hotplate dan dibiarkan di ruangan terbuka hingga temperaturnya turun sama dengan suhu kamar. Kemudian, larutan khitosan diambil sebanyak 20 ml, dituangkan ke dalam beker gelas dan di tambahkan erbuk cangkang kupang sebanyak 3,0 gram. Campuran serbuk cangkang kupang dan larutan khitosan diaduk menggunakan stirer magnetik, kemudian diambil dengan pipet tetes dan diteteskan ke dalam larutan NaOH 2N. Pelet komposit serbuk cangkang kupang khitosan yang terbentuk dipisahkan dari larutan NaOH 2N dengan kertas saring, kemudian direndam dalam larutan glurtaraldehid 0,2 % selama 24 jam sehingga terbentuk pelet komposit serbuk cangkang kupang – khitosan terikatsilang. Kemudian, pelet komposit yang telah terikatsilang dipisahkan dari larutan gluteraldehid 2% dengan kertas saring, dicuci dengan akuades hingga pH netral dan dikeringkan dengan oven. Pelet ini disebut pelet biosorben A (PB-A). Perlakuan ini diulangi dengan penambahan serbuk kupang sebanyak 4 gram untuk memperoleh pelet biosorben B (PB-B) dan dengan penambahan serbuk cangkang kupang sebanyak 5 gram untuk memperoleh pelet biosorben C (PB-C).
  • 32. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Larutan mengandung ion logam 100 ppm dialirkan secara kontimu kedalam kolom yang berisi pelet sejumlah tertentu biosorben dengan laju alir bervariasi, yaitu 1,5 mL/menit, 2,0 mL/menit, dan 2,5 mL/menit. pH larutan ion logam yang akan dialiirkan ke dalam kolom diatur pada nilai tertentu yang menghasilkan adosprsi maksimum [Santoso, dkk., 2009]. 20 mL pertama dari cairan efluen yang keluar dari kolom, dianggap waktu proses pengolahan ke nol (t=0), diukur kadar logamnya dengan spektroskopi serapan atom (SSA) dan diukur nilai pHnya.. 20 mL kedua dari efluen dukur kadar logam dan pHnya pada 15 jam berikutnya, dianggap t=15 dari proses pengolahan. Pengukuran kadar logam dan pH dari efluen selanjutnya dilakukan setiap 15 jam. Seluruh proses ini dilakukan pada suhu kamar. 3. Hasil dan Pembahasan Kadar logam dalam efluen yang diukur pada waktu tertentu di sebut Ct dan kadar logam dalam larutan awal 100 ppm disebut Co. Perbandingan antara Ct/Co diplot versus waktu proses t menghasilkan sebuah kurva yang disebut sebagai kurva “break through” atau kurva “penerobosan”. Kurva “break through” dari proses pemisahan ion logam Cu2+ dan ion Ni2+ pada berbagai laju alir dan komposisi ditunjukkan pada Gambar 1 sampai Gambar 3 untuk pemisahan menggunakan bisorsen PB-A dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit secara berurutan, pada Gambar 4 sampai Gambar 6 untuk pemisahan menggunakan biosorben PB-B dengan laju alir1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit secara berurutan, dan pada Gambar 7 sampai Gambar 9 untuk pemisahan menggunakan biosorben PB-C dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit secara berurutan. 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 Gambar 1 Gambar 2 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 Gambar 3 Gambar 4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0 100 200 300 400 Ct/Co t (jam) Cu Ni 0 0 100 200 300 400 Ct/Co t (jam) Cu Ni 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0 100 200 300 400 Ct/Co t (jam) Cu Ni 0 0 100 200 300 400 Ct/Co t (jam) Cu Ni
  • 33. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Cu Ni 0 100 200 300 t (jam) 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Cu Ni 0 100 200 300 Ct/Co t (jam) Gambar 5 Gambar 6 Cu Ni 0 100 200 300 t (jam) 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Cu 0 50 100 150 200 Ct/Co t (jam) Gambar 7 Gambar 8 Cu Ni 0 50 100 150 200 t (jam) Gambar 9 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Ct/Co Pada Gambar 1 sampai Gambar 9 tampak bahwa pola kurva “break through” proses 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Ct/Co 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Ct/Co pemisahan ion logam Cu2+ berbeda dengan dengan ion logam Ni2+. Pada seluruh variasi laju alir dan komposisi pelet biosorben, tampak bahwa pada laju alir dan komposisi tertentu dari pelet biosorben maka nilai waktu “break through” (tB) dan waktu “exhausted” (tE) dari ion logam Cu2+ lebih besar dari ion logam Ni2+. Hal ini menunjukkan bahwa ion logam Cu2+ lebih sulit menerobos halangan kolom biosorben dan membutuhkan waktu lebih lama untuk menjenuhkan kolom dibandingkan dengan ion logam Ni2+. Artinjya, interaksi antara gugus aktif (gugus amina) dari khitosan dalam biosorben dengan ion logam Cu2+ adalah lebih kuat dibandingkan dengan ion logam Ni2+. Fakta ini dapat dikaitkan dengan ukuran ion dimana ukuran jari-jari ion Ni2+ adalah 0,69 angstrom dan jari-jari ion Cu2+ adalah 0,73 angstrom [Lide, 1989]. Jadi, ukuran ion Ni2+ adalah lebih kecil dibandingkangkan dengan ukuran ion Cu2+. Boleh jadi, ion logam Cu2+ mempunyai ukuran diameter yang tepat dengan rongga yang disediakan oleh ligan pengikatnya, jika usulan ikatan antara ion logam dengan gugus aktif dalam khitosan ditunjukkan pada Gambar 10 [Schmuhl, 2001; Kalyani et al, 2005; Verbych et al, 2005]. Ukuran rongga yang disediakan oleh ligan untuk ion logam adalah sudah tertentu dan bersifat kaku karena terletak di dalam biosorben padat yang bersifat kaku. Oleh karena itu, jika ukuran ion Ni2+ terlalu kecil untuk menempati rongga tersebut
  • 34. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS maka ikatan menjadi agak longgar dan lemah, sehingga ion Ni2+ mudah lepas dan menerobos rongga tersebut bersama aliran larutan melewati kolom. Pada laju alir 2,0 mL/menit dan 2,5 mL/menit, ion Ni2+ pada waktu nol menit sudah terdeteksi dalam efluen. Artinya, pada tetesan efluen yang pertama sudah mampu menerobos halangan kolom biosorben. Jadi pada laju alir 2,0 dan 2,5 mL/menit, waktu “break through” ion Ni2+ adalah nol. Nilai waktu “break through” (tB) hanya terdeteksi (lebih besar dari nol) pada laju alir 1,5 mL/menit dan kemungkinan akan lebih besar lagi ketika laju alir diturunkan kurang dari 1,5 mL/menit. Untuk ion logam Cu2+, pada semua variasi laju alir dan komposisi biosorben masih mempunyai waktu “break through” yang tertentu. Gambar 10 Perubahan pH efuen selama proses pemisahan ion logam Cu2+ oleh kolom bisosorben dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit ditunjukkan pada Gambar 11 sampai dengan Gambar 13 secara berurutan dan untuk pemisahan ion logam Ni2+ dengan laju alir 1,5; 2,0; dan 2,5 mL/menit ditunjukkan pada Gambar 14 sampai Gambar 16 secara berurutan. 10 8 6 4 2 Gambar 11 Gambar 12 PB-A PB-B PB-C 10 8 6 4 2 PB-A PB-B PB-C Gambar 13 Gambar 14 12 10 8 6 4 2 0 0 100 200 300 400 pH-efluen t (jam) PB-A PB-B PB-C 0 0 100 200 300 400 pH-efluen t (jam) PB-A PB-B PB-C 12 10 8 6 4 2 0 0 50 100 150 200 250 300 pH-efluen t (jam) 0 0 50 100 150 200 250 300 350 pH-efluen t (jam)
  • 35. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS PB-A PB-B PB-C 0 50 100 150 200 250 300 t (jam) 10 8 6 4 2 0 PB-A PB-B PB-C 0 50 100 150 200 250 pH-efluen t (jam) Gambar 15 Gambar 16 10 8 6 4 2 0 pH-efluen pH awal dari larutan yang mengandung ion Cu2+ dan ion Ni2+ masing-masing sebelum masuk kolom biosorben adalan diatur 4 karena pada pH 4 kemampuan biosorben mengikat kedua ion logam mencapai nilai maksimum [Santoso, dkk., 2009]. Dari Gambar 11 sampai 16 tampak bahwa pH efluen yang dihasilkan dari proses pemisahan ion logam Cu2+ berkisar pada pH 6 dan pH efluen hasil pemisahan ion logam Ni2+ berkisar pada pH 7. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses pemisahan kedua ion logam telah terjadi reaksi kimiawi yang mengubah nilai pH dari pH 4 (pH awal larutan ion logam sebelum masuk kolom biosorben) menjadi 6 atau 7 (pH efluen yang keluar dari kolom biosorben). Reaksi tersebut kemungkinan adalah ada 2 macam, yaitu reaksi antara gugus aktif dalam khitosan dengan ion logam yang merupakan reaksi pertukaran ion dan menghasilkan ion H+ dan reaksi antara ion H+ dengan CaCO3 dalam cangkang kupang menghasilkan H2O dan gas CO2 yang menghasilkan pH netral. Reaksi tersebut dapat ditulis sebagai berikut : Khitosan (s) + M2+ (aq) Khitosan-M (s) + 2H+ (aq) 2H+ (aq) + CaCO3 (s) Ca2+ (aq) + H2O (l) + CO2 (g) Efluen dengan pH netral adalah adalah salah satu persyaratan agar efluen hasil pengolahan limbah cair dapat dibuang ke perairan bebas atau untuk dimanfaatkan kembali [Ahuja, 2009]. Hasil pengolahan data kurva “break through” pada Gambar 1 sampai Gambar 9 dengan model kinetika Thomas [Planas, 2002] menghasilkan nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada ion logam Cu2+ dan ion Ni2+, yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai kapasitas adsorpsi (Q0) pelet biosorben pada ion logam dengan pendekatan model kinetika Thomas. Jenis Biosorben Laju (mL/mnt) Q0-ion Ni2+ (mg/g) Qo-ion Cu2* (mg/g) PB-A (93,75%-serbuk cangkang kupang) 1,5 390,30 642,92 2,0 177,27 649,96 2,5 162,28 689,66 PB-B (95,24%-serbuk cangkang kupang) 1,5 337,96 451,30 2,0 144.93 584,08 2,5 135.49 624,57 PB-C (96,15%-serbuk cangkang kupang) 1,5 247,86 325,74 2,0 127.73 352,92 2,5 118.58 443,95 Pada semua variasi komposisi dan laju alir, pelet biosorben mempunyai nilai kapasitas adsorpsi pada ion Cu2+ lebih besar dibandingkan pada ion Ni2+. Hal ini menunjukkan bahwa reaksitifitas ion Cu2+ pada pelet biosorben adalah lebih besar dibandingkan ion Ni2+. Kenaikan kadar serbuk cangkang kupang menurunkan nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada kedua jenis ion logam.
  • 36. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS 4. Kesimpulan Gugus aktif dalam khitosan mempunyai peranan penting dalam menetukan nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada kedua jenis ion logam karena semakin besar kadar khitosan dalam pelet biosorben semakin besar nilai kapasitas dan waktu “break through”. Waktu “break throug” dan nilai kapasitas adsorpsi pelet biosorben pada ion Cu2+ adalah lebih besar dibandingkan pada ion Ni2+. Dengan demikian reaktifitas ion Cu2+ adalah lebih besar dibandingkan ion Ni2+. Ucapan Terimakasih Peneliti mengucapkan banyak terimakasih pada semua pihak atas terselesaikannya penelitisn ini, khususnya Program Hibah PHKI yang telah memberikan dana. Daftar Pustaka Babel, S. and Kurniawan, T.A., 2003, “Low-cost adsorbent for heavy metals uptake from contaminated water : a review”, J. Hazardous Mat., B97, 219-2433. Kalyani et al, 2005, “Removal of copper and nickel from aqeous solutions using chitosan coated on perlite as biosorbent”, Separation Science and Technology, 40, pp. 1483–1495. Lide, D.R., ed., 1989, “CRC Handbook of Chemistry and Physics, 89th Edition (Internet Version 2009), CRC Press/Taylor and Francis, Boca Raton, FL. Ozcan, A. and Ozcan, A.S., 2005, “Adsorption of Acid Red 57 from aqueous solutions onto surfactant – modified spiolite”, J. Hazardous Mat., B125, pp. 252-259. Planas, M.R., 2002, “Development of technique based on natural polymers for the recovery precious metals”, Tesi Doctoral, Departament d’Enginyeria Quimica, Universitat Politecnica de Catalunya. Quek, SY., Wase, DAJ., and Forster, CF., 1998, “The use of sago waste for the sorption of lead and copper”, Water SA, Vol. 24, No. 3, pp. 251-256. Santoso, E., 2008, “Studi pemanfaatan cangkang kupang beras (Tellina sp) sebagai biosorben logam tembaga dalam air limbah sintetik dengan sistem adsorpsi dinamik pada kolom katil tetap (fixed bed colomn), Laporan Penelitian Produktif, Institut Tekonologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Santoso, E, dan Isti’anah, S., 2009, “Studi pemanfaatan cangkang kupang beras (Tellina sp) sebagai biosorben untuk mengolah air limbah yang mengandung ion tembaga (II)”, Jurnal Purifikasi, Vol. 10, No.1, hal. 39-48. Santoso, E., Juwono, H., Habibi, M., Dwi PW, V., Asih. E., Saputra, F.W., 2009, “Pemanfaatan limbah cangkang kupang untuk pembuatan komposit cangkang kupang – khitosan terikatsilang sebagai biosorben murah bagi logam berat dari air limbah”, Laporan Penelitian Hibah PHKI Tema B, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Schmuhl, R., Krieg, H.M., and Keizer, K., 2001, “Adsorption of Cu(II) and Cr(VI) ions by Chitosan : Kinetics and Equilibrium Studies”, Water SA, Vol. 27, No. 1, pp. 79–86. Verbych, S., Bryk, M., and Chornokur, G., 2005, “Removal of Copper(II) from Aqueous Solutions by Chitosan Adsorption”, Separation Science and Technology, 40, pp. 1749–1759.
  • 37. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS SINTESIS KATALIS Sn BERPENDUKUNG ZEOLIT NaY DARI SEKAM PADI UNTUK REAKSI DENITRIFIKASI DENGAN HASIL AMMONIUM Netty Kartika Sari dan Irmina Kris Murwani* Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya *Email: irmina@chem.its.ac.id Abstrak Pada penelitian ini dicoba untuk mengurangi konsentrasi nitrat dengan cara denitrifikasi NOx dengan bantuan katalis Sn berpendukung zeolit NaY dari sekam padi. Penelitian ini diawali dengan sintesis zeolit NaY. Kemudian dilakukan loading logam Sn pada zeolit NaY. Katalis yang dihasilkan adalah zeolit NaY dan katalis logam tunggal Sn berpendukung NaY. Katalis yang diperoleh dikarakterisasi dengan menggunakan XRD dan FTIR untuk mengetahui strukturnya. Katalis tersebut diuji katalitik melalui reaksi denitrifikasi dengan cara mereaksikan nitrat dengan katalis dibawah kondisi aliran gas hidrogen. Produk berupa amonium dianalisis dengan spektroskopi UV-Vis. Kata Kunci : Denitrifikasi, katalis Sn, zeolit NaY 1. Pendahuluan Konsentrasi nitrat di dalam tanah, khususnya di dalam air tanah dan air permukaan, selama beberapa tahun ini semakin bertambah di seluruh dunia. Senyawa ini menyebabkan eutrofikasi laut dan sungai. Konsentrasi nitrat pada air minum sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat menimbulkan methemoglobinemia atau sindrom bayi biru yaitu penyakit yang menyerang darah anak-anak karena kapasitas pembawa oksigen pada darah diinterferensi oleh nitrat (EPA, 1995). Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa senyawa N-nitroso berpotensi karsinogenik, yang dihasilkan reaksi nitrat dengan amina atau amida (Canter, 1997). Pada penelitian ini dicoba untuk mengurangi konsentrasi nitrat dengan cara denitrifikasi NOx dengan bantuan katalis Sn berpendukung zeolit NaY dari sekam padi. Logam Sn berperan sebagai logam promotor diharapkan dapat meningkatkan selektivitas katalis dalam reduksi. 2. Metodologi Preparasi SiO2 Pada penelitian ini akan diperoleh SiO2 dari sekam padi melalui beberapa tahap. Mula-mula sekam padi dioven pada suhu 600oC selama 4 jam. Dari proses pengovenan akan dihasilkan abu berwarna putih. Selanjutnya abu dicuci dengan HCl 1M secara berulangkali dan dibilas dengan akuades lalu disaring menggunakan corong buchner. Setelah didapatkan residu dan filtrat, residu kemudian dikeringkan. Preparasi, Aktivasi dan Karakterisasi Zeolit NaY Katalis zeolit NaY dibuat dari bahan dasar SiO2, natrium aluminat, natrium hidroksida dan akuades. Mula-mula natrium hidroksida dicampur dengan akuades membentuk larutan NaOH. Selanjutnya larutan NaOH tersebut dibagi menjadi dua bagian. Larutan NaOH pertama ditambahkan natrium aluminat membentuk campuran A, sedangkan larutan NaOH kedua ditambahkan SiO2 membentuk campuran B. Masing-masing campuran diaduk 2 jam, kemudian kedua campuran digabungkan dengan tetap diaduk membentuk campuran A-B. Campuran
  • 38. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS A-B dimasukan ke dalam 38tirrer dan dioven pada suhu 100°C selama 6 jam, kemudian disaring hingga didapatkan residu dan filtrat. Selanjutnya residu dicuci dengan akuades hingga netral dan dioven pada temperatur 100oC selama 24 jam. NaY yang terbentuk kemudian dikarakterisasi strukturnya menggunakan difraktometer sinar-X dan FT-IR. Preparasi Katalis Sn Berpendukung NaY Katalis Sn berpendukung diperoleh dengan metoda presipitasi. Awalnya padatan pendukung dimasukkan dalam larutan SnCl2×2H2O (Sn=1,25%). Kemudian ditambahkan larutan NH4OH 1N hingga terbentuk endapan. Selanjutnya endapan disaring dan dicuci dengan akuades. Kemudian padatan dikeringkan dan dikalsinasi pada suhu 450°C selama 4 jam. Aktivasi katalis melalui kalsinasi 450oC dengan dialiri gas H2 selama 2 jam (Prϋsse dan Vorlop, 2001). Uji Katalisis pada Reaksi Denitrifikasi Hasil preparasi katalis diuji sifat katalisisnya dengan cara melihat aktivitasnya dalam reaksi denitrifikasi. Katalis dimasukkan dalam 38tirrer labu leher tiga dan dijenuhkan dengan H2 selama 1 jam. Kalium nitrat dimasukkan dalam labu leher tiga dan distirer selama 15 menit pada suhu ruang sambil dialiri H2 dengan laju alir 60 mL/menit. Produk yang berupa gas dianalisis menggunakan Kromatografi Gas dengan detektor TCD dan produk yang berupa larutan dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis. Gambar 1. Eksperimen set up, skema penggambaran reaktor untuk reaksi denitrifikasi. (1). Gas inlet, (2) Pemanas, (3) Gas keluar, (4) Termometer, (5) Labu leher tiga, (6) Magnetik stirrer 3. Hasil dan Pembahasan Karakterisasi Logam Sn Berpendukung NaY Dengan Menggunakan XRD Gambar 2. Difraktogram Zeolit NaY (merah) dan Sn/NaY (biru)
  • 39. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Difraktogram Sn/NaY terlihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2. Terlihat difraktogram yang mirip antara Sn/NaY dan zeolit NaY. Terdapat sedikit perbedaan jika difraktogram Sn/NaY dibandingkan dengan zeolit NaY, terdapat puncak – puncak baru yang merupakan puncak-puncak khas Sn yaitu pada daerah 2θ = 44,91 dan 55,34 (tanda ) sesuai dengan database PDF 86- 2265. Puncak-puncak khas zeolit NaY juga masih jelas terlihat dalam difraktogram Sn/NaY, yaitu berada pada daerah 2θ = 6,10, 12, 15, 23, 26 dan 31°. Adanya puncak-punc ak khas dari bahan-bahan awal penyusun padatan Sn/NaY menunjukkan bahwa proses presipitasi menurunkan kristalinitas pendukung karena adanya logam Sn yang terdispersi pada permukaan pendukung, namun struktur utama tetap ada (Huang dkk., 2008). Jika membandingkan pola difraksi Sn/NaY dengan Sn murni, terlihat adanya puncak-puncak karakteristik dari logam Sn, namun intensitas puncak khas logam Sn pada difraktogram Sn/NaY terlihat jauh lebih rendah dari pada difraktogram Sn murni. Sehingga beberapa puncak khas Sn pada 2θ = 30,64; 32,02; 43,88 tidak tampak pada difraktogram Sn/NaY. Hal ini kemungkinan disebabkan loading Sn yang kecil (1,25% berat Sn dari total berat katalis). Fenomena ini dapat pula dikarenakan proses penambahan basa yang terlalu cepat, sebab proses pengendapan yang terlalu cepat dapat menghasilkan padatan yang amorf (Perego dan Villa, 1997). Karakterisasi Logam Sn Berpendukung NaY Dengan Menggunakan FT-IR Pada spektra FT-IR Sn/NaY tetap didominasi ikatan-ikatan dari pendukung, yaitu pada daerah 3400 cm-1 menunjukkan daerah vibrasi ulur O-H. Sedangkan vibrasi tekuk H-O-H muncul pada 1650 cm-1 (Nakamoto, 1978; Cordoba dkk., 1996; Figueiredo dkk., 2006; Wang dkk., 2003). Puncak serapan pada daerah 1139 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur T-O dimana T adalah Si atau Al (Wang dkk. 2003 dan Thammavong, 2003) dan puncak pada daerah 950 cm-1 adalah puncak vibrasi dari T-O- (Cordoba dkk., 1996 dan Wang dkk., 2003 ). Puncak pada daerah 506 dan 432 cm-1 merupakan vibrasi tekuk O-T-O (Nakamoto, 1976 dan Wang dkk., 2003). Adapun Rios dkk. (2007) juga menambahkan bahwa puncak pada daerah 699 cm-1 dan 610 cm-1 merupakan vibrasi ulur TO4. Sedangkan ikatan Sn-O tidak nampak, hal ini dikarenakan loading Sn yang terlalu kecil. Jika dilihat dari intensitas spektra FT-IR pada Gambar 3. ternyata intensitas Sn/NaY lebih rendah dibandingkan dengan zeolit NaY, hal ini dikarenakan adanya logam Sn yang terdispersi merata pada permukaan pendukung (Kalevaru dkk., 2009). O- H-O-H T-T- O- Gambar 3. Spektra FTIR Zeolit NaY dan Sn/NaY
  • 40. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Uji Katalisis Katalis Sn/NaY diuji kemampuan katalisisnya pada reaksi denitrifikasi dengan produk katalisisnya adalah ammonium. Pembentukan ammonium pada reaksi denitrifikasi sesuai dengan yang dilaporkan Cholier-Brym (2002). Konsentrasi ammonium diukur dengan metoda UV-Vis pada panjang gelombang 460 nm menggunakan reagen Nessler. Konsentrasi yang didapatkan adalah 1,33 ppm. Hasil ammonium yang sedikit menurut penelitian Chen dkk. (2003) adalah dikarenakan ammonium (NH4 +) merupakan produk samping dari reaksi denitrifikasi. NO3 - + H2 → NO2 - + H2O (reaksi 1) NO2 - → NO → NH4 + (reaksi 2) Adapun tahap-tahap reaksi reduksi yang terjadi dalam (reaksi 2) adalah : 2NO2 - + H2 → 2NO + 2OH- (reaksi 2a) + + H2O (reaksi 2b) NO + 3H2 → NH4 4. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa katalis Sn/NaY dapat mendenitrifikasi nitrat dan menghasilkan produk berupa ammonium dengan konsentrasi 1,33 ppm. Daftar Pustaka Canter, L.W. (1997), “Nitrates in Groundwater”, CRC Press, Boca Raton, Florida. Chen, Ying-Xue, Zhang, Y. dan Guang-Hao, C. (2003), “Approriate Conditions or Maximizing Catalytic Reduction Efficiency of Nitrate into Nitrogen Gas in Groundwater”, Water Research, Vol. 37, hal. 2489-2495. Chollier-Brym, M.J., Gavagnin, R., Strukul, G., Marella, M., Tomaselli, M. dan Ruiz, P. (2002) New insight in the Solid State Characteristics, in the Possible Intermediates and on the Reactivity of Pd–Cu and Pd–Sn Catalysts Used in Denitratation of Drinking Water, Catalysis Today, Vol. 75, hal. 49-55. Cordoba, G., Arroyo, R., Fierro, J. L. G. dan Viniegra, M. (1996), “Study of Xerogel–Glass Transition of CuO/SiO2”, Journal of Solid State Chemistry, Vol. 123, hal. 93 – 99. EPA. (1995), “National Primary Drinking Water Regulations Office of Groungwater and Drinking Water”, Washington D.C, United States. Figueiredo, H., Neves, I. C., Quintelas, C., Tavares, T., Taralunga, M., Mijoin, J. dan Magnoux, P. (2006), “Oxidation Catalysts Prepared from Biosorbents Supported on Zeolite”, Applied Catalysis B : Environmental, Vol. 66, hal. 274 – 280. Huang, S., Zhang, C. dan He, H. (2008), “Complete Oxidation of o-xylene over Pd/Al2O3 Catalyst at Low Temperature”, Catalysis Today, Vol 139, Hal. 15-23. Kalevaru, V. N., Raju, B. D., Rao, V. V. dan Martin, A. (2009), “ Preparation, Characterization and Catalytic Evaluation of MgF2 Supported V2O5 Catalyst for Ammoximation of 3-picoline”, Applied Catalysis A: GeneraI, Vol. 352, hal. 223-233. Nakamoto, K., (1978), Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compounds, 5th Edition, John Wiley Sons, USA. Perego, C. dan Villa P. (1997). “Catalyst Preparation Methods”. Catalysis Today, Vol. 34, hal. 281- 305. Prϋsse, U. dan Vorlop, D. (2001), ”Supported Bimetalic Palladium Catalysts for Water-Phase Nitrate Reduction“, Journal of Molecular Catalysis, Vol. 173, hal. 313-328.
  • 41. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS Rios, C., Williams, C. dan Maple, M. J. (2007), “Synthesis oz Zeolites and Zeotypes by Hidrothermal Transformation of Kaolinite and Metakaolinite”, BISTUA, Vol. 5, No. 1, hal. 15- 26. Thammavong, S. (2003), “Studies of Synthesis, Kinetics and Particle Size of Zeolite X from Narathiwat Kaolin”, Thesis Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Master of Science in Chemistry Suranaree University of Technology. Wang, Z., Liu, Q., Yu, J., Wu, T. dan Wang, G. (2003), “Surface Structure and Catalytic Behavior of Silica-Supported Copper Catalysts Prepared by Impregnation and Sol-Gel Methods”, Applied Catalysis A: General, Vol. 239, hal. 87 – 94.
  • 42. ISBN 978-602-98130-0-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 23 Nopember 2010 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS KOMPLEKS BESI (II) DENGAN LIGAN 2-FENIL-ETIL AMIN Fahimah Martak Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Corresponding author Phone : 081572535690 e-mail: fahimahm@chem.its.ac.id Abstrak Kompleks besi(II) dengan ligan 2-fenil etil amin telah disintesis dan dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR, Elemental analisis, SSA, difraksi sinar-X powder dan magnetometer. Kompleks ini memiliki formula [FeII(2-fenil-etil-amin)3]Cl5. Puncak pada 451,34 cm-1 terjadi karena vibrasi ulur Fe dengan N amin pada ligan 2-fenil-etil amin. Berdasarkan pola difraksi sinar-X, kompleks polimer [Fe4 II(2-fenil-etil-amin)3]Cl5 memiliki kelompok ruang P6(3). Data suseptibilitas magnetik terhadap temperatur menunjukkan bahwa kompleks memiliki interaksi feromagnetik, ini dibuktikan dengan adanya meningkatnya magnetisasi pada medan rendah dan cenderung saturasi pada medan lebih tinggi dengan nilai 5 mB pada 50 kOe. Kompleks [FeII(2-fenil-etil-amin)3]Cl5 memberikan interaksi feromagnetik pada temperatur rendah yaitu 32 K. Kata kunci: kompleks besi(II), kompleks polimer, interaksi feromagnetik dan fenil-etil amin. 1. Pendahuluan Sejak penemuan magnet molekul tunggal sepuluh tahun yang lalu, sintesis dan karakterisasi fisik senyawa magnetik berdasarkan molekular menjadi salah satu bidang paling aktif diteliti. Senyawa magnetik berdasarkan molekular dapat diperoleh dari interaksi ion-ion logam transisi deret pertama dengan konfigurasi elektron d1-d9. Interaksi magnetik berdasarkan molekular juga dihasilkan dari interaksi antar ligan, seperti ditunjukkan pada kompleks binuklir dengan ligan etilen diamin dengan ligan oksalat. Senyawa kompleks dapat menunjukkan sifat feromagnet. Sifat feromagnet ini timbul dari akibat interaksi antar elektron tidak berpasangan pada ion-ion logam. Interaksi feromagnet pada senyawa kompleks umumnya ditunjukkan pada temperatur rendah (Garcia, et al., 2002). Oleh karena itu yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah upaya apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan temperatur terjadinya interaksi feromagnetik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah merancang kompleks polimer yang dapat terjadi interaksi coulomb dan ikatan hidrogen sehingga menaikkan temperatur Curie Weiss (TCW) senyawa. TCW adalah temperatur dimana mulai terjadi perubahan sifat bahan dari paramagnetik menjadi feromagnetik. Temperatur Curie Weiss pada bahan merupakan indikasi bahwa senyawa memiliki interaksi feromagnetik. Interaksi feromagnetik dapat diidentifikasi melalui pengukuran nilai suseptibilitas magnetik dengan variasi temperatur. Nilai suseptibilitas magnetik senyawa feromagnetik meningkat tajam dibawah temperatur Curie. Interaksi ini dapat dihasilkan dengan pemilihan ligan yang tepat. Studi yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan menggunakan ligan oksalat (Martak, 2010). Namun, senyawa kompleks polimer yang dihasilkan menunjukkan interaksi feromagnetik pada temperatur dibawah 15 K. Oleh sebab itu pada penelitian ini dikembangkan dengan menggunakan ligan fenil etil amin. Gugus amin pada ligan tersebut dapat diubah menjadi ammonium, diharapkan atom hidrogen yang terikat pada ammonium dapat berikatan hidrogen pada ligan yang terkoordinasi pada ion logam sehingga interaksi inter dan