Diskusi menyentuh topik ketidakadilan dalam ranah kekuasaan sejak zaman khalifah Usman. Usman dinilai tidak adil karena mengangkat kerabatnya ke posisi politik tanpa mempertimbangkan kualitas. Hal ini memicu konflik dan perang saudara. Diskusi juga menyinggung soal penafsiran ulang konsep keadilan agar sesuai konteks masa kini seperti isu perbudakan dan TKI. Terakhir, diskusi menyinggung soal legitim
1. Talkshow - 11/04/2005 04:40
Islam Sebagai Ajaran Keadilan (II):
Keadilan dalam Ranah Kekuasaan
Talk Show “Khazanah Progresif”, kerjasasama P3M dengan 97,5 Jkarta News FM.
Tema: Islam Sebagai Ajaran Keadilan (II): Keadilan dalam Ranah Kekuasaan.
Narasumber: Muhammad Guntur Romli dan Ali Sobirin, dan moderator: Nurpud Bintoro
Nurpud: Keadilan merupakan salah satu piranti bagi kehidupan umat manusia,
bahkan semua agama mengajarkan nilai-nilai keadilan. Namun yang menjadi
pertanyaan adalah sejauhmana aplikasi konsep keadilan dalam praktik kehidupan
sehari-hari?
Guntur Romli: Memang kita lihat ada semacam fajwah antara teks dan konteks, atau
antara yang dimaui agama dan apa yang dimaui umatnya. Ketika Islam mengakui prinsipprinsip keadilan dan keadilan menjadi sebuah spirit bagi semua ajaran Islam. Saya
katakan dalam konsep teologi mengatakan keadilan, dalam tasawwuf juga mengatakan
keadilan, tapi dalam praksisnya itu tidak ada, mengapa? Saya kira banyak faktor yang
menyebabkan itu terjadi.
Nurpud: Apa variabelnya yang menyebabkan hal itu terjadi? Bisa dijelaskan!
Guntur Romli: Kita lihat masa Rasulullah atau masa sahabat. Misalnya pada masa
khalifah telah terjadi bentuk ketidakadilan. Hal itu sudah jauh-jauh hari klimaks
ketidakadilan, dalam sejarah Islam kita sebut dengan ‘al-fitnah al-kubra’ atau
‘malapetaka yang besar’. Ketika para sahabat saling membunuh, pada saat itu Usman
sebagai khalifah ketiga mati terbunuh, kemudian Ali juga mati terbunuh.
Bentuk ketidakadilan yang dikerjakan dalam masalah politik adalah ketika khalifah
Usman mengangkat kerabatnya menduduki posisi jabatan-jabatan politis. Misalnya
Muawiyyah bin Abi Sofyan kerabat Usman dari Bani Umayyah diangkat menjadi
Gubernur Syam (Syiria), dan kita lihat ketika Usman tidak mengerjakan keadilan ataupun
keluar dari prinsip-prinsip. Dia tidak mengangkat seseorang berdasarkan kualitas,
kuantitas, dan senioritas. Karena apa? Karena Mu’awiyyah bin Abi Sofyan itu baru
masuk Islam ketika ‘fathul al-Makkah”, sedangkan masih banyak sahabat-sahabat senior
yang sudah jauh hari membela Islam atau masuk Islam yang sebenarnya lebih berhak,
tetapi mengapa Mu’awiyyah bin Abi Sfyan yang diangkat?
Dari sini kita melihat bahwa ketidakadilan itu muncul. Pada waktu zaman Ali juga seperti
itu, ketika Ali diangkat menjadi khalifah keempat, Mu’awiyah bin Abi Sofyan yang
diangkat oleh Usman menuntut keadilan, yaitu menuntut orang yang membunuh Usman
harus di qishas. Sedangkan Mu’awiyyah sendiri menganggap bahwa Ali yang berada
dibalik pembunuhan itu, sehingga sangat tampak sekali ada perang Jamal, perang Sifin.
Perang Sifin inilah perang yang sangat terkenal antara Ali dan Mua’wiyyah, sebab waktu
2. itu sahabat sudah saling membunuh dalam pangkal ketidakadilan itu sendiri, ketika itu
mulai muncul motif-motif politik yang ada dalam tubuh sahabat itu sendiri.
Nurpud: Seperti mas Guntur Romli katakan, bahwa konsep penyelewengan
keadilan itu beranjak dari munculnya kekuasaan. Di mana keadilan menjadi
sebuah problem yang memunculkan ketegangan, tapi dalam konteks konsepsi sosial
bagaimana bisa terjadi penyimpangan-penyimpangan kuasa? Bisa dijelaslkan mas
Ali?
Ali Sobirin: Dalam sejarahnya, bahwa kepentinagan politik selalu membawa agama
sebagai alat justifikasi. Sehingga untuk jalan keluar dari itu adalah, bagaimana agama
tidak menjadi alat untuk kepentingan, atau bagaimana agama caranya menjadikan
masyarakat bahwasanya kosep-konsep yang telah ada, entah itu teks atau apapun
namanya, selalu mempunyai latar belakang (sejarah) yang sesuai dengan kondisi kita
sekarang ini, termasuk relasi kekuasaan.
Sebagai jalan keluarnya adalah, tentu kita harus mengelaborasi ulang atau melakukan
reinterpretasi ulang untuk di kontekskan pada masa sekarang ini. Salah satu contoh
adalah tentang perbudakan. Pada zaman Nabi, keadilan Islam hanya sekedar
membebaskan budak, dan ini masih dalam konteks individual. Nyatanya, walaupun
keluar fatwa Nabi bahwasanya membebaskan budak itu merupakan pahala yang luar
biasa, padahal pada saat itu kekayaan sahabat hanyalah budak. Jadi memang, jalan
keluarnya adalah mengelaborasi kembali konsep-konsep adil yang sekarang ini terkait
dengan konteks budak saat ini, kalau kita kenal saat ini adalah kasus buruh atau TKI.
Nurpud: Mas Ali, kalau sebuah lembaga yang membiarkan warganya menjadi TKI
dan sengsara, secara konteks historisnya berarti keluar dari konteks ketidakadilan
itu sendiri!
Ali Sobirin: Ya! Sebenarnya kita tidak sadar bahwa TKI itu sebenarnya sangat berjasa
luar biasa, yang menarik keluar negri itu devisa ribuan dolar, tapi pemerintah kita
termangu-mangu ketika ada kawan kita yang kena pancung.
Nurpud: Mas Ali, saya ingin mengembangkan satu pokok yang masih belum
terjawab. Oke lah tadi muncul pembicaraan perbudakan, konsepsi penyelewengan
keadilan yang cukup sempurna tadi di dalam konteks zaman ada pertarungan
kekuasaan, pada waktu itu konsepsi sosial itu apa?
Ali Sobirin: Keadilan itu sampai saat ini diasosikan dengan adanya hukum.
Pertanyannya adalah apakah hukum itu? Apa dan untuk siapa hukum itu? Dan bagaimana
prosesi hukum itu?. Hukum itu merupakan sebuah rumusan hasil komunikasi masyarakat
yang menyepakati adanya tata aturan. Yang jadi masalah adalah bagaimana konsepsi
sosial itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, artinya hukum atau konsensi sosial itu
tidak mencerminkan keadilan.
3. Hukum yang tidak adil paling tidak ada dua hal; hukum tidak adil dalam tingkat
implementasi ataupun hukum yang tidak adil dari hukumnya sendiri. Salah satu contoh
konkrit dari hukum yang tidak adil dari hukumya sendiri adalah ketika pada saat
pembentukan hukumnya dikuasai oleh segelintir orang yang mempunyai kepentingankepentingan, sehingga hukum itu dipaksakan untuk kepentingan dirinya.
Sedangkan contoh dari hukum yang tidak adil dalam tingkat implemintasi adalah bisa
kita lihat dari penanganan beberapa kasus, contoh kecil tentang kasus korupsi atau
semacamnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana menyikapi hukum yang tidak adil?
.
Nurpud: Adakah di zaman Nabi kasus-kasus yang berkaitan dengan korupsi?
Ali Sobirin: Secara umum pada zaman Nabi tidak ada korupsi, karena dibuktikan bahwa
Nabi Muhammad tidak pernah menghukum pencuri. Nabi Muhammad secara tegas
mengatakan; “lau syaraqat fatimata laqatha’na yadaha”. Hal ini merupakan betapa
tegasnya Nabi hingga mencontohkan anaknya sendiri.
Dari situ implikasi ketegasannya adalah, di masyarakat sangat kecil sekali adanya intrikintrik pencurian itu. Dan munculnya sikap KKN sebagaimana yang dikatakan oleh mas
Guntur Romli tadi, baru setelah khalifah Usman, pada saat itu terjadi sebuah praktek
KKN yang sangat luar biasa. Jadi Usman itu cenderung menumpuk kekayaan.
Sebenarnya sahabat Nabi yang bernama Usman sesungguhnya adil, tetapi dia tidak
sanggup menahan keinginan orang-orang terdekatnya untuk melakukan eksploitasi
terhadap kekayaan kaum muslimin dan mengeksploitasi segala hal yang ada. Dan
kemudian lahirlah sahabat Abu Daar al-Ghifari yang merupakan salah seorang sahabat
Nabi yang secara tegas menolak kemewahan yang dilakukan oleh Usman dan Mu’awiyah
pada kurun setelahnya, hingga Abu Daar al-Ghifari diasingkan oleh pemerintahan
Mu’awiyyah.
Selanjutnya adalah bagaimana sebenarnya hukum itu tidak berjalan dengan adil? Dan
baimana kita mengatasinya? Yang saya heran, orang seperti Socrates sendiri, ketika
menyikapi hukum yang tidak adil, ia mengikuti hukum itu, dan konsekuensinya pada
waktu itu Socretes dihukum mati. Padahal ketidakadilan tidak bisa dilawan dengan
mudah, tapi hari dengan perjuangan mati-matian dalam arti jihad yang paling ekstrim dan
semacamnya.
Tanya Jawab/ Tanggapan:
Syarif (Penanya): Selamat malam, kalau tidak salah saya dengar, kepemimpinan itu
masuk pada muamalat. Jadi kalau kita lihat Allah menurunkan Rasul itu tidak berarti
muamalat semata-mata, artinya tidak ada ketentuan walaupun Allah sendiri yang
menentukan ke-rasul-an itu, dan itupun kalau diteliti sangat objektif. Kemudian setelah
4. kepada Rasulullah yang terakhir di situ ada kepemimpinan setelah Rasullulah, yaitu para
sahabat. Dari sahabat tersebut yang kita lazim sebut Khalifah al-Rasyidin.
Versinya, dari terbentuknya kepemimpinan itu sendiri terdiri dari sistem yang berbedabeda, dan kalau saya melihat hanya khalifah yang keempat yang objektif yang diterima
oleh masyarakat secara adil. Bagaimana tanggapan pak Ustazd?
Ai Sobirin: Pada suatu waktu Nabi mendapati suatu masalah, dan oleh Nabi masalah itu
dikembalikan lagi kepada orang yang mempunyai masalah tersebut, “antum a’lamu bi
umuri al-dunya kum”, itu yang pertama. Kedua, pada sewaktu-waktu, Nabi didatangi
sahabat Umar ketika berbicara tentang strategi perang, Nabi tidak begitu berbicara
panjang, lagi-lagi ia mengungkapkan, “antum a’lamu bi umuri al-dun ya kum”. Ini
artinya, secara person, Muhammad pada waktu itu Muhammad sebagai pengatur, dalam
konteks pemimpin negara pada waktu itu. Nabi Muhammd bukan saja tanpa salah atau
bukan tidak pernah salah, bukti hadis itu menyebutkan, bahwasanya masalah kenegaraan,
masalah kepemimpinan sangat terkait erat pada masalah-masalah sosial pada waktu itu.
Kalau Nabi Muhammad dalam person-Nya menjadi Nabi, tentu saja itu merupakan
ma’sum dan bersifat ubudiyyah.
Syarif: Yang saya dengar, artinya Rasul itu sendiripun sebagai Rasul ada yang
beranggapan bahwa Rasul itu manusia biasa, tapi di dalam al-Qur’an sudah dijelaskan
bahwa Rasul secara umum, dan Rasulullah secara umum menjadi suri tauladan.
Kepemimpinan yang benar yang Allah contohkan untuk kita semua itu mulai dari Rasul.
Jadi tidak melalui pemilihan umum, tidak melalui pendapat masayarakat, tapi kalau kita
pikirkan itu semata fiktif dan menimbulkan keadilan.
Ali Sobirin: Kalau menurut Pak Syarif, siapa kira-kira orang yang diwahyukan Allah
untuk menjadi pemimpin?
Syarif: Kalau kita merujuk kepada al-Qur’an, ya ketentuannya orang yang beriman
Nurpud: Cara memperolehnya itu kira-kira dari mana?
Ali Sobirin: Jadi begini Pak Syarif, dalam satu syair sangat tegas sekali, bahwa Nabi
Muhammad manusia biasa tapi tidak bisa diartikan sebagai manusia baik dalam
kewahyuan dan amal ubudiyah kepada masyarakat. Jadi itu jelas kita jadikan uswatu alhasanah, namun sering saja dalam kepemimpinan beliau secara ruh kita sepakat, bahwa
semestinya kita mengadosi pola pikir ataupun apa yang dilakukan Nabi dalam tingkat
implementasi bisa berbeda dan bermacam-macam. Yang jelas secara prinsip khusunya
bagaimana Nabi Muhammad menuntaskan kemiskinan pada waktu itu, bagaimana Nabi
Muhammad menciptakan kesetaraan pada waktu itu.
Guntur Romli: Sekiranya pada kepemimpinan Nabi ada problem, selanjutnya adalah
terkumpulnya legitimasi teologis dan politis pada seorang Nabi. Jadi Nabi Muhammad
adalah Nabi yang menerima wahyu, tetapi dalam kepemimpinan politis masyarakat pada
5. waktu itu ada mekanisme yang disebut bai’at, dia itu dipilih oleh rakyat atau sahabatnya
melalui sukarelawan, dan bai’at itu dikenal dengan jabatangan.
Jadi saya kira, tidak diperkenankan adanya campuran antara teologi dan wilayah politis
dalam kepemimpinan Nabi. Nabi merupakan orang yang menerima wahyu dan tidak
pernah melakukan kesalahan, tapi di samping itu juga, dia menggunakan mekanisme
keadilan sosial ataupun mekanisme politik yang ada. Misalanya bai’at dan kemudian ada
lagi mekanisme syura, yang dikatakan oleh mas Ali tadi, bahwa dalam masalah dunia
sering melemparkan kepada sahabat-sahabat-Nya, dan beliau tidak menampakkan
dirinya, bahwa diri-Nya adalah Nabi.
Misalnya dalam peperangan tetapi tidak dalam masalah teologi atau masalah keadilan.
Dalam masalah riba, perniagaan di situ dibutuhkan kekuatan wahyu ataupun kekuatan
teologi yang harus dikerjakan oleh sahabt-Nya. Maka dengan adanya itu, Rasulullah
menampakkan sebagi seorang Nabi, dan ketika beliau menampakkan seorang Nabi maka
dia tidak boleh ditentang, tetapi karena dalam urusan politis sehingga hal itu bisa
ditentang. Salah satu contoh misalnya dalam perang Uhud. Perang Uhud itu, beliau ingin
diadakan di Madinah, kemudian para sahabat-Nya menentang dan menginginkan itu
dilaksanakan di gunung Uhud.
Dan ini yang sesungguhnya menjadi problem, bahwa ketika ada pencampuran legitimasi
politis pada seorang pemimpin, dan ini yang tidak boleh terjadi lagi, kenapa? Karena
tidak semua orang seperti Muhammad, karena pada zaman Nabi itu sudah jelas ada yang
mengkontrol, yaitu Allah. Ketika Nabi itu menyimpang dan langsung turun wahyu, tetapi
setelah zaman Nabi ketika tidak ada wahyu siapa yang berani mengkontrol.
Syarif: Kalau saya tidak sedikitpun melemahkan sisi Rasul itu sendiri, karena Allah
sudah memberitahukan kepada kita semenjak manusia ini ada. Sistem kepemimpinan itu
berada pada Nabi Adam. Dan sekarang kalau kita lepas dari zaman sekarang ini,
misalanya kepemimpinan sebagai hukum negara, itupun misalnya presiden SBY. Dia
sebagai muslim yang sudah mengerti bahwa tidak harus menerima wahyu, sesungguhnya
kata Allah, kalau yang berbicara itu orang yang beriman dan mengingatkan, itu sematamata dari Allah.
Nurpud: Ini perdebatan yang sangat menarik, dan saya kira butuh waktu yang agak
khusus. Dan saya kira, bapak Syarif meninggalkan nomor telepon sehingga mungkin bisa
kita undang untuk satu sessi yang khusus membahas tentang hal ini. Perdebatan ini sangat
menarik sekali tapi sayang agak terputus-putus.
Guntur Romli: Sebenarnya yang dipahami pak Syarif itu tadi dalam konteks politik
Syi’ah, ketika tidak ada perbedaan politik dan agama ataupun seorang pemimpin politik
dan seorang pemimpin agama. Ini tersonifikasi dalam kepemimpinan, disebut dengan
wilayatul faqih, yaitu pemimpin tertinggi agama yang menjadi rujukan fatwa dan juga
menjadi rujukan politik dalam sistem ini, seorang presiden berada di bawah ini.
6. Tetapi fakta yang terjadi adalah adanya pertarungan antara kedaulatan atas nama Tuhan
dengan kedaulatan rakyat. Bagaimana bisa memanipulatif presiden Khatami, itulah
seorang yang ditunjuk oleh rakyat sampai 70% lebih, tetapi dia dalam berbenturan
dengan misalnya disebut dengan ‘Dewan Garda’ yaitu dewan konservatif dan orangorang Ayatullah Khomaini yang mengatas namakan ke-Tuhan-an. Di situ sangat
berbenturan, bagaimana kehendak rakyat dengan kehendak agamawan ataupun kehendak
yang mengatasnamakan ke-Tuhan-an itu terjadi.
Dan faktanya yang terjadi, adalah banyak sekali pengebirian-pengebirian kedaulatan
rakyat yang atas nama pengebirian ke-Tuhan-an. Misalnya, masalah seorang caleg
legIslatif dari kubu reformis, orang-orang pendukung Khatami tidak dianggap menentang
dari ajaran Syi’ah oleh Dewan Garda, dan orang-orang Garda adalah wilayatul faqih
yaitu khomaini sendiri. Mereka dicoret dari caleg kemudian tidak diperkenankan untuk
mengikuti pemilihan umum. Hal ini adalah sebuah akibat dari penggunaan atau
pencampuran antara politik dengan politik rakyat yang terjadi, dan ini yang merupakan
fakta mutakhir.
Kalau kita mau kembali ke belakang, bagaimana seorang khalifah, dia memiliki
kekuasaan yang sangat luar biasa karena dia sebagai pemimpin politik, dan sebagai
pemimpin agama. Khalifah pada saat itu pemimpin shalat jama’ah dan juga pemimpin
rakyat, sehingga mekanisme kontrol tidak ada dan ketika mekanisme kontrol tidak ada,
maka aspirasi rakyat itu tersumbat dan itu semacam ada pembangkangan. Jadi seperti
yang terjadi pada kekuasaan Usman, dan Usman bukan sosok yang seperti Umar ataupun
Abu Bakar, maksudnya tidak sekuat beliau-beliau itu.
Sebenarnya Usman dalam memimpin sangat luar bisa, tetapi kemudian ada penyalah
gunaan kekuasaan sehingga mekanisme kontrol tidak ada dari sahabat. Ada gerakan
revolusi yang dilaksanakan oleh orang-orang Mesir, sehingga terjadilah pembunuhan itu
pada zaman sahabat, kemudian ada fakta-fakta lain yaitu seberapa banyak pemimpin
Islam yang mengatas namakan Tuhan untuk melegalkan kebijakan-kebijakan politis yang
sangat menginjak rakyat dan itu digunakan atas nama Tuhan.
Ali Sobirin: Saya sangat apresiatif sekali dengan mas Syarif, pada dasarnya mas Syarif
mengharapkan pak SBY meniru Nabi Muhammad, mungkin contoh kecil yang harus
ditiru adalah tidak korup. Karena sama sekali, Nabi Muhammad sama sekali tidak doyan
duit, dan dia hanya meninggalkan al-Qur’an dan Hadis.
Sedangkan mengenai harapan pak Syarif bahwa pemimpin itu harus beriman, di sini
harus ditegaskan bahwasanya yang dimaksud beriman adalah pemimpin itu berbuat adil
“al-imanu huwa al-adl” . Jadi bukan iman dalam pengertian formal, hanya Islam itu
mukmin, sholat dan lain sebagainya. Oleh karena itu tidak boleh hanya sekedar dilihat
dari situ, tapi betul-betul keimanan seseorang itu teraplikasi dalam sikap sosialnya sejauh
mana orang itu mampu memberikan dampak positif kepada keadilan seluruh masyarakat.
7. Nurpud: Pernah tidak dirasakan, bahwa seseorang ingin memilih pemimpin yang
khusnul khatimah, tetapi dia tidak memilihnya? Dan pernahkah kejadian itu terjadi dalam
kurun sahabat pada waktu itu?
Ali Sobirin: Yang paling diketahui pada sejarah itu adalah pada saat pemerintahan
khalifah Usman, seluruh para pegawai itu seluruhnya dari silsilah keluarga, ini
sebagaimana yang dikatakan mas Nurpud, akibat dari ketidak-tegasan. Yang jelas,
kerabat Usman itu sangat dermawan, akan tetapi dia kurang tegas dalam menyikapi atau
kurang berbuat adil kepada kerabatnya, karena inilah yang namanya politik.
Guntur Romli: Jadi mekanisme politik ataupun mekanisme kekuasaan semakin
memburuk ketika Muawiyyah mendirikan Dinasti Ummayyah, jadi sejak itu seorang
khalifah itu tidak dilihat kualifikasinya, apakah dia korup atau tidak? Yang penting dia
berasal dari Bani Ummayyah. Ketika Muawiyyah menjadi khalifah pertama dari Dinasti
Ummayyah, dia mengangkat Yazid bin muawiyah, yaitu anaknya sendiri dan ini sangat
luar biasa. Bagaimana pembunuhan pada waktu itu ataupun menghancurkan Ka’bah dan
itu banyak sekali tindakan-tindakan yang kita anggap itu di luar Islam.
Mungkin yang bisa diandalkan dari Bani Umayyah ketika memiliki seorang khalifah,
yaitu Umar bin Abdul Azis. Inilah yang disebut khalifah yang kelima karena keadilannya.
Jadi ketika dia diangkat, dia lepaskan segala kekayaanya dan diserahkan kepada negara.
Ali Sobirin: Secara prinsipnya sejarah itu dibaca, tapi bukan hanya tidak dibaca
melainkan ada pengagungan yang bersifat tidak kritis. Jadi ketika kita mengkritisi suatu
soal dalam logika sebagian kita itu kafir, karena mereka yang tergolong sahabat Nabi
pada waktu itu yang dapat jaminan untuk masuk surga sehingga seakan-akan hal ini tidak
bisa kita kritik.
Catatan: Transkrip Talk Show Islam Sebagai Ajaran Keadilan (II), akan dilanjutkan
dengan tema Islam Sebagai Ajaran Keadilan (III).