SlideShare a Scribd company logo
1 of 6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan
digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu
daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah. Munculnya gejala, bahkan
kenyataan akan adanya pemekaran dan pembentukan Kabupaten, Kota, dan Propinsi baru di
Indonesia menuntut perlunya segera ditetapkan syarat-syarat dan kriteria yang menjadi
pertimbangan di dalam pembentukan dan pemekaran daerah.
Memasuki akhir dekade 1990-an Indonesia mengalami perubahan sosial politik yang
bermuara kepada pilihan melaksanakan desentralisasi sebagai salah satu modal utama
pembangunan Indonesia. Hal ini ditandai dengan pemberlakuan UU 22/1999tentang Otonomi
Daerah yang kemudian dirubah menjadi UU 32/2004. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2004-2009 menempatkan revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi
daerah ini sebagai satu prioritas dalam pembangunan nasional.Semangat otonomi daerah itu
sendiri salah satunya bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri yang kemudian
diatur dalam PP 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih
mendapat perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Dalam PP
tersebut, daerah berhak mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya selama telah
memenuhi syarat teknis, administratif, dan fisik1 dengan tujuan untuk mensejahterakan
masyarakat yang ada di wilayahnya.Pemekaran daerah dalam tatanan filosofis dimaksudkan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (pasal 2 PP 129/2000). Argumentasi untuk ini
didasarkan atas beberapa dimensi. Pemekaran akan mempersingkat rentang kendali antara
pemerintah dan masyarakat, khususnya pada wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh
fasilitas pemerintahan. Pemekaran daerah juga diaspirasikan untuk memperbaiki pemerataan
pembangunan. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, daerah-daerah yang terbangun hanya
daerah yang berdekatan dengan ibu kota pemerintahan daerah. Pemekaran memungkinkan
sumber daya mengalir ke daerah yang masih belum berkembang.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas maka dapat kami
simpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan pemekaran daerah itu?
2. Bagaimana pemekaran daerah di Indonesia?
3. Pedoman penilaian apa untuk dapat menjalankan pemekaran daerah?
4. Dampak apa saja yang timbul seiring dengan pemekaran daerah?
5. Bagaimana langkah yang bisa diambil untuk mencegah gelombang pemekaran daerah yang
sangat pesat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian pemekaran daerah
Pemekaran daerah berarti pengembangan dari satu daerah otonom menjadi dua atau lebih
daerah otonom. Pemekaran daerah dilandasi oleh Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, pada pasal 5 ayat 2 dinyatakan daerah dapat dimekarkan menjadi lebih
dari satu daerah, namun setelah UU no.22 tahun 1999 diganti dengan Undang-undang nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, maka materi pemekaran wilayah tercantum pada pasal
4 ayat 3 dan ayat 4, namun istilah yang dipakai adalah Pemekaran Daerah.
Dalam UU no 32 tahun 2004 tersebut pada pasal 4 ayat 3 dinyatakan: Pembentukan
daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan
atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat
4 dalam UU tersebut dinyatakan:Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia
penyelenggaraan pemerintahan.
B. Pemekaran daerah di Indonesia
Jumlah penduduk Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan dengan laju yang cukup
tinggi. Jumlah penduduk 15 tahun sebelum Indonesia merdeka sekitar 60 juta jiwa menjadi 97
juta jiwa 30 tahun kemudian. Berturut-turut pada tahun 1971, 1981 dan 2005 menjadi 119 juta
jiwa, 147 juta jiwa dan 230 juta jiwa [4,7]. Dengan menggunakan ukuran jumlah penduduk
sebuah kota sebanyak 500.000 jiwa secara teoritis pada tahun 2005 wilayah Indonesia dapat
dibagi dalam 460 daerah otonom (kabupaten dan kota). Angka tersebut akan bertahan paling
tidak sampai tahun 2050, dengan asumsi masing masing daerah otonom tersebut berkembang
secara merata menjadi kota metropolis dengan jumlah penduduk mendekati angka satu juta jiwa.
Jumlah penduduk minimal sebagai persyaratan pemekaran daerah otonom tingkat
kabupaten dan kota dipandang lebih realistis dibanding dengan menggunakan jumlah kecamatan
seperti diatur dalam PP nomor 129 tahun 2000. Hasil kajian terhadap 24 daerah otonom baru
hasil pemekaran tahun 2003-2004 dapat ditunjukkan bahwa hanya dua daerah otonom(8%)
memiliki jumlah penduduk di atas 500.000 jiwa, delapan daerah otonom (33%) berpenduduk di
bawah 100.000jiwa (satu di antaranya hanya berpenduduk 11.000 jiwa), sedang daerah otonom
lainnya (69%) berpenduduk antara100.000 – 500.000 jiwa. Fakta tersebut diduga memberikan
kontribusi terhadap rendahnya pencapaian tujuan otonomi daerah.
Luas daratan Indonesia terdiri dari wilayah daratan dengan ketinggian antara 0-25 mdpl
(28%),antara 26-100 mdpl(24%), antara 101-500 mdpl (23%), antara 501-1000 mdpl (16%) dan
dengan ketinggian di atas 1000 mdpl (9%). Fakta tersebut memperlihatkan bahwa luas daratan
Indonesia yang relatif paling baik untuk pengembangan permukiman perkotaan (di luar
kehutanan, perikanan, pariwisata dan beberapa jenis perkebunan) hanya sekitar 50% yaitu pada
wilayah dengan ketinggian kurang dari 100 mdpl.Berdasarkan hasil perkiraan jumlah ideal
daerah otonom sebanyak 460 kabupaten dan kota maka secara rata rata satu kabupaten/kota akan
memiliki wilayah daratan rata rata seluas 4150 km2 atau rata rata efektif seluas 2075
km2.Penerapan persyaratan luas wilayah menurut PP nomor 129 tahun 2000 terhadap jumlah
daerah otonom hasil pemekaran menghasilkan data luas daerah otonom baru yang beragam yaitu
13% memiliki luas di atas 4150 km2, 8% memiliki luas260 km2, 50% memiliki luas 1000-4000
km2 dan 29% memiliki luas antara 300-1000 km2.Dari segi luas wilayah, kurang dari 50%
jumlah daerah pemekaran yang memenuhi kriteria ideal, 37% di bawah ideal dan 13% di atas
ideal. Hal ini akan menimbulkan implikasi terhadap (1) efektifitas pencapaian tujuan otonomi
daerah bagi daerah otonom yang sangat luas dan (2) daerah otonom yang luasnya relatif sempit
akan menghadapi persoalan keterbatasan tanah dibanding dengan kecepatan pengembangan
wilayahnya.
C. Pedoman penilaian pemekaran/pembentukan kabupaten/kota/propinsi (pelaksanaan PP
no. 129 tahun 2000)
Dalam PP No. 129 tahun 2000 tersebut diuraikan bahwa pembentukan, pemekaran,
penghapusan, dan penggabungan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat; karena pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah
dilakukan atas dasar pertimbangan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,
meningkatkan kehidupan berdemokrasi, meningkatkan pengelolaan potensi wilayah, dan
meningkatkan keamanan dan ketertiban.
Dalam PP 129 tahun 2000 tercantum syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek
penilaian sebagai berikut :
1. Kemampuan Ekonomi;
2. Potensi Daerah;
3. Sosial Budaya;
4. Sosial Politik;
5. Jumlah Penduduk;
6. Luas Daerah;
7. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, selaku departemen teknis, selalu
diminta untuk memberikan masukan sebagai pertimbangan lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah (sebagaimana tercantum dalam butir g. [pasal 3 PP No.
129/2000] di atas) dan/atau masukan lain sebagai pertimbangan teknis untuk menyempurnakan
syarat-syarat pembentukan daerah. Untuk menjaga konsistensi penilaian
pembentukan/pemekaran daerah, perlu disusun Pedoman Penilaian Pembentukan/Pemekaran
Daerah yang ditekankan pada aspek teknis yang mencakup bidang penataan ruang dan
permukiman serta prasarana wilayah, dengan senantiasa memperhatikan jiwa dan semangat PP
No. 129 tahun 2000.
Peninjauan dari aspek tata ruang, permukiman dan prasarana wilayah dimaksudkan untuk
:
1. Mewujudkan daerah yang mampu berkembang secara mandiri;
2. Menjaga keseimbangan perkembangan daerah antara daerah baru dengan daerah induknya;
3. Menghindari dampak negatif sosial dan lingkungan akibat adanya pemekaran daerah;
4. Meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana yang optimal (yang dapat melayani seluruh
wilayah).
5. Dengan adanya penilaian dari aspek tata ruang, permukiman dan prasarana wilayah, diharapkan
daerah yang akan dimekarkan nantinya akan cepat berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan.
D. Dampak yang ditimbulkan karena pemekaran daerah yang pesat di indonesia.
Dampak dari pemekaran daerah yang cukup pesat ini adalah:
(1) kesulitan keuangan dan pembiayaan pembangunan
(2) pelayanan publik yang masih sama dan belum membaik
(3) kesejahteraan rakyat yang masih belum baik
(4) sumber daya aparat pemerintah merupakan residu dari daerah induk.
Selain yang disebutkan diatas permasalahan lain ialah jumlah pemerintah daerah baru di
Indonesia berkembang sangat fantastis dan cenderung ‘berlebihan’. Berapa jumlah provinsi di
Indonesia? Dahulu, pertanyaan ini akan mudah untuk dijawab yaitu 27 provinsi termasuk Timor
Timur. Namun, sejak adanya UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 yang mengatur tentang
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, makin sulit untuk menjawab pertanyaan tadi. Hal ini
dapat dimaklumi karena masyarakat bingung dengan pesatnya peningkatan jumlah pemerintah
daerah baru. Pada 2001, kabupaten/kota di Indonesia berjumlah 336 (di luar DKI Jakarta) dengan
30 provinsi (bertambah empat provinsi baru). Jumlah ini meningkat hingga awal 2004 terdapat
32 provinsi dengan 434 kabupaten/kota.
Tak dapat dipungkiri bahwa pemekaran pemerintah daerah ini telah menimbulkan
tekanan terhadap APBN karena adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah
daerah baru. Kondisi ini memberikan pesan kepada pemerintah pusat untuk membuat kriteria
yang jelas dan tegas dalam menyetujui pemekaran pemerintah daerah baru.
Berhubungan dengan kriteria tersebut, pemerintahan Presiden Gus Dur pada akhir 2000
telah mengeluarkan PP No 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa daerah dapat
dibentuk atau dimekarkan jika memenuhi syarat-syarat, Namun, kriteria yang disampaikan oleh
presiden tersebut dirasakan kurang bersifat operasional misalnya dalam bentuk standardisasi
berapa besar nilai setiap indikator, sehingga suatu daerah layak untuk dimekarkan. Selain itu,
prosedur pemekaran berdasarkan hasil penelitian oleh daerah yang ingin dimekarkan tersebut,
mengandung potensi yang besar pula untuk suatu ‘tindakan manipulasi’.
Sudah menjadi rahasia umum, dengan adanya pemekaran pemerintah daerah, maka akan
timbul posisi dan jabatan baru. Dan ini berimplikasi lebih jauh lagi dengan munculnya sistem
birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan jabatan ini tentunya tidak
terlepas dari adanya aliran dana dari pemerintah pusat (APBN) kepada pemerintah daerah.
Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana
transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana
alokasi khusus (DAK), serta dana bagi hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya
alam.Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah
DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani
APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan
didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi
tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran.
Akan tetapi, hal ini menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, secara
politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah. Tentunya sebagai daerah baru,
penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti
kantor pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja
pegawai.Pengeluaran yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh
yang sedikit kepada masyarakat sekitar. Penyediaan barang publik kepada masyarakat tentunya
akan menjadi berkurang dikarenakan pada tahun-tahun awal pemekaran daerah, pembangunan
lebih difokuskan pada pembangunan sarana pemerintahan. Karena itu, aliran DAU kepada
daerah pemekaran, menjadi opportunity loss terhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan
publik kepada masyarakat. Jumlah ini tentunya tidaklah sedikit.
Pada 2003, daerah hasil pemekaran 2002 sebanyak 22 kabupaten/kota baru telah
menerima DAU Rp1,33 triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil
pemekaran 2003, telah menerima DAU Rp2,6 triliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini
tentunya juga akan mengurangi jumlah DAU yang diterima daerah induk sehingga memiliki
potensi yang besar pula terjadinya degradasi pada pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur
kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini adalah adanya kemungkinan beban
APBN bertambah dengan adanya intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam
membangun daerah pemekaran ini.Salah satu bentuk pengeluaran langsung oleh pemerintah
pusat kepada daerah pemekaran ini dimanifestasikan dalam bentuk DAK nondana reboisasi.
Salah satu jenis dari DAK non-DR digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana
pemerintahan hasil pemekaran. Pada 2003, APBN harus menyalurkan dana Rp88 miliar hanya
untuk membangun prasarana pemerintahan daerah pemekaran atau setiap daerah pemekaran akan
mendapatkan dana sebesar Rp4 miliar.Jumlah itu terus bertambah pada APBN 2004 menjadi
Rp228 miliar. Terlihat jelas bahwa setiap ada pemekaran daerah, beban APBN akan semakin
bertambah besar. Apalagi jika daerah yang dimekarkan tersebut adalah provinsi. Fakta telah
menunjukkan setiap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti pula dengan pemekaran
kabupaten/kota.
E. Mengendalikan gelombang pemekaran daerah
Gelombang pemekaran daerah yang tidak terkendali ini berpotensi mengakibatkan defisit
atau ancaman ‖kebangkrutan nasional‖ baik secara politik, ekonomi, kultur, teknis, dan keamanan
nasional. Temuan lain di lapangan28 menunjukan bahwa proses dan pasca pemekaran daerah
berdampak pada munculnya gejala politik uang yang menyedot dana APBD daerah induk,
penguatan identitas elite lokal/etnis/agama/wilayah yang menggerus nasionalisme, dan semakin
banyak yang kalah pilkada cenderung semakin banyak pula rencana mengusulkan pemekaran
daerah. Daerah pemekaran baru menyebabkan terjadi split data kependudukan di daerah baru dan
daerah induk. Konsekuensinya terjadi kerepotan pembiayaan penyelenggaraan pilkada/pemilu.
Muncul sengketa tapal batas dan sengketa lokasi ibu kota. Terjadi involusi politik atau merasa
semakin berkuasa tetapi sebenarnya makin mengecilnya lahan kewenangan politiknya.
Memberatkan APBD daerah induk dan APBN yang harus menyediakan dana pendamping untuk
daerah baru.
Oleh karena itu, memang sudah sepantasnya pemekaran daerah dikendalikan atau
dihentikan sementara. Pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki grand design for territorial
reform. Pemerintah hanya mengandalkan UU 32/2004 dan PP 78/2007 yang longgar. Ditambah
lagi banyaknya pintu usulan pemekaran, yakni pintu Depdagri, DPR, dan DPD.Menghentikan
total pemekaran daerah adalah belum mungkin sebab harus mencabut dan merevisi UU 32/2004
dan PP 78/2007. Pelarangan pemekaran berarti melanggar kebebasan, hak asasi, dan aspirasi
yang dijamin konstitusi. Pelarangan itu dengan sangat mudah dipatahkan dengan pengajuan
review ke MK atau MA.
Dalam perspektif politik dan kebijakan, meminjam pemikiran Peter Schroeder (2004),
ada dua strategi politik untuk menahan atau menghambat laju pemekaran daerah.
Pertama, tindakan politik pengambangan dan Kedua, deregulasi kebijakan pemekaran
daerah.Tindakan politik pengambangan itu dilakukan dengan cara menangguhkan usulan
pemekaran. Syaratnya ada komitmen untuk itu, siap menjadi kurang populer, dan siap
menanggung resiko untuk tidak dipilih kembali. Di level daerah hal ini bisa dilakukan oleh
Bupati/Walikota, DPRD kabupaten/kota, Gubernur, DPRD Provinsi. Di level pusat hal ini bisa
dilakukan oleh Depdagri, DPOD, DPR, dan DPD. Kampus atau lembaga penelitian yang
mengerjakan studi kelayakan daerah baru mesti juga siap menyatakan bahwa memang daerah itu
belum layak untuk dimekarkan. Konsekuensinya siap untuk dijauhi rakyat dan menjadi tidak
populer.
Deregulasi kebijakan pemekaran daerah dilakukan dengan cara merevisi kembali PP
78/2007. Substansi yang perlu direvisi adalah memperpanjang masa persiapan pemekaran,
mensinkronkan kerja penanganan pemekaran daerah, dan pentingnya penyampaian laporan
berkala kemajuan sebagai bentuk monitoring bersama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah dilakukan atas dasar
pertimbangan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kehidupan
berdemokrasi, meningkatkan pengelolaan potensi wilayah, dan meningkatkan keamanan dan
ketertiban.
Dalam PP 129 tahun 2000 tercantum syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek
penilaian sebagai berikut : a. Kemampuan Ekonomi, b. Potensi Daerah, c. Sosial Budaya, d.
Sosial Politik, e. Jumlah Penduduk, f. Luas Daerah, g. Pertimbangan lain yang memungkinkan
terselenggaranya Otonomi Daerah.
Permasalahan yang timbul seiring dengan pemekaran daerah adalah:
(1) kesulitan keuangan dan pembiayaan pembangunan
(2) pelayanan publik yang masih sama dan belum membaik
(3) kesejahteraan rakyat yang masih belum baik
(4) sumber daya aparat pemerintah merupakan residu dari daerah induk.
Selain itu, terdapat juga persoalan pasca pemekaran seperti konflik akibatpengalihan
rencana lokasi bangunan kantor pemda, prioritas pembangunan fisik untuk pusat kabupaten/kota
versus untuk rakyat, ketidakpuasan wilayah tertentu yang tidak dilibatkan dalam pemekaran,
serta sengketa tapal batas wilayah induk dan pemekaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ida, Laode. 2005.Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia.Media
Indonesia. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-undang No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah (www.indonesia,go.id)
Ratnawati, Tri. 2005. Pemekaran Wilayah dan Alternatif Pemecahan Wilayah :
Revisi Mendasar Terhadap PP 129 Tahun 2000. Jakarta : Yayasan Harkat
Bangsa.
www.wikipedia.com

More Related Content

What's hot

Perkembangan Pemekaran Daerah
Perkembangan Pemekaran DaerahPerkembangan Pemekaran Daerah
Perkembangan Pemekaran Daerahbarita
 
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer MalangMakalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer MalangAulia Hamunta
 
PKN - Otonomi Daerah
PKN - Otonomi DaerahPKN - Otonomi Daerah
PKN - Otonomi Daerahtioprayogi
 
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianDesentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianIsnu Rahadi Wiratama
 
Otonomi Daerah - Makalah
Otonomi Daerah - MakalahOtonomi Daerah - Makalah
Otonomi Daerah - MakalahAmalia Dekata
 
Pemerintahan daerah di indonesia
Pemerintahan daerah di indonesiaPemerintahan daerah di indonesia
Pemerintahan daerah di indonesiaAgus Saadie
 
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerah
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerahPaper dampak positif dan negatif dari otonomi daerah
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerahfuji kurniawan
 
Otonomi daerah
Otonomi daerahOtonomi daerah
Otonomi daerahPuzo L
 

What's hot (14)

Otonomi daerah
Otonomi daerahOtonomi daerah
Otonomi daerah
 
kepemimpinan
kepemimpinankepemimpinan
kepemimpinan
 
Perkembangan Pemekaran Daerah
Perkembangan Pemekaran DaerahPerkembangan Pemekaran Daerah
Perkembangan Pemekaran Daerah
 
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer MalangMakalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
 
PKN - Otonomi Daerah
PKN - Otonomi DaerahPKN - Otonomi Daerah
PKN - Otonomi Daerah
 
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianDesentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
 
perkembangan otonomi daerah
perkembangan otonomi daerahperkembangan otonomi daerah
perkembangan otonomi daerah
 
Otonomi Daerah - Makalah
Otonomi Daerah - MakalahOtonomi Daerah - Makalah
Otonomi Daerah - Makalah
 
Otonomi daerah
Otonomi daerahOtonomi daerah
Otonomi daerah
 
Pemerintahan daerah di indonesia
Pemerintahan daerah di indonesiaPemerintahan daerah di indonesia
Pemerintahan daerah di indonesia
 
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerah
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerahPaper dampak positif dan negatif dari otonomi daerah
Paper dampak positif dan negatif dari otonomi daerah
 
06 otonomi daerah 1
06 otonomi daerah 106 otonomi daerah 1
06 otonomi daerah 1
 
Otonomi daerah
Otonomi daerahOtonomi daerah
Otonomi daerah
 
Otonomi Daerah
Otonomi DaerahOtonomi Daerah
Otonomi Daerah
 

Similar to Makalah pemekaran

Makalah dampak pemekaran
Makalah dampak pemekaranMakalah dampak pemekaran
Makalah dampak pemekaranWarnet Raha
 
Pemekaran wilayah
Pemekaran wilayahPemekaran wilayah
Pemekaran wilayahLisa SYP
 
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesia
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesiaKebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesia
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesiaSyaifOer
 
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsiYKN
 
PARDIMAN - OTODA 5 MARET.pptx
PARDIMAN - OTODA 5 MARET.pptxPARDIMAN - OTODA 5 MARET.pptx
PARDIMAN - OTODA 5 MARET.pptxalfianwibowo2
 
otonomi daerah [Autosaved].pptx
otonomi daerah [Autosaved].pptxotonomi daerah [Autosaved].pptx
otonomi daerah [Autosaved].pptxHamidMukhlis1
 
Kesiapan maumere menjadi kota otonom jurnal tata kota
Kesiapan maumere menjadi kota otonom jurnal tata kotaKesiapan maumere menjadi kota otonom jurnal tata kota
Kesiapan maumere menjadi kota otonom jurnal tata kotaArdiyanto Maksimilianus
 
Makalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerahMakalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerahAhmad Tien
 
Implementasi kebijakan standar pelayanan minimal perwujudan kinerja pemerint...
Implementasi kebijakan standar pelayanan minimal  perwujudan kinerja pemerint...Implementasi kebijakan standar pelayanan minimal  perwujudan kinerja pemerint...
Implementasi kebijakan standar pelayanan minimal perwujudan kinerja pemerint...Researcher Syndicate68
 

Similar to Makalah pemekaran (20)

Makalah dampak pemekaran
Makalah dampak pemekaranMakalah dampak pemekaran
Makalah dampak pemekaran
 
Makalah dampak pemekaran
Makalah dampak pemekaranMakalah dampak pemekaran
Makalah dampak pemekaran
 
Makalah pemekaran
Makalah pemekaranMakalah pemekaran
Makalah pemekaran
 
Makalah dampak pemekaran
Makalah dampak pemekaranMakalah dampak pemekaran
Makalah dampak pemekaran
 
Pemekaran wilayah
Pemekaran wilayahPemekaran wilayah
Pemekaran wilayah
 
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesia
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesiaKebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesia
Kebijakan dan perkembangan otonomi daerah di indonesia
 
Makalah masalah dan potensi daerah
Makalah masalah dan potensi daerahMakalah masalah dan potensi daerah
Makalah masalah dan potensi daerah
 
Pemekaran wilayah
Pemekaran wilayahPemekaran wilayah
Pemekaran wilayah
 
Makalah pemekaran
Makalah pemekaranMakalah pemekaran
Makalah pemekaran
 
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi
158065 id-memahami-penataan-ruang-wilayah-propinsi
 
Makalah otonomo daerah
Makalah otonomo daerahMakalah otonomo daerah
Makalah otonomo daerah
 
Makalah
MakalahMakalah
Makalah
 
PARDIMAN - OTODA 5 MARET.pptx
PARDIMAN - OTODA 5 MARET.pptxPARDIMAN - OTODA 5 MARET.pptx
PARDIMAN - OTODA 5 MARET.pptx
 
otonomi daerah [Autosaved].pptx
otonomi daerah [Autosaved].pptxotonomi daerah [Autosaved].pptx
otonomi daerah [Autosaved].pptx
 
Makalah pelaksanaan otonomi daerah STIP WUNA
Makalah pelaksanaan otonomi daerah STIP WUNA Makalah pelaksanaan otonomi daerah STIP WUNA
Makalah pelaksanaan otonomi daerah STIP WUNA
 
Makalah pelaksanaan otonomi daerah
Makalah pelaksanaan otonomi daerahMakalah pelaksanaan otonomi daerah
Makalah pelaksanaan otonomi daerah
 
Makalah pelaksanaan otonomi daerah
Makalah pelaksanaan otonomi daerahMakalah pelaksanaan otonomi daerah
Makalah pelaksanaan otonomi daerah
 
Kesiapan maumere menjadi kota otonom jurnal tata kota
Kesiapan maumere menjadi kota otonom jurnal tata kotaKesiapan maumere menjadi kota otonom jurnal tata kota
Kesiapan maumere menjadi kota otonom jurnal tata kota
 
Makalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerahMakalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerah
 
Implementasi kebijakan standar pelayanan minimal perwujudan kinerja pemerint...
Implementasi kebijakan standar pelayanan minimal  perwujudan kinerja pemerint...Implementasi kebijakan standar pelayanan minimal  perwujudan kinerja pemerint...
Implementasi kebijakan standar pelayanan minimal perwujudan kinerja pemerint...
 

More from Operator Warnet Vast Raha

Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiOperator Warnet Vast Raha
 

More from Operator Warnet Vast Raha (20)

Stiker kk bondan
Stiker kk bondanStiker kk bondan
Stiker kk bondan
 
Proposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bolaProposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bola
 
Surat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehatSurat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehat
 
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajarSurat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
 
Halaman sampul target
Halaman sampul targetHalaman sampul target
Halaman sampul target
 
Makalah seni kriya korea
Makalah seni kriya koreaMakalah seni kriya korea
Makalah seni kriya korea
 
Makalah makromolekul
Makalah makromolekulMakalah makromolekul
Makalah makromolekul
 
126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul
 
Kafer akbid paramata
Kafer akbid paramataKafer akbid paramata
Kafer akbid paramata
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Mata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budayaMata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budaya
 
Lingkungan hidup
Lingkungan hidupLingkungan hidup
Lingkungan hidup
 
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
 
Odher scout community
Odher scout communityOdher scout community
Odher scout community
 
Surat izin keramaian
Surat izin keramaianSurat izin keramaian
Surat izin keramaian
 
Makalah keganasan
Makalah keganasanMakalah keganasan
Makalah keganasan
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Makalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetikaMakalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetika
 
Undangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepaUndangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepa
 
Bukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajakBukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajak
 

Makalah pemekaran

  • 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah. Munculnya gejala, bahkan kenyataan akan adanya pemekaran dan pembentukan Kabupaten, Kota, dan Propinsi baru di Indonesia menuntut perlunya segera ditetapkan syarat-syarat dan kriteria yang menjadi pertimbangan di dalam pembentukan dan pemekaran daerah. Memasuki akhir dekade 1990-an Indonesia mengalami perubahan sosial politik yang bermuara kepada pilihan melaksanakan desentralisasi sebagai salah satu modal utama pembangunan Indonesia. Hal ini ditandai dengan pemberlakuan UU 22/1999tentang Otonomi Daerah yang kemudian dirubah menjadi UU 32/2004. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 menempatkan revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah ini sebagai satu prioritas dalam pembangunan nasional.Semangat otonomi daerah itu sendiri salah satunya bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam PP 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Dalam PP tersebut, daerah berhak mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya selama telah memenuhi syarat teknis, administratif, dan fisik1 dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat yang ada di wilayahnya.Pemekaran daerah dalam tatanan filosofis dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (pasal 2 PP 129/2000). Argumentasi untuk ini didasarkan atas beberapa dimensi. Pemekaran akan mempersingkat rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat, khususnya pada wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh fasilitas pemerintahan. Pemekaran daerah juga diaspirasikan untuk memperbaiki pemerataan pembangunan. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, daerah-daerah yang terbangun hanya daerah yang berdekatan dengan ibu kota pemerintahan daerah. Pemekaran memungkinkan sumber daya mengalir ke daerah yang masih belum berkembang. B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas maka dapat kami simpulkan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan pemekaran daerah itu? 2. Bagaimana pemekaran daerah di Indonesia? 3. Pedoman penilaian apa untuk dapat menjalankan pemekaran daerah? 4. Dampak apa saja yang timbul seiring dengan pemekaran daerah? 5. Bagaimana langkah yang bisa diambil untuk mencegah gelombang pemekaran daerah yang sangat pesat?
  • 2. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian pemekaran daerah Pemekaran daerah berarti pengembangan dari satu daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah otonom. Pemekaran daerah dilandasi oleh Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 5 ayat 2 dinyatakan daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, namun setelah UU no.22 tahun 1999 diganti dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, maka materi pemekaran wilayah tercantum pada pasal 4 ayat 3 dan ayat 4, namun istilah yang dipakai adalah Pemekaran Daerah. Dalam UU no 32 tahun 2004 tersebut pada pasal 4 ayat 3 dinyatakan: Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat 4 dalam UU tersebut dinyatakan:Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. B. Pemekaran daerah di Indonesia Jumlah penduduk Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan dengan laju yang cukup tinggi. Jumlah penduduk 15 tahun sebelum Indonesia merdeka sekitar 60 juta jiwa menjadi 97 juta jiwa 30 tahun kemudian. Berturut-turut pada tahun 1971, 1981 dan 2005 menjadi 119 juta jiwa, 147 juta jiwa dan 230 juta jiwa [4,7]. Dengan menggunakan ukuran jumlah penduduk sebuah kota sebanyak 500.000 jiwa secara teoritis pada tahun 2005 wilayah Indonesia dapat dibagi dalam 460 daerah otonom (kabupaten dan kota). Angka tersebut akan bertahan paling tidak sampai tahun 2050, dengan asumsi masing masing daerah otonom tersebut berkembang secara merata menjadi kota metropolis dengan jumlah penduduk mendekati angka satu juta jiwa. Jumlah penduduk minimal sebagai persyaratan pemekaran daerah otonom tingkat kabupaten dan kota dipandang lebih realistis dibanding dengan menggunakan jumlah kecamatan seperti diatur dalam PP nomor 129 tahun 2000. Hasil kajian terhadap 24 daerah otonom baru hasil pemekaran tahun 2003-2004 dapat ditunjukkan bahwa hanya dua daerah otonom(8%) memiliki jumlah penduduk di atas 500.000 jiwa, delapan daerah otonom (33%) berpenduduk di bawah 100.000jiwa (satu di antaranya hanya berpenduduk 11.000 jiwa), sedang daerah otonom lainnya (69%) berpenduduk antara100.000 – 500.000 jiwa. Fakta tersebut diduga memberikan kontribusi terhadap rendahnya pencapaian tujuan otonomi daerah. Luas daratan Indonesia terdiri dari wilayah daratan dengan ketinggian antara 0-25 mdpl (28%),antara 26-100 mdpl(24%), antara 101-500 mdpl (23%), antara 501-1000 mdpl (16%) dan dengan ketinggian di atas 1000 mdpl (9%). Fakta tersebut memperlihatkan bahwa luas daratan Indonesia yang relatif paling baik untuk pengembangan permukiman perkotaan (di luar kehutanan, perikanan, pariwisata dan beberapa jenis perkebunan) hanya sekitar 50% yaitu pada wilayah dengan ketinggian kurang dari 100 mdpl.Berdasarkan hasil perkiraan jumlah ideal daerah otonom sebanyak 460 kabupaten dan kota maka secara rata rata satu kabupaten/kota akan memiliki wilayah daratan rata rata seluas 4150 km2 atau rata rata efektif seluas 2075 km2.Penerapan persyaratan luas wilayah menurut PP nomor 129 tahun 2000 terhadap jumlah daerah otonom hasil pemekaran menghasilkan data luas daerah otonom baru yang beragam yaitu 13% memiliki luas di atas 4150 km2, 8% memiliki luas260 km2, 50% memiliki luas 1000-4000 km2 dan 29% memiliki luas antara 300-1000 km2.Dari segi luas wilayah, kurang dari 50% jumlah daerah pemekaran yang memenuhi kriteria ideal, 37% di bawah ideal dan 13% di atas ideal. Hal ini akan menimbulkan implikasi terhadap (1) efektifitas pencapaian tujuan otonomi
  • 3. daerah bagi daerah otonom yang sangat luas dan (2) daerah otonom yang luasnya relatif sempit akan menghadapi persoalan keterbatasan tanah dibanding dengan kecepatan pengembangan wilayahnya. C. Pedoman penilaian pemekaran/pembentukan kabupaten/kota/propinsi (pelaksanaan PP no. 129 tahun 2000) Dalam PP No. 129 tahun 2000 tersebut diuraikan bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; karena pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah dilakukan atas dasar pertimbangan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kehidupan berdemokrasi, meningkatkan pengelolaan potensi wilayah, dan meningkatkan keamanan dan ketertiban. Dalam PP 129 tahun 2000 tercantum syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek penilaian sebagai berikut : 1. Kemampuan Ekonomi; 2. Potensi Daerah; 3. Sosial Budaya; 4. Sosial Politik; 5. Jumlah Penduduk; 6. Luas Daerah; 7. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, selaku departemen teknis, selalu diminta untuk memberikan masukan sebagai pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah (sebagaimana tercantum dalam butir g. [pasal 3 PP No. 129/2000] di atas) dan/atau masukan lain sebagai pertimbangan teknis untuk menyempurnakan syarat-syarat pembentukan daerah. Untuk menjaga konsistensi penilaian pembentukan/pemekaran daerah, perlu disusun Pedoman Penilaian Pembentukan/Pemekaran Daerah yang ditekankan pada aspek teknis yang mencakup bidang penataan ruang dan permukiman serta prasarana wilayah, dengan senantiasa memperhatikan jiwa dan semangat PP No. 129 tahun 2000. Peninjauan dari aspek tata ruang, permukiman dan prasarana wilayah dimaksudkan untuk : 1. Mewujudkan daerah yang mampu berkembang secara mandiri; 2. Menjaga keseimbangan perkembangan daerah antara daerah baru dengan daerah induknya; 3. Menghindari dampak negatif sosial dan lingkungan akibat adanya pemekaran daerah; 4. Meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana yang optimal (yang dapat melayani seluruh wilayah). 5. Dengan adanya penilaian dari aspek tata ruang, permukiman dan prasarana wilayah, diharapkan daerah yang akan dimekarkan nantinya akan cepat berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. D. Dampak yang ditimbulkan karena pemekaran daerah yang pesat di indonesia. Dampak dari pemekaran daerah yang cukup pesat ini adalah: (1) kesulitan keuangan dan pembiayaan pembangunan (2) pelayanan publik yang masih sama dan belum membaik (3) kesejahteraan rakyat yang masih belum baik (4) sumber daya aparat pemerintah merupakan residu dari daerah induk.
  • 4. Selain yang disebutkan diatas permasalahan lain ialah jumlah pemerintah daerah baru di Indonesia berkembang sangat fantastis dan cenderung ‘berlebihan’. Berapa jumlah provinsi di Indonesia? Dahulu, pertanyaan ini akan mudah untuk dijawab yaitu 27 provinsi termasuk Timor Timur. Namun, sejak adanya UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, makin sulit untuk menjawab pertanyaan tadi. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat bingung dengan pesatnya peningkatan jumlah pemerintah daerah baru. Pada 2001, kabupaten/kota di Indonesia berjumlah 336 (di luar DKI Jakarta) dengan 30 provinsi (bertambah empat provinsi baru). Jumlah ini meningkat hingga awal 2004 terdapat 32 provinsi dengan 434 kabupaten/kota. Tak dapat dipungkiri bahwa pemekaran pemerintah daerah ini telah menimbulkan tekanan terhadap APBN karena adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah daerah baru. Kondisi ini memberikan pesan kepada pemerintah pusat untuk membuat kriteria yang jelas dan tegas dalam menyetujui pemekaran pemerintah daerah baru. Berhubungan dengan kriteria tersebut, pemerintahan Presiden Gus Dur pada akhir 2000 telah mengeluarkan PP No 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa daerah dapat dibentuk atau dimekarkan jika memenuhi syarat-syarat, Namun, kriteria yang disampaikan oleh presiden tersebut dirasakan kurang bersifat operasional misalnya dalam bentuk standardisasi berapa besar nilai setiap indikator, sehingga suatu daerah layak untuk dimekarkan. Selain itu, prosedur pemekaran berdasarkan hasil penelitian oleh daerah yang ingin dimekarkan tersebut, mengandung potensi yang besar pula untuk suatu ‘tindakan manipulasi’. Sudah menjadi rahasia umum, dengan adanya pemekaran pemerintah daerah, maka akan timbul posisi dan jabatan baru. Dan ini berimplikasi lebih jauh lagi dengan munculnya sistem birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan jabatan ini tentunya tidak terlepas dari adanya aliran dana dari pemerintah pusat (APBN) kepada pemerintah daerah. Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), serta dana bagi hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam.Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran. Akan tetapi, hal ini menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, secara politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah. Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai.Pengeluaran yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekitar. Penyediaan barang publik kepada masyarakat tentunya akan menjadi berkurang dikarenakan pada tahun-tahun awal pemekaran daerah, pembangunan lebih difokuskan pada pembangunan sarana pemerintahan. Karena itu, aliran DAU kepada daerah pemekaran, menjadi opportunity loss terhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik kepada masyarakat. Jumlah ini tentunya tidaklah sedikit. Pada 2003, daerah hasil pemekaran 2002 sebanyak 22 kabupaten/kota baru telah menerima DAU Rp1,33 triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, telah menerima DAU Rp2,6 triliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini tentunya juga akan mengurangi jumlah DAU yang diterima daerah induk sehingga memiliki potensi yang besar pula terjadinya degradasi pada pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini adalah adanya kemungkinan beban
  • 5. APBN bertambah dengan adanya intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam membangun daerah pemekaran ini.Salah satu bentuk pengeluaran langsung oleh pemerintah pusat kepada daerah pemekaran ini dimanifestasikan dalam bentuk DAK nondana reboisasi. Salah satu jenis dari DAK non-DR digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana pemerintahan hasil pemekaran. Pada 2003, APBN harus menyalurkan dana Rp88 miliar hanya untuk membangun prasarana pemerintahan daerah pemekaran atau setiap daerah pemekaran akan mendapatkan dana sebesar Rp4 miliar.Jumlah itu terus bertambah pada APBN 2004 menjadi Rp228 miliar. Terlihat jelas bahwa setiap ada pemekaran daerah, beban APBN akan semakin bertambah besar. Apalagi jika daerah yang dimekarkan tersebut adalah provinsi. Fakta telah menunjukkan setiap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti pula dengan pemekaran kabupaten/kota. E. Mengendalikan gelombang pemekaran daerah Gelombang pemekaran daerah yang tidak terkendali ini berpotensi mengakibatkan defisit atau ancaman ‖kebangkrutan nasional‖ baik secara politik, ekonomi, kultur, teknis, dan keamanan nasional. Temuan lain di lapangan28 menunjukan bahwa proses dan pasca pemekaran daerah berdampak pada munculnya gejala politik uang yang menyedot dana APBD daerah induk, penguatan identitas elite lokal/etnis/agama/wilayah yang menggerus nasionalisme, dan semakin banyak yang kalah pilkada cenderung semakin banyak pula rencana mengusulkan pemekaran daerah. Daerah pemekaran baru menyebabkan terjadi split data kependudukan di daerah baru dan daerah induk. Konsekuensinya terjadi kerepotan pembiayaan penyelenggaraan pilkada/pemilu. Muncul sengketa tapal batas dan sengketa lokasi ibu kota. Terjadi involusi politik atau merasa semakin berkuasa tetapi sebenarnya makin mengecilnya lahan kewenangan politiknya. Memberatkan APBD daerah induk dan APBN yang harus menyediakan dana pendamping untuk daerah baru. Oleh karena itu, memang sudah sepantasnya pemekaran daerah dikendalikan atau dihentikan sementara. Pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki grand design for territorial reform. Pemerintah hanya mengandalkan UU 32/2004 dan PP 78/2007 yang longgar. Ditambah lagi banyaknya pintu usulan pemekaran, yakni pintu Depdagri, DPR, dan DPD.Menghentikan total pemekaran daerah adalah belum mungkin sebab harus mencabut dan merevisi UU 32/2004 dan PP 78/2007. Pelarangan pemekaran berarti melanggar kebebasan, hak asasi, dan aspirasi yang dijamin konstitusi. Pelarangan itu dengan sangat mudah dipatahkan dengan pengajuan review ke MK atau MA. Dalam perspektif politik dan kebijakan, meminjam pemikiran Peter Schroeder (2004), ada dua strategi politik untuk menahan atau menghambat laju pemekaran daerah. Pertama, tindakan politik pengambangan dan Kedua, deregulasi kebijakan pemekaran daerah.Tindakan politik pengambangan itu dilakukan dengan cara menangguhkan usulan pemekaran. Syaratnya ada komitmen untuk itu, siap menjadi kurang populer, dan siap menanggung resiko untuk tidak dipilih kembali. Di level daerah hal ini bisa dilakukan oleh Bupati/Walikota, DPRD kabupaten/kota, Gubernur, DPRD Provinsi. Di level pusat hal ini bisa dilakukan oleh Depdagri, DPOD, DPR, dan DPD. Kampus atau lembaga penelitian yang mengerjakan studi kelayakan daerah baru mesti juga siap menyatakan bahwa memang daerah itu belum layak untuk dimekarkan. Konsekuensinya siap untuk dijauhi rakyat dan menjadi tidak populer. Deregulasi kebijakan pemekaran daerah dilakukan dengan cara merevisi kembali PP 78/2007. Substansi yang perlu direvisi adalah memperpanjang masa persiapan pemekaran, mensinkronkan kerja penanganan pemekaran daerah, dan pentingnya penyampaian laporan berkala kemajuan sebagai bentuk monitoring bersama.
  • 6. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah dilakukan atas dasar pertimbangan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kehidupan berdemokrasi, meningkatkan pengelolaan potensi wilayah, dan meningkatkan keamanan dan ketertiban. Dalam PP 129 tahun 2000 tercantum syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek penilaian sebagai berikut : a. Kemampuan Ekonomi, b. Potensi Daerah, c. Sosial Budaya, d. Sosial Politik, e. Jumlah Penduduk, f. Luas Daerah, g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Permasalahan yang timbul seiring dengan pemekaran daerah adalah: (1) kesulitan keuangan dan pembiayaan pembangunan (2) pelayanan publik yang masih sama dan belum membaik (3) kesejahteraan rakyat yang masih belum baik (4) sumber daya aparat pemerintah merupakan residu dari daerah induk. Selain itu, terdapat juga persoalan pasca pemekaran seperti konflik akibatpengalihan rencana lokasi bangunan kantor pemda, prioritas pembangunan fisik untuk pusat kabupaten/kota versus untuk rakyat, ketidakpuasan wilayah tertentu yang tidak dilibatkan dalam pemekaran, serta sengketa tapal batas wilayah induk dan pemekaran. DAFTAR PUSTAKA Ida, Laode. 2005.Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia.Media Indonesia. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (www.indonesia,go.id) Ratnawati, Tri. 2005. Pemekaran Wilayah dan Alternatif Pemecahan Wilayah : Revisi Mendasar Terhadap PP 129 Tahun 2000. Jakarta : Yayasan Harkat Bangsa. www.wikipedia.com