1. ETIKA KESEHATAN
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur di panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tugas makalah ini sebagai tugas mata
kuliah “ETIKA KESEHATAN” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Saya menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna.Untuk itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun
terutama dari dosen mata kuliah serta pembaca demi kesempurnaan makalah ini.Saya
berharap semoga hasil dari penulisan makalah ini kelak dapat bermanfaat bagi pihakpihak yang membutuhkan.
1
2. ETIKA KESEHATAN
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...3
A. Latar Belakang…………………………………………………………….3
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………3
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………..4
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….5
A. Peraturan Perundang-Undangan Yang Melandasi Pelayanan Kesehatan…5
B. Permenkes Tentang Registrasi Dan Praktek Bidan………………………21
C. Peran Dan Fungsi Majelis Pertimbangan Kode Etik……………………..34
D. Standar Praktek Kebidanan Dan Hubungan Standar Praktek Kebidanan (Spk)
Dengan Hukum/Perundang-Undangan……………………………40
E. Aplikasi Etika Dalam Praktek Kebidanan……….………………………44
BAB III PENUTUP………………………………………………………………47
A. Kesimpulan…………………...…………………………………………..47
B. Saran……………………...………………………………………………47
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………48
2
3. ETIKA KESEHATAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap profesi memiliki kode etik.Namun, kode etik saja tidak cukup untuk
menaungi sebuah profesi.Maka muncullah Majelis Pertimbangan Etik Profesi yang
merupakan badan perlindungan hukum terhadap suatu profesi.Begitu pun dengan
profesi bidan yang memiliki Majelis Etika Profesi dalam bentuk Majelis
Pertimbangan Etika Bidan (MPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA).
Untuk pembahasan selanjutnya akan dibahas peran dan fungsi dari Majelis
Pertimbangan Etik Profesi dalam menangani permasalahan kode etik bidan juga akan
dibahas mengenai Majelis Pertimbangan dan Pengawasan Etika Pelayanan Medis
yang mengawasi dan membina pelaksanan seluruh kode etik profesi kesehatan.
Bidan merupakan suatu profesi yang mana dalam setiap asuhan dan tindakan
yang dilakukan memiliki sebuah tanggung jawab yang besar. Apabila seorang bidan
melakukan suatu kesalahan yang dilakukan, maka ia akan mendapatkan sanksi dan
hukuman yang telah ditetapkan oleh pemenkes.
Dalam melakukan tindakan–tindakan tersebut, selain melakukan sesuai
dengan standar bidan juga harus memperhatikan norma, etika profesi, kode etik
profesi dan hukum profesi dalam setiap tindakannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Saja Yang Ada Dalam Peraturan Perundang-Undangan Yang Melandasi
Pelayanan Kesehatan?
2. Apa Saja Yang Ada Dalam Permenkes Tentang Registrasi Dan Praktek
Bidan?
3. Bagaimana Peran Dan Fungsi Majelis Pertimbangan Kode Etik?
4. Apa
Hubungan
Standar
Praktek
Kebidanan
(SPK)
Dengan
Hukum/Perundang-Undangan?
5. Bagaimana Aplikasi Etika Dalam Praktek Kebidanan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
Mengetahui
Peraturan
Perundang-Undangan
Yang
Melandasi
Pelayanan Kesehatan
2. Untuk Mengetahui Permenkes Tentang Registrasi Dan Praktek Bidan
3. Untuk Mengetahui Peran Dan Fungsi Majelis Pertimbangan Kode Etik
3
4. ETIKA KESEHATAN
4. Untuk Mengetahui Hubungan Standar Praktek Kebidanan (SPK) Dengan
Hukum/Perundang-Undangan
5. Untuk Mengetahui Aplikasi Etika Dalam Praktek Kebidanan
4
5. ETIKA KESEHATAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peraturan Perundang-Undangan Yang Melandasi Pelayanan Kesehatan
1. UU Kesehatan No 23 tahun 1992 Tentang Tugas Dan Tanggung Jawab
Tenaga Kesehatan
Pada peraturan pemerintah ini berisikan
tanggung
jawab dan tugas tenaga
kesehatn termasuk didalamnay tenaga bidan : hal ini tertuang pada BAB dan Pasal
sebagai berikut :
BAB VII Bagian Kedua
a. Tenaga Kesehatan
Pasal 50
1) Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan
kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga
kesehatan yang bersangkutan.
2) Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V,Bagian Kedua
b. Kesehatan Keluarga
Pasal 12
1) Kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat, kecil,
bahagia, dan sejahtera.
2) Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kesehatan
suami istri, anak, dan anggota keluarga lainnya.
3) Pasal 13
Kesehatan suami istri diutamakan pada upaya pengaturan kelahiran dalam rangka
menciptakan keluarga yang sehat dan harmonis.
Pasal 14
Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan,
persalinan, pasca persalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan
Pasal 15
Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau
janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
5
6. ETIKA KESEHATAN
Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) hanya dapat
dilakukan :
a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b.
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
dan dilakukan sesuai dengantanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersngkutan atau suami atau keluarganya;
d. pada sarana kesehatan tertentuKetentuan lebih lanjut mengenai tindakan
medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam UU.
2. PP NO. 23 Tahun 1992 Tentang Tenaga Kesehatan
Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan,dipandang perlu menetapkan
Standar Profesi bagi Bidan dengan Keputusan Menteri Kesehatan;
Mengingat :
1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);
3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3547);
4) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3637);
5) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran
Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
6) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);
7) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 tentang
Registrasi Dan Praktik Bidan
6
7. ETIKA KESEHATAN
8) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;
9) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
1) KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR PROFESI
BIDAN.
2) Standar Profesi Bidan dimaksud Diktum Kesatu sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Keputusan ini.
3) Standar Profesi Bidan sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua
agardigunakan sebagai pedoman bagi Bidan dalam menjalankan tugas
profesinya.
4) Kepala
Dinas
Kesehatan
Propinsi
dan
Kepala
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan
Keputusan ini dengan mengikutsertakan organisasi profesi terkait, sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.
5) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
3. PP Tentang Ketenagakerjaan
UNDANG-UNDANG
NOMOR
13
TAHUN
2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
I.
PERENCANAAN
TENAGA
KERJA
DAN
INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
II.
PELATIHAN KERJA
1) PP No 23 Tahun 2004 - Badan Nasional Sertifikasi Profesi
2) Perpres No 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Produktivitas Nasional
III.
PENEMPATAN TENAGA KERJA UU
No
39
Tahun
2004
tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
IV.
V.
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
1) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Warga Negara Asing Pendatang.
2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-172/MEN/2000 tentang
Penunjukan Pejabat Pemberi Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga
Negara Asing Pendatang untuk Pekerjaan yang Bersifat Sementara atau
Mendesak.
7
8. ETIKA KESEHATAN
3) Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor
KEP-
228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga
Kerja Asing .
4) Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor
KEP-
20/MEN/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing
VI.
VII.
VIII.
HUBUNGAN KERJA
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
1) PP No 46 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No 8 Tahun 2005
tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit.
2) Keputusan Menakertrans No:KEP-201/MEN/2001 tentang Keterwakilan
dalam Kelembagaan Hubungan Industrial .
3) Keputusan Menakertrans No:KEP-48/MEN/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara
Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
IX.
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
1) UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
2) PP No 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Pada
Mahkamah Agung
4. PP/UU tentang aborsI, bayi tabung dan Adopsi
1) Aborsi
a. Aborsi Di Indonesia diatur oleh:
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) - dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar
hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan - dalam kondisi
tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi). Sampai dengan saat
ini masih diterapkan.
Keuntungan:
Undang-undang (KUHP) dibuat pada jaman Belanda untuk menyelamatkan
ibu dari kematian akibat tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih
(dukun).
8
9. ETIKA KESEHATAN
Kerugian:
Aborsi masih dianggap sebagai tindakan kriminal, padahal aborsi bisa
dilakukan secara aman (safe abortion).
UU Kesehatan dibuat untuk memperbaiki KUHP, tapi memuat definisi aborsi
yang salah sehingga pemberi pelayanan (dokter) merupakan satu-satunya
yang dihukum.
Pada KUHP, baik pemberi pelayanan (dokter), pencari
pelayanan (ibu), dan yang membantu mendapatkan pelayanan, dinyatakan
bersalah.
Akibat aborsi dilarang, angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia
menjadi tinggi karena ibu mencari pelayanan pada tenaga tak terlatih
b. Aborsi seharusnya:
Dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan dokter umum yang ditunjuk dan
terlatih (bersertifikat)
Keuntungan:
Aborsi bisa dilakukan secara aman (safe abortion).
Kerugian:
Profesi lain selain dokter yang ditunjuk dan tersertifikasi, tidak diperkenankan
untuk memberikan pelayanan aborsi
Dilakukan di rumah sakit atau klinik yang ditunjuk.
Keuntungan:
Aborsi dapat dilakukan secara lebih aman, karena rumah sakit dan klinik yang
ditunjuk akan dimonitor keamanan dan kualitasnya.
Kerugian:
Fasilitas kesehatan yang tidak ditunjuk pemerintah, dilarang memberikan
pelayanan aborsi
Rumah sakit dan klinik yang ditunjuk, hanya diijinkan memberikan
pelayanan aborsi pada perempuan dengan usia
kehamilan tidak lebih dari
usia kehamilan yang ditentukan.
Disetujui oleh sekurang-kurangnya seorang konselor dan seorang dokter yang
ditunjuk, atau oleh seorang dokter bila dalam keadaan darurat (emergency).
Keuntungan :
Kerahasiaan pasien terjamin
Pasien mendapatkan pertolongan sesegera mungkin
9
10. ETIKA KESEHATAN
Pasien diberikan konseling, sebelum mendapatkan pelayanan medis.
Kerugian :
Keputusan aborsi ditentukan oleh satu konselor dan satu dokter
Terjadi penundaan bagi perempuan untuk mendapatkan pelayanan aborsi
aman
Dokter merasa lebih berwenang dibandingkan konselor
Dokter yang ditunjuk harus menjaga kode etik kedokteran
Dokter dibolehkan untuk tidak menuliskan alasan penolakan memberikan
pelayanan aborsi kepada pasien
Dokter bisa menolak untuk memberikan pelayanan aborsi kepada pasiennya
Tantangan dari kelompok konselor dan dokter anti aborsi.
c. Tindak aborsi dibolehkan dalam kondisi perempuan sebagai berikut:
a) Usia kandungan tidak lebih dari 12 minggu dan hasil diagnosis menunjukkan
munculnya risiko lebih besar pada pasien (perempuan) bila kehamilan
dilanjutkan, seperti gangguan mental, fisik dan psikososial
b) Ancaman gangguan/cacat mental permanen pasien (perempuan)
c) Membahayakan jiwa pasien (perempuan) jika kehamilan dilanjutkan
d) Risiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan menderita cacat
fisik/mental yang serius.
Penjelasan Kondisi
a) Risiko gangguan fisik, mental dan psikososial perempuan: batas toleransi usia
kehamilan 12 minggu
Keuntungan:
Penafsiran konselor dan/atau dokter bahwa dengan melanjutkan kehamilan
pasien akan mengalami gangguan kesehatan fisik, mental dan psikososial.
Kerugian:
Hukum dapat ditafsirkan secara kaku oleh sebagian dokter dan/atau konselor
untuk tidak mengijinkan tindak aborsi tanpa adanya bukti-bukti riwayat sakit
fisik dan mental pasien.
b) Risiko cacat fisik dan mental pasien (perempuan) yang permanen: tidak ada
batasan usia kehamilan
Keuntungan:
10
11. ETIKA KESEHATAN
Dalam kondisi pasien terancam cacat fisik dan mental secara permanen,
perempuan dengan usia kehamilan di atas 12 minggu dibolehkan
mendapatkan pelayanan aborsi.
Kerugian:
Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter
c) Mengancam jiwa pasien: tidak ada batasan usia kehamilan
Keuntungan:
Disetujui/didukung oleh banyak orang
Kerugian:
Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter
d) Janin tidak normal: tidak ada batasan usia kehamilan
Keuntungan:
Dalam kondisi janin tidak normal, perempuan dengan usia kehamilan di atas
12 minggu dibolehkan melakukan aborsi.
Kerugian:
Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter mengenai definisi/kriteria
cacat serius
Aborsi dianggap ilegal bila janin ternyata tidak cacat
Aborsi dianggap ilegal bila keputusan diambil berdasarkan pertimbangan
jender.
2) Bayi Tabung
Program bayi tabung dari satu sisi memang cukup membantu pasangan suami
isteri (pasutri) yang mengalami gangguan kesuburan dan ingin mendapatkan
keturunan.Namun di sisi yang lain, hukum bayi tabung akhirnya menuai pro dan
kontra dari sejumlah pihak.Khususnya reaksi dari para alim ulama yang
mempertanyakan keabsahan hukum bayi tabung jika dinilai dari sudut agama.
Berdasarkan fatwa MUI, hukum bayi tabung sah (diperbolehkan) dengan syarat
sperma dan ovum yang digunakan berasal dari pasutri yang sah.Sebab hal itu
termasuk dalam ranah ikhtiar (usaha) yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
MUI juga menegaskan, hukum bayi tabung menjadi haram jika hasil pembuahan
sperma dan sel telur pasutri dititipkan di rahim wanita lain. Demikian pula ketika
menggunakan sperma yang telah dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
11
12. ETIKA KESEHATAN
atau menggunakan sperma dan ovum yang bukan berasal dari pasutri yang sah, maka
hukum bayi tabung dalam hal ini juga haram.
Adapun undang-undang bayi tabung jika dilihat dari sudut pandang hukum
perdata di Indonesia, bisa ditemui dalam Pasal 127 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan. Pasal tersebut mengatur tentang upaya kehamilan yang dilakukan
di luar cara alamiah, yakni hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami isteri yang
sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami isteri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim isteri.
b) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
c) Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu
Dengan demikian status anak tersebut adalah anak sah sehingga ia memiliki
hubungan waris dan keperdataan sebagaimana yang berlaku pada anak kandung.
Namun Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang isteri ketika ia telah
bercerai dari suaminya, maka status anak yang terlahir sah jika anak tersebut lahir
sebelum 300 hari sejak perceraian terjadi. Bila anak terlahir setelah masa 300 hari
sejak perceraian, status anak tidak sah sehingga ia tidak memiliki hubungan
keperdataan apapun dengan mantan suami dari sang ibu (Pasal 255 KUH Perdata).
Undang-undang bayi tabung berdasarkan hukum perdata dapat ditinjau dari
beberapa kondisi berikut ini:
a) Jika sperma berasal dari pendonor dan setelah terjadi embrio diimplantasikan
ke dalam rahim isteri, maka anak yang terlahir statusnya sah dan memiliki
hubungan waris serta keperdataan selama suami menerimanya (Pasal 250
KUH Perdata).
b) Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang telah bersuami, maka
anak yang terlahir statusnya sah dari pasangan penghamil, dan bukan dari
pasangan yang memiliki benih (Pasal 42 UU No. 1/1974 dan Pasal 250 KUH
Perdata)
c) Jika sperma dan sel telur berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan
tetapi embrionya diimplantasikan ke rahim wanita yang terikat perkawinan,
anak yang terlahir statusnya sah bagi pasutri tersebut.
d) Jika embrio diimplantasikan ke rahim gadis, maka status anak yang terlahir
adalah anak di luar nikah.
3) Adopsi
Pengangkatan anak atau bahwa pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata
Barat disebut adopsi. Dalam Kamus Hukum kata adopsi yang berasal dari bahasa
12
13. ETIKA KESEHATAN
latin adoptio diberi arti Pengangkatan anak sebagai anak sendiri, (lihat di Andi
Hamzah, 1986, Kamus Hukum, PT Ghalia, Bandung, halaman 28) Rifyal Ka'bah,
dengan mengutip Blackl's Law Dictionary, mengemukakan bahwa adopsi adalah
penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang
biasanya tidak mempunyai hubungan /keluarga .(lihat dalam Rifyal Ka'bah,
Pengangkatan Anak Dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama ( Artikel dalam Suara UldilagEdisi
Maret 2007 ))
Sebagaimana ketentuan dalam PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak dalam pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa Pengangkatan anak
adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan
kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkat.
DASAR HUKUM
Pengaturan tentang penangkatan anak di atur antara lain di KUHPerdata (Untuk
Golongan Tionghoa dan Timur Asing) dan juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak. Selain dalam pengangkatan anak itu juga perlu diperhatikan
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) nomor 2 tahun 1979 jo SEMA 6 tahun
1983 jo SEMA 4 tahun 1989;
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak membedakan antara Anak angakat
dan anah asuh
Anak angkat (Pasal 1 angka 9) adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan. Pengertian anak angkat sama dengan
pengertian anak angkat dalam PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak dalam pasal 1 angka 1
Anak asuh(Pasal 1 angka 10) adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau
lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan,
dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu
menjamin tumbuh kembang anak secara wajar
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 14) dapat diambil sebuah
prinsip bahwa Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
13
14. ETIKA KESEHATAN
ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pihak Yang Dapat Mengajukan Pengangkatan Anak;
Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak
yaitu:
1. Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan
untuk tidak mempunyai anak;
2. mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam
perkawinan.
Untuk pasangan suami istri Ketentuan mengenai adopsi anak diatur dalam SEMA
No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang
pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan
Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan
izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan
permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun.
Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan
organisasi sosial.
Untuk mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam
perkawinan sebagaimana ketentuan dalam Staatblaad 1917 No. 129 tentang
pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan
pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat
perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan
sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak,
maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Tata cara Pengangkatan Anak
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi
anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan
permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak
yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis,
dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon
sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili
anak yang akan diangkat .
14
15. ETIKA KESEHATAN
Pengangkatan anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yaitu Pasal 39 – 41 jo PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
pasal 6 dapat diambil prinsip-prinsip dalam pengangkatan anak:
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dan orang tua kandungnya. Orang tua angkat wajib memberitahukan
kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
Dan pemberitahuannya haruslah memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan
3. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak
disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
Syarat-Syarat Pengangkatan Ana
Dalam ketentuan PP No 54 Tahun 2007 Pasal 12 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak disebutkan bahwa anak yang hendak dijadikan anak angkat atau di adopsi
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
2. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
3. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
4. memerlukan perlindungan khusus.
Berkaitan umur si anak,ada beberapa pembagain yaitu :
1. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
2. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas)
tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan
3. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
15
16. ETIKA KESEHATAN
Syarat sebagai Calon orang tua angkat harus memenuhi kententuan dalam
ketentuan PP No 54 Tahun 2007 Pasal 13 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
yaitu :
1. sehat jasmani dan rohani;
2. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh
lima) tahun;
3. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
4. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;
5. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
6. tidak merupakan pasangan sejenis;
7. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
8. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
9. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
10. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
11. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
12. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan; dan
13. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
SEMA No 2 tahun 1979 jo SEMA No 6 tahun 1983 jo SEMA No 4 tahun 1989;
permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah
hukummnya meliputi tempat anak yang akan diangkat itu berada.
5. Kepmenkes RI NO. 900/Menkes/SK/VII/2000
sebagaimana telah ditetapkan oleh Kepmenkes RI NO.900/MENKES/2000
tentang Registrasi dan Praktik Bidan pada bab VI pasal 27 mengenai pencatatan dan
pelaporan, yang mana bunyi pasal tersebul ialah :
Pasal 27
Dalam melakukan tugasnya bidan wajib melakukan pencacatan dan pelaporan
sesuai dengan pelayanan yang diberikan.
16
17. ETIKA KESEHATAN
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan ke puskesmasdan
tembusan keepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat
Pencatatan dan peaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam lampiran IV keputusan ini.
B. Permenkes Tentang Registrasi Dan Praktek Bidan
1. Pengertian Bidan
Bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang
berlaku, dicatat (register), diberi izin secara sah untuk menjalankan praktek.
Dengan memperhatikan aspek social budaya dan kondisi masyarakat
indonesia,maka ikatan bidan Indonesia (IBI) menetapkan bahwa bidan Indonesia
adalah : Seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui
pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara republic indonesia serta
memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk deregister, sertifikasi dan atau secara
sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.
2. Pelaporan Dan Registrasi
Permenkes nomor 900/MENKES/SK/VII/2002
Pasal 2
1) Pimpinan penyelenggaraan pendidikan bidan wajib menyampaikan laporan
secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi mengenai peserta
didik yang baru lulus, selambat lambatnya 1 (satu) bulan setelah dinyatakan
lulus.
2) Bentuk dan isi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Formulir I terlampir:
Ketentuan untuk pelaporan peserta didik yang baru lulus ke Dinas Kesehatan
provinsi.
Kewajiban untuk registrasi bagi bidan yang baru lulus.
Penerbitan SIB oleh kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Kewajiban untuk kepemilikan SIB termasuk untuk Bidan luar negeri.
Pembaharuan SIB
Permenkes nomor 1464/MENKES/PER/X/2010
Bidan dapat praktik mandiri atau di fasilitas pelayanan kesehatan
Minimal pendidikan Bidan adalah dIII kebidanan
Kewajiban memiliki SIKB untuk Bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan
Kewajiban memiliki SIPB untuk Bidan yang praktik mandiri
17
18. ETIKA KESEHATAN
Kewajiban memiliki STR, SIKB dan SIPB yang di keluarkan oleh
pemerintah daerah kabupaten/Kota
Kewenangan Bidan untuk hanya menjalankan praktik/ kerja paling banyak 1
tempat kerja dan 1 tempat praktik
Masa berlaku SIKB dan SIPB
Registrasi adalah proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan
terhadap bidan setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar
penampilan minimal yang ditetapkan sehingga secara fisik dan mental mampu
melaksanakan praktik profesinya.
Pasal 3
1) Bidan yang baru lulus mengajukan permohonan dan mengirimkan
kelengkapan registrasi kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dimana
institusi pendidikan berada guna memperoleh SIB selambat-lambatnya 1
(satu) bulan setelah menerima ijazah bidan.
2) Kelengkapan registrasi sebagaimana dimaksud meliputi:
fotokopi Ijazah Bidan;
fotokopi Transkrip Nilai Akademik;
surat keterangan sehat dari dokter;
pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar
3) Bentuk permohonan SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Formulir II terlampir.
Pasal 4
1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri Kesehatan melakukan
registrasi berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
untuk menerbitkan SIB.
2) SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi atas nama Menteri Kesehatan, dalam waktu selambatlambatnya 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima dan berlaku secara
nasional.
3) Bentuk dan isi SIB sebagaimana tercantum dalam Formulir III terlampir.
Pasal 5
1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi harus membuat pembukuan registrasi
mengenai SIB yang telah diterbitkan.
2) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi menyampaikan laporan secara berkala
kepada Menteri Kesehatan melalui Sekretariat Jenderal c.q Kepala Biro
Kepegawaian Departemen Kesehatan dengan tembusan kepada organisasi
profesi mengenai SIB yang telah diterbitkan untuk kemudian secara berkala
akan diterbitkan dalam buku registrasi nasional.
18
19. ETIKA KESEHATAN
Pasal 6
1) Bidan lulusan luar negeri wajib melakukan adaptasi untuk melengkapi
persyaratan mendapatkan SIB.
2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada sarana
pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk pemerintah.
3) Bidan yang telah menyelesaikan adaptasi diberikan surat keterangan selesai
adaptasi oleh pimpinan sarana pendidikan.
4) Untuk melakukan adaptasi bidan mengajukan permohonan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi.
5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan melampirkan:
a. Fotokopi Ijazah yang telah dilegalisir oleh Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi;
b. Fotokopi Transkrip Nilai Akademik yang bersangkutan.
6) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi berdasarkan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) menerbitkan rekomendasi untuk melaksanakan
adaptasi.
7) Bidan yang telah melaksanakan adaptasi, berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4.
8) Bentuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagaimana
tercantum dalam Formulir IV terlampir.
Pasal 7
1) SIB berlaku selama 5 Tahun dan dapat diperbaharui serta merupakan dasar
untuk menerbitkan SIPB.
2) Perbaharuan SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dimana bidan praktik dengan melampirkan
antara lain:
a. SIB yang telah habis masa berlakunya
b. Surat Keterangan sehat dari dokter
c. Pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar
3. Masa bakti
Masa bakti bidan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
4. Praktek Bidan
Pasal 14
Bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan pelayanan
yang meliputi :
a. pelayanan kebidanan;
19
20. ETIKA KESEHATAN
b. pelayanan keluarga berencana;
c. pelayanan kesehatan masyarakat.
Pasal 15
1) Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a
ditujukan kepada ibu dan anak.
2) Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pranikah, prahamil, masa
kehamilan, masa persalinan, masa nifas, menyusui dan masa antara (periode
interval).
3) Pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru lahir, masa
bayi, masa anak balita dan masa pra sekolah.
5. Wewenang Bidan
Kepmenkes 900 tahun 2002
Pasal 14
Bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan pelayanan
yang meliputi:
a. pelayanan kebidanan
b.
pelayanan keluarga berencana
c. pelayanan kesehatan masyarakat
pasal 15
a. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a
ditujukan kepada ibu dan anak.
b. Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pranikah, prahamil, masa
kehamilan, masa persalinan, masa nifas, menyusui, dan masa antara (periode
interval).
c.
Pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru lahir, masa
bayi, masa anak balita dan masa pra sekolah.
Pasal 16
Pelayanan kebidanan kepada ibu meliputi:
a. penyuluhan dan konseling
b.
pemeriksaan fisik
c. pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d.
pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan
abortus iminens, hiperemesis gravidarum tingkat I, preeklamsi ringan dan
anemi ringan
e.
pertolongan persalinan normal
f.
pertolongan persalinan abnormal, yang mencakup letak sungsang, partus
macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi,
20
21. ETIKA KESEHATAN
perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri
primer, post term dan preterm
g. pelayanan ibu nifas normal
h. pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup ratensio plasenta, renjatan, dan
infeksi ringan
i. pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,
perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
a. pemeriksaan bayi baru lahir
b. perawatan tali pusat
c. perawatan bayi
d.
resusitasi pada bayi baru lahir
e. pemantauan tumbuh kembang anak
f.
pemberian imunisasi
g. pemberian penyuluhan.
Pasal 17
Dalam keadaan tidak terdapat dokter yang berwenang pada wilayah tersebut, bidan
dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu dan anak
sesuai dengan kemampuannya.
Pasal 18
Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaskud dalam Pasal 16
berwenang untuk :
a. memberikan imunisasi
b. memberikan suntikan pada penyulit kehamilan, persalinan, dan nifas
c. mengeluarkan placenta secara manual
d. bimbingan senam hamil
e. pengeluaran sisa jaringan konsepsi
f. episiotomy
g. penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat II
h. amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
i. pemberian infuse
j. pemberian suntikan intramuskuler uterotonika, antibiotika, dan sedative
k. kompresi bimanual
l. versi ekstraksi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
m. vacum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
n. pengendalian anemi
21
22. ETIKA KESEHATAN
o. meningkatkan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
p. resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
q. penanganan hipotermi
r. pemberian minum dengan sonde/pipet
s. pemberian obat-obat terbatas, melalui lembaran permintaan obat sesuai
dengan Formulir VI terlampir
t. pemberian surat keterangan kelahiran dan kematian.
Pasal 19
Bidan dalam memberikan pelayanan keluarga berencana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 14 huruf b berwenang untuk:
a. memberikan obat dan alat kontrasepsi oral, suntikan, dan alat kontrasepsi
dalam rahim, alat kontrasepsi bawah kulit dan kondom
b. memberikan penyuluhan/konseling pemakaian kontrasepsi
c. melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam Rahim
d. melakukan pencabutan alat kontrasepsi bawah kulit tanpa penyulit
e. memberikan konseling untuk pelayanan kebidanan, keluarga berencana dan
kesehatan masyarakat.
Pasal 20
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan, masyarakat sebagaimana
dimaskud dalam pasal 14 huruf c berwenang untuk :
a. pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan anak
b. memantau tumbuh kembang anak
c. melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
d. melaksanakan deteksi dini, melaksanakan petolongan pertama, merujuk dan
memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS), penyalahgunaan
Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit
lainnya.
Pasal 21
a. Dalam keadaan darurat bidan berwenang melakukan pelayanan kebidanan
selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14.
b. Pelayanan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
ditujukan
untuk
penyelamatan jiwa.
6. Pencatatan dan pelaporan
Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010
Sebagaimana telah ditetapkan oleh Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010 tentang
izin dan penyelenggaraan praktik bidan pada bab VI pasal 20 mengenai pencatatan
dan pelaporan. Yang mana bunyi pasal tersebut ialah :
22
23. ETIKA KESEHATAN
Pasal 20
1) Dalam melakukan tugasnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan
sesuai dengan pelayanan yang diberikan.
2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan ke Puskesmas
wilayah tempat praktik.
3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk bidan
yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.
Kepmenkes RI NO. 900/Menkes/2002
Sebagaimana telah ditetapkan oleh Kepmenkes RI NO.900/MENKES/2002
tentang Registrasi dan Praktik Bidan pada bab VI pasal 27 mengenai pencatatan dan
pelaporan yang mana bunyi pasal tersebut ialah :
Pasal 27
1) Dalam melakukan tugasnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan
sesuai dengan pelayanan yang diberikan.
2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan ke puskesmas dan
tembusan ke kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat
3) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam lampiran IV keputusan ini.
7. Pembinaan dan pengawasan
Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010
Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktek
bidan pada Bab V pasal 20 sampai pasal 24 mengenai pembimbingan dan
pengawasan. Yang mana bunyi pasal tersebut ialah :
Pasal 20
1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan
dan mengikutsertakan organisasi profesi.
2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan
untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi
masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya
bagi kesehatan.
Pasal 21
1) Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota
melakukan pembinaan dan pengawasan dengan mengikut sertakan Majelis
Tenaga Kesehatan Indonesia, Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi, organisasi
profesi dan asosiasi institusi pendidikan yang bersangkutan.
2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan
untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi
23
24. ETIKA KESEHATAN
masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya
bagi kesehatan.
3) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota harus melaksanakan pembinaan
dan pengawasan penyelenggaraan praktik bidan.
4) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten / Kota harus membuat pemetaan tenaga bidan praktik
mandiri dan bidan di desa serta menetapkan dokter puskesmas terdekat untuk
pelaksanaan tugas supervise terhadap bidan di wilayah tersebut.
Pasal 22
Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan wajib melaporkan bidan yang bekerja dan
yang berhenti bekerja di fasilitas pelayanan kesehatannya pada tiap triwulan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan tembusan kepada organisasi
profesi.
Pasal 23
1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten /
kota dapat memberikan tindakan administrative kepada bidan yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini.
2) Tindakan administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pencabutan SIKB / SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun
d.
Pencabutan SIKB / SIPB selamanya.
Pasal 24
1) Pemerintah daerah kabupaten / kota dapat memberikan sanksi berupa
rekomendasi pencabutan surat izin / STR kepada kepala dinas kesehatan
provinsi / majelis tenaga kesehatan Indonesia ( MTKI ) terhadap bidan yang
melakukan praktek tanpa memiliki SIPB atau kerja tanpa memiliki SIKB
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat ( 1 ) dan ( 2 )
2) Pemerintah daerah kabupaten / kota dapat mengenakan sanksi teguranlisan,
teguran sementara / tetap kepada pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang
mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai SIKB.
8. Ketentuan Pidana
a. Kepmenkes RI NO.900/MENKES/SK/VII/2002
24
25. ETIKA KESEHATAN
Kepmenkes RI NO. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan
pada Bab IX pasal 42 sampai pasal 44 mengenai ketentuan pidana yang mana bunyi
pasal tersebul ialah :
Pasal 42
Bidan yang dengan sengaja :
1) Melakukan praktik kebidanan tanpa mendapat pengakuan / adaptasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan/atau
2) Melakukan praktik kebidanan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
3) Melakukan praktik kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ayat (2); dipidana sesuai ketentuan Pasal 35
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Pasal 43
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang tidak melaporkan bidan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 dan/atau mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai izin
praktik dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Pasal 44
1) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
Bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam
keputusan ini dapat dikenakan tindakan disiplin berupa teguran lisan, teguran
tertulis sampai dengan pencabutan izin.
2) Pengambilan tindakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. Ketentuan peralihan tentang surat tugas dan izin praktek
Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010
tentang izin dan penyelenggaraan praktek bidan pada Bab VI pasal 25 sampai
pasal 28 mengenai ketentuan peralihan tentang surat penugasan dan ijin
praktek. Yang mana bunyi pasal tersebul ialah :
Pasal 25
1) Bidan yang telah mempunyai SIPB berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor
900 / Menkes / SK/VII/2002 tentang Registrasi dan
Praktik
dan
Bidan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
HK.02.02/Menkes/149/1/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan dinyatakan telah memiliki SIPB berdasarkan Peraturan ini sampai
dengan masa berlakunya berakhir.
25
26. ETIKA KESEHATAN
2) Bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperbaharui SIPB
apabila Surat Izin Bidan yang bersangkutan telah habis jangka waktunya
berdasarkan peraturan ini.
Pasal 26
Apabila Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan Majelis Tenaga
Kesehatan Provinsi (MTKP) belum dibentuk dan / atau belum dapat
melaksanakan tugasnya.Maka registrasi bidan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002
tentang Registrasi dan Praktik Bidan.
Pasal 27
Bidan yang telah melaksanakan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan sebelum
ditetapkan peraturan ini harus memiliki SIKB berdasarkan peraturan ini paling
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak peraturan ini ditetapkan.
Pasal 28
Bidan yang berpendidikan di bawah Diploma III (D III) Kebidanan yang
menjalankan praktik mandiri harus menyesuaikan dengan ketentuan peraturan
ini selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak peraturan ini ditetapkan.
C. Peran Dan Fungsi Majelis Pertimbangan Kode Etik
Dasar penyusunan Majelis pertimbangan etik profesi adalah majelis pembinaan
dan pengawasan etik pelayanan medis (MP2EPM) yang meliputi:
1) Kepmenkes RI No. 554/Menkes/Per/XII/1982Memberikan pertimbangan,
pembinaan dan melaksanakan pengawasan terhadap semua profesi tenaga
kesehatan dan sarana pelayanan medis.
2) Peraturan
pemerintah
No.
1Tahun
1988
Bab
V
Pasal
11
Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi, dan tenaga
kesehatan dalam menjalankan profesinya dilakukan oleh Menteri Kesehatan
atau pejabat yang ditunjuk.
a. Fungsi majelis pertimbangan
Tugas dan wewenang MP2EPM wilayah provinsi menurut peraturan Menkes RI
No. 640/Menkes/Per/X/1991 dalam buku Sholeh Soeaidy, S.H yang berjudul
Himpunan Peraturan Kesehatan.
1. MP2EPM Propinsi bertugas :
a) Menerima dan memberi pertimbangan tentang persoalan dalam bidang etik
profesi tenaga kesehatan di wilayahnya kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan Provinsi.
b) Mengawasi pelaksanaan kode etik profesi tenaga kesehatan dalam
wilayahnya.
26
27. ETIKA KESEHATAN
c) Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain
yang berkaitan pada tingkat provinsi.
d) Memberi nasehat kepada para anggota profesi tenaga kesehatan .
e) Membina, mengembangkan dan mengawasi secara aktif kode etik profesi
tenaga kesehatan dalam wilayahnya bekerja sama dengan Ikatan Dokter
Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat nasional
Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia,
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.
f) Memberi pertimbangan dan saran kepada pejabat yang berwenang di bidang
kesehatan dalam wilayah provinsi.
2. MP2EPM wilayah Pusat Bertugas :
a) Memberi pertimbangan tentang etik dan standar profesi tenaga kesehatan
kepada menteri.
b) Membina, mengembangkan dan mengawasi secara aktif pelaksanaan kode
etik Kedokteran Indonesia, Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia, Kode Etik
Perawat Indonesia, Kode Etik Bidan Indonesia, Kode Etik sarjana Farmasi
Indonesia dan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia.
c) Memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang
kesehatan dan hukum yang menyangkut kesehatan dan kedokteran.
d) Menyelesaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh MP2EPM
Propinsi.
e) Menerima rujukan dalam menangani permasalahan pelanggaran etik profesi
tenaga kesehatan.
f) Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain
yang berkaitan.
b. Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
Dalam buku Heny Puji Wahyuningsih dituliskan:
a) Dasar pembentukan majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) adalah
sebagai berikut :
1) Pasal 4 ayat 1 UUD 1945.
2) Undang – undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
3) Keputusan Presiden Tahun 1995 tentang pembentukan MDTK.
b) Tugas Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) adalah meneliti dan
menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan
standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan.
c. Majelis Etika Profesi Bidan
27
28. ETIKA KESEHATAN
Pengertian majelis etika profesi bidan adalah merupakan badan perlindungan
hukum terhadap para bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien akibat
pelayanan
yang
diberikan
dan
tidak
melakukan
indikasi
penyimpangan
hukum.Realisasi majelis etika bidan (MPEB) dan majelis pembelaan anggota (MPA).
Latar belakang dibentuknya majelis pertimbangan etika bidan atau MPEB adalah
adanya unsur-unsur pihak-pihak terkait:
1) Pemeriksa pelayanan untuk pasien
2) Sarana pelayanan kesehatan
3) Tenaga pemberi pelayanan, yaitu bidan
Pelaksanaan tugas bidan dibatasi oleh norma, etika, dan agama. Tetapi apabila
ada kesalahan dan menimbulkan konflik etik, maka diperlukan wadah untuk
menentukan standar profesi, prosedur yang baku dan kode etik yang disepakati, maka
perlu dibentuk majelis etik bidan, yaitu MPEB dan MPA.
Tujuan dibentuknya majelis etika bidan adalah untuk memberikan perlindungan
yang seimbang dan objektif kepada bidan dan penerima pelayanan.
Lingkup majelis etik kebidanan meliputi:
a. Melakukan peningkatan fungsi pengetahuan sesuai standar profesi pelayanan
bidan (Kepmenkes No. 900/Menkes/SK/VII/Tahun 2002).
b. Melakukan supervisi lapangan, termasuk tentang teknis, dan pelaksanaan
praktik, termasuk penyimpangan yang terjadi. Apakah pelaksanaan praktik
bidan sesuai dengan standar praktik bidan, standar profesi dan standar
pelayanan kebidanan, juga batas-batas kewenangan bidan.
c. Membuat pertimbangan bila terjadi kasus-kasus dalam praktik kebidanan.
d. Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang hukum kesehatan, khususnya
yang berkaitan atau melandasi praktik bidan.
Pengorganisasian majelis etik kebidanan, adalah sebagai berikut:
a. Majelis etik kebidanan merupakan lembaga organisasi yang mandiri, otonom,
dan non struktural.
b. Majelis etik kebidanan dibentuk ditingkat propinsi atau pusat.
c. Majelis kebidanan pusat berkedudukan di ibukota negara dan majelis etik
kebidanan propinsi berkedudukan di ibu kota propinsi.
d. Majelis etik kebidanan pusat dan propinsi dibantu oleh sekretaris
e. Jumlah anggota masing-masing terdiri dari lima orang
f. Masa bakti anggota majelis etik kebidanan selama tiga tahun dan sesudahnya,
jika berdasarkan evaluasi masih memenuhi ketentuan yang berlaku, maka
anggota tersebut dapat dipilih kembali.
28
29. ETIKA KESEHATAN
g. Anggota majelis etik kebidanan diangkat dan diberhentikan oleh menteri
kesehatan.
h. Susunan organisasi majelis etik kebidanan terdiri dari:
1) Ketua dengan kualifikasi mempunyai kompetensi tambahan di bidang
hokum
2) Sekretaris merangkap anggota
3) Anggota majelis etik bidan
Tugas majelis etik kebidanan, adalah meliputi:
a. Meneliti dan menentukan ada dan tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam
menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh bidan.
b. Penilaian didasarkan atas permintaan pejabat, pasien, dan keluarga yang
dirugikan oleh pelayanan kebidanan
c. Permohonan secara tertulis dan disertai data-data
d. Keputusan tingkat propinsi bersifat final dan bisa konsul ke majelis etik
kebidanan pada tingkat pusat
e. Sidang majelis etik kebidanan paling lambat 7 hari, setelah diterima
pengaduan. Pelaksanaan sidang menghadirkan dan minta keterangan dari
bidan dan saksi-saksi.
f. Keputusan paling lambat 60 hari dan kemudian disampaikan secara tertulis
kepada pejabat yang berwenang.
g. Biaya dibebankan pada anggaran pimpinan pusat IBI atau pimpinan daerah
IBI di tingkat propinsi.
Dalam pelaksanaannya di lapangan sekarang ini bahwa organisasi profesi bidan
IBI, telah melantik MPEB (majelis pertimbangan etika bidan) dan MPA (majelis
peradilan profesi, namun dalam pelaksanaannya belum terealisasi dengan baik.
Peran dan fungsi Majelis Pertimbangan Etik Profesi
Peran dan fungsi Majelis Pertimbangan Etika Profesi adalah Majelis Pembinaan
dan Pengawasan Etik Pelayanan Medis (MP2EPM), yang meliputi :
1. Kepmenkes RI no. 554/Menkes/Per XII/1982.
Memberikan pertimbangan, pembinaan dan melaksanakan pengawasan terhadap
semua profesi tenaga kesehatan dan sarana pelayanan medis.
2. Peraturan Pemerintah Ni. 1 Tahun 1988 BabV Pasal 11.
Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan
dalam menjalankan profesinya dilakukan oleh Menteri Kesehatan atau Pejabat yang
ditujukan.
29
30. ETIKA KESEHATAN
3. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No, 640/Menkes/Per/X 1991, Tetang
Pembentukan MP2EPM.
Dasar Majelus Disiplin Tenaga kesehatan (MDTK), adalah sebagai berikut :
1) Pasal 4 ayat 1 UUD 1945
2) Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
3) Keputusan Presiden Tahun1995 tentang pembentukan MDTK
Tugas Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) adalah meneliti dan
menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar
profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan.
a. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Pusat
b. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Propinsi
c. Majelis Etika Profesi Bidan
d. Badan Konsil Kebidanan
D. Hubungan Standar Praktek Kebidanan (SPK) Dengan Hukum/
Perundang-Undangan
A. Defenisi Bidan
Pengertian BidanDalam bahasa inggris, kata Midwife (Bidan) berarti “with
woman”(bersama wanita,mid= together, wife = a woman. Dalam bahasa Perancis,
sage femme (Bidan) berarti “wanita bijaksana”,sedangkan dalam bahasa latin, cummater (Bidan) bearti ”berkaitandengan wanita”. Bidan adalah ” a health worker who
may or may not formally trainedand is a physician, that delivers babies and provides
associated maternal care”(seorang petugas kesehatan yang terlatih secara formal
ataupun tidak dan bukan seorang dokter, yang membantu pelahiran bayi serta
memberi perawatan maternalterkait).
Menurut Churchill Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan
bidan, yang terakreditasi, memenuhi kualifikasi untuk diregister,sertifikasi dan atau
secara sah mendapat lisensi untuk praktek kebidanan. Yang diakui sebagai seorang
profesional yang bertanggung jawab, bermitra dengan perempuan dalam memberikan
dukungan, asuhandan nasehat yang diperlukan selama kehamilan, persalinan dan
nifas, memfasilitasi kelahiran atas tanggung jawabnya sendiri serta memberikan
asuhan kepada bayi baru lahir dan anak. Bidan adalah seorang wanita yang telah
mengikuti program pendidikan bidan dan lulus ujian sesuai persyaratan yang berlaku.
Menurut KEPMENKES NOMOR 900/ MENKES/SK/ VII/2002 bab I pasal 1, Bidan
adalah seseorang yang telah diakui secara regular dalam program pendidikan
kebidanan sebagaimana yang telah diakui skala yuridis, dimana ia di tempatkan dan
30
31. ETIKA KESEHATAN
telah menyelesaikan pendidikan kebidanan dan memperoleh izin melaksanakan
praktek kebidanan.
Menurut WHO Bidan adalah seseorang yang telahmenyelesaikan pendidikan bidan
yang diakui oleh negara serta memperolehkualifikasi dan diberi izin untuk
melaksanakan
praktekkebidanan
di
negara
itu.(INTERNATIONAL
CONFEDERATION of MIDWIFE).
STANDAR PELAYANAN KEBIDANAN (SPK)
Definisi
Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) adalah rumusan tentang penampilan atau nilai
diinginkan yang mampu dicapai, berkaitan dengan parameter yang telah ditetapkan
yaitu standar pelayanan kebidanan yang menjadi tanggung jawab profesi bidan dalam
sistem pelayanan yang bertujuan untuk meningkatan kesehatan ibu dan anak dalam
rangka mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat (Depkes RI, 2001: 53).
Manfaat Standar Pelayanan Kebidanan
Standar pelayanan kebidanan mempunyai beberapa manfaat sebagai berikut:
1. Standar pelayanan berguna dalam penerapan norma tingkat kinerja yang
diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan
2. Melindungi masyarakat
3. Sebagai pelaksanaan, pemeliharaan, dan penelitian kualitas pelayanan
4. Untuk menentukan kompetisi yang diperlukan bidan dalam menjalankan
praktek sehari-hari.
5. Sebagai dasar untuk menilai pelayanan, menyusun rencana pelatihan dan
pengembangan pendidikan (Depkes RI, 2001:2)
Format Standar Pelayanan Kebidanan
Dalam membahas tiap standar pelayanan kebidanan digunakan format bahasan
sebagai berikut:
1. Tujuan merupakan tujuan standar
2. Pernyataan standar berisi pernyataan tentang pelayanan kebidanan yang
dilakukan, dengan penjelasan tingkat kompetensi yang diharapkan.
3. Hasil yang akan dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam
bentuk yang dapat diatur.
31
32. ETIKA KESEHATAN
4. Prasyarat yang diperlukan (misalnya, alat, obat, ketrampilan) agar pelaksana
pelayanan dapat menerapkan standar.
5. Proses yang berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan
standar (Depkes RI, 2001:2).
Dasar hukum penerapan SPK adalah:
1. Undang-undang kesehatan Nomor 23 tahun 1992
Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomer 23 tahum 1992 kewajiban tenaga
kesehatan adalah mematuhi standar profesi tenaga kesehatan, menghormati hak
pasien, menjaga kerahasiaan identitas dan kesehatan pasien, memberikan informasi
dan meminta persetujuan (Informed consent), dan membuat serta memelihara rekam
medik.
Standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang harus dipergunakan oleh
tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik.
Hak tenaga kesehatan adalah memperoleh perlindungan hukum melakukan tugasnya
sesuai dengan profesi tenaga kesehatan serta mendapat penghargaan.
2. Pertemuan Program Safe Motherhood dari negara-negara di wilayah
SEARO/Asia tenggara tahun 1995 tentang SPK
Pada pertemuan ini disepakati bahwa kualitas pelayanan kebidanan yang diberikan
kepada setiap ibu yang memerlukannya perlu diupayakan agar memenuhi standar
tertentu agar aman dan efektif. Sebagai tindak lanjutnya, WHO SEARO
mengembangkan Standar Pelayanan Kebidanan.Standar ini kemudian diadaptasikan
untuk pemakaian di Indonesia, khususnya untuk tingkat pelayanan dasar, sebagai
acuan pelayanan di tingkat masyarakat.Standar ini diberlakukan bagi semua
pelaksana kebidanan.
3. Pertemuan Program tingkat propinsi DIY tentang penerapan SPK 1999
Bidan sebagai tenaga profesional merupakan ujung tombak dalam pemeriksaan
kehamilan seharusnya sesuai dengan prosedur standar pelayanan kebidanan yang
telah ada yang telah tertulis dan ditetapkan sesuai dengan kondisi di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (Dinkes DIY, 1999).
4. Keputusan Mentri Kesehatan RI Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang
registrasi dan praktek bidan. Pada BAB I yaitu tentang KETENTUAN
UMUM pasal 1 ayat 6 yang berbunyi Standar profesi adalah pedoman yang
harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam melaksanakan profesi secara baik.
32
33. ETIKA KESEHATAN
Pelayanan kebidanan yang bermutu adalah pelayanan kebidanan yang dapat
memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kebidanan serta penyelenggaraannya
sesuai kode etik dan standar pelayanan pofesi yang telah ditetapkan. Standar profesi
pada dasarnya merupakan kesepakatan antar anggota profesi sendiri, sehingga
bersifat wajib menjadi pedoman dalam pelaksanaan setiap kegiatan profesi (Heni dan
Asmar, 2005:29)
Standar outcome
Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan
profesional terhadap klien
Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif
maupun negatif.
Outcome jangka pendek adalah hasil dari segala suatu tindakan tertentu atau
prosedur tertentu.
Outcome jangka panjang adalah status kesehatan dan kemampuan fungsional
klien
E. Aplikasi Etika Dalam Praktek Kebidanan
A. Defenisi Kode Etik
Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh
setiap anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya
dan dalam hidupnya di masyarakat.
Kode etik profesi merupakan "suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang
memberikan tuntunan bagi angotanya untuk melaksanakan praktik dalam bidang
profesinya baik yangberhubungan dengan klien /pasien, keluarga, masyarakat, teman
sejawat, profesi dan dirinya sendin". Namun dikatakan bahwa kode etik pada zaman
dimana nilai–nilai perada ban semakin kompleks, kode etik tidak dapat lagi dipakai
sebagai pegangan satu–satunya dalam menyelesaikan masalah etik, untuk itu
dibutuhkan juga suatu pengetahuan yang berhubungan dengan hukum. Benar atau
salah pada penerapan kode etik, ketentuan/nilai moral yang berlaku terpulang kepada
profesi.
B. TUJUAN KODE ETIK
Pada dasarnya tujuan menciptakan atau merumuskan kode etik suatu profesi adalah
untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi.
Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai berikut:
1) Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi
33
34. ETIKA KESEHATAN
Dalam hal ini yang dijaga adalah image dad pihak luar atau masyarakat mencegah
orang luar memandang rendah atau remeh suatu profesi. Oleh karena itu, setiap
kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan
anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi
ini kode etik juga disebutkode kehormatan.
2) Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggota
Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual atau
mental.Dalam hal kesejahteraan materil angota profesi kode etik umumnya
menerapkan larangan-larangan bagi anggotanya untuk melakukan perbuatan yang
merugikan kesejahteraan.Kode etik juga menciptakan peraturan-peraturan yang
ditujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para
anggota profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi.
3) Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi tertentu, sehingga para
anggota
profesi
dapat
dengan
mudah
mengetahui
tugas
dan
tanggung
jawab pengabdian profesinya.Oleh karena itu kode etik merumuskan ketentuanketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan
tugasnya.
4) Untuk meningkatkan mutu profesi
Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar profesi selalu
berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya.
Selain itu kodeetik juga mengatur bagaimana cara memelihara dan meningkatkan
mutu organisasi profesi.
Dimensi Kode Etik
a. Anggota profesi dan Klien/ Pasien.
b. Anggota profesi dan sistem kesehatan.
c. Anggota profesi dan profesi kesehatan
d. Anggota profesi dan sesama anggota profesi
Prinsip Kode Etik
a. Menghargai otonomi
b. Melakukan tindakan yang benar
c.
Mencegah tindakan yang dapat merugikan.
d. Memberlakukan manisia dengan adil.
e. Menjelaskan dengan benar.
f. Menepati janji yang telah disepakati.
g. Menjaga kerahasiaan
34
35. ETIKA KESEHATAN
Penetapan Kode Etik
Kode
etik
hanya
dapat
ditetapkan
oleh
organisasi
untuk
anggotanya.Penetapan kode etik IBI harus dilakukan dalam kongres IBI.
35
para
36. ETIKA KESEHATAN
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Majelis etika profesi merupakan badan perlindungan hokum terhadap para bidan.Oleh
sebab itu, segala aspek yang menyangkut tindakan atau pelayanan yang dilakukan
bidan telah diatur dalam undang-undang dan hokum terkait.
Bidan merupakan profesi yang mempunyai tanggung jawab yang besar dimana
keselamatan ibu dan bayinya tergantung dari kesiapan dan profesionalisme kerja
seorang bidan.Diharapkan dengan adanya kode etik profesi, bidan mampu
mengetahui batas-batas dari wewenang sebagai tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
Ada pun pelanggaran etik yang mungkin dilakukan oleh bidan, maka tugas majelis
etika profesi yang menyelesaikannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
B. Saran
Setiap bidan harus menjunjung tinggi norma dan etika profesi yang diembannya agar
hal-hal yang menyimpang dari tugas dan wewenang bidan tidak terjadi serta bidan
berupaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat sehingga dapat
mewujudkan masyarakat yang sehat
36
37. ETIKA KESEHATAN
DAFTAR PUSTAKA
Depkes, 2007, Keputusan Menteri Kesehatan RI Tentang Standar Profesi Bidan,
Pengurus Pusat IBI, Jakarta.
Depkes, 2003, Standar Profesi Kebidanan, IBI, Jakarta Saifuddin B.A., 2003, Buku
Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepasi, YBP-SP, Jakarta.
Sofyan,Mustika.50 tahun Ikatan Bidan Indonesia.2001.Pengurus Pusat IBI
Soeiady,Sholeh.1996.Himpunan Peraturan Kesehatan.Arcan:Jakarta
Soepardan S., 2008, Etika Kebidanan Dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta.
Wahyunigsih,Heni
Puji.2005.Etika
Profesi
Bidan.EGC:Jakarta
http://armanjd.Wordpress.Com/2006/03/17/sulit-mendapatkan-anak-kedua-andamungkin- korban-malpraktek diakses tanggal 13 April 2009.
37