Dokumen ini membahas sejarah Pulau Muna di Sulawesi Tenggara berdasarkan cerita rakyat dan penelitian. Gua Liang Kubori mengandung gambar prasejarah yang dipercaya sebagai cikal bakal penduduk Muna. Suku Muna terkait dengan suku-suku tua Sulawesi lainnya. Kerajaan Muna berkembang pada abad ke-16 di bawah Raja Lakilaponto, dengan pembangunan kota dan benteng pertahanan serta masjid
1. Cerita tentang kota raha / pulau muna
Sejarah pulau Muna yg terdapat dari ukiran Goa Liang Kubori
Liang Kubori - Gua zaman prasejarah yang berisi coretan dinding dari tanah
liat. Menurut juru kunci gua itu, La Hada, ada 130 gambar dalam gua itu. Ada
kepercayaan, manusia yang tinggal di gua ini adalah cikal-bakal penduduk di
Pulau Muna.
Cerita tentang kehidupan masyarakat Muna pada zaman dahulu masih belum
hilang dari ingatan-ingatan orang tua di pulau itu. Seorang warga Kontu yang
biasa dipanggil La Bani menyampaikan cerita-cerita orang tua dahulu kala
hingga tradisi yang masih digunakan saat ini.
Menurut La Bani masih ada keterkaitan penduduk asli Muna dengan suku-suku
tua Sulawesi, seperti Toraja, Tolaki, dan Tomuna, yang pertama-tama mendiami
wilayah Sulawesi. Salah satu bukti yang masih ditemui adalah coretan-coretan
gambar di kompleks gua Liang Kubori yang berjarak sekitar 15 kilometer dari
Kota Raha. Coretan-coretan di dinding gua itu berbentuk binatang dan bentuk
orang yang sedang naik binatang. Merekalah yang dipercaya sebagai penduduk
asli Pulau Muna yang selanjutnya menurunkan suku Muna.
Seorang peneliti Belanda, Jules Couvreur, menyebutkan nama Muna berasal
dari kata Wuna yang berarti bunga. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan La
Bani tentang makna kata Muna dalam bahasa setempat. Selain itu, di salah satu
bagian pulau, terdapat sebuah bukit karang yang sewaktu-waktu bisa tumbuh
menyerupai bunga.
Cerita tentang suku Muna diawali dari berdirinya Kerajaan Muna yang
berkembang pada masa kekuasaan Raja Muna VII, Lakilaponto, tahun 15381541. Saat itu dibangun pusat kerajaan di lokasi yang disebut Muna.
Pembangunan Kota Muna ini dipercaya dengan menggunakan kekuatan mistis
2. karena pekerjaan itu dinilai sebagai pekerjaan raksasa. Panjang benteng yang
dibangun mengelilingi kota mencapai 8.073 meter dengan tinggi empat meter
dan tebal tiga meter.
Selain benteng kota, juga dibangun masjid pertama yang hingga saat ini masih
bisa disaksikan. Tetapi masjid ini dibangun pada masa pemerintahan La
Titakono sebagai Raja Muna X (1600- 1625). Masjid yang agak besar dibangun
pada era pemerintahan Raja La Ode Huseini dengan gelar Omputo Sangia
(1716- 1757).
Omputo Sangia inilah yang berhubungan erat dengan keberadaan masyarakat
Kontu, Watuputih, dan Lasukara. Diceritakan La Bani, pada saat itu terjadi
perlawanan terhadap Raja Omputo Sangia oleh seorang pemuda. Raja kemudian
menggelar sayembara untuk melawan pemuda itu. Dari sini kemudian muncul
nama La Kundofani yang memberanikan diri mewakili raja memerangi pemuda
yang akan memberontak. Kino Watouputeh, nama lain La Kundofani,
membawa dua orang pembantunya. Pemuda yang akan memberontak terhadap
raja dijebak dengan diajak minum minuman tradisional yang memabukkan.
Singkat cerita, La Kundofani berhasil menaklukkan pemuda itu dan membawa
kepalanya kepada raja.
Sebagai imbalan atas kerja keras itu, Omputo Sangai memberikan jabatan
panglima perang kepadanya. Namun Kino Watoputeh menolak dan
mengusulkan agar diberikan sebidang tanah untuk kemaslahatan pengikutnya.
Raja pun kemudian mengabulkan permohonan itu. Saat ini tanah pemberian itu
dikenal sebagai daerah Watuputih, Kontu dan Lasukara.[/SIZE]