Tiga kalimat:
Penelitian ini mengkaji pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap pertambahan berat badan sapi Bali. Hasilnya menunjukkan bahwa sapi Bali umur dua tahun memiliki pertambahan berat badan yang lebih tinggi dibandingkan umur satu tahun, sedangkan jenis kelamin jantan lebih efisien dalam penggunaan pakan dibandingkan betina. Penggunaan sapi Bali sebagai tenaga kerja memberikan dampak neg
1. PERTAMBAHAN BERAT BADAN SAPI BALI PADA
UMUR BERBEDA DAN PENGRUH PENGGUNAAN TENAGA SAPI BALI TERHADAP
PERTAMBAHAN BERAT BADAN
Riko Herdiansah, E1C011065
Jurusan peternakan, fakultas pertanian, Universitas Bengkulu.
ABSTRAK
Suatu penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh umur dan jenis kelamin
terhadap pertumbuhan sapi Bali. Sapi Bali merupakan keturunan langsung dari banteng liar
(Bibos banteng) dan memiliki karakteristik yang sangat baik seperti fertilitas yang sangat
baik, tingkat kelahiran yang cukup tinggi 80-83% dan dapat beradaptasi dengan lingkungan
ekstrim . Namun, akhir-akhir ini sifat keunggulan ini mulai menurun mengingat
pertumbuhan yang relatif lambat, ukuran bobot badan sapi semakin kecil, bobot lahirnya
rendah dengan mortilitas yang cukup tinggi. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa
sapi Bali umur 2 tahun lebih baik dalam peningkatan pertumbuhan maupun pertambahan
bobot badan dibandingkan dengan sapi Bali umur 1 tahun karena sapi Bali umur 2 tahun
berada pada fase puncak pertumbuhan sehingga umur yang optimum berkisar 2 tahun.
Namun, jika dilihat dari jenis kelamin, sapi Bali jantan lebih efisien dalam penggunaan
pakan dibandingkan dengan sapi Bali betina yang memiliki rata-rata konsumsi pakan tinggi
tetapi memiliki pertambahan bobot badan yang rendah. pada sapi bali yang digunakan
untuk kerja akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan berat badan dan juga
pada pedet.
Kata Kunci : Umur, Jenis Kelamin, Dampak Pertumbuhan, Sapi Bali
PENDAHULUAN
Sapi Bali biasanya dipelihara secara individual dengan cara-cara tradisional sehingga
menyebabkan perkembangannya agak lambat dan cenderung stagnan, namun disisi lain
teknologi pakan untuk ternak (sapi) telah tersedia dan perlu diterapkan oleh peternak
secara kontinyu sehingga ternak yang dihasilkan oleh peternak meningkat kualitas dan
produktivitasnya. Kualitas produksi daging sapi Bali tergantung pada pertumbuhannya
karena produksi yang tinggi dapat dicapai dengan pertumbuhan yang cepat. Dimana,
pertumbuhan merupakan suatu proses yang terjadi pada setiap mahluk hidup dengan
pertambahan berat organ atau jaringan tubuh seperti otot, tulang dan lemak, urutan
pertumbuhan jaringan tubuh dimulai dari jaringan saraf, kemudian tulang, otot dan terakhir
lemak (Laurence, 1980 dalam Sampurna dkk, 2010). Tillman (1991) menyatakan bahwa
pertumbuhan mempunyai tahap cepat dan tahap lambat. Tahap cepat terjadi sebelum
dewasa kelamin dan tahap lambat terjadi pada fase awal dan saat dewasa tubuh telah
tercapai. Selain itu, faktor genetik dan lingkungan juga sangat berperan dalam menyediakan
kondisi yang optimal bagi pertumbuhan seekor ternak. Oleh karena itu, dalam upaya
memperoleh produksi ternak yang baik, usaha yang dilakukan harus dimulai sedini mungkin
terutama pada ternak yang memproduksi daging. Jadi, kecepatan pertumbuhan merupakan
kunci sukses pada peternakan yang bertujuan memproduksi daging (Cole, 1966).
Salah satu faktor yang penting dalam memilih ternak yang akan digemukkan adalah
umur karena umur erat kaitannya dengan tingkat produksi, efisiensi produksi, laju
2. pertumbuhan, dan nilai jual hasil penggemukan dan perilaku konsumen. Seperti hewan
lainnya, ternak sapi juga memiliki fase-fase dalam perrtumbuhannya yaitu fase
pertumbuhan tulang, fase pertumbuhan jaringan otot (daging) dan fase pertumbuhan lemak
(Anonim, 2012). Umur dalam pemeliharaan ternak mempunyai peranan penting, karena
melalui umur dapat diketahui kapan ternak dapat dikawinkan ataupun digemukkan.
Pertumbuhan ternak sapi Bali mulai pada umur diatas 1 tahun dan berakhir pada umur 3
tahun dimana kondisi sapi sudah mulai maksimal pertumbuhan tulangnya tinggal mengejar
penambahan massa otot (daging) (Suryana, 2009).
Pertambahan bobot badan adalah salah satu parameter untuk mengetahui
pertumbuhan sapi selama kurun waktu tertentu dan lama penggemukan berpengaruh
terhadap pertumbuhan atau pertambahan bobot badan harian. Dengan demikian
pertumbuhan ternak dapat diduga dengan memperhatikan penampilan fisik dan bobot
hidupnya. Pengukuran bobot badan dan pertambahan bobot badan sangat umum
dilakukan untuk kegiatan penelitian, tetapi kurang praktis dilakukan dilapangan, karena
pertimbangan teknis kesulitan dalam penimbangan (Wello, 2007).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa umur potong sapi berkolerasi positif
dengan keempukan daging yang dihasilkan artinya makin tua ternak sudah dapat dipastikan
dagingnya akan lebih alot. Hal ini juga dapat mengurangi minat dari konsumen untuk
membelinya sehingga kita perlu mengetahui umur ternak yang akan digemukkan agar
pertambahan berat badannya maksimal (Rahim, 2005).
Penyebab utama rendahnya produktivitas dari ternak sapi Bali adalah pola
pemeliharaan yang sebagian besar dipelihara oleh masyarakat pedesaan secara tradisional
serta manajemen ternak yang rendah dan kurang terarah, dimana peternak belum
memperhatikan mutu pakan, tata cara pemeliharaan, perkandangan dan penyakit sehingga
pola pertumbuhan ternak pada umur pertumbuhan kurang optimum. Atas dasar inilah
dilakukan penelitian tentang pertambahan berat badan sapi Bali pada umur berbeda yang
dipelihara secara intensif.
Atas dasar pemikiran ini, maka dilakukan penelitian ini untuk melihat pengaruh umur
dan jenis kelamin terhadap bobot badan sapi Bali dan melihat kisaran umur yang optimum
pertumbuhan sapi Bali
HASIL
Hasil penelitian terhadap rata-rata pertambahan bobot badan harian (PBBH) Sapi
Bali dengan umur dan jenis kelamin yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 : Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Sapi Bali.
3. Keterangan : Superskrip yang berbeda pada pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan (P<0.01).
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 2) dapat diketahui bahwa interaksi jenis
kelamin tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan harian sapi Bali. Sementara
umur berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap pertambahan bobot badan harian sapi
Bali. Pertambahan berat badan sapi umur 2 tahun sangat nyata lebih tinggi (P<0,01)
dibandingkan dengan umur 1 tahun. Hal ini disebabkan karena umur ternak pada saat
pertumbuhan memiliki laju pertumbuhan yang sangat baik dan mampu merespon pakan
yang tersedia dibandingkan dengan sapi yang berusia dibawah 1 tahun. Parakkasi (1999)
menerangkan bahwa pertumbuhan hewan muda sebagian besar disebabkan oleh
perumbuhan otot, tulang belulang dan organ-organ vital. Sedangkan pengaruh jenis kelamin
terhadap pertambahan bobot badan tidak berpengaruh nyata dapat disebabkan karena
beberapa faktor antara lain faktor genetik dan lingkungan. Bambang, (2005) menjelaskan
bahwa proses pertumbuhan pada semua jenis hewan terkadang berlansung cepat, lambat
dan bahkan terhenti jauh sebelum hewan tersebut mencapai dalam ukuran besar tubuh
karena dapat dipengaruhi oleh faktor genetis ataupun lingkungan. Dengan adanya faktor
tersebut, pencapaian garis pertumbuhan tidak selalu sesuai dengan usia kronologis hewan
yang bersangkutan.
160
140
120
100
80
60
40
20
0
1 2 3
Berat Badan (kg)
Waktu Penimbangan (Bulan)
jantan
betina
Umur
Jenis Kelamin (rata-rata ± SD)
Rata-rata ± SD
Betina Jantan
1 tahun 0,15 ± 0,03 0,21 ± 0,04 0,17a ± 0,03
2 tahun 0,31 ± 0,13 0,34 ± 0,04 0,33b ± 0,08
Rata-rata 0,23 ± 0,07 0,27 ± 0,03
4. Gambar 1. Grafik interaksi jenis kelamin terhadap pertambahan bobot badan sapi Bali
Dari Gambar 1. dapat dilihat bahwa pertambahan bobot badan sapi Bali jantan lebih
tinggi dibandingkan sapi Bali betina. Pertambahan bobot badan jantan lebih besar dari pada
betina karena adanya hormon androgen yang merangsang pertumbuhan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Kay dan Housseman (1975) yang menyatakan bahwa hormon androgen
pada hewan jantan dapat merangsang pertumbuhan sehingga hewan jantan lebih besar
dibandingkan dengan hewan betina.
200
150
100
50
0
1 2 3
Berat Badan (kg)
1 tahun
2 tahun
Waktu Penimbangan (Bulan)
Dari Gambar 2. dapat dilihat bahwa pertambahan bobot badan sapi Bali pada usia
dua tahun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertambahan bobot badan sapi Bali pada
usia 1 tahun, hal ini dapat disebabkan karena pada usia 2 tahun (24 bulan) adalah usia
puncak pertumbuhan dan setelah itu pertumbuhannya berangsur menurun, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya pada Gambar 2. Selain itu salah satu faktor perbedaan
pertambahan bobot badan dapat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi pakan dimana
pemberian pakan secara ad-libitum akan meningkatkan konsumsi pakan dan akan
mempengaruhi bobot badan. Parakkasi (1999) menjelaskan beberapa hasil penelitian
memperlihatkan bahwa ternak yang masih muda membutuhkan lebih sedikit makanan
dibandingkan yang lebih tua untuk setiap unit pertumbuhan bobot badannya. Salah satu
faktornya antara lain pertambahan bobot badan hewan muda sebagian disebabkan oleh
pertumbuhan otot-otot, tulang-tulang dan organ-organ vital, sedangkan hewan yang lebih
tua bobot badannya disebabkan karena perletakan (deposit) lemak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Tilman dkk. (1991) dalam Yudith, (2010) yang menyatakan bahwa kuantitas dan
kualitas ransum yang diberikan menyangkut dengan tinggi rendahnya produksi dan
kecepatan pertumbuhan sapi yang sedang tumbuh.
Tabel 2. Rata-rata konsumsi Rumput Sapi Bali
Umur dan jenis
kela-min
Rata-rata berat
badan awal
Rata-rata kon-sumsi
rumput (%)
Persentse rumput dari
berat badan awal
5. 1 tahun jantan
1 tahun betina
2 tahun jantan
2 tahun betina
95,5
89,5
155,1
137,7
6,3
7,6
10,7
11,1
6,6
8,0
6,8
8,1
Konsumsi pakan adalah kemampuan ternak untuk menghabiskan pakan yang
tersedia secara ad-libitum. Adapun rata-rata konsumsi pakan sapi Bali dapat dilihat pada
Tabel 4 dengan rata-rata konsumsi pakan sapi Bali betina yang berumur 2 tahun memiliki
rata-rata konsumsi pakan 11,1% dan mencapai persentase dari berat badan awal yakni 8,1%
serta sapi Bali betina yang berumur 1 tahun memiliki rata-rata konsumsi pakan 7,6% dan
persentase rumput dari berat badan awal mencapai 8,0% lebih tinggi dibandingkan dengan
umur dan jenis kelamin sapi Bali jantan sehingga dapat diasumsikan bahwa, sapi Bali betina
memiliki tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan sangat baik.
Selain itu kebutuhan sapi Bali betina lebih tinggi dapat pula disebabkan karena selain
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, betina juga mempersiapkan kebutuhan nutrisi untuk
produktivitasnya. Hal ini diperkuat oleh parakkasi, (1999) bahwa tingkat pemberian
makanan yang cukup bagi calon induk muda untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan
kebuntingannya sehingga kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi dan tidak bersaing dengan
kebutuhan pertumbuhan induk muda.
Yudith, (2010) menambahkan bahwa, salah satu faktor tingkat konsumsi pakan
antara lain: 1) Faktor pakan, meliputi daya cerna dan palatabilitas dan 2) faktor ternak yang
meliputi bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisi kesehatan ternak. Parakkasi, (1999)
menjelaskan bahwa palatabilitas pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
jumlah konsumsi pakan dan kemampuan ternak untuk mengkonsumsi bahan kering yang
terkandung dalam pakan berkaitan dengan kapasitas fisik lambung serta kondisi saluran
pencernaan, sehingga tinggi rendahnya konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kondisi ternak serta faktor pakan.
Pemanfaatan sapi bali untuk bekerja ( mengolah tanah atau menarik beban )
memberikan dampak negatif terhadaf pertumbuhan saapi bali yang dipekerjakan akan lebih
jelek dibanding dengan sapi bali yang tidak dipekerjakan, dampak negatif tersebut akan
lebih parah jika sapi bali di pekerjakan di dataran rendah di banding dengan yang
dipekerjakan di datarantinggi ( suhu tinggi)
Sapi bali yang digunakan untuk memproduksi daging sebaikna tidak dipekerjakan,
jika sapi bali yang digemukkan tersebut dipekerjakan, frekuensinya harus dibuat jarang (1-2
kali per minggu ) diimbangi dengan pakan konsentrat, dalam hal itu perhitungan ekonomis
sangat penting sebagai bahan penimbangan apakah sapi tersebut perlu dipekerjakan atau
tidak . dampak penggunaan tenaga sapi bali terhadap pertumbuhan berat badan dapat
dilihat pada tabel 3.
6. Tabel 3. Pengruh penggunaan tenaga sapi bali terhadap pertambahan berat badan
pada ketinggian tempat yang berbeda.
keterangan
1. Dipekerjakan 119 259
2 . tidak dipekerjakan 360 370
Sumber : Saka I Kt. 1990
Pertambahan Berat Badan
Dataran Rendah Dataran Tinggi
Dampak terhadap pedet, bila induk yang sedang menyusui dipekerjakan dengan
intensitas yang tinggi, maka angka kematian pedet rata-rata mencapai 10,4 % , sedangkan
pada induk sapi yang sedikit dipekerjakan maka angka kematian pedet rata-rata hanya 5,2
%.
KESIMPULAN
Dari Hasil pembahasan di atas dapat disimpulan bahwa sapi Bali umur 2 tahun lebih
baik dalam peningkatan pertumbuhan maupun pertambahan bobot badan dibandingkan
dengan sapi bali umur 1 tahun karena sapi Bali umur 2 tahun berada pada fase puncak
pertumbuhan sehingga umur yang optimum berkisar 2 tahun. Namun, jika dilihat dari jenis
kelamin, sapi Bali jantan lebih efisien dalam penggunaan pakan dibandingkan dengan sapi
Bali betina yang memiliki rata-rata konsumsi pakan tinggi tetapi memiliki pertambahan
bobot badan yang rendah, dan pada sapi bali yang digunakan untuk kerja akan memberikan
dampak negatif terhadap pertumbuhan berat badan dan juga pada pedet.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2012. Beternak Sapi Bali. http: // uripsantoso. wordpress. com/2010/01
/17/beternak-sapi-bali-3/. Diakses tanggal 14 Februari 2012.
Anonimb. 2012. Kurva Pertumbuhan www. damandiri. or.id/file/ harapinipbtinjpustaka .pdf.
Diakses 14 Februari 1212.
Cole, H.H. 1966. Introduction to Livestock Production 2nd Edition. W.H. Freeman and
Company, San Francisco.
Kay M. and R. Housseman. 1975. The Influence of Sex on Meat Production. In Meat. Edited
by Cook DJ, Lawrrie RA. London. Butterworth.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Makanan dan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta. Hal 371-374.
7. Rahim, L. 2005. Pengaruh bangsa terhadap berat sapih dan pertambahan bobot badan sapi
pada feedlot. Bulletin Ilmu Peternakan dan Perikanan. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin,Vol. IX (1):33-40.
Suryana, A. 2005. Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005 – 2009. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta.
Suryana. A. 2000. Meningkatkan ketahanan pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 September 2000. Puslitbang Peternakan,
Bogor. hlm. 21 – 28.
Tillman, D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo, S. Reksoha-diprodjo dan S.Lebdosukojo. 1991.
Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah mada University Press, Yokyakarta.
Wello, B. 2007. Bahan Ajar Manajemen Ternak Potong dan Kerja. Fakultas Peternakan.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Yudith Taringan A., 2010. Pemamfaatan Pelepah sawit dan Hasil Ikutan Industri Kelapa Sawit
Terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Simental Fase Pertumbuhan. Departemen
Pendidikan Fakultas Sumatra Utara