1. BAB I
PENDAHULUAN
Sepanjang kehidupan manusia senantiasa dihadapkan dan bergelut dengan konflik
baik itu secara individu maupun organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindarkan. Demikian halnya dengan kehidupan organisasi, setiap anggota organisasi
senantiasa dihadapkan pada konflik entah itu konflik antar individu, konflik antar kelompok
atau yang lain. Di dalam organisasai perubahan atau inovasi baru sangat rentan menimbulkan
konflik (destruktif). Dalam paradigma lama banyak orang percaya bahwa konflik akan
menghambat organisasi berkembang. Namun dalam paradigma baru ada pandangan yang
berbeda. Konflik memang bisa menghambat, jika tidak dikelola dengan baik, namun jika
dikelola dengan baik konflik bisa menjadi pemicu berkembangnya organisasi menjadi lebih
produktif.
Manajemen konflik sangat berpengaruh bagi anggota organisasi. Pemimpin organisasi
dituntut menguasai manajemen konflik agar konflik yang muncul dapat berdampak positif
untuk meningkatkan mutu organisasi.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar
dalam suatu konflik, termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang
mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak
luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi
pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah
informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara
pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
2. LATAR BELAKANG
Pada tanggal 10 Oktober 1996, terjadi kerusuhan anti-Kristen dan anti-orang keturunan
Tionghoa di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Peristiwa itu mulai karena massa tidak puas
dengan hukuman penjara lima tahun untuk terdakwa Saleh, yaitu tuntutan maksimal yang
dapat dijatuhkan atas kasus penghinaan terhadap agama Islam. Sidang pengadilan Saleh, 28
tahun, yang dianggap menghina agama dan melanggar pasal 156 (a) KUHP dimulai di PN
Situbondo. Saleh dilaporkan oleh KH Achmad Zaini, pimpinan pondok Nurul Hikam yang
juga tetangga Saleh di Kecamatan Kapongan, Situbondo. Kepada KH Zaini, Saleh
menyatakan Allah itu mahluk biasa dan KH As’ad Syamsul Arifin, pendiri pondok pesantren
Salafiyah As’syafiiyah, Situbondo, dan ulama NU yang amat dihormati, meninggalnya tidak
sempurna, atau dalam bahasa Madura disebut mate takacer. Dalam sidang keempat kasus ini,
Saleh membantah tuduhan menodai agama Islam. “Saya datang hanya untuk musyawarah dan
saya ingin tahu tanggapan Kyai Zaini apakah pendapat saya betul atau tidak,’ kata lulusan
SMAN II Situbondo ini. Massa yang antara lain datang dari Besuki, Panarukan, dan
Asembagus yang mencapai 1000 orang itu marah.
Seusai sidang, teriakan “Bunuh Saleh” pun terdengar. Massa berusaha mengeroyok Saleh,
tetapi diamankan puluhan petugas dengan memasukkannya dalam tahanan PN Situbondo.
Massa yang sudah kalap kemudian merusak pintu dan jendela tahanan. Sekitar 10 orang
membongkar genteng, menjebol plafon, dan berhasil menghajar Saleh dalam selnya.
Tindakan ini bisa dihentikan dengan bantuan Ny.Aisyah, putri Kyai As’ad. Tapi, massa yang
ada di luar tahanan, tak mau beranjak. Mereka menuntut Saleh dihukum mati dan merekalah
yang akan mengeksekusinya. Teriakan Kapolres Situbondo Letkol Endro Agung sudah tak
didengar. Baru setelah Ny.Aisyah berteriak-teriak lewat megaphone mengajak pulang dalam
bahasa Madura, massa pun bubar. Saleh diantar ke rutan dalam satu mobil bersama
Ny.Aisyah. Sidang Saleh yang dijaga oleh 100 orang aparat dari Kodim sudah sampai pada
tuntutan jaksa. Ribuan pengunjung dari luar kota hadir. Mayoritas adalah Madura pendatang.
Selama sidang, massa tetap tenang. Jaksa menuntut Saleh hukuman 5 tahun penjara sesuai
pasal 156 A KUHP tentang penodaan agama.
Tindakan brutal baru terjadi seusai sidang. Sebagian massa yang tak puas dengan
tuntutan jaksa dan ingin Saleh dihukum mati, mulai melempari gedung pengadilan dengan
3. batu. Suasana jadi kacau. Seorang petugas Kodim terkena lemparan batu. Teriakan peringatan
Komandan Kodim Letkol Imam Prawoto tidak digubris. Batu-batu terus berjatuhan setelah
ada aparat yang membalas aksi massa ini. Karena terdesak, aparat masuk ke dalam gedung.
Massa yang sudah kalap terus merangsek. Aparat dan para hakim, termasuk Erman Tanri,
ketua PN Situbondo yang keningnya luka kena lemparan batu, melarikan diri lewat sungai di
belakang gedung PN. Saleh pun diselamatkan ke arah belakang.
Entah siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak bahwa Saleh dilarikan ke
Gereja Bukit Sion yang terletak sekitar 200 meter sebelah barat gedung PN. Isu bahwa hakim
yang mengadili ada yang Kristen pun merebak. Padahal 3 hakim dan jaksa yang mengadili
Saleh semua beragam Islam. Massa yang marah kemudian membakar 3 mobil di depan
gedung PN milik kejaksaan dan anggota Polres serta sebuah sepeda motor. Pesawat televisi
pun dibakar. Akhirnya, gedung PN pun membara. Massa pun bergerak ke Gereja Bukit Sion.
Berbekal bensin dari pom bensin di depan gereja dan dari kendaraan-kendaraan bermotor
yang dihentikan, mereka membakar gereja setelah lebih dulu menguras isinya. Malapetaka
terjadi pada sasaran berikutnya, yaitu rumah pendeta dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya
(GPPS) “Bahtera Kasih”. Di dalam rumah itu tinggal pendeta Ishak Kristian, 71 tahun,
isterinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elisabeth Kristian, 23 tahun. Juga keponakannya
Nova Samuel dan Rita Karyawati yang sedang magang pendeta di sana. Mereka tak berani
keluar dan akhirnya terbakar di dalam rumah.
Pada akhirnya, 24 gereja di lima kecamatan dibakar atau dirusak, serta beberapa
sekolah Kristen dan Katolik, satu panti asuhan Kristen, dan toko-toko yang milik orang
keturunan Tionghoa. Dipikir bahwa peristiwa itu direkayasa untuk mendiskreditkan
Nahdlatul Ulama dan pemimpinnya pada saat itu, Abdurrahman Wahid. Aparat keamanan
dari lokasi seputar kerusuhan baru berdatangan ke Situbondo menjelang magrib. Malam itu
juga 120 orang ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang. Dari jumlah sekian, 11 diantaranya
pelajar dari STM, SMA, dan SMEA Ibrahimi yang ketua yayasannya dipegang oleh KH
Fawaid, salah satu putra KH As’ad. Selain pelajar, juga ditahan sejumlah santri dari pondok
Wali Songo, Mimba’an dan “anjal” alias anak jalanan, sebuah perkumpulan bekas preman
yang dibina oleh KH Cholil, juga salah satu putra KH As’ad.
Malam itu diadakan pertemuan antara Kasdam Brawijaya Brigjen Muchdi, kapolwil
Besuki, Danrem Malang, Muspida Situbondo, dan para ulama. Kasdam meminta ulama untuk
4. menenangkan suasana. Pertemuan serupa diadakan oleh Pangdam Imam Oetomo esok
harinya.
Dengan adanya latar belakang mengenai permasalahan ini selanjutnya akan dikaji dari
materi perkuliahaan manajemen konflik. Dimana konflik yang terjadi antara masyarakat tidak
terjadi tanpa proses yang panjang. Sehinggga permasalahan agama di masyarakat dapat
memicu konflik di masyarakat dan juga bagaimana peran serta intervensi dari pihak
kepolisian yang merupakan alat penegak hukum dalam mengatasi konflik sosial ini.
TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini,adalah:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Manajemen.
2. Sebagai media pembelajaran mengenai Manajemen Konflik.
3. Mengetahui konsep manajemen konflik, yang meliputi definisi konflik, aspek-asfek dan
faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen konflik, mode dan langkah untuk
menangani konflik dan penerapan manajemen konflik.
4. Mengetahui contoh konflik yang pernah di alami di Indonesia
RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa bisa terjadi konflik agama di masyarakatan Situbondo, Jawa Timur?
2. Bagaimana peranan POLRI dalam penanganan konflik agama tersebut?
3. Apa solusi kepolisian dan pemerintah agar konflik agama tidak akan terjadi lagi?
5. BAB II
PEMBAHASAN
Konflik yang terjadi di Kota Situbondo di dasari dari rasa tidak terima masyarakat
akan putusan pengadilan dalam kasus pencemaran nama baik salah satu tokoh agama yang
ada di kota tersebut. Dilihat dari antropologi budaya masyarakat Situbondo masih kental
sekali dalam menjujung tinggi tokoh agama yang ada. Sehingga, ketika tokoh agama tersebut
di “kata-katai” masyarakat memiliki perasaan tidak terima dan memuncul emosi di kalangan
masyarakat.
A. INTERVENSI POLRI DALAM KONFLIK SITUBONDO SEBAGAI APARAT
PENEGAK HUKUM
POLRI dalam kasus ini dapat mekalukan cara-cara pendeketan mulai dari preventif
hingga represif. Tindakan preventif dapat berupa pendekatan terhadap tokoh agama di sekitar
Kota Situbondo agar dapat meredam emosi masyarakat Situbondo, selain itu juga melakukan
pendekatan terhadap muspida dan tokoh masyarakat di sana selain itu juga aparat emerintah
juga tidak luput untuk di berikan pendekatan, pendekatan itu sendiri bertujuan agar
masyarakat dapat di redam amarahnya dan meminta masyarakat untuk menerima hasil
putusan dari pengadilan mengenai vonis yang telah di jatuhkan kepada Saleh. Sedangkan
untuk tindakan represif polri dapat menurunkan pasukan brimob dan sabhara untuk melerai
masa yang mulai membakar tempat-tempat peribadatan dan sekolah-sekolah. Selain itu polri
juga dapat menurunkan anggotanya untuk menangkap masyarakat yang menjadi provokator
dalam kerusuhan tersebut, dengan bantuan anggota intel yang akan menugmpulkan data dari
masyarakat sekitar.
6. B. SOLUSI KEPOLISIAN DAN PEMERINTAH AGAR KERUSUHAN DI SITUBONDO
TIDAK AKAN TERJADI LAGI
Upaya yang dapat dilakukan Polri agar kasus kerusuhan di Situbondo tidak terjadi lagi :
1. Kepolisian harus mampu deteksi dini pada kasus-kasus yang melibatkan agama beserta
tokoh agama atau tokoh masyarakat agar dapat mencari solusi dalam penyelesaian
masalah akibat masyarakat pengikut merasa tersinggung.
2. Melakukan pengamanan terhadap tersangka Saleh, tokoh agama dari amukan masa dan
mengamankan objek-objek vital utamanya tempat-tempat peribadatan di daerah
Situbondo dan sekitarnya
3. Mengoptimalkan strategi POLRI di bidang pemolisian masyarakat dengan melakukan
pendekatan kepada tokoh-tokoh agama dan masyarakat agar kasus ini tidak terulang lagi
dan menyakinkan kedua belah pihak bahwa solusi terbaik terhadap permasalahan
perbedaan antar suku bangsa masih bisa di fasilitasi dengan cara berkomunikasi untuk
mencari problem solving terhadap permasalahan tersebut.
4. Polri juag dapat melakukan pendeketan yang ada di manajemen konflik yaitu Pendekatan
ACES (Asses, Clarify, Evaluated, Solve)
a. Asses the Situation (Mengenali Situasi)
b. Clarify the Issues (Memperjelas Permasalahan)
c. Evaluate Alternative Approaches (Menilai Pendekatan-pendekatan Alternatif)
d. Solve the Problem (Mengurai Permasalahan)
5. Penegakan hukum terhadpat msyarakat yang emnjadi provokator dalam konflik tersebut
dapat juga menunjukkan eksistensi kepolisian dalam menjaga keamanan di lingkungan
masyarakat.
7. BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Permasalahan konflik kerusuhan di Situbondo adalah salah satu kasus yang melibatkan
tokoh agama, masyarakat pengikutnya dan masyarakat lain yang bukan pengikutnya.
Kasus ini mirip dengan kebanyakan kasus SARA yang ada di negara Indonesia.
Pelecehan dari tokoh agama yang memiliki banyak pengikut menyebabkan masa
pendukungnya emosi dan merusak fasilitas umum. Bukan masalah agama yang
menyebabkan konflik ini menjadi pecah namun karena pelecehan nama baik. Akan tetapi
karena yang di lecehkan adalah tokoh agama maka kasus ini terkesan seperti kasus
konflik agama.
B. SARAN
POLRI sebagai aparat penegak hukum harus mengoptimalkan tugas dan perannanya yang
terdapat dalam UU No.2 tahun 2002 Pasal 5 yaitu: “Polri berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharannya keamanan
dalam negeri.”
Dengan demikian, peran Polri dalam hal ini difokuskan pada terpeliharannya keamanan
dalam negeri melalui upaya menjaga ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta
pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
8. DAFTAR PUSTAKA
Handoko, T. Hani. 1999. Manajemen. BPFE – Yogyakarta
Stoner, James A.F. 1996. Manajemen (Terjemahan). Penerbit Erlangga – Jakarta
Griffin. 2003. Pengantar Manajemen. Penerbit Erlangga – Jakarta
Dr. H.B. Siswanto, M.Si. 2011. Pengantar Manajemen. Penerbit Bumi Aksara - Jakarta
Winardi. 1994. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan Dan
Pengembangan). Bandung. Penerbit: CV. Mandarmaju.