SlideShare a Scribd company logo
1 of 12
ASIMETRI DE SENTRALISASI1 
Purwo Santoso2 
Sebagai istilah atau label, ‘asimetri desentralisasi’ ataupun 
‘desentralisasi asimetris’ seakan merupakan hal baru dalam kajian 
pemerintahan.3 Padahal, sebagai praktek hal itu sudah lama ada.4 
Sudah sejak jaman kolonial hal ini diterapkan, dan bekasnya 
masih terlihat hingga kini. Desentralisasi yang diselenggarakan 
oleh pemerintah kolonial melalui Decentralisatie Wet, 23 Juli 1903 
membedakan perlakuan untuk Jawa dengan Luar Jawa.5 Kalaulah 
istilah asimetri desentralisasi belum populer, sejak dahulu kita toh 
sudah mengenal ‘daerah istimewa’ atau ’daerah khusus’. Undang-undang 
dasar kita mengenal hal itu. 
1 Disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan Institut Pemerintahan Dalam 
Negeri (IPDN) di Jatinangor pada tanggal 20 November 2012. 
2 Guru besar Ilmu Pemerintahan; Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan pada 
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 
3 Istilah yang dipakai para pakar berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah sistem 
differensial, mengingat initinya adalah Pemerintah Nasional melakukan diskriminasi 
positif dengan cara memperhatikan kekhususan atau keragaman situasi dan kondisi 
daerah. Prof. Sadhu Wasistiono, memilih istilah ‘desentralisasi berkesimbangan’ 
mengingat kalaulah ada perlakukan berbeda-beda, ujung-ujungnya harus ada 
keseimbangan antara kepentingan nasional dengan kepentingan lokal. Yang jelas, 
dengan dipakainya istilah-istilah ini, persoalan-persoalan kontekstual dalam skala 
lokal lebih mendapatkan perhatian. 
4 Istilah desentralisasi asimetris juga banyak dipakai dalam kajian desentralisasi di 
negara-negara lain. Konsep ini dipakai untuk mengkerangkai perlakuan khusus dari 
dari-daerah-daerah yang memberontah (menuntut kemerdekaan) dan direspon 
dengan perlakukan khusus. Persoalan-persoalan seperti Quebec di Perancis, Basque 
di Spanyol, Sammi di Norwegia, Mindanau di Philippina, dan sejenisnya selama ini 
biasa dibahas dalam kerangka asimetrisme tatanan pemerintahan. Dalam konteks ini, 
perlakukan khusus untuk Aceh dan Papua, berada dalam tradisi kajian desentralisasi 
asimetris yang sudah populer dalam literatur. 
5 Hanya saja, setelah Indonesia merdeka, pembedaan Jawa vs Luar Jawa dalam 
penataan pemerintahan tidak lagi diberlakukan. 
1
Desentralisasi atau penataan hubungan pemerintah pusat dengan 
pemerintah nasional, tidak dapat berkelit dari keharusan untuk 
sensitif dengan vararisasi atau konteks lokal. Hanya saja, naluri 
untuk main pukul rata, sepertinya sudah cukup kuat tertanam. 
Pertanyaan sepele yang penting untuk diutarakan di sini adalah: 
“mengapa penggunaan istilah asimetri menyimpan unsur kejutan ? 
Tulisan ini dibuat sekedar untuk mengajak keluar dari kebiasaan 
untuk menyamaratakan daerah, padahal kita tahu, dalam 
kenyataannya ada perbedaan tajam antara yang satu dengan yang 
lain. Asimetri desentralisasi, dalam konteks ini diberlakukan 
sebagai pendekatan atau acuan dalam pencarian, bukan sebagai 
resep yang siap dipraktekkan. Dalam kajian internasional, konsep 
ini biasa dipakai untuk mengkerangkai ketegangan antara suatu 
daerah yang ingin memisahkan diri, dengan pemerintah nasional. 
Hanya saja, mengingat keragaman di negeri begitu luas dan 
mendalam, penerapannya perlu lebih sistematik, tidak sekedar 
sebagai reaksi terhadap upaya pemisahan diri. 
1. Simetrisme: 
Kemewahan bagi Indonesia. 
Pemerintahan militeristik, seperti diberlakukan Orde Baru, 
memiliki kecenderungan untuk melakukan penyeragaman. 
Pemerintah memang memiliki serangkaian tujuan mulia, namun 
tujuan dan cara mencapainya dilakukan secara sepihak. Dalam 
cara pandang pemerintahan waktu itu, kesuksesan ditentukan 
oleh kesatuan dan kepatuhan pada komando yang terpusat. Pada 
saat yang sama, pemerintahan yang terpusat tersebut memang 
telah mengembangkan sistem perencanaan yang relatif mapan. 
Dari sudut pandang mengendalikan pemerintahan yang terpusat, 
cara berfikir ini bukan hanya menjanjikan keberhasilan, namun 
juga menyediakan kenyamanan tersendiri. 
Sepertinya kita telah hanyut dalam alur berfikir baku, bahwa 
Indonesia bisa dan perlu diatur secara seragam. Seolah-olah, 
keteraturan atau tatanan sistemik mengharuskan penyeragaman. 
Memang, penyeragaman memudahkan memudahkan komando 
diberikan dan dipatuhi. Akan tetapi, negara dan pemerintahan 
tidak dibuat demi menjamin kemudahan para pejabatnya 
memegang jabatan. Keengganan untuk membongkar cara berfikir 
yang obses dengan keseragaman, bisa dicurigai sebagai 
pemelihara naluri otoriter. 
Dalam melakukan penataan pemerintahan, kita berhadapan 
dengan situasi yang sebaliknya. Kita terikat dengan ketentuan 
konstitusi untuk mengelola menjamin terselenggaranya 
pemerintahan mengidap situasi paradoksal. Hal ini sebetulnya 
2
telah digariskan oleh the founding fathers negeri dalam sesanti: 
Bhinneka Tunggal Ika. Dalam menerapkan sesanti ini, kita 
diingatkan tidak boleh ada sikap yang mendua, atau setengah-setengah: 
tan hana dharma mangroa. Untuk itu, dalam penataan 
pemerintahan di negeri ini kita harus putar otak keras-keras: 
thinking out of the box.6 
Apakah situasi paradoksal itu. Di satu sisi, diamanatkan 
konstitusi agar tata pemerintahan di negeri ini menjamin kesatuan 
Indonesia. Hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam doktrin ‘negara 
kesatuan’.7 Di sisi lain, ada keharusan untuk memberlakukan 
otonomi seluas-luasnya. Dilepaskan katub otonomi daerah secara 
besar-besaran melalui UU 22/1999 (yang kemudian telah 
beberapa kali direvisi), mau tidak mau membuka katub mobilisasi 
identitas lokal. Pemberlakukan otonomi luas telah diikuti dengan 
menggejalanya lokalisme yang mengkhawatirkan semangat 
kesatuan. 
Terlepas dari adanya keinginan untuk mengamputasi ketentuan 
konstitusi, kita tahu bahwa ada persoalan mind set atau cara 
berfikir yang membelenggu transformasi bangsa ini menuju 
tatanan yang diamanatkan konstitusi. Yang menjadi persoalan 
sebetulnya bukan keberadaan mind set itu sendiri, melainkan 
implikasi buruk yang menyertainya. Kebingungan dan kerancuan 
yang diakibatkan oleh belenggu mind set ini menjadikan kita 
(baca: Indonesia) tidak memiliki infrastruktur pemerintahan yang 
handal dalam policy-making. 
2. Asimetrisme: 
Urge nsi Mespon Secara Kontekstual 
Asimetri desentralisasi terasa urgensinya untuk dikembangkan 
manakala kita berani untuk memahami dan mengembangkan 
sistem pemerintahan secara kontekstual. Kalangan kontekstualist 
meyakini, context does matter ! Kebijakan publik dapat berjalan 
dengan baik kalau konteksnya difahami dan dijadikan basis 
6 Di satu sisi harus berfikir realistis-kontekstual, di sisi lain ada keperluan untuk 
melakukan refleksi secara mendalam, agar tidak terperangkap oleh situasi paradoksal 
ini. Hanya saja, tanpa sadar kita lebih subuk dengan aspek ke-ika-an dari pada ke-bhinneka- 
an. Kalaulah di sini istilah asimetri dipakai, penggunaannya adalah untuk 
menemukan keterkaitan antara keduanya, bukan sekedar menggeser obsesi seragam 
menjadi obsesi beragam. 
7 Untuk itu digulirkan jargon: ‘NKRI harga mati’. Dibalik jargon itu ada upaya 
mobilisasi kesepakatan untuk tidak mengembangkan federalisme. 
3
pengelolaan proses kebijakan.8 Sebagai contoh, kita tahu bahwa 
Indonesia adalah negara maritim. Apakah konteks kemaritiman 
mendasari imajinasi tentang pemerintahan daerah yang berjaya 
dengan kekuatan maritimnya ? Mari kita cermati apa yang telah 
terjadi. 
Sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut. Klaim sebagai 
pemilik wilayah laut inipun didapatkan setelah perjuangan 
panjang dalam merumuskan UNCLOS (United Nation Convention of 
Law of Sea). Repotnya, konteks kemaritiman ini tidak mewarnai 
agenda pembangunan negeri ini karena penataan pemerintahan 
tidak dipandu oleh konteks maritim ini. Sadar akan pentingnya 
memahami dan mengembangkan Indonesia dalam konteks 
kemaritiman ini, sejumlah pemerintah daerah yang wilayahnya 
bersifat kepulauan bekerja sama untuk mengusuljkan Undang-undang 
daerah kepulauan. Ironisnya, ketika mengetahui 
bersatunya daerah-daerah berkonteks maritim ini, pemerintah 
nasional lebih menaruh curigai daripada mengapresiasinya. 
Perdebatan tentang konteks kemaritiman menjadi tidak 
konstruktif ketika ujung-ujungnya yang dibicarakan lebih pada 
persoalan alokasi fiskal. 
Apa pelajaran dari contoh di atas ? Desentralisasi didudukkan 
sebagai persoalan pelimpahan kewenangan, dan kalaulah hal itu 
dilakukan, tidak disertai dengan kejelasan arah penggunaan 
kewenangan itu sendiri. Kekuatan daerah untuk pengembangan 
potensi maritim belum dibahas dalam proses desentralisasi, dan 
kesulitan-kesulitan mendasar yang dihadapi daerah untuk itupun 
belum dibahas. Pada akhirnya, konteks maritim lebih hadir 
sebagai beban, bukan sebagai basis kemajuan bangsa ini. 
Argumentasi pemikiran kontekstualist tersebut di atas 
berseberangan dengan yang diyakini kalangan textualist yang 
meyakini bahwa keberhasilan kebijakan publik ditentukan oleh 
akurasi rumusan. Setelah kewenangan dibagi-bagi, lalu akan 
terjadi perumusan kebijakan. Di asumsikan, ada proses saling 
mengisi diantara pemangku kewenangan yang satu dengan 
pemangku kewenangan yang lain. Yang jelas terjadi adalah 
fragmentasi agenda dan arah kebijakan. Dalam buruknya 
sinkronisasi kebijakan, yang lebih sering terhadi adalah konflik 
dan overlap kebijakan. 
Cornelis Lay mengidentifikasi berbagai konteks atau keperluan 
yang pada gilirannya mendesakkan asimetri desentralisasi:9 
8 Merelee S. Grindle, The Politics of Public Policy Implementation in the Developing Countries. 
9 Cornelis Lay; “Asimetri dalam Komparasi”, dalam Prtikno et. al.; Laporan Akhir 
Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan 
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada 2010. 
4
· Respon tuntuan daerah untuk memisahkan diri. 
· Apresisai terhadap budaya, termasuk budaya kalangan 
minoritas. 
· Kesulitan teknokratis suatu (sejumlah) pemerintah daerah. 
· Pengembangan daya saing bangsa. 
· meminimalisasi resiko, misalnya untuk mengotimalkan 
pengelolaan kawasan perbatasan. 
Pelajaran yang kita bisa petik dari identifikasi tersebut di atas 
adalah bahwa desentralisasi dilakukan dengan adanya kesadaran 
akan masalah yang hendak diatasi, bukan sekedar sebagai 
persoalan bagi-bagi kewenangan. Desentralisasi adalah 
transformasi tata pemerintahan sedemikian sehingga masalah 
kunci yang mengganjal, dapat optimal teratasi. Desentralisasi 
tidak dilakukan demi pemerintah, baik pemerintah nasional 
maupun pemerintah lokal. Yang jelas, alasan-alasan 
pemberlakukan asimetri desentralisasi tersebut di atas ada dan 
cukup pelik. Sungguhpun demikian, pemikiran desentralisasi di 
negeri ini biasanya tidak terlalu terkait upaya untuk mengatasi 
persoalan-persoalan spesifik. 
Kebiasaan untuk memikirkan desentralisasi sebagai persoalan 
bagi-bagi kewenangan memiliki akibat fatal. Ada asumsi bahwa 
pembagi-bagian kewenangan akan menjadikan masalah negeri ini 
teratasi. Sebagai contoh, peningkatan pendidikan disepakai 
sebagai agenda yang luar biasa penting, sampai-sampai Undang-undang 
Dasar negeri ini mengharuskan alokasi anggaran sebesar 
20% untuk itu. Di sini terjadi situasi aneh. Karena alokasi 
anggaran dirumuskan dalam APBN, maka yang berperan penting 
adalah pemerintah nasional, khususnya Kementerian Pendidikan 
dan Kebudayaan. Sementara itu, yang kewenangan mengurusi 
pendidikan bagi sebagian besar anak didik adalah Dinas 
Pendidikan, yang notabene bawahan Bupati/Walikota. Dalam 
setting seperti ini banyak terjadi mismatch anggaran. 
Kabupaten/Walikota menghadapi anggaran, ditandai dengan 
banyaknya Sekolah yang bangunannya tidak kunjung diperbaiki 
karena keterbatasan anggaran. Yang kita hadapi pada akhirnya 
justru dislokasi kewenangan, dan muaranya adalah tidak 
optimalnya pencapaian misi. 
Sejalan dengan contoh di atas, kita terbiasa berasumsi bahwa 
desentralisasi akan mempercepat kesenjangan antar daerah, 
ataupun mempercepat pembangunan daerah tidak selalu terbukti. 
Contoh berikut ini penting untuk dicermati. 
Sejalan dengan desentralisasi dalam skala besar-besaran yang 
dilangsungkan sejak tahun 2000, transfer fiskal ke daerah telah 
berlipat ganda. Asumsinya, transfer ini akan meningkatkan 
5
kesejahteraan masyarakat di berbagai pelosok tanah air, ditandai 
dengan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang berotonomi 
luas. Dalam kenyataannya, pertumbuhan ekonomi hanya 
berlangsung di daerah-daerah yang memiliki infrastruktur untuk 
memproses transfer fiskal menjadi pertumbuhan ekonomi lokal. 
Contoh ini membukakan mata kita bahwa selama ini proses 
desentralisasi telah diusung diatas asumsi yang tidak akurat, 
dibangun diatas asumsi telah tersediaya infrastruktur untuk 
menopang pembangunan ekonomi. Jika asumsi ini benar adanya, 
maka masuk akallah kalau dibayangkan bahwa pemindahan lokus 
policy-making yang disertai dengan transfer fiskal akan menotori 
pertumbuhan ekonomi. Ada bias serius, yakni infrastruktur yang 
ada di mana-mana ternyata hanya ada di ibukota, atau di kotakota 
besar. Padahal kita tahu bahwa pertumbuhan ekonomi 
mempersyaratkan ketersediaan infra-struktur. Manakala variasi 
kesenjangan ketersediaan infrastruktur tidak difikirkan sejak 
awal, maka tuntutan transfer fiskal akan bermuara sama 
pertumbuhan ekononi hanya berlaku di sebagian daerah. Daerah-daerah 
yang infrastrukturnya tertinggal terus mengalami stagnasi, 
dan pada saat yang sama tetap menuntut tambahan transfer 
fiskan. Dalam kealphaan memetakan variasi ketersediaan 
infrastruktur ini, lalu bergulirlah stigmatisasi otonomi daerah. 
Desentralisasi dinilai melahirkan aktualisasi otonomi daerah 
secara memadai, lalu divonis gagal menghasilan kemajuan 
ekonomi lokal. 
Kecerobohan dalam contoh di atas terlihat dari insensitifitas pada 
variasi penyediaan (ketersediaan) infrastruktur untuk 
memfasilitasi pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi karena, 
dalam standar berfikir baku, desentralisasi adalah persoalan 
transfer kewenangan. Solusi dari segala diyakini bermula dari 
transfer kewenangan, dan persoalan instrastruktur dibicarakan 
setelah ada kepastian kewenangan masing-masing, dan 
kewenangan tersebut dijabarkan dalam disain kelembagaan dan 
proses perencanaan. Atas dasar itulah dilakukan transfer 
keuangan. Akibatnya, desentralisasi atau penyelenggaraan 
otonomi justru terjebak dalam fragmentasi penyedia dan 
penyediaan infrastruktur pembangunan ekonomi. 
Kalaulah transfer kewenangan dianggap penting, yang paling 
penting sebetulnya bukan kepastian rumusan kewenangan 
melainkan keseriusan dan kepiawaian dalam menggunakannya. 
Kita tahu bahwa betapapun seriusnya ditentukan batas 
kewenangan antar sektor, sektoralise tidak kunjung teratasi. 
Betatapun seriusnya kita bongkar pasang pembagian atau 
pemilahan kewenangan pemerintah nasional, pemerintah propinsi 
dan pemerintah kabupaten/ kota, kebijakan-kebijakan berikut 
penjabarannya ke dalam berbagai program pembangunan tetap 
6
saja tidak terintegrasi. Tidak ada komunikasi kebijakan antar level 
pemerintahan, sehingga kalaulah sama-sama berniat mengatasi 
kemiskinan, sambungan satu kebijakan dengan kebijakan lain 
tidak pernah terangkai. 
Ketika pemerintahan dihayati sebagai penggunaan kewenangan, 
bukan pencapaian tujuan tertentu, maka kegagalan mencapai misi 
bukanlah persoalan serius. Ketika pemerintahan dihayati sebagai 
penggunaan kewenangannya sendiri, maka tidak ada urgensi 
untuk mengetahui kesenjangan penggunaan kewenangan dari 
lembaga-lembaga lain, atau lembaga setara di level yang lain. 
Singkat cerita, kecenderungan-kecenderungan untuk berlindung 
dibalik kewenangan ini pada akhirnya bermuara pada 
insensitivitas pemerintah pada konteks. Yang lebih menjadi 
kehirauan adalah dasar hukum (cangkang kewenangan), bukan 
optimalnya solusi atau kesesuaian dengan konteks. Oleh karena 
itu, mind set yang obsesif dengan penggunaan kewenangan pada 
akhirnya kontra-produktif dengan penjaminan otonomi, yang misi 
utamanya adalah penyelesaian masalah sesuai konteks. 
Bikoratisme, bertolak belakang dengan penjaminan otonomi 
seluas-luasnya. Keinginan untuk menggunakan kewenangan 
untuk mendektekan apa yang perlu dilakukan, pada gilirannya 
justru mematikan otonomi itu sendiri. Otonomi justru harus 
dilakukan sedemikian sehingga tidak terkungkung pada 
keterbatasan imajinasi tentang cara mengatasi masalah. Sejalan 
dengan hal itu, otonomi, mau tidak mau melibatkan 
pendayagunaan pengetahuan dan kearifan lokal, dan pengetahuan 
ini biasanya berada dalam jangkauan mereka yang berada di 
puncak kewenangan. Penggunaan pengetahuan dan kearifan ini, 
dalam banyak kasus, tidak tergantung ataupun terkendala oleh 
tata kewenangan yang diberlakukan. 
Paparan di atas diharapkan memberikan cukup alasan untuk 
mengatakan bahwa pemikiran tentang desentralisasi selama ini 
terkungkung oleh cara berfikir administratif. Dalam kerangka ini, 
berlakulah definisi standar; bahwa ‘desentralisasi adalah 
pelimpahan kewenangan dari pemerintah nasional ke pemerintah 
lokal’. Kalau kewenangan sudah dilimpahkan, maka diasumsikan 
selesailah persoalan. Bahwa: ‘otonomi daerah adalah kewenangan 
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri’. 
Implikasinya, daerah harus egois, tidak perlu tahu apa yang 
dilakukan oleh tetangganya, tidak perlu berfikir apa yang 
dilakukan oleh pemerintah pada lapis kewenangan di atas dan 
dibawahnya. Muara dari cara berfikir ini adalah segmentasi, kalau 
bukan fragmentasi institusi pemerintahan. 
7
3. Asimetrisme: 
Keberanian Mengakui Keterbatasan. 
Pemerintahan berotonomi, adalah pemerintahan yang bekerja 
dengan pengetahuan dan pengalaman para pejabat dan 
masyarakatnya. Lebih dari itu, eksponen penyelenggara 
pemerintahan daerah tidak mungkin dilepaskan dari konteks 
kultural setempat, dari tata nilai dan adat istiadat yang 
berlangsung. Justru karena adanya hal-hal seperti itulah masuk 
akal kalau kewenangan pemerintahan dipindahkan ke tingkat 
lokal. Lebih dari itu, standar yang berlaku di satu daerah tidak 
selalu cocok untuk diberlakukan di daerah lain. 
Mari kita ambil Bali sebagai kasus. Kita tahu, denyut nadi 
perekonomian Bali adalah pariwisata. Di Bali telah terbentuk 
sistem kepariwisataan yang mapan, sedemikai sehingga dalam 
pegelolaan pariwisata pengkotak-kotakan otonomi daerah di 
tingkat kabupaten/kota justru merepotkan. Bali menghendaki 
titik berat otonomi daerah berada di tingkat propinsi, dan untuk 
itu Bali menuntut dikecualikan dari ketentuan yang ada. Bali 
menuntut diberi status sebagai daerah khusus, karena 
kekhususan kebutuhan dalam mengelola pariwisata. Perlu diingat 
bahwa ekonomi pariwisata di Bali memiliki dimensi internasional 
dan wawasan kedaerahan (kabupaten sentris) tentulah tidak 
memadai. 
Yang harus dicatat secara jujur di sini adalah bahwa kemampuan 
Bali mengembangkan pariwisata bukanlah karena pelimpahan 
kewenangan dari Pemerintah Nasional. Sistem dan budaya 
pariwisata yang ada disana bukanlah bentukan pemerintah 
nasional. Untuk itu, asimetri dalam desentralisasi juga perlu 
dimaknai sebagai pengakuan akan keterbatasan sistem nasional 
untuk mengemban misi internasional: mengelola industri 
kepariwisataan. Dalam konteks ini, watak internasionalnya 
pariwisata Bali justru terselenggara dengan baik oleh eksponen 
lokal yang bersatu dan tersinergi. Atas dasar hal itu, perlulah 
kiranya kita sadari bahwa pengembangan tata pemerintahan 
melibatkan proses saling belajar, bukan (sekedar) proses kuasa 
menguasai atau proses menaklukkan atas dasar tata kewenangan. 
Mind set desentralisasi tersebut tidak semestinya mengandaikan 
kekuasaan pemerintahan berlangsung dalam vacuum. Kekuatan 
yang berotonomi dengan serta-merta dapat mengatur dan 
mengurus rumah tangganya dalam koridor berfikir birokratis. 
Tidak terbayangkan sama sekali bahwa wacana desentralisasi 
akan melibatkan tarik ulur kewenangan. Kalaulah hal itu 
terpaksanya terjadi, maka hal itu dimaknai sekedar sebagai proses 
politicking yang perlu diratapi, bukan keniscayaan yang terjadi. 
Desentralisasi tidak sejak dari pangkalnya adalah fenomena 
8
politik, dan mengedepannya gejala politik dibalik kelangsung 
proses desentralisasi ataupun pelaksanaan otonomi daerah 
disikapi sekedar sebagai ekses. 
Patut disayangkan bahwa, selama ini tidak cukup tersedia 
keberanian untuk mengakui bahwa desentralisasi dan otonomi 
daerah adalah proses politik. Istilah ‘asimetri’, dalam konteks ini, 
diambil untuk menggambarkan relasi politik yang melibatkan 
eksponen lokal dengan eksponen nasional. Desentralisasi, dengan 
demikian bisa dan perlu dibayangkan sebagai pertarungan 
kepentingan dan agenda politik yang melibatkan setiap daerah. 
Kalaulah perpolitikan yang berlangsung menjadikan analisis 
administratif tidak tepat, bukanlah alasan untuk menyalahkan 
praktek politik yang berlangsung. Hal ini niscaya terjadi kalau 
diakui bahwa desentralisasi tidak berlangsung dalam vacuum 
kekuasaan. 
Selama ini ada keengganan untuk mengakui dan dengan langkah-langkah 
antisipatif mengelola desentralisasi sebagai proses politik. 
Pada saat yang sama, tidak ada keberanian untuk mengakui 
kesalahan di masa lalu, ataupun mengakumulasi pengalaman 
penting pernah dipraktekkan. Tidaklah mengherankan kalau pada 
akhirnya sejarah perjalan desentralisasi di negeri ini tapak zig-zag. 
10 Ada kalanya Indonesia gila-gilaan mengembosi otonomi, dan 
pada saat berikutnya gila otonomi. Sehubungan dengan 
keterbatasan cara pandang atau mind set birokratis tersebut di 
atas, perlu keberanian untuk membayangkan bahwa 
desentralisasi pemerintahan bukanlah semata-mata persoalan 
spesifikasi dan penggunaan kewenangan tidaklah memadai. 
Keberhasilan melakukan desentralisasi justru sangat ditentukan 
oleh kesediaan dan kemampuan belajar dari praktek, termasuk 
praktek perpolitikan yang berlangsung. 
Mengingat dahsyatnya keragaman masyarakat dan kondisi lokal di 
negeri ini, keinginan untuk menyeragamkan pengaturan pastilah 
terganjal kendala struktural. Hanya saja, kepengelolaan 
keragaman ini tidak sempat menjadi kehirauan manakala kita 
telah terbiasa untuk memikirkan pemerintahan dari pucuk 
piramida kekuasan, dengan mengandaikan setiap lapis 
pemerintahan yang lebih rendah mematuhi lapis yang lebih tinggi. 
Kita telah terbiasa menggunakan satu framework, yakni 
10 Purwo Santoso, DPRD: Simpul Kedaulatan Melalui Policy Making, Kajian Akademik 
Pembahasan Kedudukan, Fungsi dan Peran DPRD dalam Revisi Undang-Undang 
No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah Untuk Asosiasi DPRD Kota Seluruh 
Indonesia (ADEKSI). 
9
framework yang bias kepentingan pusat, yang karena dirawat 
secara gila-gilaan betul watak resminya hingga seakan-akan boleh 
menutup mata terhadap realita yang tak terbayangkan 
sebelumnya. Membabi-butanya kita dengan framework ini 
menjadikan kita tidak sempat melihat kerangka fikir alternatif,11 
yang berangkat dari konteks tertentu, yang “terperangkap” oleh 
situasi dan kondisi riel yang tak terelakkan.12 Kondisi lokal yang 
tak terhindrkan ini tidak mudah dimengerti oleh mereka yang 
tidak pernah merasakan dan menghayati kehidupan nyata di 
daerah-daerah.13 
Sebagai sebuah framework, asimetrisme dalam penataan 
pemerintahan mengedepan ketika kita mengalisis persoalan dan 
fenomena pemerintahan secara kontekstual. Kalaulah asimetrisme 
desentralisasi hendak diberlakukan, pegangannya adalah 
kontekstualisme.14Jalannya pemerintahan tidak hanya didektekan 
11 Yang menjadi persoalan di sini bukanlah hanya pandangan antara ‘penguasa’ di 
yang bekerja di dengan lingkup lintas daerah dan merasa superior dari mereka yang 
bekerja di level lokal yang didudukkan sebagai ‘obyek kekuasaan’. Kenyataan bahwa 
lingkup kekuasaan mereka lebih sempit dari lingkup kekuasaan mereka yang bekerja 
lintas-daerah sama sekali bukan menjadi alasan bahwa eksponen lokal tidak 
mempunyai kemampuan untuk melawan. Hanya karena perlawanan terbuka tidak 
terungkap, bukan berarti perlawanan tidak berlangsung. 
12 Eksponen lokal memiliki variasi karena harus bergulat dengan konteks lokal 
masing-masing. Sebagai contoh, kalaulah sama-sama membicarakan kemiskinan, ada 
setting mencolok antara kemiskinan di kawasan perkotaan dengan kemiskinan di 
kawasan pedesaan. Ada perbedaan atara situasi nelayan miskin dengan situasi petani 
miskin. Ada kesulitan khas pemerintahan di kawasan kepulauan dengan 
pemerintahan di kawasan pegunungan. Kalulah sama-sama harus berhadapan dengan 
isolasi, setting yang dihadapi berbeda-beda. 
13 Sebagai contoh, pegawai keuangan yang memeriksa SPJ tidak mudah memahami 
kenyataan bahwa biaya untuk perjalanan dari Ambon ke Jakarta jauh lebih murah dari 
pada biaya untuk mencapai kecamatan terjauh dari pemda di Maluku Tenggara. 
14 Contextualism adalah salah satu faham dalam filsafat ilmu yang meyakini bahwa 
kemampuan manusia untuk mencermati realita itu sangat terbatas. Apa yang diyakini 
sebagai kebenaran, harus difahami dalam konteks yang menyertainya. 
Sebagai contoh, masyarakat di Papua menolak diperlakukan tidak adil, menolak 
untuk tetap berada dalam keterbelakangan ekonomi atau kemiskinan. Mereka 
menggunakan istilah ‘merdeka’ sebagai kondisi ideal. Mereka tahu bahwa istilah 
mereka atau pro-merdeka menjadi stigma politik pemerintah. Dalam konteks ini, 
mereka membuat ungkapan yang terasa aneh kalau dilepaskan dari konteksnya: 
‘medeka dalam NKRI’. 
Contoh lain; Sultan Hamengku Buwono IX mewarini tatanan pemerintahan 
monarkhi namun pada saat yang sama sangat bersimpati dengan gagasan demokrasi. 
10
oleh peraturan perundang-undangan yang diberlakukan secara 
nasional (terpusat) melainkan juga ditentukan oleh institusi lokal, 
baik institusi resmi maupun tidak resmi. Singkat cerita, konteks 
ikut menentukan proses. Formalisme dalam pemikiran dan 
praktek pemerintahan inilah yang menjadikan konteks lokal tidak 
dihiraukan, dan pada saat yang sama diabaikan kemampuannya 
membajak agenda dan istilah resmi yang diberlakukan. 
Keengganan untuk mengakui keberadaan dan daya bajaknya ini 
pada gilirannya justru membuat kepura-puraan (urgensi untuk 
konsisten secara formal) semakin menjadi-jadi.15 
4. Penutup 
Tulisan disajikan lebih untuk mengtuk hati para kita yang tidak 
mudah merelakan asimetrisme menjadi acuan dalam penataan 
pemerintahan. Dalam tulisan ini, asimetrisme dihadirkan sebagai 
cara mendekati persoalan, yakni cara yang kontekstual. Dari 
pendekatan ini, jalannya pemerintahan sangat tergantung dari 
kemampuan kita menunggangi konteks. Oleh karena itu, 
pemetaan konteks yang hendak direspon dengan formula 
desentralisasi adalah keniscayaan. 
Tidak perlu dipungkiri bahwa, di negeri serumit Indonesia ini, 
asimetrisme bisa hadir sebagai semacam kotak pandora. Sekali 
dilepas, tidak dapat lagi dikendalikan. Kesediaan untuk 
menghormati kekhusuan akan diikuti dengan tuntutan untuk 
memperhatikan kekhususan yang lebih detail lagi. Pada akhirnya, 
asimetrisme bermuara pada situasi yang ungovernable. Oleh 
karena itu, yang penting untuk disepakati adalah kekhasan-kekhasan 
yang bersifat vital. 
Asimetrisme bermuasa pada fragmentasi. Oleh karena itu, 
keputusan untuk menerima asimetrisme sebagai kaidah harus 
dibarengi dengan pengembangan nasionalisme. Ada nasionalisme 
lokal dan ada pula nasionalisme nasional. Nasionalisme lokal 
harus ditransformasi menjadi basis aktualisasi nasionalisme 
nasional. Eksponen lokal perlu dieskpose dan didorong menjadi 
pemain berskala internasional. Di atas itu semua, asimetrisme 
dalam desentralisasi mensyaratkan kesediaan untuk belajar. 
Tantangan terbesar desentralisasi di Indonesia, dengan demikian, 
Mengingat dirinya tidak bisa keluar dari tradisi monarkhi bahwa pengisian jabatan 
dilakukan berdasarkan keturunan (bukan pemilihan) maka penjabaran faham 
demokrasi dipopulerkan dengan istilah ‘tahta untuk rakyat’ bukan dengan prinsip 
pemilihan pemimpin secara bebas dengan kaidah one man, one vote, one value. 
15 
11
adalah mentransformasikan desentralisasi yang authority-minded 
menjadi desentralisasi yang melibatkan saling umpan dan saling 
belajar antara eksponen nasional dengan eksponen lokal. Dengan 
ini, niscaya tarik ulur desentralisasi-sentralisasi tidak bergulir 
terus. 
12

More Related Content

Viewers also liked

Employee Burnout is a Complex Problem — But It Doesn’t Have to Be
Employee Burnout is a Complex Problem — But It Doesn’t Have to BeEmployee Burnout is a Complex Problem — But It Doesn’t Have to Be
Employee Burnout is a Complex Problem — But It Doesn’t Have to BeHuman Capital Media
 
ΤΡΑΠΕΖΑ ΘΕΜΑΤΩΝ Β ΠΡΟΣΑΝΑΤΟΛΙΣΜΟΥ ΘΕΜΑ Δ (ΔΙΑΤΗΡΗΣΗ ΤΗΣ ΟΡΜΗΣ)
ΤΡΑΠΕΖΑ ΘΕΜΑΤΩΝ Β ΠΡΟΣΑΝΑΤΟΛΙΣΜΟΥ ΘΕΜΑ Δ (ΔΙΑΤΗΡΗΣΗ ΤΗΣ ΟΡΜΗΣ)ΤΡΑΠΕΖΑ ΘΕΜΑΤΩΝ Β ΠΡΟΣΑΝΑΤΟΛΙΣΜΟΥ ΘΕΜΑ Δ (ΔΙΑΤΗΡΗΣΗ ΤΗΣ ΟΡΜΗΣ)
ΤΡΑΠΕΖΑ ΘΕΜΑΤΩΝ Β ΠΡΟΣΑΝΑΤΟΛΙΣΜΟΥ ΘΕΜΑ Δ (ΔΙΑΤΗΡΗΣΗ ΤΗΣ ΟΡΜΗΣ)fotisalexoglou
 
сентябрь 2014
сентябрь 2014сентябрь 2014
сентябрь 2014maltzewa
 
Fall Directors 2014: Junior/Upperclass Research Projects Presentation
Fall Directors 2014: Junior/Upperclass Research Projects PresentationFall Directors 2014: Junior/Upperclass Research Projects Presentation
Fall Directors 2014: Junior/Upperclass Research Projects PresentationBonner Foundation
 
Come unire la classificazione alberghiera con le recensioni
Come unire la classificazione alberghiera con le recensioni Come unire la classificazione alberghiera con le recensioni
Come unire la classificazione alberghiera con le recensioni Luciano Ardoino
 
Простая Модель Удержания, Клуб Интернет Маркетологов, 2014
Простая Модель Удержания, Клуб Интернет Маркетологов, 2014Простая Модель Удержания, Клуб Интернет Маркетологов, 2014
Простая Модель Удержания, Клуб Интернет Маркетологов, 2014Paul Levchuk
 
Open Badges and the Recognition of Prior Learning
Open Badges and the Recognition of Prior LearningOpen Badges and the Recognition of Prior Learning
Open Badges and the Recognition of Prior LearningDon Presant
 
Smoke free лето. Разорился ли российский ресторанный бизнес?
Smoke free лето. Разорился ли российский ресторанный бизнес?Smoke free лето. Разорился ли российский ресторанный бизнес?
Smoke free лето. Разорился ли российский ресторанный бизнес?Julia Viskrebentseva
 
μανόλης αναγνωστάκης
μανόλης αναγνωστάκηςμανόλης αναγνωστάκης
μανόλης αναγνωστάκηςftsfilologos
 

Viewers also liked (17)

Projekto pristatymas
Projekto pristatymasProjekto pristatymas
Projekto pristatymas
 
Employee Burnout is a Complex Problem — But It Doesn’t Have to Be
Employee Burnout is a Complex Problem — But It Doesn’t Have to BeEmployee Burnout is a Complex Problem — But It Doesn’t Have to Be
Employee Burnout is a Complex Problem — But It Doesn’t Have to Be
 
ΤΡΑΠΕΖΑ ΘΕΜΑΤΩΝ Β ΠΡΟΣΑΝΑΤΟΛΙΣΜΟΥ ΘΕΜΑ Δ (ΔΙΑΤΗΡΗΣΗ ΤΗΣ ΟΡΜΗΣ)
ΤΡΑΠΕΖΑ ΘΕΜΑΤΩΝ Β ΠΡΟΣΑΝΑΤΟΛΙΣΜΟΥ ΘΕΜΑ Δ (ΔΙΑΤΗΡΗΣΗ ΤΗΣ ΟΡΜΗΣ)ΤΡΑΠΕΖΑ ΘΕΜΑΤΩΝ Β ΠΡΟΣΑΝΑΤΟΛΙΣΜΟΥ ΘΕΜΑ Δ (ΔΙΑΤΗΡΗΣΗ ΤΗΣ ΟΡΜΗΣ)
ΤΡΑΠΕΖΑ ΘΕΜΑΤΩΝ Β ΠΡΟΣΑΝΑΤΟΛΙΣΜΟΥ ΘΕΜΑ Δ (ΔΙΑΤΗΡΗΣΗ ΤΗΣ ΟΡΜΗΣ)
 
сентябрь 2014
сентябрь 2014сентябрь 2014
сентябрь 2014
 
Ewrt 2 class 17 woolf
Ewrt 2 class 17 woolfEwrt 2 class 17 woolf
Ewrt 2 class 17 woolf
 
141111 deonderwijsdagen open and onlin education-sloep
141111 deonderwijsdagen open and onlin education-sloep141111 deonderwijsdagen open and onlin education-sloep
141111 deonderwijsdagen open and onlin education-sloep
 
Cerc donatori Tara Fagarasului
Cerc donatori Tara FagarasuluiCerc donatori Tara Fagarasului
Cerc donatori Tara Fagarasului
 
Fall Directors 2014: Junior/Upperclass Research Projects Presentation
Fall Directors 2014: Junior/Upperclass Research Projects PresentationFall Directors 2014: Junior/Upperclass Research Projects Presentation
Fall Directors 2014: Junior/Upperclass Research Projects Presentation
 
Survival camp 2014
Survival camp 2014Survival camp 2014
Survival camp 2014
 
Come unire la classificazione alberghiera con le recensioni
Come unire la classificazione alberghiera con le recensioni Come unire la classificazione alberghiera con le recensioni
Come unire la classificazione alberghiera con le recensioni
 
Простая Модель Удержания, Клуб Интернет Маркетологов, 2014
Простая Модель Удержания, Клуб Интернет Маркетологов, 2014Простая Модель Удержания, Клуб Интернет Маркетологов, 2014
Простая Модель Удержания, Клуб Интернет Маркетологов, 2014
 
Open Badges and the Recognition of Prior Learning
Open Badges and the Recognition of Prior LearningOpen Badges and the Recognition of Prior Learning
Open Badges and the Recognition of Prior Learning
 
Smoke free лето. Разорился ли российский ресторанный бизнес?
Smoke free лето. Разорился ли российский ресторанный бизнес?Smoke free лето. Разорился ли российский ресторанный бизнес?
Smoke free лето. Разорился ли российский ресторанный бизнес?
 
Publication plan
Publication planPublication plan
Publication plan
 
μανόλης αναγνωστάκης
μανόλης αναγνωστάκηςμανόλης αναγνωστάκης
μανόλης αναγνωστάκης
 
Orbiz
OrbizOrbiz
Orbiz
 
Cause or Reason
Cause or ReasonCause or Reason
Cause or Reason
 

Similar to Asimetri desentralisasi libre

Bab i desentralisasi
Bab i desentralisasiBab i desentralisasi
Bab i desentralisasiAra Vamps
 
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan riOtonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan riAhmad Solihin
 
Rpp ppkn sma xi bab 4 pertemuan 1
Rpp ppkn sma xi bab 4 pertemuan 1Rpp ppkn sma xi bab 4 pertemuan 1
Rpp ppkn sma xi bab 4 pertemuan 1eli priyatna laidan
 
Naskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoliNaskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoliYohannes Halawa
 
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIAHUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIASanawiyah29
 
Kajian Pengembangan Desentralisasi Asimetris
Kajian Pengembangan Desentralisasi AsimetrisKajian Pengembangan Desentralisasi Asimetris
Kajian Pengembangan Desentralisasi AsimetrisKrismiyati Tasrin
 
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan DaerahSistem Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan DaerahDadang Solihin
 
desentralisasi dan strukturisasi
desentralisasi dan strukturisasidesentralisasi dan strukturisasi
desentralisasi dan strukturisasiMohammad Nawawi
 
Diskusi Sesi 7.docx
Diskusi Sesi 7.docxDiskusi Sesi 7.docx
Diskusi Sesi 7.docxayiknina
 
Powerpoint paket 10 Pkn
Powerpoint paket 10 PknPowerpoint paket 10 Pkn
Powerpoint paket 10 PknAsepArsyad
 
Desentralisasi dan otonomi
Desentralisasi dan otonomiDesentralisasi dan otonomi
Desentralisasi dan otonomijenis6575
 
Pkn bab 4 a b harmonisasi pemerintah usat dan daerah
Pkn bab 4 a b harmonisasi pemerintah usat dan daerahPkn bab 4 a b harmonisasi pemerintah usat dan daerah
Pkn bab 4 a b harmonisasi pemerintah usat dan daerahScout Dan
 
Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...
Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...
Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...Iqbal Lfc
 
PEMDA OTDA 2.pptx
PEMDA OTDA 2.pptxPEMDA OTDA 2.pptx
PEMDA OTDA 2.pptxReisdro
 
Negara dan Konstitusi.pdf
Negara dan Konstitusi.pdfNegara dan Konstitusi.pdf
Negara dan Konstitusi.pdfZukét Printing
 

Similar to Asimetri desentralisasi libre (20)

Asimetri desentralisasi libre
Asimetri desentralisasi libreAsimetri desentralisasi libre
Asimetri desentralisasi libre
 
Bab i desentralisasi
Bab i desentralisasiBab i desentralisasi
Bab i desentralisasi
 
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan riOtonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
 
Rpp ppkn sma xi bab 4 pertemuan 1
Rpp ppkn sma xi bab 4 pertemuan 1Rpp ppkn sma xi bab 4 pertemuan 1
Rpp ppkn sma xi bab 4 pertemuan 1
 
Naskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoliNaskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoli
 
Manpem
ManpemManpem
Manpem
 
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIAHUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
 
Kajian Pengembangan Desentralisasi Asimetris
Kajian Pengembangan Desentralisasi AsimetrisKajian Pengembangan Desentralisasi Asimetris
Kajian Pengembangan Desentralisasi Asimetris
 
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan DaerahSistem Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
Sistem Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
 
desentralisasi dan strukturisasi
desentralisasi dan strukturisasidesentralisasi dan strukturisasi
desentralisasi dan strukturisasi
 
Sistem pemerintahan
Sistem pemerintahanSistem pemerintahan
Sistem pemerintahan
 
Makalah otonomi daerah 2
Makalah otonomi daerah 2Makalah otonomi daerah 2
Makalah otonomi daerah 2
 
Diskusi Sesi 7.docx
Diskusi Sesi 7.docxDiskusi Sesi 7.docx
Diskusi Sesi 7.docx
 
Powerpoint paket 10 Pkn
Powerpoint paket 10 PknPowerpoint paket 10 Pkn
Powerpoint paket 10 Pkn
 
Desentralisasi dan otonomi
Desentralisasi dan otonomiDesentralisasi dan otonomi
Desentralisasi dan otonomi
 
Pkn bab 4 a b harmonisasi pemerintah usat dan daerah
Pkn bab 4 a b harmonisasi pemerintah usat dan daerahPkn bab 4 a b harmonisasi pemerintah usat dan daerah
Pkn bab 4 a b harmonisasi pemerintah usat dan daerah
 
Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...
Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...
Ironi Pemekaran Wilayah, Buah Simalakama bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Repu...
 
PEMDA OTDA 2.pptx
PEMDA OTDA 2.pptxPEMDA OTDA 2.pptx
PEMDA OTDA 2.pptx
 
Bank english
Bank englishBank english
Bank english
 
Negara dan Konstitusi.pdf
Negara dan Konstitusi.pdfNegara dan Konstitusi.pdf
Negara dan Konstitusi.pdf
 

Recently uploaded

Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditYOSUAGETMIRAJAGUKGUK1
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptMuhammadNorman9
 
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAnthonyThony5
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxBudyHermawan3
 
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfNetraHartana
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxAmandaJesica
 
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdfPemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdfHarisKunaifi2
 
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptxMembangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptxBudyHermawan3
 
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1RomaDoni5
 

Recently uploaded (9)

Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
 
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
 
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
 
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdfPemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
 
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptxMembangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
 
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
 

Asimetri desentralisasi libre

  • 1. ASIMETRI DE SENTRALISASI1 Purwo Santoso2 Sebagai istilah atau label, ‘asimetri desentralisasi’ ataupun ‘desentralisasi asimetris’ seakan merupakan hal baru dalam kajian pemerintahan.3 Padahal, sebagai praktek hal itu sudah lama ada.4 Sudah sejak jaman kolonial hal ini diterapkan, dan bekasnya masih terlihat hingga kini. Desentralisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial melalui Decentralisatie Wet, 23 Juli 1903 membedakan perlakuan untuk Jawa dengan Luar Jawa.5 Kalaulah istilah asimetri desentralisasi belum populer, sejak dahulu kita toh sudah mengenal ‘daerah istimewa’ atau ’daerah khusus’. Undang-undang dasar kita mengenal hal itu. 1 Disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor pada tanggal 20 November 2012. 2 Guru besar Ilmu Pemerintahan; Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 3 Istilah yang dipakai para pakar berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah sistem differensial, mengingat initinya adalah Pemerintah Nasional melakukan diskriminasi positif dengan cara memperhatikan kekhususan atau keragaman situasi dan kondisi daerah. Prof. Sadhu Wasistiono, memilih istilah ‘desentralisasi berkesimbangan’ mengingat kalaulah ada perlakukan berbeda-beda, ujung-ujungnya harus ada keseimbangan antara kepentingan nasional dengan kepentingan lokal. Yang jelas, dengan dipakainya istilah-istilah ini, persoalan-persoalan kontekstual dalam skala lokal lebih mendapatkan perhatian. 4 Istilah desentralisasi asimetris juga banyak dipakai dalam kajian desentralisasi di negara-negara lain. Konsep ini dipakai untuk mengkerangkai perlakuan khusus dari dari-daerah-daerah yang memberontah (menuntut kemerdekaan) dan direspon dengan perlakukan khusus. Persoalan-persoalan seperti Quebec di Perancis, Basque di Spanyol, Sammi di Norwegia, Mindanau di Philippina, dan sejenisnya selama ini biasa dibahas dalam kerangka asimetrisme tatanan pemerintahan. Dalam konteks ini, perlakukan khusus untuk Aceh dan Papua, berada dalam tradisi kajian desentralisasi asimetris yang sudah populer dalam literatur. 5 Hanya saja, setelah Indonesia merdeka, pembedaan Jawa vs Luar Jawa dalam penataan pemerintahan tidak lagi diberlakukan. 1
  • 2. Desentralisasi atau penataan hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah nasional, tidak dapat berkelit dari keharusan untuk sensitif dengan vararisasi atau konteks lokal. Hanya saja, naluri untuk main pukul rata, sepertinya sudah cukup kuat tertanam. Pertanyaan sepele yang penting untuk diutarakan di sini adalah: “mengapa penggunaan istilah asimetri menyimpan unsur kejutan ? Tulisan ini dibuat sekedar untuk mengajak keluar dari kebiasaan untuk menyamaratakan daerah, padahal kita tahu, dalam kenyataannya ada perbedaan tajam antara yang satu dengan yang lain. Asimetri desentralisasi, dalam konteks ini diberlakukan sebagai pendekatan atau acuan dalam pencarian, bukan sebagai resep yang siap dipraktekkan. Dalam kajian internasional, konsep ini biasa dipakai untuk mengkerangkai ketegangan antara suatu daerah yang ingin memisahkan diri, dengan pemerintah nasional. Hanya saja, mengingat keragaman di negeri begitu luas dan mendalam, penerapannya perlu lebih sistematik, tidak sekedar sebagai reaksi terhadap upaya pemisahan diri. 1. Simetrisme: Kemewahan bagi Indonesia. Pemerintahan militeristik, seperti diberlakukan Orde Baru, memiliki kecenderungan untuk melakukan penyeragaman. Pemerintah memang memiliki serangkaian tujuan mulia, namun tujuan dan cara mencapainya dilakukan secara sepihak. Dalam cara pandang pemerintahan waktu itu, kesuksesan ditentukan oleh kesatuan dan kepatuhan pada komando yang terpusat. Pada saat yang sama, pemerintahan yang terpusat tersebut memang telah mengembangkan sistem perencanaan yang relatif mapan. Dari sudut pandang mengendalikan pemerintahan yang terpusat, cara berfikir ini bukan hanya menjanjikan keberhasilan, namun juga menyediakan kenyamanan tersendiri. Sepertinya kita telah hanyut dalam alur berfikir baku, bahwa Indonesia bisa dan perlu diatur secara seragam. Seolah-olah, keteraturan atau tatanan sistemik mengharuskan penyeragaman. Memang, penyeragaman memudahkan memudahkan komando diberikan dan dipatuhi. Akan tetapi, negara dan pemerintahan tidak dibuat demi menjamin kemudahan para pejabatnya memegang jabatan. Keengganan untuk membongkar cara berfikir yang obses dengan keseragaman, bisa dicurigai sebagai pemelihara naluri otoriter. Dalam melakukan penataan pemerintahan, kita berhadapan dengan situasi yang sebaliknya. Kita terikat dengan ketentuan konstitusi untuk mengelola menjamin terselenggaranya pemerintahan mengidap situasi paradoksal. Hal ini sebetulnya 2
  • 3. telah digariskan oleh the founding fathers negeri dalam sesanti: Bhinneka Tunggal Ika. Dalam menerapkan sesanti ini, kita diingatkan tidak boleh ada sikap yang mendua, atau setengah-setengah: tan hana dharma mangroa. Untuk itu, dalam penataan pemerintahan di negeri ini kita harus putar otak keras-keras: thinking out of the box.6 Apakah situasi paradoksal itu. Di satu sisi, diamanatkan konstitusi agar tata pemerintahan di negeri ini menjamin kesatuan Indonesia. Hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam doktrin ‘negara kesatuan’.7 Di sisi lain, ada keharusan untuk memberlakukan otonomi seluas-luasnya. Dilepaskan katub otonomi daerah secara besar-besaran melalui UU 22/1999 (yang kemudian telah beberapa kali direvisi), mau tidak mau membuka katub mobilisasi identitas lokal. Pemberlakukan otonomi luas telah diikuti dengan menggejalanya lokalisme yang mengkhawatirkan semangat kesatuan. Terlepas dari adanya keinginan untuk mengamputasi ketentuan konstitusi, kita tahu bahwa ada persoalan mind set atau cara berfikir yang membelenggu transformasi bangsa ini menuju tatanan yang diamanatkan konstitusi. Yang menjadi persoalan sebetulnya bukan keberadaan mind set itu sendiri, melainkan implikasi buruk yang menyertainya. Kebingungan dan kerancuan yang diakibatkan oleh belenggu mind set ini menjadikan kita (baca: Indonesia) tidak memiliki infrastruktur pemerintahan yang handal dalam policy-making. 2. Asimetrisme: Urge nsi Mespon Secara Kontekstual Asimetri desentralisasi terasa urgensinya untuk dikembangkan manakala kita berani untuk memahami dan mengembangkan sistem pemerintahan secara kontekstual. Kalangan kontekstualist meyakini, context does matter ! Kebijakan publik dapat berjalan dengan baik kalau konteksnya difahami dan dijadikan basis 6 Di satu sisi harus berfikir realistis-kontekstual, di sisi lain ada keperluan untuk melakukan refleksi secara mendalam, agar tidak terperangkap oleh situasi paradoksal ini. Hanya saja, tanpa sadar kita lebih subuk dengan aspek ke-ika-an dari pada ke-bhinneka- an. Kalaulah di sini istilah asimetri dipakai, penggunaannya adalah untuk menemukan keterkaitan antara keduanya, bukan sekedar menggeser obsesi seragam menjadi obsesi beragam. 7 Untuk itu digulirkan jargon: ‘NKRI harga mati’. Dibalik jargon itu ada upaya mobilisasi kesepakatan untuk tidak mengembangkan federalisme. 3
  • 4. pengelolaan proses kebijakan.8 Sebagai contoh, kita tahu bahwa Indonesia adalah negara maritim. Apakah konteks kemaritiman mendasari imajinasi tentang pemerintahan daerah yang berjaya dengan kekuatan maritimnya ? Mari kita cermati apa yang telah terjadi. Sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut. Klaim sebagai pemilik wilayah laut inipun didapatkan setelah perjuangan panjang dalam merumuskan UNCLOS (United Nation Convention of Law of Sea). Repotnya, konteks kemaritiman ini tidak mewarnai agenda pembangunan negeri ini karena penataan pemerintahan tidak dipandu oleh konteks maritim ini. Sadar akan pentingnya memahami dan mengembangkan Indonesia dalam konteks kemaritiman ini, sejumlah pemerintah daerah yang wilayahnya bersifat kepulauan bekerja sama untuk mengusuljkan Undang-undang daerah kepulauan. Ironisnya, ketika mengetahui bersatunya daerah-daerah berkonteks maritim ini, pemerintah nasional lebih menaruh curigai daripada mengapresiasinya. Perdebatan tentang konteks kemaritiman menjadi tidak konstruktif ketika ujung-ujungnya yang dibicarakan lebih pada persoalan alokasi fiskal. Apa pelajaran dari contoh di atas ? Desentralisasi didudukkan sebagai persoalan pelimpahan kewenangan, dan kalaulah hal itu dilakukan, tidak disertai dengan kejelasan arah penggunaan kewenangan itu sendiri. Kekuatan daerah untuk pengembangan potensi maritim belum dibahas dalam proses desentralisasi, dan kesulitan-kesulitan mendasar yang dihadapi daerah untuk itupun belum dibahas. Pada akhirnya, konteks maritim lebih hadir sebagai beban, bukan sebagai basis kemajuan bangsa ini. Argumentasi pemikiran kontekstualist tersebut di atas berseberangan dengan yang diyakini kalangan textualist yang meyakini bahwa keberhasilan kebijakan publik ditentukan oleh akurasi rumusan. Setelah kewenangan dibagi-bagi, lalu akan terjadi perumusan kebijakan. Di asumsikan, ada proses saling mengisi diantara pemangku kewenangan yang satu dengan pemangku kewenangan yang lain. Yang jelas terjadi adalah fragmentasi agenda dan arah kebijakan. Dalam buruknya sinkronisasi kebijakan, yang lebih sering terhadi adalah konflik dan overlap kebijakan. Cornelis Lay mengidentifikasi berbagai konteks atau keperluan yang pada gilirannya mendesakkan asimetri desentralisasi:9 8 Merelee S. Grindle, The Politics of Public Policy Implementation in the Developing Countries. 9 Cornelis Lay; “Asimetri dalam Komparasi”, dalam Prtikno et. al.; Laporan Akhir Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada 2010. 4
  • 5. · Respon tuntuan daerah untuk memisahkan diri. · Apresisai terhadap budaya, termasuk budaya kalangan minoritas. · Kesulitan teknokratis suatu (sejumlah) pemerintah daerah. · Pengembangan daya saing bangsa. · meminimalisasi resiko, misalnya untuk mengotimalkan pengelolaan kawasan perbatasan. Pelajaran yang kita bisa petik dari identifikasi tersebut di atas adalah bahwa desentralisasi dilakukan dengan adanya kesadaran akan masalah yang hendak diatasi, bukan sekedar sebagai persoalan bagi-bagi kewenangan. Desentralisasi adalah transformasi tata pemerintahan sedemikian sehingga masalah kunci yang mengganjal, dapat optimal teratasi. Desentralisasi tidak dilakukan demi pemerintah, baik pemerintah nasional maupun pemerintah lokal. Yang jelas, alasan-alasan pemberlakukan asimetri desentralisasi tersebut di atas ada dan cukup pelik. Sungguhpun demikian, pemikiran desentralisasi di negeri ini biasanya tidak terlalu terkait upaya untuk mengatasi persoalan-persoalan spesifik. Kebiasaan untuk memikirkan desentralisasi sebagai persoalan bagi-bagi kewenangan memiliki akibat fatal. Ada asumsi bahwa pembagi-bagian kewenangan akan menjadikan masalah negeri ini teratasi. Sebagai contoh, peningkatan pendidikan disepakai sebagai agenda yang luar biasa penting, sampai-sampai Undang-undang Dasar negeri ini mengharuskan alokasi anggaran sebesar 20% untuk itu. Di sini terjadi situasi aneh. Karena alokasi anggaran dirumuskan dalam APBN, maka yang berperan penting adalah pemerintah nasional, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara itu, yang kewenangan mengurusi pendidikan bagi sebagian besar anak didik adalah Dinas Pendidikan, yang notabene bawahan Bupati/Walikota. Dalam setting seperti ini banyak terjadi mismatch anggaran. Kabupaten/Walikota menghadapi anggaran, ditandai dengan banyaknya Sekolah yang bangunannya tidak kunjung diperbaiki karena keterbatasan anggaran. Yang kita hadapi pada akhirnya justru dislokasi kewenangan, dan muaranya adalah tidak optimalnya pencapaian misi. Sejalan dengan contoh di atas, kita terbiasa berasumsi bahwa desentralisasi akan mempercepat kesenjangan antar daerah, ataupun mempercepat pembangunan daerah tidak selalu terbukti. Contoh berikut ini penting untuk dicermati. Sejalan dengan desentralisasi dalam skala besar-besaran yang dilangsungkan sejak tahun 2000, transfer fiskal ke daerah telah berlipat ganda. Asumsinya, transfer ini akan meningkatkan 5
  • 6. kesejahteraan masyarakat di berbagai pelosok tanah air, ditandai dengan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang berotonomi luas. Dalam kenyataannya, pertumbuhan ekonomi hanya berlangsung di daerah-daerah yang memiliki infrastruktur untuk memproses transfer fiskal menjadi pertumbuhan ekonomi lokal. Contoh ini membukakan mata kita bahwa selama ini proses desentralisasi telah diusung diatas asumsi yang tidak akurat, dibangun diatas asumsi telah tersediaya infrastruktur untuk menopang pembangunan ekonomi. Jika asumsi ini benar adanya, maka masuk akallah kalau dibayangkan bahwa pemindahan lokus policy-making yang disertai dengan transfer fiskal akan menotori pertumbuhan ekonomi. Ada bias serius, yakni infrastruktur yang ada di mana-mana ternyata hanya ada di ibukota, atau di kotakota besar. Padahal kita tahu bahwa pertumbuhan ekonomi mempersyaratkan ketersediaan infra-struktur. Manakala variasi kesenjangan ketersediaan infrastruktur tidak difikirkan sejak awal, maka tuntutan transfer fiskal akan bermuara sama pertumbuhan ekononi hanya berlaku di sebagian daerah. Daerah-daerah yang infrastrukturnya tertinggal terus mengalami stagnasi, dan pada saat yang sama tetap menuntut tambahan transfer fiskan. Dalam kealphaan memetakan variasi ketersediaan infrastruktur ini, lalu bergulirlah stigmatisasi otonomi daerah. Desentralisasi dinilai melahirkan aktualisasi otonomi daerah secara memadai, lalu divonis gagal menghasilan kemajuan ekonomi lokal. Kecerobohan dalam contoh di atas terlihat dari insensitifitas pada variasi penyediaan (ketersediaan) infrastruktur untuk memfasilitasi pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi karena, dalam standar berfikir baku, desentralisasi adalah persoalan transfer kewenangan. Solusi dari segala diyakini bermula dari transfer kewenangan, dan persoalan instrastruktur dibicarakan setelah ada kepastian kewenangan masing-masing, dan kewenangan tersebut dijabarkan dalam disain kelembagaan dan proses perencanaan. Atas dasar itulah dilakukan transfer keuangan. Akibatnya, desentralisasi atau penyelenggaraan otonomi justru terjebak dalam fragmentasi penyedia dan penyediaan infrastruktur pembangunan ekonomi. Kalaulah transfer kewenangan dianggap penting, yang paling penting sebetulnya bukan kepastian rumusan kewenangan melainkan keseriusan dan kepiawaian dalam menggunakannya. Kita tahu bahwa betapapun seriusnya ditentukan batas kewenangan antar sektor, sektoralise tidak kunjung teratasi. Betatapun seriusnya kita bongkar pasang pembagian atau pemilahan kewenangan pemerintah nasional, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/ kota, kebijakan-kebijakan berikut penjabarannya ke dalam berbagai program pembangunan tetap 6
  • 7. saja tidak terintegrasi. Tidak ada komunikasi kebijakan antar level pemerintahan, sehingga kalaulah sama-sama berniat mengatasi kemiskinan, sambungan satu kebijakan dengan kebijakan lain tidak pernah terangkai. Ketika pemerintahan dihayati sebagai penggunaan kewenangan, bukan pencapaian tujuan tertentu, maka kegagalan mencapai misi bukanlah persoalan serius. Ketika pemerintahan dihayati sebagai penggunaan kewenangannya sendiri, maka tidak ada urgensi untuk mengetahui kesenjangan penggunaan kewenangan dari lembaga-lembaga lain, atau lembaga setara di level yang lain. Singkat cerita, kecenderungan-kecenderungan untuk berlindung dibalik kewenangan ini pada akhirnya bermuara pada insensitivitas pemerintah pada konteks. Yang lebih menjadi kehirauan adalah dasar hukum (cangkang kewenangan), bukan optimalnya solusi atau kesesuaian dengan konteks. Oleh karena itu, mind set yang obsesif dengan penggunaan kewenangan pada akhirnya kontra-produktif dengan penjaminan otonomi, yang misi utamanya adalah penyelesaian masalah sesuai konteks. Bikoratisme, bertolak belakang dengan penjaminan otonomi seluas-luasnya. Keinginan untuk menggunakan kewenangan untuk mendektekan apa yang perlu dilakukan, pada gilirannya justru mematikan otonomi itu sendiri. Otonomi justru harus dilakukan sedemikian sehingga tidak terkungkung pada keterbatasan imajinasi tentang cara mengatasi masalah. Sejalan dengan hal itu, otonomi, mau tidak mau melibatkan pendayagunaan pengetahuan dan kearifan lokal, dan pengetahuan ini biasanya berada dalam jangkauan mereka yang berada di puncak kewenangan. Penggunaan pengetahuan dan kearifan ini, dalam banyak kasus, tidak tergantung ataupun terkendala oleh tata kewenangan yang diberlakukan. Paparan di atas diharapkan memberikan cukup alasan untuk mengatakan bahwa pemikiran tentang desentralisasi selama ini terkungkung oleh cara berfikir administratif. Dalam kerangka ini, berlakulah definisi standar; bahwa ‘desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah nasional ke pemerintah lokal’. Kalau kewenangan sudah dilimpahkan, maka diasumsikan selesailah persoalan. Bahwa: ‘otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri’. Implikasinya, daerah harus egois, tidak perlu tahu apa yang dilakukan oleh tetangganya, tidak perlu berfikir apa yang dilakukan oleh pemerintah pada lapis kewenangan di atas dan dibawahnya. Muara dari cara berfikir ini adalah segmentasi, kalau bukan fragmentasi institusi pemerintahan. 7
  • 8. 3. Asimetrisme: Keberanian Mengakui Keterbatasan. Pemerintahan berotonomi, adalah pemerintahan yang bekerja dengan pengetahuan dan pengalaman para pejabat dan masyarakatnya. Lebih dari itu, eksponen penyelenggara pemerintahan daerah tidak mungkin dilepaskan dari konteks kultural setempat, dari tata nilai dan adat istiadat yang berlangsung. Justru karena adanya hal-hal seperti itulah masuk akal kalau kewenangan pemerintahan dipindahkan ke tingkat lokal. Lebih dari itu, standar yang berlaku di satu daerah tidak selalu cocok untuk diberlakukan di daerah lain. Mari kita ambil Bali sebagai kasus. Kita tahu, denyut nadi perekonomian Bali adalah pariwisata. Di Bali telah terbentuk sistem kepariwisataan yang mapan, sedemikai sehingga dalam pegelolaan pariwisata pengkotak-kotakan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota justru merepotkan. Bali menghendaki titik berat otonomi daerah berada di tingkat propinsi, dan untuk itu Bali menuntut dikecualikan dari ketentuan yang ada. Bali menuntut diberi status sebagai daerah khusus, karena kekhususan kebutuhan dalam mengelola pariwisata. Perlu diingat bahwa ekonomi pariwisata di Bali memiliki dimensi internasional dan wawasan kedaerahan (kabupaten sentris) tentulah tidak memadai. Yang harus dicatat secara jujur di sini adalah bahwa kemampuan Bali mengembangkan pariwisata bukanlah karena pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Nasional. Sistem dan budaya pariwisata yang ada disana bukanlah bentukan pemerintah nasional. Untuk itu, asimetri dalam desentralisasi juga perlu dimaknai sebagai pengakuan akan keterbatasan sistem nasional untuk mengemban misi internasional: mengelola industri kepariwisataan. Dalam konteks ini, watak internasionalnya pariwisata Bali justru terselenggara dengan baik oleh eksponen lokal yang bersatu dan tersinergi. Atas dasar hal itu, perlulah kiranya kita sadari bahwa pengembangan tata pemerintahan melibatkan proses saling belajar, bukan (sekedar) proses kuasa menguasai atau proses menaklukkan atas dasar tata kewenangan. Mind set desentralisasi tersebut tidak semestinya mengandaikan kekuasaan pemerintahan berlangsung dalam vacuum. Kekuatan yang berotonomi dengan serta-merta dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya dalam koridor berfikir birokratis. Tidak terbayangkan sama sekali bahwa wacana desentralisasi akan melibatkan tarik ulur kewenangan. Kalaulah hal itu terpaksanya terjadi, maka hal itu dimaknai sekedar sebagai proses politicking yang perlu diratapi, bukan keniscayaan yang terjadi. Desentralisasi tidak sejak dari pangkalnya adalah fenomena 8
  • 9. politik, dan mengedepannya gejala politik dibalik kelangsung proses desentralisasi ataupun pelaksanaan otonomi daerah disikapi sekedar sebagai ekses. Patut disayangkan bahwa, selama ini tidak cukup tersedia keberanian untuk mengakui bahwa desentralisasi dan otonomi daerah adalah proses politik. Istilah ‘asimetri’, dalam konteks ini, diambil untuk menggambarkan relasi politik yang melibatkan eksponen lokal dengan eksponen nasional. Desentralisasi, dengan demikian bisa dan perlu dibayangkan sebagai pertarungan kepentingan dan agenda politik yang melibatkan setiap daerah. Kalaulah perpolitikan yang berlangsung menjadikan analisis administratif tidak tepat, bukanlah alasan untuk menyalahkan praktek politik yang berlangsung. Hal ini niscaya terjadi kalau diakui bahwa desentralisasi tidak berlangsung dalam vacuum kekuasaan. Selama ini ada keengganan untuk mengakui dan dengan langkah-langkah antisipatif mengelola desentralisasi sebagai proses politik. Pada saat yang sama, tidak ada keberanian untuk mengakui kesalahan di masa lalu, ataupun mengakumulasi pengalaman penting pernah dipraktekkan. Tidaklah mengherankan kalau pada akhirnya sejarah perjalan desentralisasi di negeri ini tapak zig-zag. 10 Ada kalanya Indonesia gila-gilaan mengembosi otonomi, dan pada saat berikutnya gila otonomi. Sehubungan dengan keterbatasan cara pandang atau mind set birokratis tersebut di atas, perlu keberanian untuk membayangkan bahwa desentralisasi pemerintahan bukanlah semata-mata persoalan spesifikasi dan penggunaan kewenangan tidaklah memadai. Keberhasilan melakukan desentralisasi justru sangat ditentukan oleh kesediaan dan kemampuan belajar dari praktek, termasuk praktek perpolitikan yang berlangsung. Mengingat dahsyatnya keragaman masyarakat dan kondisi lokal di negeri ini, keinginan untuk menyeragamkan pengaturan pastilah terganjal kendala struktural. Hanya saja, kepengelolaan keragaman ini tidak sempat menjadi kehirauan manakala kita telah terbiasa untuk memikirkan pemerintahan dari pucuk piramida kekuasan, dengan mengandaikan setiap lapis pemerintahan yang lebih rendah mematuhi lapis yang lebih tinggi. Kita telah terbiasa menggunakan satu framework, yakni 10 Purwo Santoso, DPRD: Simpul Kedaulatan Melalui Policy Making, Kajian Akademik Pembahasan Kedudukan, Fungsi dan Peran DPRD dalam Revisi Undang-Undang No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah Untuk Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI). 9
  • 10. framework yang bias kepentingan pusat, yang karena dirawat secara gila-gilaan betul watak resminya hingga seakan-akan boleh menutup mata terhadap realita yang tak terbayangkan sebelumnya. Membabi-butanya kita dengan framework ini menjadikan kita tidak sempat melihat kerangka fikir alternatif,11 yang berangkat dari konteks tertentu, yang “terperangkap” oleh situasi dan kondisi riel yang tak terelakkan.12 Kondisi lokal yang tak terhindrkan ini tidak mudah dimengerti oleh mereka yang tidak pernah merasakan dan menghayati kehidupan nyata di daerah-daerah.13 Sebagai sebuah framework, asimetrisme dalam penataan pemerintahan mengedepan ketika kita mengalisis persoalan dan fenomena pemerintahan secara kontekstual. Kalaulah asimetrisme desentralisasi hendak diberlakukan, pegangannya adalah kontekstualisme.14Jalannya pemerintahan tidak hanya didektekan 11 Yang menjadi persoalan di sini bukanlah hanya pandangan antara ‘penguasa’ di yang bekerja di dengan lingkup lintas daerah dan merasa superior dari mereka yang bekerja di level lokal yang didudukkan sebagai ‘obyek kekuasaan’. Kenyataan bahwa lingkup kekuasaan mereka lebih sempit dari lingkup kekuasaan mereka yang bekerja lintas-daerah sama sekali bukan menjadi alasan bahwa eksponen lokal tidak mempunyai kemampuan untuk melawan. Hanya karena perlawanan terbuka tidak terungkap, bukan berarti perlawanan tidak berlangsung. 12 Eksponen lokal memiliki variasi karena harus bergulat dengan konteks lokal masing-masing. Sebagai contoh, kalaulah sama-sama membicarakan kemiskinan, ada setting mencolok antara kemiskinan di kawasan perkotaan dengan kemiskinan di kawasan pedesaan. Ada perbedaan atara situasi nelayan miskin dengan situasi petani miskin. Ada kesulitan khas pemerintahan di kawasan kepulauan dengan pemerintahan di kawasan pegunungan. Kalulah sama-sama harus berhadapan dengan isolasi, setting yang dihadapi berbeda-beda. 13 Sebagai contoh, pegawai keuangan yang memeriksa SPJ tidak mudah memahami kenyataan bahwa biaya untuk perjalanan dari Ambon ke Jakarta jauh lebih murah dari pada biaya untuk mencapai kecamatan terjauh dari pemda di Maluku Tenggara. 14 Contextualism adalah salah satu faham dalam filsafat ilmu yang meyakini bahwa kemampuan manusia untuk mencermati realita itu sangat terbatas. Apa yang diyakini sebagai kebenaran, harus difahami dalam konteks yang menyertainya. Sebagai contoh, masyarakat di Papua menolak diperlakukan tidak adil, menolak untuk tetap berada dalam keterbelakangan ekonomi atau kemiskinan. Mereka menggunakan istilah ‘merdeka’ sebagai kondisi ideal. Mereka tahu bahwa istilah mereka atau pro-merdeka menjadi stigma politik pemerintah. Dalam konteks ini, mereka membuat ungkapan yang terasa aneh kalau dilepaskan dari konteksnya: ‘medeka dalam NKRI’. Contoh lain; Sultan Hamengku Buwono IX mewarini tatanan pemerintahan monarkhi namun pada saat yang sama sangat bersimpati dengan gagasan demokrasi. 10
  • 11. oleh peraturan perundang-undangan yang diberlakukan secara nasional (terpusat) melainkan juga ditentukan oleh institusi lokal, baik institusi resmi maupun tidak resmi. Singkat cerita, konteks ikut menentukan proses. Formalisme dalam pemikiran dan praktek pemerintahan inilah yang menjadikan konteks lokal tidak dihiraukan, dan pada saat yang sama diabaikan kemampuannya membajak agenda dan istilah resmi yang diberlakukan. Keengganan untuk mengakui keberadaan dan daya bajaknya ini pada gilirannya justru membuat kepura-puraan (urgensi untuk konsisten secara formal) semakin menjadi-jadi.15 4. Penutup Tulisan disajikan lebih untuk mengtuk hati para kita yang tidak mudah merelakan asimetrisme menjadi acuan dalam penataan pemerintahan. Dalam tulisan ini, asimetrisme dihadirkan sebagai cara mendekati persoalan, yakni cara yang kontekstual. Dari pendekatan ini, jalannya pemerintahan sangat tergantung dari kemampuan kita menunggangi konteks. Oleh karena itu, pemetaan konteks yang hendak direspon dengan formula desentralisasi adalah keniscayaan. Tidak perlu dipungkiri bahwa, di negeri serumit Indonesia ini, asimetrisme bisa hadir sebagai semacam kotak pandora. Sekali dilepas, tidak dapat lagi dikendalikan. Kesediaan untuk menghormati kekhusuan akan diikuti dengan tuntutan untuk memperhatikan kekhususan yang lebih detail lagi. Pada akhirnya, asimetrisme bermuara pada situasi yang ungovernable. Oleh karena itu, yang penting untuk disepakati adalah kekhasan-kekhasan yang bersifat vital. Asimetrisme bermuasa pada fragmentasi. Oleh karena itu, keputusan untuk menerima asimetrisme sebagai kaidah harus dibarengi dengan pengembangan nasionalisme. Ada nasionalisme lokal dan ada pula nasionalisme nasional. Nasionalisme lokal harus ditransformasi menjadi basis aktualisasi nasionalisme nasional. Eksponen lokal perlu dieskpose dan didorong menjadi pemain berskala internasional. Di atas itu semua, asimetrisme dalam desentralisasi mensyaratkan kesediaan untuk belajar. Tantangan terbesar desentralisasi di Indonesia, dengan demikian, Mengingat dirinya tidak bisa keluar dari tradisi monarkhi bahwa pengisian jabatan dilakukan berdasarkan keturunan (bukan pemilihan) maka penjabaran faham demokrasi dipopulerkan dengan istilah ‘tahta untuk rakyat’ bukan dengan prinsip pemilihan pemimpin secara bebas dengan kaidah one man, one vote, one value. 15 11
  • 12. adalah mentransformasikan desentralisasi yang authority-minded menjadi desentralisasi yang melibatkan saling umpan dan saling belajar antara eksponen nasional dengan eksponen lokal. Dengan ini, niscaya tarik ulur desentralisasi-sentralisasi tidak bergulir terus. 12