UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
Asimetri desentralisasi libre
1. ASIMETRI DE SENTRALISASI1
Purwo Santoso2
Sebagai istilah atau label, ‘asimetri desentralisasi’ ataupun
‘desentralisasi asimetris’ seakan merupakan hal baru dalam kajian
pemerintahan.3 Padahal, sebagai praktek hal itu sudah lama ada.4
Sudah sejak jaman kolonial hal ini diterapkan, dan bekasnya
masih terlihat hingga kini. Desentralisasi yang diselenggarakan
oleh pemerintah kolonial melalui Decentralisatie Wet, 23 Juli 1903
membedakan perlakuan untuk Jawa dengan Luar Jawa.5 Kalaulah
istilah asimetri desentralisasi belum populer, sejak dahulu kita toh
sudah mengenal ‘daerah istimewa’ atau ’daerah khusus’. Undang-undang
dasar kita mengenal hal itu.
1 Disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan Institut Pemerintahan Dalam
Negeri (IPDN) di Jatinangor pada tanggal 20 November 2012.
2 Guru besar Ilmu Pemerintahan; Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3 Istilah yang dipakai para pakar berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah sistem
differensial, mengingat initinya adalah Pemerintah Nasional melakukan diskriminasi
positif dengan cara memperhatikan kekhususan atau keragaman situasi dan kondisi
daerah. Prof. Sadhu Wasistiono, memilih istilah ‘desentralisasi berkesimbangan’
mengingat kalaulah ada perlakukan berbeda-beda, ujung-ujungnya harus ada
keseimbangan antara kepentingan nasional dengan kepentingan lokal. Yang jelas,
dengan dipakainya istilah-istilah ini, persoalan-persoalan kontekstual dalam skala
lokal lebih mendapatkan perhatian.
4 Istilah desentralisasi asimetris juga banyak dipakai dalam kajian desentralisasi di
negara-negara lain. Konsep ini dipakai untuk mengkerangkai perlakuan khusus dari
dari-daerah-daerah yang memberontah (menuntut kemerdekaan) dan direspon
dengan perlakukan khusus. Persoalan-persoalan seperti Quebec di Perancis, Basque
di Spanyol, Sammi di Norwegia, Mindanau di Philippina, dan sejenisnya selama ini
biasa dibahas dalam kerangka asimetrisme tatanan pemerintahan. Dalam konteks ini,
perlakukan khusus untuk Aceh dan Papua, berada dalam tradisi kajian desentralisasi
asimetris yang sudah populer dalam literatur.
5 Hanya saja, setelah Indonesia merdeka, pembedaan Jawa vs Luar Jawa dalam
penataan pemerintahan tidak lagi diberlakukan.
1
2. Desentralisasi atau penataan hubungan pemerintah pusat dengan
pemerintah nasional, tidak dapat berkelit dari keharusan untuk
sensitif dengan vararisasi atau konteks lokal. Hanya saja, naluri
untuk main pukul rata, sepertinya sudah cukup kuat tertanam.
Pertanyaan sepele yang penting untuk diutarakan di sini adalah:
“mengapa penggunaan istilah asimetri menyimpan unsur kejutan ?
Tulisan ini dibuat sekedar untuk mengajak keluar dari kebiasaan
untuk menyamaratakan daerah, padahal kita tahu, dalam
kenyataannya ada perbedaan tajam antara yang satu dengan yang
lain. Asimetri desentralisasi, dalam konteks ini diberlakukan
sebagai pendekatan atau acuan dalam pencarian, bukan sebagai
resep yang siap dipraktekkan. Dalam kajian internasional, konsep
ini biasa dipakai untuk mengkerangkai ketegangan antara suatu
daerah yang ingin memisahkan diri, dengan pemerintah nasional.
Hanya saja, mengingat keragaman di negeri begitu luas dan
mendalam, penerapannya perlu lebih sistematik, tidak sekedar
sebagai reaksi terhadap upaya pemisahan diri.
1. Simetrisme:
Kemewahan bagi Indonesia.
Pemerintahan militeristik, seperti diberlakukan Orde Baru,
memiliki kecenderungan untuk melakukan penyeragaman.
Pemerintah memang memiliki serangkaian tujuan mulia, namun
tujuan dan cara mencapainya dilakukan secara sepihak. Dalam
cara pandang pemerintahan waktu itu, kesuksesan ditentukan
oleh kesatuan dan kepatuhan pada komando yang terpusat. Pada
saat yang sama, pemerintahan yang terpusat tersebut memang
telah mengembangkan sistem perencanaan yang relatif mapan.
Dari sudut pandang mengendalikan pemerintahan yang terpusat,
cara berfikir ini bukan hanya menjanjikan keberhasilan, namun
juga menyediakan kenyamanan tersendiri.
Sepertinya kita telah hanyut dalam alur berfikir baku, bahwa
Indonesia bisa dan perlu diatur secara seragam. Seolah-olah,
keteraturan atau tatanan sistemik mengharuskan penyeragaman.
Memang, penyeragaman memudahkan memudahkan komando
diberikan dan dipatuhi. Akan tetapi, negara dan pemerintahan
tidak dibuat demi menjamin kemudahan para pejabatnya
memegang jabatan. Keengganan untuk membongkar cara berfikir
yang obses dengan keseragaman, bisa dicurigai sebagai
pemelihara naluri otoriter.
Dalam melakukan penataan pemerintahan, kita berhadapan
dengan situasi yang sebaliknya. Kita terikat dengan ketentuan
konstitusi untuk mengelola menjamin terselenggaranya
pemerintahan mengidap situasi paradoksal. Hal ini sebetulnya
2
3. telah digariskan oleh the founding fathers negeri dalam sesanti:
Bhinneka Tunggal Ika. Dalam menerapkan sesanti ini, kita
diingatkan tidak boleh ada sikap yang mendua, atau setengah-setengah:
tan hana dharma mangroa. Untuk itu, dalam penataan
pemerintahan di negeri ini kita harus putar otak keras-keras:
thinking out of the box.6
Apakah situasi paradoksal itu. Di satu sisi, diamanatkan
konstitusi agar tata pemerintahan di negeri ini menjamin kesatuan
Indonesia. Hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam doktrin ‘negara
kesatuan’.7 Di sisi lain, ada keharusan untuk memberlakukan
otonomi seluas-luasnya. Dilepaskan katub otonomi daerah secara
besar-besaran melalui UU 22/1999 (yang kemudian telah
beberapa kali direvisi), mau tidak mau membuka katub mobilisasi
identitas lokal. Pemberlakukan otonomi luas telah diikuti dengan
menggejalanya lokalisme yang mengkhawatirkan semangat
kesatuan.
Terlepas dari adanya keinginan untuk mengamputasi ketentuan
konstitusi, kita tahu bahwa ada persoalan mind set atau cara
berfikir yang membelenggu transformasi bangsa ini menuju
tatanan yang diamanatkan konstitusi. Yang menjadi persoalan
sebetulnya bukan keberadaan mind set itu sendiri, melainkan
implikasi buruk yang menyertainya. Kebingungan dan kerancuan
yang diakibatkan oleh belenggu mind set ini menjadikan kita
(baca: Indonesia) tidak memiliki infrastruktur pemerintahan yang
handal dalam policy-making.
2. Asimetrisme:
Urge nsi Mespon Secara Kontekstual
Asimetri desentralisasi terasa urgensinya untuk dikembangkan
manakala kita berani untuk memahami dan mengembangkan
sistem pemerintahan secara kontekstual. Kalangan kontekstualist
meyakini, context does matter ! Kebijakan publik dapat berjalan
dengan baik kalau konteksnya difahami dan dijadikan basis
6 Di satu sisi harus berfikir realistis-kontekstual, di sisi lain ada keperluan untuk
melakukan refleksi secara mendalam, agar tidak terperangkap oleh situasi paradoksal
ini. Hanya saja, tanpa sadar kita lebih subuk dengan aspek ke-ika-an dari pada ke-bhinneka-
an. Kalaulah di sini istilah asimetri dipakai, penggunaannya adalah untuk
menemukan keterkaitan antara keduanya, bukan sekedar menggeser obsesi seragam
menjadi obsesi beragam.
7 Untuk itu digulirkan jargon: ‘NKRI harga mati’. Dibalik jargon itu ada upaya
mobilisasi kesepakatan untuk tidak mengembangkan federalisme.
3
4. pengelolaan proses kebijakan.8 Sebagai contoh, kita tahu bahwa
Indonesia adalah negara maritim. Apakah konteks kemaritiman
mendasari imajinasi tentang pemerintahan daerah yang berjaya
dengan kekuatan maritimnya ? Mari kita cermati apa yang telah
terjadi.
Sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut. Klaim sebagai
pemilik wilayah laut inipun didapatkan setelah perjuangan
panjang dalam merumuskan UNCLOS (United Nation Convention of
Law of Sea). Repotnya, konteks kemaritiman ini tidak mewarnai
agenda pembangunan negeri ini karena penataan pemerintahan
tidak dipandu oleh konteks maritim ini. Sadar akan pentingnya
memahami dan mengembangkan Indonesia dalam konteks
kemaritiman ini, sejumlah pemerintah daerah yang wilayahnya
bersifat kepulauan bekerja sama untuk mengusuljkan Undang-undang
daerah kepulauan. Ironisnya, ketika mengetahui
bersatunya daerah-daerah berkonteks maritim ini, pemerintah
nasional lebih menaruh curigai daripada mengapresiasinya.
Perdebatan tentang konteks kemaritiman menjadi tidak
konstruktif ketika ujung-ujungnya yang dibicarakan lebih pada
persoalan alokasi fiskal.
Apa pelajaran dari contoh di atas ? Desentralisasi didudukkan
sebagai persoalan pelimpahan kewenangan, dan kalaulah hal itu
dilakukan, tidak disertai dengan kejelasan arah penggunaan
kewenangan itu sendiri. Kekuatan daerah untuk pengembangan
potensi maritim belum dibahas dalam proses desentralisasi, dan
kesulitan-kesulitan mendasar yang dihadapi daerah untuk itupun
belum dibahas. Pada akhirnya, konteks maritim lebih hadir
sebagai beban, bukan sebagai basis kemajuan bangsa ini.
Argumentasi pemikiran kontekstualist tersebut di atas
berseberangan dengan yang diyakini kalangan textualist yang
meyakini bahwa keberhasilan kebijakan publik ditentukan oleh
akurasi rumusan. Setelah kewenangan dibagi-bagi, lalu akan
terjadi perumusan kebijakan. Di asumsikan, ada proses saling
mengisi diantara pemangku kewenangan yang satu dengan
pemangku kewenangan yang lain. Yang jelas terjadi adalah
fragmentasi agenda dan arah kebijakan. Dalam buruknya
sinkronisasi kebijakan, yang lebih sering terhadi adalah konflik
dan overlap kebijakan.
Cornelis Lay mengidentifikasi berbagai konteks atau keperluan
yang pada gilirannya mendesakkan asimetri desentralisasi:9
8 Merelee S. Grindle, The Politics of Public Policy Implementation in the Developing Countries.
9 Cornelis Lay; “Asimetri dalam Komparasi”, dalam Prtikno et. al.; Laporan Akhir
Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada 2010.
4
5. · Respon tuntuan daerah untuk memisahkan diri.
· Apresisai terhadap budaya, termasuk budaya kalangan
minoritas.
· Kesulitan teknokratis suatu (sejumlah) pemerintah daerah.
· Pengembangan daya saing bangsa.
· meminimalisasi resiko, misalnya untuk mengotimalkan
pengelolaan kawasan perbatasan.
Pelajaran yang kita bisa petik dari identifikasi tersebut di atas
adalah bahwa desentralisasi dilakukan dengan adanya kesadaran
akan masalah yang hendak diatasi, bukan sekedar sebagai
persoalan bagi-bagi kewenangan. Desentralisasi adalah
transformasi tata pemerintahan sedemikian sehingga masalah
kunci yang mengganjal, dapat optimal teratasi. Desentralisasi
tidak dilakukan demi pemerintah, baik pemerintah nasional
maupun pemerintah lokal. Yang jelas, alasan-alasan
pemberlakukan asimetri desentralisasi tersebut di atas ada dan
cukup pelik. Sungguhpun demikian, pemikiran desentralisasi di
negeri ini biasanya tidak terlalu terkait upaya untuk mengatasi
persoalan-persoalan spesifik.
Kebiasaan untuk memikirkan desentralisasi sebagai persoalan
bagi-bagi kewenangan memiliki akibat fatal. Ada asumsi bahwa
pembagi-bagian kewenangan akan menjadikan masalah negeri ini
teratasi. Sebagai contoh, peningkatan pendidikan disepakai
sebagai agenda yang luar biasa penting, sampai-sampai Undang-undang
Dasar negeri ini mengharuskan alokasi anggaran sebesar
20% untuk itu. Di sini terjadi situasi aneh. Karena alokasi
anggaran dirumuskan dalam APBN, maka yang berperan penting
adalah pemerintah nasional, khususnya Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Sementara itu, yang kewenangan mengurusi
pendidikan bagi sebagian besar anak didik adalah Dinas
Pendidikan, yang notabene bawahan Bupati/Walikota. Dalam
setting seperti ini banyak terjadi mismatch anggaran.
Kabupaten/Walikota menghadapi anggaran, ditandai dengan
banyaknya Sekolah yang bangunannya tidak kunjung diperbaiki
karena keterbatasan anggaran. Yang kita hadapi pada akhirnya
justru dislokasi kewenangan, dan muaranya adalah tidak
optimalnya pencapaian misi.
Sejalan dengan contoh di atas, kita terbiasa berasumsi bahwa
desentralisasi akan mempercepat kesenjangan antar daerah,
ataupun mempercepat pembangunan daerah tidak selalu terbukti.
Contoh berikut ini penting untuk dicermati.
Sejalan dengan desentralisasi dalam skala besar-besaran yang
dilangsungkan sejak tahun 2000, transfer fiskal ke daerah telah
berlipat ganda. Asumsinya, transfer ini akan meningkatkan
5
6. kesejahteraan masyarakat di berbagai pelosok tanah air, ditandai
dengan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang berotonomi
luas. Dalam kenyataannya, pertumbuhan ekonomi hanya
berlangsung di daerah-daerah yang memiliki infrastruktur untuk
memproses transfer fiskal menjadi pertumbuhan ekonomi lokal.
Contoh ini membukakan mata kita bahwa selama ini proses
desentralisasi telah diusung diatas asumsi yang tidak akurat,
dibangun diatas asumsi telah tersediaya infrastruktur untuk
menopang pembangunan ekonomi. Jika asumsi ini benar adanya,
maka masuk akallah kalau dibayangkan bahwa pemindahan lokus
policy-making yang disertai dengan transfer fiskal akan menotori
pertumbuhan ekonomi. Ada bias serius, yakni infrastruktur yang
ada di mana-mana ternyata hanya ada di ibukota, atau di kotakota
besar. Padahal kita tahu bahwa pertumbuhan ekonomi
mempersyaratkan ketersediaan infra-struktur. Manakala variasi
kesenjangan ketersediaan infrastruktur tidak difikirkan sejak
awal, maka tuntutan transfer fiskal akan bermuara sama
pertumbuhan ekononi hanya berlaku di sebagian daerah. Daerah-daerah
yang infrastrukturnya tertinggal terus mengalami stagnasi,
dan pada saat yang sama tetap menuntut tambahan transfer
fiskan. Dalam kealphaan memetakan variasi ketersediaan
infrastruktur ini, lalu bergulirlah stigmatisasi otonomi daerah.
Desentralisasi dinilai melahirkan aktualisasi otonomi daerah
secara memadai, lalu divonis gagal menghasilan kemajuan
ekonomi lokal.
Kecerobohan dalam contoh di atas terlihat dari insensitifitas pada
variasi penyediaan (ketersediaan) infrastruktur untuk
memfasilitasi pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi karena,
dalam standar berfikir baku, desentralisasi adalah persoalan
transfer kewenangan. Solusi dari segala diyakini bermula dari
transfer kewenangan, dan persoalan instrastruktur dibicarakan
setelah ada kepastian kewenangan masing-masing, dan
kewenangan tersebut dijabarkan dalam disain kelembagaan dan
proses perencanaan. Atas dasar itulah dilakukan transfer
keuangan. Akibatnya, desentralisasi atau penyelenggaraan
otonomi justru terjebak dalam fragmentasi penyedia dan
penyediaan infrastruktur pembangunan ekonomi.
Kalaulah transfer kewenangan dianggap penting, yang paling
penting sebetulnya bukan kepastian rumusan kewenangan
melainkan keseriusan dan kepiawaian dalam menggunakannya.
Kita tahu bahwa betapapun seriusnya ditentukan batas
kewenangan antar sektor, sektoralise tidak kunjung teratasi.
Betatapun seriusnya kita bongkar pasang pembagian atau
pemilahan kewenangan pemerintah nasional, pemerintah propinsi
dan pemerintah kabupaten/ kota, kebijakan-kebijakan berikut
penjabarannya ke dalam berbagai program pembangunan tetap
6
7. saja tidak terintegrasi. Tidak ada komunikasi kebijakan antar level
pemerintahan, sehingga kalaulah sama-sama berniat mengatasi
kemiskinan, sambungan satu kebijakan dengan kebijakan lain
tidak pernah terangkai.
Ketika pemerintahan dihayati sebagai penggunaan kewenangan,
bukan pencapaian tujuan tertentu, maka kegagalan mencapai misi
bukanlah persoalan serius. Ketika pemerintahan dihayati sebagai
penggunaan kewenangannya sendiri, maka tidak ada urgensi
untuk mengetahui kesenjangan penggunaan kewenangan dari
lembaga-lembaga lain, atau lembaga setara di level yang lain.
Singkat cerita, kecenderungan-kecenderungan untuk berlindung
dibalik kewenangan ini pada akhirnya bermuara pada
insensitivitas pemerintah pada konteks. Yang lebih menjadi
kehirauan adalah dasar hukum (cangkang kewenangan), bukan
optimalnya solusi atau kesesuaian dengan konteks. Oleh karena
itu, mind set yang obsesif dengan penggunaan kewenangan pada
akhirnya kontra-produktif dengan penjaminan otonomi, yang misi
utamanya adalah penyelesaian masalah sesuai konteks.
Bikoratisme, bertolak belakang dengan penjaminan otonomi
seluas-luasnya. Keinginan untuk menggunakan kewenangan
untuk mendektekan apa yang perlu dilakukan, pada gilirannya
justru mematikan otonomi itu sendiri. Otonomi justru harus
dilakukan sedemikian sehingga tidak terkungkung pada
keterbatasan imajinasi tentang cara mengatasi masalah. Sejalan
dengan hal itu, otonomi, mau tidak mau melibatkan
pendayagunaan pengetahuan dan kearifan lokal, dan pengetahuan
ini biasanya berada dalam jangkauan mereka yang berada di
puncak kewenangan. Penggunaan pengetahuan dan kearifan ini,
dalam banyak kasus, tidak tergantung ataupun terkendala oleh
tata kewenangan yang diberlakukan.
Paparan di atas diharapkan memberikan cukup alasan untuk
mengatakan bahwa pemikiran tentang desentralisasi selama ini
terkungkung oleh cara berfikir administratif. Dalam kerangka ini,
berlakulah definisi standar; bahwa ‘desentralisasi adalah
pelimpahan kewenangan dari pemerintah nasional ke pemerintah
lokal’. Kalau kewenangan sudah dilimpahkan, maka diasumsikan
selesailah persoalan. Bahwa: ‘otonomi daerah adalah kewenangan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri’.
Implikasinya, daerah harus egois, tidak perlu tahu apa yang
dilakukan oleh tetangganya, tidak perlu berfikir apa yang
dilakukan oleh pemerintah pada lapis kewenangan di atas dan
dibawahnya. Muara dari cara berfikir ini adalah segmentasi, kalau
bukan fragmentasi institusi pemerintahan.
7
8. 3. Asimetrisme:
Keberanian Mengakui Keterbatasan.
Pemerintahan berotonomi, adalah pemerintahan yang bekerja
dengan pengetahuan dan pengalaman para pejabat dan
masyarakatnya. Lebih dari itu, eksponen penyelenggara
pemerintahan daerah tidak mungkin dilepaskan dari konteks
kultural setempat, dari tata nilai dan adat istiadat yang
berlangsung. Justru karena adanya hal-hal seperti itulah masuk
akal kalau kewenangan pemerintahan dipindahkan ke tingkat
lokal. Lebih dari itu, standar yang berlaku di satu daerah tidak
selalu cocok untuk diberlakukan di daerah lain.
Mari kita ambil Bali sebagai kasus. Kita tahu, denyut nadi
perekonomian Bali adalah pariwisata. Di Bali telah terbentuk
sistem kepariwisataan yang mapan, sedemikai sehingga dalam
pegelolaan pariwisata pengkotak-kotakan otonomi daerah di
tingkat kabupaten/kota justru merepotkan. Bali menghendaki
titik berat otonomi daerah berada di tingkat propinsi, dan untuk
itu Bali menuntut dikecualikan dari ketentuan yang ada. Bali
menuntut diberi status sebagai daerah khusus, karena
kekhususan kebutuhan dalam mengelola pariwisata. Perlu diingat
bahwa ekonomi pariwisata di Bali memiliki dimensi internasional
dan wawasan kedaerahan (kabupaten sentris) tentulah tidak
memadai.
Yang harus dicatat secara jujur di sini adalah bahwa kemampuan
Bali mengembangkan pariwisata bukanlah karena pelimpahan
kewenangan dari Pemerintah Nasional. Sistem dan budaya
pariwisata yang ada disana bukanlah bentukan pemerintah
nasional. Untuk itu, asimetri dalam desentralisasi juga perlu
dimaknai sebagai pengakuan akan keterbatasan sistem nasional
untuk mengemban misi internasional: mengelola industri
kepariwisataan. Dalam konteks ini, watak internasionalnya
pariwisata Bali justru terselenggara dengan baik oleh eksponen
lokal yang bersatu dan tersinergi. Atas dasar hal itu, perlulah
kiranya kita sadari bahwa pengembangan tata pemerintahan
melibatkan proses saling belajar, bukan (sekedar) proses kuasa
menguasai atau proses menaklukkan atas dasar tata kewenangan.
Mind set desentralisasi tersebut tidak semestinya mengandaikan
kekuasaan pemerintahan berlangsung dalam vacuum. Kekuatan
yang berotonomi dengan serta-merta dapat mengatur dan
mengurus rumah tangganya dalam koridor berfikir birokratis.
Tidak terbayangkan sama sekali bahwa wacana desentralisasi
akan melibatkan tarik ulur kewenangan. Kalaulah hal itu
terpaksanya terjadi, maka hal itu dimaknai sekedar sebagai proses
politicking yang perlu diratapi, bukan keniscayaan yang terjadi.
Desentralisasi tidak sejak dari pangkalnya adalah fenomena
8
9. politik, dan mengedepannya gejala politik dibalik kelangsung
proses desentralisasi ataupun pelaksanaan otonomi daerah
disikapi sekedar sebagai ekses.
Patut disayangkan bahwa, selama ini tidak cukup tersedia
keberanian untuk mengakui bahwa desentralisasi dan otonomi
daerah adalah proses politik. Istilah ‘asimetri’, dalam konteks ini,
diambil untuk menggambarkan relasi politik yang melibatkan
eksponen lokal dengan eksponen nasional. Desentralisasi, dengan
demikian bisa dan perlu dibayangkan sebagai pertarungan
kepentingan dan agenda politik yang melibatkan setiap daerah.
Kalaulah perpolitikan yang berlangsung menjadikan analisis
administratif tidak tepat, bukanlah alasan untuk menyalahkan
praktek politik yang berlangsung. Hal ini niscaya terjadi kalau
diakui bahwa desentralisasi tidak berlangsung dalam vacuum
kekuasaan.
Selama ini ada keengganan untuk mengakui dan dengan langkah-langkah
antisipatif mengelola desentralisasi sebagai proses politik.
Pada saat yang sama, tidak ada keberanian untuk mengakui
kesalahan di masa lalu, ataupun mengakumulasi pengalaman
penting pernah dipraktekkan. Tidaklah mengherankan kalau pada
akhirnya sejarah perjalan desentralisasi di negeri ini tapak zig-zag.
10 Ada kalanya Indonesia gila-gilaan mengembosi otonomi, dan
pada saat berikutnya gila otonomi. Sehubungan dengan
keterbatasan cara pandang atau mind set birokratis tersebut di
atas, perlu keberanian untuk membayangkan bahwa
desentralisasi pemerintahan bukanlah semata-mata persoalan
spesifikasi dan penggunaan kewenangan tidaklah memadai.
Keberhasilan melakukan desentralisasi justru sangat ditentukan
oleh kesediaan dan kemampuan belajar dari praktek, termasuk
praktek perpolitikan yang berlangsung.
Mengingat dahsyatnya keragaman masyarakat dan kondisi lokal di
negeri ini, keinginan untuk menyeragamkan pengaturan pastilah
terganjal kendala struktural. Hanya saja, kepengelolaan
keragaman ini tidak sempat menjadi kehirauan manakala kita
telah terbiasa untuk memikirkan pemerintahan dari pucuk
piramida kekuasan, dengan mengandaikan setiap lapis
pemerintahan yang lebih rendah mematuhi lapis yang lebih tinggi.
Kita telah terbiasa menggunakan satu framework, yakni
10 Purwo Santoso, DPRD: Simpul Kedaulatan Melalui Policy Making, Kajian Akademik
Pembahasan Kedudukan, Fungsi dan Peran DPRD dalam Revisi Undang-Undang
No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah Untuk Asosiasi DPRD Kota Seluruh
Indonesia (ADEKSI).
9
10. framework yang bias kepentingan pusat, yang karena dirawat
secara gila-gilaan betul watak resminya hingga seakan-akan boleh
menutup mata terhadap realita yang tak terbayangkan
sebelumnya. Membabi-butanya kita dengan framework ini
menjadikan kita tidak sempat melihat kerangka fikir alternatif,11
yang berangkat dari konteks tertentu, yang “terperangkap” oleh
situasi dan kondisi riel yang tak terelakkan.12 Kondisi lokal yang
tak terhindrkan ini tidak mudah dimengerti oleh mereka yang
tidak pernah merasakan dan menghayati kehidupan nyata di
daerah-daerah.13
Sebagai sebuah framework, asimetrisme dalam penataan
pemerintahan mengedepan ketika kita mengalisis persoalan dan
fenomena pemerintahan secara kontekstual. Kalaulah asimetrisme
desentralisasi hendak diberlakukan, pegangannya adalah
kontekstualisme.14Jalannya pemerintahan tidak hanya didektekan
11 Yang menjadi persoalan di sini bukanlah hanya pandangan antara ‘penguasa’ di
yang bekerja di dengan lingkup lintas daerah dan merasa superior dari mereka yang
bekerja di level lokal yang didudukkan sebagai ‘obyek kekuasaan’. Kenyataan bahwa
lingkup kekuasaan mereka lebih sempit dari lingkup kekuasaan mereka yang bekerja
lintas-daerah sama sekali bukan menjadi alasan bahwa eksponen lokal tidak
mempunyai kemampuan untuk melawan. Hanya karena perlawanan terbuka tidak
terungkap, bukan berarti perlawanan tidak berlangsung.
12 Eksponen lokal memiliki variasi karena harus bergulat dengan konteks lokal
masing-masing. Sebagai contoh, kalaulah sama-sama membicarakan kemiskinan, ada
setting mencolok antara kemiskinan di kawasan perkotaan dengan kemiskinan di
kawasan pedesaan. Ada perbedaan atara situasi nelayan miskin dengan situasi petani
miskin. Ada kesulitan khas pemerintahan di kawasan kepulauan dengan
pemerintahan di kawasan pegunungan. Kalulah sama-sama harus berhadapan dengan
isolasi, setting yang dihadapi berbeda-beda.
13 Sebagai contoh, pegawai keuangan yang memeriksa SPJ tidak mudah memahami
kenyataan bahwa biaya untuk perjalanan dari Ambon ke Jakarta jauh lebih murah dari
pada biaya untuk mencapai kecamatan terjauh dari pemda di Maluku Tenggara.
14 Contextualism adalah salah satu faham dalam filsafat ilmu yang meyakini bahwa
kemampuan manusia untuk mencermati realita itu sangat terbatas. Apa yang diyakini
sebagai kebenaran, harus difahami dalam konteks yang menyertainya.
Sebagai contoh, masyarakat di Papua menolak diperlakukan tidak adil, menolak
untuk tetap berada dalam keterbelakangan ekonomi atau kemiskinan. Mereka
menggunakan istilah ‘merdeka’ sebagai kondisi ideal. Mereka tahu bahwa istilah
mereka atau pro-merdeka menjadi stigma politik pemerintah. Dalam konteks ini,
mereka membuat ungkapan yang terasa aneh kalau dilepaskan dari konteksnya:
‘medeka dalam NKRI’.
Contoh lain; Sultan Hamengku Buwono IX mewarini tatanan pemerintahan
monarkhi namun pada saat yang sama sangat bersimpati dengan gagasan demokrasi.
10
11. oleh peraturan perundang-undangan yang diberlakukan secara
nasional (terpusat) melainkan juga ditentukan oleh institusi lokal,
baik institusi resmi maupun tidak resmi. Singkat cerita, konteks
ikut menentukan proses. Formalisme dalam pemikiran dan
praktek pemerintahan inilah yang menjadikan konteks lokal tidak
dihiraukan, dan pada saat yang sama diabaikan kemampuannya
membajak agenda dan istilah resmi yang diberlakukan.
Keengganan untuk mengakui keberadaan dan daya bajaknya ini
pada gilirannya justru membuat kepura-puraan (urgensi untuk
konsisten secara formal) semakin menjadi-jadi.15
4. Penutup
Tulisan disajikan lebih untuk mengtuk hati para kita yang tidak
mudah merelakan asimetrisme menjadi acuan dalam penataan
pemerintahan. Dalam tulisan ini, asimetrisme dihadirkan sebagai
cara mendekati persoalan, yakni cara yang kontekstual. Dari
pendekatan ini, jalannya pemerintahan sangat tergantung dari
kemampuan kita menunggangi konteks. Oleh karena itu,
pemetaan konteks yang hendak direspon dengan formula
desentralisasi adalah keniscayaan.
Tidak perlu dipungkiri bahwa, di negeri serumit Indonesia ini,
asimetrisme bisa hadir sebagai semacam kotak pandora. Sekali
dilepas, tidak dapat lagi dikendalikan. Kesediaan untuk
menghormati kekhusuan akan diikuti dengan tuntutan untuk
memperhatikan kekhususan yang lebih detail lagi. Pada akhirnya,
asimetrisme bermuara pada situasi yang ungovernable. Oleh
karena itu, yang penting untuk disepakati adalah kekhasan-kekhasan
yang bersifat vital.
Asimetrisme bermuasa pada fragmentasi. Oleh karena itu,
keputusan untuk menerima asimetrisme sebagai kaidah harus
dibarengi dengan pengembangan nasionalisme. Ada nasionalisme
lokal dan ada pula nasionalisme nasional. Nasionalisme lokal
harus ditransformasi menjadi basis aktualisasi nasionalisme
nasional. Eksponen lokal perlu dieskpose dan didorong menjadi
pemain berskala internasional. Di atas itu semua, asimetrisme
dalam desentralisasi mensyaratkan kesediaan untuk belajar.
Tantangan terbesar desentralisasi di Indonesia, dengan demikian,
Mengingat dirinya tidak bisa keluar dari tradisi monarkhi bahwa pengisian jabatan
dilakukan berdasarkan keturunan (bukan pemilihan) maka penjabaran faham
demokrasi dipopulerkan dengan istilah ‘tahta untuk rakyat’ bukan dengan prinsip
pemilihan pemimpin secara bebas dengan kaidah one man, one vote, one value.
15
11
12. adalah mentransformasikan desentralisasi yang authority-minded
menjadi desentralisasi yang melibatkan saling umpan dan saling
belajar antara eksponen nasional dengan eksponen lokal. Dengan
ini, niscaya tarik ulur desentralisasi-sentralisasi tidak bergulir
terus.
12