SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
Pengaruh Budaya Feodalisme Terhadap Gaya Hidup di Kasunanan
Surakarta (1869-1915)
Destya Adi Rahmawan
124284031
Noviary Sastra Asmara
124284038
Jurusan Pendidikan Sejarah FIS
Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
Budaya feodalisme di Jawa khususnya pada Kasunanan Surakarta semakin berkembang
dan tertanam kokoh sejak kedatangan bangsa Belanda. Akan tetapi, peristiwa itu mengakibatkan
raja kehilangan kekuasaannya secara penuh. Guna mempertahankan legitimasi kekuasaannya,
Sunan lebih memperhatikan perkembangan budaya dan memelihara hubungan harmonis dengan
Hindia Belanda. Secara bersamaan hal tersebut mengakibatkan munculnya gaya hidup yang
berlebihan dan bermewah mewahan dikalangan raja dan petinggi istana dan berimbas juga pada
gaya hidup abdi dalem keraton.
Memandang gaya hidup yang tidak mungkin dapat disamai oleh golongan rakyat biasa di
lingkungan keraton (kawula). Rakyat menciptakan suatu budaya tandingan. Akibatnya timbulah
kesenjangan sosial antara golongan dengan strata tinggi seperti raja dan abdi dalem dengan
kawula.
Kata Kunci : Budaya Feodalisme, Gaya Hidup, Kasunanan Surakarta
1
Pendahuluan
Budaya feodalisme yang telah mengakar kuat di masyarakat setelah
datangnya Hindu-Budha abad 3 M dengan berdirinya kerajaan-kerajaan di
Nusantara makin berkembang dan semakin kompleks setelah penjajahan Belanda.
Di lain sisi, Kedatangan bangsa belanda ke Nusantara membawa dampak bagi
masyarakat luas yang tercermin pada segala aspek kehidupan yang ada. Hal
tersebut juga berpengaruh pada kehidupan di Kasunanan Surakarta, tidak hanya
dalam pemerintahan tapi juga gaya hidup di Kasunanan Surakarta 1869-1915.
Perpaduan kebudayaan terjadi di keraton Jawa yang notabene salah satu
pewaris tradisi Kerajaan-kerajaan Jawa kuno. Kerajaan pecahan Mataram Islam
itu, selama ini juga dikenal sebagai salah satu kekuasaan lokal yang cenderung
lebih memihak kepada Belanda. Belanda (dalam hal ini VOC) telah berhasil
menanamkan kekuasaannya di kasunanan Surakarta sejak mangkatnya
Pakubuwono II pada tahun 1749. Penerus dari raja tersebut dapat dikatakan selalu
tunduk kepada VOC kecuali Pakubuwono IV, serta Pakubuwono VI yang jelas
mendukung Diponegoro dalam perang Jawa yang berarti menentang keras
pendudukan Belanda.
Rumusan masalah
1. Bagaimana perkembangan budaya feodalisme 1869-1915?
2. Dampak budaya feodalisme terhadap gaya hidup raja Kasunanan Surakarta
1869-1915?
3. Dampak budaya feodalisme terhadap gaya hidup abdi dalem Kasunanan
Surakarta 1869-1915?
4. Bagaimana reaksi yang timbul di masyarakat di sekitar Kasunanan Surakarta
terhadap gaya hidup raja dan abdi dalem akibat budaya feodalisme 1869-1915?
Tujuan
1. Menjelaskan mengenai bagaimana perkembangan budaya feodalisme
1869-1915
2
2. Mengidentifikasi dampak yang timbul pada raja Kasunanan Surakarta
akibat budaya feodalisme 1869-1915
3. Mengidentifikasi dampak yang timbul pada abdi dalem Kasunanan
Surakarta akibat budaya feodalisme akhir 1869-1915
4. Menjelaskan reaksi yang timbul di masyarakat sekitar Kasunanan
Surakarta terhadap gaya hidup raja dan abdi dalem akibat budaya
feodalisme 1869-1915
Metode
Artikel ini menggunakan metode pengamatan dan sumber tertulis dan
buku.
A. Perkembangan budaya feodalisme 1869-1915
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme adalah 1
sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada
golongan bangsawan; 2 sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau
pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; 3 sistem sosial di Eropa
pada abad pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan
tanah.
Budaya feodalisme yang dimaksud dalam artikel ini adalah sistem sosial
yang memberikan kekuasan yang besar kepada golongan bangsawan dan
mengagungkan jabatan atau pangkat bukan prestasi kerja serta faktor keturunan
atau trah.
Feodalisme di Nusantara mulai dikenal sejak masa Indonesia kuno dengan
berdirinya kerajaan kerajaan Hindu. Pola kerajaan ini masih tetap berlanjut hingga
masa Islam dan masa kolonial, menjadikan feodalisme sebagai suatu budaya yang
khas pada birokrasi kekuasaan lokal di Nusantara. Salah satu kekuasaan lokal
yang masih menjalankan budaya feodalisme adalah kasunanan Surakarta.
Budaya feodalisme yang telah menjadi ciri pada birokrasi kerajaan-
kerajaan di Jawa itu makin berkembang dan kompleks setelah datangnya birokrasi
kolonial yang memantapkan budaya feodalisme itu sendiri.
3
Dalam perkembangannya, birokrasi kolonial dan tradisional berkolusi.
Birokrat kolonial sebagai orang baru tahu benar bahwa sebelum kedatangannya
sudah hidup birokrasi yang sudah berjalan lama. Agar efisien, birokrasi yang
sudah ada dimanfaatkan atau dipakai pijakan birokrasi kolonial. Lewat ekspansi
teritorial dan pemerintah, pemerintah kolonial menduduki puncak birokrasi dalam
pemerintahan tidak langsung (indirect rule).1
Di antara para birokrat sendiri, mereka tahu keunggulan dan kelemahan
birokrasi dari atas sampai bawah. Birokrasi digunakan untuk kepentingan para
birokrat guna meraih keuntungan sendiri. Itulah sebabnya terjadi kolusi sesama
birokrat maupun dengan birokrat kolonial. Hasil yang nyata dari kekuatan
birokrasi tidak lain adalah kekuasaan yang makin solid untuk memaksa bawahan
tetap tunduk dan loyal pada puncak birokrasi.2
Proses pemantapan feodalisme berlangsung dalam waktu lama, meresap,
dan mengendap hingga merupakan kesatuan dengan masyarakat. Di sini
feodalisme adalah cultural heritage yang sudah berabad-abad dan merupakan
bangunan kehidupan yang cukup kokoh. Dampaknya dalam masyarakat pun
cukup kuat, karena masyarakat ada di dalam skenario budaya itu. Melepaskan diri
dari kungkungan itu adalah suatu yang mustahil.3
Pada akhirnya feodalisme
melekat dan menjadi suatu budaya pada masyarakat yang ada di lingkaran
feodalisme.
Selain itu, ketertiban sosial feodalisme menekankan orientasi ascriptive
yang mendambakan faktor keturunan sebagai sentral aktivitas bagi dunianya.
Hanya orang satu trah saja yang berhak mendapatkan kedudukan dan peran dalam
kerajaan, sebab trah mereka dianggap kelompok terpilih diantara trah yang lain.
Mereka lebih mengutamakan kelangsungan genealoginya, yaitu kemurnian
keturunan dibandingkan kemampuan menjalankan tugas. Sehubungan dengan
1
Suhartono W. Pranoto, Serpihan Budaya Feodal, (Yogyakarta: Agastya Media, 2001), hlm. 61
2
Ibid., hlm. 59
3
Ibid., hlm. 59
4
kuatnya jalinan feodalisme dan birokrasi maka keduanya menciptakan sikap dan
tingkah laku feodal.4
Sikap dan tingkah laku feodal yang dilakukan secara terus menerus dan
dilestarikan oleh para petinggi kerajaan dan abdi dalemnya itu menjadi suatu gaya
hidup yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari dengan dasar etiket
Jawa dengan simbol-simbol budaya yang juga bercampur dengan budaya Eropa
akibat kontak hubungan dengan bangsa Belanda sebagai birokrat kolonial.
Sejalan dengan kehidupan feodalisme, sikap dan tingkah laku feodal yang
dilakukan terus menerus tersebut menyebabkan gaya hidup petinggi Kasunanan
Surakarta dan abdi dalemnya itu cenderung bermewah-mewah serta berlebihan
dan tidak sejalan dengan etiket Jawa akibat terserapnya pengaruh budaya Eropa.
B. Dampak budaya feodalisme terhadap gaya hidup raja Kasunanan
Surakarta 1869-1915
Perlu diketahui bahwa budaya feodal yang mendapat pengaruh budaya
barat mengakibatkan hilangnya esensi kedudukan Pakubuwono X, Raja
Kasunanan Surakarta. Sunan telah kehilangan kekuasaan politik dan kekuasaan
ekonominya juga mundur. Tetapi, itu semua tidak berarti bahwa Sunan telah
kehilangan segala-galanya. Sunan masih menguasai simbol-simbol budaya yang
dapat memperkuat kedudukannya sebagai penguasa.5
Hal tersebut dapat dimaklumi karena Kasultanan Surakarta merupakan
kerajaan pecahan dari Mataram islam yang lebih berpihak kepada Belanda.
Keberpihakan Kasunanan Surakarta terhadap Belanda memberikan kesempatan
pihak Belanda untuk turut ikut campur dalam urusan politik di Kasunanan
Surakarta. Pihak belanda berhak melantik raja-raja keturunan mataram.
Kasunanan Surakarta yang merupakan pewaris budaya feodalisme Jawa.
Setelah pemerintah kolonial berkuasa, raja tidak lagi berkuasa penuh dan
4
Ibid., hlm. 57
5
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, Kawula: Surakarta, 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 3
5
hanyalah administrator (hofhoudence) Belanda untuk surakarta6
sehingga dapat
dikatakan sebagai pemerintahan indirect rule. Namun, Kasunanan tetap berkuasa
atas perkara sipil dan sampai batas tertentu juga hukum.7
Kepala-kepala feodal
dalam pemerintahan indirect rule tidak dapat lepas dari sikap dan gaya yang
sudah berjalan beberapa abad. Mereka lahir dari sistem feodal. Mau tidak mau
mereka mengikuti pola-pola budaya yang berlaku dalam masyarakat. Mereka
tidak mempunyai otonomi untuk keluar dari gaya yang sudah ada. Loyalitas
mereka juga tercakup dalam kondisi yang tidak dapat ditukar. Jadi, mereka
merupakan agent of establishment yang memperkuat kedudukan para birokrat.8
Pemerintahan indirect rule itu terlihat dari adanya pembatasan
pemerintahan kolonial terhadap aktivitas Sunan. Meskipun Sunan adalah puncak
tertinggi dari struktur feodalisme masyarakat Surakarta dan menjalankan gaya
hidup akibat budaya feodalisme. Namun, Sunan tetap terkungkung dalam sistem
feodalisme itu sendiri. Sekalipun ia menjadi raja, berkuasa di keraton dan di
wilayahnya, tetapi ia bukan orang yang merdeka sepenuhnya. Ia terikat bermacam
bentuk aturan, sehingga untuk keluar dari keratonnya saja perlu ijin residen. Ia
adalah “tawanan” di keratonnya sendiri. Tidak aneh, kalau kemudian PB X
mengembangkan lebih banyak politik simbolis daripada politik substantif. 9
Adanya pembatasan dan aturan oleh pemerintah kolonial, membuat PB X
kehilangan haknya sebagai penguasa sehingga Sunan sangat mementingkan
simbol-simbol budaya untuk tetap mempertahankan legitimasinya dihadapan abdi
dalem dan rakyatnya.
Dalam folklore Jawa dikatakan bahwa Susuhunan Pakubuwono X dari
Surakarta adalah raja Jawa terbesar yang telah menghabiskan kemuliaan,
6
Ibid., hlm. 22
7
Ibid., hlm. 16
8
Suhartono W. Pranoto, op. cit. hlm. 63
9
Kuntowijoyo, op. cit. hlm 19
6
kemuktian, dan kewibaanya untuk dirinya sendiri, sehingga tidak tersisa sedikit
pun untuk raja-raja sesudahnya. 10
Simbol-simbol budaya yang terwujud dalam sikap dan tingkah laku feodal
berlanjut dengan mengikuti pola-pola budaya yang berlaku dari warisan nenek
moyang maupun suatu keharusan akibat hubungan dengan birokrat kolonial
sehingga menyebabkan gaya hidup yang bermewah-mewah dan berlebihan.
Para pejabat Belanda di Surakarta mempunya kesan negatif tentang
karakter pribadi Sunan. Residen van Wijk mengatakan bahwa karakter Sunan
lemah. Susuhunan Pakubuwono X mengesankan sebagai anak manja, karena ada
kesalahan besar dalam pertumbuhannya, Sunan diangkat jadi Putera Mahkota
dalam umur tiga tahun. Suka pada pakaian kebesaran bagus, bintang penghargaan,
perempuan dan makanan enak sampai gemuk. Gemar minum alkohol dan
merokok.11
Gaya hidup Susuhunan Pakubuwono X sangat tercermin dari pakaian,
titel, penghormatan maupun cara Sunan berhubungan dengan pemerintah kolonial.
Pada titel, dapat terlihat dari surat resmi yang dikirim ke Gubernur Jenderal.
Sunan menyebut Gubernur Jenderal adalah eyang, seraya memakai titel lengkap
panjang sekali.12
Pada pakaian, ada aturan tentang pakaian yang harus dikenakan oleh raja,
senatana, abdi dalem, dan rakyat biasa. Raja adalah puncak keindahan, kemahalan
dan kemewahan.13
Jadi, Sunan yang berkewajiban mempertahankan legitimasinya
sendiri dihadapan abdi dalem dan kawula harus menjaga keeksklusifan dirinya
dengan aturan tentang berpakaian yang harus dikenakannya sendiri maupun
golongan-golongan dibawahnya.
Sedangkan dalam penghormatan, orang harus menggunakan bahasa
khusus dan cara-cara menyembah yang semestinya. Ada hierarki dalam bahasa.
10
Ibid., hlm. 21
11
Ibid., hlm. 20
12
Ibid., hlm. 22
13
Ibid., hlm. 23
7
Ada bahasa keraton, ada bahasa krama tinggi, ada bahasa krama madya
(menengah), ada krama desa, ada krama gunung, ada ngoko. Basa Kadhaton
terdiri dari tiga macam bahasa, yaitu manungkara (bahasanya para leluhur),
mangungkak basa (mengurangi cara saling menghargai), dan mangagok wicara
(mencelatkan lidah waktu mengeluarkan suara). Peraturan soal sembah juga
menunjukkan hierarki, berapa kalinya dan berapa jauh dari raja sembah boleh
dilakukan, sebab sembah menunjukkan kedudukan seseorang dalam hierarki.14
Kesukaan Sunan terhadap perempuan dan perwujudan kebesaran
legitimasinya nampak dari jumlah selir dan anak. Residen van Wijk mengatakan
bahwa Sunan mempunyai istri resmi empat dan selir yang tak terbatas jumlahnya.
Kalau salah satu selir itu mengandung, salah seorang istri akan diceraikan untuk
memberi tempat pada selir. Sesudah melahirkan, selir itu akan dicerai lagi.15
Keharusan berhubungan dengan birokrat kolonial, mau tidak mau juga
membuat Sunan bergaya hidup eropa sentris. Hal tersebut terlihat dari seringnya
Sunan mengadakan pesta-pesta ala eropa atau menghadiri pesta-pesta yang
diadakan oleh birokrat kolonial.
Pada hari ulang tahun Sunan, peringatan cara Eropa lebih menonjol
daripada Jawa atau Islam. Kejadian peringatan ulang tahun 1898 yang diabadikan
dalam tembang oleh Wedhamadya penuh dengan minum, toast, senapan, dan
meriam. Pada sore hari pukul delapan diadakan pesta dansa. Raja keluar dengan
Ratu berpakaian Jendral Mayor. Sejam kemudian, wedang dan minuman keluar.
Residen mengucapkan kundisi (toast) dalam bahasa Belanda, disambut bunyi
musik dan meriam. Raja menjawab dalam bahasa Melayu, “ini kita minum
emberi [sic, maksudnya “memberi”] selamat kepada tuan Vogel Residen di
Surakarta dan suaminya [sic, maksudnya “isterinya”]”. Terus bunyi meriam dan
musik lagi. Pesta itu baru bubar dini hari, sedangkan abdi dalem melanjutkan
bersuka ria dengan tayub, minum brendi, dan berjoged dengan tandhak.16
14
Ibid., hlm. 28
15
Ibid., hlm. 31
16
Ibid., hlm. 39-40
8
Sunan akan datang ke Karesiden, misalnya pada malam tahun baru dan
Koninginfeest, namun lebih sering Residenlah yang harus ke keraton bersama
para landhuurder, misalnya pada grebeg hari raya dan grebeg besar. Pesta dalam
keraton selalu disambut dengan senang oleh publik Eropa, karena Sunan tak
pernah menerapkan etiket Jawa yang kaku untuk orang Eropa. Dalam acara dansa
Barat Sunan akan datang dengan kostum Jendral Mayor, mungkin supaya tidak
terikat dengan sopan santun Jawa dan lebih mudah bergerak.17
Selain itu, Sunan
tidak mengharuskan pemakaian pakaian Jawa dalam pestanya. Contoh pesta
perkawinan yang diadakan 18 Mei 1905 untuk ke 40 hari perkawinan saudara-
saudara dan anak-anak Sunan. Tamu-tamu malah diharuskan datang dengan
aneka-ragam kostum: setan-setanan, orang Afrika, orang Turki, orang Arab, dan
sebagainya.18
Keharusan berhubungan dengan birokrat kolonial membuat adanya
percampuran budaya dalam gaya hidup Sunan yang berbeda dengan etiket Jawa.
Selain itu, perpaduan-perpaduan tersebut tidak hanya terlihat dalam acara-acara
pesta yang digelar oleh Sunan maupun dihadiri oleh Sunan, namun hal tersebut
juga dapat dijumpai pada upacara-upacara keraton seperti penganugerahan
Srinugraha. Anugerah Srinugraha adalah hadiah berupa payung dan bintang yang
diberikan oleh Patih atau Bupati atas nama Sunan.
Pada upacara pemberian anugerah Srinugraha pada 8 April 1900,
perpaduan itu terlihat dari adanya musik “Wien Neerlandsch Bloed” dan gamelan.
Lalu ada juga tembang puji-pujian untuk Sunan dan disuguhkan gending-gending
setelah surat keputusan dibacakan. Selain itu, cara penghormatan juga tak luput
dari perpaduan. Pada jalannya upacara, datanglah para bupati, wedana, dan
priyayi yang lain. Penghulu kepala datang, menyembah, dan duduk di kursi. Opsir
prajurit Sunan dengan uniform Eropa memberi saluut pada Patih, dijawab dengan
saluut cara Eropa.19
17
Ibid., hlm. 41
18
Ibid., hlm. 40
19
Ibid., hlm. 29-30
9
Selain bergaya hidup ala Eropa, Sunan juga menjalankan simbol-simbol
budaya dengan mengelola tradisi dan ideology panatagama. Dengan kata lain,
Sunan berhasil mengelola simbol mystico-mythico-religious.20
Sri Susuhunan
Pakubuwono X adalah simbol tradisi Islam dan Jawa. Sunan sebagai simbol
tradisi islam karena kedudukannya sebagai panutagama yang artinya kurang lebih
adalah Ulama yang berhak mengatur kehidupan keagamaan Islam. Tradisi islam
dipelihara dengan diadakannya pemberian hadiah kepada orang Arab, Banjar, dan
para haji yang berdzikir di masjid pada bulan Maulud. Bulan Maulud tidak hanya
murni kegiatan-kegiatan agama Islam, pada bulan itu juga diadakan acara seperti
sekaten dan grebeg Maulud. Acara tersebut tidak murni kegiatan Islam karena
disesuaikan dengan Tradisi Jawa yang berlaku di masyarakat.
Sri Susuhunan Pakubuwono juga adalah simbol tradisi Jawa karena Sunan
adalah pewaris tradisi Jawa. Hal tersebut dapat digunakan Sunan untuk
melestarikan tradisi Jawa sekaligus menunjukkan legitimasinya sebagai penguasa.
Pada acara Maulud, tradisi Jawa dihidupkan. Mitos dipelihara, misalnya dengan
upacara mengambil air untuk menanak nasi untuk grebeg mulud dari mata air di
Pengging, oleh para abdi dalem dengan berjalan kaki membawa 12 genthong
(tempayan) sejauh 20 km. 21
Ada pula upacara lainnya, yaitu Mahesalawung yang berupa penyerahan
sesaji daging berbagai macam binatang, misalnya, ikan, lutung, buaya, dan
lainnya. Sesaji itu ditujukan kepada Betari Durga di hutan Krendawahana atau
yang yang sekarang lebih dikenal dengan Kaliasa daerah Surakarta. Selain itu,
masyarakat Jawa, khususnya masyarakat sekitar keraton mempunyai kepercayaan
kepada jimat-jimat kepunyaan Keraton. Jimat-jimat tersebut diyakini oleh
masyarakat memiliki energi supranatural atau kesaktian. Misalnya, Kyai Slamet,
keris yang diyakini memiliki kekuatan untuk menghilangkan berbagai macam
penyakit.
20
Ibid., hlm. 32-33
21
Ibid., hlm. 33
10
Gaya hidup Sunan yang cenderung bermewah-mewah dan berlebihan
dengan perpaduan budaya Eropa dengan Jawa juga mempengaruhi gaya hidup
orang-orang disekitarnya yaitu abdi dalem yang berhadapan langsung dengan
Sunan.
C. Dampak budaya feodalisme terhadap gaya hidup abdi dalem Kasunanan
Surakarta 1869-1915
Seperti halnya Sunan, abdi dalem juga sangat berpengaruh terhadap
perkembangan budaya feodalisme di kalangan keraton dan masyarakat sekitar.
Dengan kedudukannya sebagai priyayi yang bekerja di Keraton, abdi dalem
memiliki hak untuk berhubungan langsung dengan Sunan walaupun tetap
dipandang sebagai kawula oleh sultan. Kedekatan dengan Sunan ini merupakan
wujud kesetiaan para abdi dalem kepada Sunan. Dengan kata lain mereka
mengabdikan seluruh hidupnya untuk keraton Kasunanan Surakarta maupun
hanya khusus kepada raja.
Alasan mengapa abdi dalem yang termasuk priyayi dapat dikatakatakan
sebegai pelestari budaya feodal adalah mereka juga sangat dihormati oleh
masyarakat (kawula). Kepriyayian pada saat itu sangat dihormati ketika pusat
kekuasaan, raja, dan birokrasi kolonial memonopoli kekuasaan simbolik maupun
aktual.22
Karena merasa dihormati oleh masyarakat, hal tersebut mengakibatkan
munculnya jarak antara priyayi dan kawula. Hal itu mengakibatkan munculnya
berbagai asumsi mengenai tidak mungkinnya wong cilik bisa memakai simbol-
simbol yang dikenakan atau dimiliki oleh priyayi sehingga rakyat biasa harus
bertindak sebagai rakyat biasa dan priyayi juga berperilaku seperti halnya priyayi.
Pengabdian setia abdi dalem pada Sunan tidak dapat diragukan lagi.
Mematuhi segala titah dari sunan merupakan wujud dari pengabdian mereka
sehingga mereka memperoleh ketenangan jiwa. Jikalau mereka akan melakukan
suatu perenungan, tempat terbaik untuk merenung bagi seorang abdi dalem
22
Ibid., hlm. 51
11
bukanlah diluar kehidupan keraton sehari-hari, tetapi dalam paseban sementara
menanti titah raja.23
Keterlibatan abdi dalem dalam setiap upacara maupun acara yang
diselenggarakan oleh Kasunanan Surakarta juga merupakan bukti kesatiaan
mereka kepada keraton. Misalnya pada acara arak-arakan pada Agustus 1905
guna merayakan Sunan yang menerima medali penghargaan dari kerajaan Jerman.
Medali itu diangkat dari kereta dan ditempatkan kedalam gedung, kemudian para
abdi dalem memberikan penghormatan mereka. Setelah itu mereka akan
mengangkat toast demi kesehatan Sunan, mendengarkan pagelaran gamelan, dan
berpesta-pesta makan-makan. Medali kemudian dikembalikan ke keraton dengan
cara yang sama.24
Hal itu menunjukkan mistisisme politik priyayi yang tercermin pada
kesetiaan abdi dalem dengan mengikuti titah raja, mengikuti segala acara yang
diadakan untuk keraton dan doa yang ditujukan untuk kesehatan Sunan. Namun
adakalanya mistisme politik tersebut dijalankan seiringan dengan kesenangan. Ini
dapat dilihat dari tidak dilarangnya abdi dalem untuk turut serta dalam
kesenangan pesta tersebut. Bahkan setelah pesta selesai, para abdi dalem belum
sepenuhnya selesai dengan kesenangan mereka. Mereka menyelenggarakan
tayuban yang berlangsung sampai pagi esok harinya.
Gaya hidup mewah mewahan Sunan serta hubungan yang dekat dengan
Pemerintah Kolonial Belanda juga berpengaruh terhadap gaya hidup para abdi
dalem walaupun dalam kadar yang jauh berbeda. Dikatakan bahwa budaya
priyayai (abdi dalem juga termasuk didalamnya) digambarkan suka main
perempuan dan minum minuman keras.
Bulan-bulan Maulud dan lebaran adalah waktu waktu pesta, dan tayuban
nampaknya sebagai budaya sehari hari. Para priyayi juga menyelanggarakan
Tayuban pada bulan Sura yang oleh orang jawa dianggap sebagai bulan keramat,
23
Ibid., hlm. 54-55
24
Ibid., hlm. 57
12
ketika orang tidak boleh berpesta.25
Kegiatan tersebut dapat dikatakan
bertentangan dengan budaya jawa dan islam yang seharusnya merupakan kiblat
utama mereka. Kegiatan seperti pesta dan tayuban dikatakan melenceng dari
budaya jawa dan islam karena penyelenggaraannya yang dilakukan pada waktu-
waktu yang diyakini oleh orang Jawa sebagai waktu yang tabu untuk melakukan
pesta. Sedangkan tidak sesuai dengan budaya Islam karena dalam
penyelenggaraannya disertai dengan minum minuman keras seperti halnya pada
budaya eropa. Tayuban juga menyimpang karena dalam seni pertunjukan tayub
terdapat ronggeng. Kata ronggeng berarti penari atau perempuan dengan moral
yang longgar.26
Hal yang paling umum terjadi adalah laki-laki yang menari
dengan seorang ronggeng harus memberi uang kepada perempuan itu. Uang itu
akan diselipkan kedalam kemben (kain) si ronggeng. Pada saat itu seorang laki-
laki bisa menyentuh susu dan memuntir puting perempuan itu dengan jari-
jarinya.27
Tidak hanya itu, dalam tayub biasanya juga disertai dengan minum
minuman keras dan dilakukan dari malam hingga pagi. Hal tersebut sangat
betentangan dengan tradisi Islam.
D. Reaksi yang timbul pada masyarakat sekitar Kasunanan Surakarta
terhadap gaya hidup raja dan abdi dalem
Gaya hidup Sunan dan abdi dalem yang bermewah-mewah dan berlebihan,
dipandang masyarakat sekitar Kasunanan Surakarta atau kawula sebagai budaya
yang tidak dapat dicapai karena perbedaan strata sosial sehingga budaya
tandingan muncul sebagai alternatif akibat pengaruh kekuasaan dan dominasi
budaya keraton yang sudah mengakar dalam, bisa dalam bentuk kepercayaan yang
aneh-aneh. Gejala-gejala psikologis itu sebenarnya tidak hanya khusus diderita
oleh para wong cilik tetapi juga oleh para priyayi.28
Misal cerita tentang Sunan
25
Ibid., hlm. 62
26
Ibid., hlm. 59
27
Ibid., hlm. 60-61
28
Ibid., hlm. 69-70
13
Lepen, mitos-mitos mengenai penunggu sumur ajaib, pertunjukkan bioskop tahun
1914 yang menjadi tontonan umum dan hiburan bagi masyarakat di Surakarta.
Ada pula Laweyan, sebuah kampung yang membentuk komunitas sendiri,
dengan saudagar (batik) sebagi pusat hierarki. Mereka mengembangkan sendiri
hierarki sosial lengkap dengan gelar-gelarnya. Keluarga pemilik perusahaan
menjadi puncak sistem status dimulai dari kedudukan nenek sebagai mbok mase
sepuh, kakek sebagi mas nganten sepuh, ibu sebagai mbok mase, ayah sebagai
mas nganten, anak perempuan sebagai mas rara dan anak laki-laki sebagai mas
bagus. Di bawahnya ada pekerja-pekerja yang juga bertingkat-tingkat sesuai
keahliannya. Gelar itu hanya berlaku ke dalam untuk menandai status sosial, dan
tidak berlaku terhadap komunitas yang lain. Mereka tetap menjadi rakyat jelata
betapapun kayanya. Saudagar Laweyan adalah elite dari komunitasnya, tidak
mendapat tempat dalam sistem status resmi dari kerajaan.29
Budaya tandingan yang muncul di masyarakat sekitar Kasunanan juga
akibat dari terbentuknya pola pikir yaitu raja melihat kawula dan priyayi sebagai
abdi yang harus duduk dilantai, priyayi dan kawula melihat raja sebagai pemilik
sah kerajaan melalui kepercayaan akan adanya wahyu. priyayi melihat kawula
sebagai wong cilik yang tidak punya simbol kekuasaan oleh karenanya rendah,
kasar, dan tidak terpelajar. Pola pikir yang telah lama berlangsung dan mengakar
dalam kehidupan di Kasunanan Surakarta dan sekitarnya itu menimbulkan
kesenjangan sosial yang makin jauh antara gusti-kawula.
Padahal penolakan yang terwujud dalam budaya tandingan yang
menimbulkan kesenjangan sosial seharusnya tidak terjadi. Gambaran dunia dalam
budaya Jawa dapat dilukiskan bahwa adanya keseimbangan karena hubungan
gusti-kawula (patron client) yang mantap dan simbolis. Cakupan yang lebih luas
mengenai hubungan ini bila terjadi keselarasan dan keserasian, suatu balance
yang saling menguntungkan. 30
29
Ibid., hlm. 75-76
30
Suhartono W. Pranoto, op.cit. hlm.
14
E. Penutup
Budaya feodalisme yang tumbuh subur dan meresap di masyarakat, telah
menjadi ciri pada birokrasi kerajaan-kerajaan di Jawa. Budaya tersebut makin
berkembang dan kompleks setelah datangnya birokrasi kolonial yang
memantapkan budaya feodalisme itu sendiri,
Sri Susuhunan Pakubuwono X yang lahir dan hidup saat pemerintahan
indirect rule berlangsung. Pemerintahan tersebut dijalankan oleh birokrat koloial.
Akibatnya, Sunan tidak bisa berkuasa penuh dan hanya sebagai administrator
(hofhoudence) Belanda untuk Surakarta sehingga Sunan sangat mementingkan
simbol-simbol budaya untuk mempertahankan legitimasinya dihadapan abdi
dalem dan rakyatnya. Simbol-simbol tersebut terwujud dalam sikap dan tingkah
laku feodal yang terus menerus dilakukan sehingga menimbulkan gaya hidup
yang bermewah-mewah dan berlebihan.
Budaya feodalisme yang berpengaruh pada gaya hidup Sunan juga
berpengaruh pada abdi dalem karena abdi dalem mempunyai akses langsung dan
setiap hari berhadapan dengan Sunan.
Budaya feodalisme tidak hanya dalam berpengaruh di lingkungan
Kasunanan Surakarta saja. Masyarakat sekitar Kasunanan Surakarta juga
terpengaruh akibat budaya keraton yang dilihat dari gaya hidup Sunan dan abdi
dalem, namun gaya hidup tersebut tidak mampu diikuti oleh kawula sehingga
kawula memunculkan suatu budaya tandingan sebagai alternatif akibat pengaruh
kekuasaan dan dominasi budaya keraton yang sudah mengakar dalam. Misal
cerita tentang Sunan Lepen, mitos-mitos mengenai penunggu sumur ajaib,
pertunjukkan bioskop tahun 1914 yang menjadi tontonan umum dan hiburan bagi
masyarakat di Surakarta.
Gambaran diatas tidak lepas dari dua pusat budaya, keraton dan desa yang
menjadi pusat budayanya sendiri-sendiri. Keadaan semacam itu sudah
berlangsung lama. Keraton sebagai usat budaya istana memancar sejauh
kuthagara, sedangkan budaya desaa yang dominan diseluruh negaragung sampai
ke mancanegara. Dilihat secara spasial, budaya desa memiliki daerah yang lebih
15
luas daripada budaya istana. Sikap dan perilaku dua jenis budaya ini jelas berbeda,
disatu pihak budaya alus dan dipihak lain kasar.31
Budaya feodalisme mempengaruhi gaya hidup di dalam lingkungan
Kasunanan Surakarta yang menimbulkan budaya tandingan oleh kawula sehingga
semakin mengakibatkan kesenjangan sosial raja, priyayi dengan kawula.
31
Ibid., Hlm. 183
16
Daftar Pustaka
Pranoto, Suhartono W. 2001. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya
Media.
Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi, Kawula: Surakarta, 1900-1915. Yogyakarta:
Ombak.

More Related Content

What's hot (7)

AKSI MASSA -- TAN MALAKA
AKSI MASSA -- TAN MALAKAAKSI MASSA -- TAN MALAKA
AKSI MASSA -- TAN MALAKA
 
Sejarah
SejarahSejarah
Sejarah
 
SEMANGAT MUDA -- TAN MALAKA
SEMANGAT MUDA -- TAN MALAKASEMANGAT MUDA -- TAN MALAKA
SEMANGAT MUDA -- TAN MALAKA
 
Historiografi Kolonial
Historiografi KolonialHistoriografi Kolonial
Historiografi Kolonial
 
Imperialisme dan kolonialisme
Imperialisme dan kolonialismeImperialisme dan kolonialisme
Imperialisme dan kolonialisme
 
CORAK PENSEJARAHAN KOLONIAL
CORAK PENSEJARAHAN KOLONIALCORAK PENSEJARAHAN KOLONIAL
CORAK PENSEJARAHAN KOLONIAL
 
Historiografi kolonial
Historiografi kolonialHistoriografi kolonial
Historiografi kolonial
 

Similar to Artikel ilmiah sni

Budaya Melayu
Budaya MelayuBudaya Melayu
Budaya Melayu
Penerbit Manggu
 
Kuliah 1 2.ppt tm
Kuliah 1 2.ppt tmKuliah 1 2.ppt tm
Kuliah 1 2.ppt tm
Shy Pool
 
Perkembangan peradaban islam di indonesia pada masa penjajahan barat dan penj...
Perkembangan peradaban islam di indonesia pada masa penjajahan barat dan penj...Perkembangan peradaban islam di indonesia pada masa penjajahan barat dan penj...
Perkembangan peradaban islam di indonesia pada masa penjajahan barat dan penj...
Hendry Irawan
 
Pluraliti dan masyarakat pluralistik di malaysia (terkini)
Pluraliti dan masyarakat pluralistik di malaysia (terkini)Pluraliti dan masyarakat pluralistik di malaysia (terkini)
Pluraliti dan masyarakat pluralistik di malaysia (terkini)
Norisuwanah Jaffar
 
Kerajaan holing (kalingga)
Kerajaan holing (kalingga)Kerajaan holing (kalingga)
Kerajaan holing (kalingga)
Kasa Rambe
 

Similar to Artikel ilmiah sni (20)

Korupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era Reformasi
Korupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era ReformasiKorupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era Reformasi
Korupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era Reformasi
 
Budaya Melayu
Budaya MelayuBudaya Melayu
Budaya Melayu
 
Arnhy makalah
Arnhy makalahArnhy makalah
Arnhy makalah
 
Tugas pkl
Tugas pklTugas pkl
Tugas pkl
 
11. akibat perluasan kolonialisme dan imperialisme di indonesia.
11. akibat perluasan kolonialisme dan imperialisme di indonesia.11. akibat perluasan kolonialisme dan imperialisme di indonesia.
11. akibat perluasan kolonialisme dan imperialisme di indonesia.
 
Kuliah 1 2.ppt tm
Kuliah 1 2.ppt tmKuliah 1 2.ppt tm
Kuliah 1 2.ppt tm
 
Tugas makala mulok seul
Tugas makala mulok seulTugas makala mulok seul
Tugas makala mulok seul
 
03 Topik 2 - Konsep Etika dan Peradaban
03 Topik 2 - Konsep Etika dan Peradaban03 Topik 2 - Konsep Etika dan Peradaban
03 Topik 2 - Konsep Etika dan Peradaban
 
Topik 2 - Konsep Etika dan Peradaban
Topik 2 - Konsep Etika dan PeradabanTopik 2 - Konsep Etika dan Peradaban
Topik 2 - Konsep Etika dan Peradaban
 
Masuknya islam di indonesia dan penyebarannya
Masuknya islam di indonesia dan penyebarannyaMasuknya islam di indonesia dan penyebarannya
Masuknya islam di indonesia dan penyebarannya
 
Dampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptx
Dampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptxDampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptx
Dampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptx
 
Latar Belakang Pergerakan Nasionalisme di Indonesia (FAKTOR INTERNAL)
Latar Belakang Pergerakan Nasionalisme di Indonesia (FAKTOR INTERNAL)Latar Belakang Pergerakan Nasionalisme di Indonesia (FAKTOR INTERNAL)
Latar Belakang Pergerakan Nasionalisme di Indonesia (FAKTOR INTERNAL)
 
Perkembangan peradaban islam di indonesia pada masa penjajahan barat dan penj...
Perkembangan peradaban islam di indonesia pada masa penjajahan barat dan penj...Perkembangan peradaban islam di indonesia pada masa penjajahan barat dan penj...
Perkembangan peradaban islam di indonesia pada masa penjajahan barat dan penj...
 
Heni rina setiyawati
Heni rina setiyawatiHeni rina setiyawati
Heni rina setiyawati
 
Pluraliti dan masyarakat pluralistik di malaysia (terkini)
Pluraliti dan masyarakat pluralistik di malaysia (terkini)Pluraliti dan masyarakat pluralistik di malaysia (terkini)
Pluraliti dan masyarakat pluralistik di malaysia (terkini)
 
Dampak Kolonialisme.pptx
Dampak Kolonialisme.pptxDampak Kolonialisme.pptx
Dampak Kolonialisme.pptx
 
Negara dan usaha bina negara di masa lampau
Negara dan usaha bina negara di masa lampauNegara dan usaha bina negara di masa lampau
Negara dan usaha bina negara di masa lampau
 
Kerajaan holing (kalingga)
Kerajaan holing (kalingga)Kerajaan holing (kalingga)
Kerajaan holing (kalingga)
 
Arnhy makalah
Arnhy makalahArnhy makalah
Arnhy makalah
 
04 Topik 3 - Etika dan Peradaban dlm Masyarakat Pelbagai.pptx
04 Topik 3 - Etika dan Peradaban dlm Masyarakat Pelbagai.pptx04 Topik 3 - Etika dan Peradaban dlm Masyarakat Pelbagai.pptx
04 Topik 3 - Etika dan Peradaban dlm Masyarakat Pelbagai.pptx
 

More from Noviary Sastra Asmara (7)

Review buku hubungan diplomatik republik indonesia (bab i)
Review buku hubungan diplomatik republik indonesia (bab i)Review buku hubungan diplomatik republik indonesia (bab i)
Review buku hubungan diplomatik republik indonesia (bab i)
 
Peranan 4 tokoh
Peranan 4 tokohPeranan 4 tokoh
Peranan 4 tokoh
 
Revolusi 1911
Revolusi 1911Revolusi 1911
Revolusi 1911
 
7 Unsur Kebudayaan Suku Aztek
7 Unsur Kebudayaan Suku Aztek7 Unsur Kebudayaan Suku Aztek
7 Unsur Kebudayaan Suku Aztek
 
UTS Sejarah Amerika
UTS Sejarah AmerikaUTS Sejarah Amerika
UTS Sejarah Amerika
 
Rangkuman Buku Pengalaman Jepang (BAB 1)
Rangkuman Buku Pengalaman Jepang (BAB 1)Rangkuman Buku Pengalaman Jepang (BAB 1)
Rangkuman Buku Pengalaman Jepang (BAB 1)
 
Hubungan antara australia dan indonesia serta beberapa peristiwa yang mempeng...
Hubungan antara australia dan indonesia serta beberapa peristiwa yang mempeng...Hubungan antara australia dan indonesia serta beberapa peristiwa yang mempeng...
Hubungan antara australia dan indonesia serta beberapa peristiwa yang mempeng...
 

Recently uploaded

PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
dpp11tya
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
nabilafarahdiba95
 
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
JuliBriana2
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
JarzaniIsmail
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
AlfandoWibowo2
 

Recently uploaded (20)

PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
 
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
 
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
 
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxBab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
 
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
 
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
 
Pelaksana Lapangan Pekerjaan Jalan .pptx
Pelaksana Lapangan Pekerjaan Jalan .pptxPelaksana Lapangan Pekerjaan Jalan .pptx
Pelaksana Lapangan Pekerjaan Jalan .pptx
 
Regresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptx
Regresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptxRegresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptx
Regresi Linear Kelompok 1 XI-10 revisi (1).pptx
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
 
Modul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdf
Modul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdfModul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdf
Modul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdf
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfKanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
 
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxOPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
 

Artikel ilmiah sni

  • 1. Pengaruh Budaya Feodalisme Terhadap Gaya Hidup di Kasunanan Surakarta (1869-1915) Destya Adi Rahmawan 124284031 Noviary Sastra Asmara 124284038 Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Universitas Negeri Surabaya Abstrak Budaya feodalisme di Jawa khususnya pada Kasunanan Surakarta semakin berkembang dan tertanam kokoh sejak kedatangan bangsa Belanda. Akan tetapi, peristiwa itu mengakibatkan raja kehilangan kekuasaannya secara penuh. Guna mempertahankan legitimasi kekuasaannya, Sunan lebih memperhatikan perkembangan budaya dan memelihara hubungan harmonis dengan Hindia Belanda. Secara bersamaan hal tersebut mengakibatkan munculnya gaya hidup yang berlebihan dan bermewah mewahan dikalangan raja dan petinggi istana dan berimbas juga pada gaya hidup abdi dalem keraton. Memandang gaya hidup yang tidak mungkin dapat disamai oleh golongan rakyat biasa di lingkungan keraton (kawula). Rakyat menciptakan suatu budaya tandingan. Akibatnya timbulah kesenjangan sosial antara golongan dengan strata tinggi seperti raja dan abdi dalem dengan kawula. Kata Kunci : Budaya Feodalisme, Gaya Hidup, Kasunanan Surakarta
  • 2. 1 Pendahuluan Budaya feodalisme yang telah mengakar kuat di masyarakat setelah datangnya Hindu-Budha abad 3 M dengan berdirinya kerajaan-kerajaan di Nusantara makin berkembang dan semakin kompleks setelah penjajahan Belanda. Di lain sisi, Kedatangan bangsa belanda ke Nusantara membawa dampak bagi masyarakat luas yang tercermin pada segala aspek kehidupan yang ada. Hal tersebut juga berpengaruh pada kehidupan di Kasunanan Surakarta, tidak hanya dalam pemerintahan tapi juga gaya hidup di Kasunanan Surakarta 1869-1915. Perpaduan kebudayaan terjadi di keraton Jawa yang notabene salah satu pewaris tradisi Kerajaan-kerajaan Jawa kuno. Kerajaan pecahan Mataram Islam itu, selama ini juga dikenal sebagai salah satu kekuasaan lokal yang cenderung lebih memihak kepada Belanda. Belanda (dalam hal ini VOC) telah berhasil menanamkan kekuasaannya di kasunanan Surakarta sejak mangkatnya Pakubuwono II pada tahun 1749. Penerus dari raja tersebut dapat dikatakan selalu tunduk kepada VOC kecuali Pakubuwono IV, serta Pakubuwono VI yang jelas mendukung Diponegoro dalam perang Jawa yang berarti menentang keras pendudukan Belanda. Rumusan masalah 1. Bagaimana perkembangan budaya feodalisme 1869-1915? 2. Dampak budaya feodalisme terhadap gaya hidup raja Kasunanan Surakarta 1869-1915? 3. Dampak budaya feodalisme terhadap gaya hidup abdi dalem Kasunanan Surakarta 1869-1915? 4. Bagaimana reaksi yang timbul di masyarakat di sekitar Kasunanan Surakarta terhadap gaya hidup raja dan abdi dalem akibat budaya feodalisme 1869-1915? Tujuan 1. Menjelaskan mengenai bagaimana perkembangan budaya feodalisme 1869-1915
  • 3. 2 2. Mengidentifikasi dampak yang timbul pada raja Kasunanan Surakarta akibat budaya feodalisme 1869-1915 3. Mengidentifikasi dampak yang timbul pada abdi dalem Kasunanan Surakarta akibat budaya feodalisme akhir 1869-1915 4. Menjelaskan reaksi yang timbul di masyarakat sekitar Kasunanan Surakarta terhadap gaya hidup raja dan abdi dalem akibat budaya feodalisme 1869-1915 Metode Artikel ini menggunakan metode pengamatan dan sumber tertulis dan buku. A. Perkembangan budaya feodalisme 1869-1915 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme adalah 1 sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; 2 sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; 3 sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah. Budaya feodalisme yang dimaksud dalam artikel ini adalah sistem sosial yang memberikan kekuasan yang besar kepada golongan bangsawan dan mengagungkan jabatan atau pangkat bukan prestasi kerja serta faktor keturunan atau trah. Feodalisme di Nusantara mulai dikenal sejak masa Indonesia kuno dengan berdirinya kerajaan kerajaan Hindu. Pola kerajaan ini masih tetap berlanjut hingga masa Islam dan masa kolonial, menjadikan feodalisme sebagai suatu budaya yang khas pada birokrasi kekuasaan lokal di Nusantara. Salah satu kekuasaan lokal yang masih menjalankan budaya feodalisme adalah kasunanan Surakarta. Budaya feodalisme yang telah menjadi ciri pada birokrasi kerajaan- kerajaan di Jawa itu makin berkembang dan kompleks setelah datangnya birokrasi kolonial yang memantapkan budaya feodalisme itu sendiri.
  • 4. 3 Dalam perkembangannya, birokrasi kolonial dan tradisional berkolusi. Birokrat kolonial sebagai orang baru tahu benar bahwa sebelum kedatangannya sudah hidup birokrasi yang sudah berjalan lama. Agar efisien, birokrasi yang sudah ada dimanfaatkan atau dipakai pijakan birokrasi kolonial. Lewat ekspansi teritorial dan pemerintah, pemerintah kolonial menduduki puncak birokrasi dalam pemerintahan tidak langsung (indirect rule).1 Di antara para birokrat sendiri, mereka tahu keunggulan dan kelemahan birokrasi dari atas sampai bawah. Birokrasi digunakan untuk kepentingan para birokrat guna meraih keuntungan sendiri. Itulah sebabnya terjadi kolusi sesama birokrat maupun dengan birokrat kolonial. Hasil yang nyata dari kekuatan birokrasi tidak lain adalah kekuasaan yang makin solid untuk memaksa bawahan tetap tunduk dan loyal pada puncak birokrasi.2 Proses pemantapan feodalisme berlangsung dalam waktu lama, meresap, dan mengendap hingga merupakan kesatuan dengan masyarakat. Di sini feodalisme adalah cultural heritage yang sudah berabad-abad dan merupakan bangunan kehidupan yang cukup kokoh. Dampaknya dalam masyarakat pun cukup kuat, karena masyarakat ada di dalam skenario budaya itu. Melepaskan diri dari kungkungan itu adalah suatu yang mustahil.3 Pada akhirnya feodalisme melekat dan menjadi suatu budaya pada masyarakat yang ada di lingkaran feodalisme. Selain itu, ketertiban sosial feodalisme menekankan orientasi ascriptive yang mendambakan faktor keturunan sebagai sentral aktivitas bagi dunianya. Hanya orang satu trah saja yang berhak mendapatkan kedudukan dan peran dalam kerajaan, sebab trah mereka dianggap kelompok terpilih diantara trah yang lain. Mereka lebih mengutamakan kelangsungan genealoginya, yaitu kemurnian keturunan dibandingkan kemampuan menjalankan tugas. Sehubungan dengan 1 Suhartono W. Pranoto, Serpihan Budaya Feodal, (Yogyakarta: Agastya Media, 2001), hlm. 61 2 Ibid., hlm. 59 3 Ibid., hlm. 59
  • 5. 4 kuatnya jalinan feodalisme dan birokrasi maka keduanya menciptakan sikap dan tingkah laku feodal.4 Sikap dan tingkah laku feodal yang dilakukan secara terus menerus dan dilestarikan oleh para petinggi kerajaan dan abdi dalemnya itu menjadi suatu gaya hidup yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari dengan dasar etiket Jawa dengan simbol-simbol budaya yang juga bercampur dengan budaya Eropa akibat kontak hubungan dengan bangsa Belanda sebagai birokrat kolonial. Sejalan dengan kehidupan feodalisme, sikap dan tingkah laku feodal yang dilakukan terus menerus tersebut menyebabkan gaya hidup petinggi Kasunanan Surakarta dan abdi dalemnya itu cenderung bermewah-mewah serta berlebihan dan tidak sejalan dengan etiket Jawa akibat terserapnya pengaruh budaya Eropa. B. Dampak budaya feodalisme terhadap gaya hidup raja Kasunanan Surakarta 1869-1915 Perlu diketahui bahwa budaya feodal yang mendapat pengaruh budaya barat mengakibatkan hilangnya esensi kedudukan Pakubuwono X, Raja Kasunanan Surakarta. Sunan telah kehilangan kekuasaan politik dan kekuasaan ekonominya juga mundur. Tetapi, itu semua tidak berarti bahwa Sunan telah kehilangan segala-galanya. Sunan masih menguasai simbol-simbol budaya yang dapat memperkuat kedudukannya sebagai penguasa.5 Hal tersebut dapat dimaklumi karena Kasultanan Surakarta merupakan kerajaan pecahan dari Mataram islam yang lebih berpihak kepada Belanda. Keberpihakan Kasunanan Surakarta terhadap Belanda memberikan kesempatan pihak Belanda untuk turut ikut campur dalam urusan politik di Kasunanan Surakarta. Pihak belanda berhak melantik raja-raja keturunan mataram. Kasunanan Surakarta yang merupakan pewaris budaya feodalisme Jawa. Setelah pemerintah kolonial berkuasa, raja tidak lagi berkuasa penuh dan 4 Ibid., hlm. 57 5 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, Kawula: Surakarta, 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 3
  • 6. 5 hanyalah administrator (hofhoudence) Belanda untuk surakarta6 sehingga dapat dikatakan sebagai pemerintahan indirect rule. Namun, Kasunanan tetap berkuasa atas perkara sipil dan sampai batas tertentu juga hukum.7 Kepala-kepala feodal dalam pemerintahan indirect rule tidak dapat lepas dari sikap dan gaya yang sudah berjalan beberapa abad. Mereka lahir dari sistem feodal. Mau tidak mau mereka mengikuti pola-pola budaya yang berlaku dalam masyarakat. Mereka tidak mempunyai otonomi untuk keluar dari gaya yang sudah ada. Loyalitas mereka juga tercakup dalam kondisi yang tidak dapat ditukar. Jadi, mereka merupakan agent of establishment yang memperkuat kedudukan para birokrat.8 Pemerintahan indirect rule itu terlihat dari adanya pembatasan pemerintahan kolonial terhadap aktivitas Sunan. Meskipun Sunan adalah puncak tertinggi dari struktur feodalisme masyarakat Surakarta dan menjalankan gaya hidup akibat budaya feodalisme. Namun, Sunan tetap terkungkung dalam sistem feodalisme itu sendiri. Sekalipun ia menjadi raja, berkuasa di keraton dan di wilayahnya, tetapi ia bukan orang yang merdeka sepenuhnya. Ia terikat bermacam bentuk aturan, sehingga untuk keluar dari keratonnya saja perlu ijin residen. Ia adalah “tawanan” di keratonnya sendiri. Tidak aneh, kalau kemudian PB X mengembangkan lebih banyak politik simbolis daripada politik substantif. 9 Adanya pembatasan dan aturan oleh pemerintah kolonial, membuat PB X kehilangan haknya sebagai penguasa sehingga Sunan sangat mementingkan simbol-simbol budaya untuk tetap mempertahankan legitimasinya dihadapan abdi dalem dan rakyatnya. Dalam folklore Jawa dikatakan bahwa Susuhunan Pakubuwono X dari Surakarta adalah raja Jawa terbesar yang telah menghabiskan kemuliaan, 6 Ibid., hlm. 22 7 Ibid., hlm. 16 8 Suhartono W. Pranoto, op. cit. hlm. 63 9 Kuntowijoyo, op. cit. hlm 19
  • 7. 6 kemuktian, dan kewibaanya untuk dirinya sendiri, sehingga tidak tersisa sedikit pun untuk raja-raja sesudahnya. 10 Simbol-simbol budaya yang terwujud dalam sikap dan tingkah laku feodal berlanjut dengan mengikuti pola-pola budaya yang berlaku dari warisan nenek moyang maupun suatu keharusan akibat hubungan dengan birokrat kolonial sehingga menyebabkan gaya hidup yang bermewah-mewah dan berlebihan. Para pejabat Belanda di Surakarta mempunya kesan negatif tentang karakter pribadi Sunan. Residen van Wijk mengatakan bahwa karakter Sunan lemah. Susuhunan Pakubuwono X mengesankan sebagai anak manja, karena ada kesalahan besar dalam pertumbuhannya, Sunan diangkat jadi Putera Mahkota dalam umur tiga tahun. Suka pada pakaian kebesaran bagus, bintang penghargaan, perempuan dan makanan enak sampai gemuk. Gemar minum alkohol dan merokok.11 Gaya hidup Susuhunan Pakubuwono X sangat tercermin dari pakaian, titel, penghormatan maupun cara Sunan berhubungan dengan pemerintah kolonial. Pada titel, dapat terlihat dari surat resmi yang dikirim ke Gubernur Jenderal. Sunan menyebut Gubernur Jenderal adalah eyang, seraya memakai titel lengkap panjang sekali.12 Pada pakaian, ada aturan tentang pakaian yang harus dikenakan oleh raja, senatana, abdi dalem, dan rakyat biasa. Raja adalah puncak keindahan, kemahalan dan kemewahan.13 Jadi, Sunan yang berkewajiban mempertahankan legitimasinya sendiri dihadapan abdi dalem dan kawula harus menjaga keeksklusifan dirinya dengan aturan tentang berpakaian yang harus dikenakannya sendiri maupun golongan-golongan dibawahnya. Sedangkan dalam penghormatan, orang harus menggunakan bahasa khusus dan cara-cara menyembah yang semestinya. Ada hierarki dalam bahasa. 10 Ibid., hlm. 21 11 Ibid., hlm. 20 12 Ibid., hlm. 22 13 Ibid., hlm. 23
  • 8. 7 Ada bahasa keraton, ada bahasa krama tinggi, ada bahasa krama madya (menengah), ada krama desa, ada krama gunung, ada ngoko. Basa Kadhaton terdiri dari tiga macam bahasa, yaitu manungkara (bahasanya para leluhur), mangungkak basa (mengurangi cara saling menghargai), dan mangagok wicara (mencelatkan lidah waktu mengeluarkan suara). Peraturan soal sembah juga menunjukkan hierarki, berapa kalinya dan berapa jauh dari raja sembah boleh dilakukan, sebab sembah menunjukkan kedudukan seseorang dalam hierarki.14 Kesukaan Sunan terhadap perempuan dan perwujudan kebesaran legitimasinya nampak dari jumlah selir dan anak. Residen van Wijk mengatakan bahwa Sunan mempunyai istri resmi empat dan selir yang tak terbatas jumlahnya. Kalau salah satu selir itu mengandung, salah seorang istri akan diceraikan untuk memberi tempat pada selir. Sesudah melahirkan, selir itu akan dicerai lagi.15 Keharusan berhubungan dengan birokrat kolonial, mau tidak mau juga membuat Sunan bergaya hidup eropa sentris. Hal tersebut terlihat dari seringnya Sunan mengadakan pesta-pesta ala eropa atau menghadiri pesta-pesta yang diadakan oleh birokrat kolonial. Pada hari ulang tahun Sunan, peringatan cara Eropa lebih menonjol daripada Jawa atau Islam. Kejadian peringatan ulang tahun 1898 yang diabadikan dalam tembang oleh Wedhamadya penuh dengan minum, toast, senapan, dan meriam. Pada sore hari pukul delapan diadakan pesta dansa. Raja keluar dengan Ratu berpakaian Jendral Mayor. Sejam kemudian, wedang dan minuman keluar. Residen mengucapkan kundisi (toast) dalam bahasa Belanda, disambut bunyi musik dan meriam. Raja menjawab dalam bahasa Melayu, “ini kita minum emberi [sic, maksudnya “memberi”] selamat kepada tuan Vogel Residen di Surakarta dan suaminya [sic, maksudnya “isterinya”]”. Terus bunyi meriam dan musik lagi. Pesta itu baru bubar dini hari, sedangkan abdi dalem melanjutkan bersuka ria dengan tayub, minum brendi, dan berjoged dengan tandhak.16 14 Ibid., hlm. 28 15 Ibid., hlm. 31 16 Ibid., hlm. 39-40
  • 9. 8 Sunan akan datang ke Karesiden, misalnya pada malam tahun baru dan Koninginfeest, namun lebih sering Residenlah yang harus ke keraton bersama para landhuurder, misalnya pada grebeg hari raya dan grebeg besar. Pesta dalam keraton selalu disambut dengan senang oleh publik Eropa, karena Sunan tak pernah menerapkan etiket Jawa yang kaku untuk orang Eropa. Dalam acara dansa Barat Sunan akan datang dengan kostum Jendral Mayor, mungkin supaya tidak terikat dengan sopan santun Jawa dan lebih mudah bergerak.17 Selain itu, Sunan tidak mengharuskan pemakaian pakaian Jawa dalam pestanya. Contoh pesta perkawinan yang diadakan 18 Mei 1905 untuk ke 40 hari perkawinan saudara- saudara dan anak-anak Sunan. Tamu-tamu malah diharuskan datang dengan aneka-ragam kostum: setan-setanan, orang Afrika, orang Turki, orang Arab, dan sebagainya.18 Keharusan berhubungan dengan birokrat kolonial membuat adanya percampuran budaya dalam gaya hidup Sunan yang berbeda dengan etiket Jawa. Selain itu, perpaduan-perpaduan tersebut tidak hanya terlihat dalam acara-acara pesta yang digelar oleh Sunan maupun dihadiri oleh Sunan, namun hal tersebut juga dapat dijumpai pada upacara-upacara keraton seperti penganugerahan Srinugraha. Anugerah Srinugraha adalah hadiah berupa payung dan bintang yang diberikan oleh Patih atau Bupati atas nama Sunan. Pada upacara pemberian anugerah Srinugraha pada 8 April 1900, perpaduan itu terlihat dari adanya musik “Wien Neerlandsch Bloed” dan gamelan. Lalu ada juga tembang puji-pujian untuk Sunan dan disuguhkan gending-gending setelah surat keputusan dibacakan. Selain itu, cara penghormatan juga tak luput dari perpaduan. Pada jalannya upacara, datanglah para bupati, wedana, dan priyayi yang lain. Penghulu kepala datang, menyembah, dan duduk di kursi. Opsir prajurit Sunan dengan uniform Eropa memberi saluut pada Patih, dijawab dengan saluut cara Eropa.19 17 Ibid., hlm. 41 18 Ibid., hlm. 40 19 Ibid., hlm. 29-30
  • 10. 9 Selain bergaya hidup ala Eropa, Sunan juga menjalankan simbol-simbol budaya dengan mengelola tradisi dan ideology panatagama. Dengan kata lain, Sunan berhasil mengelola simbol mystico-mythico-religious.20 Sri Susuhunan Pakubuwono X adalah simbol tradisi Islam dan Jawa. Sunan sebagai simbol tradisi islam karena kedudukannya sebagai panutagama yang artinya kurang lebih adalah Ulama yang berhak mengatur kehidupan keagamaan Islam. Tradisi islam dipelihara dengan diadakannya pemberian hadiah kepada orang Arab, Banjar, dan para haji yang berdzikir di masjid pada bulan Maulud. Bulan Maulud tidak hanya murni kegiatan-kegiatan agama Islam, pada bulan itu juga diadakan acara seperti sekaten dan grebeg Maulud. Acara tersebut tidak murni kegiatan Islam karena disesuaikan dengan Tradisi Jawa yang berlaku di masyarakat. Sri Susuhunan Pakubuwono juga adalah simbol tradisi Jawa karena Sunan adalah pewaris tradisi Jawa. Hal tersebut dapat digunakan Sunan untuk melestarikan tradisi Jawa sekaligus menunjukkan legitimasinya sebagai penguasa. Pada acara Maulud, tradisi Jawa dihidupkan. Mitos dipelihara, misalnya dengan upacara mengambil air untuk menanak nasi untuk grebeg mulud dari mata air di Pengging, oleh para abdi dalem dengan berjalan kaki membawa 12 genthong (tempayan) sejauh 20 km. 21 Ada pula upacara lainnya, yaitu Mahesalawung yang berupa penyerahan sesaji daging berbagai macam binatang, misalnya, ikan, lutung, buaya, dan lainnya. Sesaji itu ditujukan kepada Betari Durga di hutan Krendawahana atau yang yang sekarang lebih dikenal dengan Kaliasa daerah Surakarta. Selain itu, masyarakat Jawa, khususnya masyarakat sekitar keraton mempunyai kepercayaan kepada jimat-jimat kepunyaan Keraton. Jimat-jimat tersebut diyakini oleh masyarakat memiliki energi supranatural atau kesaktian. Misalnya, Kyai Slamet, keris yang diyakini memiliki kekuatan untuk menghilangkan berbagai macam penyakit. 20 Ibid., hlm. 32-33 21 Ibid., hlm. 33
  • 11. 10 Gaya hidup Sunan yang cenderung bermewah-mewah dan berlebihan dengan perpaduan budaya Eropa dengan Jawa juga mempengaruhi gaya hidup orang-orang disekitarnya yaitu abdi dalem yang berhadapan langsung dengan Sunan. C. Dampak budaya feodalisme terhadap gaya hidup abdi dalem Kasunanan Surakarta 1869-1915 Seperti halnya Sunan, abdi dalem juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan budaya feodalisme di kalangan keraton dan masyarakat sekitar. Dengan kedudukannya sebagai priyayi yang bekerja di Keraton, abdi dalem memiliki hak untuk berhubungan langsung dengan Sunan walaupun tetap dipandang sebagai kawula oleh sultan. Kedekatan dengan Sunan ini merupakan wujud kesetiaan para abdi dalem kepada Sunan. Dengan kata lain mereka mengabdikan seluruh hidupnya untuk keraton Kasunanan Surakarta maupun hanya khusus kepada raja. Alasan mengapa abdi dalem yang termasuk priyayi dapat dikatakatakan sebegai pelestari budaya feodal adalah mereka juga sangat dihormati oleh masyarakat (kawula). Kepriyayian pada saat itu sangat dihormati ketika pusat kekuasaan, raja, dan birokrasi kolonial memonopoli kekuasaan simbolik maupun aktual.22 Karena merasa dihormati oleh masyarakat, hal tersebut mengakibatkan munculnya jarak antara priyayi dan kawula. Hal itu mengakibatkan munculnya berbagai asumsi mengenai tidak mungkinnya wong cilik bisa memakai simbol- simbol yang dikenakan atau dimiliki oleh priyayi sehingga rakyat biasa harus bertindak sebagai rakyat biasa dan priyayi juga berperilaku seperti halnya priyayi. Pengabdian setia abdi dalem pada Sunan tidak dapat diragukan lagi. Mematuhi segala titah dari sunan merupakan wujud dari pengabdian mereka sehingga mereka memperoleh ketenangan jiwa. Jikalau mereka akan melakukan suatu perenungan, tempat terbaik untuk merenung bagi seorang abdi dalem 22 Ibid., hlm. 51
  • 12. 11 bukanlah diluar kehidupan keraton sehari-hari, tetapi dalam paseban sementara menanti titah raja.23 Keterlibatan abdi dalem dalam setiap upacara maupun acara yang diselenggarakan oleh Kasunanan Surakarta juga merupakan bukti kesatiaan mereka kepada keraton. Misalnya pada acara arak-arakan pada Agustus 1905 guna merayakan Sunan yang menerima medali penghargaan dari kerajaan Jerman. Medali itu diangkat dari kereta dan ditempatkan kedalam gedung, kemudian para abdi dalem memberikan penghormatan mereka. Setelah itu mereka akan mengangkat toast demi kesehatan Sunan, mendengarkan pagelaran gamelan, dan berpesta-pesta makan-makan. Medali kemudian dikembalikan ke keraton dengan cara yang sama.24 Hal itu menunjukkan mistisisme politik priyayi yang tercermin pada kesetiaan abdi dalem dengan mengikuti titah raja, mengikuti segala acara yang diadakan untuk keraton dan doa yang ditujukan untuk kesehatan Sunan. Namun adakalanya mistisme politik tersebut dijalankan seiringan dengan kesenangan. Ini dapat dilihat dari tidak dilarangnya abdi dalem untuk turut serta dalam kesenangan pesta tersebut. Bahkan setelah pesta selesai, para abdi dalem belum sepenuhnya selesai dengan kesenangan mereka. Mereka menyelenggarakan tayuban yang berlangsung sampai pagi esok harinya. Gaya hidup mewah mewahan Sunan serta hubungan yang dekat dengan Pemerintah Kolonial Belanda juga berpengaruh terhadap gaya hidup para abdi dalem walaupun dalam kadar yang jauh berbeda. Dikatakan bahwa budaya priyayai (abdi dalem juga termasuk didalamnya) digambarkan suka main perempuan dan minum minuman keras. Bulan-bulan Maulud dan lebaran adalah waktu waktu pesta, dan tayuban nampaknya sebagai budaya sehari hari. Para priyayi juga menyelanggarakan Tayuban pada bulan Sura yang oleh orang jawa dianggap sebagai bulan keramat, 23 Ibid., hlm. 54-55 24 Ibid., hlm. 57
  • 13. 12 ketika orang tidak boleh berpesta.25 Kegiatan tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan budaya jawa dan islam yang seharusnya merupakan kiblat utama mereka. Kegiatan seperti pesta dan tayuban dikatakan melenceng dari budaya jawa dan islam karena penyelenggaraannya yang dilakukan pada waktu- waktu yang diyakini oleh orang Jawa sebagai waktu yang tabu untuk melakukan pesta. Sedangkan tidak sesuai dengan budaya Islam karena dalam penyelenggaraannya disertai dengan minum minuman keras seperti halnya pada budaya eropa. Tayuban juga menyimpang karena dalam seni pertunjukan tayub terdapat ronggeng. Kata ronggeng berarti penari atau perempuan dengan moral yang longgar.26 Hal yang paling umum terjadi adalah laki-laki yang menari dengan seorang ronggeng harus memberi uang kepada perempuan itu. Uang itu akan diselipkan kedalam kemben (kain) si ronggeng. Pada saat itu seorang laki- laki bisa menyentuh susu dan memuntir puting perempuan itu dengan jari- jarinya.27 Tidak hanya itu, dalam tayub biasanya juga disertai dengan minum minuman keras dan dilakukan dari malam hingga pagi. Hal tersebut sangat betentangan dengan tradisi Islam. D. Reaksi yang timbul pada masyarakat sekitar Kasunanan Surakarta terhadap gaya hidup raja dan abdi dalem Gaya hidup Sunan dan abdi dalem yang bermewah-mewah dan berlebihan, dipandang masyarakat sekitar Kasunanan Surakarta atau kawula sebagai budaya yang tidak dapat dicapai karena perbedaan strata sosial sehingga budaya tandingan muncul sebagai alternatif akibat pengaruh kekuasaan dan dominasi budaya keraton yang sudah mengakar dalam, bisa dalam bentuk kepercayaan yang aneh-aneh. Gejala-gejala psikologis itu sebenarnya tidak hanya khusus diderita oleh para wong cilik tetapi juga oleh para priyayi.28 Misal cerita tentang Sunan 25 Ibid., hlm. 62 26 Ibid., hlm. 59 27 Ibid., hlm. 60-61 28 Ibid., hlm. 69-70
  • 14. 13 Lepen, mitos-mitos mengenai penunggu sumur ajaib, pertunjukkan bioskop tahun 1914 yang menjadi tontonan umum dan hiburan bagi masyarakat di Surakarta. Ada pula Laweyan, sebuah kampung yang membentuk komunitas sendiri, dengan saudagar (batik) sebagi pusat hierarki. Mereka mengembangkan sendiri hierarki sosial lengkap dengan gelar-gelarnya. Keluarga pemilik perusahaan menjadi puncak sistem status dimulai dari kedudukan nenek sebagai mbok mase sepuh, kakek sebagi mas nganten sepuh, ibu sebagai mbok mase, ayah sebagai mas nganten, anak perempuan sebagai mas rara dan anak laki-laki sebagai mas bagus. Di bawahnya ada pekerja-pekerja yang juga bertingkat-tingkat sesuai keahliannya. Gelar itu hanya berlaku ke dalam untuk menandai status sosial, dan tidak berlaku terhadap komunitas yang lain. Mereka tetap menjadi rakyat jelata betapapun kayanya. Saudagar Laweyan adalah elite dari komunitasnya, tidak mendapat tempat dalam sistem status resmi dari kerajaan.29 Budaya tandingan yang muncul di masyarakat sekitar Kasunanan juga akibat dari terbentuknya pola pikir yaitu raja melihat kawula dan priyayi sebagai abdi yang harus duduk dilantai, priyayi dan kawula melihat raja sebagai pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan akan adanya wahyu. priyayi melihat kawula sebagai wong cilik yang tidak punya simbol kekuasaan oleh karenanya rendah, kasar, dan tidak terpelajar. Pola pikir yang telah lama berlangsung dan mengakar dalam kehidupan di Kasunanan Surakarta dan sekitarnya itu menimbulkan kesenjangan sosial yang makin jauh antara gusti-kawula. Padahal penolakan yang terwujud dalam budaya tandingan yang menimbulkan kesenjangan sosial seharusnya tidak terjadi. Gambaran dunia dalam budaya Jawa dapat dilukiskan bahwa adanya keseimbangan karena hubungan gusti-kawula (patron client) yang mantap dan simbolis. Cakupan yang lebih luas mengenai hubungan ini bila terjadi keselarasan dan keserasian, suatu balance yang saling menguntungkan. 30 29 Ibid., hlm. 75-76 30 Suhartono W. Pranoto, op.cit. hlm.
  • 15. 14 E. Penutup Budaya feodalisme yang tumbuh subur dan meresap di masyarakat, telah menjadi ciri pada birokrasi kerajaan-kerajaan di Jawa. Budaya tersebut makin berkembang dan kompleks setelah datangnya birokrasi kolonial yang memantapkan budaya feodalisme itu sendiri, Sri Susuhunan Pakubuwono X yang lahir dan hidup saat pemerintahan indirect rule berlangsung. Pemerintahan tersebut dijalankan oleh birokrat koloial. Akibatnya, Sunan tidak bisa berkuasa penuh dan hanya sebagai administrator (hofhoudence) Belanda untuk Surakarta sehingga Sunan sangat mementingkan simbol-simbol budaya untuk mempertahankan legitimasinya dihadapan abdi dalem dan rakyatnya. Simbol-simbol tersebut terwujud dalam sikap dan tingkah laku feodal yang terus menerus dilakukan sehingga menimbulkan gaya hidup yang bermewah-mewah dan berlebihan. Budaya feodalisme yang berpengaruh pada gaya hidup Sunan juga berpengaruh pada abdi dalem karena abdi dalem mempunyai akses langsung dan setiap hari berhadapan dengan Sunan. Budaya feodalisme tidak hanya dalam berpengaruh di lingkungan Kasunanan Surakarta saja. Masyarakat sekitar Kasunanan Surakarta juga terpengaruh akibat budaya keraton yang dilihat dari gaya hidup Sunan dan abdi dalem, namun gaya hidup tersebut tidak mampu diikuti oleh kawula sehingga kawula memunculkan suatu budaya tandingan sebagai alternatif akibat pengaruh kekuasaan dan dominasi budaya keraton yang sudah mengakar dalam. Misal cerita tentang Sunan Lepen, mitos-mitos mengenai penunggu sumur ajaib, pertunjukkan bioskop tahun 1914 yang menjadi tontonan umum dan hiburan bagi masyarakat di Surakarta. Gambaran diatas tidak lepas dari dua pusat budaya, keraton dan desa yang menjadi pusat budayanya sendiri-sendiri. Keadaan semacam itu sudah berlangsung lama. Keraton sebagai usat budaya istana memancar sejauh kuthagara, sedangkan budaya desaa yang dominan diseluruh negaragung sampai ke mancanegara. Dilihat secara spasial, budaya desa memiliki daerah yang lebih
  • 16. 15 luas daripada budaya istana. Sikap dan perilaku dua jenis budaya ini jelas berbeda, disatu pihak budaya alus dan dipihak lain kasar.31 Budaya feodalisme mempengaruhi gaya hidup di dalam lingkungan Kasunanan Surakarta yang menimbulkan budaya tandingan oleh kawula sehingga semakin mengakibatkan kesenjangan sosial raja, priyayi dengan kawula. 31 Ibid., Hlm. 183
  • 17. 16 Daftar Pustaka Pranoto, Suhartono W. 2001. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya Media. Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi, Kawula: Surakarta, 1900-1915. Yogyakarta: Ombak.